• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Normativitas Hukum Internasional dalam Praktik Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi RI T2 322014017 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Normativitas Hukum Internasional dalam Praktik Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi RI T2 322014017 BAB IV"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

64

Bab IV

Aplikabilitas Teori Internasionalisme

Bab ini akan membahas secara umum mengenai dasar keberlakuan hukum internasional di depan pengadilan domestik atau nasional berdasarkan otorisasi implisit dari konstitusi Indonesia dan secara khusus mengargumentasi aplikabilitas teori internasionalisme sebagai dasar normativitas untuk keberlakuan tersebut. Dengan demikian kesimpulan yang hendak dijustifikasi di sini adalah konsep konstitusi Indonesia jauh lebih besar atau lebih luas daripada sekadar teksnya, konstitusi formal, yaitu UUD NRI 1945. Di dalam konsepsi yang lebih luas tersebut dapat dikonstruksikan pengertian bahwa semangat internasionalisme inheren dalam konstitusi Indonesia, meskipun sangat implisit. Inilah dasar argumen dari penelitian ini dalam mengargumentasi bahwa teori internasionalisme aplikabel di dalam konstitusi Indonesia untuk selanjutnya mengotorisasi penggunaan hukum internasional di depan pengadilan domestik atau nasional Indonesia. Lebih jauh lagi, hal ini menjustifikasi tindakan hakim-hakim pengadilan Indonesia, khususnya MK RI, untuk menggunakan hukum internasional, terutama supaya hukum nasional Indonesia, undang-undang, harmonis dengan tuntutan kewajiban internasionalnya.

(2)

65

pembentukan konstitusi di Indonesia. Analisis yang dilakukan bersifat kontekstual untuk menghasilkan kesimpulan bahwa teori internasionalisme dapat digunakan di negara Indonesia. Dalam konteks demikian maka pembahasan Bab ini diarahkan pada tiga hal. Pertama, pemahaman tekstual dari konstitusi Indonesia mengenai isu ini (kedudukan hukum internasional di depan pengadilan nasional). Kedua, pemikiran yang melatarbelakangi pembentukan konstitusi Indonesia dengan melihat kemungkinan daya dukung pemikiran yang ada untuk aplikabilitas teori internasionalisme. Ketiga, menjelaskan implikasi temuan ini dalam praktik pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh MKRI.

A.Konstitusi Indonesia

Konstitusi Republik Indonesia (RI) telah mengalami 3 fase rezim hukum yang berbeda yakni rezim UUD 1945, UUD NRI Tahun 1945S 1949, dan UUD 1950. 1 Pada tahun 1959, UUD 1945

diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden dengan empat kali perubahan yang terjadi di tahun 1999-2002. Dalam beberapa fase yang dialami UUD NRI Tahun 1945, nampak satu-satunya pasal yang menyebutkan secara eksplisit mengenai hukum internasional dalam arti sempit, yaitu perjanjian internasional, adalah Pasal 11.

1 Damos Dumoli Agusman, “Dasar Konstitusional Perjanjian

(3)

66

Hukum internasional dalam UUDS RI 1950 dinyatakan dalam Bagian 5 perihal Hubungan Luar Negeri yang terdiri dari 4 Pasal sebagai berikut:

∑ Pasal 120

(1) “Presiden mengadakan dan mengesahkan perdjandjian (traktat) dan persetudjuan lain dengan Negara-negara lain. Ketjuali djika ditentukan lain dengan undang-undang, perdjandjian atau persetudjuan lain tidak disahkan, melainkan sesudah disetudjui dengan undang-undang.” (2) “Masuk dalam dan memutuskan perdjandjian dan

persetudjuan lain, dilakukan oleh Presiden hanja dengan kuasa undang-undang.”

∑ Pasal 121

“Berdasarkan perdjandjian dan persetudjuan jang tersebut dalam pasal 120, Pemerintah memasukkan Republik Indonesia kedalam organisasi-organisasi antar-negara.”

∑ Pasal 122

“Pemerintah berusaha memetjahkan perselisihan-perselisihan dengan negara-negara lain dengan djalan damai dan dalam hal itu memutuskan pula tentang meminta ataupun tentang menerima pengadilan atau pewasitan antar-negara.”

∑ Pasal 123

“Presiden mengangkat wakil- wakil Republik Indonesia pada Negara-negara lain dan menerima wakil negara-negara lain pada Republik Indonesia.”

Sedangkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasalnya yang ke-11 mengalami perubahan setelah amandemen ke-3 di Sidang Tahunan MPR pada tanggal 10 November 2001 dengan penambahan ayat (2) dan (3) seperti berikut:

(1) “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.”

(4)

67

pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”

(3) “Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan Undang-Undang.”

Apabila dicermati, bunyi kedua Pasal 11 di atas hanya mengatur kewenangan presiden dan hubungannya dengan dewan perwakilan rakyat terkait perjanjian internasional yang dibuatnya, namun Pasal a quo tidak menjelaskan isu yang lebih luas dan fundamental yakni mengenai posisi hukum internasional di ruang lingkup hukum nasional. Isu tersebut juga tidak terjawab melalui teori Stufenbau

dari Hans Kelsen yang dianut Indonesia dalam membangun secara bertingkat sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan.2 Berbeda halnya

dengan Konstitusi Afrika Selatan yang telah dianggap sebagai salah satu konstitusi negara paling progresif karena telah menentukan secara tegas posisi hukum internasional di pengadilan nasional.3

Ketiadaan norma eksplisit dalam UUD NRI Tahun 1945 ini menciptakan inkonsistensi Indonesia yang ditunjukkan dengan beragam pendapat para ahli hukum dan praktik pengadilan terkait kedudukan hukum internasional di depan pengadilan nasional. Wisnu Aryo Dewanto merupakan salah satu yang menganggap Indonesia adalah negara dualis karena perjanjian internasional

2 Damos Dumoli Agusman, “Indonesia dan Hukum

International: Dinamika Posisi Indonesia terhadap Hukum Internasional”Jurnal Opinio Juris Vol. 15, 2014, hlm. 35.

3Edwin Cameron, “Constitutionalism, Rights, and International

(5)

68

bukanlah salah satu sumber hukum yang diakui dalam hierarki peraturan perundang-undangan sehingga perlu berintegrasi dengan sistem hukum nasional melalui proses transformasi.4 Wisnu Aryo

Dewanto mendasarkan argumennya pada ketiadaan norma eksplisit dalam Konstitusi, dan eksistensi UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang tidak terlepas dari Surat Presiden Republik Indonesia Nomor 2826/HK/1960 tentang Pembuatan Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain. Surat Presiden tersebut merupakan adopsi model Konstitusi Belanda yang dinyatakan sudah tidak sesuai lagi dengan semangat reformasi oleh karena

munculnya praktik penyimpangan dalam

melaksanakan Surat Presiden tersebut.5 UU No. 24

Tahun 2000 muncul menggantikan Surat Presiden

4Wisnu Aryo Dewanto, “Perjanjian Internasional Tidak Dapat

Diterapkan Secara Langsung Di Pengadilan Nasional: Sebuah Kritik Terhadap Laporan DELRI Kepada Komite ICCPR PBB Mengenai Implementasi ICCPR di Indonesia” Jurnal Hukum StaatRechts Vol. 1, 2014, hlm. 20. Hal sama juga dikemukakan oleh Pan Mohammad Faiz Kusuma Wijaya, “Pengujian Undang-Undang yang Mengesahkan Perjanjian Internasional terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 di Hadapan Mahkamah Konstitusi” Jurnal Konstitusi Vol. 3 No. 1, 2006, hlm. 181-198.

5Pada awalnya, UUD 1945 merujuk pada Konstitusi Meiji yang

(6)

69

tersebut, 6 namun Undang-Undang ini mendapat

kritik dari Dumoli Agusman terkait proses ratifikasi yang diatur di dalamnya. 7 Pandangan lain

disampaikan oleh Simon Butt yang mengemukakan bahwa Indonesia tidak hanya dualis tapi juga monis.8

Kesimpulan Butt tersebut ditarik dari praktik-praktik hakim di pengadilan yang tidak seragam, sehingga menciptakan realita mixed theories dalam suatu negara. Ini semakin menunjukkan bahwa sebenarnya teori monisme-dualisme sudah tidak relevan lagi untuk menjustifikasi praktik negara dalam menggunakan hukum internasional di negaranya.

Keberagaman cara pandang dan praktik pengadilan nasional memberi implikasi keraguan dunia internasional terhadap seberapa besar tingkat kepatuhan Indonesia terhadap hukum internasional. Natalie Pierce, delegasi dari negara New Zealand dalam pertemuan ke-27 International Law Commission’s Annual Report, mengatakan bahwa sebuah konstitusi suatu negara mengambil peran penting untuk melegitimasi the provisional application of treaties supaya tidak terjadi inkonsistensi

6 Konsideran dan Penjelasan Undang-Undang No. 24 Tahun

2000 tentang Perjanjian Internasional.

7 Disebutkan Undang-Undang ini menyatukan prosedur

ratifikasi internal dengan ratifikasi eksternal padahal suatu perjanjian internasional dalam prosedur eksternal ratifikasi, bukan disahkan oleh undang-undang maupun keputusan presiden, melainkan melalui pengiriman instrument of ratification/ accesion/ acceptance/ approval yang dibuat oleh menteri luar negeri. Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan Praktik Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm. 76-78.

(7)

70

pelaksanaan kewajiban internasional dan hukum domestik dalam praktiknya.9

UUD NRI Tahun 1945 memang tidak memuat ketentuan eksplisit yang menjelaskan kedudukan hukum internasional dalam pengadilan nasional, namun sebenarnya ini tidak berarti bahwa tidak ada dasar normativitas untuk penerapan hukum internasional pada aras domestik. Kebutuhan akan hukum internasional di depan pengadilan nasional terus muncul sehingga dasar normativitas tersebut perlu ditemukan dalam UUD NRI Tahun 1945, meskipun secara implisit. Dengan kata lain, pemahaman terhadap UUD NRI Tahun 1945 tidak lagi sebatas tekstual tapi beyond the text itself.

B.Dukungan untuk Keberlakuan Teori Internasionalisme dalam Konstitusi Indonesia

Sejarah pembentukan UUD NRI Tahun 1945 menunjukkan keinginan Indonesia untuk berlaku sesuai dengan hukum internasional sebagai bagian dari komunitas internasional. Dengan penelusuran sejarah, teori internasionalisme memiliki dasar keberlakuan yang sah di Indonesia meski UUD NRI Tahun 1945 tidak menyatakan secara eksplisit dalam teksnya.

Keinginan negara Indonesia untuk berlaku selaras dengan hukum internasional ditunjukkan

9 Diunduh dari

(8)

71

dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “[U]ntuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang… ikut melaksanakan k et er t i ban duni a yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi dan keadilan sosial”. Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 merupakan norma dasar bernegara (staatsfundamentalnorm) yang menggambarkan cita-cita negara bangsa yang di dalamnya juga terdapat Pernyataan Kemerdekaan.10 A.S.S. Tambunan dalam

suatu pengantar diskusi mengenai UUD 1945 mengutarakan bahwa Pembukaan atau pembukaan mendasari sistem konstitusi dan mengikat sistem kenegaraan sehingga tingkatan Pembukaan UUD 1945 adalah di atas batang tubuh karena terdapat rumusan pokok-pokok pikiran bangsa di dalamnya.11

Bung Hatta mengatakan bunyi Pembukaan Konstitusi di atas merupakan pedoman politik luar negeri bebas aktif yang dijalankan negara Indonesia.12 Yang dimaksud dengan “bebas” adalah

Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana tercermin dalam Pancasila, sedangkan “aktif” berarti di dalam menjalankan

10 Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku I, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 3.

11 Pamoe Rahardjo dan Islah Gusmian, Bung Karno dan

Pancasila: Menuju Revolusi Nasional, Yogyakarta: Galang Press Yogyakarta, 2002, hlm. 462.

12Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan

(9)

72

kebijakan luar negerinya, Indonesia tidak bersikap pasif-reaktif atas kejadian-kejadian internasional melainkan bersikap aktif.13 Politik luar negeri bebas

aktif tersebut termanisfestasi sejak pembentukan gerakan non-blok yang berkembang atas dasar Konferensi Bogor dan Kolombo di tahun 1954 lalu Konferensi Asia Afrika dengan hasil Dasa Sila Bandung dimana Soekarno beserta tokoh lainnya

menyatakan upayanya untuk mencegah

memuncaknya perang dingin antara dua blok negara adidaya dengan mengajukan alternatif-alternatif terhadap penyelesaian berbagai masalah dunia.14

Juga melalui Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945, Indonesia menyadari pentingnya berhubungan dengan negara lain dalam penyelenggaraan bernegaranya. Hal tersebut tidak terlepas dari sejarah di era lahirnya kemerdekaan Indonesia ketika pemerintah berusaha berinteraksi dengan bangsa-bangsa untuk mendapat pengakuan internasional. Kementerian Luar Negeri, sebagai salah satu kementerian paling pertama yang didirikan, mengirim diplomat Indonesia yakni Agus Salim dan Sutan Sjahrir berulang kali menghadiri rapat Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membahas “Persoalan Indonesia” (Indonesian Question)15 untuk mendapat

13Riza Sihbudi, Indonesia Timur Tengah: Masalah dan Prospek,

Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hlm. 60.

14 S. Sularto, Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi,

Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001, hlm. 92.

15Chapter V. Subsidiary Organs of The Security Council, hlm.

(10)

www.un.org/en/sc/repertoire/46-51/46-73

dukungan internasional. Proses interaksi tersebut terus berlanjut sampai pada akhirnya Indonesia menjadi negara anggota PBB.16 Senada dengan hal

tersebu, Soekarno dalam Kursus tentang Pancasila di Istana Negara tanggal 22 Juli 1958 yang menyebutkan Indonesia sebagai aan den lijve ondervinden bahwa “.. tak dapat kita melepaskan diri kita dari bekerja sama dengan bangsa-bangsa yang juga menentang imperialisme”.17

Kesadaran Indonesia sebagai bagian dari kesatuan besar komunitas internasional juga ditunjukkan melalui naskah-naskah persiapan UUD NRI Tahun 1945 18 yang juga memperlihatkan

Indonesia menerima manfaat hukum internasional tidak hanya dalam Mukadimmah UUD NRI Tahun 1945 namun dalam pokok-pokok pikiran poin 3 dan 4 terkait hal pengakuan internasional dan HAM.19

51_05.pdf#page=5 pada tanggal 28 Desember 2015 pukul 04.50 WIB.

16Ditunjukkan dengan Resolusi Majelis Umum PBB No. 491 (V)

(1950) tentang Penerimaan Republik Indonesia untuk Keanggotaan PBB pada tanggal 28 September 1950.

17Pamoe Rahardjo dan Islah Gusmian, Op.Cit., hlm. 171.

18 Kekuatan kejakinan bangsa Indonesia dalam membentuk

dan memelihara bangunan unitaris dan gemanja dalam pembentukan masjarakat bangsa-bangsa sedunia dan sepandjang masa.” Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, 1960, hlm. 70.

19 Ibid., hlm. 565. Pokok Pikiran poin 3, “Bahwa kekuasaan

(11)

74

Hukum internasional berperan dalam perluasan masuknya butir-butir HAM sebagai perwujudan kehendak Negara Indonesia dalam menjunjung tinggi nilai-nilai HAM sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara dan bangsa yang lebih beradab dari pergaulan internasional.20

Tidak dapat dipungkiri bahwa butir-butir HAM pada Pasal UUD NRI Tahun 1945 merupakan jelmaan dari

Universal Declaration of Human Rights 21 yang

kemudian tertuang dalam Bab XA mengenai HAM dari Pasal 28A-28J, sehingga jelas bahwa hukum internasional memberikan sumbangsih besar dalam konstruksi hukum HAM dalam UUD NRI Tahun 1945.

Pidato Pancasila yang disampaikan Soekarno pada Sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 sebelum kemerdekan Indonesia turut menjadi bukti yang menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia sebenarnya juga tidak terlepas dari peran hukum internasional yang memberikan kemudahan syarat berdirinya suatu negara. Soekarno dalam pidatonya menyatakan,

“… Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya international recht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengakui suatu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat-syarat yang neko-neko, yang menjelimet, tidak! Syaratnya

20 Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku I,Op.Cit.,hlm. 249. 21 Jelmaan dalam arti mengikuti model UDHR. Muhammad

(12)

75

sekadar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk international recht.”22

Soekarno menggunakan prinsip dasar hukum internasional supaya mendorong lahirnya gerakan-gerakan nasionalisme untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pidato tersebut sekaligus menjadi momentum lahirnya Pancasila sebagai falsafah bangsa yang sebenarnya tidak terlepas dari sumbangan konstruksi pemikiran dari para Filsuf Barat yang digunakan yaitu Friedrich Hegel, Karl Marx, Darwin-Haeckel, dan Immanuel Kant.23 Juga,

hukum internasional memberi pengaruh dalam menciptakan ruh dalam sila-sila di Pancasila, seperti sila peri-kerakyatan. Istilah internasional demokrasi digunakan sebagai panutan peri-kerakyatan di negara Indonesia, bahwa persamaan hak dalam masyarakat dan lingkungan negara adalah intisari dari kerakyatan atau demokrasi.24 Selain itu juga,

sila peri-kemanusiaan yang tidak mengenal perbatasan nasional karena sifatnya lebih tinggi.

Dari ulasan historis di atas, dapat disimpulkan bahwa proses kemerdekaan Indonesia sampai proses pembentukan Konstitusi melibatkan peran hukum internasional. Hukum internasional memberi prinsip

22 Hal serupa diungkapkan oleh Soepomo dalam Sidang

BPUPKI tanggal 31 Mei 1945. Floriberta Aning, Lahirnya Pancasila: Kumpulan Pidato BPUPKI, Yogyakarta: Media Pressindo, 2006, hlm. 57.

23 Ajaran para filsuf barat telah memberi pengaruh bagi

Konstitusi RI dalam hal Pembukaan, Pembagian Kekuasaan, HAM, dan Pancasila. Muhammad Yamin, Op.Cit., hlm. 75.

(13)

76

dasar berdirinya negara yang digunakan Soekarno untuk mendorong kemerdekaan Indonesia, hukum internasional memberi pengaruh dalam menciptakan ruh Pancasila sebagai falsafah negara, hukum internasional juga memberi tuntunan bagi Indonesia untuk menjadi negara yang merdeka dalam satu kesatuan masyarakat internasional yang termaktub dalam preamble UUD NRI Tahun 1945.

Lebih lanjut Soekarno menerangkan dalam Pidato Pancasila-nya,

Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa satu dan punya bahasa satu, tetapi Indonesia hanya satu bagian kecil dunia. Kita akan mendirikan Negara Indonesia merdeka sekaligus menuju pada kekeluargaan bangsa-bangsa, internasionalisme tidak berarti kosmopolitisme yang meniadakan bangsa. Internasionalisme tidak dapat hidup subur bila tidak berakar di bumi nasionalisme, sedangkan nasionalisme tidak dapat hidup di taman sarinya internasionalisme. Prinsip pertama dan kedua saling bergandengan.”

Hal yang sama diuraikan Antonio Cassese,

International law cannot stand on its own feet without its “crutches”, that is … international law cannot work without the constant help, co-operation, and support of national legal systems. As the German jurist, H. Triepel, observed in 1923, international law is like a field marshal who can only give orders to generals. It is solely through the generals that his orders can reach the troops. If the generals do not transmit them to the soldiers in the field, he will lose the battle.”25

Statement Soekarno dan Cassese di atas menunjukkan hukum internasional dan hukum

(14)

77

nasional merupakan dua variabel yang tidak bisa berjalan sendiri-sendiri melainkan saling membutuhkan satu sama lain. Pernyataan bung Karno di atas menegaskan bahwa hukum nasional tetap memiliki kedaulatannya sendiri dengan ruang lingkup berbeda dengan hukum internasional.

Internasionalisme yang sejati adalah pernyataan dari nasionalisme dimana setiap bangsa menghargai dan menjaga hak-hak semua bangsa dengan kedudukan yang sama derajatnya dalam suatu badan internasional. 26 Sedangkan

nasionalisme bangsa Indonesia adalah nasionalisme yang tidak bertentangan dengan internasionalisme, yaitu internasionalisme yang anti-kolonial, dan ingin hidup berdampingan secara damai. 27 Dengan

demikian, negara Indonesia dapat sukses membentuk moral nasional sepanjang tidak melanggar norma-norma internasional yang baik.

Kesimpulan dari analisis Sub-judul ini menyatakan bahwa terdapat keinginan implisit dari UUD NRI Tahun 1945 yang juga dibuktikan dengan pengalaman praktik negara Indonesia untuk comply

terhadap hukum internasional. Kepatuhan terhadap hukum internasional tersebut sekaligus

26 Iman Toto K. Rahardjo, Bung Karno: Masalah Pertahanan

dan Keamanan, Jakarta: PT. Grasindo, 2010, hlm. 447.

27Sambutan Prijono pada Pembukaan Seminar Pancasila pada

(15)

78

mencerminkan bahwa “international law is law” di hadapan pengadilan nasional Indonesia dengan landasan teori internasionalisme yang akan dijelaskan pada Sub-judul di bawah ini.

C.Teori Internasionalisme dalam Praktik Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang oleh MK RI

Pada umumnya, lembaga mahkamah

konstitusi dibentuk sebagai suatu pengadilan khusus28 untuk menjaga dan melindungi hak-hak

asasi manusia warga negaranya 29 dari perbuatan

negara yang bertentangan atau tidak sesuai dengan hak asasi manusia tersebut30. Di berbagai negara,

mahkamah konstitusi sering diposisikan sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan sebagai penafsir tunggal konstitusi (sole interpreter)31

dalam memberikan jaminan perlindungan yang memadai terhadap hak konstitusional 32 warga

negaranya.

28Terdapat 4 jenis bentuk pengadilan yang umum ada di suatu

negara sebagai bentuk perlindungan terhadap warga negaranya, yakni pengadilan tata negara (Mahkamah Konstitusi), pengadilan administrasi atau tata usaha negara, pengadilan biasa (regular court), dan pengadilan HAM adhoc. I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm. 152.

29Ibid., hlm. 133.

30 Laurence H. Tribe, Constitutional Choice, London: Harvard

University Press, 1985, hlm. 246.

31 A. Mukthie Fadjar, Konstitusionalisme Demokrasi: Sebuah

Diskursus tentang Pemilu, Otonomi Daerah dan Mahkamah Konstitusi sebagai Kado untuk ‘Sang Penggembala’, Malang: In-TRANS Publishing, 2010, hlm. 1.

32 Karakteristik hak konstitusional: 1) Memiliki sifat

(16)

79

Gagasan mengenai judicial review (yang sekarang menjadi salah satu kewenangan MK RI) di Indonesia sempat diutarakan oleh Muhammad Yamin pada saat penyusunan UUD NRI Tahun 1945 namun gagasan tersebut sempat ditolak Soepomo karena ia berpendapat belum saatnya melembagakan fungsi tersebut karena sumber daya manusia yang belum memadai pada saat itu.33 Di era amandemen UUD

NRI Tahun 1945, pembahasan mengenai kekuasaan kehakiman dan judicial review muncul kembali pada masa awal rapat pleno PAH I BP MPR 2000 namun belum ada usulan pembentukan Mahkamah Konstitusi.34 Usulan pembentukan lembaga tersebut

mulai nampak setelah PAH I BP MPR 2000 melakukan kunjungan, studi banding, dan dengar pendapat dari berbagai pihak.

Terdapat 3 hal penting yang perlu diketahui sebagai dasar pembentukan MK RI. 35 Pertama,

dari konstitusi tertulis yang merupakan hukum fundamental; 2) Hak konstitusional adalah bagian dari dan dilindungi oleh konstitusi tertulis, harus dihormati dan tidak satu organ negara pun boleh bertindak bertentangan atau melanggar hak konstitusional itu; 3) Setiap tindakan organ negara yang bertentangan dengan hak itu harus dapat dinyatakan batal oleh pengadilan. Hak konstitusional akan kehilangan maknanya sebagai hak fundamental apabila tidak terdapat jaminan dalam pemenuhannya; 4) Perlindungan yang diberikan konstitusi adalah perlindungan terhadap perbuatan negara, bukan oleh individu lain. 5) Hak konstitusional merupakan pembatasan terhadap kekuasaan negara. I Dewa Gede Palguna, Op.Cit., hlm. 137.

33 Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VI, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 445.

34Ibid, hlm. 442.

35 Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji

(17)

80

adanya lack of authority karena dalam sistem hukum di Indonesia belum ada mekanisme yang mengatur limitatif soal hak uji materiil (undang-undang terhadap konstitusi) sehingga berbagai undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi tidak pernah bisa dipersoalkan. Peran Mahkamah Konstitusi diperlukan sebagai titik perubahan paradigma struktur ketatanegaraan dengan prinsip

checks and balances di Indonesia36 supaya terjadi

keseimbangan fungsi lembaga-lembaga negara dalam mewujudkan kehidupan negara yang demokratis.

Kedua, ada fakta politik terjadinya konflik kelembagaan antara lembaga kepresidenan dan DPR yaitu pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dan pengangkatan Ketua Mahkamah Agung (MA). Ketiga,

adanya pandangan bahwa MA tidak sepenuhnya mampu menjalankan berbagai kewenangan yang melekat pada dirinya, sehingga diperlukan lembaga lain untuk menangani berbagai soal ketatanegaraan lainnya di luar MA.

Disahkannya Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun 1945 sekaligus membuka babak baru pembentukan MK RI. UUD NRI Tahun 1945 yang kemudian diturunkan ke Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 jo. Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 memberi wewenang kepada MK RI untuk, salah satunya (sekaligus yang menjadi inti pembahasan

Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Bandung: Alumni, 2008, hlm. 113.

36 H. Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi dalam Upaya

(18)

81

dalam sub-judul ini), menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. 37 Awalnya,

mekanisme pengujian undang-undang terhadap Konstitusi atau judicial review pertama kali dikembangkan oleh negara Amerika Serikat melalui kasus Marbury v. Madison pada tahun 1803.38

Di MK RI berkembang praktik constitutional review39 yang menggunakan hukum internasional.

Diane Zhang menunjukkan bahwa selama tahun 2003-2008, terdapat 78 kasus pengujian undang-undang terhadap 56 jenis undang-undang-undang-undang dimana 86% atau berjumlah 62 putusan MK RI merujuk pada 813 rujukan asing berupa putusan pengadilan, hukum internasional dan domestik, praktik hukum, tulisan akademik, dan lain-lain. 40 Dominannya,

hukum internasional digunakan untuk

menginterpretasi kaidah yang berhubungan dengan hak asasi manusia (HAM). Oleh sebab itu, konteks penggunaan hukum internasional dalam tulisan ini dipersempit dalam area HAM. Hubungan antara UUD NRI Tahun 1945 dengan hukum HAM internasional yang semakin sulit dipisahkan sekaligus menunjukkan bahwa UUD NRI Tahun 1945 dan hukum internasional memiliki arah dan tujuan yang

37 Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

38 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di

Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hlm. 19-25. 39Constitutional review merupakan bentuk judicial review yang

lebih sempit. Martitah, “Judicial Review dan Arah Politik Hukum Nasional: Sebuah Perspektif Penegakan Konstitusi” Jurnal Konstitusi Vol. I No. 1, 2009, hlm. 123.

(19)

82

sama sehingga keduanya berada pada level yang sejajar bagi pengadilan nasional untuk menerapkan keduanya di wilayah yurisdiksinya.

Praktik ini berkembang karena isu konstitusional yang timbul dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang memiliki pararelitas dengan hukum internasional. Salah satu isu tersebut adalah di bidang hak-hak asasi manusia (HAM). Isu konstitusionalitas undang-undang dalam kaitan dengan HAM pararel dengan hukum internasional karena internasionalisasi HAM. Tentang fenomena tersebut Louis Henkin menyatakan: ”The international law of human rights parallels and supplements national law, superseding and supplying the deficiencies of national constitution and laws, but it does not replace and indeed depends on national institutions.” 41 Dalam posisi pararelitas demikian

maka potensi untuk penggunaan argumen berdasarkan hukum internasional dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang menjadi terbuka.

Penggunaan hukum internasional dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang ini tidak melanggar yurisdiksi material MK RI sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yaitu untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Dalam pengujian tersebut, hakim tetap terikat oleh UUD NRI Tahun 1945 dalam menentukan konstitusionalitas undang-undang. Hanya saja proses interpretasi konstitusi tersebut juga

41Louis Henkin, The Rights of Man Today, Center for the Study

(20)

83

mempertimbangkan asas atau kaidah hukum internasional.

Mengambil contoh konkret yakni Putusan MK RI No. 065/PUU-II/2004 yang mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 43 (1) Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pasal tersebut berbicara mengenai asas retro aktif pada pengadilan HAM ad hoc yang kemudian diterapkan dalam kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di wilayah Timor Timur. Pasal a quo kemudian diujikan dengan pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 yakni di antaranya Pasal 1 (3) dan Pasal 28J (2). Isunya adalah apakah asas retro aktif yang ada dalam Undang-Undang Pengadilan HAM tidak sesuai dengan konsep negara hukum Indonesia dan pembatasan terhadap HAM yang dilindungi oleh UUD NRI Tahun 1945. Dalam hal menjawab isu tersebut, hakim MK RI telah menggunakan instrumen internasional seperti Universal Declaration of Human Rights (Pasal 29 (2), International Covenant on Civil and Political Rights (Pasal 15 (1), dan European Convention on Human Rights (Pasal 7) yang mengatakan bahwa pembatasan terhadap asas non retro aktif dapat berlaku secara limitative and restrictive, artinya dapat diberlakukan secara terbatas hanya terhadap kasus pelanggaran HAM berat seperti genocide dan crimes against humanity

(21)

84

koridor pembatasan terhadap HAM yang sesuai dalam Pasal 28J (2) UUD NRI Tahun 1945 dan sesuai pula dengan konsep negara hukum Indonesia yang menjunjung perlindungan hak asasi manusia (dalam kasus tersebut adalah HAM para korban peristiwa Timor-Timur yang belum mendapatkan perlindungan oleh karena Indonesia saat itu belum memiliki regulasi nasional yang mengatur genocide dan crimes against humanity). Contoh dari putusan ini menunjukkan bahwa hakim MK RI memanfaatkan hukum internasional sebagai dasar argumen untuk menginterpretasi pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945, sekaligus menegaskan bahwa hakim tetap memutus perkara berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.

Dengan demikian, sekurang-kurangnya, hukum internasional memiliki peran sebagai alat bantu (interpretive tool) dalam interpretasi konstitusi. 42 Seperti halnya ketika hukum HAM

internasional dapat memberi kontribusi dalam memahami Konstitusi Australia, dimana pengadilan menggunakan pertimbangan kontekstual untuk menuntun hakim tentang bagaimana hakim menginterpretasi ketentuan konstitusional tertentu.43

Posisi hukum internasional yang demikian tidak

42 Titon Slamet Kurnia, “Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia

oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Melalui Pengujian Undang-Undang” Disertasi: Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2014, hlm. 151.

43 Michael Kirby, “Domestic Courts and International Human

(22)

85

berarti bahwa hukum internasional yang menentukan putusan atas konstitusionalitas undang-undang, dan tidak berarti pula bahwa hukum internasional menggantikan Konstitusi dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang. 44

Hakim memutus konstitusionalitas undang-undang tetap berdasarkan Konstitusi.

Interpretasi konstitusi terhadap pasal-pasal HAM dalam Bab XA UUD NRI 1945 tidak hanya ditujukan secara eksklusif pada pasal-pasal tersebut, tetapi juga interpretasi pasal-pasal tersebut secara konstruktif atau mencerahkan sebagaimana dilakukan pada padanannya dalam hukum internasional. Interpretasi demikian bertumpu pada pemahaman yang menurut the Declaration of Independence Amerika Serikat untuk memberikan: "a decent respect to the opinions of mankind." Dalam kaitan itu, MK perlu mengakui lebih dahulu, seperti

the Supreme Court Amerika Serikat dalam kasus the Paquette Habana (1900): "International law is part of our law, and must be ascertained and administered by the courts of justice of appropriate jurisdiction, as often as questions of right depending upon it are duly presented for their determination?"

Dikaitkan dengan itu maka dalam perspektif Indonesia perlu untuk ditegaskan kembali: Apakah hukum internasional adalah hukum? Apakah sebagai hukum, hukum internasional adalah bagian dari

44Kristen Walker, “International Law as a Tool of Constitutional

(23)

86

hukum Indonesia? Pertanyaan di atas, sebagaimana telah diargumentasikan sebelumnya, dijawab afirmatif oleh teori internasionalisme yang penulis usulkan. Terkait dengan itu, argumen a fortioriyang penulis kemukakan ialah, konstitusi Indonesia adalah konstitusi internasional yang jauh lebih luas daripada UUD NRI 1945 sendiri. Dikaitkan dengan isu penggunaan hukum internasional oleh MK maka seyogianya MK lebih dahulu meletakkan argumen di atas sebagai prinsip justifikasinya untuk penggunaan

hukum internasional dalam pengujian

konstitusionalitas undang-undang.

Hukum internasional memenuhi unsur-unsur untuk dapat disebut sebagai hukum di antaranya ia dihasilkan oleh otoritas berwenang, memuat kewajiban moral rationality, dan memiliki sanksi.45

Atau sederhananya hukum internasional disebut sebagai hukum karena ia menciptakan norma. Oleh karena sifat tersebut, maka hukum internasional memiliki daya normativitas yang sama dengan hukum nasional di depan pengadilan sepanjang hakim mampu menemukan sifat normatif dari hukum internasional tersebut. Seyogianya, terkait dengan itu, hakim MK dalam merujuk pada hukum internasional memprioritaskan penerapan

interpretative incorporation techniques.46 Asumsi yang

45 Joshua Kleinfeld, “Skeptical Internationalism: A Study of

Whether International Law Is Law” Fordham Law Review Vol. 78, 2010, hlm. 2451.

46Farid Sufian Shuaib, “The Status of International Law in the

(24)

87

mendasarinya adalah sepanjang dalam hukum internasional ditemukan kaidah lebih baik (misalnya memberikan efek perlindungan HAM lebih kuat) maka hal itu dapat digunakan oleh MK sebagai gap-fillerkonstitusi Indonesia.47

Lebih jauh lagi, hal prinsip terkait dengan interpretasi konstitusi dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang adalah mendorong supaya terjadi harmonisasi antara interpretasi tersebut dengan hukum internasional. Argumen tersebut didasarkan pada pandangan Harold Koh yang menyatakan: “for any nation consciously to ignore global standards not only would ensure constant frictions with the rest of the world, but also would diminish that nation's ability to invoke those international rules that served its own national purposes.” 48 Dalam kalimat lain, pada situasi

demikian, isunya adalah tentang compliance

Indonesia, melalui MK RI, terhadap hukum internasional.

Keputusan suatu negara untuk patuh atau tidak patuh terhadap hukum internasional bergantung pada 3 faktor yang terangkum teori Andrew Guzman yaitu “Three Rs of Compliance”.49

Teori ini berangkat dari asumsi rasional bahwa kepatuhan terhadap hukum internasional lebih

47 Bandingkan dengan: Dunia P. Zongwe, Op.Cit., hlm. 167;

Eyal Benvenisti, Loc.Cit., hlm. 3.

48 Harold Hongju Koh, Op.Cit., hlm. 44.

49Andrew T. Guzman, How International Law Works: A Rational

(25)

88

menguntungkan ketimbang ketidakpatuhan. Tiga faktor penentu keuntungan tersebut adalah

reputation, reciprocity, dan retaliation. 50 Pertama,

reputasi (reputation). Guzman menjelaskan reputasi sebagai “reputation for compliance with international law”. Suatu negara memilih untuk comply terhadap hukum internasional karena dapat menciptakan kredibilitas negara (the good states) untuk menciptakan peluang hubungan kerjasama dengan negara lain yang lebih besar di masa depan. Kedua, reciprocity yang berarti “actions that are taken without the intent to sanction the violator”. Misalnya dalam kasus the Boundary Waters Treaty antara US dan Kanada, US mengambil tindakan treaty termination

atas pelanggaran yang dilakukan oleh Kanada karena tindakan tersebut dinilai lebih menguntungkan ketimbang tetap menjalankan kepatuhan terhadap perjanjian tersebut. Ketiga, retaliation yang berarti “actions that are costly to the retaliating state and [are] intended to punish the violating party”. Suatu negara dapat menghukum pihak pelanggar sebagai balasan atas ketidakpatuhan yang dilakukan. Contoh sanksi yang bisa diberikan adalah sanksi ekonomi, diplomatis, atau militer.

Sejalan dengan 3Rs di atas, Penulis ingin mendorong MK RI untuk berlaku comply terhadap hukum internasional karena keuntungan yang didapat negara akan lebih besar ketimbang

50Katherine Tsai, “How To Create International Law: The Case

(26)

89

sebaliknya. Ketidakpatuhan negara terhadap hukum HAM internasional akan berakibat secara tidak langsung gagalnya negara dalam menjalankan amanat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 untuk mewujudkan ketertiban dunia dengan penegakan HAM di wilayah nasional. Di sisi lain, keuntungan yang dapat diperoleh MK RI justru akan lebih besar dengan kepatuhan terhadap hukum internasional. Penggunaan hukum internasional dalam putusan MK RI akan membantu konstruksi jaminan HAM yang lebih kuat dalam wilayah NKRI yang dicapai melalui

harmonisasi hukum nasional dan hukum

internasional di bidang HAM. Harmonisasi tersebut dapat terwujud jika MK RI mampu menyelaraskan nilai-nilai Konstitusi Indonesia dengan hukum internasional dalam putusannya dengan proses intepretif yang melibatkan hukum internasional.

Dalam kasus ini yang menjadi isu substantifnya adalah kebenaran hakiki atau fundamental yang ingin dihasilkan dalam proses interpretif tersebut. Upaya memberikan efek positif

compliance terhadap hukum internasional dalam rangka interpretasi konstitusi Indonesia tidak berarti bahwa MK RI harus mengambil posisi defference

(27)

90 law to the exclusion of municipal law, or vice versa.”51

Peran aktif hakim diperlukan dalam kerangka theory of friendliness to international law atau interpretation in favour of international law,52 tetapi hal itu tidak

bebas nilai. Pada akhirnya, MK RI harus memutuskan, dan memberikan interpretasi konstitusi, yang terbaik bagi kepentingan paling mendasar yang harus dilindunginya. Jika pararelitas antara hukum internasional dengan hukum nasional tersebut terjadi dalam isu perlindungan HAM maka isu substansial yang harus dipecahkan adalah kepentingan siapakah, dalam rangka interpretasi konstitusi, yang harus diperjuangkan oleh MK RI. Terhada isu tersebut penulis sependapat dengan pandangan Nihal Jayawickrama yang menyatakan: “A broad, liberal, generous and benevolent construction should be given, not a narrow, pedantic, literal or technical interpretation. A Bill of Rights must be broadly construed in favour of the individual rather than in favour of the State.”53

51 Luzius Wildhaber dan Stephan Breitenmoser, “The

Relationship Between Customary International Law and Municipal Law in Western European Countries” 48 Zeitschrift f ̈ur Ausl ̈andisches ̈Offentliches Recht und V ̈olkerrecht 163, 1988, hlm. 173. Bandingkan dengan pendapat berpengaruh yang dikemukakan Prof. Mochtar Kusumaatmadja “[p]ada prinsipnya kita mengakui supremasi hukum internasional tidak berarti bahwa kita begitu saja menerima apa yang dinamakan hukum internasional”. Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional: Buku I: Bagian Umum, Bandung: Binacipta, 1978, hlm. 83.

52Ibid.

53 Nihal Jayawickrama, The Judicial Application of Human

(28)

91

Kesimpulan tersebut adalah hakikat utama dari pembahasan penulis terkait dengan aplikabilitas

hukum internasional dalam pengujian

konstitusionalitas undang-undang. Sesuai pendapat Nihal Jayawickrama, hakikat dari aplikabilitas teori internasionalisme dalam, rangka interpretasi konstitusi oleh MK RI adalah untuk memberikan jaminan kepentingan terbaik bagi HAM dalam proses pengujian konstitusionalitas undang-undang. Dengan batasan demikian maka isu kedudukan hukum internasional dalam pengadilan domestik, pengujian konstitusionalitas undang-undang oleh MK RI, menjadi tidak terlalu kontroversial lagi. Artinya, praktik tersebut rasional dan objektif. Tidak dalam posisi penghambaan diri terhadap hukum internasional, tetapi dalam posisi penggunaan hukum internasional yang proporsional, yaitu sejalan dengan a decent respect to the opinions of mankind.

Terkait dengan sumber hukum internasional yang spesifik seperti perjanjian internasional, melalui teori transnational legal process, maka seorang hakim MK harus jeli melihat karakter atau sifat dari perjanjian internasional tersebut. Apabila norma hukum dalam perjanjian internasional tersebut merupakan self-executing treaty atau berupa norma-norma dasar/fundamental yang diterima secara universal, maka hakim MK dapat langsung menerapkannya (teori incorporation) dalam suatu

kasus 54 tanpa mempermasalahkan proses

(29)

92 transformation, begitu pula terkait international customary law. Di sinilah peran aktif hakim MK dibutuhkan dalam proses menginterpretasi karakter dan keberlakuan suatu norma hukum internasional. Maka pada akhirnya dapat dikatakan bahwa teori

transnational legal process memberi legitimasi bagi seorang hakim MK untuk menggunakan hukum internasional dalam kerangka membangun keyakinan hakim (yang notabene adalah konstitusional) untuk menyelesaikan masalah nasional.

Di satu sisi lain, teori internasionalisme melalui teori international constitution membantu hakim MK untuk menunjukkan bahwa penggunaan hukum internasional dalam putusan tentang constitutional review adalah sesuai dengan amanat UUD NRI Tahun 1945. Perlu dipahami bahwa suatu konstitusi tidak dapat dimaknai secara sempit55 yaitu terbatas pada

kata-kata yang eksplisit dalam batang tubuh konstitusi, melainkan masih ada konstitusi yang tidak tertulis yaitu yang terdapat dalam nilai-nilai yang hidup dalam praktik-praktik ketatanegaraan.56

55 UUD sebagai konstitusi dalam arti sempit ini pada

hakikatnya merupakan “a politico-legal document” (suatu dokumen hukum politik). A. Mukthie Fadjar, Op.Cit., hlm. 15.

56 Beberapa hal yang dapat digunakan untuk menguji

konstitusionalitas sebuah undang-undang yaitu:

- Naskah UU D yang resmi tertulis;

- Dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat dengan naskah

uud seperti risalah, dll;

- Nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktik ketatanegaraan

(30)

93

Seperti contoh, Inggris sebagai suatu negara yang tidak memiliki konstitusi formal atau written constitution, tidak berarti ia tidak memiliki konstitusi.57 Ini menunjukkan bahwa terdapat norma

konstitusi lain di luar konstitusi formal seperti contoh the unenumerated rights dalam the Ninth Amandment Konstitusi Amerika Serikat yang diakui keberadaannya di tengah gap dalam sistem jaminan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional melalui the Bill of Rights of the Constitution of United States.58

Teori international constitution dapat membantu hakim MK untuk menemukan makna implisit dalam UUD NRI Tahun 1945 yang memberi legitimasi hakim

- Nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan perilaku politik dan hukum warga negara negara yang dianggap sebagai kebiasaan dan keharusan-keharusan ideal dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara.

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang Cetakan II, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 6. Lihat juga Penelitian Pusako FH Andalas dan MK RI, “Perkembangan Pengujian Perundang-U ndangan di Mahkamah Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual Ke Hukum Progresif), 2010, hlm. 56.

Diunduh dari

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum /penelitian/pdf/PENELITIAN%20ANDALAS.pdf pada tanggal 8 Januari 2016 pukul 01.30 WIB.

57Konstitusi Inggris tersebar di The Magna Carta, the Bill of

Rights of 1689, the Parliament Acts of 1911 and 1949, the European Communities Act of 1972, the Human Rights Act of 1998. Titon Slamet Kurnia, Konstitusi HAM: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 & Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Salatiga: Fakultas Hukum UKSW, 2013, hlm. 10-11. Lihat juga pada pendapat Jon Elster yang mengatakan, “Constitution can be written and unwritten”Jon Elster, “Forces And Mechanisms In The Constitution-Making Process” Duke Law Journal Vol. 45, 1995, hlm. 365.

(31)

94

MK untuk melakukan interpretasi konstitusi yang kompatibel dengan hukum internasional. Telah dijabarkan sebelumnya bahwa secara konseptual, terdapat dukungan sejarah yang menunjukkan keinginan konstitusional negara Indonesia untuk berlaku sesuai dengan hukum internasional meski keinginan tersebut tidak tertuang secara eksplisit di batang tubuh UUD NRI Tahun 1945. Sebagaimana diulas sebelumnya, keinginan tersebut tercermin dalam bagian Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan sejarah pembentukan UUD NRI Tahun 1945. Pada Pidato Pancasila yang disampaikan the founding father, Soekarno secara tegas merujuk pada norma hukum internasional untuk mendorong gerakan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 juga menghendaki keterlibatan negara Indonesia dalam komunitas internasional. Tidak hanya itu, penelusuran sejarah pembentukan Konstitusi juga menunjukkan peran hukum internasional dalam pembentukan Pasal-Pasal dalam UUD NRI Tahun 1945, khususnya pada bagian HAM.

Adanya bukti sejarah di atas menunjukkan UUD NRI Tahun 1945 tidak menutup dirinya dari dunia internasional dan secara implisit menghendaki negara Indonesia berlaku sesuai dengan norma hukum internasional. Teori international constitution

(32)

95

Referensi

Dokumen terkait

Koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen. Besarnya koefesien determinasi dapat dilihat pada

Faktor Lingkungan Internal Kekuatan Adanya pelatihan penyelamatan korban tenggelam dari polres Klaten kepada karyawan di divisi kolam renang Adanya pengarahan dari manajer

Sehingga dapat disimpulkan bahwa mind mapping melalui brain based learning pada materi ikatan kimia di kelas eksperimen lebih berpengaruh positif terhadap hasil belajar

Abstrak --Komandan Satuan dalam memimpin satuan dan prajuritnya harus bisa memerankan peran sebagai seorang pemimpin dan juga bisa memerankan sebagai seorang

Hal yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut, faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana pencurian kendaraan bermotor adalah faktor gaya hidup

Dilihat dari orang yang membuat keputusan,euthanasia dibagi menjadi: 1 Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit dan Involuntary

Event Organizer atau sering disebut EO tidak jauh beda pengertiannya dengan sebuah kepanitiaan. Mulai dari level ‘Perpisahan Sekolah’ sampai ‘Pindah Jabatan’, EO

Data Kelahiran hidup di Kabupaten Karimun pada tahun 2014 tercatat sebanyak 4.890 kelahiran dan terdapat 45 kasus lahir mati yang terdiri dari 22 bayi laki-laki dan 23