1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu cara meningkatkan sumber daya manusia untuk bangkit dari dunia kebodohan. Di era global seperti ini individu tidak akan mencapai kehidupannya secara maksimal dan puas tanpa adanya
pendidikan. Seiring berkembangnya jaman, berkembang pula ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada, maka dari itulah seseorang dituntut untuk mengikuti perkembangan jaman yang ada salah satunya dengan menempuh pendidikan yang
telah disediakan. Pendidikan tidak akan berjalan dengan lancar apabila tidak ada kerja sama yang baik antara siswa dengan tenaga pengajar atau yang sering
disebut dengan guru, karena guru merupakan kunci dalam peningkatan mutu pendidikan dan mereka berada di titik sentral dari setiap usaha reformasi
pendidikan (Syah, 2011).
Ki Hajar Dewantara yang selaku Bapak Pendidikan Indonesia menjelaskan tersendiri tentang pengertian pendidikan, yaitu tuntutan di dalam
hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia
dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. (Faturrahman dkk, 2012)
Di Indonesia ini pendidikan mendapat perhatian khusus yang diatur
Nasional Bab 1 Pasal 1 (1) pendidikan adalah: “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Dalam hal ini, tentu saja diperlukan adanya pendidik profesional yakni guru di
sekolah-sekolah dasar dan menengah, serta dosen di perguruan tinggi. (Syah, 2011)
Nawawi (Safrudin, 1998) mengatakan bahwa prestasi belajar adalah tingkatan keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang
dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu. Berdasarkan pendapat tersebut dapat diartikan bahwa
prestasi belajar sangat penting bagi siswa karena prestasi belajar tersebut sebagai ukuran sejauh mana tingkat keberhasilan siswa didalam dunia pendidikan dan dapat dijadikan sebagai acuan untuk menempuh pendidikan yang lebih lanjut lagi.
Makmun (1983) berpendapat prestasi belajar adalah kecakapan nyata (actual ability) yang menunjukan kepada aspek kecakapan yang segera dapat
didemonstrasikan dan diuji sekarang juga atau dengan kata lain prestasi belajar adalah kemampuan seseorang dalam menguasai suatu masalah setelah melalui ujian tertentu.
Salah satu faktor penentu dalam pemaksimalan prestasi belajar adalah dukungan orang tua yang paham akan perbedaan status (Faturrahman dkk, 2012).
Reynolds (1975) menyatakan bahwa anak yang berhasil di sekolah adalah anak yang berlatar belakang dari keluarga yang berhubungan akrab, penuh kasih sayang, dan menerapkan disiplin berdasarkan kecintaan (Shochib, 2010). Orang
pendidikan anak. Orang tua dalam keluarga berperan sebagai guru, penuntun, pengajar, serta sebagai pemimpin pekerjaan dan pemberi contoh. Semua orang
tua menginginkan hal yang terbaik bagi anaknya, termasuk prestasi belajar dalam bidang pendidikan. Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa keluarga merupakan “pusat pendidikan” yang pertama dan terpenting karena sejak timbulnya adab
kemanusiaan sampai kini, keluarga selalu mempengaruhi pertumbuhan budi pekerti tiap-tiap manusia. Di samping itu, orang tua dapat menanamkan benih
kebatinan yang sesuai dengan kebatinannya sendiri ke dalam jiwa anak-anak. (Shochib, 2010)
Greebberger dan Goldberg (1989) menemukan bahwa cara orang tua menangani anak berkaitan dengan persepsinya tentang perilaku anak. Ketika perilaku anak menunjukkan masalah maka orang tua akan cenderung otoriter.
Hubungan suami-istri juga mempengaruhi dalam cara orang tua mengasuh anak. Hubungan suami-istri seharusnya merupakan hubungan yang saling melengkapi
dan saling mendukung, ada kerjasama antara suami-istri dalam mengurus rumah tangganya. Miller, dkk (dalam Andayani, 2004) menemukan bahwa penyesuaian diri dan penyesuaian pernikahan serta kehangatan hubungan orang tua
mempengaruhi kualitas cara pengasuhan anak.
Baumrind (dalam Gustiany, 2003) mengatakan bahwa ada empat macam
pola asuh orang tua, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, pola asuh permisif, dan pola asuh penelantar. Pola asuh otoriter cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya standar tersebut diikuti dengan
diperintah oleh orang tua. Pola asuh demokratis, pola asuh ini memprioritaskan kepentingan anak untuk memilih dan menentukan suatu tindakan, akan tetapi
tidak menutup kemungkinan orang tua untuk mengendalikan anak tersebut. Selanjutnya adalah pola asuh permisif, yaitu pola asuh yang memberikan kesempatan sepenuhnya kepada anak tanpa adanya pengawasan dari orang tua. Terakhir adalah pola asuh penelantar, orang tua yang mempunyai pola asuh penelantar ini lebih banyak mengahabiskan waktunya untuk bekerja, dan juga
kadang kala biayapun diminimalisir untuk anaknya, sehingga tidak mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak-anaknya.
Orang tua sering kali menjadi guru bagi pelajar. Para ibu khususnya memberikan pengajaran dengan metode yang beragam, namun demikian pelajar mengartikan sebagai suatu bentuk yang penuh kasih. Ibupun berperan sebagai
pendorong dalam mengikuti perlombaan yang mungkin tidak diketahui oleh pelajar. Ibu mengajar atau membimbing secara kontinyu setiap hari rutin tanpa
henti. Bimbingan yang diberikan orang tua khususnya ibu penting diperhatikan sebagai upaya menyukseskan pembelajaran pelajar di sekolah (Frengky, 2008). Keluarga dalam hubungannya dengan anak diidentikkan sebagai tempat atau
lembaga pengasuhan yang paling dapat memberi kasih sayang, kegiatan menyusui, efektif dan ekonomis. Sifat dan perilaku anak sangat dipengaruhi
dengan pola asuh kedua orangtuanya. Terlalu memanjakan atau memandang sebelah mata keberadaan anak, bisa berakibat buruk terhadap kepribadian anak
Menurut pendapat Formm (Zahroh, 2003), bahwa anak yang dibesarkan dalam keluarga yang bersuasana otoriter memandang kekuasaan sebagai sesuatu
yang harus ditakuti dan bersifat magic. Yusuf (dalam Zahroh, 2003), bahwa orang tua yang terlalu keras, anak akan cenderung menjadi penurut, penakut, tidak
mempunyai kepercayaan diri, dan selalu ragu dalam tindakannya. Bilamana berontak maka akan menjadikan anak tersebut suka menentang, menuruti
kemauannya sendiri dan menghindar bila menghadapi kesulitan.
Berdasarkan buku Biografi of True Story yang berjudul Battle Hymm of the Tiger Mother karya Amy Chua tahun 2011 diceritakan tentang bagaimana
kesuksesan dan kegagalan dalam mengasuh dua anaknya dengan gaya tradisional Cina yaitu pola asuh otoriter. Amy menuntut kedua anaknya tersebut untuk meraih nilai yang sempurna pada semua mata pelajaran. Berkat keotoriteran Amy
kepada kedua anaknya, mereka berdua dapat meraih prestasi akademik yang sangat baik serta dapat memainkan alat musik piano untuk anak pertama dan biola
untuk anak kedua Amy. Disisi lain akibat dari pola asuh otoriter yang diterapkan Amy, kedua anak Amy tidak mempunyai pengalaman seperti menginap di rumah teman, pergi pesta, atau ikut pementasan drama karena Amy benar-benar
mengekang kedua anaknya tersebut dari kehidupan sosial.
Hubungan orang tua-anak juga sangat dipengaruhi persepsi anak
terhadap pelatihan yang dialaminya dan interpretasinya terhadap motivasi hukuman dari orang tua. Semakin otoriter pendidikan anak, semakin mendendam anak itu dan semakin besar kemungkinan anak akan senang melawan dan tidak
memburuknya hubungan orang tua dengan anak seiring bertambahnya usia anak.
(Hurlock, 2004)
Dalam penelitian Walters (dalam Zahroh, 2003) ditemukan bahwa orang tua yang otoriter cenderung memberi hukuman terutama hukuman fisik. Menurut Martaniah (1964) orang tua yang otoriter amat berkuasa terhadap anak,
memegang kekuasaan tertinggi serta mengharuskan anak dikontrol dengan ketat. Perintah dan hukuman yang selalu dilakukan orang tua akan berakibat buruk
terhadap perkembangan jiwa anak. Selalu penurut, tidak mempunyai inisiatif dan selalu merasa takut menyampaikan sesuatu menjadi persoalannya karena takut
disalahkan yang dapat berakibat dikenai sanksi/hukuman (Zahroh, 2003).
Baumrind (Zahroh, 2003) mengistilahkan pola asuh otoriter dengan gaya Authoritarian. Orang tua yang authoritarian suka mengawasi tetapi tidak mau
mendengar anak-anaknya, mereka lebih bersifat lugas dan dingin. Perintah hukuman adalah rutin, berlangsung dari hari ke hari. Dari gaya seperti ini,
ternyata anak-anak pada umunya tidak bahagia dan cenderung untuk menarik diri dari pergaulan, suka menyendiri. Disamping itu sulit bagi mereka untuk
mempercayai pihak lain dan prestasi belajar di sekolahpun rendah.
Erikson memaparkan dalam 8 stage perkembangan psikologis pada manusia bahwa usia anak-anak memasuki stage industry versus inferiority yaitu
ketrampilan akademik seperti menulis, berhitung, dan membaca (Kaplan, 1998). Anak-anak akan menjadi minder, tidak percaya diri sehingga muncul rasa inferior
apabila pada stage industry tidak memiliki ketrampilan akademik. Usia anak-anak (7 - 12 tahun) memiliki struktur perkembangan kognitif yang berbeda dengan usia
sebelumnya atau sesudahnya.
Karakteristik kognitif pada usia 7-11 tahun yaitu sesuai dengan stage perkembangan yang dikemukakan oleh Piaget yaitu stage operasional kongkrit.
Pada stage ini anak-anak memahami sesuatu lebih cepat dengan sesuatu yang kongkrit, bukan abstrak. Dukungan lingkungan khususnya orang tua dan pengajar
serta fasilitas merupakan faktor penting dalam menyukseskan pendidikan formal anak. Pelajaran formal pertama kali diterima oleh anak pada waktu mereka duduk di bangku kelas 1 sekolah dasar (SD). Kelas 1 SD menjadi gerbang pertama dalam
perjalanan pelajar memasuki dunia belajar secara formal. (Frengky, 2008)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kismawati (2012) diperoleh hasil
dari 10 responden yaitu siswa dengan ranking 5 besar di sekolah usia antara 14 sampai dengan 17 tahun , yang diberi kuisioner maka diperoleh kesimpulan bahwa 100 % anak memahami peranan orang tua ideal dan 90 % menyatakan
bahwa orang tua anak merupakan sosok yang ideal karena bagi anak orang tua adalah yang memberikan kasih sayang, mendidik, mengarahkan dan membimbing
menjadikan anak yang lebih baik dan bermanfaat.
yang cenderung memiliki kepatuhan yang berlebihan, mengalah, kurang inisiatif, dan mempunyai harga diri rendah. Anak cenderung penurut terhadap orang tua
sehingga sulit mengambil keputusan sendiri. Hal tersebut akan berakibat menimbulkan gejala-gejala kecemasan, mudah putus asa, tidak dapat
merencanakan sesuatu dan adanya penolakan terhadap orang lain. Anak yang dididik dengan pola asuh seperti ini akan mudah cemas memasuki lingkungan baru terutama pada awal masuk sekolah sehingga memperoleh prestasi belajar
yang rendah.
Berdasarkan data dari Dinas Dikpora kota Surakarta tahun 2012
didapatkan dari 273 SD se-Surakarta nilai UAN tertinggi diperoleh di SD Muhammadiyah Program Khusus dengan nilai UAN 26,74. Jumlah nilai UAN terendah diperoleh SDN Mojo III dengan jumlah nilai UAN sebesar 14,30.
Peringkat tersebut diurutkan berdasarkan jumlah nilai UAN tertinggi yang diperoleh di SD yang bersangkutan pada tahun ajaran 2011/2012. Di Surakarta
terdapat lima SD yang memiliki peringkat terendah, yaitu SDN Purwoprajan I dengan jumlah nilai UAN sebesar 16,20 ; SDN Sudiroprajan dengan jumlah nilai UAN sebesar 15,39; SDN Mojo III dengan jumlah nilai UAN sebesar 14,48; SDN
Wiropaten III dengan jumlah nilai UAN sebesar 14,31 dan SDN Mojo III dengan jumlah nilai UAN sebesar 14,30. Kelima SD tersebut mempunyai rata-rata nilai
UAN yang sangat rendah yaitu dibawah 5.
Nilai UAN tersebut menjadi acuan untuk menentukkan sampel sekolah yang siswanya akan diteliti, karena prestasi nilai UAN tersebut tidak serta merta
yang dimulai dari tingkatan yang rendah dulu yaitu kelas 1 SD sampai dengan kelas 6 SD secara berurutan. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI
No.28 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Dasar yang menyebutkan bahwa ”Pendidikan SD di Indonesia umumnya ditempuh selama enam tahun dengan
urutan dari kelas satu sampai dengan kelas enam”. Apabila prestasi nilai UAN
siswa tinggi, maka prestasi belajar di tingkatan sebelumnya juga tinggi, namun apabila prestasi UAN siswa rendah, maka ada kemungkinan prestasi belajar
ditingkat sebelumnya juga rendah
Berdasar uraian di atas penulis merumuskan pertanyaan penelitian yaitu “Apakah ada hubungan antara pola asuh otoriter orang tua dengan prestasi belajar
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian mengungkapkan sasaran yang hendak dicapai dalam
penelitian. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui hubungan antara pola asuh otoriter orang tua dengan prestasi belajar anak kelas satu sekolah dasar.
2. Mengetahui tingkat prestasi belajar anak kelas satu sekolah dasar yang diasuh
dengan pola asuh otoriter.
3. Mengetahui sumbangan efektif pola asuh otoriter orang tua terhadap prestasi belajar anak kelas satu sekolah dasar.
C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. Bagi orangtua
Diharapkan dapat sebagai referensi bagi orangtua untuk tidak berpola asuh otoriter, sehingga mampu menjadikan anak mempunyai prestasi belajar yang optimal.
2. Bagi pihak sekolah
Diharapkan mampu membantu anak dalam meraih prestasi belajar yang
3. Bagi peneliti selanjutnya
Dapat dijadikan sebagai referensi untuk meningkatkan pengetahuan tentang
hubungan pola asuh otoriter orang tua dengan prestasi belajar anak kelas satu sekolah dasar, sehingga dalam penelitian selanjutnya dan yang berhubungan