• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN PEMBELAJARAN KONFLIK KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN PEMBELAJARAN KONFLIK KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMA."

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

Rizki Wahyu Yunian Putra, 2014

PENERAPAN PEMBELAJARAN KONFLIK KOGNITIF

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN

MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMA

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar

Magister Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh:

Rizki Wahyu Yunian Putra

NIM: 1201439

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

(2)

Rizki Wahyu Yunian Putra, 2014

PENERAPAN PEMBELAJARAN KONFLIK KOGNITIF

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN

MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMA

oleh

RizkiWahyuYunian Putra

S.Pd. Universitas Sultan AgengTirtayasa, 2011

SebuahTesis yang diajukanuntukmemenuhisebagiandari syaratuntukmemperolehgelar Magister Pendidikan (M.Pd.)

pada Program StudiPendidikanMatematika

© RizkiWahyuYunian Putra 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

Juni 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,

(3)

Rizki Wahyu Yunian Putra, 2014

LEMBAR PENGESAHAN

PENERAPAN PEMBELAJARAN KONFLIK KOGNITIF UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN

KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMA

Oleh:

RIZKI WAHYU YUNIAN PUTRA 1201439

Disetujui dan Disahkan oleh:

Pembimbing I,

Prof. Dr. Darhim, M.Si

Pembimbing II,

Turmudi, M.Ed., M.Sc., Ph.D.

Mengetahui:

Ketua Program Studi Pendidikan Matematika

(4)

Rizki Wahyu Yunian Putra, 2014

ABSTRAK

Rizki Wahyu Yunian Putra. (1201439). Penerapan Pembelajaran Konflik Kognitif Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematis Siswa SMA.

Kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis merupakan kompetensi yang harus dimiliki siswa, namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis masih belum memuaskan. Pembelajaran konflik kognitif diterapkan dengan harapan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa. Tujuan pada penelitian ini adalah untuk menelaah peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif dan pembelajaran biasa, mengkaji perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif dan siswa yang mendapat pembelajaran biasa bila ditinjau dari kategori pengetahuan awal matematika (tinggi dan rendah). Penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment atau eksperimen semu dengan desain kelompok kontrol non-ekuivalen. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada siswa kelas XIPA di salah satu SMA Swasta di Bandung. Soal-soal yang diberikan adalah soal-soal kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis pada materi trigonometri, uji coba tes kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis diuji secara teoritik oleh validator dengan gambaran bahwa soal tes dapat dipahami dengan baik dan secara empirik validitas dan reliabilitas memenuhi karakteristik untuk digunakan dalam penelitian, tingkat kesukaran dan daya pembeda soal sudah bisa membedakan siswa berkemampuan tinggi dan siswa berkemampuan rendah. Analisis data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan uji perbedaan rataan dan uji Anova dua jalur sedangkan analisis data kualitatif dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian ini adalah siswa yang pembelajarannya menerapkan pembelajaran konflik kognitif peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran biasa ditinjau secara keselurahan. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran biasa bila ditinjau dari kategori pengetahuan awal matematika siswa.

Kata kunci: Pembelajaran konflik kognitif, kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemampuan komunikasi matematis.

(5)

Rizki Wahyu Yunian Putra, 2014

ABSTRACT

Rizki Wahyu Yunian Putra. (1201439). Application of Cognitive Conflict Learning to Improve Mathematical Problem Solving and Communication Skills High School Students.

The mathematical problem solving and communication skills are competencies required of a student, but the reality shows that the mathematical problem solving and communication skills are still not satisfactory. Cognitive conflict learning applied with the hope to improve students’ mathematical problem solving and communication skills. The purpose of this study was to examine the increase in mathematical problem solving and communication skills of students who apply cognitive conflict learning and ordinary teaching, examines differences in the increase in mathematical problem solving and communication skills of students who apply cognitive conflict learning and students who received ordinary learning when viewed from the category of prior mathematics knowledge (high and low). This research is a quasi-experiment or quasi-experimental design with non-equivalent control group. Implementation of this research was conducted on science ten grade students in one private high school in Bandung. The instruments which used in this study are mathematical problem solving and communication test in trigonometry topic. After testing instruments and expert judgment, the instrument showed good quality to measure students’ mathematical problem solving and communication skills. Quantitative data analysis performed using the mean difference test and two way ANOVA test while the qualitative data analysis was done descriptively. The results of this study are students who apply the cognitive conflict learning, the improvement of mathematical problem solving and communication skills is significantly better than the students who learned using ordinary learning in terms of the total. There are differences in improvement between the mathematical problem solving between students who apply the cognitive conflict learning and ordinary learning in terms prior mathematics knowledge.

Key word: Cognitive conflict learning, Mathematical problem solving skills, mathematical communication skills.

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 12

C. Tujuan Penelitian... 12

D. Manfaat Penelitian... 13

BAB II KAJIAN TEORI A. Pembelajaran Konflik Kognitif…... 14

B. Kemampuan Komunikasi Matematis……... 18

C. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 20

D. Teori Belajar Yang Mendukung ………... 22

E. Pembelajaran Biasa ……... 24

E. Penelitian Relevan... 25

F. Hipotesis Penelitian... 25

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian... 27

B. Populasi dan Sampel Penelitian... ... 28

C. Variabel Penelitian…... 28

D. Definisi Operasional... 29

E. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya ... 30

1. Tes Pengetahuan Awal Matematika (PAM) …... 30

2. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematis …………... 31

3. Bahan Ajar ……… 40

4. Lembar Observasi ………... 41

F. Teknik Pengumpulan Data... 41

(7)

1. Analisis Data Kualitatif... 2. Analisis Data Kuantitatif…...

41 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian... 46

1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis (KPMM) …... 46

2. Kemampuan Komunikasi Matematis (KKM) …... 61

3. Hasil Observasi Aktivitas Siswa... 76

B. Pembahasan………... 77

1. Pembelajaran ………... 77

2. Pengetahuan Awal Matematika(PAM)... 81

3. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis (KPMM) …... 82

4. Kemampuan Komunikasi Matematis (KKM) …... 84

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan... 87

B. Implikasi... 88

C. Rekomendasi... 88

DAFTAR PUSTAKA... 90

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Matematika memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan. Banyak permasalahan dan kegiatan dalam hidup kita yang harus diselesaikan dengan menggunakan ilmu matematika seperti menghitung luas suatu daerah, menghitung kecepatan suatu kendaraan, dalam perdagangan digunakan juga perhitungan matematika serta masih banyak lainnya. Peran matematika dewasa ini semakin penting, karena banyaknya informasi yang disampaikan orang dalam bahasa matematika seperti, tabel, grafik, diagram, persamaan dan lain-lain.

Matematika sebagai ratu atau ibunya ilmu dimaksudkan bahwa matematika adalah sebagai sumber dari ilmu yang lain. Dengan perkataan lain, perkembangan matematika tak tergantung pada ilmu-ilmu lain. Banyak cabang matematika yang dulu biasa disebut matematika murni, dikembangkan oleh beberapa matematikawan yang mencintai dan belajar matematika hanya sebagai hobby tanpa memperdulikan fungsi dan manfaatnya untuk ilmu-ilmu lain. Dengan perkembangan teknologi, banyak cabang-cabang matematika murni yang ternyata kemudian hari bisa diterapkan dalam berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir. Banyak ilmu-ilmu yang penemuan dan pengembangannya bergantung dari matematika. Sebagai contoh, banyak teori-teori dan cabang-cabang dari Fisika dan Kimia (modern) yang ditemukan dan dikembangkan melalui konsep Kalkulus, khususnya tentang Persamaan Diferensial. Penemuan dan pengembangan Teori Mendel dalam Biologi melalui konsep Peluang, Karakteristik Matematika (probabilitas), Teori Ekonomi mengenai Permintaan dan Penawaran yang dikembangkan melalui konsep Fungsi dan Kalkulus.

(9)

melalui matematika akan mempermudah analisis dan evaluasi selanjutnya. Oleh karena itu, mata pelajaran matematika sangat perlu diajarkan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar.

Di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2013 tentang Standar Isi (Permendiknas, 2013) Secara umum mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik dapat:

1. memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan menggunakan konsep maupun algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.

2. menggunakan pola sebagai dugaan dalam penyelesaian masalah serta untuk membuat generalisasi berdasarkan fenomena atau data yang ada, serta melakukan penalaran berdasarkan sifat-sifat matematika, menganalisis komponen dan melakukan manipulasi matematika dalam penyederhanaan masalah.

3. mengkomunikasikan gagasan dan penalaran matematika serta mampu menyusun bukti matematika dengan menggunakan kalimat lengkap, simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 4. memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,

membangun model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh termasuk dalam rangka memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari (dunia nyata).

5. memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

(10)

Sedangkan, secara khusus, tujuan mata pelajaran peminatan matematika adalah:

1. Memahami fakta matematika atau fenomena yang berkaitan dengan matematika berdasarkan pengetahuan faktual, konseptual, atau prosedural yang dimiliki.

2. Menerapkan konsep, prinsip, atau kaidah/sistem aksioma dalam matematika dalam konteks kehidupan.

3. Menganalisis dan mengevaluasi gejala, fenomena/fakta, dan/atau data dengan menggunakan konsep, prinsip, atau kaidah/sistem aksioma matematika. 4. Mengevaluasi pemikiran dirinya terhadap gejala, fenomena/fakta, konsep,

prinsip, atau kaidah atau sistem aksioma dalam matematika.

5. Menyajikan ide/gagasan, atau hasil analisis dan/atau penyelidikan dalam matematika.

6. Memecahkan masalah dengan menggunakan kaidah-kaidah sesuai dengan metode ilmiah serta mengolah dan menganalisis beberapa alternatif solusi masalah sederhana untuk membuat keputusan.

7. Merencanakan dan melaksanakan percobaan/pengamatan/ penyelidikan dalam matematika, serta mencipta ide/gagasan, prosedur, dan/atau produk dalam matematika

Dari uraian di atas, aspek kemampuan pemecahan masalah matematis dan komunikasi matematis merupakan dua kompetensi yang harus dimiliki siswa. Namun kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis dan komunikasi matematis siswa masih belum memuaskan bahkan bisa dikatakan lemah.

(11)

Tidak jauh berbeda dari hasil survey TIMMS , laporan hasil studi Programme For International Student Assesment (PISA) pada tahun 2003 melaporkan bahwa kemampuan literasi matematis siswa Indonesia di ajang PISA berada pada peringkat ke – 38 dari 39 negara yang ikut serta dalam studi tersebut. Pada tahun 2006 peringkat Indonesia berada pada peringkat ke – 51 dari 57 negara. Laporan PISA 2009 juga cenderung sama dengan tahun 2003 dan 2006 yang memperlihatkan bahwa peringkat Indonesia berada pada peringkat ke – 60 dari 64 negara. Kemampuan literasi matematis siswa Indonesia di ajang PISA berada di kelompok bawah dari seluruh Negara peserta. Literasi matematis diartikan sebagai kemampuan siswa dalam analisis, penalaran, dan komunkasi secara efektif pada saat menampilkan, memecahkan dan merepresentsikan masalah-masalah matematis (Prabawanto, 2013:4).

Dari soa-soal yang disajikan pada TIMMS dan PISA, kemampuan matematis siswa yang banyak diungkap adalah kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa. Dapat dikatakan bahwa rendahnya kemampuan matematis siswa Indonesia banyak terletak pada aspek kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis.

Selain itu, Pemecahan Masalah dan komunikasi matematis merupakan bagian penting dalam belajar matematika. Pentingnya pemecahan masalah dan komunikasi matematis itu terlihat dari keduanya dimasukkan sebagai standar proses dalam Curriculum and Evaluation Standars for School Mathematics (CEESM), maupun dalam Principles and Standars for School Mathematics (PSSM). Dalam CESSM, pemecahan masalah dan komunikasi matematis secara berturut-berturut ditempatkan dalam urutan pertama dan kedua standar proses, sedangkan dalam PSSM ditempatkan dalam urutan pertama dan ketiga (Prabawanto, 2013:2).

(12)

mendominasi proses aktivitas kelas sedangkan siswa pasif, selain itu latihan-latihan soal yang yang diberikan lebih banyak soal-soal yang bersifat rutin, sehingga kurang melatih daya nalar dan kemampuan berfikir siswa hanya berada di tinggkat bawah.

Kondisi di sekolah-sekolah, sebagian besar siswa tampak mengkuti dengan baik setiap penjelasan dari guru, siswa sangat jarang mengajuan pertanyaan pada guru sehingga guru asyik sendiri menjelaskan apa yang telah disampaikan oleh guru (Wahyudin, 1999). Hasil studi Sumarmo (1993) terhadap siswa SMU, SLTP dan guru Kodya Bandung menemukan antara lain pembelajaran matematika pada umumnya kurang melibatkan aktifitas siswa secara optimal sehingga siswa kurang aktif dalam belajar.

Aktivitas pembelajaran lebih banyak dikuasai oleh guru dibanding interaksi guru dan siswa, bisa dikatakan pembelajaran cenderung berpusat pada guru (teacher-centered). Guru aktif mengajar sementara siswa pasif mendengarkan dan menyalin, sesekali guru bertanya dan sesekali siswa menjawab, guru memberi contoh soal dilanjutkan dengan latihan yang sifatnya rutin dan kurang melatih kemampuan berfikir tinggkat tinggi, lalu guru memberikan penilaian. Pembelajaran yang dilaksanakan kurang bermakna dan kurang melibatkan siswa, akibatnya pemahaman siswa pada konsep-konsep matematis rendah dan siswa cenderung menghafalkan konsep dan prosedur saja.

Pembelajaran yang berpusat pada guru tidak menempatkan siswa sebagai subjek didik yang menemukan pengetahuanya, melainkan sebagai objek yang harus disuapi pengetahuan, pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Darhim (2004). Menurut Herman (2006), pembelajaran seperti ini tidak mengakomodasi pengembangan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah, penalaran, koneksi dan komunikasi matematis. Suryadi (2005) menyatakan bahwa sebagian besar pembelajaran matematika belum berfokus pada pengembangan kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi matematis atau kemampuan berfikir logis.

(13)

dengan aktivitas dan proses pembelajaran di kelas, tampaknya butuh pembelajaran yang tepat untuk mengakomodasi peningkatan kompetensi siswa sehingga hasil belajar dapat lebih baik khususnya kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis.

Menurut Sumarmo (2000), untuk mendukung proses pembelajaran matematika, diperlukan perubahan pandangan, yaitu (1) dari pandangan kelas sebagai kumpulan individu ke arah kelas sebagai masyarakat belajar, (2) dari pandangan pencapaian jawaban yang benar saja ke arah logika dan peristiwa matematika sebagai verifikasi, (3) dari pandangan guru sebagai pengajar ke arah sebagai pendidik, motivator, fasilitator, dan menajemen belajar, (4) dari penekanan pada mengingat prosedur penyelesaian ke arah pemahaman dan penemuan kembali (reinvention), (5) dari memandang dan memperlakukan matematika sebagai kumpulan konsep dan prosedur yang terisolasi ke arah hubungan antar konsep, ide matematika, dan aplikasinya yang baik dalam matematika sendiri, bidang ilmu lainnya maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Herman (2006), ketika pemecahan masalah digunakan sebagai konteks dalam matematika, fokus kegiatan belajar sepenuhnya berada pada siswa yaitu berfikir menemukan solusi dari suatu masalah matematika dan otomatis mengaktivasi kegiatan mental dan motorik dalam suatu proses untuk memahami konsep dan prosedur matematika yang terkandung dalam masalah tersebut. Dalam hal seperti ini, masalah yang dihadapkan kepada siswa telah memicu terjadinya konflik kognitif. Dalam situasi konflik kognitif, siswa akan memanfaatkan kemampuan kognitifnya dalam upaya - upaya justifikasi, konfirmasi, atau verifikasi terhadap pengetahuan yang telah ada di dalam benaknya. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa untuk menyudahi konflik kognitif sepenuhnya merupakan tanggung jawab siswa sendiri. Dalam kegiatan belajar siswa berkesempatan berinteraksi dengan komunitasnya, dalam hal ini dengan sesama (siswa) dan guru sehingga Ia mendapatkan petunjuk.

(14)

dengan baik di otak) selalu berintegrasi dengan lingkungannya melalui asimilasi dan akomodasi. Jika asimilasi dan akomodasi terjadi dengan bebas dengan lingkungannya (bebas konflik), maka struktur kognitif dikatakan dalam keadaan ekuiblirium dengan lingkungannya, namun jika hal ini tidak terjadi pada seseorang, maka seseorang tersebut dikatakan pada keadaan yang tidak seimbang (disekuilibrium), lalu Dia akan mencari keseimbangan yang baru dengan lingkungannya dengan meminta bantuan dengan teman yang tidak terjadi disequblirium atau diberi scaffolding oleh guru. Disekuiblirium kognitif atau konflik kognitif perlu dikondisikan agar terjadi suatu equiblirium pada tingkat yang lebih tinggi daripada equiblirium sebelumnya khususnya untuk kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa.

Berdasarkan standar isi yang terdapat dalam Permen No. 22 Tahun 2006 tentang standar isi (Permendiknas, 2006: 346) menyatakan bahwa mata pelajaran matematika di SMA harus memenuhi aspek-aspek: logika, aljabar, geometri, trigonometri, kalkulus, statistika, dan peluang. Dalam pembahasan ini, penulis tertarik mengkaji aspek trigonometri yang berdasarkan informasi di lapangan banyak siswa yang menghindari materi trigonometri, walaupun materi tersebut tentang limit, turunan, integral dan lainnya namun ada kaitannya dengan trigonometri siswa pasti langsung mengeluh bahkan cenderung menghindari.

Berdasarkan pengalaman penulis di lapangan, miskonsepsi yang terjadi untuk materi perbandingan trigonometri, antara lain:

Kasus 1

(15)

Contoh:

Keterangan:

a: Sisi depan

b: Sisi Samping

c: Sisi Miring

Sehingga dalam perkenalan perbandingan trigonometri,

Istilah yang sering digunakan:

Sindemi (sinus depan miring), cosami (cosinus samping miring), tandesa (tangent

depan samping). Istilah-istilah tersebut yang sangat ditekankan dalam pembelajaran, bukan konsep awal yang seharusnya ditekankan, sehingga siswa cenderung menghafal. Akibatnya penulis masih sering menemui miskonsepsi

α

A C

(16)

siswa ketika menentukan perbandingan trigonometri seperti pada soal di bawah ini :

Untuk soal ini siswa sering melakukan kesalahan ketika menentukan mana yang menjadi sisi miring dan sisi samping dari sudut. Hal ini disebabkan karena siswa tidak tebiasa dengan gambar, letak dari sudut berbeda dari yang dijelaskan, dan simbol untuk sisi berbeda dengan contoh yang diberikan.

Kasus 2

Untuk soal berikut siswa masih melakukan miskonsepsi akibat siswa tidak memahami konsep perbandingan trigonometri dengan kuat.

Tentukan . Dari gambar di atas.

Jawaban siswa yang miskonsepsi

(17)

Untuk soal ini pun menjadi kesulitan bagi siswa, selain siswa tidak terbiasa dengan gambar siswa pun kesulitan dalam menentukan panjang sisi segitiga yang dimaksud untuk menentukan perbandingan trigonometri.

Kekurangpahaman siswa mengenai konsep perbandingan trigonometri, mengakibatkan juga kesulitan siswa untuk mempelajari materi-materi trigonometri selanjutnya.

Kasus 3

Contohnya saja untuk memahami pembuktian perbandingan trigonometri pada koorditan kartesius (sudut-sudut pada kuadran 1, kuadran 2, kuadran 3, dan kuadran 4). Jika siswa masih tidak memahami atau memahami konsep perbandingan trigonometri yang kurang tepat, maka siswa pun akan kesulitan memahami materi pembuktian perbandingan trigonometri pada koorditan kartesius.

Dalam pembelajaran untuk memudahkan pemahaman siswa dalam materi ini, biasanya guru menggunakan istilah kuadran I (semua positif (+)), kuadran II (sinus positif (+)), Kuadran III (tangent (+)), dan kuadran IV (cosinus (+)) dan disingkat untuk mempermudah dalam mengingat, semua sindikat bertangan

kosong. Jika digambarkan.

Teknik ini baik digunakan apabila siswa telah menguasai konsep yang benar. Namun jika guru langsung memperkenalkan istilah ini tanpa memberikan pemahaman konsep yang sesungguhnya pada siswa mengenai materi ini, maka masalah akan muncul ketika siswa menghadapi soal.

Salah satu contohnya.

x y

Kuadran I Semua (+) Kuadran II

Sinus (+)

Kuadran IIITangen(+)

Kuadran IV

(18)

Jawaban siswa

seharusnya

Miskonsepsi ini terjadi karena siswa hanya memahami konsep dengan menghafal istilah. Siswa menganggap jika berada dikudran I sehingga semua tetap positif, tanpa merubah apapun. Jika siswa memahami konsep dengan benar maka miskonsepsi seperti ini tidak akan terjadi.

Berdasarkan uraian singkat di atas, penulis mencoba mengidentifikasi penyebab munculnya miskonsepsi pada materi perbandingan trigonometri yang terjadi.

a. Konsep siswa terhadap materi prasyarat untuk mempelajari perbandingan trigonometri masih lemah, contohnya untuk materi segitiga dan Teorema Pythagoras.

b. Dalam menggambar segitiga siku-siku, guru terlalu monoton, sehingga siswa kesulitan jika segitiga siku-siku dibuat berbeda. Selain itu siswa kurang mempunyai pengalaman belajar mengenai berbagai bentuk segitiga siku-siku. c. Siswa terlalu terpaku dengan simbol, letak sudut, dan segitiga siku-siku yang

dicontohkan dalam pembelajaran, sehingga jika siswa menemui soal yang sedikit berlainan simbol, letak sudut, dam segitiga siku-siku, maka siswa akan mengalami masalah dalam menentukan perbandingan trigonometri.

d. Terpatok pada istilah yang diberikan sehingga melupakan konsep.

(19)

jelas, serta minat dan motivasi siswa untuk mempelajari materi matematika masih rendah.

Diharapkan dengan pembelajaran konflik kogintif siswa dapat mencapai keseimbangan kognitif yang lebih tinggi sehingga sehingga kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa akan lebih baik khususnya materi trigonometri yang selama ini masih menjadi sesuatu yang sangat sulit bagi siswa. Untuk itu penulis akan melakukan penelitian yang berjudul “Penerapan Pembelajaran Konflik Kognitif Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan

Masalah dan Komunikasi Matematis Siswa SMA”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran biasa?

2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif dengan siswa yang mendapat pembelajaran biasa bila ditinjau dari kategori pengetahuan awal matematika (tinggi dan rendah)?

3. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran biasa?

4. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif dengan siswa yang mendapat pembelajaran biasa bila ditinjau dari kategori pengetahuan awal matematika (tinggi dan rendah)?

C. Tujuan Penelitian

(20)

1. Menelaah peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif dan siswa yang mendapat pembelajaran biasa.

2. Mengkaji perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif dengan siswa yang mendapat pembelajaran biasa bila ditinjau dari kategori pengetahuan awal matematika.

3. Menelaah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif dan siswa yang mendapat pembelajaran biasa.

4. Mengkaji perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi masalah matematis siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif dengan siswa yang mendapat pembelajaran biasa bila ditinjau dari kategori pengetahuan awal matematika.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut:

1. Untuk menjawab keingintahuan peneliti tentang pengaruh pembelajaran konflik kognitif terhadap kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis siswa.

2. Memberikan informasi tentang pengaruh pembelajaran konflik kognitif terhadap kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis siswa. 3. Jika ternyata pengaruhnya signifikan, maka pembelajaran konflik kognitif ini

dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif atau pilihan yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika.

(21)

Rizki Wahyu Yunian Putra, 2014

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment atau eksperimen semu yang terdiri dari dua kelompok penelitian yaitu kelas eksperimen (kelas perlakuan), kelas ini merupakan kelompok siswa yang pembelajarannya menerapkan pembelajaran konflik kognitif dan kelompok kontrol (kelas pembanding) adalah kelompok siswa yang pembelajarannya tidak menerapkan pembelajaran konflik kognitif (biasa). Pertimbangan penggunaan desain penelitian ini adalah bahwa kelas yang ada sudah terbentuk sebelumnya, dan pembentukan kelas baru akan menyebabkan kekacauan jadwal pelajaran serta mengganggu efektivitas pembelajaran di sekolah. Sehingga tidak dilakukan lagi pengelompokkan secara acak.

Dengan demikian untuk mengetahui adanya perbedaan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa terhadap pembelajaran matematika dilakukan penelitian dengan desain kelompok kontrol non-ekuivalen (Ruseffendi, 2005: 52) berikut:

Kelas Eksperimen : O X O

Kelas Kontrol : O O

Keterangan:

O : Pre-test atau Post-test kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi X : Pembelajaran konflik kognitif

: Subjek tidak dikelompokkan secara acak

(22)

B. Populasi dan Sampel Penelitian

Penelitian ini dilakukan di salah satu Sekolah Menengah Atas Swata di Bandung. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X IPA salah satu Sekolah Menengah Atas Swata di Bandung semester genap pada tahun ajaran 2013/2014.

Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2008). Tujuan dilakukan pengambilan sampel dengan teknik ini adalah agar penelitian dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien terutama dalam hal pengawasan, kondisi subyek penelitian, waktu penelitian yang ditetapkan, kondisi tempat penelitian serta prosedur perijinan. Berdasarkan teknik tersebut diperoleh kelas X IPA-B sebagai kelas eksperimen (kelas yang memperoleh pembelajaran konflik kognitif) dan kelas X IPA-A sebagai kelas kontrol (kelas yang memperoleh pembelajaran biasa) dengan penimbang Wakil Kepala Sekolah dan guru.

C. Variabel Penelitian

Variabel penelitian merupakan suatu kondisi yang dimanipulasi, dikendalikan atau diobservasi oleh peneliti. Penelitian ini mengkaji tentang implementasi pembelajaran matematika di kelas X IPA SMA dengan pembelajaran konflik kognitif untuk melihat pengaruhnya terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematiks. Penelitian ini juga membandingkan perlakuan antara pembelajaran konflik kognitif dan pembelajaran biasa.

Variabel kontrol yang juga menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah kategori pengetahuan awal matematis (PAM) siswa yaitu kategori tinggi dan rendah. Kelompok PAM siswa adalah tingkat kedudukan siswa yang didasarkan pada hasil skor dari tes PAM dalam satu kelas dan pertimbangan guru matematika pengampu.

(23)

masalah dan komunikasi matematis siswa serta variabel kontrol yaitu kategori pengetahuan awal matematis siswa (tinggi dan rendah).

D. Definisi Operasional

Untuk memperoleh kesamaan pandangan dan menghindari penafsiran yang berbeda terhadap istilah-istilah atau variabel yang digunakan, berikut ini akan dijelaskan pengertian dari istilah atau variabel-variabel tersebut.

1. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa menggunakan konsep trigonometri yang dipelajarinya untuk memecahkan masalah matematika dan berbagai masalah yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dengan indikator mengidentifikasi kecukupan unsur dari suatu masalah, menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika dan menyelesaikan masalah matematika serta dalam konteks lain.

2. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah komunikasi tertulis yang diukur dengan soal tes hasil belajar di mana siswa dapat mengomunikasikan masalah ke dalam ide matematika dengan indikator menyatakan suatu situasi ke dalam bentuk bahasa dan simbol matematik, menjelaskan ide atau situasi dari suatu gambar yang diberikan dalam bentuk tulisan, dan menyatakan suatu situasi dengan gambar.

3. Pembelajaran konflik kognitif dalam penelitian ini adalah pembelajaran berdasarkan konflik kognitif yaitu pada awal pembelajaran siswa dihadapkan dengan masalah yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari yang di dalamnya terdapat gagasan, fakta, situasi, keganjilan sehingga berpotensi menimbulkan konflik dalam struktur kognitif siswa, selanjutnya siswa berusaha sendiri menyudahi konflik kognitif yang dialaminya, selanjutnya siswa berinteraksi dengan guru atau teman yang pada akhirnya siswa dapat menerima pengetahuan baru itu.

(24)

dengan ceramah untuk menjelaskan konsep/materi pada bahan ajar dan menjelaskan prosedur penyelesaian soal-soal latihan.

E. Instrumen Penelitian dan Pengembangannya

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, digunakan dua jenis instrumen, yaitu tes dan non tes. Instrumen dalam bentuk tes terdiri dari seperangkat soal tes untuk mengukur pengetahuan awal matematis siswa, kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis. Sedangkan instrumen dalam bentuk non tes yaitu lembar observasi selama kegiatan pembelajaran berlangsung, wawancara dan bahan ajar. Berikut ini merupakan uraian dari masing-masing instrumen yang digunakan.

1. Tes Pengetahuan Awal Matematis (PAM)

Pengetahuan awal matematika siswa adalah pengetahuan yang dimiliki siswa sebelum pembelajaran berlangsung. Pemberian tes pengetahuan awal matematis siswa bertujuan untuk mengetahui pengetahuan siswa sebelum pembelajaran dan untuk memperoleh kesetaraan rata-rata kelompok eksperimen dan kontrol. Selain itu tes PAM juga digunakan untuk penempatan siswa berdasarkan pengetahuan awal matematisnya.

Pengetahuan awal matematika siswa diukur melalui seperangkat soal tes dengan materi yang sudah dipelajari sebelumnya, yaitu materi SMP. Tes ini berupa soal pilihan ganda dengan empat pilihan jawaban terdiri dari 12 butir soal.

Berdasarkan skor pengetahuan awal matematika yang diperoleh dan atas pertimbangan guru matematika, siswa dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu siswa kelompok tinggi dan siswa kelompok rendah. Tabel 3.1 berikut menyajikan banyaknya siswa yang berada pada kelompok tinggi dan rendah pada masing-masing kelas eksperimen dan kontrol.

Tabel 3.1

Banyaknya Siswa Berdasarkan Kategori PAM

Kelompok Pembelajaran Total Konflik Kognitif Biasa

Tinggi 17 16 33

Rendah 15 15 30

(25)

Sebelum soal digunakan, seperangkat soal tes pengetahuan awal matematis terlebih dahulu divalidasi isi dan muka. Uji validasi isi dan muka dilakukan oleh 3 orang penimbang yang berlatar belakang pendidikan matematika yang dianggap mampu dan punya pengalaman mengajar dalam bidang pendidikan matematika. Untuk mengukur validitas isi, pertimbangan didasarkan pada kesesuaian soal dengan aspek-aspek pengetahuan awal matematis dan dengan materi matematika SMP. Sedangkan untuk mengukur validitas muka, pertimbangan didasarkan pada kejelasan soal tes dari segi bahasa dan redaksi.

Selain itu juga, perangkat soal tes PAM ini terlebih dahulu diujicobakan secara terbatas kepada lima orang siswa di luar sampel penelitian. Tujuan dari uji coba ini adalah untuk mengetahui tingkat keterbacaan bahasa dan memperoleh gambaran apakah butir-butir soal dapat dipahami oleh siswa. berdasarkan hasil uji coba terbatas, ternyata diperoleh gambaran bahwa semua soal tes dipahami dengan baik. Kisi-kisi soal dan perangkat soal tes PAM selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran A.

2. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematis

Tes kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis disusun dalam bentuk uraian. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Frankel dan Wallen (Suryadi, 2005) yang menyatakan bahwa tes berbentuk uraian sangat cocok untuk mengukur higher level learning outcomes.

(26)

pemecahan masalah dan komunikasi terhadap kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa.

Tes kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi dibuat untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa kelas X IPA mengenai materi yang sudah dipelajarinya. Adapun rincian indikator kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi yang akan diukur adalah sebagai berikut.

Tabel 3.2

Deskripsi Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematis

Variabel Indikator

Pemecahan Masalah Mengidentifikasi kecukupan unsur dari suatu masalah Menyelesaikan masalah matematika maupun dalam konteks lain

Menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika

Komunikasi Menjelaskan ide atau situasi dari suatu gambar yang diberikan dalam bentuk tulisan

Menyatakan suatu situasi dengan gambar

Menyatakan suatu situasi dalam bentuk bahasa dan symbol matematik

Untuk memperoleh data kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis, dilakukan penskoran menggunakan skor rubrik yang dimodifikasi dari Machmud (2011), disajikan pada Tabel 3.3 dan Tabel 3.4

Tabel 3.3

Rubrik Penskoran Kemampuan Komunikasi Matematis

No soal

Indikator yang Dinilai

Respon Terhadap Soal/Masalah Skor Komulatif

Menggunakan bahasa matematika (istilah, symbol, tanda dan atau representasi) secara sangat efektif/akurat dan lengkap untuk mengilustrasikan ide atau situasi dari suatu gambar yang diberikan kemudian dapat menyelesaikan masalah/soal tersebut.

4-5

Menggunakan bahasa matematika (istilah, symbol, tanda dan atau representasi) secara efektif, cukup akurat dan cukup lengkap untuk mengilustrasikan ide atau situasi dari suatu gambar yang diberikan kemudian

(27)

dapat menyelesaikan masalah/soal tersebut.

Ada upaya menggunakan bahasa matematika (istilah, symbol, tanda dan atau representasi) untuk mengilustrasikan ide atau situasi dari suatu gambar yang diberikan namun masih keliru.

1

Tidak ada respon atau jawaban kosong 0

4

Menyatakan suatu situasi dengan gambar

Mengilustrasikan gambar dari suatu ide atau situasi yang diberikan kemudian dapat menyelesaikan masalah/soal tersebut secara sangat efektif/akurat dan lengkap.

4-5

Mengilustrasikan gambar dari suatu ide atau situasi yang diberikan kemudian dapat menyelesaikan masalah/soal tersebut secara cukup efektif/akurat dan lengkap.

2-3

Ada upaya Mengilustrasikan gambar dari suatu ide atau situasi yang diberikan namun masih keliru.

1

Tidak ada respon atau jawaban kosong 0

5

Menggunakan bahasa matematika (istilah, symbol, tanda dan atau representasi) secara sangat efektif/akurat dan lengkap untuk mengilustrasikan ide atau situasi dari suatu masalah dan gambar yang diberikan kemudian dapat menyelesaikan masalah/soal tersebut.

4-5

Menggunakan bahasa matematika (istilah, symbol, tanda dan atau representasi) secara efektif, cukup akurat dan cukup lengkap untuk mengilustrasikan ide atau situasi dari suatu masalah dan gambar yang diberikan kemudian dapat menyelesaikan masalah/soal tersebut.

2-3

Ada upaya menggunakan bahasa matematika (istilah, symbol, tanda dan atau representasi) untuk mengilustrasikan ide atau situasi dari suatu masalah dan gambar yang diberikan namun masih keliru.

1

(28)

Tabel 3.4

Rubrik Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

No soal

(29)

Keterangan :

 Bila tidak ada respon atau jawaban kosong setiap indikator yang dinilai diberi skor = 0.

 Untuk perhitungan setiap indikator yang dinilai :

o Skor = 2 bila semua benar,

o Skor =1 bia terdapat beberapa yang salah o Skor = 0 bila semua salah

Sebelum tes kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis digunakan dilakukan uji coba dengan tujuan untuk mengetahui apakah soal tersebut sudah memenuhi persyaratan validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda. Soal tes kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis ini diujicobakan pada siswa kelas XII IPA SMA tempat penelitian yang telah menerima materi trigonometri. Tahapan yang dilakukan pada uji coba tes kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis sebagai berikut:

a. Analisis Validitas Tes

Menurut Arikunto (2006: 168), validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkatan kevalidan atau kesahihan sesuatu instrumen. Validitas instrumen diketahui dari hasil pemikiran dan hasil pengamatan. dari hasil tersebut akan diperoleh validitas teoritik dan validitas empirik.

1) Validitas Teoritik

Validitas teoritik untuk sebuah instrumen evaluasi menunjuk pada kondisi bagi sebuah instrumen yang memenuhi persyaratan valid berdasarkan teori dan aturan yang ada. Pertimbangan terhadap soal tes kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi yang berkenaan dengan validitas isi dan validitas muka diberikan oleh ahli.

(30)

Validitas muka dilakukan dengan melihat tampilan dari soal itu yaitu keabsahan susunan kalimat atau kata-kata dalam soal sehingga jelas pengertiannya dan tidak salah tafsir. Jadi suatu instrumen dikatakan memiliki validitas muka yang baik apabila instrumen tersebut mudah dipahami maksudnya sehingga testi tidak mengalami kesulitan ketika menjawab soal.

Sebelum tes tersebut digunakan, terlebih dahulu dilakukan validitas muka dan validitas isi instrumen oleh para ahli yang berkompeten. Uji coba validitas isi dan validitas muka untuk soal tes kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis dilakukan oleh 5 orang penimbang. Untuk mengukur validitas isi, pertimbangan didasarkan pada kesesuaian soal dengan kriteria aspek-aspek pengetahuan awal matematika siswa dan kesesuaian soal dengan materi ajar matematika SMA kelas X IPA, dan sesuai dengan tingkat kesulitan siswa kelas tersebut. Untuk mengukur validitas muka, pertimbangan didasarkan pada kejelasan soal tes dari segi bahasa dan redaksi.

Adapun hasil pertimbangan mengenai validitas isi dan validitas muka dari kelima orang ahli dapat dilihat pada Lampiran B. Setelah instrumen dinyatakan sudah memenuhi validitas isi dan validitas muka, kemudian secara terbatas diujicobakan kepada lima orang siswa di luar sampel penelitian yang telah menerima materi yang diteskan. Tujuan dari uji coba terbatas ini adalah untuk mengetahui tingkat keterbacaan bahasa sekaligus memperoleh gambaran apakah butir-butir soal tersebut dapat dipahami dengan baik oleh siswa. Hasil uji coba terbatas, ternyata diperoleh gambaran bahwa semua soal tes dipahami dengan baik. Kisi-kisi soal, perangkat soal, dan kunci tes kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis tersebut, selengkapnya ada pada Lampiran A.

2) Validitas Empirik Butir Tes

(31)

Tabel 3.5

Klasifikasi Koefisian Validitas

Koefisien Validitas Interpretasi

0,80 < rxy ≤ 1,00 Sangat tinggi 0,60 < rxy≤ 0,80 Tinggi 0,40 < rxy ≤ 0,60 Cukup 0,20 < rxy≤ 0,40 Rendah

rxy ≤ 0,00 Sangat rendah

Setelah instrumen dinyatakan memenuhi validitas isi dan validitas muka, kemudian soal tes kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis tersebut dujicobakan secara empiris kepada 31 orang siswa kelas XII IPA tempat penelitian. Data hasil uji coba soal tes serta validitas butir soal selengkapnya ada pada Lampiran B. Perhitungan validitas butir soal menggunakan software Anates V.4 For Windows. Untuk validitas butir soal digunakan korelasi product moment

dari Karl Pearson, yaitu korelasi setiap butir soal dengan skor total. Hasil validitas butir soal kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis disajikan pada Tabel 3.6 dan Tabel 3.7 berikut.

Tabel 3.6

Hasil Uji Validitas Butir Soal Kemampuan Pemecahan Masalah

No Urut No Soal Koefisien (rxy) Kategori

1 2 0,801 Sangat Tinggi

2 3 0,758 Tinggi

3 6 0,685 Tinggi

Tabel 3.7

Hasil Uji Validitas Butir Soal Kemampuan Pemecahan Masalah

No Urut No Soal Koefisien (rxy) Kategori

1 1 0,789 Tinggi

2 4 0,747 Tinggi

3 5 0,847 Sangat Tinggi

(32)

b. Analisis Reliabilitas

Reliabilitas adalah ketetapan suatu tes apabila diteskan kepada subyek yang sama (Arikunto, 2003: 90). Suatu alat evaluasi (tes dan nontes) disebut reliabel jika hasil evaluasi tersebut relatif tetap jika digunakan untuk subjek yang sama. Rumus yang digunakan untuk menghitung reliabilitas tes ini adalah rumus Alpha Cronbach (Arikunto, 2003: 109). Menurut Suherman (2001: 156) ketentuan

klasifikasi koefisien reliabilitas sebagai berikut: Tabel 3.8

Klasifikasi Koefisien Reliabilitas

Besarnya nilai r11 Interpretasi 0,80 < r11≤ 1,00 Sangat tinggi 0,60 < r11 ≤ 0,80 Tinggi 0,40 < r11≤ 0,60 Cukup 0,20 < r11 ≤ 0,40 Rendah

r11≤ 0,20 Sangat rendah

Untuk mengetahui instrumen yang digunakan reliabel atau tidak maka dilakukan pengujian reliabilitas dengan rumus alpha-croncbach dengan bantuan program Anates V.4 for Windows.

Hasil perhitungan selengkapnya ada pada Lampiran B. Berikut ini merupakan hasil ringkasan perhitungan reliabilitas.

Tabel 3.9 Reliabilitas Tes

Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematis

Kemampuan rhitung Kategori Pemecahan Masalah 0,61 Tinggi

Komunikasi 0,64 Tinggi

Hasil perhitungan reliabilitas berdasarkan Tabel 3.9 di atas menunjukkan bahwa soal kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis berada pada kategori tinggi, artinya soal memenuhi karakteristik yang memadai untuk digunakan dalam penelitian.

c. Analisis Tingkat Kesukaran

(33)

Tabel 3.10

Klasifikasi Tingkat Kesukaran

Kriteria Tingkat Kesukaran Klasifikasi

TK = 0,00 Soal Sangat Sukar 0,00  TK  0,3 Soal Sukar

0,3  TK ≤ 0,7 Soal Sedang

0,7  TK ≤ 1,00 Soal Mudah

TK = 1,00 Soal Sangat Mudah

Berikut ini merupakan hasil uji coba untuk tingkat kesukaran dengan menggunakan bantuan software Anates V.4 For Windows.

Tabel 3.11 Tingkat Kesukaran Tes

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

No Urut No Soal IK Interpretasi

1 2 0,425 Sedang

2 3 0,400 Sedang

3 6 0,163 Sukar

Tabel 3.12 Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

No Urut No Soal IK Interpretasi

1 1 0,450 Sedang

2 4 0,388 Sedang

3 5 0,650 Sedang

Dari hasil uji coba instrumen di atas diperoleh 1 soal dengan kriteria sukar, yaitu soal nomor 6 dan 5 soal dengan kriteria tingkat kesukaran sedang, yaitu soal nomor 1, 2, 3, 4, dan 5. Ini berarti sebagian siswa kelompok atas maupun bawah dapat menjawab benar butir-butir soal tersebut. Untuk perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran B.

d. Analisis Daya Pembeda

(34)

Tabel 3.13

Klasifikasi Koefisien Daya Pembeda Tes

Kriteria Daya Pembeda Interpretasi

DP ≤ 0,00 Sangat Jelek

0,00 < DP ≤ 0,20 Jelek 0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup 0,40 < DP ≤ 0,70 Baik 0,70 < DP ≤ 1,00 Sangat Baik

Untuk hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran B. Adapun hasil rangkuman yang diperoleh dari uji coba instrumen untuk daya pembeda dengan menggunakan software Anates V.4 For Windows dapat dilihat pada Tabel 3.14 dan Tabel 3.15 berikut.

Tabel 3.14

Berdasarkan Tabel di atas, didapat daya pembeda dengan klasifikasi cukup sebanyak 2 soal yaitu soal nomor 3 dan 6. Klasifikasi baik sebanyak 4 soal yaitu 1, 2, 4 dan 5. Hal tersebut menunjukkan bahwa soal-soal tersebut sudah bisa membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.

3. Bahan Ajar

(35)

diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa. Pokok bahasan dipilih berdasarkan alokasi waktu yang telah disusun oleh guru peneliti. Setiap pertemuan memuat satu pokok bahasan yang dilengkapi dengan lembar kerja kelompok. Lembar kerja kelompok memuat soal-soal latihan menyangkut materi-materi yang telah disampaikan.

4. Lembar Observasi

Lembar observasi dalam penelitian ini digunakan untuk mengamati dan menelaah setiap aktivitas siswa dalam pembelajaran. Lembar observasi ini terdiri dari item-item yang memuat aktivitas siswa yang diharapkan memunculkan sikap positif terhadap pembelajaran.

F. Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui tes pengetahuan awal matematika, tes kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis, dan lembar observasi. Data yang berkaitan dengan pengetahuan awal matematika dikumpulkan melalui tes sebelum pembelajaran pertama dimulai, untuk data kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa dikumpulkan melalui pre-test dan post-test, sedangkan data mengenai aktivitas siswa selama pembelajaran di kelas dikumpulkan melalui lembar observasi.

G. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data kuantitatif dan data kualitatif. Untuk itu pengolahan terhadap data yang telah dikumpulkan, dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.

1. Analisis data kualitatif

Data-data kualitatif diperoleh melalui observasi dan wawancara. Observasi berisikan aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung dan hasil wawancara diolah melalui laporan penulisan essay yang menyimpulkan kriteria, karakteristik serta proses yang terjadi dalam pembelajaran.

(36)

2. Analisis data kuantitatif

Data-data kuantitatif diperoleh dalam bentuk hasil uji instrumen dan data pretes dan postes. Data hasil uji instrumen diolah dengan software Anates versi 4.1 untuk memperoleh validitas, reliabilitas, daya pembeda serta derajat kesulitan soal. Sedangkan data hasil pretes dan postes diolah dengan SPSS 16 for Windows dan Microsoft Office Excel 2007. Untuk menentukan uji statistik yang akan digunakan, terlebih dahulu diuji normalitas data dan homogenitas varians. Sebelum uji tersebut dilakukan harus ditentukan terlebih dahulu rata-rata skor serta simpangan baku untuk setiap kelompok. Untuk lebih jelasnya, berikut ini disajikan tahapan yang peneliti lakukan dalam pengolahan data tes.

1) Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban dan pedoman penskoran yang digunakan.

2) Membuat tabel skor pre-test dan post-test siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol.

3) Menentukan skor peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis dengan rumus gain ternormalisasi Hake (1999) yaitu:

Dengan klasifikasi gain ternormalisasi Hake (1999) pada Tabel di bawah: Tabel 3.16

Klasifikasi Gain Ternormalisasi

Besarnya N-gain (g) Klasifikasi

g > 0,7 Tinggi

0,3 < g ≤ 0,7 Sedang

g ≤ 0,3 Rendah

4) Melakukan uji normalitas untuk mengetahui kenormalan data skor pre-test, post-test dan N-gain kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi

matematis menggunakan uji statistik Kolmogorov-Smirnov. Adapun rumusan hipotesisnya adalah:

(37)

Jika nilai Sig. (p-value) < α (α =0,05), maka H0 ditolak Jika nilai Sig. (p-value) ≥ α (α =0,05), maka H0 diterima.

5) Menguji homogenitas varians skor pre-test, post-test dan N-gain kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis menggunakan uji Levene. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah:

H0: Variansi skor pretes, postes, dan N-gain kedua kelas homogen Ha: Variansi skor pretes, postes, dan N-gain kedua kelas tidak homogen Dengan kriteria uji menurut Uyanto (2009) sebagai berikut:

Jika nilai Sig. (p-value) < α (α =0,05), maka H0 ditolak Jika nilai Sig. (p-value) ≥ α (α =0,05), maka H0 diterima.

6) Setelah data memenuhi syarat normal dan homogen, selanjutnya dilakukan uji kesamaan rataan skor pre-test, uji perbedaan rataan skor post-test dan N-gain, dilanjutkan dengan uji perbedaan rataan skor N-gain berdasarkan

(38)

Gambar 3.1

Alur Analisis Uji kesamaan Rataan Skor Pre-Test, Uji Perbedaan Rataan Skor Post-Test dan N-gain

a) Skor pretes kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis H0: Tidak terdapat perbedaan skor pre-test kemampuan pemecahan masalah atau komunikasi matematis siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif dengan siswa yang mendapat pembelajaran biasa.

Ha: Terdapat perbedaan skor pre-test kemampuan pemecahan masalah atau komunikasi matematis siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif dengan siswa yang mendapat pembelajaran biasa. b) Skor postes kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol

Statistik Inferensial Statistik Deskriptif

Pretes Postes

N-Gain

Pretes Postes

N-Gain

Uji Normalitas

Data berdistribusi

normal

Data tidak berdistribusi

normal

Uji Mann-Whitney U-test

Uji Homogenitas

Varians data homogen

Varians data tidak homogen

Uji t Uji t’

(39)

H0: Tidak terdapat perbedaan skor post-test kemampuan pemecahan masalah atau komunikasi matematis siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif dengan siswa yang mendapat pembelajaran biasa.

Ha: Terdapat perbedaan skor post-test kemampuan pemecahan masalah atau komunikasi matematis siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif dengan siswa yang mendapat pembelajaran biasa. c) Skor N-gain kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi

matematis

H0: Peningkatan kemampuan pemecahan masalah atau komunikasi matematis siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif sama dengan siswa yang mendapat pembelajaran biasa.

Ha: Peningkatan kemampuan pemecahan masalah atau komunikasi matematis siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran biasa.

d) Skor N-gain kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi berdasarkan kategori pengetahuan awal matematis siswa (tinggi dan rendah)

H0: Peningkatan kemampuan pemecahan masalah atau komunikasi matematis siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif sama dengan siswa yang mendapat pembelajaran biasa bila ditinjau dari PAM. Ha: Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah atau komunikasi matematis siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif dengan siswa yang mendapat pembelajaran biasa bila ditinjau dari PAM.

(40)

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

Berdasarkan rumusan masalah dan hasil penelitian serta pembahasan terhadap hasil-hasil penelitian sebagaimana yang diuraikan pada bab sebelumnya maka diperoleh kesimpulan, implikasi, dan rekomendasi dari hasil-hasil penelitian tersebut.

A. Kesimpulan

1. Siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif, peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematisnya secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran biasa.

2. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran biasa bila ditinjau dari kategori pengetahuan awal matematika siswa. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran biasa untuk kategori pengetahuan awal matematika tinggi, sedangkan kategori pengetahuan awal matematika siswa rendah tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematisnya.

3. Siswa yang menerapkan pembelajaran konflik kognitif, peningkatan kemampuan komunikasi matematisnya secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran biasa.

(41)

pengetahuan awal matematika siswa rendah tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematisnya.

B. Implikasi

Mengacu pada hasil-hasil penelitian sebagaimana yang diungkapkan di atas, maka implikasi dari hasil-hasil tersebut diuraikan berikut ini.

1. Penerapan pembelajaran konflik kognitif dapat dijadikan sebagai alternatif pembelajaran di jenjang SMA dalam upaya mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan kemampuan komunikasi matematis siswa.

2. Penerapan pembelajaran konflik kognitif direspons dengan baik oleh siswa, sehingga berpotensi untuk mengubah cara pandang siswa bahwa belajar matematika bukan hanya belajar tentang rumus tetapi belajar memahami matematika dari masalah yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. 3. Penerapan pembelajaran konflik kognitif dapat menciptakan suasana

pembelajaran lebih kondusif, meningkatkan aktivitas siswa serta pembelajaran berpusat pada siswa (student centered) sesuai dengan tuntutan kurikulum saat ini (Kurikulum 2013).

C. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan dan implikasi penelitian di atas, diajukan beberapa rekomendasi sebagai berikut.

1. Pembelajaran konflik kognitif dapat menjadi alternatif pembelajaran bagi guru SMA dalam pembelajaran matematika, namun harus diperhatikan pengetahuan awal matematikanya. Jika pengetahuan awal matematika masih rendah harus diberi tindakan agar dalam pembelajaran tidak terjadi hambatan yang menyebabkan hasil belajar siswa rendah.

(42)

kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi pada siswa kategori rendah, oleh karena itu pembelajaran konflik kognitif lebih cocok diterapkan pada siswa kategori PAM tinggi yang sangat menarik untuk dikaji lebih dalam.

3. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa masih berada dalam klasifikasi rendah disebabkan oleh faktor-faktor keadaan sekolah, suasana kelas dan faktor guru. Oleh karena itu faktor-faktor tersebut menarik untuk dikaji lebih dalam.

Gambar

Tabel 3.2
gambar yang diberikan kemudian dapat
Rubrik Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Tabel 3.4 Indikator yang Dinilai  Respon Terhadap Soal/Masalah Skor
Tabel 3.11
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui aktivitas hipoglikemik dan pengaruh ekstrak etanol daun Pterocarpus indicus Willd terhadap perbaikan sel hepar tikus putih

Kantor Pelayanan Pajak Pratama Binjai mempunyai tugas melaksanakan pelayanan, pengawasan administratif, dan pemeriksaan sederhana terhadap Wajib Pajak di bidang Pajak

279 Berdasarkan hasil penilaian pada indikator metode Role Playing kelompok 8 siklus 3 dapat memberikan gambaran bahwa dari 5 orang siswa anggota kelompok 8

Berdasarkan analisis tersebut dapat diartikan bahwa 70,2% Kualitas Audit ditentukan oleh faktor spesialisasi audit di bidang industri klie dan independensi auditor dan sisanya

[r]

Dengan berkonsultasi kepada dosen wali, mahasiswa memesan mata kuliah yang akan ditempuh pada semester berikutnya melalui form pemesanan mata kuliah dengan menggunakan

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat. dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan

[r]