• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIALOG AGAMA DALAM PANDANGAN ISMA IL RAJI AL-FARUQI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DIALOG AGAMA DALAM PANDANGAN ISMA IL RAJI AL-FARUQI"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Sangkot Sirait*

Abstrak

Tulisan ini bertujuan mengkaji pemikiran al-Faruqi untuk menciptakan sebuah dialog tidak lebih dari idealismenya untuk menciptakan sebuah komunitas umat beragama yang bisa saling memahami dan hidup berdampingan secara damai. Kesuksesan sebuah dialog agama bisa dicapai atas dasar undang-undang agama itu sendiri dimana ia bertujuan untuk meningkatkan martabat kemanusiaan dalam hidupnya, oleh karena itu agama tidaklah hasil monopoli dari satu bangsa dan masyarakat

A. Pendahuluan

Dialog agama yang dilakukan secara baik semestinya mendapat sambutan dari seluruh komunitas agama yang tujuan utamanya adalah untuk menciptakan sebuah pemahaman dan keseimbangan hubungan di antara semua. Urgensi dialog agama, secara intern, telah dikembangkan oleh para sarjana Kristen pada pertengahan pertama abad XX. Ini sebenarnya merupakan koreksi ulang terhadap pendapat mereka yang berkembang selama ini, yaitu bahwa semua penganut agama lain dipandang sebagai orang-orang pagan dan tidak membedakan satu agama dengan agama lainnya, juga antara orang yang beragama maupun tidak. Sikap orang Kristen sering menunjukkan rasa permusuhan terhadap orang-orang yang juga mempunyai kitab suci, misalnya terhadap orang-orang Yahudi dan kaum Muslimin, atau para pengikut agama lain seperti Hindu dan Buddha, seolah-olah mereka bukanlah orang beragama. Kebiasaan ini akhirnya menimbulkan kebencian dari penganut agama lain. Di antara agama yang saling bermusuhan ini memang memiliki akar historis tersendiri. Dialog-dialog agama maupun berbagai konfrensi sudah sering dilakukan dan bertujuan untuk melahirkan sebuah pemahaman yang lebih baik,

* Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

(2)

khususnya, terhadap orang-orang Kristen maupun Yahudi sendiri. Belakangan ini, kaum Muslimin dan juga pengikut agama lain telah banyak terlibat dalam kegiatan ini. Isma’il Raji al-Faruqi seorang ahli di bidang filsafat agama menjadi salah seorang terkemuka di bidang dialog agama ini, dan menjadi juru bicara untuk mewakili Islam, bukan hanya untuk wilayah Amerika Utara, tapi hampir seluruh dunia. Dalam dialog-dialog ini, al-Faruqi telah memberikan sebuah hasil yang gemilang berkat kecerdasan dan kapasitasnya di bidang ini. Menurutnya, dialog bisa berjalan dengan sukses asalkan mereka dibawa masuk ke dalam prinsip-prinsip tertentu, seperti yang akan dipaparkan dibawah ini.

B. Maksud dan Tujuan

Dalam dialog, hal penting pertama yang harus dimiliki seseorang adalah ketulusan hati untuk sampai kepada tujuan. Ini penting sekali untuk sebuah hubungan dan saling memahami demi tujuan masa depan yang lebih baik. Al-Faruqi menyebutnya dengan sebutan ”usaha etik yang lebih tinggi”.1 Dalam bukunya, Christian

Ethics, al-Faruqi mengatakan: cabang pengetahuan ini, disamping sebagai sebuah kepentingan akademik, juga ia merupakan sebuah usaha praktis yang sangat mendesak. Hal itu adalah untuk membersihkan komunitas dunia dari prasangka-prasangka yang tidak baik dan kesalahpahaman di antara semua, kemudian mendirikan satu bentuk hubungan kemanusiaan yang penuh dengan pandangan positif terhadap masyarakat lain yang merupakan aspek paling penting dalam kehidupan.2

Sebuah dialog harus dilakukan dalam atmospir yang bebas dan penuh persahabatan. Pusat kajian harus lebih memprioritaskan hubungan daripada hanya sekedar mempromosikan kepentingan-kepentingan picik dari seorang pemeluk agama tertentu. Berbicara dalam sebuah konfrensi, ia mengatakan: saya juga mengharap bahwa saudara-saudara jangan menjadikan saya sebagai alat, atau nilai yang barangkali bisa sedikit menghasilkan sebuah taktik, strategi maupun

1 Isma’il Raji al-Faruqi. Christian Ethics (Montreal: MacGill Unicersity Press, 1970), p. 10.

(3)

missi. Saya di sini bukan untuk meningkat kan starategi missionari tapi untuk mengajak saudara melakukan dialog.3

C. Agama dan Kehidupan Manusia

Agama dapat dipandang sebagai hal yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Al-Faruqi begitu gencar mengkritik sikap para penganut fenomenologis Barat yang melihat agama hanya terbatas pada aspek “the holy” (suci) dan juga “sacred” (keramat) semata. Ia mengatakan bahwa setiap perbuatan manusia adalah suatu tindakan integral dari sebuah keagamaan yang begitu kompleks. Akan tetapi, agama sendiri bukanlah semata sebuah perbuatan aksi keimanan, atau pertemuan dengan Tuhan, melainkan sebuah dimensi, bahkan dimensi yang paling tinggi dari setiap perbuatan. Bagi agama, perbuatan mengandung kandung di dalamnya seluruh ketetapan dari dalam diri manusia, bahkan akibatnya dalam tingkatan ruang dan waktu. Demikianlah bentuk hubungan antara perbuatan dan implikasinya terhadap ruang dan waktu yang akhirnya akan menetapkan dan mendirikan sebuah dimensi keberagaman.4

Para penganut fenomenologi telah membatasi wilayah kekuasaan atau hak hukum agama pada tujuan tertentu saja. Mereka telah mencurahkan perhatian mereka hanya pada agama-agama kuno dan primitif dan tidak begitu melibatkan dirinya pada agama-agama dunia lainnya. Al-Faruqi mengkritik pendekatan mereka ini, dan mengatakan secara teoritis, fenomenologi agama telah dimasukkan ke dalam ruang lingkup sejarah agama-agama secara umum, tapi disiplin ini justru hanya identik dengan sejarah agama-agama Asia dan agama primitiv, dan di pihak lain, sebagai sejarah agama-agama kuno. Agama-agama besar dunia seperti Islam, Kristen, Jahudi justru banyak terabaikan. Barangkali, para ahli perbandingan agama menemukan bahwa agama-agama primitiv dan kuno lebih pantas dikaji tanpa harus

3 Al-Faruqi. “Islam and Chritianity: Problems and Perpecktive” dalam James P. Cotter. (ed) The World in The Third World (Washington-Clevelan: Corpus Books, 1986), p. 159.

4 Isma’il Raji al-Faruqi: “Islam and Christianity” Its Nature and Significance for Christian Education and The Muslim-Christian Dialogue” dalam

(4)

memikirkan akan munculnya berbagai reaksi kendatipun di dalamnya terdapat semacam eksploitasi terhadapnya, dan hal ini akan berbeda ketika mereka membahas agama-agama besar dunia lainnya. Al-Faruqi justru sebaliknya mengatakan bahwa diperlukan perhatian yang lebih intens terhadap agama-agama besar dunia lainnya untuk menghasilkan sebuah komunitas beragama penduduk dunia.5

D. Penghormatan Terhadap Agama Lain

Sikap saling menghormati antara masing-masing pemeluk agama merupakan hal yang urgen untuk menciptakan suasana yang yang ideal dalam dialog antara umat beragama. Al-Faruqi menyebut dirinya sebagai “kota komunitas agama dunia” juga memiliki respek yang serupa terhadap semua agama6 dan mengaharap semoga yang lain juga seperti itu. Ketika menulis karyanya yang berjudul Christian Etics

itu, dia berulangkali mengatakan bahwa yang demikian bukanlah bertujuan untuk merendahkan atau menekan agama Kristen, sebab dia sendiri bukanlah seorang yang bergabung atau percaya kepada agama ini. Al-Faruqi mengatakan menggunakan sebilah pisau untuk melukai badan doktrin-doktrin Kristen, ini sama saja dengan menyakiti atau melukai diri orang-orang Kristen. Sebab tubuh itu pada dasarnya serupa dengan warisan.7 Tuhan mengirim para nabiNya dimana saja dan tidak ada sekelompok manusiapun yang diciptakan tanpa kepada mereka diutus seorang Nabi.8 Dengan ungkapan lain, Al-Faruqi percaya bahwa setiap orang memiliki apa yang disebut sebagai Agama, dan agama itu adalah Islam. Oleh karena itu Al-Faruqi tidak senang untuk menyebut seseorang sebagai seorang pagan. Sebab yang disebut seorang pagan adalah mereka yang sama sekali tak percaya kepada transendensi Tuhan. Ia mengatakan seorang Yahudi atau Nasrani bisa disebut dengan pagan jika ia tak percaya kepada Tuhan. Tapi menyebutnya sebagai seorang pagan tidak berarti menolak secara total

5 Muzammil H. Siddiqui, “Ismail al-Faruqi’s Methodology in

Comparative Religion” dalam Islamic Horizon (Iniana Polis: The Ilamic Sociaty of North America, Agustus-September 1986), p. 81.

6 Al-Faruqi. Christian Etics, p. 3. 7 Ibid., p. 3.

(5)

keyakinan agamanya, berbagai usaha seharusnya dilakukan utuk membawanya kembali kepada agama yang benar dan memperbaikinya sebagai seorang anggota masyarakat yang integral.9

E. Pengakuan Terhadap Agama Lain

Agama merupakan sebuah anugerah terhadap manusia. Di balik anugerah agama yang bermacam-macam itu telah berdiri sebuah agama bawaan (innate) dimana Al-Faruqi menyebutnya sebagai agama

Primordial, Agama Murni, Yang Tunggal dan satu-satunya agama yang benar. Masing-masing orang memilikinya tanpa harus lewat sebuah proses akulturasi, indoktrinisasi atau paksaan yang membuatnya harus menerimanya. Oleh karena itu semua orang memiliki fakultas itu, sebuah indra keenam, sensus communis di mana karenanya seseorang dapat percaya kepada Tuhan.10

Islam mengingatkan kita terhadap din al-fitrah, atau agama naturalis yang dibawa sejak lahir, baik ia Muslim atau non-Muslim. Ini adalah sebuah paradigma yang lebih tepat daripada hanya menekankan aspek agama dalam perspektif historis. Akan tetapi pembedaan ini juga penting untuk tujuan sebuah sikap keberagamaan kritis dari masing-masing pemeluk agama. Secara keberagamaan, din al-fitrah ini menciptakan sebuah kondisi parmanen di dalam proses reformasi, dan akan melahirkan dinamisasi dalam konteks sejarah agama. Tuhan menekankan aspek transendensiNya, KetunggalanNya, KesucianNya dalam diri manusia sebelum munculnya tradisi agama-agama yang nampak kepermukaan. Dengan din al-ftrah inilah kemudian akan tercipta sebuah komunitas umat yang satu. atau dengan istilah al-Faruqi, sebagai persaudaran universal di bawah naungan Tuhan. Dia menyebut Muslim dan non-Muslim sebagai anggota keluarga dimana perbedaan agama itu hanya sebagai perbedaan domestik saja.11 Kapan saja, jika ia ditanya tentang berbedaan Islam dengan agama-agama lain

9 Al-Faruqi:”The Role of Islam:in Global inter Religious Defendence” dalam Warren Lewis Barrytown (ed), Towards a Global Congress of The World’s Religions

(New York: Unification Theological Seminary), p. 31. 10 Ibid., p. 31.

11 Isma’il Raji al-Faruqi. Islam and Other Faiths, dalam altaf Gauhar (ed),

(6)

seperti Hindu, Buddha, jawabannya adalah perbedaan itu disebabkan manusia telah memalsukan ajaran/wahyu yang asli yang dibawa para nabi dan menafsirkan sesuai dengan kemauannya. Ajaran-ajaran kitab Injil menjadi palsu demikian juga terjadi dalam agama Kristen.12

Islam menyebut din al-ftrah ini dengan sebutan Islam. Islam menunjukkan dirinya sebagai agama sempurna Dalam Islam, agama-agama yang bersifat kesejarahan seluruhnya merupakan pertumbuhan dari din al-fitrah itu, yang di dalamnya terkandung berbagai variasi dan tingkatan-tingkatan. Di sini dijelaskan bahwa perbedaan mereka dalam

din al-fitrah itu sebagai akumulasi, penafsiran dan tranformasi sejarah yang dikelilingi oleh faktor waktu, tempat, budaya, kepemimpinan dan kondisi-kondisi khusus yang lain. Hal inilah yang menyebabkan Nabi Muhammad mengatakan dalan hadisnya: “Semua manusia dilahirkan dalam keadaan Muslim (dalam pengertian Islam sebagai din al-fitrah), hanya kedua orang tuanyalah yang menyebabkan dia menjadi seorang Yahudi atau menjadi seorang Nasrani".13 Al-Faruqi mengatakan bahwa kata hunafa (hanif) adalah kelompok manusia yang disebutkan oleh Alqur’an. Kelompok ini menurutnya adalah orang-orang yang tidak pernah mendengar wahyu Muhammad, tapi mereka tetap dalam din al-fitrah itu sementara yang lain telah menjadi orang-orang musyrikun dan mensekutukan Tuhan. Orang-orang hanif adalah orang-orang yang terpelihara dan sebagai ahli surga, dan serupa dengan orang-orang yang diakhir hidupnya memeluk Islam, bahkan hak mereka semua sama dalam ganjaran Tuhan.14

F. Tradisi Keberagamaan Umum.

Kata hunafa atau orang-orang yang percaya kepada transendensi dan keesaan Tuhan dalam pengertian real adalah terbatas pada wilayah Arab Peninsula termasuk wilayah yang disebut dengan

Crescent (wilayah bulan sabit). Menurutnya, ada lima aspek yang

12 Al-Faruqi: “On The Nature of Islamic Da’wah” dalam International

Review of Mission, vol. LXV. no. 260, October, 1976, p. 385. 13 Ibid., p. 94.

(7)

ditetapkan untuk menciptakan sebuah kesatuan tradisi keagamaan dalam lingkungan yang serupa. Prinsip-prinsip itu adalah:

1. Realitas eksistensi Tuhan, berbeda secara mutlak dengan ciptaanNya, dan ini tidak sama dengan sifat-sifat bangsa Mesir kuno, orang-orang Indian dan Cina dalam melihat Tuhannya. 2. Tujuan dari penciptaan manusia adalah bukan semata penyatuan

diri dengan Tuhan atau untuk kesenangan hidup, akan tetapi mengujudkan kehendak Tuhan di bumi ini. sebagai unit ciptaanNya sendiri.

3. Hubungan antara Pencipta dengan ciptaan-Nya, atau kehendak Tuhan, adalah isi dari wahyu dan itu terekspresikan dalam terma-terma hukum, keharusan dan perintah moral.

4. Manusia adalah pelayan dalam bumi Tuhan, dan ia harus mampu untuk melakukan sebuah transpormasi lewat aksinya terhadap apa yang diinginkan Tuhan.

5. Kewajiban manusia untuk melakukan perintah Tuhan harus merupakan sebuah ekpresi yang penuh dengan kebahagiaan dan kegembiraan, terutama ketika mengahadapi berbagai cobaan.15

Prinsip-prinsip ini membedakan antara orang-orang Arab dari lainnya di seluruh dunia. Semua ini merupakan dasar tempat bersatunya agama Yahudi, Nasrani dan Islam dan membuat mereka menjadi sebuah gerakan dalam sejarah kemanusiaan kendati mereka tidak sama. Al-Faruqi bahkan lebih jauh mengembangkan ide-ide ini dengan mengajukan konsep, sebagaimana dalam karyanya ‘Urubah and Religion, sebagai kelompok Arab stream of being. Dalam defenisinya mengenai ‘urubah, ia mengatakan bahwa ini bukanlah nasionalisme ‘Arab. Ini adalah merupakan esensi diri dari orang ‘Arab. Termasuk dalam kategori ini adalah seluruh orang yang berbahasa ‘Arab bahkan jutaan orang yang tidak berbahasa ‘Arab yang selama ia menunjukkan intensitas ke’arabannya. Di sini juga termasuk orang-orang yang non-‘Arab dan non-Muslim, tapi memandang dan menyadari bahwa nilai-nilai ke’araban sampai kepada mereka atas dasar usaha mereka sendiri,

15 Al-Faruqi: “The Role of Islam In Global Inter-Religious Defendence” dalam Ataullah Shidduqui (ed). Islam and Other Faiths, (Horndon USA: The

(8)

baik lewat literatur yang mereka baca, teman-teman mereka dan sebagainya. Hal ini universal dan jauh dari perbedaan warna kulit, ras dan lingkaran geograpis.16 Untuk menjustifikasi konsep Arabisme atau ‘Urubah-nya, ia melihat dari berbagai aspek:

1. Geografis.

Semua sejarah, sejak Akkadian sampai Islam telah terjadi di sebuah wilayah yang kecil yang dikenal dengan Semenanjung Arabia dan wilayah Bulan Sabit dan karena itu wilayah ini satu dan secara geograpis bersatu secara mutlak. Selalu ada hubungan terbuka dalam setiap pergerakan maupun migrasi antara kedua wilayah ini, sementara yang lain seperti orang-orang Persia, Yunani, Ethopia, dan Bezantium hanya sebagai sebuah ekspedisi semata yang bersifat temporal. Lebih jauh, Peninsula dan wilayah Bulan Sabit adalah terpisah dari wilayah lain oleh laut, padang pasir tandus, pegunungan yang menjulang tinggi. Tapi yang terpenting dari semua itu adalah wilayah ini merupakan pusat kebudayaan kuno, agama-agama, berbagai kebudayan yang tinggi seperti halnya Yahudi, Nasrani dan Islam dengan perbedaan yang tidak menyolok. Tapi masalahnya adalah mengapa Hammurabi, Ibrahim, Musa, Jesus dan Muhammad tidak datang ke wilayah lain dari dunia yang sangat luas ini, merupakan pertanyaan yang tak bisa dihilangkan begitu saja.

2. Ethnology

Dua ekspedisi besar dari Persia dan Ethopia telah meninggalkan bekas-bekas yang cukup berarti terhadap Peninsula dan demikian juga terhadap wilayah bulan sabit. Tapi imigrasi berikutnya terhadap wilayah Bulan Sabit dari Peninsula telah punya implikasi yang besar pula. Bukan hanya wilayah Bulan Sabit dibawah dominasi Peninsula dalam masa yang panjang tapi juga Peninsula telah menancapkan ajaran-ajaran spritual mereka terhadap Bulan Sabit dimana orang-orang Persia dan Yunani tidak mampu melakukan sebelumnya. Kemudian al-Faruqi melihat bahwa Peninsulalah yang

16 Al-Faruqi. Urubah and Religion: A Study of Fundamental Ideas of Arabism

(9)

memberi pengaruh terhadap dunia Bulan Sabit, dan menolak adanya tanda-tanda bahwa hal itu merupakan pengaruh Hellenisme Yunani. Sebenarnya Bulan Sabit telah berhasil mengalahkan dan membendung pengaruh Yunani. Tidak pernah ada perkembangan Hellenistik di sana, sementara di pihak lain, banyak ditemukan bekas kebudayaan Peninsula di wilayah Bulan Sabit seperti halnya juga Babilonia, Punisia, Assiria, Juda, Umayyah di Siria, Abbasiah di Irak, bahkan masih banyak lagi. Masing-masing bermuara dari Peninsula.

3. Bahasa

Bahasa adalah sesuatu yang dipandang sakral dalam tradisi ‘Arab. Bahasa merupakan refleksi kepercayaan ‘Arab dan merupakan bagian sistem kepercayaan mereka. Ia merupakan sarana utama dalam inspirasi dan persatuan ‘Arab. Bahasa memainkan peranan penting dalam pengembangan budaya mereka.

4. Ideologi

Al-Faruqi telah menemukan aspek ideologi sebagai latar belakang yang sekaligus sebagai legitimasi atas konsepsi ‘Arabnya. Unsur ideologis ini diidentifikasikannya sebagai kesadaran-transendent. Menurutnya, bangsa ‘Arab telah memiliki bentuk khusus terhadap kesadaran transendent ini, memang bangsa Yunani dan India juga telah punya aspek serupa, tapi hakikatnya berbeda sama sekali.17 Al-Faruqi menyebut kesadaran transendent ini sebagai ‘Arab bukan Semitis. Ia mengatakan bahwa ‘Arab bukanlah nama salah satu elemen keturunan satu diantara yang banyak, misalnya, agama Yahudi adalah orang-orang Yahudi sendiri, sebab ia adalah agama orang-orang Yahudi yang merupakan penduduk dari Judah. Tapi ia juga disebut ‘Arab, sebab secara geograpis, etnis, lingguistik dan ideologis, penduduk Judah termasuk dari unsur ‘Arab. Yahudi merupakan salah satu elemen di antara yang banyak, sama halnya dengan orang-orang Punisia, Kan’an, Ma’initis Kuno dan sebagainya. Yang jelas, semuanya mereka adalah

17 Lihat Muhammad Shafiq:”Trialog of The Abrahamic Faiths, Gudelines for Jewish, Christian and Muslim Dialog, Analisis of The Views of Isma’il Raji Al-Faruqi dalam Hamdard Islamicus, Vol. XV No. 1, Karachi.

(10)

‘Arab. Memang benar bila dikatakan bahwa semua bangsa ‘Arab adalah keturunan Semit. Ini adalah konsepsi Barat. Al-Faruqi mengatakan bahwa jika para sarjana Barat pada abad 19 menemukan sebuah konsep, yakni Semitic, yang berasal dari tradisi Yahudi dan menunjukan inklusifitasnya, kenapa para sarjana itu tidak juga menyampaikan konsep “Arab” yang ia lebih dari sebuah konsep bahkan mengkritiknya pada abad 20, padahal ia juga sebenarnya menunjukan sikap keterbukaannya.

Al-Faruqi membagi kesadaran ‘Arab atau ‘Arab stream ke dalam tiga periode:

1. Priode Yahudi: Ini dimulai dari masa 1750 SM. bersamaan dengan perpindahan Ibrahim AS.

2. Periode Kristen: yang dimulai dari era kelahiran Nabi ‘Isa

3. Periode Islam: yang dimulai masa Hijrah Nabi Muhammad SWA dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah.18

Al-Faruqi membagi periode Yahudi ke dalam 6 bagian: yaitu masa Patriarchal, Eksodus, Masa Daud, pra-pengasingan, masa-pengasingan dan post-masa-pengasingan. Menurutnya, dua hal yang selalu berlawanan, yaitu, partikularism dan Hanafism adalah yang dapat dilihat dari sejak munculnya, dan berlanjut pada masa sejarah Yahudi, dimana yang pertama dipandang sebagai varian dari bentuk orang-orang Yahudi dan nasionalisme kaum Yahudi, dan yang lain sebagai kelompok yang dihukumi para nabi sebagai kelompok nasionalisme dan dikatakan sebagai kelompok primordial, seperti kecenderungan mereka yang sering mendukung kelompok., demikianlah, hampir di seluruh priode Yahudi, kesadaran ‘Arab dilawan dalam sebuah peperangan yang sengit. Orang-orang yang menemukan, menyembah, dan beranggapan bahwa ada Tuhan yang Tunggal, juga mendapat perlawanan dari orang-orang Yahudi yang secara tetap menolak terhadap ajaran itu dan selalu membunuh nabi-nabi mereka. Al-Faruqi menolak klaim Yahudi yang mengatakan bahwa mereka sebagai pilihan Tuhan dan Tuhan tidak akan menghukum mereka kendatipun mereka melakukan dosa dan kesalahan.

(11)

Adapaun orang-orang yang selain Yahudi, mereka juga memiliki hubungan dengan Tuhan, oleh karena itu, mereka juga mendapat imbalan dari Tuhan terhadap apa yang mereka kerjakan. Ketika St. Paul dari Kristen menolak kekhususan kaum Yahudi dengan mengatakan:”tidak ada yang disebut Yahudi dan tidak Yunani, yang ada hanyalah Jesus Kristus” (Galatian, 3,:28-29), orang-orang Yahudi menjawabnya dengan kata-kata bahwa pilihan Tuhan sudah berakhir.”Spirit Tuhan yang Ia letakkan dalam mulut dan hati orang-orang Yahudi tidak akan hilang ... ia kekal” (Isaiah, 59: 21). Dalam karyanya Urubah and Religion, al-Faruqi telah mendiskusikan keyakinan orang-orang Yahudi ini dengan panjang lebar, dan pada akhirnya ia menyimpulkan bahwa pilihan-Nya terhada Ibrahim bukanlah hasil sebuah arbirase.

Perjanjian itu bukanlah hanya dengan orang-orang Yahudi saja, tapi dengan semua orang dari segala warna kulit, keturunan dan geograpi.19 Islam juga mengkritik konsep “Elohim” kaum Yahudi dalam berbagai bentuk yang mana mereka misalnya, sesudah Musa, mengadopsi konsep Yahweh yang melihat Tuhan sebagai lelaki, dipahami seperti manusia, seorang bapak bukan ibu dan sebagainya. Al-Faruqi menyebut kepercayaan ini sebagai “monolatry” ketimbang monoteisme, sebab baginya monoteisme murni bebas dari berbagai identifikasi. Tuhan yang sudah terlukiskan dalam pikiran atau terbayang dalam pikiran bukanlah Tuhan transendent yang ditemukan dalam kepercayaan ‘Arab.20

Jesus datang untuk melawan orang-orang Yahudi yang cenderung kepada etnosentrisme dan dalam waktu yang bersamaan memperbaiki konsep kesatuan Tuhan dengan mengajak umat Yahudi kembali kepada apa yang disebut dengan tradisi Hanif (Matius, 19: 17, Markus, 10: 18, Lukas, 18: 19). Al-Faruqi mengatakan hingga saat ini jika di antara kita membaca kitab Perjanjian Baru, kita dapat menemukan kutipan-kutipan langsung dari Jesus, akan tetapi dengan ungkapan yang berbeda antara satu kitab dengan lainnya, dan ini berakibat bahwa kitab

19 Ibid., p. 23.

20 Ibid., p. 40, dan juga dapat dilihat Al-Faruqi dalam bagian: “Devine Trancendence and Its Expression” dalam Islam and Other Faiths , (Horndon USA: The International Institue of Islamic Thought, 1982) p. 121.

(12)

yang memiliki keaslian sekalipun akhirnya berada dalam keraguan. Tapi harus diingat bahwa otoritas kewahyuan yang sama seharusnya tidak bisa diseragamkan begitu saja terhadap seluruh ayat-ayatnya.21

Transvaluasi nilai Jesus mulai pada masa St. Paul. Dia seorang Yahudi dan dibesarkan dilingkungan Yahudi Orthodok. Setelah perpindahannya ke dalam agama Kristen, dia menjalankan seluruh ajaran Kristen beserta orang-orang yang ada di sekeliling Jesus. St. Paul memilih ajaran Kristen yang lebih berorientasi Barat/Eropa. Apapun yang dilakukan St. Paul dahulu, namun sa’at ini, sejarah Kristen sudah berubah secara total.

Perbedaan antara St. Paul dan Kristen ‘Arab telah muncul selama masa hidupnya. Sejak hari kemunculannya, banyak penganut Kristen Palestina yang merasa keberatan terhadap pandangan baru yang berada disekeliling para mukallaf ‘Arab Palestina yang mengambil ajaran Jesus secara keseluruhan dan sebagai jalan lurus, mendalam, dan sebagai kebenaran Tuhan. Inilah yang membawa kepada adanya perbedaan antara Kristen Timur dan Kristen Barat, yang terjadi masa pertama kemunculannya hingga tahun 70 SM.

Menurut al-Faruqi, tiga hal pokok yang mempengaruhi perkembangan sejarah baru dunia Kristen, yaitu: Agama Yahudi, Hellenisme atau Gnostis dan konsep misteri agama-agama.

Jesus dilahirkan sebagai seorang Yahudi dan sama halnya dengan seluruh nabi yang lain, yaitu bahwa missi yang dibawanya adalah mengajak kembali setiap orang kepada mengesakan Tuhan. Tapi belakangan, para penginjil telah menggambarkan bahwa arti Jesus bertentangan dengan ajaran yang dibawanya, terutama mengenai Tuhan sendiri. Misalnya, kata barnash atau barAdam dalam bahasa Aramaik, yang dalam tradisi Yahudi dan bahasa Arab kata-kata ini tidak pernah diartikan lebih dari hanya sebagai orang terpelihara atau orang yang mulia. Namun dalam Injil John dan beberapa surat St. Paul kata ini diartikan sebagai “satu-satunya anak Tuhan”.22 Ungkapan yang berbunyi “Aku dan Bapaku satu” (John, 11:30) hanya ditemukan dalam

21 Ibid., p. 63.

22 Untuk data lebih lanjut dapat dilihat dalam Urubah and Religion, p. 77 dan juga “Devine Transendence and Its Pression” dalam Islam and Other Faiths.

(13)

Injil John dan menunjukkan sumber yang tidak jelas pula. Jika hal itu dipandang sebagai hal yang otentik, kemudian dipandang hanya sebagai kesatuan spritual bukan dalam pengertian fisik oleh orang yang mencintai Tuhan seharusnya ia mengatakan “Aku dan Engkau adalah satu”.

Keterangan lain yang ditemukan adalah misalnya bahwa Jesus ditolak oleh orang-orang Yahudi sebagai melanggar perintah Tuhan dan Jesus telah mengatakan bahwa tidak ada pertentangan antara dirinya dengan Tuhan. Kesalahpahaman yang lain juga ditemukan ada terma Kurie, O Kurios, Mar, Mari dan Maran yang secara sederhana berarti penguasa atau tuhan. Kata O Kurios itu dapat ditemukan satu kali dalam Injil Matheus dan Markus. Kata itu terulang lagi dalam Injil Lukas dan John.

Orang-orang Kristen meyakini bahwa Jesus dipandang sebagai Tuhan dari sejak kelahirannya dan kata Kurios dipakaikan untuknya oleh para muridnya. Menurut Al-Faruqi, sebetulnya tidak ada hal yang baru pada kata-kata itu. Semua masih berada dalam kategori sifat-sifat penduduk bangsa ‘Arab dan semua artinya telah dipahami oleh orang-orang Palestina dan Siria. Juga ungkapan kata, “mari kita ciptakan manusia sesuai dengan pikiran kita” adalah hasil pemikiran para sarjana seperti Augustinus, Tertullian dan masih banyak yang lain sebagai pembuktian tiga unsur diri dalam ketuhanan. Hal ini telah berbekas secara kuat dalam pemikiran banyak orang Kristen hingga saat ini, terutama oleh sarjana seperti Karl Barth.

Orang-orang Kristen berpegang teguh terhadap ajaran tuhan yang non-transendent yang sedikit banyak terpengaruh oleh Paul Tellich yang mengatakan bahwa transendensi Tuhan tidak bisa diketahui dan tidak dipahami tanpa Dia dikonkretisir lewat objek alam dan sejarah. Orang-orang ‘Arab tidak pernah memahami Tuhan seperti pemahaman di atas.

Menurut al-Faruqi pemikiran Barat tidak punya kemampuan untuk menangkap konsep antropomorphisme ‘Arab seperti konsep tubuh, bahasa, allegori dan penuh dengan puitis itu. Pemikiran ‘Arab tentang transendent telah hilang dalam tradisi Kristen sebab kebenaran transendent hanya dapat diekspresikan lewat ungkapan-ungkapan

(14)

puitis.23 Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apa yang melatar belakangi inspirasi mereka untuk mengatakn bahwa Jesus sebagai Tuhan, sebagai anak Tuhan atau trinitas itu.

Al-Faruqi mengatakan bahwa itu akibat dari tradisi orang-orang Yahudi mengenai terma-terma tertentu yang biasa mereka gunakan sehari-hari yang sebelumnya tidak terkait dengan terma-terma keagamaan. Adat istiadat Yahudi yang menggabungkan Tuhan transendent sebagai satu kelompok dari Tuhan kelompok lain, yang melakukan perkawinan dengan wanita-wanita, rasa kesukuan yang tinggi dan sebagai kelompok terpilih, sama sekali tidak berpengaruh terhadap pemikiran Kristen yang selalu berkembang kearah yang lebih berlawanan dengan konsep agama Yahudi yang sesungguhnya.24 Semua itu adalah disebabkan Gnostik dan adanya konsep agama misterius yang yang bercampur baur dengan terma-terma tradisi Yahudi.

Sebagai isi teologi Kristen, gnostisism merupakan kelengkapan dari konsep bahwa Tuhan secara keseluruhan merupakan spirit, sebagai Pencipta semua benda (alam) dari yang tidak ada (ex-nihilo) dan penciptaan terjadi lewat proses emanasi, dengan arahan dari apa yang disebut Logos, sabda, lewat sebuah proses spritual dan bersifat ketuhanan dan dipandang sebagai Tuhan. Pembukaan Injil John juga murni dengan paradigma gnostisisme dimana ia juga dilakukan pada konsili Nicea.25

Agama-agama misteri muncul pada keruntuhan Yunani dan agam-agama Mesopotamia yang sebelumnya banyak bercambur baur dengan agama Romawi kuno dan agama para penyembah matahari. Diantaranya juga sebagai pengaruh Mesir lewat sistem peribadatan Isis dan Osiris, penyatuan dari berbagai model upacara keagamaan mereka dan cara pandang mereka terhadap dunia. Sistem pemujaan kaum Osiris, Adonis, dan Mitras nampak sesuai untuk menjelaskan keaslian teologi Kristen. Upacara ini kebanyakan berbentuk sekramen, mengajak para jamaatnya untuk banyak merenungkan diri lewat ambil bagian

23 Al-Faruqi. Devine Transendence and Its Pression in Christianity and Islam, World Faiths, No.107.(London: Sring, 1979), p. 12-13.

24 Ibid., p. 9. 25 Ibid.

(15)

dalam upara kematian tuhan, menggunakan simbol-simbol dengan mengadakan persembahan korban seperti sapi dan kambing serta meminum darahnya atau diganti dengan sajian lain, seperti, juise soma, roti, susu, madu atau anggur.

Keterlibatan seseorang dalam upacara harus diliputi rasa kegembiraan dan ketenteraman hati, ibarat seorang petani yang panen lewat kerja keras, atau dengan seorang yang memperoleh hasil ternak (domba) yang berlimpah ruah di musim semi. Biasanya upacara keagamaan dimulai dengan upacara Baptis yang dipimpin oleh pedeta yang disebut “bapa”. Semua upacara pada dasarnya merupakan modifikasi dengan sedikit perubahan terhadap tradisi suku-suku di atas, dan pada masa Kristen (masa Jesus) hal ini ditolak sebagai sebuah sistem ritual, terutama dalam aspek pembersihan jiwa. Inilah, paling tidak, yang menyebabkan Tertullian mengatakan seolah iblis telah mengejek sakramen-sakramen Kristen.26

Dalam hubungannya dengan upara tersebut, al-Faruqi mengatakan bahwa pemikiran Kristen tetap tidak bisa keluar dari tradisi agama misteri. Inilah yang disebut oleh para sejarawan agama bahwa intisari kepercayaan Yahudi adalah sebuah figurasi yang bersifat historis, intisari Yunani adalah struktur keindahan alam yang selalu memberikan inspirasi terhadap lingkungan. Pada dasarnya inti keberagamaan hanyalah merupakan ekspresi seseorang terhadap agama yang penuh misteri itu, lewat sebuah upacara sakramen. Jadi transendensi Tuhan hanya pemikiran yang sulit diekspresikan kecuali dilakukan lewat sebuah kegitan yang bersandar pada benda-benda konkret.27

G. Dialog Agama dan Misi Kristen

Di satu sisi, hubungan Kristen dan Muslim sangat menyedihkan. Sebenarnya kaum Muslim memperlakukan penganut Kristen dengan baik. Mereka hidup penuh kooperatif, saling memahami bahkan dipandang sejajar. Gereja-gereja Abbasiah, Gereja

26 Ibid., p.11 27 Ibid., p. 15.

(16)

Koptik dan yang lain yang ada disekitar kaum Muslimin dapat hidup dengan wajar:

Al-Faruqi menulis: Kaum Muslimin dan Kristen hidup berdampingan, penuh toleransi, saling kerjasma terutama dalam membangun kebudayaan. Hubungan internal-agama kedua komunitas ini merupakan prestasi besar yang pernah diperlihatkan dimata dunia, yang jauh dari pertimbanagn-pertimbangan ras dan warna kulit.28

Al-Faruqi sangat menyesalkan prilaku Kristen Barat terhadap kaum Muslimin sebagaimana juga Islam. Disamping itu ia juga begitu heran melihat gerakan para missionaris Kristen Barat yang melukiskan ajaran Kristen sebagai hasil interpretasi mereka terhadap Jesus dan bukan ajaran Jesus sendiri, dan ini sekaligus sebagai problem yang sangat serius bila kita ingin melihat bagaimana hubungan Islam dan Kristen sa’at ini. Ia mengatakan: missionaris Kristen Barat ini, selalu menitipkan misi mereka dengan aturan main yang sudah ditetapkan oleh pemerintah kolonial, pedagang, militer, psikiater dan para pendidik. Dalam dua dekade terakhir, setelah negeri-negeri Muslim merdeka, Barat telah berhasil memperoleh prestasi dibidang pengetahuan. Keahlian di bidang peternakan, neorolgi, manegement industri dan berbagai kebutuhan yang memang diperlukan kaum Muslimin, khususnya didaerah yang masih terbelakang dijadikan sebagai sarana untuk Kristenisasi yang justru menimbulkan banyak kepahitan dalam hidup.29

Orang-orang Kristen yang berkunjung ke wilayah kaum Muslim, justru tak pernah membawa sesuatu apapun yang bisa meringankan beban mereka, yang bisa memenuhi harapan dan kebutuhan mereka. Missi Kristen yang ditemukan pada wilayah kaum Muslimin bukanlah misi yang pernah dibawa Jesus, tapi sebuah misi gambaran Barat terhadap Kristen yang selalu merasa dirinya lebih unggul dari yang lain, yang hampir tidak pernah tahan uji di lapangan. Untuk memulai dialog yang konstruktif, al-Faruqi meminta orang-orang Kristen untuk menghentikan kegiatan misinya di wilayah Islam.

28 Al-Faruqi:”Islam and Christianity: Problems and Perspective” dalam James P. Cotter, The World in the Third World. p. 179.

(17)

Dia menulis:. sejak kegiatan itu, banyak kaum Muslimin yang melakukan perpindahan agama dan kejadian ini menimbulkan perasaan yang menyakitkan terhadap kumunitas dunia dan justru itu dilakukan lewat beberapa penaklukan, kolonialisasi. Jadi sebaiknya hal itu diberhentikan saja, para missionaris harus ditarik kembali dan kekuatan Gereja Katholik dan perwakilan Gereja Dunia dilikuidasi saja.30

Al-Faruqi lebih banyak menggunakan istilah penganut agama Kristen, sebab yang demikian bukanlah Kristen sebagai sebuah agama. Melihat luka-luka lama, sebagai akibat orang-orang Kristen, al-Faruqi juga menyebutkan rasa keputusasaan rakyat Palestina sebagai sebuah hasil kerja orang-orang Kristen yang beraliansi dengan Zionisme. Ajaran Kristen yang sebenarnya adalah kebebasan dan kesamaan hak dan kewajiban. Dia meminta agar orang-orang Kristen berdiri untuk kepentingan masyarakat Palestina dan orang yang dikeluarkan dari padanya dan menolak bentuk kolonialisme baru lewat negara-negara bonekanya. Sampai sekarang catatan-catatan mengenai usaha missionaris sangat mengecewakan. Bukannya mengajarkan misi Jesus, justru sebaliknya mereka memasuki wilayah-wilayah miskin kaum Muslimin dengan membawa sekarung emas dan makanan sebagai sarana untuk membujuk dan merayu agar mereka masuk Kristen. Dia menyebut hasil misi Kristen lewat kegiatan ini sebagai “the rice Christian”, sebuah kenyatan menentang Tuhan.31

H. Dialog dan Orientalisme

Al-Faruqi juga mengkritik orientalisme sebagai karya orang-orang Barat (Kristen). Dia mengatakan para orientalis mempunyai tujuan ganda yaitu merusak pemahanan kaum Muslimin terhadap Islam, dan di sisi lain menghadapkan wajahnya kedalam pemikiran orang-orang Kristen. Untuk keberhasilan tujuan ini, mereka menggoyahkan integritas Alquran, sifat-sifat Nabi Muhammad, dan keaslian kitab-kitab hadis. Hal ini juga dikaitkan dengan para sahabat

30 Ibid., p. 165.

31 Al-Faruqi:”The MuslimChristian Dialog: A Constructioniat View” dalam Islam and Moder Age, Vol. VIII, No. 1 February 1977, p.14.

(18)

Nabi dengan motivasi yang lebih bersifat balas dendam, penaklukan dan motivasi kekuasaan. Mereka secara berlebihan menekankan aspek sufism dan faham kelompok dalam Islam. Kebudayaan Islam dipandang sebagai sebuah tiruan yang bersifat sinkretis negara Bizantium dan Persia, dan seni Islam dipandang sebagai sebuah karya yang tidak asli dan tidak lebih sebagai hasil pinjaman dari kebudayan pra-Islam.32 Pemahaman yang benar antara umat Islam dan umat Kristen dapat diujudkan bila orang-orang Kristen menghentikan aktivitas misinya di daerah-daerah Muslim dan bekerja sama dengan orang-orang Islam untuk meruntuhkan pengaruh orientalisme.33

Menghentikan misi bukan berarti menghentikan ajaran kebenaran Tuhan. Mengajarkan kebajikan dan mencegah dari kemungkaran adalan perintah Tuhan. Ini merupakan tugas agama-agama dunia dengan cara menggunakan bahasa yang baik. Tapi misi orang Kristen mengingkari prinsip itu. Oleh karena itu al-Faruqi mendesak dengan cara berdialog untuk menempatkan kembali posisi misi secara tepat. Ia mengatakan, istilah dialog merupakan salah satu dimensi nurani kemanusiaan, ia berada dalam wilayah pemikiran etis dan merupakan kepentingan pokok umat Islam dan Kristen secara bersama. Dialog adalah identik dengan pendidikan dalam persprektif yang lebih luas dan lebih terhormat. Ia merupakan sebuah cara yang ditempuh yang dengannya hakikat sesuatu dapat ditemukan. Akhir sebuah dialog harus merupakan sebuah pembicaraan tentang Kebenaran, bukan kepada Islam atau Kristen secara formal atau kepada agama-agama lain.

Menurut al-Faruqi, ada beberapa aturan yang ideal untuk melakukan sebuah dialog, yaitu:

1. Tidak ada pernyataan agama-agama yang bebas dari sebuah kritik. 2. Koherensi internal harus ada dan tidak ada komunikasi yang boleh

melanggar aturan-aturannya.

3. Perspektif historis harus dijelaskan dan tidak ada kumonikasi yang boleh melanggar hukum-hukum koherensi internal yaitu sejarah kemanusiaan.

32 Ibid., p. 15.

(19)

4. Adanya korrespondensi dengan fakta dan tidak ada komunikasi yang boleh melanggar hukum-hukum korrespondensi dengan fakta. itu.

5. Bebas dari bentuk-bentuk absolutisme skriptural dan yang terakhir, 6. Dialog yang dilakukan harus berada dalam wilayah yang

diperkirakan bisa melahirkan sebuah keberhasilan, yaitu pada wilayah atau isu-isu etis dan bukan semata-mata teologis.34

Dalam isu yang berkaitan dengan etis, ia menekankan untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan keaslian atau kesucian manusia, keimanan adalah sebagai sebuah kesadaran akan perintah Tuhan untuk mengujudkan kebajikan dan kebenaran dan ajaran-ajaran moral atau misi seseorang dalam dunia ini harus dilakukan, dan dengannya, ukuran kewajiban itu adalah seluruhnya berorientasi kepada nilai etis.35

Disini al-Faruqi menolak konsep Yahudi tentang kelompok yang “terpilih” dan konsep Kristen mengenai “penebusan” tanpa aktivitas tertentu. Dia juga memperlihatkan perhatiannya yang penuh terhadap masa depan dialog agama. Dengan nada yang agak pesimis, ia mengatakan sampai sejauh ini Konsili Vatikan II tidak pernah menyajikan isu-isu sebagai mana tersebut di atas. Usahanya yang paling besar hanyalah menyuarakan agar orang-orang Kristen memberhentikan untuk menyebut kelompok non-Kristianiti dengan sebutan yang jelek. Para sarjana Kristen seperti Paul Tillich, Trulch, Harnach, Rudolf Otto dan sebagainya belum melihat lebih jauh agama-agama non-Kristen kecuali tetap dalam perspektif kekeristenan mereka.

I. Sikap Islam terhadap Agama Lain

Islam adalah agama pertama yang bisa menerima prinsip-prinsip dialog sebagaimana disebutkan di atas. Islam adalah agama pertama yang membentuk kelahiran atas kritik Bibel dan reformasi ajaran Yahudi dan Kristen. Alquran dapat dipandang sebagai kitab suci pertama yang memunculkan adanya kritik teks. Bahkan disiplin ilmu

34 Ismail Raji al-Faruqi: “Islam and Christianity: Diatribe or Dialogue” dalam Jurnal of Ecumenical Studies, vol. V, No. ! 968, p. 45.

(20)

perbandingana agama adalah kontribusi Islam yang diinsprasi oleh Alquran sendiri. Ia bukanlah sebuah inovasi orang-orang Barat seperti yang banyak dipahami orang. Kontribusi Islam terhadap disiplin ilmu perbandingan agama sebagai sebuah kegiatan akademis, besar sekali.

Modus vivendi dimana Islam hidup berdampingan dengan berbagai agama seperti di Madinah, Damaskus, Cordoba, Baghdad, Cairo, Delhi, dan Istambul adalah berbagai kejadian yang harus dipelajari oleh agama-agama dunia lainnya.

Al-Faruqi menyebut negara Islam sebagai Pax-Islamica universal dalam Liga Bangsa-Bangsa. Islam melihat agama-agama dunia seluruhnya sebagai suatu yang harus dihormati dan dihargai. Ketika negara Islam pertama didirikan oleh Nabi Muhammad SAW, orang-orang Yahudi pandang sebagai bagian dari Ummat. Mereka dibimbing oleh kitab suci mereka sendiri, yaitu Kitab Taurat, dan otoritas politik mereka diberikan secara penuh atas bimbingan seorang pendeta yang dikenal juga dengan Resh Galut. Pada tahun 630 M. atau tahun ke8 H. orang-orang Kristen diperlakukan dan dipandang sebagai bagian dari umat oleh Nabi SAW. Kristen Najran satu suku di Arab pada suatu waktu datang ke Madinah untuk bernegosiasi dengan Nabi Muhammad SAW. Sesudah melakukan diskusi, beberapa diantara mereka masuk Islam. sementara yang lain memutuskan untuk tetap memeluk agama mereka sebagai penganut Kristen dan tinggal di wilayah Islam. Nabi Muhammad menerima mereka sebagai kelompok Ummat dan diperlakukan sama dan mempunyai kewajiban yang serupa dengan lainnya. Menurut al-Faruqi, bahkan penganut Zoroaster juga dimasukkan kedalam kelompok Ummat oleh Nabi dan ini berlangsung pada tahun yang disebut “tahun delegasi” yaitu 630-631M./8-9 H. Pada tahun 636 M./14 H. ketika Persia berada dibawah kekuasaan Islam, juga mereka diperlakukan sama sebagaimana umat Islam sendiri. Para penganut Hindu dan Buddha juga punya hak dan kewajiban yang serupa ketika mereka memasuki wilayah Muslim waktu itu. Negara Islam tidak pernah tertutup bagi penganut agama lain. Ia menjadi

(21)

sebuah federasi Ummat dari berbagai agama, budaya dan tradisi, hidup secara harmoni, dan penuh damai dengan lainnya.36

Terhadap keterlibatan Islam dalam hubungan antara agama dunia, Al-Faruqi menulis beberapa point sebagai berikut:

1. Pengalaman Islam untuk berhubungan dengan agama-agama dunia lainnya adalah cukup panjang, yaitu lebih dari 1400 tahun.

2. Terhadap agama-agama bangsa Arab/Semit, Islam telah membangun sebuah hubungan orisinal dengan meletakkan dasar-dasar kesamaan hak dan tanggung jawab.

3. Hubungan Islam dengan agama Yahudi dan Kristen dan diperluas kepada seluruh tradisi keagamaan lainnya adalah semua berlandaskan atas keyakinan mereka kepada Tuhan lewat apa yang disebut dengan religio-naturalis sebagai sesuatu bawaan setiap manusia.

4. Islam membentuk sebuah sistem keberagamaan yang bisa menjadi sebuah federasi komunitas agama-agama lainnya.

5. Lebih dari skeptisime, sekularisme, atau materialisme, Islam telah meletakkan dasar-dasar interaksinya atas dasar tanggung jawab atas komunitas lain dan sangat memperhatikan dan mengormati keyakinan mereka.

6. Islam tidak hanya sekedar dogma melainkan ia penuh dengan rasionalitas dan kritik terutama untuk meyakinkan mereka dengan penuh tanggung jawab atas keyakinan yang mereka anut.

7. Islam telah menciptakan sebuah lingkungan yang bisa melahirkan untuk saling memahami dan membutuhkan dan penuh dengan rasa cinta antara penganut seluruh agama.37

J. Penutup

Keinginan al-Faruqi untuk menciptakan sebuah dialog tidak lebih dari idealismenya untuk menciptkan sebuah komunitas umat beragama yang bisa saling memahami dan hidup berdampingan secara damai. Kesuksesan sebuah dialog agama bisa dicapai atas dasar

36 Al-Faruqi: “The Role of Islam: in Global Interreligious Dependence” dalam Islam and Other Faiths.. p. 128.

(22)

undang agama itu sendiri dimana ia bertujuan untuk meningkatkan martabat kemanusian dalam hidupnya, oleh karena itu agama tidaklah hasil monopoli dari satu bangsa dan masyarakat. Setiap individu sejak awal sudah beragama dan mampu untuk mengadakan penebusan. Agama kaum Yahudi, Kristen dan Islam lahir di wilayah Arab dan memilki banyak kesamaan. Dialog agama akan dapat berhasil dengan baik jika topik yang dibicarakan menyangkut masalah-masalah etika dan isu-isu sosial dan bukan teologi semata. Islam medorong supaya dilakukan dialog yang baik dan Alquran merupakan kitab suci pertama yang menyerukan untuk melakukan dialog. Islam mengakui agama-agama lain dan memberikan kedudukan yang istimewa kepada Yahudi dan Kristen, dan ini bukan sekedar penghormatan biasa akan tetapi memang semua dari Tuhan yang satu.

(23)

Daftar Pustaka

Barrytown, Warren Lewis (ed), Towards a Global Congress of The World’s Religions, New York: Unification Theological Seminary. tt. Faruqi, Isma’il Raji al. Urubah and Religion: A Study of Fundamental Ideas of

Arabism anf of Islam as Its Highest Momen of Consciousness,

Amsterdam:Djambatan, 1962.

---, “Islam and Christianity” Its Nature and Significance for Christian Education and The Muslim-Christian Dialogue” dalam Numen: International Review for the History of Religions, vol. XII, Fasc.

---, “On The Nature of Islamic Da’wah” dalam International Review of Mission, vol. LXV. no. 260, October, 1976.

---, ”The MuslimChristian Dialog: A Constructioniat View” dalam

Islam and Moder Age, Vol. VIII, No. 1 February 1977. ---, Christian Ethics, Montreal: MacGill Unicersity Press, 1970. ---, “Islam and Christianity: Diatribe or Dialogue” dalam Jurnal of

Ecumenical Studies, vol. V, No. ! 968.

Gauhar, Altaf (ed), The Challenge of Islam, London: Islamic Council of Europe, 1978.

James P. Cotter. (ed) The World in The Third World, Washington-Clevelan: Corpus Books, 1986.

Shafiq, Muhammad, ”Trialog of The Abrahamic Faiths, Guidelines for Jewish, Christian and Muslim Dialog, Analisis of The Views of Isma’il Raji Al-Faruqi” dalam Hamdard Islamicus, Vol. XV No. 1, Karachi.

Shiddiqui, Ataullah (ed). Islam and Other Faiths, Horndon USA: The International Institue of Islamic Thought, 1982.

Referensi

Dokumen terkait

Dana PUAP bisa dipergunakan untuk (1) membantu usaha kelompok afinitas dalam mengembangkan jenis usaha (diversifikasi), kapasitas usaha atau memperluas daerah

Perkembangan lain dalam hal trasmisi daya adalah mekanisme penggerak langsung (direct drive mechanism), dari sebelumnya menggunakan mekanisme reduksi putaran dengan roda gigi

Hasil pengolahan data menunjukan bahwa nilai R2 sebesar 59,2%, hal tersebut menggambarkan bahwa sumbangan kualitas pelayanan dan Word Of Mouth (WOM) terhadap keputusan

Dalam penyusunan laporan ini, penulis mengambil judul Pengembangan Fasilitas Wisata Air di Blahkiuh yang memiliki fungsi utama sebagai tempat rekreasi dan fungsi tambahan

kerja dan bimingan untuk berwirausaha mandiri. Selain itu juga berguna bagi peserta didik yang sedang menjalani proses belajar di LKP untuk memantapkan kemampuan,

Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia yang dikelola oleh masing- masing orang tua, maka celaka atau bahagianya anggota keluarga di latar belakangi

Tanaman kelapa juga termasuk tanaman tahunan yang jika harga naik, petani tidak bisa langsung menaikkan produksinya, harus ada pengembangan tanaman kelapa, yang