• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Resiprositas Dalam Interaksi Sosial Pendidikan Oleh: Sembodo Ardi Widodo * Kata kunci: resiprositas, hubungan sosial, pendidikan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Teori Resiprositas Dalam Interaksi Sosial Pendidikan Oleh: Sembodo Ardi Widodo * Kata kunci: resiprositas, hubungan sosial, pendidikan."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Sembodo Ardi Widodo Abstrak

Resiprositas sebagai suatu konsep sering dipakai dalam ilmu sosial, yaitu terkait dengan hubungan sosial, baik politik, ekonomi, maupun sosial-pendidikan. Namun demikian, sebagai suatu teori ilmiah, resiprositas berakar dari kajian filsafat dan sosiologi. Kant dan Hegel adalah dua filosuf besar yang menaruh perhatian pada masalah resiprositas sebagai sebuah bangunan teori. Hubungan resiprositas adalah hubungan timbal balik yang saling menghargai antara satu pelaku dengan pelaku lainnya. Hubungan ini didasarkan pada prinsip saling memahami, harmoni, kebebasan, saling menghargai, saling menguntungkan kedua belah pihak, dan keseimbangan.

Teori resiprositas kemudian dikembangkan oleh para sosiolog sebagai suatu model yang sesuai untuk menjelaskan fenomena hubungan sosial. Dalam pendidikan, teori ini dapat diimplemetasikan untuk menjelaskan hubungan sosial dalam pendidikan. Dalam konteks ini, dapat dilihat pentingnya penerapan hubungan resiprositas antara berbagai unsur yang terlibat dalam proses pendidikan di sekolah, seperti kepala sekolah, guru, pegawai, murid, wali murid, dan masyarakat. Penerapan hubungan resiprositas akan menciptakan hubungan sosial pendidikan yang dinamis, seimbang, dan harmonis, yang pada gilirannya akan mendukung terciptanya pendidikan yang sehat dan bermutu.

Kata kunci: resiprositas, hubungan sosial, pendidikan.

A.Pendahuluan

Resiprositas dalam konteks interaksi sosial sering dipakai sebagai model, asas, atau prinsip hubungan dan kerjasama dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, politik, dan bidang ekonomi. Model ini bisa dilakukan dalam hubungan antar individu, lembaga, atau antar negara. Dalam beberapa hal, mengingat pentingnya hubungan resiprokal dalam membangun hubungan yang harmonis, model hubungan ini dimasukkan dalam visi misi sebuah lembaga. Misalnya, Biro Perencanaan Dan Kerjasama Luar Negeri yang secara operasional sebagai unit pelaksana tugas di bawah Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang mengemban tugas membina kerjasama luar negeri beserta perencanaannya, mendasarkan program dan kegiatan kerjasamanya

(2)

dengan prinsip kesetaraan, saling menghormati, saling menghargai, saling menguntungkan, dan resiprositas.Hubungan ini dimaksudkan agar di satu sisi kewibawaan Depdiknas yang telah dibangun dapat dipelihara dan ditingkatkan, dan di sisi lain martabat bangsa Indonesia dapat tetap dijunjung tinggi.1

Dalam dimensi hubungan politik, dapat dilihat misalnya pidato Presiden RI tanggal 12 Pebruari 1992 pada pembukaan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Sana’a Yaman. Presiden menjelaskan bahwa dalam rangka peningkatan hubungan kerjasama dan persahabatan, serta untuk mewujudkan hubungan diplomatik yang berdasarkan asas resiprositas dan saling menghormati antara Negara Republik Indonesia dan Republik Yaman, dipandang perlu membuka Kedutaan Besar Republik Indonesia di Sana'a, Yaman.2 Dalam hubungan kedua negara ini, dapat dilihat resiprositas dijadikan sebagai asas hubungan.

GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) atau perjanjian umum tentang tarif-tarif dan perdagangan yang didirikan pada tahun 1948 di Genewa, Swiss, membuat kesepakatan hubungan perdagangan dalam tiga prinsip. Pertama, prinsip resiprositas, yaitu perlakuan yang diberikan suatu negara kepada negara lain sebagai mitra dagangnya harus diberikan juga oleh mitra dagang negara tersebut. Kedua, prinsip most favored nation, yaitu negara anggota GATT tidak boleh memberikan keistimewaan yang menguntungkan hanya pada satu atau sekelompok negara tertentu. Ketiga, prinsip transparansi, yaitu perlakuan dan kebijakan yang dilakukan suatu negara harus transparan agar diketahui oleh negara lain.3

Melihat berbagai fenomena hubungan sosial di atas, resiprositas sebagai salah satu bentuk hubungan sosial tampaknya banyak dikehendaki masyarakat dalam menciptakan hubungan yang harmonis, seimbang, dan berkeadilan. Terkait dengan hal ini, kajian tentang resiprositas dalam interaksi sosial ini akan difokuskan pembahasannya pada bidang

1 http://pkln.diknas.go.id/profil.php. Tugas ini dilaksanakan untuk memberikan

dukungan pengelolaan agar dicapai peningkatan kelancaran, efektivitas, dan efisiensi serta keberlangsungan pembinaan kerjasama antara Departemen Pendidikan Nasional dengan berbagai instansi atau lembaga, baik dalam negeri maupun luar negeri, dengan tujuan utama untuk mendukung pembangunan pendidikan nasional yang menjadi bagian dari pembangunan nasional.

2 www.unmit.org/legal/IndonesiaLaw/keppres/kp199212.htm.

3 http://id.wikipedia.org/wiki/GATT. Pada waktu didirikan, GATT

beranggotakan 23 negara, tetapi pada saat sidang terakhir di Marakesh pada 5 April 1994 jumlah negara penandatangan bertambah sebanyak 115 negara. Sesuai dengan perkembangannya, masing-masing negara anggota GATT menghendaki adanya perdagangan bebas. Pada pertemuan di Marakesh, Maroko 5 April 1994 GATT diubah menjadi World Trade Organization (WTO) mulai tanggal 1 Januari 1995.

(3)

pendidikan, yaitu bagaimana teori resiprositas diimplementasikan dalam hubungan sosial pendidikan di sekolah.

Sebagai sebuah kajian, akan dijelaskan sebelumnya tentang pendekataan keilmuan yang terkait dengan resiprositas, yaitu pendekatan sosiologis dalam kajian pendidikan dan kerangka filofofis pembentukan konsep resiprositas dalam wacana filsafat dan sosiologi.

B.Pendekatan Sosiologis dalam Kajian Pendidikan

Kajian tentang resiprositas sebagai sebuah teori dalam interaksi sosial pendidikan berkaitan erat dengan disiplin sosiologi. Ketika kacamata sosiologi ini diterapkan dalam kajian pendidikan, maka ia akan menjadi sebuah pendekatan. Kajian mengenai kedua hal ini (sosiologi pendidikan dan pendekatan sosiologis) perlu disinggung terlebih dahulu sebagai dasar berpijak keilmuan, walaupun nanti dalam sub pembahasan lain akan dipaparkan asal-usul teori resiprositas ini dalam kajian filsafat dan sosiologi.

Sosiologi pendidikan sebagai sebuah ilmu membicarakan hubungan-hubungan sosial-pendidikan dalam berbagai aspeknya, atau segala sesuatu dalam pendidikan yang dapat dikenakan analisis sosiologis. Hasil dari analisis sosiologis ini akan mengantarkan guru dan semua yang terlibat dalam proses pendidikan kepada pemahaman yang lebih mendalam tentang pendidikan.4 Memahami hubungan resiprokal dalam pendidikan akan mengantarkan para pelaku pendidikan kepada model hubungan yang harmonis dan berkeadilan, yang pada gilirannya akan meningkatkan kinerja guru dan mutu pendidikan sekolah.

Pendekatan sosiologis digunakan dalam rangka penerapkan prinsip-prinsip sosiologi pada lembaga pendidikan sebagai suatu unit sosial.5 Dalam konteks sosiologi, pendidikan adalah sebuah institusi sosial yang termanifestasikan dalam lembaga pendidikan di mana dalam lembaga tersebut terjadi interaksi antarindividu (murid, guru, pegawai, dan kepala sekolah), interaksi antarlembaga pendidikan, dan interaksi antara individu (anggota sekolah) atau lembaga pendidikan dengan masyarakat. Oleh karena itu, sosiologi pendidikan bertujuan untuk menganalisis proses sosialisasi, menganalisis kedudukan pendidikan dalam masyarakat, menganalisis interaksi sosial di sekolah dan antara sekolah dengan masyarakat, menjadi alat kemajuan dan perkembangan sosial, menjadi dasar dalam menentukan tujuan pendidikan, mewujudkan sosiologi

4 Lihat, Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), p. 4. 5 Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), p. 18.

(4)

terapan, dan melatih pelaku pendidikan.6 Dengan kata lain, sosiologi pendidikan adalah alat analisis ilmiah terhadap proses sosial dan pola-pola sosial yang terdapat dalam sistem pendidikan. Sosiologi memiliki teori, alat, dan teknik ilmiah untuk mempelajari pendidikan yang dapat memberikan sumbangan yang berharga kepada sistem dan praktik-praktik pendidikan dalam masyarakat. Dengan menganalisis interaksi orang-orang yang terlibat dalam pendidikan, diharapkan dapat diperoleh prinsip-prinsip dan generalisasi tentang hubungan yang ”ideal” dalam sistem dan proses pendidikan.7

Kontribusi yang diberikan sosiologi pendidikan bersifat strategis dalam menganalisis pendidikan, hubungan antarindividu dalam masyarakat dan juga struktur masyarakat di lingkungan persekolahan. Ada beberapa pokok-pokok permasalahan yang bisa didekati dan dianalisis dengan kacamata sosiologi, seperti hubungan sistem pendidikan dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat; hubungan antarindividu di dalam sekolah; pengaruh sekolah terhadap kelakuan kepribadian semua pihak di sekolah; dan juga sekolah dalam masyarakat.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan sistem pendidikan dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat dapat dikembangkan lagi dalam pokok-pokok kajian seperti: 1) fungsi pendidikan dalam kebudayaan, 2) hubungan antara sistem pendidikan dengan proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan, 3) fungsi sistem pendidikan dalam proses perubahan sosial dan kultural atau usaha mempertahankan status quo, 4) hubungan pendidikan dengan sistem tingkat atau status sosial, dan 5) fungsi sistem pendidikan formal bertalian dengan kelompok rasial, kultural dan sebagainya.8

Berkaitan dengan hubungan antarindividu di dalam sekolah, yang dianalisis adalah struktur sosial di dalam sekolah. Pola kebudayaan di dalam sekolah menunjukkan perbedaan dengan apa yang terdapat di dalam masyarakat di luar sekolah. Dalam hal ini, yang relevan untuk dianalisis adalah 1) hakikat kebudayaan sekolah sejauh ada perbedaan dengan kebudayaan di luar sekolah, dan 2) pola interaksi sosial atau struktur masyarakat sekolah, yang antara lain meliputi berbagai hubungan antara berbagai unsur di sekolah, kepemimpinan dan hubungan kekuasaan, stratifikasi sosial dan pola interaksi informal, serta interaksi kelompok-kelompok murid dalam keorganisasian.9

6 Lihat, Nasution, Sosiologi Pendidikan, pp. 2-4. 7 Lihat, Ibid., p. 5.

8 Lihat, Muhyi Batubara, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Ciputat Press, 2004), p. 47. 9Ibid., pp. 47-48.

(5)

Dimensi pengaruh sekolah terhadap kelakuan dan kepribadian semua pihak di sekolah menekankan analisisnya terhadap aspek proses pendidikan itu sendiri. Yang dianalisis bisa berkaitan dengan kepribadian dan kelakuan guru, murid, dan lain-lain atas pengaruh partisipasi dalam keseluruhan sistem pendidikan. Selain itu, perkembangan pribadi anak, juga kepribadian guru marupakan pokok penelitian. Dalam hal ini, ada beberapa pokok kajian yang bisa dikembangkan seperti: 1) peranan sosial guru, 2) hakikat kepribadian guru, 3) pengaruh kepribadian guru terhadap kelakuan anak, dan 4) fungsi sekolah dalam sosialisasi murid.

Sedangkan kajian menarik lain dalam sosiologi pendidikan dan menjadi topik aktual dan kontekstual saat ini adalah sekolah dalam masyarakat. Hal ini perlu dikaji mengingat masyarakat saat ini harus dilibatkan secara proaktif karena masyarakat memiliki kedudukan strategis sebagai salah satu komponen stakeholders pendidikan. Analisis bisa diterapkan terhadap pola-pola interaksi antara sekolah dengan kelompok-kelompok sosial lainnya dalam masyarakat di sekitar sekolah. Pokok-pokok kajian yang bisa dikembangkan misalnya: 1) pengaruh masyarakat atas organisasi sekolah, 2) analisis proses pendidikan yang terdapat dalam sistem-sistem sosial dalam masyarakat luar sekolah, 3) hubungan antara sekolah dan masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan, dan 4) faktor-faktor demografi dan ekologi dalam masyarakat berkaitan dengan organisasi sekolah, yang perlu untuk memahami sistem pendidikan dalam masyarakat serta integrasinya di dalam keseluruhan kehidupan masyarakat.10

Dalam era reformasi seperti sekarang ini, dimensi sosiologi pendidikan dalam meretas masalah-masalah pendidikan secara nasional menjadi semakin meluas dan melebar. Hal ini terjadi karena banyaknya faktor yang mendorong reformasi bergulir secara menyeluruh di berbagai sektor kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Munculnya berbagai masalah berdasarkan hasil telaah dan kajian mendalam, menunjukkan bahwa dimensi sosial dalam pendidikan masih terabaikan, sehingga secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kinerja pendidikan secara nasional.

Sementara itu, isu-isu baru yang dianggap dapat meningkatkan pendidikan secara nasional, dan juga dapat dijadikan bahan kajian sosiologis dalam pendidikan yang selama ini masih terabaikan, misalnya kajian tentang: 1) penerapan total quality management (TQM) dalam pendidikan, 2) kurikulum berbasis kompetensi (KBK), 3) manajemen berbasis sekolah (MBS), 4) otonomi pendidikan, 5) contextual teaching an

10Ibid., p. 49.

(6)

learning (CTL), 6) life skill, 7), ekonomi pendidikan, 8) pendidikan berbasis luas (broad based education (BBS), 9) pendidikan berbasis masyarakat, 10) biaya dan pendanaan pendidikan, 11) paradigma pendidikan baru, 12)

stakeholders pendidikan, 13) implementasi revisi UU SPN No. 2/1989, 14)

konversi IKIP sebagai LPTK menjadi universitas, konversi IAIN menjadi UIN, dan masalah sertifikasi guru dan dampak sosialnya.11

Paparan di atas menunjukkan bahwa lapangan kajian dalam sosiologi pendidikan sangat luas; dan apa yang dilakukan dalam tulisan ini hanyalah salah satu contoh kecil kajian sosiologi pendidikan dengan menggunakan teori resiprositas sebagai acuan telaahnya.

C. Teori Resiprositas dalam Filsafat dan Sosiologi

Resiprositas dalam konsepsi ini dimaksudkan untuk

menyumbangkan pikiran yang tidak hanya sebagai prinsip penjelasan, tetapi juga sebagai norma acuan. Resiprositas dalam format yang saya kembangkan ini akan terlihat sebagai kondisi untuk merealisasikan kebebasan secara maksimal. Konsep ini perlu dimunculkan karena dalam realitasnya studi mengenai interaksi sosial lebih banyak dicirikan oleh bentuk dominasi dan eksploitasi hubungan oleh pihak tertentu, di mana interaksi yang terjadi adalah non-resiprositas. Oleh karena itu, pembahasan tentang interaksi sosial ini akan mencakup dua aspek, resiprositas dan non-resiprositas. Resiprositas dipahami sebagai norma yang akan memberikan kritikan terhadap bentuk interaksi sosial yang non-resiprositas.

Selain itu, tulisan ini mengkonstruk suatu model interaksi dengan menghadirkan suatu eksposisi analisis dalam beberapa tahapan. Pertama, menjelaskan perkembangan teori resiprositas dalam wacana filsafat, khususnya menurut pandangan Kant dan Hegel. Selanjutnya tulisan ini membuat sketsa mengenai cara-cara bagaimana teori resiprositas ini dikembangkan dalam teori sosial, yaitu sebagai kategori analisis interaksi sosial, dan lebih khusus lagi nanti akan dijelaskan implementasinya dalam interaksi sosial pendidikan di sekolah.

1. Resiprositas dalam Wacana Filsafat

Dalam karyanya Critique of Pure Reason, Kant memperkenalkan resiprositas sebagai kategori ketiga dari relasi (dua yang lainnya adalah substansi dan kausalitas). Kant mendefinisikan resiprositas sebagai the ground for the possibility of our experience of the coexistence of independent entities as

part of a whole or totality. Berbeda dengan kategori kausalitas, Kant

mengemukakan bahwa dalam resiprositas, atau yang juga dia sebut sebagai

11Ibid., pp. 49-50.

(7)

komunitas, seseorang itu posisinya tidak subordinat, sebagai akibat dari orang lain, atau sebagai akibat dari eksistensi orang lain, tetapi secara simultan dan bergantian, merupakan koordinat dengannya.Lebih lanjut kant menjelaskan sebagai berikut:

“Each substance…must therefore contain in itself the causality of certain determinations in the other substance, and at the same time the effects of the causality of that other; that is, the substance must stand, immediately or mediately, in dynamical community, if their coexistence is to be known in any possible experience”.12

Bagi Kant, hubungan resiprokal individu dengan yang lainnya bersifat kausalistik. Masing-masing berdiri dalam hubungan sebab-akibat terhadap yang lainnya. Dalam hubungan seperti ini, semua dalam posisi yang sama. Hubungan resiprokal ini tidak berbeda dengan hubungan kausalitas dalam fenomena kealaman, yaitu menurut urutan sebab-akibat. Kant juga secara singkat menyebutkan hubungan resiprokal ini dalam karyanya, Critique of Practical Reason, yaitu dalam daftar kategori kebebasan. Di sini disebutkan bahwa hubungan resiprokal sebagai “the relation of one person to the condition of another”.13

Dalam konteks ini, resiprositas tidak berurusan dengan hubungan benda-benda sebagai penampakan, akan tetapi berkaitan dengan hubungan di antara agen-agen moral atau orang. Dalam domain ini, prinsip kausalitas dibedakan dengan apa yang dinyatakan oleh fenomena empirik. Kant mencirikan kausalitas sebagai latar yang menentukan kebebasan, yaitu agen intelligible being atau agen moralitas individu.14

Pemikiran filosofis lain tentang konsep resiprositas adalah apa yang digagas oleh Hegel. Dalam karyanya, The Science of Logic, Hegel melihat hubungan resiprokal itu melampaui kausalitas. Ia dipahami sebagai hubungan eksternal atau teknikal dari sebab-akibat. Hegel melihat resiprositas berada di atas pendapat Kant tentang kausalitas resiprokal, yaitu sebagai suatu hubungan antara dua substansi independen di mana yang satu menjadi penyebab perubahan bagi yang lainnya. Hegel juga melihat realitas resiprositas yang paling dalam sebagai hubungan sebab terhadap dirinya sendiri, yaitu sebagai self-relation substansi. Self relation ini

12 Lihat lebih lanjut, Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, Trans. J.M.D.

Miklejohn, (New York: Promotheus Books, 1990), pp. 212-259.

13 Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, Trans. L.W. Beck, (Indianapolis:

Bobbs-Merrill, 1956), p. 69.

14 Lihat, Carol C. Gould, “Beyond Causality in The Social Sciences: Reciprocity as

a Model of Non-Exploitative Sosial Relations”, dalam Robert S. Cohen, dan Marx W. Wartofsky (Ed.), Epistemology, Methodology, And The Social Sciences, (Hollan: D. Reidel Publishing Company, 1983), p. 66.

(8)

terjadi melalui mediasi aktivitas substansinya. Hegel menjelaskan:

“Reciprocity is, therefore, only causality itself; cause not only has an effect, but in the effect it stands, as cause, in relation to itself….In reciprocity… the transition into an other is a reflection into itself”.15

Dalam pandangan ini, resiprositas bagi Hegel sesungguhnya adalah

suatu hubungan refleksif internal. Pada akhirnya Hegel

menginterpretasikan resiprositas sebagai hubungan dari sebuah totalitas terhadap dirinya.

Ada satu karakteristik penting dari pandangan Hegel yang relevan dengan model yang akan dikembangkan dalam tulisan ini, walaupun semuanya tidak dapat diterima. Di antara pandanganya yang penulis kurang setuju adalah resiprositas dipandang sebagai hubungan internal bukan hubungan eksternal dari kausalitas resiprokal. Bagi penulis, interaksi sosial yang resiprokal harus dipahami sebagai hubungan internal dalam kacamata sebagai berikut; hubungan tersebut dikonstruk berdasarkan berbagi pemahaman dan kesepakatan yang bebas dari agen-agen yang terlibat di dalamnya. Dalam hubungan internal, setiap agen dirubah oleh perbuatannya dengan menghargai yang lainnya, bukan dirubah oleh perbuatan kausal seseorang atas yang lainnya. Jadi, dalam pandangan penulis, resiprositas adalah suatu hubungan intensional. Ia dikonstruk oleh pemahaman dan perbuatan agen-agen. Secara definitif, penulis katakan bahwa hubungan resiprokal adalah hubungan di mana setiap agen berbuat dengan menghargai yang lainnya atas dasar berbagi-bagi pemahaman dan kesepakatan yang bebas, serta perbuatan seseorang yang menghargai orang lain seimbang dengan perbuatan orang lain tersebut yang menghargainya. 2. Resiprositas dalam Wacana Sosiologi

Dalam kajian sosiologi, teori resiprositas termasuk suatu teori yang belakangan ini turut digunakan oleh para sosiolog dalam menganalisis hubungan sosial; Fredrik Barth adalah salah satu sosiolog yang mencoba menggunkan teori resiprositas dalam menganalisis interaksi sosial antara pemimpin dan pengikutnya. Dalam tulisannya tentang orang-orang Swat Pathan dijelaskan bahwa para khan (pemimpin masyarakat) bersaing dalam hal status dan kekuasaan. Mereka menghamburkan kekayaan dalam bentuk berbagai hadiah dan pemberian guna memperbanyak pengikut. Otoritas masing khan bersifat pribadi. Dengan otoritasnya masing-masing, mereka bergulat dalam mempengaruhi masyarakat untuk menjadi pengikut setianya. Di sisi lain, para pengikut mencari pemimpin yang menawarkan keuntungan paling besar dan jaminan keamanan yang paling

15 G.W.F. Hegel, The Science of Logic, (London: George Allen and Unwin, 1969), p.

(9)

bagus. Sebagai imbalannya, mereka memberikan layanan dan kesetiaan. Banyaknya jumlah pengikut merupakan kehormatan dan kekuatan bagi pemimpinnya untuk menghina pesaingnya. Karena pentinnya memuaskan para pengikut membuat para khan harus bersaing satu sama lainnya. Dalam masyarakat Pathan, di mana kehormatan ditentukan oleh penampilan, seorang khan yang ekonominya sendiri bermasalah, tidak akan mengurangi kedermawanannya, bahkan mungkin semakin pemurah walaupun ia dengan sangat terpaksa menjual tanahnya untuk menjamu para tamu dan kliennya. Cara yang dilakukan untuk mempertahankan kesetiaan pengikutnya adalah pamer kemampuan ekonomi secara terus-menerus seperti ini. Penelitian yang dilakukan oleh Barth ini mengkombinasikan antara penggambaran yang hidup dan analisis yang tajam dalam menjelaskan aspek ekonomi dan aspek politik dari resiprositas.16

Orang Pathan merupakan salah satu contoh tentang perilaku masyarakat pra-industri yang tidak rasional menurut standar ekonomi klasik. Para khan tidak tertarik untuk menumpuk kekayaan bagi dirinya sendiri, hartanya dibelanjakan untuk melayani orang. Dengan hadirnya analisis resiprositas dalam sistem ekonomi ini, berarti telah menambah sistem dasar organisasi ekonomi yang sebelumnya ada sistem pasar yang tunduk pada hukum ekonomi klasik dan sistem distribusi kembali.

Sistem resiprositas dalam interaksi sosial pada dasarnya adalah hadiah. Dalam suatu studi di Kepulauan Pasifik Barat, seorang antropolog, Bronislaw Malinowski telah menyinggung sistem pertukaran yang bersifat melingkar, timbal-balik. Gelang kulit kerang dihadiahkan ke pihak lain dan pihak lain tersebut menghadiahkan kalung kulit kerang kepada pihak yang telah memberi hadiah. Pertukaran yang bersifat resiprokal ini tidak mempunyai nilai ekonomis, tetapi dimaksudkan untuk menjaga solidaritas sosial. Pertukaran ”model kuno” ini juga mempunyai arti penting secara sosial-keagamaan, dan pertukaran ini didasari oleh tiga undang-undang tak tertulis, yaitu: kewajiban untuk memberi, kewajiban untuk menerima, dan kewajiban untuk memberi kembali.17

D. Hubungan Resiprokal dalam Pendidikan

Hubungan resiprokal didasarkan pada prinsip keadilan, harmoni, dan keseimbangan. Dalam interaksi sosial di sekolah, interaksi antara guru dan murid dapat dibangun atas dasar resiprositas. Hubungan ini ditandai

16 Lihat, Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, Terj. Mestika Zed dan Zulfani,

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), pp. 102-103.

(10)

dengan kerjasama yang seimbang yang menguntungkan kedua belah pihak. Di satu sisi, murid belajar dari guru dan di sisi lain, guru belajar dari murid. Ketika guru memberikan tugas atau menjelaskan materi secara interaktif kepada murid-murid, berarti mereka telah belajar dari guru, dan ketika dalam praktiknya dijumpai ada murid yang cepat bekerja, cepat paham, ada murid yang sedang-sedang kemampuannya, dan ada murid yang lambat bekerja dan sulit memahami jenjelasan guru, maka sebenarnya guru bisa belajar mengembangkan strategi pembelajaran yang lebih efektif yang bisa mewadahi keragaman kemampuan murid. Di sini, guru dapat mengembangkan penelitian tindakan (action research) di kelas. Guru mencoba berbagai strategi dan dampaknya terhadap keberhasilan proses belajar dalam bentuk penelitian. Ini semua dapat dimungkinkan karena sebenarnya murid-murid telah menyediakan data sikap, perilaku, kecerdasan, dan keterampilan yang bisa diakses langsung oleh guru di dalam kelas melalui observasi, wawancara, tes, atau eksperimen.

Dilihat dari aspek spiritualitas, kondisi ini bisa dijadikan pelajaran guru untuk meningkatkan kompetensi kepribadiannya, yaitu meningkatkan sifat kesabaran dan ketabahan dalam bergaul dengan murid-murid di kelas. Guru yang arif dan bijak akan selalu mengambil pelajaran dari murid dan apa yang terjadi di kelas.

Dalam kondisi yang lain, ketika guru memberikan tugas kepada murid maka dia harus mengontrol dan mengoreksi tugas tersebut untuk dikembalikan lagi kepada murid. Guru diuntungkan karena perintahnya dijalankan oleh murid (secara individu atau kelompok) dan murid diuntungkan karena dia mengetahui hasil tugasnya secara pasti. Tugas yang dikerjakan murid dengan baik dan benar akan membanggakan dan meyakinkan dirinya, dan tugas yang salah akan memberikan dorongan kepadanya untuk selalu memperbaiki dan menyempurnakan keilmuannya.

Hubungan resiprokal bisa dikomitmenkan di awal hubungan wali murid atau murid dengan sekolah. Pada awal pendaftaran sekolah, wali murid mendaftarkan anaknya ke sekolah. Pada saat itu pula, dia membayar uang SPP dan seringkali juga membayar uang gedung. Nominal uangnya bermacam-macam tergantung pada kualitas sekolah yang dimasuki. Ini adalah sebuah jaminan yang dipertaruhkan wali murid kepada sekolah agar anaknya mendapatkan ilmu, keterampilan, dan moralitas yang unggul. Hubungan resiprokal menuntut sekolah dan guru-guru yang terlibat di dalamnya mempertanggungjawabkan jaminan yang dipertaruhkan oleh wali murid dengan baik dan adil. Sekolah yang menjalankan tugasnya tidak sepenuh hati, asal-asalan, tidak amanah, adalah sebuah praktik yang merusak hubungan harmoni dan kesetaraan. Hubungan resiprokal, oleh

(11)

pendidikan”. Ada pertanggungjawaban kepada publik atas proses pendidikan yang balance dengan jaminan yang diberikan oleh wali murid, yang bisa dikontrol baik oleh sekolah itu sendiri maupun oleh masyarakat (wali murid) atau stakeholder.

Hubungan yang positif antara sekolah dan rumah atau antara guru dan wali murid merupakan salah satu kontribusi penting bagi prestasi murid di sekolah. Walaupun kita tahu bahwa kerja sama yang saling menguntungkan (hubungan resiprokal) antara guru dan wali murid itu sangat penting dalam mendorong keberhasilan siswa dan sekolah, tetapi sering wali murid dan guru merasakan konflik di dalam diri mereka ketika menghadapai masalah yang terkait dengan murid. Dalam situasi seperti ini, guru terus-menerus menyalahkan rumah dan pengaruh keluarga, sementara wali murid menyalahkan sekolah atau guru. Hal ini terjadi terutama sekali karena wali murid dan guru hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak pernah berhubungan satu sama lain selama anaknya belajar di sekolah. Atau disebabkan hubungan yang selama ini terjalin adalah hubungan yang non-resiprokal. Kondisi seperti ini sangat sulit bagi terciptanya rasa saling percaya di antara mereka dalam memecahkan masalah yang dialami murid dalam belajar.

Jika wali murid dan guru hanya berkomunikasi ketika ada persoalan saja, konteksnya sering diatur untuk perlawaan, bukan penyelesaian masalah. Para wali murid yang hanya diinformasikan oleh guru hal-hal yang negatif mengenai anak mereka,mungkin saja mereka tidak terlalu bersemangat bahkan menolak ketika guru mendatangi mereka untuk membantu anaknya dalam suatu pekerjaan di sekolah. Sebaliknya guru menginterpretasikan hal itu sebagai sikap apatisme dan merasa mendapatkan pembenaran untuk menyalahkan mereka dalam setiap permasalahan yang mungkin dimiliki oleh murid-muridnya. Hal ini menciptakan hubungan non-resiprokal, menciptakan sebuah lingkaran misinterpretasi dan miskomunikasi.

Kendala bagi hubungan yang positif-harmonis antara wali murid dan guru juga diciptakan oleh faktor budaya. Perbedaan rasial dan sosial ekonomi bisa memberikan kontribusi untuk alienasi yang terus-menerus ketika kebiasaan-kebiasaan tertentu salah dipahami dan dinilai secara tidak adil. Barangkali ada wali murid yang pernah menolak hadir di sekolah karena berasal dari sebuah budaya minoritas atau kelompok keagamaan yang tidak seideologi dengan ideologi sekolah. Dia memutuskan menjauh karena banyaknya pengalaman-pengalaman buruk di masa lalu. Pihak sekolah lantas menginterpretasikan ketidakhadirannya ini sebagai suatu tanda ketidaktarikannya. Para guru, dalam kasus ini, merasa mendapatkan

(12)

pembenaran untuk tidak lagi mengajak wali murid yang sudah dinilai apatis.18

Ada banyak cara yang bisa dilakukan guru untuk membangun hubungan saling percaya dengan walimurid. Guru bisa menghubungi wali murid melalui telepon secara pribadi. Jika jumlah wali murid terlalu banyak, maka bisa melalui cara mengirim surat. Cara ini memang tidak sepribadi seperti menelopon, tetapi jauh lebih baik daripada tidak ada komunikasi sama sekali. Kesempatan lain untuk membangun hubungan bisa dilakukan melalui open-house di sekolah, atau rapat-rapat parent-teacher

association, persatuan wali murid dan guru, atau melalui konferensi wali

murid.

Inisiatif untuk membangun hubungan resiprokal tidak mesti dimulai dari pihak guru. Wali murid bisa mengambil inisiatif menghubungi guru melalui telepon atau surat, memberikan kepada guru setiap informasi yang mungkin berguna dan mengutarakan kesediaan untuk memberikan informasi yang lebih jika dibutuhkan. Sebagai contoh, wali murid bisa memberitahukan kepada guru mengenai bakat-bakat anaknya (musik, seni, olah raga, bahasa), hobinya, dan juga mengungkapkan kesediaannya untuk membantu aktivitas-aktivitas seperti mengajar (di ruang kelas), mengawasi (di perpustakaan dan taman bermain), dan konsultasi (hukum, tehnik, dan mekanik) sesuai dengan keahlian dan kemampuannya. Pada saat yang sama, wali murid bisa mengungkapkan keterbatasannya. Misalnya, wali murid memiliki pekerjaan atau jadwal perjalanan yang menyebabkan sulitnya mengatur waktu untuk pertemuan dengan para guru di sekolah. Dengan informasi ini, guru bisa mengatur jadwal pertemuan dengan wali murid dengan baik.19

Wali murid bisa membantu guru dengan menghadiri even-even sekolah, atau acara-acara tertentu yang menurutnya sangat penting dan harus diprioritaskan. Hal ini perlu dilakukan untuk mendukung keberhasilan usaha-usaha sekolah dalam menyediakan pengalaman akademis yang berkualitas. Ketika wali murid diberitahu dan memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai tujuan dan metode guru, maka ia bisa berusaha meningkatkan perhatian dan pengalaman pendidikan anaknya.

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan wali murid dan guru bersama-sama untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Langkah pertama membuat kesepakatan bersama mengenai definisi masalah, apakah

18 Lihat, Raymond J. Wlodkowski dan Judith H. Jaynes, Hasrat Untuk Belajar:Membantu Anak-anak Termotivasi dan Mencintai Belajar, terj. Nur Setiyo Budi Widarto, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), p. 97.

(13)

masalah itu terkait dengan murid, wali murid, guru, atau sekolah. Jika substansi dan sumber masalahnya sudah disepakati bersama, maka langkah selanjutya adalah melakukan pendekatan solusi-solusi yang memungkinkan dengan sikap eksperimentasi. Dengan cara ini, mencoba untuk memecahkan masalah tidak hanya dilihat dalam pengertian keberhasilan dan kegagalannya, tetapi lebih sebagai usaha menemukan jalan terbaik dalam memecahkan masalah secara bersama-sama.20

Konsep pemberian reward and punishment jika dipraktikkan secara baik dan konsisten akan menjadi sebuah hubungan resiprokal. Sering guru dalam praktik-praktik pembelajaran di sekolah lebih mementingkan egonya atau mencari keuntungan untuk tugas profesinya dari pada memberikan keuntungan dan nilai lebih kepada murid-muridnya. Guru banyak membebani murid dengan berbagai tugas untuk mendorong mencapai prestasi tertinggi, tetapi dia lupa memberikan reward kepada murid yang berprestasi, atau memberikan punishment yang mendidik kepada murid yang tidak menjalankan tugasnya, bukan kepada murid yang tidak berprestasi namun telah melaksanakan tugasnya. Guru yang memberikan tugas namun tidak dilaksanakan tugasnya oleh murid berarti dia merasa rugi secara kejiwaan dan kompetensi, wibawanya telah dijatuhkan oleh murid, dan secara paedagogis, dia dianggap kurang mampu mengendalikan kelas. Sebaliknya murid juga merasa rugi karena tidak berkembang kompetensinya, ditambah lagi jika dia diberi punishment

maka dia akan merugi dalam aspek kejiwaannya.

Punishment dalam dunia pendidikan bukan merupakan sesuatu yang

jelek. Konsep ini perlu dipraktikkan untuk menciptakan harmoni dan keseimbangan serta sebagai konsekuensi diterapkannya hubungan resiprokal. Dalam praktek idealnya, punishment harus sejajar dan seirama dengan pemberian reward. Tidak hanya bagi murid saja konsep reward and

punishment ini diterapkan dalam bingkai interaksi resiprokal, tetapi juga

harus diterapkan bagi guru dalam konteks hubungannya dengan sekolah. Guru yang berprestasi perlu diberi reward oleh sekolah, karena dia selain telah menguntungkan dirinya juga menguntungkan sekolah dengan pencitraan nama baiknya. Demikian sebaliknya, guru yang bertindak menyalahi aturan atau etika pendidikan harus diberi punishment yang seimbang sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap kinerjanya di sekolah.

Salah satu hal substansial dalam pemberian punishment adalah bagaimana menanamkan rasa tanggungjawab pada saat terjadinya pelanggaran, baik bagi mereka yang melanggar maupun bagi mereka yang

20 Lihat, Ibid., pp. 104-105.

(14)

turut menyaksikan pelanggaran tersebut. Setiap unsur hukuman yang tidak mengandung tujuan ini, atau tindakan kekerasan yang mengatasnamakan hukuman yang tidak membantu tercapainya rasa tanggungjawab adalah tindakan buruk dan harus dicegah.21 Hubungan yang tercipta dari tindakan

seperti ini adalah hubungan yang merugikan, yang menghilangkan nilai harmoni dan keseimbangan.

Selain itu, dalam menghadapi suatu pelanggaran yang dilakukan oleh murid, guru harus mencegah melemahnya keyakinan moral murid dengan mendemonstrasikan secara tegas bahwa peraturan masih tetap suci, dan peraturan itu tetap patut dihormati walaupun terjadi pelanggaran. Menghukum bukan berarti membuat orang menderita secara jasmani atau rohani; menghukum berarti meneguhkan peraturan yang hendak digoncangkan oleh suatu pelanggaran.22

Kebalikan dari hubungan resiprokal dalam pendidikan adalah hubungan sepihak yang menguntungkan salah satu pelaku, guru atau murid, dan cenderung bersifat destruktif. Guru yang berperilaku otoriter akan menyampingkan harmoni, keadilan, dan kesetaraan. Guru yang otoriter tidak akan mengizinkan anak melewati batas atau jarak sosial tertentu. Dia tidak menginginkan hubungan keakraban dengan murid. Dia merasa lebih berkuasa daripada murid-muridnya. Hubungannya dengan murid didominasi oleh perintah-perintah yang harus dilaksanakan oleh murid dan seringkali sisertai sangsi jika perintah itu tidak dilaksanakan.23 Guru seperti ini ditakuti dan mungkin juga kurang disukai murid. Hubungan yang bersifat otoriter ini jika selalu dipraktikkan lama-kelamaan akan memunculkan hubungan yang bersifat anarkis yang dilakukan oleh murid. Hubungan menekan yang disertai dengan sangsi, secara psikologis, akan menimbulkan sikap membela diri dari tekanan-tekanan tersebut. Puncak dari ekspresinya adalah bersikap anarkis dengan melakukan perlawanan fisik.

Dalam kehidupan riil di lapangan sering dijumpai ada murid yang berperilaku ”nakal” atau melawan gurunya secara fisik di sekolah atau di luar sekolah. Peristiwa ini kemungkinan besar disebabkan oleh hubungan

21 Lihat lebih lanjut, Emile Durkheim, Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, terj. Lukas Ginting, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1990), p. 131.

22 Ibid., p. 127. Di sinilah letak perbedaan yang besar antara fungsi hukuman

dalam mendidik anak-anak dan melatih seekor binatang. Hukuman yang dikenakan pada seekor binatang ketika melatihnya tidak akan dapat membuahkan sesuatu hasil kecuali kalau hukuman itu meliputi penderitaan yang benar-benar dirasakannya. Sebaliknya, bagi anak hukaman hanyalah simbol yang jelas dari keadaan batin. Simbol itu berupa suatu notasi, suatu bahasa, di mana guru mengungkapkan perasaannya karena adanya perilaku yang tercela.

(15)

otoriter yang diterapkan oleh guru yang kemudian dilawan dengan sikap anarkis oleh murid; bahkan tidak hanya terhadap guru sikap anarkis ini dilakukan murid tetapi kadang-kadang juga dilakukan terhadap sekolahnya. Wujud dari tindakan anarkis ini bermacam-macam, bisa pengrusakan kursi, meja, pintu, jendela, kamar mandi, coret-coret di dinding, dan perlawanan fisik.

Sebagai pendidik yang profesional, guru tentunya tidak akan menempuh hubungan yang merugikan seperti di atas, dan sebagai alternatifnya akan mengembangkan hubungan resiprokal dengan menentukan tehnik-tehnik atau mekanisme komunikasinya dengan berbagai pihak yang terlibat dalam pendidikan di sekolah.

E. Penutup

Resiprositas sebagai sebuah teori dalam hubungan sosial mempunyai akar konseptualnya dalam filsafat sebagaimana yang telah digagas oleh Kant dan Hegel, dan juga dalam kajian sosiologi. Hubungan resiprokal sudah banyak dipraktikkan oleh masyarakat lokal, nasional, maupun internasional dalam berbagai bidang seperti pendidikan, politik, dan ekonomi dalam rangka menciptakan hubungan yang harmoni, timbal-balik, saling pengertian, dan berkeadilan.

Dalam interaksi sosial pendidikan di sekolah, hubungan resiprokal akan menciptakan hubungan yang dinamis antara guru dan murid, guru dan wali murid, serta antara sekolah dan wali murid atau masyarakat. Dengan adanya hubungan yang harmoni, saling memahami, dan berkeadilan ini, akan tercipta suasana pendidikan yang sejuk dan semua elemen terlibat aktif dalam memecahkan berbagai problem yang dihadapi murid dan sekolah dalam meningkatkan kinerja dan mutu pendidikannya.

Ketika hubungan resiprokal diabaikan oleh para pelaku pendidikan di sekolah, maka yang akan muncul adalah hubungan non-resiprokal. Hubungan ini akan menguntungkan salah satu pihak, cenderung menekan yang lain, dan bisa mendorong munculnya hubungan yang otoriter yang dampaknya akan menciptakan suasana sekolah yang tidak kondusif untuk belajar, dan bisa memunculkan perbuatan-perbuatan anarkis.

(16)

Daftar Pustaka

Ahmadi, Abu, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1991. Batubara, Muhyi, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Ciputat Press, 2004.

Burke, Peter, Sejarah dan Teori Sosial, terj. Mestika Zed dan Zulfani, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.

Durkheim, Emile, Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi

Pendidikan, terj. Lukas Ginting, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1990.

Gould, Carol C., “Beyond Causality in The Social Sciences: Reciprocity as a Model of Non-Exploitative Sosial Relations”, dalam Robert S. Cohen, dan Marx W. Wartofsky (Ed.), Epistemology, Methodology, And

The Social Sciences, Hollan: D. Reidel Publishing Company, 1983.

Hegel, G.W.F., The Science of Logic, London: George Allen and Unwin, 1969.

Kant, Immanuel, Critique of Pure Reason, Trans. J.M.D. Miklejohn, New York: Promotheus Books, 1990.

_______, Critique of Practical Reason, Trans. L.W. Beck, Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1956.

Nasution, S., Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 1999.

Wlodkowski, Raymond J., dan Judith H. Jaynes, Hasrat Untuk

Belajar:Membantu Anak-anak Termotivasi dan Mencintai Belajar, Terj.

Nur Setiyo Budi Widarto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. http://pkln.diknas.go.id/profil.php

www.unmit.org/legal/IndonesiaLaw/keppres/kp199212.htm http://id.wikipedia.org/wiki/GATT

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian kulitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara deskriptif dalam bentuk

Islam senantiasa menganjurkan umatnya untuk senantiasa berkata dan memberikan kabar baik dan benar. Adanya kebenaran yang disampaikan dapat membawa keharmonisan dan

Kedua, perikanan ilegal di perairan Indonesia akan mengurangi kontribusi perikanan tangkap di wilayah ZEEI atau laut lepas kepada ekonomi nasional (PDB), di samping

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh yang timbul dari struktur kepemilikan saham dengan proksi kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional,

Eksekusi Hak Tanggungan melalui penjualan di bawah tangan dapat dilakukan apabila didasarkan atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan (Pasal 20 ayat (2))

TIKOR merumuskan program penanggulangan rabies di pulau Flores dilakukan dengan cara pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dilaksanakan terhadap semua anjing

Analisis data dengan cara mendeskripsikan jenis-jenis cacing nema-toda usus tersebut melalui pemeriksaan sampel tinja yang di- periksa di Laboratorium Biologi

Dengan log resistivitas diperoleh true resistivity  yang selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan saturasi minyak formasi produktif yang dapat dikorelasikan dengan data