• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas Monitoring dan Evalasi pon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tugas Monitoring dan Evalasi pon "

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS TAKE HOME

MATA KULIAH HUKUM DAN HUBUNGAN KETENAGAKERJAAN

MAKALAH OUTSOURCHING

Dosen Pembimbing: Gading Gama Putra, S.AP, MPA

Disusun Oleh :

Briyan Widwin Garnida Rusdiansah 0.1111.204.57

SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI “AAN”

YAYASAN NOTOKUSUMO

(2)

BAB I PENDAHULUAN

Hukum pada hakikatnya dibuat manusia berdasarkan kesepakatan bersama untuk kepentingan bersama. Hukum mengalami dinamika yang selalu bekembang seiring berjalannya waktu. Salah satu perlindungan hak kaum lemah agar tidak diperlakukan semena-mena adalah dengan produk hukum. Salah satu produk hukum perlindungan hak tersebut adalah pengaturan hak, dan kewajiban antara majikan dan bawahan yang lebih familiar disebut perlindungan ketenagakerjaan.

Hubungan kerja yang terjadi antara buruh dengan pengusaha yang timbul karena adanya suatu perjanjian kerja sebenarnya secara teoritis merupakan hak pengusaha dan hak pekerja untuk memulai maupun mengakhirinya. Akan tetapi bagi pekerja hubungan hukum yang terjadi dengan pengusaha selalu berada dalam hubungan subordinatif atau hubungan di mana kedudukan pekerja lebih rendah dari pengusaha atau majikan. Bagi pekerja outsourcing hal tersebut menjadi semakin parah karena pekerja tidak mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan pemberi kerja1.

Outsourcing (Alih Daya) dapat pula diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak2 .

Beberapa tahun setelah diterbitkan undang-undang Nomor 13 tahun 2013 tentang ketenagakerjaan, pelaksanaan Outsourching masih jauh dari etika secara teoritisnya. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya regulasi penguat dan penjelas undang-undang tersebut. Ditambah lagi dikarenakan pengusaha dengan berlakunya Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan melegalkan secara tersirat pelanggaran etika tersebut.

Persoalan hukum dalam pelaksanaan outsourcing antara lain disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan oleh para pihak. Pada praktek outsourcing, terdapat tiga pihak yang berhubungan hukum yaitu perusahaan pemberi kerja, perusahaan penerima kerja dan pekerja

1 PHK dan Perlindungan Negara Atas Hak Pekerja,” diakses dari http://www.pemantauperadilan.com pada 20 Juni 2014

(3)

outsourcing itu sendiri. Kepentingan ketiga pihak dalam outsourcing tersebut berbeda-beda. Pemberi kerja mengharapkan kualitas barang atau jasa yang tinggi dengan harga yang serendah-rendahnya. Sedangkan penerima pekerjaan mengharapkan kualitas barang atau jasa yang terendah dengan harga yang tertinggi. Pada sisi lain, pengusaha mengharapkan pekerja agar melakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh untuk menghasilkan produksi yang maksimal, sebaliknya pekerja mengharapkan kerja yang ringan dengan penghasilan atau upah yang tinggi3

Kepentingan yang destruktif satu sama lain jika salah satu kepentingan dominan dikuatkan. Bisa kita bayangkan kepentingan yang mana yang paling berkemungkinan terkesampingkan. Ya, kepentingan buruh adalah yang paling berkemungkinan dilemahkan. Berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berupaya melindungi pekerja dari ketidakpastian hukum dalam hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan outsourcing tetap tidak menghentikan masalah pekerja outsourcing, bahkan di satu sisi semakin menjadi pilihan pengusaha untuk mengatur hubungan kerja dengan pekerja outsourcing dengan alasan efisiensi biaya, waktu dan tenaga bagi pengusaha.

Tujuan utama dibuatnya makalah ini adalah sebagai kajian tentang Outsourching, undang-undang pengaturnya dan meneliti lebih lanjut bagaimana ketiga kepentingan tersebut serta solusi menguatkan kepentingan buruh yang menjadi hakikat hukum yang telah sedikit disinggung di awal.

BAB II

(4)

2.1 RUMUSAN MASALAH

a) Apakah pengertian Outsourching?

b) Masalah-masalah apa saja di dalam Pelaksanaan Outsourcing Pasca Berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan?

c) Solusi apa yang mampu menyelesaikan permasalahan Outsourching?

2.2 TUJUAN

a) Mahasiswa dapat mengetahui pengertian Outsourching.

b) Mahasiswa dapat menganalisis dampak UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

(5)

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Perjanjian Kerja

Manusia adalah makhluk sosial, yang mana dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat dipisahkan dari sebuah kerjasama satu dengan yang lain. Di dalam sebuah kerjasama dinamika berkembang dari waktu ke waktu menjadi semakin kompleks. Untuk itu perlulah sebuah alat yang menjadi kesepakatan antara pihak yang bekerjasama. Integral dari fungsi hukum, yakni perjanjian, yang dalam hal ini memiliki lokus perjanjian kerja antara majikan dan bawahan agar terlidunginya kepentingan bersama.

Menurut Subekti definisi Perikatan, adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.4 Hubungan antara

perikatan dengan perjanjian dapat dirumuskan, bahwa perjanjian merupakan sumber utama dari suatu perikatan, sehingga perikatan itu ada bilamana terdapat suatu perjanjian.5

Dari uraian singkat diatas dapat kita simpulkan hubungan klausatif antara perjanjian dan perikatan.Perjanjian menjadi sebab yang merupakan suatu peristiwa hukum, sedangkan perikatan sebagai akibat hukumnya.

3.2 Pengertian Perjanjian

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu. 6 Definisi lain, Perjanjian merupakan

suatu perbuatan hukum di dalam hubungan hokum diantara individu-individu yang ada dalam masyarakat dengan tujuan untuk mencapai kepastian hukum. Karena perjanjian yang dibuat secara sah oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian adalah bersifat mengikat. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, sebagai berikut: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

4 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta:,1998, hal 1.

5 Purwahid Patrick. Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju , Bandung:, 1994 hal.12

(6)

3.3 Syarat Syahnya Perjanjian

Aturan mengenai syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang menyebutkan untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, antara lain:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri

Kedua belah pihak atau para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut haruslah sepakat, setuju dan seia sekata atas hal-hal yang diperjanjikan.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

Maksudnya bahwa pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut merupakan orang-orang yang sudah memenuhi syarat sebagai pihak yang dianggap cakap oleh atau menurut hukum. Orang yang diluar ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan, tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:

1) Orang-orang yang belum dewasa;

2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undangundang telah melarang membuat perjanjianperjanjian tertentu.

c. Suatu hal tertentu

Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah sesuatu yang di dalam perjanjian tersebut harus telah ditentukan dan disepakati.sesuai dengan ketentuan yang disebutkan pada Pasal 1333 KUH Perdata bahwa barang yang menjadi obyek suatu perjanjian harus ditentukan isinya.

d. Suatu sebab yang halal

(7)

Dua syarat yang pertama adalah syarat yang menyangkut subyek, sedangkan dua syarat yang terakhir adalah mengenai obyeknya.7

Sedangkan Subekti membagi keempat syarat tersebut menjadi dua kelompok. Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subyektif, karena keduanya bersangkutan dengan para pihak yang mengadakan perjanjian (Subyek dari suatu perjanjian), sedangkan untuk syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat obyektif, karena keduanya menyangkut tentang obyek dari suatu perjanjian yang diadakan8

3.4 Perjajian Kerja

Perjanjian kerja merupakan salah satu turunan dari perjanjian pada umumnya, dimana masing-masing perjanjian memiliki ciri khusus yang membedakannya dengan perjanjian yang lain. Namun seluruh jenis perjanjian memiliki ketentuan yang umum yang dimiliki secara universal oleh segala jenis perjanjian, yaitu mengenai asas hukum, sahnya perjanjian, subyek serta obyek yang diperjanjikan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya

Ketentuan dan syarat-syarat pada perjanjian yang dibuat oleh para pihak berisi hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang harus dipenuhi. Dalam hal ini tercantum asas “kebebasan berkontrak” , yaitu seberapa jauh pihak-pihak dapat mengadakan perjanjian, hubungan-hubungan apa yang terjadi antara mereka dalam perjanjian itu seberapa jauh hukum mengatur hubungan antara para pihak.

3.5 Perjanjian Perburuhan

Perjanjian Perburuhan/ Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) au istilah yang digunakan dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 adalah Perjajian Kerja Bersama (PKB) dalam bahasa Inggis dikenal sbagai Collective Labur Agreement (CLA) peranjian ini dikenal dalam khasanah hokum Indonsia berdasarkan ketentuan KUHPerdata.

Dalam KUHPerdata pasal 1601 n disebutkan bahwa Perjajian perburuhan adalah peraturan yang dibuat oleh seorang atau beberapa majikan yang berbadan hokum dan

7 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Op.Cit, hal.127

(8)

atau beberapa serikat buruh yang berbadan hukum mengenai syarat yang harus diindahkan pada waktu membuat perjanjian kerja.9

Dalam Pasal 59 ayat 1 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa Perjanjian Kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaianya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

c. pekerjaan yang besifat musiman; atau

d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam masa percobaan atau penjajakan.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah baahwa perjanjian keja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.10

3.6 Unsur-unsur Perjajian Kerja

Unsur-unsur dalam Perjanjian Kerja Perjanjian kerja harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:11

1) Adanya orang di bawah pimpinan orang lain

Adanya unsur perintah menimbulkan adanya pimpinan orang lain. Dalam perjanjian kerja, unsur perintah ini memegang peranan yang pokok sebab tanpa adanya unsur perintah, hal ini bukan perjanjian kerja.

Dengan adanya unsur perintah dalam perjanjian kerja, kedudukan kedua belah pihak tidaklah sama yaitu pihak yang satu kedudukannya diatas (pihak yang memerintah), sedang pihak lain kedudukannya dibawah (pihak yang diperintah). Kedudukan yang tidak sama ini disebut hubungan subordinasi serta ada yang menyebutnya hubungan kedinasan.

9 Husni Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2003 , edisi revisi h 75

10 Husni Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2003 , edisi revisi h 71

(9)

2) Penunaian Kerja

Penunaian kerja maksudnya melakukan pekerjaan. Disini, tidak dipakai istilah melakukan pekerjaan sebab istilah tersebut mempunyai arti ganda Istilah melakukan pekerjaan dapat berarti persewaan tenaga kerja atau penunaian kerja. Dalam persewaan tenaga kerja yang tersangkut dalam kerja adalah tenaga manusia, sehingga upah sebagai kontraprestasi dipandang dari sudut ekonomis. Dalam penunaian kerja, yang tersangkut dalam kerja adalah manusia itu sendiri sehingga upah sebagai kontraprestasi dipandang dari sudut sosial ekonomis.

3) Adanya upah

Upah menurut Pasal 1 angka 30 Undang-undang Ketenagakerjaan adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Jadi, upah adalah imbalan termasuk tunjangan.

3.7 Penentuan Pekerjaan Utama (Core Business) dan Pekerjaan Penunjang (Non Core Business) dalam Perusahaan sebagai Dasar Pelaksanaan Outsourcing.

1. Pasal 66 Undang-undang Ketenagakerjaan mengatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan prosesproduksi. Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:

 adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa

tenaga kerja;

 perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa

(10)

yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak; perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

 perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis. Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Dalam hal syarat-syarat diatas tidak terpenuhi (kecuali mengenai ketentuan perlindungan kesejahteraan), maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan memperkerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

Yang dimaksud dengan kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan diluar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh. Interpretasi yang diberikan undang-undang masih sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini dimana penggunaan outsourcing (Alih Daya) semakin meluas ke berbagai lini kegiatan perusahaan.

(11)

Dalam pengertian umum, istilah outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai

contract (work out) seperti yang tercantum dalam Concise Oxford Dictionary, sementara mengenai kontrak itu sendiri diartikan sebagai berikut: “Contract to enter into ormake a contract. From the latin contractus, the past participle ofcontrahere, to draw together, bring about or enter into anagreement.” (Webster’s English Dictionary).Outsourcing

(Alih Daya) dapat pula diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah

disepakati oleh para pihak12

Menurut Maurice Greaver yang dikutip oleh Indrajit, outsourcing (alih daya) dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama.13

Yang dimaksud dengan praktek outsourcing Menurut Hidayat Muharam, yaitu:14

a. Penyerahan sebagian pelaksanaan dari suatu perusahaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemboronganpekerjaan;

b. Penyediaan Jasa Pekerja.

Beberapa pakar serta praktisi outsourcing (Alih Daya)

dari Indonesia juga memberikan definisi mengenai outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing).15

12 Artikel “Outsource dipandang dari sudut perusahaan pemberi kerja”, http://www.apindo.or.id, diakses tanggal 30 September 2009

13 Indrajit dan Richardus Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourcing, (Jakarta:Grasindo, 2003), hal 3

14 Hidayat Muharam, Panduan Memahami Hukum Ketenagakerjaan Serta Pelaksanaannya Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya, 2006), hal 12

(12)

B. Masalah-masalah di dalam Pelaksanaan Outsourcing Pasca Berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

1. Outsourching Mengabaikan Pemanusian Manusia

Sebelum berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, praktik penyediaan jasa pekerja untuk dipekerjakan di perusahaan lain sudah terjadi. Bidang-bidang pekerjaan seperti satuan pengamanan (satpam), sekuriti dan cleaning service merupakan pekerjaan yang diserahkan perusahaan untuk dikerjakan oleh tenaga kerja dari perusahaan lain. Praktik pelaksanaannya pun tidak berbeda dengan yang diatur dalam Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Praktek outsourcing di Indonesia ditilik dari sejarahnya telah dilakukan bertahun-tahun yang lampau. Pada Putusan P4P Nomor 65/59/II/02/c 5 Agustus 1959 mengenai tuntutan pekerja kontrak dari Kontraktor Firma Semesta yang bekerja di Pacific Bechtel. Pekerja dipekerjakan dengan sistem seperti yang dilakukan pada pekerjaan outsourcing, sehingga pada saat kontrak diputus begitu saja antara kontraktor Firma Semesta dengan Pacific Bechtel, pekerja outsourcing tidak dapat menuntut hak-haknya kepada kedua perusahaan tersebut.16 Namun demikian,

ketiadaan perlindungan bagi pekerja telah membuat pandangan masyarakat menjadi negatif. Pekerja dianggap sebagai barang komoditi yang dapat dijual, dipindah tangankan, ditukar, yang hanya diperhatikan apabila pengusaha menganggap dapat mempekerjakan pekerja yang bersangkutan dan dapat disingkirkan begitu saja apabila pengusaha tidak memerlukannya lagi. Pada kenyataannya hingga masa-masa sekarang ini di mana pekerja kesulitan mencari pekerjaan, pekerja dihadapkan pada pilihan take it or leave it terhadap tawaran peluang pekerja outsourcing atau tidak bekerja sama sekali.

2. Beralihnya Hubungan Hukum dalam Outsourcing Merugikan Pekerja

(13)

Hubungan hukum dalam outsourcing bagi pekerja dan perusahaan penerima pekerjaan menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bisa beralih menjadi hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan pemberi kerja untuk pekerjaan yang sifatnya berlangsung terus menerus dalam hal terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Hubungan hukum yang dimaksud tidak terbatas pada pemberian upah dan pesangon ketika pekerja diputus hubungan kerjanya melainkan juga perlindungan hak-hak pekerja, di antaranya keikutsertaan pekerja dan keluarganya dalam program Jamsostek, program perlindungan pensiun dan lain-lain. Menurut ketentuan undang-undang, perusahaan pemberi kerja harus mengambil alih tanggung jawab terhadap pekerja dalam hal terjadi perusahaan pemberi kerja telah memberi pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa tenaga kerja yang tidak berbadan hukum.

(14)

berubah status hukumnya menjadi pekerja di perusahaan pengguna dengan segala hak dan kewajibannya. Kelemahan kedudukan dan hak pekerja outsourcing tersirat dalam Putusan Kasasi No.192 K/PHI/2007 yang memenangkan PT Bakrie Tosan Jaya oleh karena pada dasarnya buruh outsourcing tersebut tidak mempunyai hubungan hukum dengan perusahaan pengguna, sehingga tidak mendapat perlindungan karena terjadi pengakhiran hubungan kerja.17

3. Pekerja Kontrak dan Rendahnya Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing

Masalah-masalah mengenai pelaksanaan outsourcing sebenarnya dalam penerapannya banyak terkait dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan bidang hukum ketenagakerjaan. Bidang hukum ketenagakerjaan berlaku untuk mengatur hubungan antara pengusaha dan pekerja pada saat mereka sepakat untuk melakukan suatu pekerjaan yang menghasilkan barang atau jasa. Sedangkan fungsi Hukum Perdata terutama menata hubungan antara perusahaan dengan perusahaan dalam perjanjian kerja sama. Oleh karena perjanjian kerja yang bersifat waktu tertentu (PKWT) antara pemberi kerja dengan penerima kerja pada umumnya dibatasi masa berlakunya, maka tidak ada kepastian kesinambungan dalam pekerjaan sehingga pekerja merasa terancam. Persoalan yang muncul adalah bahwa setelah pekerjaan yang diperjanjikan selesai, maka otomatis para pekerja akan berhenti bekerja. Oleh karena itu untuk menghindar dari kewajiban membayar gaji kepada pekerja dalam hal tidak ada pekerjaan bagi pekerja, pengusaha mensyaratkan kontrak kerja. Pada pelaksanaannya kontrak kerja dapat berlangsung secara bertahun-tahun dan walaupun hal tersebut bertentangan dengan undang-undang, pengusaha menempuh jalan pekerja yang selesai masa kontraknya diistirahatkan dulu selama beberapa bulan, kemudian masuk kembali ke perusahaan yang sama dengan status sebagai pekerja baru dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Pekerja dalam hal ini tidak dapat menentukan penawaran dan mengajukan persyaratan kepada pengusaha oleh karena sempitnya lapangan kerja yang tersedia. Pengusaha dengan mudah dapat menolak pekerja outsourcing yang menuntut haknya terlalu banyak oleh karena masih banyak pelamar lain yang

(15)

bersedia bekerja dengan syarat-syarat yang memberatkan pekerja yang ditetapkan oleh pengusaha.

4. Rendahnya Hak-hak Pekerja Outsourcing

Pada kegiatan outsourcing, perjanjian kerja sama bukan ditandatangani oleh pekerja dengan perusahaan pemberi kerja, akan tetapi antara perusahaan pengguna dengan perusahaan pemberi kerja, maka negosiasi mengenai upah dan hak-hak pekerja outsourcing lainnya hanya diperjanjikan di antara kedua perusahaan tersebut tanpa diketahui oleh pekerja. Oleh karena bisnis perusahaan penerima pekerjaan adalah dengan mempekerjakan pekerja untuk kepentingan perusahaan lain, maka dari jasa tersebut perusahaan pemberi kerja memperoleh keuntungan. Keuntungan perusahaan penyedia jasa tersebut diperoleh dari selisih antara upah yang diberikan perusahaan pengguna dengan upah yang harus dibayarkan kepada pekerja outsourcing. Oleh karenanya upah yang diterima oleh pekerja outsourcing biasanya sangat kecil dan paling tinggi hanya untuk memenuhi ketentuan upah minimum. Berdasarkan hal tersebut pula, maka banyak perusahaan penyedia jasa yang semakin kaya raya dan para pekerja tetap hidup dengan upah di bawah standar atau maksimal dengan upah sesuai dengan ketentuan mengenai upah minimum. Beberapa kasus menggambarkan hal tersebut seperti kasus petugas kebersihan atau cleaning service dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya menerima upah antara Rp 460.000,- sampai Rp 700.000,-perbulan yang jauh lebih rendah dari upah minimum provinsi DKI tahun 2006 yang mencapai Rp 819.000,- perbulan untuk pekerja lajang.18 Para pekerja outsourcing

dalam hal upah ini tidak dapat berbuat banyak untuk menuntut pengusaha. Sebab pada satu sisi upah yang diberikan telah memenuhi ketentuan mengenai upah minimum, akan tetapi di sisi lain pengusaha tidak akan menerima tuntutan pekerja outsourcing untuk disamakan kedudukannya dalam menerima upah dengan pekerja yang lain, karena status dan kedudukannya hanya tergantung kepada perusahaan pemberi kerja.

C. Solusi Penyelsaian

(16)

Dalam setiap perjanjian, sering terjadi perselisihan antara para pihak yang membuat kesepakatan, apalagi dalam perjanjian yang para pihak berdiri saling berhadapan. Hak pihak yang satu menjadi kewajiban pihak yang lain. Demikian juga dalam perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja. Perjanjian kerja menimbulkan suatu hubungan kerja dan hak pekerja berupa upah merupakan kewajiban dari pengusaha. Demikian juga hak pengusaha berupa hasil kerja merupakan kewajiban pekerja. Perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh disebut dengan perselisihan industrial (PHI)19

Jenis PHI meliputi perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Perselisihan hak merupakan perselisihan yang timbul karena tidak

dipenuhinya hak normatif, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturaturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.20

Pengaturan mengenai Penyelesaian Hubungan Industrial terdapat dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undangundang ini digunakan bukan hanya untuk perusahaan yang berorientasi

keuntungan, tetapi dapat juga diberlakukan bagi usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan tetapi memiliki pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah.

Dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial terdapat beberapa cara penyelesaian, antara lain:21

a. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui bipartite.

Perundingan bipartit merupakan perundingan antara pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.

b. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi.

19 Much.Nurachmad, Ibid, hal. 105

20 Ibid, hal. 106

(17)

Mediasi merupakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan yang memenuhi syaratsyarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri tenaga kerja untuk bertugas melakukan mediasi dan memiliki kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.

c. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi.

Konsiliasi merupakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.

Konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih. Konsiliator berhak mendapat honorarium/imbalan jasa

berdasarkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dibebankan kepada Negara.

d. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase.

Secara umum, penyelesaian perselisihan melalui arbitrase telah diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa perdagangan. Oleh karena itu, arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial. Disini berlaku asas lex specialis derogate legi general (hukum yang bersifat khusus mengalahkan peraturan yang bersifat umum).

(18)

e. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan hubungan industrial. Jika penyelesaian melalui mediasi dan konsiliasi tidak memberikan hasil yang memuaskan, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial, yaitu pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memberi putusan terhadap

perselisihan hubungan industrial. Pengadilan ini di bentuk untuk menjamin penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil dan murah.

Sementara itu, penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase tidak dapat diajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial karena putusan arbitrase bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat diajukan pembatalan ke Mahkamah Agung.

BAB. VI KESIMPULAN

(19)

a. Outsourching adalah alih daya, atau pengalokasian tenaga. Pada dasarnya buruh outsourcing tersebut tidak mempunyai hubungan hukum dengan perusahaan pengguna, sehingga tidak mendapat perlindungan karena terjadi pengakhiran hubungan kerja

b. Permasalahan pelaksanaan outsourcing Pasca Berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah:

 Implementasi yang kurang memanusiakan manusia sebagai pekerja

 Kurangnya perlindungan hak pekerja

 Kurangnya perlindungan hukum pekerja c. Solusi dari permasalahan tersebut adalah:

 Melalui bipartite (Perundingan dua kubu Serikat Pekerja dan Pengusaha)

 Melalui Mediasi (Peundingan dua kubu, ditengahi pihak netral)

 Melalui Konsiliasi (Perundingan yang dipimpin konsiliator yang ditunjuk

badan berwenang)

 Melalui Arbitrasi( Perundingan dipimpin Arbitrator dengan kesepakatan

tertulis diluar regulasi, bersifat memaksa)

 Pengadilan Hubungan Industrial( Cara terakhir pemutusan melalui

pengadilan)

DAFTAR PUSTAKA

(20)

 Andari Yurikosari, Pemutusan Hubungan Kerja di Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, Jakarta 2010,

 Sehat Damanik, Outsourcing dan Perjanjian Kerja Menurut Undang-undang No. 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Jakarta: DSS Publishing, 2007, cet.2,

 Artikel “Outsource dipandang dari sudut perusahaan pemberi kerja”,

http://www.apindo.or.id,

 Indrajit dan Richardus Djokopranoto, Proses Bisnis Outsourcing, Grasindo ,Jakarta:,

2003

 Hidayat Muharam, Panduan Memahami Hukum Ketenagakerjaan Serta Pelaksanaannya

Di Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung: 2006

 Muzni Tambusai, Pelaksanaan Outsourcing (Alih Daya) ditinjau dari aspek

hukumketenagakerjaan tidak mengaburkan hubungan industrial,

http://www.nakertrans.go.id/arsipberita/naker/outsourcing.php

 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta:,1998, hal 1.

 Purwahid Patrick. Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju , Bandung:, 1994

 PHK dan Perlindungan Negara Atas Hak Pekerja,” diakses dari

http://www.pemantauperadilan.com

 Artikel “Outsource dipandang dari sudut perusahaan pemberi kerja”,

http://www.apindo.or.id,

 Husni Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta: 2003 , edisi revisi h 75

 Much.Nurachmad, Tanya Jawab Seputar Hak-Hak Tenaga Kerja Kontrak (Outsourcing),

Referensi

Dokumen terkait

Berkat karunia dan kasih sayang-Nya yang tak terhingga, saya dapat menyiapkan kertas projek ini sebagai syarat penganugerahan Ijazah Sarjana Master of Management

Prinsip penentuan kadar air dengan destilasi adalah menguapkan air dengan “pembawa” cairan kimia yang mempunyai titik didih lebih tinggi daripada air dan tidak dapat campur dengan

easil penelitian mengenai pola asuh makan ditemukan bahwa sebagian besar batita mengalami ketidakseimbangan pemenuhan zat giziI kurangnya dukungan yang diberikan oleh pelaku

013.01.01 Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya Kementerian Hukum dan HAM 1558 Pengelolaan Administratif dan Fasilitatif Kantor Wilayah Kementerian Hukum

Prostitusi menggunakan media sosial pada dasarnya adalah untuk menyembunyikan prostitusi tersebut, sekaligus juga sebagai sarana dalam menjalankan bisnis terlarang

Akta di bawah tangan ini seperti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1880 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata tidak akan dapat mempunyai kekuatan pembuktian keluar terhadap

Menurut Weaygandt Kimmel Kieso (2013:368) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan piutang adalah sebagai berikut “piutang didefinisikan sebagai jumlah yang dapat