• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS TENTANG HAK PAKAI ATAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS YURIDIS TENTANG HAK PAKAI ATAS"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

1

ANALISIS YURIDIS TENTANG HAK PAKAI ATAS TANAH DIKAITKAN DENGAN PENINGKATAN INVESTASI

DI INDONESA

Oleh :

Aal Lukmanul Hakim, SH., MH.

--- Abstract : Since the economic crisis in 1997/1998, economic growth has not been

conducive to support the development to achieve prosperity. Investments as one of the cornerstone of the economy seemed stagnant, especially foreign investors who are reluctant to choose to invest in Indonesia by several factors. The problem faced in the world of investing in Indonesia, which is also considered to be a phenomenon that prop in the world of investing is to invest in property. Barriers that arise are difficult to market products such as residential apartments and condominiums to a foreigner. This is because the Indonesian legal system alien may only have the building shelters with the status of the property, if the building was built on land Right to Use. The soil as a base capital development, the primary determinant of investment, but the Right of Use of land as an alternative especially for foreign ownership of land can not provide a competitive edge, especially with neighboring countries. The system of land law in Indonesia it was time to be reviewed, particularly regarding land rights institutions are varied but not competitive. In the future in order to create a favorable investment climate, strata of land rights to be reset with the simplification of land rights into Property and Right to Use. It should also be seen a period of Right to Use the past period sufficient for example 70 to 100 years as in China.

Keywords : Land Rights, Right to Use, Investment

---

A. Latar Belakang Masalah

Sejak krisis ekonomi tahun 1997/1998, pertumbuhan ekonomi belum kondusif guna menunjang pembangunan untuk mencapai kesejahteraan. Investasi sebagai salah satu soko guru perekonomian seakan mengalami stagnasi, khususnya investor asing yang enggan memilih untuk menanamkan modalnya di Indonesia dengan beberapa faktor yang dijadikan alasan.

Melemahnya arus investasi yang masuk ke Indonesia tersebut merupakan salah satu indikator dari lambatnya pemulihan ekonomi. Menurut Ketua JIBAK (Japan Indonesia Business Association of

Kansai), Hajime Kinoshita,1 terdapat kesan bahwa Indonesia hanya butuh uang investor, kurang memperhatikan kebutuhan dasar para investor yang menetap dan tinggal di Indonesia, seperti kepemilikan atas rumah atau apartemen, maupun hak-hak atas tanah sebagai tempat usaha, termasuk pajak dan sumber daya manusia.

1 Lihat, Martin Roestamy, “Kepastian Hukum Atas

(2)

2 Lambatnya laju investasi berupa

rendahnya pembentukan modal tetap bruto terhadap PDB2 menurun dari 29,6 persen pada tahun 1997 menjadi 19,7 persen padan tahun 2003.3 Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM),4 selama tahun 2007, nilai realisasi investasi penanaman modal dalam negeri tercatat sebesar Rp. 34,88 triliun, sedangkan tahun 2008 hanya Rp. 20,36 triliun. Hal tersebut sangat jauh dari target yakni sebesar Rp. 31,44 triliun. Sementara itu, realisasi penanaman modal asing (PMA) tahun 2007 sebesar Rp. 93,06 triliun, dan tahun 2008 naik menjadi Rp. 133,83 triliun.5 Perkiraan

2 PDB (Produk Domestik Bruto) atau GDP (Gross

Domestic Product) merupakan jumlah produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun. Dalam perhitungan GDP ini, termasuk juga hasil produksi barang barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan/orang asing yang beroperasi di wilayah negara yang bersangkutan. Barang-barang yang dihasilkan termasuk barang modal yang belum diperhitungkan penyusutannya, karenanya jumlah yang didapatkan dari GDP dianggap bersifat

bruto/kotor. Lihat,

http://id.wikipedia.org/wiki/Pendapatan_nasional, diakses pada 09 Desember 2008, Pkl. 10:30 WIB.

3 Dibandingkan dengan keadaan sebelum krisis,

secara ril tingkat investasi pada tahun 2003 baru mencapai sekitar 69 persen dari volume investasi 1997 (harga konstan 1993). Lihat, RPJMN

(Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional) 2004-2009, Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Pertama 2005, hlm. 166.

4

BKPM adalah sebuah badan layanan penanaman modal Pemerintah Indonesia yang dibentuk dengan maksud untuk menerapkan secara efektif penegakan hukum terhadap penanaman modal asing maupun dalam negeri. Saat ini, BKPM adalah sebuah badan pemerintah non-departemen yang bekerja di bawah dan langsung bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia. BKPM dipimpin oleh Kepala BKPM. Lihat, situs resmi BKPM : http://www.bkpm.go.id.

5 “Iklim Investasi : Realisasi Investasi PMDN

Turun”, Koran Harian Kompas, Jakarta, Edisi Rabu 21 Januari 2009, hlm. 19. penyerapan tenaga kerja PMDN tahun 2008 sebanyak 67.267 orang, sementara PMA mencapai 246.049 orang. Total penyerapan tenaga kerja mencapai 313.316 orang. Untuk menarik investasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) kembali mendorong

pemerintah bahwa pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi bisa mencapai level terburuk yaitu berada pada posisi 4,5 persen, hal ini jauh lebih rendah dibanding target APBN 2009 yang menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen. Akan tetapi pemerintah juga masih dapat bersikap optimis bahwa target APBN tersebut masih dapat tercapai apabila Indonesia dapat mempertahankan aktivitas ekspor dan investasi.6

Apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, maka Indonesia berada pada posisi yang memiliki daya saing rendah dalam investasi. Indonesia menjadi satu-satunya negara yang mengalami perkembangan investasi yang negatif setelah krisis ekonomi 1998, walaupun keadaan tersebut berangsur membaik setelah tahun 2000. Bahkan di dalam kelompok ASEAN, Indonesia menjadi negara yang paling tidak menarik untuk PMA karena berbagai hal, mulai dari kondisi perburuhan yang tidak lagi menarik investor asing, masalah keamanan dan kepastian hukum, hingga kurangnya insentif, terutama insentif fiskal bagi investasi-investasi baru. Sebaliknya, Vietnam, sebagai suatu contoh, menjadi sangat menarik bagi investor (asing) karena tidak hanya tenaga kerjanya yang sangat disiplin dan murah, juga pemerintah Vietnam memberikan tax holiday bagi investasi-investasi baru.

Khusus untuk kawasan Asia, arus masuk PMA masih terpusat di RRC yang pada tahun 2003 masih menyerap arus PMA sebesar US$ 53,5 Miliar atau sekitar 50

tiga sektor usaha penting, yakni sektor pangan, sektor energi, dan sektor infrastruktur.

6 Faktor-faktor yang masih mungkin bisa diandalkan

(3)

3 persen dari arus PMA ke wilayah Asia.7

Posisi RRC yang menjadi pemegang arus tertinggi PMA di kawasan Asia dimungkinkan karena adanya pertumbuhan pasar dalam negeri RRC yang cukup tinggi, biaya produksi yang murah dan ketersediaan tenaga kerja yang memadai, selain kemudahan dan peluang menjanjikan lainnya yang ada di pasar domestik RRC. Sementara itu, lingkungan pasar domestik Indonesia dinilai masih belum mampu memberikan iklim yang menarik bagi pertumbuhan investasi yang disinyalir disebabkan oleh beberapa faktor-faktor penghambat, yang masih memerlukan penanganan serius dari stake holders yang terkait.

Melihat begitu besar hambatan dan tantangan investasi Indonesia ke depan, berbagai upaya perbaikan terus dilakukan oleh pemerintah, di antaranya dalam hal regulasi peraturan perundang-undangan yang menunjang iklim investasi. Pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor : 3 Tahun 2006 tentang : Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi.8 Selain Inpres tersebut, sebenarnya Indonesia sudah memiliki peraturan khusus tentang investasi atau penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, yaitu Undang-undang Nomor : 1 Tahun 1967 tentang : Penanaman Modal Asing, yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor : 11 Tahun 1970, dan Undang-undang Nomor : 6 Tahun 1968 tentang : Penanaman Modal Dalam Negeri, yang diubah oleh Undang-undang Nomor : 12 Tahun 1970. Bahkan dalam

7 “Investasi dan Permasalahannya”,

http://ambargemilang.blog.friendster.com/2008/10/ investasi-dan-permasalahannya/, diakses pada 14 Desember 2008, Pkl. 14:11 WIB.

8

Dalam Inpres tersebut, Presiden memberikan instruksi kepada 16 Menteri terkait, Sekretaris Kabinet, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, Kepala BKPM, Kepala BPN, Para Gubernur dan para Bupati/Wali Kota, guna Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing, dalam rangka pelaksanaan Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi guna menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif.

perkembangan terakhir, guna mengakomodir perkembangan dunia investasi, pada 2007 Indonesia memiliki undang-undang penanaman modal yang baru dengan keluarnya Undang-undang Nomor : 25 Tahun 2007 tentang : Penanaman Modal (UUPM).9 Ada beberapa hal baru yang ditawarkan dalam undang-undang penanaman modal 2007 ini yang memberikan angin segar bagi investor, baik dalam maupun luar negeri. Salah satunya ada jaminan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal tanpa membedakan asal negara (berdasarkan Most Favored Nations/MFN) dan juga kepada sesama perusahaan penanam modal.

Salah satu bentuk stimulasi dalam meningkatkan bidang investasi adalah adanya pengaturan dalam bidang pertanahan. Dalam UUPM 2007 tersebut diatur bahwa Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun; Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (duapuluh lima) tahun. Akan tetapi ketiga hal yang mengatur

9 Undang-undang Penanaman Modal yang baru ini

sekaligus menggantikan undang-undang

(4)

4 tentang penguasaan atas tanah inilah yang

akhirnya oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan tidak berlaku.

Pembahasan tentang hubungan hukum dengan investasi pada era reformasi berkisar bagaimana menciptakan hukum yang dapat mengakomodir kebutuhan investor dengan tetap menjaga kepentingan masyarakat umum, serta bagaimana regulasi tersebut dapat memulihkan kepercayaan investor asing untuk kembali menanamkan modalnya di Indonesia. Hal tersebutlah yang kiranya menjadi landasan pemikiran pemerintah dengan disahkannya UUPM 2007 ini.

Hal yang menarik dalam UUPM 207 ini adalah ketentuan mengenai fasilitas dan kemudahan hak atas tanah berupa Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP), padahal perihal hak-hak atas tanah tersebut sudah diatur dalam sebuah undang-undang pokok yakni Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Hal ini mengindikasikan bahwa tanah dijadikan sebagai faktor penarik modal (investor), bagaimana tidak, karena di atas tanah semua aktivitas manusia itu dilaksanakan, termasuk kegiatan investasi (investasi langsung).

Walaupun demikian, dengan peranan tanah sebagai aset yang mempengaruhi investasi, tanah masih dinilai memiliki permasalahan yang juga mempengaruhi kinerja investasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di Indonesia, masalah pertanahan menjadi masalah klasik yang belum dapat diselesaikan secara baik dan menyeluruh. Apabila dikaitkan antara permasalahan investasi di satu sisi dengan masalah pertanahan di sisi lain, maka akan timbul suatu pertanyaan; Apakah tanah menjadi faktor yang harus diperhitungkan dalam rangka peningkatan investasi ?, selain masalah-masalah lain dalam peningkatan investasi pada umumnya yang sudah diuraikan pada paragraf terdahulu.

Bagaimanapun, dilihat dari sifatnya, tanah merupakan pusat dari seluruh aktivitas manusia. Tanah sebagai unsur ruang yang strategis merupakan kebutuhan pokok yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Tanah mempuyai sifat yang multi-dimensi,10 yaitu fisik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Oleh karena itu, tanah memiliki hubungan yang sangat erat dengan manusia yang menempatinya; tanah mempunyai hubungan yang sifatnya religius-magis11 dengan manusia di atasnya. Karena sifatnya yang strategis itu, tanah dianggap sebagai faktor utama dalam mendukung aktivitas manusia dalam hidupnya.

Pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagai dasar pelaksanaan perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, menyatakan dengan tegas bahwa tanah adalah berada dalam penguasaan negara yang pengelolaan dan pemanfaatannya diarahkan guna mencapai kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya. Pasal 33 ayat (3) selengkapnya :

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Pasal 33 ayat (3) ini pula yang menjadi landasan filosofis dan yuridis dalam pengelolaan pertanahan di Indonesia, yang selanjutnya diimplementasikan dalam Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau dikenal dengan

10 Yuswanda A. Tumenggung, “Kebijakan

Penatagunaan Tanah dan Pengaturan Penguasaan Tanah dalam Kaitannya dengan Tugas dan Fungsi Pejabat Pembuat Akta Tanah”, Majalah Berita Bulanan Notaris, PPAT & Hukum RENVOI, Nomor 3.27.III, 2005, hlm. 38.

11 Hilman Hadikusuma dalam Muhammad Yamin,

(5)

5 undang Pokok Agraria (UUPA).

Selanjutnya dalam UUPA tersebut, diatur mengenai sumber daya agraria termasuk di dalamnya tanah. Dalam UUPA tersebut, ditentukan hak-hak atas tanah yang dapat dikuasai, baik oleh perorangan maupun badan hukum, dimana hak atas tanah ini diberikan oleh negara sebagai penguasa tertinggi terhadap tanah dengan menentukan dan mengatur hubungan hukum antara subjek hukum dan bumi, air dan ruang angkasa; yang dalam UUPA hak atas tanah ini ditentukan pada Pasal 16, yaitu : Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP), Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan, dan Hak-hak lain yang akan ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.12

Sejalan dengan tujuan negara dalam pembukaan UUD 1945, serta dengan jiwa arah perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, UUPA ini lahir dan mengatur dengan jelas, dimana UUPA dijadikan umbrella act dalam pengelolaan sumber daya agraria, bagaimana sumber daya agraria – khususnya tanah – dapat digunakan, dikelola dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. Didukung dengan alas hak atas tanah yang sudah ditetapkan dan dilindungi dengan sistem pendaftaran tanah demi kepastian hukum, tanah diarahkan sebagai modal dalam menggerakkan ekonomi rakyat. Perekonomian yang diharapkan dapat memacu kesejahteraan, sebagai akibat yang diharapkan dari pembangunan hukum, khususnya pembangunan hukum di bidang pertanahan.

12 Selanjutnya dalam Pasal 53 UUPA disebutkan

bahwa hak-hak atas tanah sementara ialah Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan UUPA dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya dalam waktu singkat. Sebagai pelaksanaan dari UUPA dalam hal HGU, HGB dan HP, maka telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor : 40 Tahun 1996 tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.

Peran tanah yang strategis disebabkan dengan adanya kebutuhan ekonomis, yang dapat diakui bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dapat terlepas dari masalah pertanahan. Semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara, maka peran tanah akan semakin dibutuhkan dan semakin penting artinya.

Disadari atau tidak, terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara kebijakan hukum di bidang pertanahan dengan kesejahteraan rakyat yang hendak dicapai dengan memformulasikan tanah sedemikian rupa guna mencapai kesejahteraan. Permasalahannya sekarang adalah berkaitan dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan itu sendiri. Apakah peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan sudah cukup memadai guna mewujudkan kesejahteraan dimaksud. Hal ini tentunya berkaitan dengan permasalahan investasi yang sudah diuraikan terlebih dahulu. Bagaimanakah peran tanah sebagai salah satu faktor ekonomi13 dapat mempengaruhi kinerja investasi, yang mana investasi tersebut merupakan salah satu indikator penting dalam membangun perekonomian suatu negara. Kalaulah dapat diambil suatu generalisasi bahwa tanah sebagai faktor modal dalam pembangunan, maka bagaimana peranan tersebut dapat dioptimalisasikan guna menjadi faktor penarik investasi sebagai salah satu sarana membangun perekonomian negara, tentunya dengan memposisikan tanah tidak sebagai komoditas, akan tetapi tanah dijadikan sebagai asset.

Walaupun demikian, di satu sisi Indonesia sangat membutuhkan investasi (baik investasi dalam negeri (PMDN)

13 Faktor ekonomi meliputi : Faktor Alam termasuk

(6)

6 maupun investasi dari luar negeri(PMA)),

akan tetapi di sisi lain UUPA sebagai umbrella act hukum pertanahan merupakan suatu undang-undang yang anti modal asing. Hal ini dilakukan dengan membatasi penguasaan tanah untuk kepentingan penanaman modal melalui hak-hak yang diberikan (HGU, HGB, HP). Berdasarkan UUPA 1960 tersebut, hak tanah paling lama dapat dikuasai penanam modal adalah selama 35 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun, hal mana berbeda dengan Malaysia, Singapura, Vietnam dan China hak atas tanah untuk investor berkisar antara 75 tahun sampai dengan 90 tahun.

Sekedar perbandingan, di negara Malaysia berdasarkan The Land National Code tahun 1965 jenis hak atas tanah terdiri dari Freehold Title dan Leasehold Title, untuk warga Negara asing dimungkinkan untuk memperoleh kedua jenis hak atas tanah tersebut. Untuk leasehold title umumnya dimiliki oleh Negara dan hak sewa tersebut biasanya mempunyai jangka waktu 60 tahun atau 99 tahun dan jangka waktu tersebut dapat diperbaharui kembali.14

Berbeda dengan Indonesia, pemilikan tanah untuk asing sangat dibatasi dengan adanya asas nasionalitas, bahwa yang dapat memiliki hubungan yang penuh dengan tanah hanyalah warga negara Indonesia, sementara asing hanya diperbolehkan menguasai tanah dengan hak yang terbatas. Pemberian hak atas tanah bagi orang asing dan badan hukum asing di Indonesia diatur berdasarkan ketentuan Pasal 42 dan Pasal 45 UUPA adalah hak pakai dan hak sewa. Peraturan perundangan undangan yang mengatur ketentuan tersebut dalam pelaksanannya adalah Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Peraturan Pemerintah Nomor 40

14

Agus Setyadi Hadisusilo, “Perbandingan Hukum Perolehan Hak Atas Tanah Untuk Orang Asing di Indonesia Khususnya di Pulau Batam dengan Orang Asing di Negara Malaysia”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, 2009, hlm. 62.

Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah, Praturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.7 Tahun 1996 dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No.8 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing. Dari peraturan yang ada tersebut, masih dinilai belum cukup menampung dan mendukung kepentingan asing untuk memiliki tanah dan atau properti yang akan berdampak positif bagi investasi.

PP. 40/1996 ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 50 UUPA yang menentukan bahwa, Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk bangunan diatur dengan peraturan perundangan. Salah satu meteri yang diatur PP. 40/1996 yang irasakan sangat mendorong pertumbuhan investasi di bidang usaha yang menjadikan tanah sebagai bagian dari barang produksi (seperti usaha perumahan) adalah adanya jaminan perpanjangan hak atas tanah yang diatur di dalamnya.

(7)

7 Mengenai hal ini, Ketua Dewan

Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia Teguh Satria15 berpendapat :

”Hampir tidak mungkin membagi kepemilikan hunian vertikal atas HGB (hak guna bangunan) dan hak pakai. Sudah saatnya berlaku satu macam hak kepemilikan, yakni hak pakai. Apabila pengembang membangun apartemen atau kondominium dengan alas HGB, orang asing akan sulit membeli. Sebaliknya, kalau kepemilikan properti di atas hak pakai, konsumen lokal yang enggan membeli”.

Begitu pula dengan rumitnya peraturan yang membagi hak atas tanah dalam beberapa kategori, mulai dari Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HBG), Hak Pakai (HP), Hak Sewa (HS), hingga Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS), membingungkan pengembang dalam memasarkan properti.16 Dengan demikian, dapatlah dikatakan permasalahan yang timbul dalam bidang investasi terkendala oleh sistem hukum tanah Indonesia yang begitu dianggap rumit dalam mengatur tentang penguasaan hak atas tanah yang pada gilirannya akan berdampak kepada iklim investasi.

Pada hakikatnya masalah di bidang pertanahan itu timbul dari kebutuhan akan tanah yang terus meningkat, sedangkan luas tanah yang tersedia relatif terbatas dan sebagian besar telah dikuasai dan/atau dimiliki oleh berbagai pihak dengan berbagai bentuk hubungan hukum. Untuk itu perlu pengaturan yang lengkap terhadap kepemilikan tanah oleh investor – khususnya asing – agar di satu sisi keberadaannya bermanfaat bagi pembangunan dan di sisi lain keberadaan investor juga mendapat jaminan kepastian hukum (legal certainty).

15 Lihat, http://www.kompas.com/, 25 Maret 2010,

diakses pada 01 Februari 2010, Pkl. 10.00 WIB.

16

(8)

8

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana peranan Hak Pakai atas tanah dalam peningkatan investasi di Indonesia ?

2. Bagaimana optimalisasi Hak Pakai atas tanah dalam peningkatan investasi ?

C. Metode Penelitian

Metode peneletian yang digunakan dalam penulisan ini adalah Metode Penelitian Hukum Normatif, yaitu suatu penelitian hukum yang dimaksudkan memberikan data yang seakurat dan selengkap mungkin yang menggunakan data skunder dengan mengutamakan bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum skunder maupun bahan hukum tertier.

Spesifikasi penulisan yang dilakukan adalah deskriptif-analitis yakni suatu penulisan yang dimaksudkan guna memberikan gambaran menyeluruh dan komprehensif tentang suatu gejala. Dalam hal ini adalah gambaran tentang sistem hukum pertanahan Indonesia dengan lebih memfokuskan penulisan terhadap optimalisasi Hak Pakai atas tanah dalam kaitannya dengan investasi guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Analisis dilakukan dengan metode kualitatif normatif dengan mana

data-data yang dianalisis antara lain, norma-norma peraturan dan perundangan-undangan, doktrin dan asas-asas dianalisis tidak tergantung pada jumlah (kuantitatif), tetapi data yang ada dianalisis dari berbagai sudut secara mendalam (holistik), dihubungkan dengan teori negara kesejahteraan, teori hukum pembangunan dan dihubungkan dengan teori sistem hukum.

Dalam penulisan ini juga, penulis menggunakan data sekunder yang diperoleh dengan cara studi kepustakaan. Adapun data skunder yang dipergunakan yaitu : bahan hukum primer, bahan hukum skuder dan bahan hukum tertier. Untuk mendukung penulisan ini, penulis juga melakukan penelitian lapangan guna mendapatkan data-data empirik yang aktual dan faktual berkaitan dengan permasalahan yang diteliti khususnya di daerah Jakarta dan Bogor.

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Peranan Hak Pakai atas Tanah dalam Peningkatan Investasi

a. Tanah sebagai Bagian dari Investasi

Tanah sebagai salah satu kekayaan nasional yang merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa17 bagi bangsa Indonesia memiliki posisi dan

17 Lihat, Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Pokok

Agraria.

(9)

9 demikian adalah kurang tepat apabila

tanah dijadikan sebagai komoditas semata, baik dalam penguasaan, pengelolaan maupun pemanfaatannya.

Dalam konsepsi ekonomi, tanah menjadi faktor sangat vital dan strategis yang berkaitan dalam berbagai aspek pembangunan ekonomi masyarakat. Dengan karakteristik tanah yang unik, karena persediaan tanah selalu tetap, artinya tanah tidak dapat diproduksi, tetapi dalam beberapa kondisi dapat berkurang, dan lokasinya tidak dapat digeser atau dipindahkan. Dapat dikatakan bahwa tanah adalah sumber dari seluruh kekayaan lainnya. Tanah menjadi landasan fisik kehidupan manusia dalam segala komposisi kebutuhan : tanah pertanian, tanah permukiman, industri, dan lingkungan hidup. Dalam perkembangannya, kebutuhan akan tanah permukiman dan industri semakin menonjol. Dj. A. Simarmata18 mengemukakan bahwa apabila dillihat dari kontribusinya pada PDB (Produk Domestik Bruto = GDP (Gross Domestic Product))19 atau penyerapan tenaga kerja di negara maju, kebutuhan tanah untuk industri dan permukiman dapat lebih vital dari kebutuhan tanah untuk kebutuhan pertanian, walaupun luas tanah untuk sektor itu dapat jauh lebih kecil dari pertanian; industri di negara maju telah lama menjadi sektor penyerap tenaga kerja dan penyumbang GDP terbesar.

Bagi bangsa Indonesia, tanah diakui sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa memiliki nilai-nilai religio-magis tidak hanya memiliki nilai-nilai moneter belaka, dengan demikian tanah tidak hanya dijadikan objek komoditas ekonomi saja tetapi melainkan menjadi

18 Dj. A. Simarmata, Ekonomi Pertanahan dan

Properti Indonesia : Konsep, Fakta dan Analisis,

Center for Policy and Implmentation Studies, Jakarta, 1997, hlm. 1.

19 Untuk pengertian PDB lihat catatan kaki nomor 2.

sesuatu yang memiliki nilai-nilai sakral. Dalam hal ini, Erman Rajagukguk20 menggambarkan tanah menjadi soal hidup-mati, menyatu dengan peluh, sehingga untuk itu “mereka” bersedia melakukan apa saja, sebagaimana pepatah Jawa mengatakan “Sedumuk batuk senyari bumi, ditohi pecahing dodo lan wutahing ludiro (Soal wanita dan tanah adalah soal yang sensitif dan untuk itu dipertaruhkan dada dan tumpahnya darah). Kendati seperti itu, dalam perkembangan kekinian, terlebih dalam era globalisasi21 ekonomi yang semakin menempatkan tanah sebagai komoditas ekonomi tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan tanah menjadi salah satu faktor ekonomi yang diandalkan dalam pergulatan perekonomian. Dengan demikian, adanya liberalisasi ekonomi pada era globaliasasi sekarang ini yang diartikan sebagai sistem perekonomian yang lebih mengarah pada mekanisme pasar merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Keadaan sedemikian rupa tersebut memerlukan adanya antisipasi dengan masuknya investasi dalam berbagai bentuk yang memanfaatkan tanah sebagai bagian tidak terpisahkan dalam kegiatan

20

Erman Rajagukguk, “Pemahaman Rakyat Tentang Tanah”, Makalah tanpa tahun, hlm. 2.

21Barbara Parker mengartikan globalisasi sebagai :

There is growing sense that events occurring throughout the world are converging rapidly to shape a single, integrated world where economic, social, cultural, technological, business, other influences cross traditional borders, and boundaries such as nation, national cultures, time, space, and business industries with increasing ease. (adanya peningkatan makna dan peristiwa

(10)

10 investasi, khususnya investasi langsung

(direct investment ).

Dikatakan bahwa tanah menjadi kebutuhan vital dalam perkembangan industri, hal tersebut mengandung pengertian bahwa tidak ada kegiatan industri yang tidak terlepas dari kebutuhan akan tanah, terlepas dari bentuk apapun industri tersebut. Sehingga tanah menjadi objek vital dalam melakukan semua kegiatan perekonomian, karena di atas tanah semua kegiatan manusia terpusat. Dalam kaitan ini adalah menjadi konsekuensi logis apabila tanah menjadi bagian integral dari modal kegiatan industri atau dengan kata lain tanah menjadi modal investasi, dalam hal ini investasi langsung.

Berdasarkan teori ekonomi, investasi berarti pembelian (dan berarti juga produksi) dari kapital/modal barang-barang yang tidak dikonsumsi tetapi digunakan untuk produksi yang akan datang (barang produksi). Dimana modal dalam investasi tersebut merujuk kepada nilai uang yang digunakan dalam sebuah kegiatan bisnis guna membeli aset tetap (fixed asset)22 seperti tanah dan rumah, fixed asset inilah yang merupakan modal investasi dimaksud. Atau, dalam terminologi lain bahwa modal investasi ....is the acquisition of a fixed asset that is anticipated to have a long life of use before it has to be replaced or repaired. Two of the most easily recognizable examples of capital investments are land and buildings.23 Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa tanah sebagai fixed asset merupakan bagian dari modal sebuah investasi yang sangat vital dan menjadi bahan pertimbangan

22

Aset tetap adalah aset yang berupa benda-benda yang digolongkan sebagai bendat tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan.

23

Lihat, http://www.wisegeek.com/what-is-a-capital-investment.htm, diakses pada 10 Desember 2009, Pkl. 21:19 WIB.

utama bagi para investor sebelum menanamkan modalnya. Bahwa seorang investor yang akan menanamkan modalnya pada suatu bidang usaha tertentu akan selalu memperhatikan faktor-faktor keamanan lingkungan, kepastian hukum, status lahan investasi dan dukungan pemerintah.24 Dengan demikian, tanah menjadi salah satu faktor modal dalam investasi dari sisi faktor non ekonomi yang menjadi faktor penentu keberhasilan investor dalam menanamkan modalnya selain faktor-faktor ekonomi sebagai faktor-faktor penentu keberhasilan investasi, seperti faktor tingkat suku bunga, kebijakan perpajakan dan regulasi perbankan, serta infrastruktur dasar.

Guna memberikan pemahaman yang lengkap mengenai korelasi investasi dengan tanah sebagai salah satu modal investasi yang dilakukan, dalam uraian berikut penulis akan menguraikan mengenai jenis-jenis investasi dilihat dari bentuk investasi yang dilakukan, dengan demikian akan terlihat jelas dimana letak peranan penting tanah sebagai modal investasi, hal ini berkaitan dengan bentuk investasi langsung (direct investment) dan investasi tidak langsung (indirect investment). Bentuk investasi yang manakah yang langsung berkaitan dan memerlukan lahan atau tanah dalam implementasi investasinya.

Dalam UU. No. 25 Tahun 2007 (UUPM), isitilah yang digunakan adalah penanaman modal. Pasal 1 angka 1 menyebutkan, penanaman modal25 adalah segala bentuk kegiatan

24 Bachri, “Survei Faktor-faktor Non Ekonomi yang

Mempengaruhi Iklim Investasi di Sul-Sel”, Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan, Triwulan II, Tahun 2007, Hal. 33.

25 Sementara pengertian modal dalam faham

(11)

11 menanam modal, baik oleh penanam

modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Dari definisi yang diberikan tersebut dapat diketahui bahwa penanaman modal tersebut terbagi kedalam dua bentuk, yakni penanaman modal dalam negeri (PMDM) dan penanaman modal asing (PMA).

Pertama, penananman modal dalam negeri.Yang dimaksudkan dengan penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. Sementara yang dimaksud dengan modal dalam negeri dijabarkan dalam Pasal 1 angka 9 UUPM, yang menyebutkan bahwa modal dalam negeri adalah modal yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia, perseorangan warga negara Indonesia, atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum.

Kedua, penanaman modal asing. dalam Pasal 1 angka 3 UUPM, penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Selanjutnya yang dimaksud modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing.

mempunyai nilai ekonomis. Pasal 1 angka 7 UU. No. 25 Tahun 2007.

Merujuk pada pengertian penanaman modal tersebut, akan didapatkan suatu pengelompokan bahwa penanaman modal tersebut dapat dilakukan untuk semua jenis kegiatan, karena dalam pengertian tersebut terdapat kata-kata “.... segala bentuk kegiatan...”, dan pada Pasal 2 UUPM ditegaskan bahwa semua ketentuan dalam UUPM berlaku bagi penanaman modal di semua sektor di semua wilayah Indonesia. Walaupun demikian, secara a contrario, dalam penjelasan Pasal 2 UUPM disebutkan yang dimaksud dengan “penanaman modal di semua sektor di wilayah negara Republik Indonesia” adalah penanaman modal langsung dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio, karena bentuk penanaman modal tidak lansung atau portofolio ini diatur oleh undang-undang yang lain, yakni Undang-undang Nomor : 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

Dalam UUPM ternyata tidak semua bidang usaha yang dapat dijadikan objek investasi, terdapat beberapa bidang usaha yang oleh pemerintah dinyatakan tertutup bagi kegiatan penanaman modal. Seperti ketentuan Pasal 12 ayat (2) UUPM yang menentukan beberapa bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal asing seperti produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang dan bidang-bidang usaha yang secara tegas dinyatakan oleh undang-undang tertutup bagi investasi asing.

(12)

12 kepentingan nasional, yaitu

perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.

Berkaitan dengan terminologi penanaman modal dalam UUPM tersebut, dalam dunia investasi dikenal adanya dua jenis investasi yang dibedakan dari bentuknya, yakni investasi tidak langsung (indirect investment) dan investasi langsung (direct investment). Dalam investasi tidak langsung (indirect investment), investor tidak perlu hadir secara fisik, sebab pada investasi jenis ini, investor menggunakan dana jangka pendek yang ditanamkan dengan cara tidak mendirikan suatu perusahaan melainkan banyak dilakukan dalam bentuk saham korporasi,26 surat obligasi,27 surat utang negara (SUN),28 yang dikenal juga

26

Saham adalah satuan nilai atau pembukuan dalam berbagai instrumen finansial yang mengacu pada bagian kepemilikan sebuah perusahaan. Lihat,

http://id.wikipedia.org/wiki/Saham, diakses pada 06 April 2010, Pkl. 14:17 WIB. Pada Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor : 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, disebutkan bahwa saham merupakan modal dasar dalam pendirian suatu perseroan terbatas.

27

Obligasi adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam dunia keuangan yang merupakan suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo pembayaran. Ketentuan lain dapat juga dicantumkan dalam obligasi tersebut seperti misalnya identitas pemegang obligasi, pembatasan-pembatasan atas tindakan hukum yang dilakukan oleh penerbit. Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Obligasi, diakses pada 06 April 2010, Pkl. 14:14 WIB.

28

Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya. Lihat, Pasal 1 angka 1,

Undang-sebagai investasi dalam bentuk portofolio. Dana dari investasi portofolio umumnya bersifat jangka pendek (hot money) dan dapat ditarik kembali oleh investor (arus balik) setiap saat apabila ada negara lain yang menawarkan keuntungan lebih besar. Oleh karena itu, ada kemungkinan pemerintah akan mengalami guncangan ekonomi apabila suatu waktu dana tersebut ditarik kembali oleh investor dalam jumlah besar. Selain itu, investasi portofolio juga sulit menjangkau kesejahteraan rakyat. Jadi, meskipun mampu mendorong nilai rupiah, tidak ada peningkatan yang berarti di sektor riil. Kendati begitu, dalam beberapa hal, investasi langsung juga memberikan dampak positif bagi ekonomi suatu negara.

Dalam investasi langsung (direct investment), investor hadir secara fisik dengan bentuk menanamkan dananya dengan cara mendirikan suatu badan usaha dan biasanya terkait dengan investasi aset-aset produktif, seperti : pembelian atau konstruksi sebuah pabrik, pembelian tanah, peralatan atau bangunan; atau konstruksi peralatan atau bangunan yang baru yang dilakukan oleh perusahaan, investasi dalam usaha perkebunan dan lain-lain corak investasi langsung yang saat ini bermunculan. Investasi langsung inilah yang diatur oleh UUPM tahun 2007 sebagai salah satu rezim investasi langsung di Indonesia. Membandingkan efek dari kedua bentuk investasi langsung dan tidak langsung, Gunarto Suhardi29 berpendapat :

”Investasi langsung lebih baik jika dibandingkan dengan investasi portofolio

undang Nomor : 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara

29 Lihat Sentosa Sembiring, Hukum Investasi :

Pembahasan Dilengkapi dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, CV. Nuansa Aulia, Bandung, Cetakan I,

(13)

13

karena investasi langsung lebih permanen. Selain itu, investasi langsung : 1. memberikan kesempatan kerja bagi penduduk; 2. mempunyai kekuatan penggandaan dalam ekonomi lokal; 3. memberikan residu, baik berupa peralatan maupun alih teknologi; 4. bila produksi diekspor, memberikan jalan atau jalur pemasaran yang dapat dirunut oleh pengusaha lokal di samping seketika memberikan tambahan devisa dan pajak bagi negara; 5. lebih tahan terhadap fluktuasi bunga dan valuta asing; 6. memberikan perlindungan politik dan keamanan wilayah karena bila investor berasal dari negara kuat niscaya bantuan keamanan juga akan diberikan”.

Terfokus pada nilai strategis tanah dalam kegiatan investasi, dari uraian singkat tentang bentuk investasi di atas, terlihat jelas bahwa nilai strategis tanah tersebut muncul sebagai faktor pendukung dalam bentuk investasi langsung, karena dalam investasi langsung tersebut dalam melakukan kegiatan investasinya, investor tergantung pada faktor penggunaan lahan (tanah). Hal itu juga yang rupanya ditangkap oleh pembuat undang-undang dalam menyusun UUPM tahun 2007, sehingga dalam UUPM Tahun 2007 tersebut kepada investor, baik asing maupun dalam negeri diberikan fasilitas hak atas tanah yang bersifat liberal. Dalam penjelasan umum UUPM disebutkan bahwa fasilitas penanaman modal diberikan dengan mempertimbangkan tingkat daya saing perekonomian dan kondisi keuangan negara dan harus promotif dibandingkan dengan fasilitas yang diberikan negara lain. Pentingnya kepastian fasilitas penanaman modal ini mendorong pengaturan secara lebih detail terhadap bentuk fasilitas fiskal,

fasilitas hak atas tanah, imigrasi, dan

fasilitas perizinan impor. Walaupun pada akhirnya pengaturan fasilitas hak atas tanah dalam UUPM ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Dalam UUPM tahu 2007 tersebut diatur bahwa Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun; Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (duapuluh lima) tahun. Dilihat dari pengaturan yang dituangkan oleh pembuat undang-undang dalam UUPM tersebut, dapat ditangkap suatu keinginan guna mengundang minat investor dengan mengedepankan nilai strategis tanah dalam pelaksanaan kegiatan investasi. Betapa tanah menjadi komoditas utama dalam mendongkrak nilai investasi yang sering kali dari faktor tanah inilah muncul berbagai permasalahan yang menjadi penghambat investasi. Hal tersebut merupakan suatu alternatif solusi guna mengatasi pembangunan ekonomi, karena pada tahun 2007 saja, Indonesia menghadapi masalah penganguran yang berjumlah 13,4 juta orang.30 Untuk mengatasi masalah tersebut Indonesia harus meningkatkan pertumbuhan ekonomi menjadi 6,3 % per tahun. Ini berarti, pada tahun 2007 tersebut saja Indonesia membutuhkan total investasi baru sebesar 989 Trilyun rupiah, baik itu investasi dari dalam negeri maupun luar negeri melalui pola investasi asing langsung (foreign direct

30 Lihat, Herman Slaats et. al. , Masalah Tanah di

Indonesia Dari Masa ke Masa, Lembaga Studii

(14)

14 investment). Dengan demikian, tanah

sebagai bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan modal investasi dijadikan salah satu icon guna menarik minat investor. Tetapi dalam hal ini bukanlah fisik tanahnya yang juga harus diperhatikan, karena menurut hemat penulis sistem perolehan hak atas tanah dan birokrasi yang juga musti dibenahi agar investor menanamkan modalnya di Indonesia.

Dengan demikian, jelaslah tanah merupakan modal dan menjadi objek investasi dengan hanya melihat tanah semata-mata dari aspek ekonomi. Berkaitan dengan hal tersebut, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan I Gede A. B Wiranata,31 terdapat faktor-faktor dominan terhadap tanah yang menjadi daya tarik investor dalam menanamkan usahanya : (a) mapannya fungsi kelembagaan pemerintah daerah dalam melaksanakan tertib administrasi, (b) kestabilan politik, sosial, dan budaya, (c) ketersediaan tenaga kerja dan produktivitas, serta (d) tersedianya infra struktur penunjang. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa walaupun aspek ekonomi tanah memiliki nilai strategis dalam investasi, tetapi juga ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor di luar niali ekonomis tanah itu sendiri.

Terfokus kepada tanah sebagai bagian modal dalam investasi, hal tersebut tertumpu pada dua fungsi tanah sebagai bagian modal dalam investasi, yakni : tanah sebagai tempat untuk melakukan prouksi dan tanah sebagai bagian dari barang produksi. Pertama, tanah sebagai tempat untuk melakukan produksi; hal ini berarti bahwa dalam melakukan kegiatan investasi, tanah tidak menjadi pokok kegiatan produksi melainkan kegiatan produksi tersebutlah yang dilaksanakan di atas

31 I Gede A. B Wiranata, Laporan Hasil Penelitian

Dosen : Reorientasi Terhadap Tanah Sebagai Objek Investasi, Fakultas Hukum Universitas

Lampung, 2007, hlm. 4.

tanah dan atu di dalam tanah, seperti kegiatan investasi di bidang perkebunan yang melaksanakan kegiatan produksi perkebunan di atas tanah. Kedua, tanah menjadi bagian barang produksi. Hal ini berarti bahwa tanah menjadi bagian pokok kegiatan investasi dengan melakukan kegiatan transaksi dan atau mengalihkan hak atas tanah dan berikut juga benda-benda yang ada di atas dan atau di dalam tanah. Bentuk kegiatan investasi ini seperti investasi dalam bidang real estate, dimana kegiatan pembangunan perumahan yang dilaksanakan pada akhirnya akan diikuti oleh perbuatan pengalihan hak atas tanah berikut hak atas bangunannya sendiri.

UUPM adalah upaya pemerintah dalam merespon investasi yang berkembang degan begitu cepat. UUPM adalah sebagai pengganti atas UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang sudah diubah juga dengan UU No. 11 Tahun 1970, UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Asing dan sudah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1970.

(15)

15 dengan alasan macam-macam ? Pada

satu sisi mewajibkan persyaratan bagi investor yang bermaksud memperoleh pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan sekaligus di muka dan dapat diperbarui, dapat dihentikan atau dibatalkan oleh pemerintah. Hal itu dapat dilakukan jika investor tersebut menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.

Walaupun pada akhirnya tidak lama setelah disahkan, UUPM ini dalam beberapa pasalnya dianulir oleh Mahkamah Konstitusi atas pengajuan Judicial Review. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mengabulkan perubahan pasal 22, yaitu sepanjang kata-kata di muka sekaligus tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya HGU, HGB dan Hak Pakai baru dapat diperpanjang setelah berakhir jangka waktunya.

b. Hak Pakai Atas Tanah sebagai Objek Hak Tanggungan

Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, yang para pelakunya meliputi, baik Pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perseorangan dan badan hukum, sangat diperlukan dana dalam jumlah yang besar. Dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat juga keperluan akan tersedianya dana, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan.

Dari penelitian Penulis, diketahui nilai Hak Tanggungan yang terdaftar di BPN di wilayah DKI Jakarta sampai dengan akhir 2010 mencapai Rp. 46.545.616.705.271. Yang terbagi ke dalam lima wilayah, Jakarta Pusat : Rp. 7.008.318.428.938, Jakarta Selatan : Rp. 17.112.657.593.845, Jakarta Barat : Rp. 12.515.173.370.128, Jakarta Timur : Rp. 5.380.407.329.540, dan

Jakarta Utara : Rp.

4.529.059.973.820.32 Dilihat dari besaran nilai Hak Tanggungan tersebut, dapat dikatakan bahwa adanya Hak Tanggungan begitu besar peranannya dalam pembangunan perekonomian, dimana peranan pembangunan perekonomian ini tidak lepas dari pembangunan konstruksi hukum jaminan khususnya jaminan yang menggunakan lembaga hak atas tanah sebagai objek Hak Tanggungan-nya.

Dalam Pasal 51 UUPA, sebenarnya sudah disediakan lembaga hak jaminan yang dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan, sebagai pengganti lembaga Hipotik33 dan Credietverband34. Walaupun dalam

32 Laporan Akhir Pelaksanaan Program-program

Pertanahan Tahun 2010 dan Rincian DIPA 2011, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi DKI Jakarta, hlm. 35.

33 Hipotik adalah sebuah hak kebendaan atas

benda-benda tak bergerak, yang seperti hak gadai, tidak bermaksud memberikan kepada orang yang berhak (disebut pengambil hipotik, atau sebutan yang lebih lazim pemegang hipotik) sesuatu nikmat dari suatu benda tetapi ia bermaksud memebrikan jaminan belaka bagi pelunasan sebuah hutang dengan hak dilebih dahulukan. H. F. A. Volmar, Pengantar

Studi Hukum Perdata Jilid I, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 1996, hlm. 328.

34 Credietverband adalah lembaga jaminan yang

ditujukan untuk memberikan kesempatan kepada golongan pribumi untuk dapat memperoleh kredit dari lembaga-lembaga perbankan, dengan lembaga jaminan hak atas tanah yang bukan merupakan hak-hak yang dikenal dalam B.W yaitu terutama hak-hak atas tanah menurut hukum adat. Lihat, Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak

Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang

(16)

16 pada itu perlu disadari bahwa hukum

materiil yang dilanjutkan pemakaiannya oleh UUPA itu bukan hipotik dan credietverband dalam kedudukannya sebagai lembaga, akan tetapi hanya ketentuan-ketentuannya saja.35 Pasal 51 UUPA selengkapnya sebagai berikut :

“Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan undang-undang”.

Amanat yang disebutkan dalam Pasal 51 UUPA tersebut baru setelah 36 tahun undang-undang yang mengatur tentang lembaga hak tanggungan itu diterbitkan oleh Pemerintah yakni dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor : 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Degan Tanah (UUHT), sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam menanggapi pertumbuhan ekonomi yang harus ditopang juga dengan pembangunan hukum.

UUHT ini bertujuan untuk menuntaskan unifikasi hukum tanah nasional, khususunya hukum jaminan atas hak-hak atas tanah. Adapun posisi hak tanggungan dalam hukum jaminan, merupakan satu-satunya lebaga hak jaminan atas tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. Lembaga jaminan ini diperlukan bagi peningkatan dunia investasi dan perdagangan di Indonesia. Kegiatan investasi dan perdagangan tersebut memerlukan pembiayaan. Pembiayaan tersebut antara lain diperoleh melalui kredit perbankan. Dan guna perlindungan hukum bagi pihak perbankan, hak jaminan tanggungan ini berperan sebagai alat perlindungna hukum bagi para pihak yang terkait di dalamnya.

35

Mariam Darus Badrulzaman, Mencarai Sistem

Hukum Benda Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, 1997, hlm. 98.

Pada Pasal 1 angka 1 UUHT disebutkan tentang pengertian hak tanggungan sebagai berikut :

Pasal 1 angka 1 UUHT :36

“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditorkreditor lain”. (cetak tebal oleh Penulis)

Apabila dicermati lebih lanjut, dalam pengertian hak tanggungan tersebut dikatakan “....hak atas tanah

sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria...”. Dengan demikian, bahwa hak-hak atas tanah yang dapat dijaminkan dengan hak tanggungan apabila merujuk pada UUPA, hak-hak atas tanah tersebut terdiri dari Hak Milik (Pasal 25 UUPA), Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA), dan Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA). Pembatasan terhadap ketiga hak tersebut yang hanya dapat

36

Istilah Hak Tangungan diambil dari istilah lembaga jaminan di dalam hukum adat. Di dalam hukum adat istilah Hak Tanggungan dikenal di daerah Jawa Barat juga di beberapa daerah di Jawa Tengah atau Jawa Timurdan dikenal juga dengan istilah Jogjogan atau juga isitilah Ajeran merupakan lembaga jaminan dalam hukum adat yang objeknya biasanya tanah atau rumah. Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan

(17)

17 dijadikan sebagai objek jaminan dengan

dibebani hak tanggungan semata-mata karena dengan sifatnya ketiga hak tersebut wajib didaftarkan (asas publisitas) dan dapat dialihkan. Sementara hak atas tanah yang lain seperti Hak Pakai, UUPA tidak mewajibkan Hak Pakai itu harus didaftarkan dengan demikian tidak memenuhi unsur publisitas dan oleh karenanya UUPA tidak menjadikan Hak Pakai atas tanah menjadi salah satu hak atas tanah yang dapat dibebani oleh hak tanggungan.

Hak Pakai dalam UUPA diatur dalam Pasal 16, 41 dan Pasal 43. dari ketentuan yang diatur dalam UUPA tersebut Hak Pakai merupakan hak atas tanah yang diberikan oleh negara yang terbuka kemungkinan penguasaannya bagi asing, baik perorangan asing maupun badan hukum asing yang memiliki perwakilan di Indonesia. Dengan demikian, Hak Pakai ini sangat berpotensi dalam rangka meningkatkan investasi, khususnya foreign direct investment.

Dalam perkembangannya, pengaturan tentang Hak Pakai telah mengalami sejumlah perubahan. Bila dalam UUPA Hak Pakai tidak ditunjuk sebagai obyek hak tanggungan, namun dalam perkembangannya dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agraria Nomor : 1 Tahun 1966 tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, dikatakan bahwa agar Hak Pakai mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain, maka Hak Pakai itu perlu didaftarkan selain juga HM, HGU dan HGB.

Pasal 1 PMNA No.1/1966 :

“Selain hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan akan harus pula didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah no.10 tahun 1961 (L.N. 1961 No.28) :

a. Semua Hak Pakai, termasuk yang diperoleh Departemen-Departemen, dalam Peraturan Menteri Agraria No.9 tahun 1965;

b. Semua hak Pengelolaan sebagai dimaksud dalam Peraturan Menteri Agraria No.9 tahun 1965”.

Mengenai pendaftaran Hak Pakai ini menurut A. P. Parlindungan37 memang hal ini dimaksudkan untuk memberikan suatu kepastian hak/hukum terhadap status hak atas tanah tersebut, akan tetapi ketentuan itu belum berarti bahwa Hak Pakai tersebut akan dengan sendirinya dapat dibebani hipotik/credietverband walaupun tidak ada ketentuan yang secara tegas-tegas melarangya, karena tafsiran semacam itu akan dapat membawa resiko bagi para kreditur, disamping landasan yuridisnya disangsikan. Untuk itu disarankan sudah saatnya pemerintah memberikan kedudukan yang lebih baik kepada Hak Pakai sebagai objek hak tanggungan.

Perkembangan selanjutnya yang juga merupakan suatu terobosan hukum dengan adanya UUHT telah memberikan ruang potensial yang lebih baik terhadap Hak Pakai atas tanah dengan ditunjuknya Hak Pakai atas tanah menjadi salah satu hak atas tanah yang dapat menjadi objek hak tangungan, selama Hak Pakai tersebut didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipidahtangankan/dialihkan. Pasal 4 UUHT menyebutkan sebagai berikut :

(1)Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah:

a.Hak Milik; b.Hak Guna Usaha; c.Hak Guna Bangunan.

(2)Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan

37

A. P. PArlindungan, Kapita Selekta Hukum

Agraria, Penerbit Alumni, Bandung, 1981, hlm.

(18)

18

yang berlaku wajib didaftar dan

menurut sifatnya dapat

dipindahtangankan dapat juga di-bebani Hak Tanggungan.

(3)Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas tanah Hak Milik akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

(4)... dst”.

Dengan ditunjuknya Hak Pakai manjadi objek hak tanggungan sebagai hak jaminan yang membebani hak atas tanah dari UUPA, bahwa dengan adanya pasal 4 ayat (2) UUHT diberikan suatu ketentuan yang memungkinkan Hak Pakai dijadikan sebagai obyek hak tanggungan. Ini merupakan suatu ketentuan yang baru karena selama ini belum ada ketentuan yang memungkinkan Hak Pakai dijadikan sebagai obyek hipotik. Apalagi dengan dikeluarkannya PP No. 40/1996 yang mewajibkan semua Hak Pakai didaftarkan pada buku tanah kantor pertanahan, ini semakin membuka peluang untuk digunakannya Hak Pakai sebagai jaminan kredit.

Melihat perkembangan pengaturan tentang Hak Pakai ini apalagi dengan ditempatkannya Hak Pakai sebagai obyek hak tanggungan mencerminkan bahwa Hak Pakai dipandang sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama bagi masyarakat kecil serta pemberian Hak Pakai bagi orang asing akan menarik minat pemodal asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia yang akan bermanfaat bagi pembangunan di Indonesia. Pernyataan bahwa Hak Pakai tersebut dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan merupakan penyesuaian ketentuan UUPA dengan perkembangan Hak Pakai itu sendiri serta kebutuhan masyarakat.

Berkaitan dengan hak asing yang dapat menguasai Hak Pakai ini,

menurut Tampil Anshari Siregar38 perlu diingat bahwa Hak Pakai atas tanah negara diberikan kepada warga negara asing yang benar-benar penduduk Indonesia dan/atau badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia dalam pengertian bahwa aktivitas warga negara asing dan badan hukum asing dimaksud terutama yang terkait kepada Penanaman Modal Asing jika diberikan Hak Pakai kepadanya harus benar-benar memberi manfaat bagi pembangunan nasional Indonesia. Demikian juga pendapat Mariam Darus Badrulzaman39 yang mengatakan :

“Saya tidak Melihat hal ini sebagai hal positif, karena justru mereka diharapkan membawa dana ke Indonesia dan bukan memperoleh dana dengan memanfaatkan tanah milik negara dan menjaminkannya kepada bank atau pihak ketiga”.

Terlepas dari pesimisme seperti yang diutarakan tersebut di atas, keberadaan Hak Pakai atas tanah sebagai objek hak tanggungan harus dilihat sebagai upaya guna menjawab kebutuhan masyarakat di bidang perekeonomian yang terus meningkat. Tinggal bagaimana pesimisme tersebut dijawab dengan adanya pengawasan yang ketat dari negara tentang pelaksanaan dan implementasi pemberian dan penguasaan Hak Pakai tersebut.

Seperti sudah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa terdapat dua jenis Hak Pakai, yaitu Hak Pakai privat dan Hak Pakai publik. Hak Pakai publik yang walaupun wajib didaftar, tetapi karena sifatnya tidak dapat dipindahtangankan, seperti Hak Pakai atas nama Pemerintah, Hak Pakai atas nama Badan Keagamaan dan Sosial,

38 Tampil Anshari Siregar, Pendalaman Lanjutan

Undang-Undang Pokok Agraria, Penerbit Pustaka

Bangsa Press, Medan, Cetakan Pertama, 2005, hlm. 263.

(19)

19 dan Hak Pakai atas nama Perwakilan

Negara Asing, yang berlakunya tidak ditentukan jangka waktunya dan diberikan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu, bukan merupakan obyek Hak Tanggungan.

Demikian pula Hak Pakai atas tanah Hak Milik tidak dapat dibebani Hak Tanggungan, karena tidak memenuhi kedua syarat di atas. Tetapi mengingat perkembangan kebutuhan masyarakat dan pembangunan di kemudian hari, dalam UUHT dibuka kemungkinannya untuk dapat juga ditunjuk sebagai obyek Hak Tanggungan, jika telah dipenuhi persyaratan sebagai yang disebutkan di atas.

Dari penjelasan tersebut dapat digambarkan hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan :

Dengan perkembangan aturan hukum yang mendukung dan menjadikan Hak Pakai atas sebagai hak yang berpotensi dalam meningkatkan investasi dengan dijadikan sebagai objek hak tanggungan, tetap saja pemanfaatan Hak Pakai atas tanah sebagai jaminan dengan hak tanggungan kualitasnya masih rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Harianto Tanjung40 menunjukan

40 Harianto Tanjung, “Pemanfaatan Hak Pakai Atas

Tanah Sebagai Objek Hak Tanggungan Dalam

bahwa secara kuantitas pemanfaatah Hak Pakai atas tanah sebagai hak tanggungan masih kecil dibandingkan hak-hak atas tanah lainnya. Hal ini dikarenakan jangka waktu Hak Pakai yang relatif singkat sehingga tidak menarik investor untuk menggunakan hak atas ini dan juga adanya kebijakan internal perbankan yang membatasi pemanfaatan Hak Pakai atas tanah sebagai objek hak tanggungan.

Akhirnya, walaupun keberadaan Hak Pakai dalam perkembangannya telah mengalami kemajuan yang cukup baik terutama dari segi penegasan pengaturannya guna memberi perlindungan hukum bagi masyarakat dan merupakan jaminan kepastian hukum dalam bidang hak-hak atas tanah, namun masih harus dilihat bagaimana wujud nyata pelaksanaannya dalam masyarakat, untuk itu sudah tentu diperlukan peran serta aparat penegak hukum dan masyarakat dalam upaya mendayagunakan Hak Pakai ini sesuai dengan peruntukannya seperti yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun peraturan pelaksanaannya.

c. Hak Pakai dan Pemilikan Properti Bagi Asing

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),41 properti diartikan sebagai harta berupa tanah dan bangunan serta sarana dan prasarana yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tanah dan/atau bangunan yang dimaksud; tanah milik dan bangunan. Dengan menggunakan pengertian properti dari KBBI tersebut sebagai acuan, dalam sub sub-bab ini

Praktek Perbankan (Suatu Penelitian di Kota Medan)”, Tesis, Program Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2003.

41

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Edisi Ketiga,

Cetakan Ketiga, 2005, hlm. 898.

OBYEK HAK TANGGUNGAN

Hak Milik

Hak Guna Usaha

Hak Guna Bangunan

Hak Pakai Privat

(20)

20 Penulis dalam mengartika peoperti

sebagai tanah dan bangunan dalam hal lebih kepada rumah tempat tinggal.

UUPA sebagai aturan dasar yang mengatur mengenai penguasaan atas tanah, menetapkan bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan tanah (Pasal 9 ayat (1) UUPA). dari ketentuan tersebut, warga negara asing tidak memiliki kesempatan guna memiliki tanah dengan hak penguasaan yang penuh. tetapi dengan dasar HMN, dalam hal ini asing, baik perorangan maupun badan hukum, dapat diberikan hak atas tanah dengan penguasaan atas tanah yang terbatas.

Dalam praktik, tidak sedikit warga negara asing menguasai tanah yang sebelumnya berstatus Hak Milik lainnya dengan cara melakukan penyelundupan hukum, dimana warga negara asing melakukan kesepakatan atau perjanjian atau perikatan jual beli dengan warga negara Indonesia pemegang hak milik atas tanah yang diperjanjikan. Ada juga dengan modus Warga Negara Indonesia memberikan kewenangan melalui “surat kuasa” kepada Warga Negara Asing untuk menguasai dan melakukan perbuatan hukum di atas tanah hak milik tersebut. Secara administratif, tanah Hak Milik dimaksud terdaftar atas nama Warga Negara Indonesia, tetapi fakta di lapangan Warga Negara Asing-lah yang menguasai dan melakukan aktifitas di atas tanah hak milik tersebut.42

Berkaitan dengan penguasaan tanah oleh asing, dalam UUPA hanya ada satu lembaga hak atas tanah yang memungkinkan asing untuk memilikinya, yakni Hak Pakai atas tanah. Dalam Pasal 42 UUPA

42 J. Kamal Farza, ”Bolehkah WNA Miliki Tanah &

Bangunan?”, Lihat, http://www.modusaceh.com/.

disebutkan bahwa yang dapat mempunyai Hak Pakai ialah :

a. Warga negara Indonesia;

b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;

c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; dan d. Badan hukum asing yang

mempunyai perwakilan di Indonesia.

Peluang yang diberikan UUPA tersebut kemudian ditegaskan pula dalam UURS yang membuka peluang asing untuk memiliki rumah susun (apartemen) yang dibanguan di atas tanah Hak Pakai. Dalam Pasal 7 UURS disebutkan tentang pembangunan Rumah Susun bahwa Rumah Susun hanya dapat dibanguan di atas tanah Hak Milik, HGB, Hak Pakai atas tanah Negara atau tanah Hak Pengelolaan. Selanjutnya dalam Pasal 8 ayat (1) UURS disebutkan satuan Rumah Susun dimiliki perseorangan atau badan hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Dalam ayat (2) pasal yang sama ditegaskan pula bahwa HMSRS meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama yang kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan. Dari ketentuan Pasal 7 dan 8 UURS tersebut, kesempatan asing guna memiliki HMSRS hanya terbuka pada Rumah Susun yang dibangun di atas tanah Hak Pakai, kenapa demikian, karena UURS tersebut secara tersurat menganut asas pelekatan vertikal43 dimana yang bisa

43 Asas Pelekatan Vertikal adalah pelekatan secara

(21)

21 memiliki HMSRS hanyalah subjek

hukum yang memenuhi kualifikasi sebagai pemegang hak atas tanah menurut UUPA, sedangkan untuk Rumah Susun yang dibangun di atas tanah HGB, kesempatan asing sama sekali tertutup guna memiliki HMSRS, hal itu disebabkan dalam UUPA, asing (perorangan maupun badan hukum) tidak diperkenankan menguasai tanah dengan HGB.

Menurut penulis, faham yang dianut oleh UURS yang dengan tegas menganut asas pelekatan vertikal yang menyatukan kemilikan tanah bersama, benda bersama dan unit satuan Rumah Susun tidak sesuai dengan faham UUPA yang menganut asas pemisahan horizontal yang bersumber dari Hukum Adat. Pada hal dalam Pasal 5 UUPA disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara…dst”.44 Dengan keadaan seperti itu, apabila pengembang membangun apartemen atau kondominium dengan alas HGB, maka orang asing akan sulit membeli. Sebaliknya, kalau kepemilikan properti di atas hak pakai, konsumen lokal yang enggan membeli.45 Bisa dikatakan hal ini merupakan pilihan sulit bagi para investor yang bergerak pada pengembang properti, di satu sisi potensi asing khususnya expatriate merupakan pasar yang sangat potensial dalam memasarkan produk rumah susun

(apartemen) akan tetapi terganjal dengan konstruksi hukum yang ada, sehingga tidak jarang timbul bentuk penyelundupan hukum. Di sisi lain apabila investor pengembang membangun di atas tanah Hak Pakai akan terganjal oleh singkatnya waktu penguasaan atas tanahnya yang tentunya juga akan sangat berpengaruh

44 Lihat, Pasal 5 UUPA.

45 Lihat catatan kaki nomor 28.

kepada kegairahan konsumen untuk membeli produk propertinya.46

Bagi perorangan WNA jika ingin memiliki tanah dan bangunan di atasnya, Hak Pakai atas tanah memberikan peluang kepemilikan dalam jangka waktu tertentu. Hak Pakai bagi WNA didasarkan pada Peraturan PP. 41/1996. Pada Pasal 1 ayat (1) PP. 41/1996, dinyatakan bahwa orang asing dapat memiliki sebuah rumah untuk tinggal atau hunian dengan hak atas tanah tertentu. Hak atas tanah tertentu ialah Hak Pakai sebagaimana dinyatakan pada Pasal 2 PP. 41/1996, yang terbagi Hak Pakai atas tanah negara dan hak milik yang dibebani Hak Pakai dengan perjanjian tertentu. Jangka waktu kepemilikan dari Hak Pakai bagi WNA tersebut adalah paling lama 25 tahun dan dapat diperbarui dalam jangka waktu 25 tahun lagi dengan syarat WNA tersebut masih berkedudukan di Indonesia.

Adapun orang asing yang dapat memiliki Hak Pakai di Indonesia ialah orang asing yang kehadirannya memberikan manfaat terhadap pembangunan Indonesia sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1 ayat (2) PP. 41/1996. Apabila orang asing tersebut tidak lagi berkedudukan di Indonesia, maka dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak atas rumah dan tanahnya kepada orang lain yang memenuhi syarat. Apabila rumah tersebut dalam jangka waktu 1 tahun belum dialihkan atau

46 Dari wawancara yang penulis lakukan dengan Sdr.

Referensi

Dokumen terkait

Semua data hasil proses dari aplikasi akademik maupun data guru dan karyawan serta data lain yang masih ada kaitannya dengan sekolah akan terpusat di server lokal sekolah dan

Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis yang diajukan oleh peneliti yaitu terdapat pengaruh yang signifikan antara stres kerja dan kinerja aparat kepolisian satuan

1) Anggota Polri yang melakukan tindak pidana diadukan/dilaporkan oleh masyarakat, anggota Polri lain atau sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan. 2) Setelah

Lingkungan bisnis ini yang tumbuh dan berkembang dengan sangat dinamis, sangat memerlukan sistem manajemen yang efektif artinya dapat dengan mudah berubah atau

Dengan menggunakan metode penelitian asosiatif, maka dapat digunakan sebagai penetapan mengenai tata cara penelitian yang dilakukan secara tersusun dan sistematis untuk

Sebuah dokumen yang telah ditandatangani dapat diverifikasi dengan valid dengan menggunakan skema Pratical Forward Secure Sequential Aggregate Signature , dan dengan adanya

Tujuan penelitian ini adala untuk mendeskripsikan peranan pembinaan yang dilakukan oleh Disporabudpar dalam peningkatan prestasi bidang olahraga di Kabupaten Tangerang

Meningkatkan kemampuan profesional guru adalah suatu keharusan bagi setiap guru. Setiap guru harus menyadari kekurangan yang dimiliki, khususnya yang menyangkut dengan