• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEDUDUKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA BERDASARKAN HUKUM INDONESIA

MAKALAH

Dibuat untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah HUKUM DAN HAM

Oleh :

ADITYA PRANATA (1271010039)

KELAS B PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" JAWA TIMUR

(2)
(3)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Republik Indonesia dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Semua komponen anak bangsa secara bersama-sama sejak awal berjuang bahu membahu untuk memperjuangkan kemerdekaan, melawan penindasan dan mengisi kemerdekaan tersebut. Pengalaman sejarah bangsa melawan penjajah menunjukkan adanya benang merah perjuangan dalam perlindungan Hak Asasi Manusia ( HAM). Kemerdekaan memberikan makna kebebasan diantaranya bebas dari rasa takut, bebas untuk berkumpul dan berpendapat, bebas untuk memeluk agama dan kebebasan lainnya yang ada sebagai hak kodrati manusia itu sendiri. Dengan lahirnya UU No.39 Tahun 1999 diharapkan dapat membantu dalam penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia.

Penegakan Hak Azasi Manusia (HAM) merupakan salah satu isu penting dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Indonesia, karena masih banyak pelanggaran HAM di Indonesia yang belum terselesaikan dengan baik. Banyak pihak yang masih ragu-ragu akan penegakan HAM tersebut. Penegakan dan perlindungan HAM merupakan tanggung jawab pemerintah sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 28 A-J UUD 1945 dan dipertegas lagi pada Pasal 71-72 UU No.39 Tahun 1999. Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM yang diatur dalam UU ini serta peraturan lain baik nasional maupun internasional tentang HAM yang diakui oleh Indonesia. Salah satu upaya pemerintah untuk menegakkan dan melindungi HAM adalah melahirkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-undang ini merupakan hukum formil dari UU No.39 Tahun 1999.

Diharapkan dengan adanya UU Pengadilan HAM dapat mengurangi dan mencegah terjadinya pelanggaran HAM diIndonesia. Namun, tidak semua pelanggaran HAM dapat diselesaikan pada Pengadilan HAM, hanya kasus-kasus tertentu yang menjadi kewenangan dari Pengadilan HAM dan menggunakan hukum acara sebagaimana yang diatur pada undang-undang tersebut.

(4)

2.1 Kedudukan HAM dalam Hukum Indonesia

Membahas mengenai sistem hukum Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum yang berlaku di dunia. Terdapat beberapa sistem hukum di dunia yang mempengaruhi sistem hukum Indonesia, diantaranya civil law system, Common Law Sistem dan Religion Law Sistem atau Sistem Hukum Islam. Di Indonesia, pemahaman HAM sebagai nilai, konsep dan norma yang hidup dan berkembang di masyarakat dapat diketahui dari sejarah perkembangan HAM yang dimulai dari zaman pergerakan hingga sekarang, yaitu ketika amandemen terhadap UUD 1945 yang secara eksplisit memuat pasal-pasal HAM. Seperti halnya konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia (Konstitusi RIS dan UUDS 1950), UUD 1945 amandemen juga memuat pasal-pasal tentang HAM dalam kadar dan penekanan yang berbeda, disusun secara kontekstual sejalan dengan suasana dan kondisi sosial dan politik pada saat penyusunannya di awal era Reformasi.

Pengaturan HAM di Indonesia tidak hanya terbatas pada konstitusi yakni Amandemen UUD 1945, melainkan diatur juga dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 8 telah menentukan dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan didasari pada materi muatan mengenai HAM.

Sebagai salah satu syarat negara hukum yang demokrasi harus ada jaminan HAM dalam konstitusi maupun dalam semua peraturan perundang-undangan. Jaminan HAM dalam negara meliputi sistem hukum yang dianut dan penerapannya melalui unsur-unsur dalam sistem hukum yang menurut Lawrence Meir Friedman (1975,1998) terdapat tiga unsur dalam sistem hukum, yakni Struktur (Structure), substansi (Substance) dan Kultur Hukum (Legal Culture). Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui eksistensi HAM dalam sistem hukum Indonesia selain pada tataran konsep juga dalam tataran praktek.

(5)

Substansi merupakan produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books). Idealnya tatanan hukum nasional di bentuk untuk menyelengarakan warga negara dan masyarakat yang baik dan taat hukum. Substansi hukum berkaitan dengan proses pembuatan suatu produk hukum yang dilakukan oleh pembuat undang-undang. Nilai-nilai yang berpotensi menimbulkan gejala hukum dimasyarakat dirumuskan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan pembuatan suatu produk perundang-undangan dipengaruhi oleh suasana politik dalam suatu negara.

Dalam kaitannya dengan HAM, negara Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang menghormati dan menjunjung tinggi HAM. Hal tersebut dapat ditelusuri dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang terdiri atas lima sila, ditambah dengan Pembukaan UUD 1945 dalam alinea pertama yang menyatakan: Kemerdekaan ialah hak segala bangsa serta penjajahan harus dihapuskan. Serta dalam alinea kedua yang menyatakan: Kemerdekaan negara menghantarkan rakyat merdeka, bersatu, adil dan makmur.

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, konsep HAM yang berlaku secara universal membebankan kepada Indonesia untuk meratifikasi kedalam peraturan perundang-undangan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu contoh adalah Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil (International Covenan on Civil and Political Rights) Dimana Substansi dari HAM itu sendiri terbagi menjadi 2, yaitu :

1. Non Derogable (Absolut)

Non Derogable adalah Hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara, walaupun negara dalam kondisi darurat. Hak yang termasuk jenis ini, yakni:

1. Hak atas hidup

2. Hak bebas dari penyiksaan 3. Hak bebas dari perbudakan

(6)

Pelanggaran terhadap hak jenis ini akan mendapatkan kecaman sebagai pelanggaran serius HAM (Gross Violation of Human Rights).

2. Derogable (tidak mutlak)

Derogable adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara. Termasuk dalam jenis hak ini yakni:

1. Hak atas kebebasan berkumpul secara damai

2. Hak atas kebebasan berserikat termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh

3. Hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan (lisan-tulisan).

Negara diperbolehkan mengurangi atas kewajiban dalam memenuhi hak-hak tersebut. Akan tetapi pengurangan hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak diskriminatif, yaitu demi menjaga keamanan nasional, ketertiban umum, menghormati hak atau kebebasan orang lain. Dewasa ini, Pembentukan hukum oleh lembaga legislatif tidak sejalan dengan tujuan awal, banyak pembentukan hukum sekarang hanya untuk kepentingan sebagian orang. Sehingga substansi dari hukum itu sendiri telah berubah dari fungsi awal yang bertujuan mensejahterakan masyarakat. Begitu juga dengan HAM, walaupun substansi dari pembentukan UU HAM bertujuan demi terciptanya dan terjaganya HAM. Tetapi dalam implementasinya dari substansi tersebut berbeda dengan realita yang ada di masyarakat.

Walaupun sudah ada UU yang di bentuk untuk menjamin HAM setelah Reformasi, Masih banyak tindak pelanggaran HAM yang terjadi di masyarakat yang dilakukan oleh pejabat ataupun warga negara sendiri. Sehingga nilai dari substansi UU HAM yang sudah di bentuk tersebut perlu di sosialisasikan kepada masyarakat banyak agar masyarakat memahami bahwa HAM sekarang lebih di lindungi daripada era orde sebelumnya.

(7)

Struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan secara keseluruhan. Struktur hukum disini meliputi lembaga negara penegak hukum seperti Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Advokat dan lembaga penegak hukum yang secara khusus diatur oleh undang-undang seperti KPK. Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Unsur – unsur struktur hukum meliputi :

1. Jumlah dan jenis pengadilan 2. Yurisdiksinya

3. Jumlah hakim agung dan hakim lainnya.

Dalam tataran hukum normatif, dengan amandemen, UUD 1945 sebenarnya sudah dapat dijadikan sebagai dasar untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM. Lembaga – lembaga yang berhubungan dengan penegakan HAM :

 Komisi Nasional HAM (Komnas HAM)

Sebuah lembaga mandiri dengan fungsi melaksanakan kajian, perlindungan, penelitian, penyuluhan, pemantauan, investigasi, dan mediasi terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia.

 Peradilan HAM (Genosida, Kejahatan perang, Pelanggaran HAM, dll)

Sebagai perangkat kelembagaan dasar peningkatan upaya penghormatan dan perlindungan HAM melalui proses pengadilan perkara HAM.

Lembaga – lembaga hukum yang berhubungan dengan HAM saat ini sangat banyak sekali, meliputi Komnas HAM, Peradilan HAM, Kepolisian, dll. Dan ada juga lembaga yang di bentuk melalui UU maupun swasta. Tujuan dari setiap lembaga yang ada yaitu untuk terciptanya dan terjaganya HAM di negara Indonesia agar tidak terjadi pelanggaran HAM seperti jaman terdahulu.

(8)

terciptanya dan terjaganya HAM di dalam masyarakat. Dan juga kelakuan dari pejabat negara dan pejabat lembaganya harus menjunjung tinggi HAM.

2.1.3 Kultur Hukum (Legal Culture)

Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman (2001:8) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.

Dalam konteks HAM, peran serta masyarakat sangatlah penting. Dilihat dari sejarah, adat kebiasaan, hukum, tata pergaulan dan pola bangsa Indonesia pada umumnya terdapat indikasi yang cukup kuat bahwa bangsa Indonesia telah memiliki dan mengenal ide yang berkaitan dengan HAM. Bukti empiris yaitu adanya ungkapan-ungkapan yang sudah dikenal sejak nenek moyang, seperti istilah rembug desa, adat pusako jo koto, mufakat, gotong royong, tut wuri handayani, kabukit samo mendaki ka lurah samo menurun, musyawarah, dan lain-lain.

Diakuinya eksistensi HAM dalam sistem hukum di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh dan pergaulan Internasional. Terlepas dari pelaksanaan penegakan hukum HAM oleh aparat negara, secara konsep HAM telah tertuang dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan baik eksplisit (tersurat) maupun implisit (tersirat) yang tujuan utamanya memberikan perlindungan hukum terhadap warga negara terhadap tindakan kesewenangan yang dilakukan penguasa maupun pihak mayoritas.

Kultur hukum sangat mempengaruhi bagaimana HAM di dalam kesehariannya, karena kultur hukum yang baik akan menciptakan HAM yang di butuhkan masyarakat. Tetapi apabila kultur hukum yang ada tidak berkesinambungan dengan HAM yang ada, maka akan terjadi kesewenangan terhadap HAM. Sehingga cita – cita mewujudkan tegaknya HAM di negara ini hanyalan angan – angan belaka.

(9)

Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada dibawah peradilan umum, dan merupakan lex specialis dari Kitab Undang Hukum Pidana. Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik menggunakan istilah Pengadilan HAM dan kewenangan pengadilan ini juga mengadili kejahatan-kejahatan tertentu. Kejahatan yang termasuk dalam pengadilan HAM ini adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang keduanya merupakan pelanggaran HAM berat. Penamaan Pengadilan HAM yang mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida ini dianggap tidak tepat,karena pelanggaran HAM yang berat dengan dua jenis kejahatan tersebut adalah kejahatan yang merupakan bagian dari hukum pidana internasional sehingga yang digunakan adalah seharusnya terminologi “pengadilan pidana”.

Lepas dari penamaan Pengadilan HAM yang kurang tepat tersebut, pembentuk Undang-Undang menyadari bahwa bahwa penanganan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida adalah kejahatan luar biasa yang tidak bisa ditangani dengan sistem peradilan pidana biasa. Pengaturan yang sifatnya khusus ini didasarkan atas kerakteristik kejahatan yang sifatnya khusus sehingga memerlukan pengaturan dan mekanisme yang juga sifatnya khusus. Pengaturan khusus ini dimulai sejak tahap penyelidikan dimana yang berwenang adalah Komnas HAM sampai pengaturan tentang majelis hakim dimana komposisinya berbeda dengan pengadilan pidana biasa. Dalam pengadilan HAM ini komposisi hakim adalah lima orang yang mewajibkan tiga orang diantaranya adalah hakim ad hoc. Namun, meskipun terdapat kekhususan dalam penangannya, hukum acara yang digunakan, masih menggunakan hukum acara pidana terutama prosedur pembuktiannya.

2.2.2 Pengadilan HAM Setelah Disahkannya UU No. 26 Tahun 2000

Dalam makalah yang ditulis oleh Zainal Abidin (2011) dijelaskan bahwa berdasarkan ketentuan UU No. 26 tahun 2000, pengadilan HAM mengatur tentang yuridiksi atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat baik setelah disahkanya UU ini maupun kasus-kasus-kasus-kasus pelanggaran HAM berat sebelum disahkannya UU ini. Prosedur pembentukan pengadilan ini mempunyai perbedaaan yang cukup mendasar. Dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM berat setelah disahkannya UU ini tanpa melalui rekomendasi dan keputusan presiden sebagaimana dalam pembentukan pengadilan HAM ad hoc.

(10)

kemudian diselidiki oleh Komnas HAM dengan membentuk komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM (KPP HAM). Hasil penyelidikan, jika ditemukan bukti bahwa terdapat dugaan adanya pelanggaran HAM yang berat maka akan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan, dalam tahap ini kalau dari hasil penyidikan menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang berat maka diteruskan untuk tahap penuntutan yang juga di lakukan oleh Kejaksaan Agung. Berdasarkan bukti-bukti dan penuntutan yang diwujudkan dalam surat dakwaan, kemudian digelar pengadilan HAM berdasarkan kompetensi relatif pengadilan. Tempat pengadilan ini berada di pengadilan negeri dimana locus dan tempos delictie terjadinya pelanggaran HAM yang berat.

2.2.3 Pengadilan HAM Sebelum Disahkannya UU No. 26 Tahun 2000

Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000, berbeda dengan Pengadilan HAM (permanen) yang dapat memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000.

2.3 Landasan Yuridis Pengadilan HAM di Indonesia

(11)

Dari ketiga alasan di atas, landasan hukum dari pembentukan pengadilan HAM untuk mengadili pelanggaran HAM berat adalah alasan yang ketiga dimana terbentuknya pengadilan HAM ini adalah pelaksanaan dari TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undangundang No. 39 Tahun 1999. Pasal 104 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum. Ayat 2 menyatakan pengadilan sebagaimana dimaksud ayat dalam ayat 1 dibentuk dengan udang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun. Tidak sampai 4 tahun, undang-undang yang khusus mengatur tentang Pengadilan HAM adalah Undangundang Nomor 26 Tahun 2000. UU No. 26 Tahun 2000 ini disahkan pada tanggal. 2.4 Prosedur Penerapan Pengadilan HAM di Indonesia

2.4.1 Pengaturan Pengadilan HAM di Indonesia

Pengadilan HAM di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Pokok-pokok Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan Hak Asasi Manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Bahwa pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan. pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut. Berdasarkan pertimbangan diatas maka pengadilan HAM perlu dibentuk..

(12)

2.4.2 Kedudukan Pengadilan HAM

Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Kedudukannya di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan, sedangkan daerah khusus ibukota pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan. pada saat undang-undang ini berlaku pertama kali maka pengadilan HAM dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan Makassar.

Kedudukan dalam pengadilan HAM mengikuti Pengadilan Umum atau Pengadilan Negeri termasuk dukungan administrasinya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pengadilan HAM ini akan sangat tergantung dengan dukungan dari pengadilan negeri tersebut. Dukungan administratif itu adalah :

 Ruangan Pengadilan

Ruangan pengadilan yang juga merupakan ruangan pengadilan untuk kasus lainnya dan tidak ada ruangan yang khusus untuk pengadilan HAM;

 Staf Administrasi

Staf administrasi adalah staf yang menangani perkara pengadilan HAM selain panitera yang juga bertugas untuk membantu para hakim yang mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat;

 Panitera

Panitera ini adalah panitera biasa dan bukan panitera yang dibentuk khusus untuk menangani kasus pelanggaran HAM yang berat. Panitera ini juga menangani kasus lainnya; dan

 Ruangan Hakim

(13)

2.4.3 Ruang Lingkup Kewenangan Pengadilan HAM

Pengadilan HAM mempunyai wewenang untuk memeriksa dan mengadili. Pengadilan HAM berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar teritorial wilayah NKRI oleh Warga Negara Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi WNI yang melakukan pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas teritorial, dalam arti tetap dihukum sesuai dengan Undang-Undang tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.

UU No. 26 Tahun 2000 memberikan larangan atau membatasi kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan. Disini diartikan bahwa seseorang yang berumur dibawah 18 tahun yang melakukan pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus dalam Pengadilan Negeri. Ketentuan tentang pembatasan perkecualian yurisdiksi terhadap mereka yang berumur dibawah 18 tahun pada saat tindak pidana dilakukan (exclusion of jurisdiction over person under eighteen) sesuai dengan norma yang diatur dalam Statuta Roma 1998.

2.4.4 Hukum Acara Pengadilan HAM

Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang berdasarkan hukum acara pidana kecuali ditentukan lain dalam undangundang ini. Hal ini berarti hukum acara yang akan digunakan untuk proses pemeriksaan dipengadilan menggunakan hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

UU No. 26 Tahun 2000 mengatur Kekhususan pengadilan HAM diluar ketentuan KUHAP untuk pelanggaran HAM yang berat. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran HAM yang berat dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah:

1. Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc.

(14)

3. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dipengadilan.

4. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.

5. Diperlukan ketentuan mengenai tidak ada kedaluarsa pelanggaran ham yang berat. Kekhususan ini kemudian dijabarkan dalam pasal demi pasal dalam UU No. 26/2000 yang merupakan pengecualian dari pengaturan dalam KUHAP yaitu:

 Penangkapan

Kewenangan untuk melakukan penangkapan di tingkat penyidikan dalam pengadilan HAM ini adalah Jaksa Agung terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran HAM berat berdasarkan bukti yang cukup. Prosedur untuk pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas dan menunjukkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dengan menyebutkan alasan penangkapan, tempat dilakukan pemeriksaan serta uraian singkat perkara pelanggaran HAM yang berat yang dipersangkakan.

 Penahanan

Dalam buku yang berjudul Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Konteks Indonesia karangan Suparlan Al Hakim (2012), dijelaskan bahwa tujuan penahanan adalah agar tersangka/ terdakwa tidak melarikan diri, merusak barang bukti, menghilangkan barang bukti dan tidak mengulangi pelanggatan Hak Asasi Manusia berat, selain itu juga untuk memudahkan dilakukannya penyelidikan dan penyidikan.

 Penyelidikan

(15)

 Penyidikan

Dalam UU No. 26 Tahun 2000, pihak yang berwenang melakukan penyidikan terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat adalah Jaksa Agung. Penyidikan ini tidak termasuk untuk menerima pengaduan dan laporan karena pengaduan dan laporan tersebut merupakan kewenangan Komnas HAM. Dalam upaya penyidikan ini Jaksa Agung dapat mengangkat penyelidik ad hoc dari unsur masyarakat dan pemerintah. Penyidikan yang dilakukan wajib diselesaikan paling lambat 90 hari terhitumg sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Perpanjangan dapat dilakukuan selama 90 hari berikutnya jika selama 90 hari pertama penyidikan belum dapat diselesaikan. Perpanjangan yang kedua selama 60 hari, baik perpanjangan yang pertama maupun kedua dilakukan oleh ketua pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya masing-masing.

 Penuntutan

UU No. 26 Tahun 2000 mengatur tentang ketentuan penuntutan dalam pasal 23 dan 24. Pasal 23 menyatakan Penuntutan mengenai pelanggaran HAM yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung dan dalam melakukan penuntutan. Jaksa Agung dapat menganggat jaksa penuntut umum ad hoc. Untuk dapat diangkat menjadi penuntut umum ad hoc harus memenuhi syarat tertentu. Pasal 24 mengatur tentang jangka waktu penuntuan yaitu selama 70 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima. Ketentuan mengenai jangka waktu ini berbeda dengan ketentuan dalam KUHAP dimana tidak diatur mengenai adanya jangka waktu penuntutan.

Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Komposisi Hakim dan Hakim Ad Hoc

Pasal 27 UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa kasus pelanggaran HAM yang berat diperiksa oleh majelis hakim yang jumlahnya 5 orang yang terdiri dari 2 orang hakim pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim HAM ad hoc. Majelis hakim tersebut diketuai oleh hakim dari pengadilan HAM yang bersangkutan. Pada tingkat banding majelis hakimnya berjumlah 5 orang yang terdiri dari 2 orang hakim dari pengadilan setempat dan 3 orang hakim ad hoc. Demikian juga komposisi mengenai majelis hakim dalam tingkat kasasi.

(16)

Prosedur pembuktian dalam pengadilan HAM tidak diatur tersendiri yang berarti bahwa mekanisme pembuktian di sidang pengadilan HAM menggunakan mekanisme yang diatur dalam KUHAP. Pengecualian terhadap mekanisme KUHAP untuk prosedur pembuktian adalah mengenai proses kesaksian di pengadilan. Dalam rangka melindungi saksi dan korban pelanggaran HAM yang berat proses pemeriksaan saksi dapat dilakukan dengan tanpa hadirnya terdakwa. Ketentuan ini terdapat dalam PP No. 2 Tahun 2002 tentang perlindungan terhadap korban dan saksi pelanggaran HAM yang berat.

Ketentuan Pemidanaan

Ketentuan pidana diatur dalam Bab VII dari pasal 36 sampai dengan pasal 42 UU No. 2 Tahun 2000 . Ketentuan pidana dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini menggunakan ketentuan pidana minimal yang dianggap sebagai ketentuan yang sangat progresif untuk menjaminbahwa pelaku pelanggaran HAM yang berat ini tidak akan mendapatkan hukuman yang ringan. Pasal 36 mengatur tentang ketentuan pidana untuk kejahatan genosida yakni dengab ancaman hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 tahun dan pidana paling singkat 10 tahun.

BAB III

PENUTUP

(17)

Dalam makalah ini, terdapat beberapa kesimpulan diantaranya tentang kedudukan HAM berdasarkan Hukum Indonesia telah diatur dalam UUD 1945 sebagai dasar dan sumber hukum di indonesia dan diperkuat dengan adanya eksistensi UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2006, Bahwa dalam karya tulis ini saya menyimpulkan beberapa hal tentang hukum acara di Pengadilan HAM di indonesia, terdapat :

1. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia di bentuk atas dasar dorongan untuk mengadili pelanggar kejahatan Hak Asasi Manusia yang berat

2. Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum

3. Pengadilan HAM di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000

4. Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000

Pengadilan HAM mempunyai wewenang untuk memeriksa dan mengadili. Pengadilan HAM berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar teritorial wilayah NKRI oleh Warga Negara Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi WNI yang melakukan pelanggaran HAM berat yang dilakukan di luar batas teritorial, dalam arti tetap dihukum sesuai dengan Undang-Undang tentang pengadilan Hak Asasi Manusia 5. Alur prosesnya pengadilan terhadap pelanggaran HAM yaitu:

a. Penangkapan e. Penuntutan b. Penahanan

Referensi

Dokumen terkait

Dalam metodologi Penulisan akan diuraikan langkah-langkah dalam pembuatan peta laut kertas menggunakan perangkat lunak CARIS PCC 2.1 yang memiliki standar S-4 dan S-57,

Hubungan tersebut nampak dalam (1) pesantren dengan kehormatan kiainya adalah kubu pertahanan NU baik dari segi keagamaan maupu strategi perjuangan, (2) NU

masyarakat Mandar di Kecamatan Sendana Kabupaten Majene ialah diantaranya: (1) penentuan calon dilihat dari akhlaknya yang baik (agama); (2) penjajakan dengan maksud

, pola pengelolaan hutan produksi yang sesuai dengan preferensi pemangku kepentingan adalah pola pengelolaan hutan produksi multikultur/agroforestri berbasis pemberdayaan

sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa

Dengan demikian hipotesis pertama sampai ketiga penelitian yang menduga rasio profitabilitas (ROI dan ROE) dan leverage dapat digunakan untuk memprediksi tindakan perataan laba

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh bahan setek, hormon IBA dan vitamin C terhadap pertumbuhan setek cabe jawa pada media cair.. BAHAN

Faktor dari diri informan yang menyebabkan informan menggukanakan narkoba adalah Keingintahuan yang besar untuk mencoba, tanpa sadar atau berfikir , panjang