BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk yang pesat saat ini memicu permintaan yang besar atas
pemukiman. Seperti yang kita ketahui bahwa tempat tinggal adalah salah satu
kebutuhan dasar manusia. Hal ini tercantum pula pada Undang- Undang Nomor 4
Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman pada pasal 4 huruf a yang
menyatakan bahwa penataan perumahan dan pemukiman bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia.
Rumah pada masa sekarang ini tidak hanya menjadi kebutuhan dasar (basic
need), tetapi juga menjadi gaya hidup (life style) dikarenakan adanya
perkembangan jaman dalam era globalisasi. Permintaan yang tinggi oleh jumlah
populasi masyarakat yang besar memaksa pemerintah untuk berupaya memenuhi
kebutuhan akan perumahan di tengah keadaan seperti keterbatasan lahan.
Hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh dunia bisnis. Mereka yang melihat
kesempatan ini mulai membangun perusahaan- perusahaan perumahan yang
memberikan tawaran atas rumah yang diinginkan masyarakat. Pengadaan
perumahan ini dapat dinikmati oleh kelas ekonomi masyarakat dari kalangan
bawah sampai strata elite. Dalam hal ini, developer properties memberikan
tawaran atas perumahan yang bervariasi mulai dari subsidi sampai perumahan
Melihat peningkatan dalam kebutuhan dan permintaan atas perumahan, untuk
keefektifan dan keefesienan maka dalam jual- beli digunakan perjanjian baku.
Perjanjian baku pada masa sekarang ini menjadi instrumen yang banyak diminati
oleh pelaku usaha perdagangan dan bisnis. Tujuan dibuatnya perjanjian baku ini
adalah untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi para pihak yang
bersangkutan1
Namun pada kenyataanya yang dapat dilihat adalah pelaksanaan perjanjian
baku ini mendominasi dan memberi kekuatan lebih pada produsen, sedangkan
konsumen berada pada posisi yang tidak berimbang. Perjanjian baku tidak
melibatkan pihak konsumen dan konsumen tidak diberikan suatu pilihan alternatif
lain, melainkan hanya menerima ketentuan dan prasyarat yang diberikan oleh
pelaku usaha. .
Dalam perjanjian baku sering terjadi pelaku usaha mengalihkan kewajiban-
kewajiban yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya kepada konsumen
sehingga memberatkan atau bahkan cenderung merugikan konsumen. Oleh sebab
itu, dapat dikatakan bahwa materi kalusula baku bukanlah hasil suatu kesepakatan
melainkan hasil pemaksaan kepada pihak lain untuk menerima atau tidak
menerima sama sekali sehingga dapat menimbulkan suatu kondisi yang tidak
seimbang antara pelaku usaha dengan konsumen2.
1
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesis, Grasindo, Jakarta, 2000. 2
H.P Panggabean, Praktik Standard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian
Sluyter mengemukakan ciri-ciri standaard contract adalah sebagai berikut3
a. Bahwa isinya telah terlebih dahulu ditetapkan secara tertulis;
:
b. Bahwa standaard contract itu selalu menyimpang dari hukum yang
mengatur ( regelent recht);
c. Bahwa standaard contract sebagai “adhesiecontract” lebih bersifat
dipaksakan berdasarkan kekuatan ekonomi
Konsumen sendiri memiliki keterbatasan dalam pemahaman isi perjanjian
baku terutama di bidang jual-beli perumahan. Bahkan, sebahagian besar
masyarakat tidak memahami dan hanya menerima begitu saja. Bagi konsumen
keadaan ini seperti take it or leave it. Tidak sedikit konsumen yang tidak ingin
ambil pusing, bahkan tidak membaca isi perjanjian. Hal ini dapat menjadi suatu
pemicu semakin berkembangnya penggunaan perjanjian baku dengan
klausula-klausula yang lebih menguntungkan produsen. Kurangnya pemahaman
masyarakat dalam bidang hukum dan pemikiran untuk tidak ingin menyulitkan
diri dalam dunia hukum dalam hal ini pengadilan, mengakibatkan enggan nya
masyarakat untuk melaporkan atau membawa ke ranah hukum untuk ditinjau
apabila terjadi sengketa setelah kesepakatan yang terjadi atas perjanjian baku.
Jika ditinjau perjanjian baku ini tidaklah melanggar asas kebebasan
berkontrak ( pasal 1320 jo. 1338 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata).
Bagaimanapun konsumen diberi kebebasan menyetujui atau menolak. Hanya saja
yang perlu dilihat adalah klausula eksonerasi di dalamnya, dimana klausula ini
3
H.P Panggabean, Praktik Standard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian
mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus tanggung jawab yang
seharusnya dibebankan pada pihak penjual atau produsen. Dalam Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak dijelaskan mengenai
definisi perjanjian baku, tetapi merumuskan klausula baku sebagai berikut:
“Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan
dalam suatu dokumen dan/ atau perjanjian uang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen”.
Apakah konsumen adalah pihak yang lemah? Dalam konteks ini jika kita
berpikir lebih mendalam, konsumen memiliki kekuatan untuk menegakkan
hak-hak nya. Namun, sebahagian besar pihak-hak konsumen hanya memahami jual- beli
sebatas penyerahan uang dan penerimaan barang saja, tanpa mengerti dan
memahami isi dari perjanjian baku.
Sehubungan dengan kondisi tersebut, perlu dilakukan kajian dan telaah dalam
pelaksanaan jual-beli rumah menggunakan perjanjian baku. Oleh karenanya
penulis menganggap penting mengangkat pembahasan mengenai penggunaan
perjanjian baku, khususnya dalam bidang jual-beli rumah.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan penulis dan pengamatan yang
dilakukan dalam hal penjualan dan pembelian perumahan, maka penulis
mengemukakan permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini.
1. Bagaimana perlindungan terhadap konsumen dengan adanya pelaksanaan
perjanjian baku?
2. Bagaimana keabsahan penggunaan perjanjian baku?
3. Bagaimana prosedur yang dilakukan oleh developer property dalam pembuatan
perjanjian baku?
4. Apakah perjanjian baku masih layak digunakan pada masa sekarang ini?
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui posisi konsumen dan perlindungan yang diberikan atas
adanya penggunaan perjanjian baku dalam zona jual-beli rumah.
b. Untuk mengetahui seperti apa perjanjian baku yang dianggap sah dan sesuai
kaidah hukum dalam ranah jual-beli rumah.
c. Untuk mengetahui prosedur dan pertimbangan apa saja yang dilakukan oleh
developer property dalam membentuk suatu perjanjian baku.
d. Untuk memberikan gambaran atas keberadaan perjanjian baku dalam
masyarakat sekarang ini.
Adapun manfaat dari penulisan ini adalah :
a.Secara Teoritis
- Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut bagi
pengembangan ilmu pengetahuan hukum dalam bidang klausula baku
- Untuk memperoleh dan memperdalam pengetahuan dalam bidang
penggunaan perjanjian baku oleh developer properties
b.Secara Praktis
- Hasil penulisan diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna dan dapat
menambah wawasan di bidang hukum bagi para pihak yang terkait
terutama masyarakat luas.
- Agar masyarakat dapat mengerti dan memahami hak nya sebagai
konsumen dalam penggunaan perjanjian baku oleh developer properties.
D.Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian
hukum Deskriptif Normatif yaitu dengan cara melakukan pengumpulan data yang
berkaitan dengan masalah yang dikemukakan lalu dilakukan penelitian dan analisa
terhadap permasalahan.
Bentuk penulisan skripsi ini menggunakan bentuk penelitian dengan melihat
dan meneliti pada hukum primer, yakni : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dan Unadng-Undang Perlindungan Konsumen dan hukum sekunder, yakni : bahan
yang berhubungan erat dengan topik penulisan skripsi ini Surat Keputusan
Menteri Perumahan No. 9 Tahun 1995 tentang Pedoman Pengikat Perjanjian Jual
Beli Rumah, buku- buku karangan para sarjana, hasil penelitian pada tempat studi
kasus, maupun situs internet.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengumpulkan data-data yang
- Penelitian lapangan ( field research) : yakni dengan mengadakan penelitian
dan wawancara kepada staf developer property dalam hal ini PT. Multi
Cipta Property.
- Penelitian kepustakaan (library research) : yakni dengan membaca,
mempelajari, dan menganalisa buku- buku yang berhubungan dengan topik
dalam skripsi ini.
E.Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini dilakukan dan diselesaikan berdasarkan data- data yang
dikumpulkan oleh penulis sendiri dari berbagai sumber, baik dari sumber bacaan,
media elektronik, maupun wawancara, dan sepanjang pengetahuan penulis,
penulisan tentang aspek hukum pelaksanaan perjanjian baku oleh developer
properties ( studi pada PT. Multi Cipta Property) telah diperiksa dan diselidiki
sesuai dengan objek yang berbeda.
F. Sistematika Penulisan
Bab I : Pada bab ini penulis menguraikan tentang hal- hal yang bersifat
umum yang mendasari penulis dalam penulisan skripsi ini, yang
terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II : Pada bab ini, penulis menguraikan gambaran umum perjanjian baku
yang dimulai dengan sejarah lahirnya perjanjian baku, pengertian
perjanjian baku, bagaimana perjanjian baku ditinjau dari Kitab
Perlindungan Konsumen, dan akibat hukum dari adanya perjanjian
baku ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Bab III : Pada bab ini, penulis menguraikan gambaran umum developer
dimana telah dilakukan studi pada salah satu developer property
yakni PT. Multi Cipta Property, yang menguraikan dasar
terbentuknya PT. Multi Cipta Property, pengertian developer, hak
dan kewajiban developer, hubungan konsumen dan developer
dalam perjanjian baku, dan pengadaan perjanjian baku oleh
developer.
Bab IV : Pada bab ini, penulis akan menguraikan pokok dari permasalahan
topik yakni aspek hukum pelaksanaan perjanjian baku oleh
developer properties ( studi pada PT. Multi Cipta Property), yang
terdiri dari : perlindungan terhadap konsumen dalam penggunaan
perjanjian baku, keabsahan perjanjian baku, prosedur pembuatan
perjanjian baku, dan keberadaan perjanjian baku di tengah
masyarakat.
Bab V : Pada bab ini, penulis memberikan kesimpulan dan saran dari hasil
uraian bab-bab sebelumnya yang diharapkan dapat berguna bagi
BAB II
PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU
A.Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian
Menurut pasal 1313 KUHPerdata:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Apabila diperhatikan, adapun unsur-unsur dari perjanjian itu adalah:
a. Terdapat para pihak sedikitnya 2 ( dua) orang;
b. Ada persetujuan antara para pihak yang terkait;
c. Memiliki tujuan yang akan dicapai;
d. Memiliki prestasi yang akan dilaksanakan;
e. Dapat berbentuk lisan maupun tulisan;
f. Memiliki syarat-syarat tertentu sebagai isi dari perjanjian
Sedangkan di dalam buku Yahya Harahap disebutkan menurut Sudikno
Mertokusumo: “Perjanjian adalah hubungan hukum/ rechtshandeling dalam hal
mana satu pihak atau lebih mengikat diri terhadap satu atau lebih pihak lain”.
Istilah perjanjian berkaitan dengan perikatan ( verbintenis). Menurut Subekti
perikatan adalah suatu pengertian abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu
peristiwa konkret.4
Di dalam perjanjian terdapat asas-asas sebagai rangkaian prinsip atau
norma atau patokan dasar yang berguna untuk dipedomani dalam mengatasi
4
kesulitan dalam pelaksanaan suatu perjanjian. Mariam Darus mengemukakan 10
asas perjanjian, yakni:
1. Asas kebebasan mengadakan perjanjian;
2. Asas persesuaian kehendak;
3. Asas kepercayaan;
4. Asas kekuatan mengikat;
5. Asas persamaan hukum;
6. Asas keseimbangan;
7. Asas kepastian hukum;
8. Asas moral;
9. Asas kepatutan;
10.Asas kebiasaan;
Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, asas-asas hukum dalam
perjanjian adalah pikiran dasar yang umum sifatnya, dan merupakan latar
belakang dari peraturan hukum yang konkrit yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat
diketemukan dengan mencari sifat-sifat dalam peraturan konkrit tersebut.5 Asas-asas hukum perjanjian yang dikemukakan meliputi:
a. Asas konsensualisme
Diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi emreka yang membuatnya”
5
b. Asas kebebasan berkontrak
Pada dasarnya manusia bebas mengadakan hubungan dengan orang lain.
Termasuk di dalamnya adalah hubungan kerja sama maupun mengadakan
suatu perjanjian.
c. Asas kekuatan mengikat suatu perjanjian
Perjanijan yang telah dibuat dan disepakati oleh para pihak yang terlibat
mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak.
d. Asas itikad baik
Pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dinyatakan:
“Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”
e. Asas kepribadian
Pada Pasal 1315 KUHPerdata berbunyi:
“Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan dirinya atas nama
sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya
sendiri”
Di dalam pasal 1320 KUHPerdata juga dimuat tentang syarat sah nya
suatu perjanjian, yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Suatu perjanjian bisa terlaksana apabila terdapat kata sepakat antara para
pihak mengenai obyek yang diperjanjikan, memiliki kesesuaian paham dan
kehendak atas perjanjian.
Yang dimaksud dalam syarat ini adalah cakap menurut hukum sesuai
yang diatur oleh KUHPerdata, yang dewasa, dan sehat akal pikirannya.
c. Suatu hal tertentu;
Merupakan hal- hal yang diperjanjikan yang dituangkan dalam perjanjian,
mulai dari hak dan kewajiban, obyek perjanjian, dan penyelesaian apabila terjadi
sengketa nantinya.
d. Suatu sebab yang halal;
Dalam perjanjian, klausula yang dituangkan harus bersifat halal, artinya
tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, peraturan
perUndang-Undangan, maupun kebiasaan norma masyarakat yang telah diakui.
Memperjelas keempat syarat itu, Subekti menggolongkannya ke dalam 2
(dua) bagian, yakni:
a. Mengenai subjek perjanjian, adalah orang yang cakap atau mampu
melakukan perjanjian sesuai peraturan perUndang-Undangan.
Adapun sepakat (konsensus) adalah dasar dari terbentuknya perjanjian,
dimana para pihak memiliki kebebasan dalam menentukan kehendaknya
tanpa ada paksaan.
b. Mengenai objek perjanjian, adalah apa yang dijanjikan oleh
objek tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umu,
dan kesusilaan.6
Sedangkan dalam N. B. W( New Burgelijk Wetboek) Belanda, telah
terjadi perubahan atas syarat- syarat di atas, dimana syarat ke-3 dan ke-4 dalam
pasal 1320 telah dijadikan satu sehingga N. B. W menyebutkan syarat sahnya
perjanjian ada 3, yaitu:
a. Kesepakatan;
b. Kemampuan bertindak;
c. Perjanjian yang dilarang;
Subekti menambahkan, bahwa apabila tidak dipenuhinya syarat subjektif
dalam perjanjian dapat dimintakan pembatalan perjanjian kepada Hakim, namun
apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka dapat dibatalkan demi hukum.7
a. Kekhilafan (kesesatan dwaling), Pasal 1322 KUHPerdata;
Dalam KUHPerdata telah diatur mengenai pembatalan perjanjian. Pasal 1321
KUHPerdata menyebutkan 3 (tiga) alasan pembatalan perjanjian, yaitu:
Yaitu keadaan dimana masing-masing pihak saling tersesat terhadap objek
perjanjian atau pernyataan kesesuaian kehendak dari salah satu pihak tidak
sesuai dengan kehendaknya. Menurut R. Subekti kekhilafan atau
kekeliruan terjadi jika salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok apa
6
R.Subekti, Hukum Perjanjian. PT Intermasa, Jakarta, 1987 7
yang diperjanjikan atau tentang dengan orang-orang siapa perjanjian itu
diadakan.8
1) Mengenai orangnya
Karenanya kekhilafan itu ada dua macam:
2) Mengenai bentuknya yaitu objek perjanjian.
b. Paksaan (dwang), Pasal 1324, Pasal 1325, Pasal 1326, dan Pasal 1327
KUHPerdata;
Suatu keadaan di mana seseorang melakukan perbuatan karena takut
dengan ancaman atau di bawah ancaman baik ancaman fisik maupun
ancaman rohani. (Pasal 1324 KUHPerdata)
c. Penipuan (bedrog), Pasal 1328 KUHPerdata;
Pasal 1328 KUHPerdata menyatakan:
“Penipuan merupakan suatu alas an untuk pembatalan perjanjian, apabila
tipu muslihat yang dipakai salah satu pihak adalah sedemikian rupa
hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat
perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut.”
Pada Pasal 1338 KUHPerdata dikatakan:
“Perjanjian dibuat secara berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”
Jenis-jenis perjanjian itu sendiri terdiri dari beberapa aspek:
a. Berdasarkan cara lahirnya:
1. Perjanjian Konsensuil
2. Perjanjian Formal
3. Perjanjian Riil
b. Berdasarkan pengaturannya:
1. Perjanjian Bernama
2. Perjanjian Tidak Bernama
c. Berdasarkan sifat perjanjian:
1. Perjanjian Pokok
2. Perjanjian Accesoir
d. Berdasarkan prestasi yang diperjanjikan:
1. Perjanjian Sepihak
2. Perjanjian Timbal Balik
e. Berdasarkan akibat yang ditimbulkan:
1. Perjanjian Obligatoir
2. Perjanjian Kebendaan
B.Sejarah Lahirnya Perjanjian Baku dan Pengertian Perjanjian Baku
Perjanjian standar (baku) telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Plato
(423- 347 SM) pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya
ditentukan secara sepihak oleh penjual, tanpa memperhatikan perbedaan mutu
makanan tersebut. Seiring berkembangnya zaman, perjanjian baku mulai dikenal
dan sering digunakan, termasuk di Indonesia sendiri. Keadaan ini dilatarbelakangi
Menurut Treitel di dalam buku H.P.Panggabean kebebasan berkontrak
menganut dua asas umum9
Menurut Abdul Kadir Muhammad, perjanjian baku dialih bahasakan dari
istilah asing yakni ‘standaard contract’.
. Yang pertama, mengemukakan bahwa hukum tidak
membatasi syarat- syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak, jadi ruang
lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak
dalammenentukan sendiri isi dari suatu perjanjian yang ingin mereka buat. Yang
kedua, bahwa menurut hukum, seseorang tidak dapat dipaksa untuk memasuki
suatu perjanjian. Treitel mengemukakan bahwa terdapat dua pembatasan terhadap
kebolehan pelaksanaan kontrak baku, yakni pembatasan yang dilakukan untuk
menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas
kebebasan berkontrak, seperti penggunaan klausula eksonerasi dan pembatasan
kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum.
10
Mariam Darus mengajukan definisi terhadap penggunaan 2 (dua) jenis
perjanjian standaard umum dan khusus, yakni :
Dimana baku atau standar memiliki arti
sebagai tolak ukur, yakni pedoman atau patokan bagi konsumen dalam
mengadakan hubungan hukum dengan pihak pengusaha. Dalam hal ini, yang
dibakukan adalah model, rumusan dan ukuran. Artinya, tidak dapat diganti atau
diubah lagi, karena produsen telah membuat atau mencetaknya dalam bentuk
blanko tetap berupa naskah perjanjian lengkap dengan syarat- syarat perjanjian
dan syarat- syarat baku yang wajib dipenuhi konsumen.
9
H.P Panggabean, Praktik Standard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian
Kredit Perbankan, PT Alumni, Bandung, 2012.
10
“ Perjanjian standaard umum ialah perjanjian yang bentuk dan isinya telah
dipersiapkan terlebih dahulu oleh kreditur kemudian disodorkan pada debitut
(seperti perjanian kredit bank). Perjanjian standaard khusus dinamakan terhadap
perjanian standaard yang ditetapkan Pemerintah seperti Akta Jual Beli model
1156727, baik adanya dan berlakunya perjanjian ini untuk para pihak ditetapkan
secara sepihak oleh Pemerintah”11
Mariam Darus juga mengajukan 3 (tiga) jenis ‘standaard
contract’
.
12
a. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh
pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat
lazimnya adalah pihak kreditur. (perjanjian baku) sebagai berikut:
b. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh Pemerintah adalah perjanjian baku
yang isinya ditetapkan oleh Pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan
hukum tertentu, misalnya terhadap perjanjian yang berhubungan dengan
objek hak-hak atas tanah.
c. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan Notaris atau Advokat
adalah perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk
memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan
Notaris atau Advokat bersangkutan.
11
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank. Bandung. PT Citra Aditya Bakti. 1991
12
Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ahli dan
sarjana di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan pengertian dari perjanjian
baku, yakni: suatu perjanjian yang menimbulkan perikatan dimana
klausula-klausula dan syarat-syarat dalam perjanjian lazimnya ditentukan secara sepihak
oleh pihak produsen tanpa adanya keikutsertaan dari pihak konsumen. Klausula
yang tercantum dalam perjanjian baku disebut dengan klausula eksonerasi (
exoneratie klausule).
Klausula eksonerasi ini digunakan sebagai pembatasan
pertanggungjawaban produsen dan merupakan salah satu syarat dalam pembuatan
perjanjian baku, dimana seperti yang dikemukakan oleh Mariam Darus mengenai
syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam standaard contract yakni:
a. Cara mengakhiri perjanjian;
b. Cara memperpanjang perjanjian;
c. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase;
d. Penyelesaian sengketa melalui keputusan pihak ketiga ( binded advise
beding);
e. Syarat- syarat tentang eksonerasi;
Dasar berlakunya syarat-syarat baku bagi konsumen atau yang
menyebabkan konsumen manjadi terikat pada syarat baku yang diberikan pelaku
usaha dpat dilihat dari tiga aspek13 a. Aspek hukum
, yakni:
13
Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan
Secara yuridis Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya. Yang artinya memiliki kekuatan hukum mengikat sama
seperti undnag-undang dan memiliki kepastian hukum. Dalam Pasal 1338
ayat (2) KUHPerdata menyebutkan bahwa pihak alam perjanjian tidak
dapat membatalkan perjanjian secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain.
Keterikatan antara para pihak dibuktikan dari penandatanganan perjanjian
itu.
b. Aspek kemasyarakatan
Zeylemaker (1948) mengemukakan ajaran penundukan kemauan yang
menyatakan bahwa orang mau tunduk karena ada pengaturan yang aman
dalam lalu lintas masyarakat, yang disusun oleh orang yang ahli dalam
bidangnya, dan tidak berlaku sepihak, sehingga orang tidak dapat berbuat
lain daripada tunduk. Tetapi Stein (1957) menyatakan bahwa kebutuhan
praktis dalam lalu lintas masyarakatlah yang menyebabkan pihak lain
terikat pada semua syarat baku tanpa mempertimbangkan apakah ia
memahami syarat-syarat itu atau tidak. Sedangkan Hondius (1976)
menanggapi atas pendapat Zeylemaker mengatakan bahwa, pendapat
beliau tidak dapat dipakai sebagai dasar keterikatan konsumen tetapi
dengan ketentuan bahwa keterikatan itu terjadi karena adanya alasan
kepercayaan.
Zonderland (1976) menanggapinya dengan menggunakan pendekatan riil.
Ia menyatakan bahwa keterikatan konsumen pada syarat-syarat baku
karena konsumen ingin menukar prestasi dan sekaligus menerima apapun
yang tercantum dalam syarat-syarat baku dengan harapan bahwa ia luput
dari musibah. Pendekatan riil Zonderland ini ialah kebutuhan ekonomi
yang hanya akan terpenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pengusaha,
walaupun dengan syarat-syarat baku yang lebih berat. Karenanya kerugian
yang mungkin saja timbul adalah resiko.
Abdulkadir Muhammad menyebutkan ciri-ciri perjanjian baku adalah
sebagai berikut: 14
a. Bentuk perjanjian tertulis
b. Format perjanjian dibakukan
c. Syarat-syarat perjanjian ditentukan oleh pengusaha
d. Konsumen hanya menerima atau menolak
e. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah
f. Perjanjian baku menguntungkan pengusaha
Sedangkan menurut Mariam Darus Badrulzaman, ciri-ciri perjanjian baku
adalah sebagai berikut:15
a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonomi) nya
kuat
b. Masyarakat sama sekali tidak bersama-sama menentukan isi perjanjian
14
Abdulkadir Muhammad. Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan. Jakarta. PT Citra Aditya Bakti. 1992
15
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Staandard), Perkembangannya di
c. Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian itu
d. Bentuknya tertentu (tertulis)
e. Disiapkan terlebih dahulu secara massal atau konfektif
Di dalam buku Abdulkadir Muhammad, Hondius (1976) mengemukakan 4
(empat) cara dalam memberlakukan syarat- syarat baku, yakni:16
a. Penandatanganan dokumen perjanjian.
Dalam dokumen perjanjian dimuat secara lengkap dan terperinci
syarat-syarat baku ketika membuat perjanjian, dokumen tersebut kemudian
disodorkan kepada konsumen untuk dibaca dan ditandatangani. Dengan
penandatanganan dokumen tersebut, maka konsumen atau debitur terikat
pada syarat yang telah ditentukan (syarat baku) tersebut. Dokumen
perjanjian itu dapat berupa naskah perjanjian, formulir permintaan
asuransi, dan sebagainya. Dalam dokumen perjanjian itu dimuat
syarat-syarat baku terutama mengenai tanggung jawab konsumen atau eksonerasi
daripada kreditur atau pengusaha.
b. Pemberitahuan melalui dokumen perjanjian.
Pada kebiasaan yang berlaku, syarat-syarat baku dicetak di atas dokumen
perjanjian yang tidak ditandatangani oleh konsumen misalnya, konosemen
surat angkutan, surat pesanan, nota pembelian. Syarat- syarat baku tersebut
ditetapkan oleh pengadilan sebagai bagian dari isi perjanjian yang
16
diberitahukan melalui dokumen perjanjian. Dengan demikian, konsumen
terikat pada syarat-syarat baku dengan ketentuan, dokumen perjanjian
harus sudah diserahkan atu dikirim kepada konsumen sebelum, atau pada
waktu, atau sesudah dibuat perjanjian.
c. Penunjukan dalam dokumen perjanjian.
Dalam dokumen perjanjian tidak dimuat atau tidak ditulis syarat-syarat
baku, melainkan hanya menunjuk kepada syarat-syarat baku, misalnya
dalam dokumen jual beli ditunjuk syarat penyerahan barang atas dasar
kalusula FOB. Artinya syarat baku berdasarkan atas ketentuan FOB dalam
perjanjian.
d. Pemberitahuan melalui papan pengumuman.
Pemberitahuan melalui papan pengumuman merupakan salah satu cara
pemberlakuan syarat baku dalam perjanjian. Pengadilan menetapkan
bahwa pengumuman itu harus dipasang di tempat yang jelas, mudah
dilihat, ditulis dalam bentuk huruf dan bahasa yang sederhana, serta
mudah dibaca sebelum perjanjian dibuat. Papan pengumuman ini dapat
dijumpai pada perusahaan pengangkutan, pertokoan, dan lain-lain. Melalui
pemberitahuan pada papan pengumuman ini menjadikan konsumen terikat
pada syarat baku.
Dalam perjanjian baku ada dikenal dengan klausula eksonerasi. Klausula
klausula eksonerasi ini dapat membebaskan produsen dari pembebanan tanggung
jawab. Karenanya kalusula eksonerasi ini hanya dapat digunakan dalam perjanjian
yang memiliki itikad baik. Jika menimbulkan kerugian karena kesengajaan dan
bertentangan dengan kesusilaan, pengadilan dapat mengesampingkan klausula dan
dapat dibatalkan demi hukum.
C.Perjanjian Baku Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Dalam pasal 1320 jo. 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyatakan: “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: ”
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Berdasarkan syarat tersebut di atas merupakan syarat dari suatu kebebasan
berkontrak. Perjanjian baku dalam hal ini tidak melanggar asas tersebut, karena
pihak konsumen masih diberikan kesempatan untuk memilih menyetujui atau
menolak perjanjian, Namun, dalam pasal 1337 KUHPerdata juga jelas dinyatakan
bahwa setiap perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan, atau ketertiban umum.
Ahli hukum Indonesia Mariam Darus menyatakan bahwa perjanjian baku
bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Dalam
perjanjian baku kedudukan pelaku usaha terlihat lebih dari kedudukan konsumen.
kewenangannya. Pelaku usaha hanya mengatur hak-hak nya dan bahkan tidak
sedikit yang melimpahkan kewajiban pada konsumen. Karenanya hal ini perlu
ditertibkan.17
Sedangkan Sutan Remy Sjahdeni berpendapat dalam kenyataannya
KUHPerdata sendiri memberi batasan-batasan terhadap asas kebebasan
berkontrak. Seperti ketentuan yang mengatakan, suatu perjanjian tidak dapat
ditarik kembali selain dengan kata sepakat dari kedua belah pihak atau karena
alasan lain yang dinyatakan dengan undang-undang. KUHPerdata juga
menyebutkan tiga alasan yang dapat menyebabkan terjadinya pembatalan suatu
perjanjian, yakni paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), dan penipuan (bedrog).
Ketiga alasan ini dimaksudkan sebagai pembatasan atas asas kebebasan
berkontrak. Sutan Remy Sjahdeni menyatakan agar tidak terjadi penyalahgunaan
terhadap asas kebebasan berkontrak ini maka diperlukan campur tangan melalui
undang-undang dan pengadilan, karena seperti yang disebutkan bahwa perjanjian
baku ini bersifat take it or leave it sehingga tidak ada tawar-menawar dalam
menentukan isi perjanjian.
Karenanya menurut Mariam Darus perjanjian baku ini tidak
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata pasal 1320 jo. 1338.
18
Menurut UUPK sendiri dalam pasal 1 angka (10) mendefinisikan klausula
baku sebagai setiap aturan atau ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
17
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Staandard), Perkembangannya di
Indonesia. Bandung. Alumni. 1980
18
Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikatbdan
wajib dipenuhi oleh konsumen. Pasal ini memberi penekanan pada proses
pembuatan perjanjian dan klausula baku di dalamnya.
Pasal 18 ayat (1) huruf (a) UUPK menyatakan pelaku usaha dalam
menawarkan barang dagangannya dilarang menggunakan klausula baku dalam
perjanjian jika menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
Klausula baku yang dilarang tersebut adalah:19
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
b. Menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen
c. Menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yng dibeli oleh konsumen
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa
g. Menyatakn tunduknya konsumen kepada pengaturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
19
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang
yang dibeli oleh konsumen seccara angsuran
Dari beberapa penjelasan di atas dapat diaktakan bahwa UUPK tidak
melarang perjanjian baku, namun harus sesuai dengan itikad baik dan peraturan.
Berdasarkan pasal 18 ayat (2) UUPK apabila dalam perjanjian ditemukan klausula
yang bersifat mengalihkan tanggung jawab atau merugikan konsumen, maka
pengadilan dapat membatalkan demi hukum, dan apabila kalusula berisi unsur
esenselia maka mungkin saja dapat membatalkan seluruh perjanjian.
D.Akibat Hukum Adanya Perjanjian Baku Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang-Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Perjanjian baku seperti yang telah dikemukakan sebelumnya tidak
melanggar syarat kebebasan berkontrak yang dikemukakan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Namun KUHPerdata menjelaskan bahwa perjanjian yang
dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan
ketertiban umum.
Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian mempunyai kekuatan
mengikat dan memaksa. Menurut undang-undang, pihak yang melanggar
beban resiko (pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata).20
Sedangkan Mariam darus Badrulzaman menyatakan secara teoritis yuridis
perjanjian baku tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki Pasal 1320 jo.
1338 KUHPerdata. Beliau menambahkan dalam perjanjian baku, kita melihat
perbedaan posisi antara pengusaha dan konsumen, dimana konsumen tidak diberi
kesempatan untuk melakukan penawaran atas perjanjian. Konsumen tidak
memiliki kebebasan dalam mengutarakan kehendak menentukan isi perjanjian.
Oleh karenanya, hal ini tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki Pasal
1320 jo. 1338 KUHPerdata sehingga tidak memiliki akibat hukum atau kekuatan
mengikat.
Beliau menyatakan bahwa
perjanjian yang telah dibuat secara sah bersifat mengikat para pihak, sehingga
perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak.
21
Namun, secara garis besar keberadaan perjanjian baku ini dilihat dari
KUHPerdata sama sekali tidak melanggar ketentuan dan masih memenuhi asas
kebebasan berkontrak seperti yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata
yang berbunyi:
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :22 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal”
20
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2006.
21
Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, Bandung, Alumni, 1981
22
Karenanya sampai sekarang keberadaan perjanjian baku ini masih sering
digunakan dalam kegiatan perdagangan, dan semakin berkembang kaena
kepraktisannya dan kemudahan dalam mengadakan perjanjian.
Sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan denga
itikad baik”
Maka berdasarkan bunyi pasal di atas, perjanjian baku ini adalah suatu perjanjian
yang bersifat sah dan mengikat bagi para pihak. Namun, harus dilaksanankan
dengan itikad baik. Artinya, apabila ditemukan adanya pengalihan tanggung
jawab atau klausula yang membebankan berat bagi konsumen, maka dapat
diajukan pembatalan perjanjian ke pengadilan.
Menurut UUPK sendiri telah disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) yang
berbunyi:
“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/ atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/ atau jasa yang dibeli oleh
konsumen
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggugan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.”
Artinya perjanjanjian baku itu diakui keberadaannya dan tidak bersifat
melanggar aturan peraturan perundang-undangan, jika tidak memiliki klausula
yang disebutkan dalam Pasal 18. Jika dalam perjanjian baku ditemukan klausula
yang tercantum pada Pasal 18, maka klausula tersebut dapat dibatalkan demi
Keberadaan perjanjian baku dalam masyarakat sudah sangat melekat,
terutama bagi para pelaku usaha. Dengan adanya perjanjian baku pelaku usaha
dapat menghemat waktu dan melaksanakan perjanjian secara efisien. Yang
menjadi masalah adalah isi dari perjanjian baku. Dikarenakan perjanjian baku
merupakan perjanjian yang dibuat oleh satu pihak dalam hal ini pelaku usaha,
maka pelaku usaha mungkin saja memanfaatkan klausula yang ada di dalamnya
untuk digunakan pelaku usaha untuk melepaskan tanggung jawab bahkan
mengalihkan tanggung jawab kepada konsumen. Hal ini yang menjadi salah satu
pemicu adanya pertanyaan penggunaan perjanijan baku dalam usaha dan bisnis.
Apabila konsumen tidak memiliki pengetahuan yang cukup dan mengerti isi dari
perjanjian baku yang diberikan pelaku usaha, maka dapat menimbulkan kerugian
tersendiri bagi konsumen. Bahkan, sebahagian besar masyarakat tidak membaca
secara teliti terlebih dahulu suatu perjanjian baku sebelum ditandatangani atau
disahkan. Hal ini lah yang dapat memicu penyalahgunaan atau kesewenangan
pelaku usaha dalam membuat isi perjanjian baku.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi dasar hukum dari keberadaan
perjanjian baku. Dalam KUHPerdata yang menyebutkan asas kebebasan
berkontrak juga jelas menyebutkan syarat-syarat sah nya suatu perjanjian.
Kebebasan berkontrak yang disebutkan KUHPerdata juga memberi
batasan.pembatalan perjanijan, yakni apabila dalam perjanjian terdapat unsur:
b. Paksaan (dwang), Pasal 1324, Pasal 1325, Pasal 1326, dan Pasal 1327
KUHPerdata;
c. Penipuan (bedrog), Pasal 1328 KUHPerdata;
Mengingat dalam praktek perdagangan sehari-hari keberadaan perjanjian
baku ini kemungkinan besar berdampak tidak adil bagi konsumen, maka untuk
kepentingan masyarakat perjanian baku ini sudah seharusnya diatur
pelaksanaannya dalam undang- undang atau setidaknya diawasi. Pengawasan
dapat dilakukan oleh Pemerintah, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK), serta Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
sendiri mengaturnya dalam 2 (dua) pasal yang terpisah. Pasal 29 untuk pembinaan
dan Pasal 30 mengatur pengawasan.
Pasal 29 UU Perlindungan Konsumen berbunyi :
“(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan
pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
(2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/ atau
menteri teknis terkait.
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan perlindungan konsumen.
(4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud
a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara
pelaku usaha dan konsumen;
b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
c. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan
penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan
konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 30 UU Perlindungan Konsumen mengenai pengawasan berbunyi:
“(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan
oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat.
(2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Menteri dan/ atau menteri teknis terkait.
(3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat dilakukan terhadap barang dan/ atau jasa yang beredar di pasar.
(4) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata
menyimpang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
membahayakan konsumen, Menteri dan/ atau menteri teknis mengambil
(5) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada
masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.
(6) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat