• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Aspek Hukum Pelaksanaan Perjanjian Baku oleh Developer Properties (Studi pada PT. Multi Cipta Property)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Aspek Hukum Pelaksanaan Perjanjian Baku oleh Developer Properties (Studi pada PT. Multi Cipta Property)"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk yang pesat saat ini memicu permintaan yang besar atas

pemukiman. Seperti yang kita ketahui bahwa tempat tinggal adalah salah satu

kebutuhan dasar manusia. Hal ini tercantum pula pada Undang- Undang Nomor 4

Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman pada pasal 4 huruf a yang

menyatakan bahwa penataan perumahan dan pemukiman bertujuan untuk

memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia.

Rumah pada masa sekarang ini tidak hanya menjadi kebutuhan dasar (basic

need), tetapi juga menjadi gaya hidup (life style) dikarenakan adanya

perkembangan jaman dalam era globalisasi. Permintaan yang tinggi oleh jumlah

populasi masyarakat yang besar memaksa pemerintah untuk berupaya memenuhi

kebutuhan akan perumahan di tengah keadaan seperti keterbatasan lahan.

Hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh dunia bisnis. Mereka yang melihat

kesempatan ini mulai membangun perusahaan- perusahaan perumahan yang

memberikan tawaran atas rumah yang diinginkan masyarakat. Pengadaan

perumahan ini dapat dinikmati oleh kelas ekonomi masyarakat dari kalangan

bawah sampai strata elite. Dalam hal ini, developer properties memberikan

tawaran atas perumahan yang bervariasi mulai dari subsidi sampai perumahan

(2)

Melihat peningkatan dalam kebutuhan dan permintaan atas perumahan, untuk

keefektifan dan keefesienan maka dalam jual- beli digunakan perjanjian baku.

Perjanjian baku pada masa sekarang ini menjadi instrumen yang banyak diminati

oleh pelaku usaha perdagangan dan bisnis. Tujuan dibuatnya perjanjian baku ini

adalah untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi para pihak yang

bersangkutan1

Namun pada kenyataanya yang dapat dilihat adalah pelaksanaan perjanjian

baku ini mendominasi dan memberi kekuatan lebih pada produsen, sedangkan

konsumen berada pada posisi yang tidak berimbang. Perjanjian baku tidak

melibatkan pihak konsumen dan konsumen tidak diberikan suatu pilihan alternatif

lain, melainkan hanya menerima ketentuan dan prasyarat yang diberikan oleh

pelaku usaha. .

Dalam perjanjian baku sering terjadi pelaku usaha mengalihkan kewajiban-

kewajiban yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya kepada konsumen

sehingga memberatkan atau bahkan cenderung merugikan konsumen. Oleh sebab

itu, dapat dikatakan bahwa materi kalusula baku bukanlah hasil suatu kesepakatan

melainkan hasil pemaksaan kepada pihak lain untuk menerima atau tidak

menerima sama sekali sehingga dapat menimbulkan suatu kondisi yang tidak

seimbang antara pelaku usaha dengan konsumen2.

1

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesis, Grasindo, Jakarta, 2000. 2

H.P Panggabean, Praktik Standard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian

(3)

Sluyter mengemukakan ciri-ciri standaard contract adalah sebagai berikut3

a. Bahwa isinya telah terlebih dahulu ditetapkan secara tertulis;

:

b. Bahwa standaard contract itu selalu menyimpang dari hukum yang

mengatur ( regelent recht);

c. Bahwa standaard contract sebagai “adhesiecontract” lebih bersifat

dipaksakan berdasarkan kekuatan ekonomi

Konsumen sendiri memiliki keterbatasan dalam pemahaman isi perjanjian

baku terutama di bidang jual-beli perumahan. Bahkan, sebahagian besar

masyarakat tidak memahami dan hanya menerima begitu saja. Bagi konsumen

keadaan ini seperti take it or leave it. Tidak sedikit konsumen yang tidak ingin

ambil pusing, bahkan tidak membaca isi perjanjian. Hal ini dapat menjadi suatu

pemicu semakin berkembangnya penggunaan perjanjian baku dengan

klausula-klausula yang lebih menguntungkan produsen. Kurangnya pemahaman

masyarakat dalam bidang hukum dan pemikiran untuk tidak ingin menyulitkan

diri dalam dunia hukum dalam hal ini pengadilan, mengakibatkan enggan nya

masyarakat untuk melaporkan atau membawa ke ranah hukum untuk ditinjau

apabila terjadi sengketa setelah kesepakatan yang terjadi atas perjanjian baku.

Jika ditinjau perjanjian baku ini tidaklah melanggar asas kebebasan

berkontrak ( pasal 1320 jo. 1338 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata).

Bagaimanapun konsumen diberi kebebasan menyetujui atau menolak. Hanya saja

yang perlu dilihat adalah klausula eksonerasi di dalamnya, dimana klausula ini

3

H.P Panggabean, Praktik Standard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian

(4)

mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus tanggung jawab yang

seharusnya dibebankan pada pihak penjual atau produsen. Dalam Undang-Undang

No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak dijelaskan mengenai

definisi perjanjian baku, tetapi merumuskan klausula baku sebagai berikut:

“Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan

ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan

dalam suatu dokumen dan/ atau perjanjian uang mengikat dan wajib

dipenuhi oleh konsumen”.

Apakah konsumen adalah pihak yang lemah? Dalam konteks ini jika kita

berpikir lebih mendalam, konsumen memiliki kekuatan untuk menegakkan

hak-hak nya. Namun, sebahagian besar pihak-hak konsumen hanya memahami jual- beli

sebatas penyerahan uang dan penerimaan barang saja, tanpa mengerti dan

memahami isi dari perjanjian baku.

Sehubungan dengan kondisi tersebut, perlu dilakukan kajian dan telaah dalam

pelaksanaan jual-beli rumah menggunakan perjanjian baku. Oleh karenanya

penulis menganggap penting mengangkat pembahasan mengenai penggunaan

perjanjian baku, khususnya dalam bidang jual-beli rumah.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan penulis dan pengamatan yang

dilakukan dalam hal penjualan dan pembelian perumahan, maka penulis

mengemukakan permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini.

(5)

1. Bagaimana perlindungan terhadap konsumen dengan adanya pelaksanaan

perjanjian baku?

2. Bagaimana keabsahan penggunaan perjanjian baku?

3. Bagaimana prosedur yang dilakukan oleh developer property dalam pembuatan

perjanjian baku?

4. Apakah perjanjian baku masih layak digunakan pada masa sekarang ini?

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui posisi konsumen dan perlindungan yang diberikan atas

adanya penggunaan perjanjian baku dalam zona jual-beli rumah.

b. Untuk mengetahui seperti apa perjanjian baku yang dianggap sah dan sesuai

kaidah hukum dalam ranah jual-beli rumah.

c. Untuk mengetahui prosedur dan pertimbangan apa saja yang dilakukan oleh

developer property dalam membentuk suatu perjanjian baku.

d. Untuk memberikan gambaran atas keberadaan perjanjian baku dalam

masyarakat sekarang ini.

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah :

a.Secara Teoritis

- Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut bagi

pengembangan ilmu pengetahuan hukum dalam bidang klausula baku

(6)

- Untuk memperoleh dan memperdalam pengetahuan dalam bidang

penggunaan perjanjian baku oleh developer properties

b.Secara Praktis

- Hasil penulisan diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna dan dapat

menambah wawasan di bidang hukum bagi para pihak yang terkait

terutama masyarakat luas.

- Agar masyarakat dapat mengerti dan memahami hak nya sebagai

konsumen dalam penggunaan perjanjian baku oleh developer properties.

D.Metode Penelitian

Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian

hukum Deskriptif Normatif yaitu dengan cara melakukan pengumpulan data yang

berkaitan dengan masalah yang dikemukakan lalu dilakukan penelitian dan analisa

terhadap permasalahan.

Bentuk penulisan skripsi ini menggunakan bentuk penelitian dengan melihat

dan meneliti pada hukum primer, yakni : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

dan Unadng-Undang Perlindungan Konsumen dan hukum sekunder, yakni : bahan

yang berhubungan erat dengan topik penulisan skripsi ini Surat Keputusan

Menteri Perumahan No. 9 Tahun 1995 tentang Pedoman Pengikat Perjanjian Jual

Beli Rumah, buku- buku karangan para sarjana, hasil penelitian pada tempat studi

kasus, maupun situs internet.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengumpulkan data-data yang

(7)

- Penelitian lapangan ( field research) : yakni dengan mengadakan penelitian

dan wawancara kepada staf developer property dalam hal ini PT. Multi

Cipta Property.

- Penelitian kepustakaan (library research) : yakni dengan membaca,

mempelajari, dan menganalisa buku- buku yang berhubungan dengan topik

dalam skripsi ini.

E.Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini dilakukan dan diselesaikan berdasarkan data- data yang

dikumpulkan oleh penulis sendiri dari berbagai sumber, baik dari sumber bacaan,

media elektronik, maupun wawancara, dan sepanjang pengetahuan penulis,

penulisan tentang aspek hukum pelaksanaan perjanjian baku oleh developer

properties ( studi pada PT. Multi Cipta Property) telah diperiksa dan diselidiki

sesuai dengan objek yang berbeda.

F. Sistematika Penulisan

Bab I : Pada bab ini penulis menguraikan tentang hal- hal yang bersifat

umum yang mendasari penulis dalam penulisan skripsi ini, yang

terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan,

manfaat penulisan, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II : Pada bab ini, penulis menguraikan gambaran umum perjanjian baku

yang dimulai dengan sejarah lahirnya perjanjian baku, pengertian

perjanjian baku, bagaimana perjanjian baku ditinjau dari Kitab

(8)

Perlindungan Konsumen, dan akibat hukum dari adanya perjanjian

baku ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan

Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Bab III : Pada bab ini, penulis menguraikan gambaran umum developer

dimana telah dilakukan studi pada salah satu developer property

yakni PT. Multi Cipta Property, yang menguraikan dasar

terbentuknya PT. Multi Cipta Property, pengertian developer, hak

dan kewajiban developer, hubungan konsumen dan developer

dalam perjanjian baku, dan pengadaan perjanjian baku oleh

developer.

Bab IV : Pada bab ini, penulis akan menguraikan pokok dari permasalahan

topik yakni aspek hukum pelaksanaan perjanjian baku oleh

developer properties ( studi pada PT. Multi Cipta Property), yang

terdiri dari : perlindungan terhadap konsumen dalam penggunaan

perjanjian baku, keabsahan perjanjian baku, prosedur pembuatan

perjanjian baku, dan keberadaan perjanjian baku di tengah

masyarakat.

Bab V : Pada bab ini, penulis memberikan kesimpulan dan saran dari hasil

uraian bab-bab sebelumnya yang diharapkan dapat berguna bagi

(9)

BAB II

PENGERTIAN UMUM PERJANJIAN BAKU

A.Pengertian Perjanjian dan Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian

Menurut pasal 1313 KUHPerdata:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Apabila diperhatikan, adapun unsur-unsur dari perjanjian itu adalah:

a. Terdapat para pihak sedikitnya 2 ( dua) orang;

b. Ada persetujuan antara para pihak yang terkait;

c. Memiliki tujuan yang akan dicapai;

d. Memiliki prestasi yang akan dilaksanakan;

e. Dapat berbentuk lisan maupun tulisan;

f. Memiliki syarat-syarat tertentu sebagai isi dari perjanjian

Sedangkan di dalam buku Yahya Harahap disebutkan menurut Sudikno

Mertokusumo: “Perjanjian adalah hubungan hukum/ rechtshandeling dalam hal

mana satu pihak atau lebih mengikat diri terhadap satu atau lebih pihak lain”.

Istilah perjanjian berkaitan dengan perikatan ( verbintenis). Menurut Subekti

perikatan adalah suatu pengertian abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu

peristiwa konkret.4

Di dalam perjanjian terdapat asas-asas sebagai rangkaian prinsip atau

norma atau patokan dasar yang berguna untuk dipedomani dalam mengatasi

4

(10)

kesulitan dalam pelaksanaan suatu perjanjian. Mariam Darus mengemukakan 10

asas perjanjian, yakni:

1. Asas kebebasan mengadakan perjanjian;

2. Asas persesuaian kehendak;

3. Asas kepercayaan;

4. Asas kekuatan mengikat;

5. Asas persamaan hukum;

6. Asas keseimbangan;

7. Asas kepastian hukum;

8. Asas moral;

9. Asas kepatutan;

10.Asas kebiasaan;

Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, asas-asas hukum dalam

perjanjian adalah pikiran dasar yang umum sifatnya, dan merupakan latar

belakang dari peraturan hukum yang konkrit yang terdapat dalam peraturan

perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat

diketemukan dengan mencari sifat-sifat dalam peraturan konkrit tersebut.5 Asas-asas hukum perjanjian yang dikemukakan meliputi:

a. Asas konsensualisme

Diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi emreka yang membuatnya”

5

(11)

b. Asas kebebasan berkontrak

Pada dasarnya manusia bebas mengadakan hubungan dengan orang lain.

Termasuk di dalamnya adalah hubungan kerja sama maupun mengadakan

suatu perjanjian.

c. Asas kekuatan mengikat suatu perjanjian

Perjanijan yang telah dibuat dan disepakati oleh para pihak yang terlibat

mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak.

d. Asas itikad baik

Pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dinyatakan:

“Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”

e. Asas kepribadian

Pada Pasal 1315 KUHPerdata berbunyi:

“Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan dirinya atas nama

sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya

sendiri”

Di dalam pasal 1320 KUHPerdata juga dimuat tentang syarat sah nya

suatu perjanjian, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Suatu perjanjian bisa terlaksana apabila terdapat kata sepakat antara para

pihak mengenai obyek yang diperjanjikan, memiliki kesesuaian paham dan

kehendak atas perjanjian.

(12)

Yang dimaksud dalam syarat ini adalah cakap menurut hukum sesuai

yang diatur oleh KUHPerdata, yang dewasa, dan sehat akal pikirannya.

c. Suatu hal tertentu;

Merupakan hal- hal yang diperjanjikan yang dituangkan dalam perjanjian,

mulai dari hak dan kewajiban, obyek perjanjian, dan penyelesaian apabila terjadi

sengketa nantinya.

d. Suatu sebab yang halal;

Dalam perjanjian, klausula yang dituangkan harus bersifat halal, artinya

tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, peraturan

perUndang-Undangan, maupun kebiasaan norma masyarakat yang telah diakui.

Memperjelas keempat syarat itu, Subekti menggolongkannya ke dalam 2

(dua) bagian, yakni:

a. Mengenai subjek perjanjian, adalah orang yang cakap atau mampu

melakukan perjanjian sesuai peraturan perUndang-Undangan.

Adapun sepakat (konsensus) adalah dasar dari terbentuknya perjanjian,

dimana para pihak memiliki kebebasan dalam menentukan kehendaknya

tanpa ada paksaan.

b. Mengenai objek perjanjian, adalah apa yang dijanjikan oleh

(13)

objek tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umu,

dan kesusilaan.6

Sedangkan dalam N. B. W( New Burgelijk Wetboek) Belanda, telah

terjadi perubahan atas syarat- syarat di atas, dimana syarat ke-3 dan ke-4 dalam

pasal 1320 telah dijadikan satu sehingga N. B. W menyebutkan syarat sahnya

perjanjian ada 3, yaitu:

a. Kesepakatan;

b. Kemampuan bertindak;

c. Perjanjian yang dilarang;

Subekti menambahkan, bahwa apabila tidak dipenuhinya syarat subjektif

dalam perjanjian dapat dimintakan pembatalan perjanjian kepada Hakim, namun

apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka dapat dibatalkan demi hukum.7

a. Kekhilafan (kesesatan dwaling), Pasal 1322 KUHPerdata;

Dalam KUHPerdata telah diatur mengenai pembatalan perjanjian. Pasal 1321

KUHPerdata menyebutkan 3 (tiga) alasan pembatalan perjanjian, yaitu:

Yaitu keadaan dimana masing-masing pihak saling tersesat terhadap objek

perjanjian atau pernyataan kesesuaian kehendak dari salah satu pihak tidak

sesuai dengan kehendaknya. Menurut R. Subekti kekhilafan atau

kekeliruan terjadi jika salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok apa

6

R.Subekti, Hukum Perjanjian. PT Intermasa, Jakarta, 1987 7

(14)

yang diperjanjikan atau tentang dengan orang-orang siapa perjanjian itu

diadakan.8

1) Mengenai orangnya

Karenanya kekhilafan itu ada dua macam:

2) Mengenai bentuknya yaitu objek perjanjian.

b. Paksaan (dwang), Pasal 1324, Pasal 1325, Pasal 1326, dan Pasal 1327

KUHPerdata;

Suatu keadaan di mana seseorang melakukan perbuatan karena takut

dengan ancaman atau di bawah ancaman baik ancaman fisik maupun

ancaman rohani. (Pasal 1324 KUHPerdata)

c. Penipuan (bedrog), Pasal 1328 KUHPerdata;

Pasal 1328 KUHPerdata menyatakan:

“Penipuan merupakan suatu alas an untuk pembatalan perjanjian, apabila

tipu muslihat yang dipakai salah satu pihak adalah sedemikian rupa

hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat

perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut.”

Pada Pasal 1338 KUHPerdata dikatakan:

“Perjanjian dibuat secara berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya”

Jenis-jenis perjanjian itu sendiri terdiri dari beberapa aspek:

a. Berdasarkan cara lahirnya:

1. Perjanjian Konsensuil

2. Perjanjian Formal

(15)

3. Perjanjian Riil

b. Berdasarkan pengaturannya:

1. Perjanjian Bernama

2. Perjanjian Tidak Bernama

c. Berdasarkan sifat perjanjian:

1. Perjanjian Pokok

2. Perjanjian Accesoir

d. Berdasarkan prestasi yang diperjanjikan:

1. Perjanjian Sepihak

2. Perjanjian Timbal Balik

e. Berdasarkan akibat yang ditimbulkan:

1. Perjanjian Obligatoir

2. Perjanjian Kebendaan

B.Sejarah Lahirnya Perjanjian Baku dan Pengertian Perjanjian Baku

Perjanjian standar (baku) telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Plato

(423- 347 SM) pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya

ditentukan secara sepihak oleh penjual, tanpa memperhatikan perbedaan mutu

makanan tersebut. Seiring berkembangnya zaman, perjanjian baku mulai dikenal

dan sering digunakan, termasuk di Indonesia sendiri. Keadaan ini dilatarbelakangi

(16)

Menurut Treitel di dalam buku H.P.Panggabean kebebasan berkontrak

menganut dua asas umum9

Menurut Abdul Kadir Muhammad, perjanjian baku dialih bahasakan dari

istilah asing yakni ‘standaard contract’.

. Yang pertama, mengemukakan bahwa hukum tidak

membatasi syarat- syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak, jadi ruang

lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak

dalammenentukan sendiri isi dari suatu perjanjian yang ingin mereka buat. Yang

kedua, bahwa menurut hukum, seseorang tidak dapat dipaksa untuk memasuki

suatu perjanjian. Treitel mengemukakan bahwa terdapat dua pembatasan terhadap

kebolehan pelaksanaan kontrak baku, yakni pembatasan yang dilakukan untuk

menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas

kebebasan berkontrak, seperti penggunaan klausula eksonerasi dan pembatasan

kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum.

10

Mariam Darus mengajukan definisi terhadap penggunaan 2 (dua) jenis

perjanjian standaard umum dan khusus, yakni :

Dimana baku atau standar memiliki arti

sebagai tolak ukur, yakni pedoman atau patokan bagi konsumen dalam

mengadakan hubungan hukum dengan pihak pengusaha. Dalam hal ini, yang

dibakukan adalah model, rumusan dan ukuran. Artinya, tidak dapat diganti atau

diubah lagi, karena produsen telah membuat atau mencetaknya dalam bentuk

blanko tetap berupa naskah perjanjian lengkap dengan syarat- syarat perjanjian

dan syarat- syarat baku yang wajib dipenuhi konsumen.

9

H.P Panggabean, Praktik Standard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian

Kredit Perbankan, PT Alumni, Bandung, 2012.

10

(17)

“ Perjanjian standaard umum ialah perjanjian yang bentuk dan isinya telah

dipersiapkan terlebih dahulu oleh kreditur kemudian disodorkan pada debitut

(seperti perjanian kredit bank). Perjanjian standaard khusus dinamakan terhadap

perjanian standaard yang ditetapkan Pemerintah seperti Akta Jual Beli model

1156727, baik adanya dan berlakunya perjanjian ini untuk para pihak ditetapkan

secara sepihak oleh Pemerintah”11

Mariam Darus juga mengajukan 3 (tiga) jenis ‘standaard

contract’

.

12

a. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh

pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat

lazimnya adalah pihak kreditur. (perjanjian baku) sebagai berikut:

b. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh Pemerintah adalah perjanjian baku

yang isinya ditetapkan oleh Pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan

hukum tertentu, misalnya terhadap perjanjian yang berhubungan dengan

objek hak-hak atas tanah.

c. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan Notaris atau Advokat

adalah perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk

memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan

Notaris atau Advokat bersangkutan.

11

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank. Bandung. PT Citra Aditya Bakti. 1991

12

(18)

Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ahli dan

sarjana di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan pengertian dari perjanjian

baku, yakni: suatu perjanjian yang menimbulkan perikatan dimana

klausula-klausula dan syarat-syarat dalam perjanjian lazimnya ditentukan secara sepihak

oleh pihak produsen tanpa adanya keikutsertaan dari pihak konsumen. Klausula

yang tercantum dalam perjanjian baku disebut dengan klausula eksonerasi (

exoneratie klausule).

Klausula eksonerasi ini digunakan sebagai pembatasan

pertanggungjawaban produsen dan merupakan salah satu syarat dalam pembuatan

perjanjian baku, dimana seperti yang dikemukakan oleh Mariam Darus mengenai

syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam standaard contract yakni:

a. Cara mengakhiri perjanjian;

b. Cara memperpanjang perjanjian;

c. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase;

d. Penyelesaian sengketa melalui keputusan pihak ketiga ( binded advise

beding);

e. Syarat- syarat tentang eksonerasi;

Dasar berlakunya syarat-syarat baku bagi konsumen atau yang

menyebabkan konsumen manjadi terikat pada syarat baku yang diberikan pelaku

usaha dpat dilihat dari tiga aspek13 a. Aspek hukum

, yakni:

13

Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan

(19)

Secara yuridis Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang

membuatnya. Yang artinya memiliki kekuatan hukum mengikat sama

seperti undnag-undang dan memiliki kepastian hukum. Dalam Pasal 1338

ayat (2) KUHPerdata menyebutkan bahwa pihak alam perjanjian tidak

dapat membatalkan perjanjian secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain.

Keterikatan antara para pihak dibuktikan dari penandatanganan perjanjian

itu.

b. Aspek kemasyarakatan

Zeylemaker (1948) mengemukakan ajaran penundukan kemauan yang

menyatakan bahwa orang mau tunduk karena ada pengaturan yang aman

dalam lalu lintas masyarakat, yang disusun oleh orang yang ahli dalam

bidangnya, dan tidak berlaku sepihak, sehingga orang tidak dapat berbuat

lain daripada tunduk. Tetapi Stein (1957) menyatakan bahwa kebutuhan

praktis dalam lalu lintas masyarakatlah yang menyebabkan pihak lain

terikat pada semua syarat baku tanpa mempertimbangkan apakah ia

memahami syarat-syarat itu atau tidak. Sedangkan Hondius (1976)

menanggapi atas pendapat Zeylemaker mengatakan bahwa, pendapat

beliau tidak dapat dipakai sebagai dasar keterikatan konsumen tetapi

dengan ketentuan bahwa keterikatan itu terjadi karena adanya alasan

kepercayaan.

(20)

Zonderland (1976) menanggapinya dengan menggunakan pendekatan riil.

Ia menyatakan bahwa keterikatan konsumen pada syarat-syarat baku

karena konsumen ingin menukar prestasi dan sekaligus menerima apapun

yang tercantum dalam syarat-syarat baku dengan harapan bahwa ia luput

dari musibah. Pendekatan riil Zonderland ini ialah kebutuhan ekonomi

yang hanya akan terpenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pengusaha,

walaupun dengan syarat-syarat baku yang lebih berat. Karenanya kerugian

yang mungkin saja timbul adalah resiko.

Abdulkadir Muhammad menyebutkan ciri-ciri perjanjian baku adalah

sebagai berikut: 14

a. Bentuk perjanjian tertulis

b. Format perjanjian dibakukan

c. Syarat-syarat perjanjian ditentukan oleh pengusaha

d. Konsumen hanya menerima atau menolak

e. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah

f. Perjanjian baku menguntungkan pengusaha

Sedangkan menurut Mariam Darus Badrulzaman, ciri-ciri perjanjian baku

adalah sebagai berikut:15

a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonomi) nya

kuat

b. Masyarakat sama sekali tidak bersama-sama menentukan isi perjanjian

14

Abdulkadir Muhammad. Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan. Jakarta. PT Citra Aditya Bakti. 1992

15

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Staandard), Perkembangannya di

(21)

c. Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menerima perjanjian itu

d. Bentuknya tertentu (tertulis)

e. Disiapkan terlebih dahulu secara massal atau konfektif

Di dalam buku Abdulkadir Muhammad, Hondius (1976) mengemukakan 4

(empat) cara dalam memberlakukan syarat- syarat baku, yakni:16

a. Penandatanganan dokumen perjanjian.

Dalam dokumen perjanjian dimuat secara lengkap dan terperinci

syarat-syarat baku ketika membuat perjanjian, dokumen tersebut kemudian

disodorkan kepada konsumen untuk dibaca dan ditandatangani. Dengan

penandatanganan dokumen tersebut, maka konsumen atau debitur terikat

pada syarat yang telah ditentukan (syarat baku) tersebut. Dokumen

perjanjian itu dapat berupa naskah perjanjian, formulir permintaan

asuransi, dan sebagainya. Dalam dokumen perjanjian itu dimuat

syarat-syarat baku terutama mengenai tanggung jawab konsumen atau eksonerasi

daripada kreditur atau pengusaha.

b. Pemberitahuan melalui dokumen perjanjian.

Pada kebiasaan yang berlaku, syarat-syarat baku dicetak di atas dokumen

perjanjian yang tidak ditandatangani oleh konsumen misalnya, konosemen

surat angkutan, surat pesanan, nota pembelian. Syarat- syarat baku tersebut

ditetapkan oleh pengadilan sebagai bagian dari isi perjanjian yang

16

(22)

diberitahukan melalui dokumen perjanjian. Dengan demikian, konsumen

terikat pada syarat-syarat baku dengan ketentuan, dokumen perjanjian

harus sudah diserahkan atu dikirim kepada konsumen sebelum, atau pada

waktu, atau sesudah dibuat perjanjian.

c. Penunjukan dalam dokumen perjanjian.

Dalam dokumen perjanjian tidak dimuat atau tidak ditulis syarat-syarat

baku, melainkan hanya menunjuk kepada syarat-syarat baku, misalnya

dalam dokumen jual beli ditunjuk syarat penyerahan barang atas dasar

kalusula FOB. Artinya syarat baku berdasarkan atas ketentuan FOB dalam

perjanjian.

d. Pemberitahuan melalui papan pengumuman.

Pemberitahuan melalui papan pengumuman merupakan salah satu cara

pemberlakuan syarat baku dalam perjanjian. Pengadilan menetapkan

bahwa pengumuman itu harus dipasang di tempat yang jelas, mudah

dilihat, ditulis dalam bentuk huruf dan bahasa yang sederhana, serta

mudah dibaca sebelum perjanjian dibuat. Papan pengumuman ini dapat

dijumpai pada perusahaan pengangkutan, pertokoan, dan lain-lain. Melalui

pemberitahuan pada papan pengumuman ini menjadikan konsumen terikat

pada syarat baku.

Dalam perjanjian baku ada dikenal dengan klausula eksonerasi. Klausula

(23)

klausula eksonerasi ini dapat membebaskan produsen dari pembebanan tanggung

jawab. Karenanya kalusula eksonerasi ini hanya dapat digunakan dalam perjanjian

yang memiliki itikad baik. Jika menimbulkan kerugian karena kesengajaan dan

bertentangan dengan kesusilaan, pengadilan dapat mengesampingkan klausula dan

dapat dibatalkan demi hukum.

C.Perjanjian Baku Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Dalam pasal 1320 jo. 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

menyatakan: “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: ”

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Berdasarkan syarat tersebut di atas merupakan syarat dari suatu kebebasan

berkontrak. Perjanjian baku dalam hal ini tidak melanggar asas tersebut, karena

pihak konsumen masih diberikan kesempatan untuk memilih menyetujui atau

menolak perjanjian, Namun, dalam pasal 1337 KUHPerdata juga jelas dinyatakan

bahwa setiap perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,

kesusilaan, atau ketertiban umum.

Ahli hukum Indonesia Mariam Darus menyatakan bahwa perjanjian baku

bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Dalam

perjanjian baku kedudukan pelaku usaha terlihat lebih dari kedudukan konsumen.

(24)

kewenangannya. Pelaku usaha hanya mengatur hak-hak nya dan bahkan tidak

sedikit yang melimpahkan kewajiban pada konsumen. Karenanya hal ini perlu

ditertibkan.17

Sedangkan Sutan Remy Sjahdeni berpendapat dalam kenyataannya

KUHPerdata sendiri memberi batasan-batasan terhadap asas kebebasan

berkontrak. Seperti ketentuan yang mengatakan, suatu perjanjian tidak dapat

ditarik kembali selain dengan kata sepakat dari kedua belah pihak atau karena

alasan lain yang dinyatakan dengan undang-undang. KUHPerdata juga

menyebutkan tiga alasan yang dapat menyebabkan terjadinya pembatalan suatu

perjanjian, yakni paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), dan penipuan (bedrog).

Ketiga alasan ini dimaksudkan sebagai pembatasan atas asas kebebasan

berkontrak. Sutan Remy Sjahdeni menyatakan agar tidak terjadi penyalahgunaan

terhadap asas kebebasan berkontrak ini maka diperlukan campur tangan melalui

undang-undang dan pengadilan, karena seperti yang disebutkan bahwa perjanjian

baku ini bersifat take it or leave it sehingga tidak ada tawar-menawar dalam

menentukan isi perjanjian.

Karenanya menurut Mariam Darus perjanjian baku ini tidak

memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata pasal 1320 jo. 1338.

18

Menurut UUPK sendiri dalam pasal 1 angka (10) mendefinisikan klausula

baku sebagai setiap aturan atau ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang

dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha

17

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Staandard), Perkembangannya di

Indonesia. Bandung. Alumni. 1980

18

Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi

(25)

yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikatbdan

wajib dipenuhi oleh konsumen. Pasal ini memberi penekanan pada proses

pembuatan perjanjian dan klausula baku di dalamnya.

Pasal 18 ayat (1) huruf (a) UUPK menyatakan pelaku usaha dalam

menawarkan barang dagangannya dilarang menggunakan klausula baku dalam

perjanjian jika menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha

Klausula baku yang dilarang tersebut adalah:19

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha

b. Menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang

yang dibeli konsumen

c. Menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang

dibayarkan atas barang dan/atau jasa yng dibeli oleh konsumen

d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik

secara langsung maupun tak langsung untuk melakukan segala tindakan

sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara

angsuran

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen

f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau

mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa

g. Menyatakn tunduknya konsumen kepada pengaturan yang berupa aturan

baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat

19

(26)

sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang

dibelinya

h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk

pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang

yang dibeli oleh konsumen seccara angsuran

Dari beberapa penjelasan di atas dapat diaktakan bahwa UUPK tidak

melarang perjanjian baku, namun harus sesuai dengan itikad baik dan peraturan.

Berdasarkan pasal 18 ayat (2) UUPK apabila dalam perjanjian ditemukan klausula

yang bersifat mengalihkan tanggung jawab atau merugikan konsumen, maka

pengadilan dapat membatalkan demi hukum, dan apabila kalusula berisi unsur

esenselia maka mungkin saja dapat membatalkan seluruh perjanjian.

D.Akibat Hukum Adanya Perjanjian Baku Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang-Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Perjanjian baku seperti yang telah dikemukakan sebelumnya tidak

melanggar syarat kebebasan berkontrak yang dikemukakan dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata. Namun KUHPerdata menjelaskan bahwa perjanjian yang

dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan

ketertiban umum.

Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian mempunyai kekuatan

mengikat dan memaksa. Menurut undang-undang, pihak yang melanggar

(27)

beban resiko (pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata).20

Sedangkan Mariam darus Badrulzaman menyatakan secara teoritis yuridis

perjanjian baku tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki Pasal 1320 jo.

1338 KUHPerdata. Beliau menambahkan dalam perjanjian baku, kita melihat

perbedaan posisi antara pengusaha dan konsumen, dimana konsumen tidak diberi

kesempatan untuk melakukan penawaran atas perjanjian. Konsumen tidak

memiliki kebebasan dalam mengutarakan kehendak menentukan isi perjanjian.

Oleh karenanya, hal ini tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki Pasal

1320 jo. 1338 KUHPerdata sehingga tidak memiliki akibat hukum atau kekuatan

mengikat.

Beliau menyatakan bahwa

perjanjian yang telah dibuat secara sah bersifat mengikat para pihak, sehingga

perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan secara sepihak.

21

Namun, secara garis besar keberadaan perjanjian baku ini dilihat dari

KUHPerdata sama sekali tidak melanggar ketentuan dan masih memenuhi asas

kebebasan berkontrak seperti yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata

yang berbunyi:

“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :22 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal”

20

Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2006.

21

Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, Bandung, Alumni, 1981

22

(28)

Karenanya sampai sekarang keberadaan perjanjian baku ini masih sering

digunakan dalam kegiatan perdagangan, dan semakin berkembang kaena

kepraktisannya dan kemudahan dalam mengadakan perjanjian.

Sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain

dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh

undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan denga

itikad baik”

Maka berdasarkan bunyi pasal di atas, perjanjian baku ini adalah suatu perjanjian

yang bersifat sah dan mengikat bagi para pihak. Namun, harus dilaksanankan

dengan itikad baik. Artinya, apabila ditemukan adanya pengalihan tanggung

jawab atau klausula yang membebankan berat bagi konsumen, maka dapat

diajukan pembatalan perjanjian ke pengadilan.

Menurut UUPK sendiri telah disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) yang

berbunyi:

“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk

diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap

dokumen dan/ atau perjanjian apabila:

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

(29)

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

uang yang dibayarkan atas barang dan/ atau jasa yang dibeli oleh

konsumen

d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik

secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan

sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara

angsuran

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen

f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau

mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa

g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan

baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat

sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang

dibelinya

h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk

pembebanan hak tanggugan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang

yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.”

Artinya perjanjanjian baku itu diakui keberadaannya dan tidak bersifat

melanggar aturan peraturan perundang-undangan, jika tidak memiliki klausula

yang disebutkan dalam Pasal 18. Jika dalam perjanjian baku ditemukan klausula

yang tercantum pada Pasal 18, maka klausula tersebut dapat dibatalkan demi

(30)

Keberadaan perjanjian baku dalam masyarakat sudah sangat melekat,

terutama bagi para pelaku usaha. Dengan adanya perjanjian baku pelaku usaha

dapat menghemat waktu dan melaksanakan perjanjian secara efisien. Yang

menjadi masalah adalah isi dari perjanjian baku. Dikarenakan perjanjian baku

merupakan perjanjian yang dibuat oleh satu pihak dalam hal ini pelaku usaha,

maka pelaku usaha mungkin saja memanfaatkan klausula yang ada di dalamnya

untuk digunakan pelaku usaha untuk melepaskan tanggung jawab bahkan

mengalihkan tanggung jawab kepada konsumen. Hal ini yang menjadi salah satu

pemicu adanya pertanyaan penggunaan perjanijan baku dalam usaha dan bisnis.

Apabila konsumen tidak memiliki pengetahuan yang cukup dan mengerti isi dari

perjanjian baku yang diberikan pelaku usaha, maka dapat menimbulkan kerugian

tersendiri bagi konsumen. Bahkan, sebahagian besar masyarakat tidak membaca

secara teliti terlebih dahulu suatu perjanjian baku sebelum ditandatangani atau

disahkan. Hal ini lah yang dapat memicu penyalahgunaan atau kesewenangan

pelaku usaha dalam membuat isi perjanjian baku.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi dasar hukum dari keberadaan

perjanjian baku. Dalam KUHPerdata yang menyebutkan asas kebebasan

berkontrak juga jelas menyebutkan syarat-syarat sah nya suatu perjanjian.

Kebebasan berkontrak yang disebutkan KUHPerdata juga memberi

batasan.pembatalan perjanijan, yakni apabila dalam perjanjian terdapat unsur:

(31)

b. Paksaan (dwang), Pasal 1324, Pasal 1325, Pasal 1326, dan Pasal 1327

KUHPerdata;

c. Penipuan (bedrog), Pasal 1328 KUHPerdata;

Mengingat dalam praktek perdagangan sehari-hari keberadaan perjanjian

baku ini kemungkinan besar berdampak tidak adil bagi konsumen, maka untuk

kepentingan masyarakat perjanian baku ini sudah seharusnya diatur

pelaksanaannya dalam undang- undang atau setidaknya diawasi. Pengawasan

dapat dilakukan oleh Pemerintah, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(BPSK), serta Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

sendiri mengaturnya dalam 2 (dua) pasal yang terpisah. Pasal 29 untuk pembinaan

dan Pasal 30 mengatur pengawasan.

Pasal 29 UU Perlindungan Konsumen berbunyi :

“(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan

perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan

pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

(2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/ atau

menteri teknis terkait.

(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas

penyelenggaraan perlindungan konsumen.

(4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud

(32)

a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara

pelaku usaha dan konsumen;

b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;

c. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan

penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan

konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 30 UU Perlindungan Konsumen mengenai pengawasan berbunyi:

“(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta

penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan

oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat.

(2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan oleh Menteri dan/ atau menteri teknis terkait.

(3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat dilakukan terhadap barang dan/ atau jasa yang beredar di pasar.

(4) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata

menyimpang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

membahayakan konsumen, Menteri dan/ atau menteri teknis mengambil

(33)

(5) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada

masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.

(6) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh penyuluhan tentang kanker payudara terhadap sikap melakukan SADARI pada wanita usia 20-40 Tahun Di Dusun Sawit Panggungharjo Sewon Bantul.

Hal semacam ini masih terdapat pada sistem tata naskah Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur Seperti halnya dalam proses peminjaman surat yang mengharuskan Bagian Tata

a) Sifat-sifat metode dan kepentingan yang berkenaan dengan tujuan utama pendidikan Islam. b) Berkenaan dengan metode mengajar yang prinsip-prinsipnya terdapat dalam Al- Qur‟an

dividend payout ratio mempunyai pengaruh terhadap abnormal return saham perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia6. Data yang digunakan dalam penelitian

Sehingga dapat dilihat hasil penilaian rata – rata yang dicapai nilai dari kegiatan kondisi awal 64,77 dan pada silkus pertama nilai rata – rata yang dicapai 65,45

(4) Disarankan agar ada aktivitas inisiasi dari lembaga pemerintah terkait dan LSM (lembaga Swadaya Masyarakat) yang concern terhadap penguatan masyarakat di kalangan grass

13 PEDOMAN DUKUNGAN LOGISTIK PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM KESEHATAN REPRODUKSI PADA SITUASI KRISIS KESEHATAN Pada masa tanggap darurat krisis kesehatan, seringkali sulit

Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani) di Panampuang, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat.. Balai Pengkajian