• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI SYIRKAH DI LEMBAGA KEUANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IMPLEMENTASI SYIRKAH DI LEMBAGA KEUANGAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI SYIRKAH DI LEMBAGA KEUANGAN

SYARIAH DALAM PERSPEKTIF FIQIH

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih

Kontemporer

Dosen Pengampu

Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.

Disusun oleh:

Istiqomah

141265210

Kelas A

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI ( IAIN ) METRO

(2)

JENIS-JENIS SYIRKAH

A. Pendahuluan

Ragam musyarakah pada bank islam dipengaruhi oleh sikap lembaga

pengawasan syari‟ah pada masing-masing bank itu sendiri. Musyarakah dapat terjadi pada satu atau beberapa model usaha dengan lembaga perdagangan,

perindustrian maupun dengan bank islam lainnya. Musyarakah juga dapat terjadi

dimana beberapa orang menanamkan saham untuk membiayai atau mendirikan

proyek usaha.1

Syirkah secara garis besar terbagi atas dua jenis yaitu syirkah hak milik

(syirkah al-amlak) dan syirkah transaksi (syirkah al-uqud). Syirkah hak milik

adalah syirkah terhadap zat barang, seperti syirkah dalam suatu zat barang yang

diwarisi oleh dua orang atau yang menjadi pembelian mereka atau hibah bagi

mereka. Adapun syirkah transaksi adalah syirkah yang objeknya adalah

pengembangan hak milik. Syirkah transaksi bisa diklasifikasikan menjadi empat

macam yaitu „inan, ‘abdan, , wujuh dan mufawadhah.2

B. Jenis-jenis Syirkah

Meskipun kaum muslimin bersepakat bahwa syirkah hukumnya boleh,

namun berbeda pendapat dalam hal pembagian bentuknya. Menurut

Abdurraham Al-Jaziri dalam Kitâb al-Fiqh ‘ala al-Mazâhib al-Arba’ah, Hanifiyah

membagi syirkah menjadi menjadi dua, yaitu syirkah melalui kepemilikan (syirkah

milk/amlak) dan syirkah melalui perikatan (syirkah ‘uqûd).3

1. Syirkah amlak

Menurut Sayid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah, syirkah milk hukumnya

tidak boleh karena masing-masing partisipan dapat men-tasyarruf-kan

bagian hartanya tanpa izin, karenanya pihak lain seolah-olah orang asing

yang tidak memiliki kewenangan terhadap harta tersebut. Sedangkan

1 Asmuni, “Aplikasi Musyarakah pada Perbankan Islam (Studi Fiqh Terhadap Produk

Perbankan Islam)” dalam jurnal Al Mawaridh, Vol. IV, 2004, (20-45), h. 34.

2 Deny Setiawan, “Kerja Sama (Syirkah) dalam Ekonomi Islam” dalam Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 21, No. 3, September 2013, (1-8), h. 5.

(3)

menurut Wahbah Zuhaily dalam kitab Al-Fiqh al-Islâmī wa Adilatuhu,

menyatakan bahwa masing-masing pihak dalam syirkah milk dengan segala

bentuknya bagaikan orang asing, sehingga tidak boleh men-tasyarruf-kan

harta tanpa izin jika bukan menjadi kewenanganya.4

Jadi, Syirkah amlak (holding partnership) adalah keikutsertaan atau

keinginan bersama untuk menghasilkan sesuatu yang dilakukan oleh dua

orang atau lebih dengan menyertakan harta. Ada dua macam syirkah amlak

yaitu terdiri dari syirkah amlak ikhtiyari (perkongsian sukarela) dan syirkah

amlak ijbari (perkongsian paksa).5

a. Syirkah amlak ikhtiyari

Syirkah amlak ikhtiyari atau perkongsian sukarela adalah

kesepakatan dua orang atau lebih untuk memiliki suatu barang tanpa

adanya keterpaksaan dari masing-masing pihak. Syirkah ikhtiyâri juga

berarti berkumpulnya harta benda melalui usaha kedua pihak, seperti

percampuran harta hasil kerjasama transaksi jual beli. Contohnya dua

orang yang bersepakat untuk membeli suatu barang, misalnya satu

buah mobil truk untuk angkutan barang.6

b. Syirkah amlak ijbari

Syirkah amlak ijbari atau perkongsian yang bersifat memaksa

adalah perkongsian dimana para pihak yang terlibat dalam kepemilikan

barang atau suatu aset tidak bisa menghindar dari bagian dan porsinya

dalam kepemilikan tersebut, karena memang sudah menjadi ketentuan

hukum. Jadi syirkah ijbari yaitu bergabungnya dua orang atau lebih

dalam kepemilikan harta benda tanpa usaha, seperti harta warisan.

Misalnya dalam hal bagian harta waris bagi saudara orang yang

mewariskan, apabila jumlah saudara lebih dari satu orang, maka mereka

4

Ibid., h. 15

5 Wiroso, Produk Perbankan Syariah, (Jakarta, LPFE Usakti, 2011), h. 292. 6

(4)

secara ijbari berkongsi mendapat seperenam. Artinya seperenam harta

warisan dibagi sejumlah saudara yang ada.7

2. Syirkah ‘Uqud

Syirkah ‘Uqud adalah dua pihak atau lebih membuat perjanjian atau kontrak untuk menggabungkan harta guna melakukan usaha atau bisnis dan

hasilnya dibagi baik berupa laba maupun rugi. 8

Musyârakah akad atau syirkah al-‘uqud tercipta dengan cara kesepakatan, dimana dua orang atau lebih setuju bahwa setiap orang dari

mereka memberikan kontribusi modal musyarakah, mereka sepakat berbagi

keuntungan dan kerugian. Menurut Hanabilah, syirkah terdiri dari lima

macam, yaitu syirkah ’inan, mufawadhah, abdan, wujuh dan mudharabah.

Sedangkan menurut Hanafiyah, syirkah terdiri dari enam macam, yaitu

syirkah amwâl, amal, dan wujûh. Kemudian dari masing-masing syirkah

tersebut dibagi menjadi mufawadhah dan inan. Menurut pendapat Mâlikiyah

dan Syâfi‟iyah, syirkah terbagi menjadi empat macam, yaitu syirkah inân,

mufâwadhah, abdân dan wujûh. Adanya perbedaan pembagian bentuk

tersebut tentu menimbulkan pendapat hukum yang berbeda pula. Para

ulama fiqh bersepakat dalam hal kebolehan syirkah ’inân, namun untuk

syirkah lainnya masih diperselisihkan ke-syar’iah-annya. Syafi‟iyah,

termasuk Zahiriyah dan Imamiyah menganggap semua bentuk syirkah

hukumnya batil kecuali ’inân dan mudhârabah. Sedangkan Hanabilah

membolehkan semua syirkah kecuali syirkah mufâwadhah. Malikiyah

membolehkan semua syirkah kecuali syirkah wujûh. Hanafiyah dan Zaidiyah

cendrung membolehkan semua syirkah selama memenuhi rukun dan

syaratnya9

Syirkah ‘Uqud terbagi menjadi empat jenis, yaitu:

7

Ibid ,. h. 131

8 Maulana Hasanudin dan Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 30

(5)

a. Syirkah al-‘inan

Syirkah al-‘inân adalah kontak antara dua orang atau lebih, setiap orang memberikan suatu porsi dari modal dan partisipasi dalam kerja semua pihak

berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana disepakati oleh

mereka, namun porsi masing-masing pihak (baik dalam kontribusi modal

kerja maupun bagi hasil) tidak harus sama atau identik, tapi sesuai dengan

kesepakatan mereka.10

Mazhab Hanafi dan Hambali mengizinkan praktik ini dengan memilih

salah satu alternative berikut:

1) Keuntungan yang dapat dibagi sesuai dengan kontribusi modal yang

diberikan oleh masing-masing pihak.

2) Keuntungan bisa dibagi secara sama, walaupun kontribusi modal

masing-masing berbeda.

3) Keuntungan bisa dibagi tidak sama tapi kontribusi dana yang diberikan

sama.

Mazhab Maliki dan Syafi‟i menerima jenis akad musyârakah ini dengan syarat, keuntungan dan kerugian dibagi secara proposional sesuai

distribusi dana yang ditanamkan. Musyârakah jenis ini yang diaplikasikan

dalam perbankan syariah. Syirkah al-‘inân ini para pihak berserikat

mencampurkan modal dalam jumlah yang tidak sama. 11

Ada dua syarat yang harus terpenuhi dalam syirkah ‘inan sebagaimana

diterangkan al-Kasani yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili:

1) Modal syirkah hendaknya nyata, baik saat akad maupun saat membeli.

Ini adalah pendapat mayoritas ulama.

Oleh karena itu, syirkah menjadi tidak sah jika modal yang digunakan

berupa hutang atau harta yang tidak ada. Karena tujuan dari transaksi

syirkah adalah mendapat keuntungan, dan keuntungan tidak mungkin

didapatkan tanpa bekerja atau membelanjakan modal. Sementara

pembelanjaan itu tidak mungkin dilakukan pada harta yang masih

diutang orang atau pada harta yang tidak ada, sehingga tujuan syirkah

10

(6)

tidak bisa terwujud. Juga, karena orang yang berutang bisa saja tidak

membayar utangnya dan barang yang hilang atau tidak ada belum

tentu akan kembali lagi.

2) Modal syirkah hendaknya berupa barang berharga secara mutlak

Yaitu seperti uang, dirham dan dinar dimasa lalu, atau mata uang yag

tersebar luas sekarang dimasa modern. Ini adalah syarat menurut

mayoritas ulama.

Dalam Pasal 173 KHES disebutkan bahwa dalam syirkah ‘inan dapat

berupa kerjasama dalam permodalan sekaligus kerjasama keahlian dan

kerja. Adapun masalah risiko, pembagian pekerjaan dan keuntungan

dilakukan sesuai dengan kesepakatan para pihak yang bermitra. Pasal 175

KHES menyebutkan bahwa:

Mereka sepakat menjalankan bisnis perakitan komputer dengan membuka

pusat service dan penjualan komponen komputer. Masing-masing

memberikan kontribusi modal sebesar Rp10 juta dan keduanya

sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah jenis ini, modalnya

disyaratkan harus berupa uang (nuqud). Sementara barang (‘urûdh) seperti

rumah atau mobil yang menjadi fasilitas tidak boleh dijadikan modal.

Keuntungan didasarkan pada kesepakatan dan kerugian ditanggung oleh

masing-masing syārik (mitra usaha) berdasarkan porsi modal. Jika

masing-masing modalnya 50%, masing-masing-masing-masing menanggung kerugian sebesar

50%.

b. Syirkah Mufawadhah

Syirkah Mufawadhah adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau

lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan

berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian

(7)

secara sama. Dengan demikian, syarat utama dari jenis al-musyarakah ini

adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban

utang dibagi oleh masing-masing pihak.13

Mazhab Hanafi dan Maliki membolehkan bentuk syirkah ini. Sementara

itu, mazhab Syafi‟i dan Hambali melarangnya karena secara realita sukar

terjadi persamaan pada semua unsurnya, dan banyak mengandung unsur

gharar atau ketidakjelasan.14

Dari penjelasan diatas tergambar dalam akad Syirkah Mufawadhah

terkandung dua akad lainnya yaitu akad wakalah (kuasa dari mitra yang satu

kemitra yang lainnya untuk melakukan usaha) dan akad kafalah (tanggungan

atau jaminan) yaitu masing-masing mitra berkewajiban menjaga harta

syirkah dan bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukannya

atau tidak dilakukannya sesuai dengan kesepakatan.

Syarat-syarat syirkah mufawadhah secara umum menurut wahbah

al-Zuhaili terdiri dari, yaitu:

1) Syarik

Yaitu pelaku syirkah mufawadhah harus cakap melakukan perbuatan

hukum yang berupa wakalah (kuasa) dan kafalah (penjamin), yaitu

keduanya harus merdeka, baligh, berakal, dan bijaksana (rasyid). Karena

diantara hukum mufawadhah adalah bahwa hak dan kewajiban yang

mengikat satu pihak dalam transaksi perdagangan, maka juga mengikat

pihak yang lainnya. Dengan begitu, masing-masing sekutu menjadi kafil

(penanggung) atas kewajiban yang harus dilaksanakan mitranya dan sisi

lain dia juga menjadi wakil bagi mitranya untuk mengambil haknya.

2) Modal Usaha

Modal usaha harus sama, baik ketika syirkah mufawadhah dimulai

maupun ketika berakhir. Apabila modal salah satu syarik lebih besar dari

yang lainnya, maka syirkah tersebut tidak lagi sama (ghair mufawadhah),

karena akad syirkah mufawadhah disebut ” mufawadhah” karena jumlah

modal yang dimiliki oleh para syarik adalah sama.

13Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 92.

(8)

3) Modal syirkah dalam syirkah mufawadhah harus utuh dari awal hingga

akhir akad.

Oleh karena itu syirkah mufawadhah batal dengan sendirinya apabila

salah satu syarik menghibahkan modal usahanya kepada pihak lain,

karena sudah tidak sama lagi julah modal para syarik. Para syarik

dilarang melakukan akad tabarru‟ dalam pengelolaan dana syirkah, hibah

termasuk akad tabarru‟ yaitu akad yang dilakukan bukan dalam rangka

mendapatkan keuntungan.

4) Hasil usaha yang berupa keuntungan dan kerugian yang diterima atau

dibebankan oleh kepada masing-masing syarik haruslah sama. Apabila

dalam klausula perjanjian ditetapkan bahwa keuntungan salah satu

syarik lebih besar dari syarik lainnya, maka syirkah mufawadhah dengan

sendirinya batal karena ketidaksamaan.

5) Bidang usaha atau bisnis yang dilakukan oleh masing-masing syarik

dalam dalam syirkah mufawadhah haruslah bidang bisnis yang mubah

(boleh) berdasarkan syariah.

6) Syirkah mufawadhah harus dinyatakan secara jelas dan tegas dalam

akta perjanjian. Syarat ini berbeda dengan syarat syirkah ‘inan yang tidak

mesti dinyatakan secara jelas dan tegas dalam akta perjanjian, karena

dalam syirkah ‘inan tidak keharusan bagi syarik agar sama jumlah dalam

menyertakan modalnya, agamanya, dan keuntungan (termasuk beban

kerugian) yang diterimanya.

Adapun syarat-syarat khusus syirkah mufawadhah adalah:

1) Pengakuan Utang

Dalam syirkah syirkah mufawadhah terkandung akad kafalah yaitu

syarik yang satu menjamin syarik yang lainnya. Oleh karena itu, utang

yang timbul karena usaha yang dilakukan oleh salah satu syarik menjadi

utang pula bagi syarik lainnya.

2) Gadai

Setiap syarik dalam syirkah mufawadhah boleh melakukan gadai (baik

sebagai rahin maupun sebagai murtahin) tanpa memerlukan izin dari

syarik lainnya. Hal ini berbeda dengan syirkah „inan, dimana gadai yang

dilakukan oleh salah satu syarik boleh dilakukan apabila telah mendapat

(9)

3) Tuntutan

Dalam syirkah mufawadhah terkandung wakalah, oleh karena itu,

perbuatan hukum yang dilakukan oleh salah satu syarik menjadi

tanggung jawab syarik lainnya. Apabila dalam pembelian barang yang

dilakukan oleh salah satu syarik terdapat cacat, maka syarik lainnya

berhak untuk meminta ganti kepada pihak penjual. Begitu juga kalau

terjadi komplain dari pihak lain terhadap salah satu syarik, maka semua

syarik wajib bertanggung jawab terhadap komplain tersebut.15

Contohnya: Doni adalah pemodal yang berkontribusi modal kepada Dodi

dan Toni. Kemudian, Dodi dan Toni juga sepakat untuk berkontribusi modal

untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang

kepada Dodi dan Toni. Dalam hal ini, pada awalnya yang terjadi

adalah syirkah ‘abdān, yaitu ketika Dodi dan Toni sepakat masing-masing

bersyirkah dengan memberikan kontribusi kerja saja. Namun, ketika Doni

memberikan modal kepada Dodi dan Toni, berarti di antara mereka bertiga

terwujud muḍārabah. Di sini Doni sebagai pemodal, sedangkan Dodi dan

Toni sebagai pengelola. Ketika Dodi dan Toni sepakat bahwa

masing-masing memberikan kontribusi modal, di samping kontribusi kerja, berarti

terwujud syirkah ‘inān di antara Dodi dan Toni. Ketika Dodi dan Toni

membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada

keduanya, berarti terwujud syirkah wujūh antara Dodi dan Toni. Dengan

demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua

jenis syirkah dan disebutsyirkah mufāwaḍah.

c. Syirkah ‘abdan

Al-musyarakah ini adalah kontrak kerjasama dua orang seprofesi untuk

menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari

pekerjaan itu. Misalnya kerjasama dua orang arsitek untuk menggarap

sebuah proyek, atau kerjasama dua orang penjahit untuk menerima order

pembuatan seragam sebuah kantor.16

15

(10)

Jadi syirkah ‘abdan atau syirkah ‘amwal adalah kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk mengerjakan suatu pekerjaan, dimana pekerjaan ini

tidak membutuhkan modal uang akan tetapi hanya membutuhkan

keterampilan tertentu dan tenaga.17

Sebagai contoh, dua orang yang mempunyai keterampilan dalam

menjahit pakaian. Keduanya berkongsi untuk mengerjakan satu paket

borongan penjahitan baju seragam. Keduanya sama-sama mempunyai

perlatan konveksi untuk mengerjakan borongan tersebut. Keuntungan dibagi

antara dua orang tersebut sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.

Pekerjaan dalam syirkah ‘abdan akan mempunyai nilai ekonomi atau

dapat dihargai apabila pekerjaan tersebut dapat terukur, baik berdasarkan

durasi waktu maupun dari sisi hasil.

Dalam hal ini Pasal 148 menyebutkan:

1) Suatu pekerjaan memiliki nilai apabila dapat dihitung dan diukur

2) Suatu pekerjaan dapat dihargai atau dinilai berdasarkan jasa atau hasil

Pasal 150 menyatakan:

1) Suatu akad kerjasama pekerjaan dapat dilakukan dengan syarat

masing-masing pihak mempunyai keterampilan untuk bekerja.

2) Pembagian tugas dalam akad kerjasama pekerjaan dilakukan

berdasarkan kesepakatan.

Pembagian tugas atau pekerjaan diantara anggota tidak harus sama,

akan tetapi disesuaikan dengan keahlian. Oleh karena itu, upah atau

keuntungan dalam syirkah abdan tidak harus sama akan tetapi disesuaikan

dengan andil partisipasi, jenis pekerjaan yang dilakukan, volume dan

proporsi kerja.

Risiko dalam syirkah abdan pada dasarnya ditanggung bersama para

pihak yang berkongsi. Namun demikian apabila terjadi kerusakan atau

rendahnya kualitas hasil pekerjaan yang diakibatkan oleh kelalaian salah

(11)

satu pihak atau anggota, maka anggota tersebut yang bertanggung jawab

atas risiko tersebut.18

Contoh syirkah ‘abdan adalah kerjasama antara Rudi dan Salman yang

keduanya sama-sama nelayan dan bersepakat melaut bersama untuk

mencari ikan. Mereka juga sepakat apabila memperoleh ikan akan dijual dan

hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: Rudi mendapatkan sebesar 60%

dan Salman sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan

profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Keuntungan yang

diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan, porsinya boleh sama atau tidak

sama di antara syarik (mitra usaha).

d. Syirkah wujuh

Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki

reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang

secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara

tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan

kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra. Jenis al-musyarakah ini

tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasar pada

jaminan tersebut. Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut sebagai

musyarakah piutang.19

Oleh karena itu, syirkah wujuh dilakukan atas dasar watsiqah al-tujar

(nama besar atau nama baik atau kredibilitas bisnis) atau jah (kredibilitas

bisnis atau kepercayaan pebisnis lain kepada yang bersangkutan) yang

dijadikan dasar terjadinya syirkah wujuh, sedangkan keuntungan dibagi

berdasarkan kesepakatan, sementara pihak yang menyertakan kredibilitas

usaha tidak dibebani kerugian.20

18Ibid ..., h. 140.

19Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah

..., h. 93.

(12)

Jadi syirkah wujuh yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk

membeli sesuatu tanpa modal, tetapi hanya modal kepercayaan dan

keuntungan dibagi antara sesama mereka.21

Berkaitan dengan pembagian keuntungan, dalam syirkah wujuh tidak

boleh ada perbedaan dalam pembagian keuntungan apabila jumlah

penjualan barang sama. Artinya apabila anggota syirkah ini berhasil menjual

barang yang dibelinya dalam jumlah yang sama, maka keuntungan juga

harus dibagi rata. Pembagian keuntungan berdasarkan jumlah penjualan

barang yang telah dilakukan anggota perkongsian. Dalam KHES Pasal 140

ayat (3) disebutkan bahwa “Pembagian keuntungan dalam syirkah al-wujuh

ditentukan berdasarkan kesepakatan”.22

Menurut Hanafiyah dan Hanabilah syirkah wujûh hukumnya boleh karena

mengerjakan suatu pekerjaan boleh hukumnya. Masing-masing yang terikat

perjanjian boleh berbeda kepemilikan terhadap sesuatu yang ditransaksikan.

Adapun apabila memperoleh kuntungan, maka akan dibagi diantara

keduanya sesuai porsi (konstribusi) masing-masing dalam kepemilikan.

Namun Syafi‟iyah dan Malikiyah membatalkannya, karena suatu syirkah

sesungguhnya terkait dengan harta dan pekerjaan. Ibnu Rusy dalam kitab

Bidâyah Al-Mustahid: Nihâyah al-Muqtashid menyatakan bahwa syirkah

wujûh merupakan bentuk jaminan kepada pelaku usaha yang tidak memiliki

modal. Kemudian ia mengutip Imam Malik dan Syafi‟I yang menyatakan

bahwa syirkah harus terkait dengan harta dan pekerjaan. Tanpa adanya

kedua unsur tersebut dalam masalah syirkah dapat menimbulkan gharâr.

Dikatakan demikian karena masing-masing pihak saling bertukar pekerjaan

tanpa adanya pembatasan profesi dan kekhususan pekerjaan.23

Contohnya: Adi dan Dani melakukan kerjasama dengan pedagang. Lalu

Adi dan Dani bersyirkah wujuh dengan cara membeli barang dari seorang

pedagang secara kredit. Adi dan Dani bersepakat bahwa masing-masing

memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu, keduanya menjual barang

21

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 226. 22 Imam Mustafa, Fiqh Muamalah..., h.142.

23

(13)

tersebut dan keuntungannya dibagi dua. Sementara harga pokoknya

dikembalikan kepada pedagang.

C. KESIMPULAN

Secara garis besar, syirkah dibagi menjadi dua macam, yaitu syirkah

amlak (hak milik ) dan syirkah „uqud (syirkah transaksi). Syirkah hak milik adalah

syirkah terhadap zat barang, seperti syirkah dalam suatu zat barang yang

diwarisi oleh dua orang atau yang menjadi pembelian mereka atau hibah bagi

mereka.

Sedangkan syirkah transaksi adalah syirkah yang objeknya adalah

pengembangan hak milik. Syirkah transaksi dapat diklasifikasikan menjadi empat

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Ascarya. 2006. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta. Rajawali Pers.

Hasanudin, Maulana dan Mubarok, Jaih. 2012. Perkembangan Akad

Musyarakah. Jakarta. Kencana.

Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta. Kencana.

Mustofa, Imam. 2016. Fiqh Muamalah Kontemporer. Jakarta. PT Raja Grafindo

Persada.

Suhendi, Hendi. 2014. Fiqh Muamalah. Jakarta. Raja Pers.

Syafi‟i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta.

Gema Insani.

Wiroso. 2011. Produk Perbankan Syariah. Jakarta. LPFE Usakti.

Deny Setiawan, Kerja Sama (Syirkah) dalam Ekonomi Islam dalam Jurnal

Ekonomi Islam, Vol. 21, No. 3, September 2013, (1-8)

Asmuni, “Aplikasi Musyarakah pada Perbankan Islam (Studi Fiqh Terhadap Produk Perbankan Islam)” dalam jurnal Al Mawaridh, Vol. IV, 2004, (20-45

Mila Fursiana Salma Musfiroh, Musyârakah Dalam Ekonomi Islam (Aplikasi

Musyarakah Dalam Dalam Fiqih dan Perbankan Syariah) dalam Jurnal

Referensi

Dokumen terkait

Jika salah satu dari aspek C.I.A tersebut tidak dapat dipenuhi oleh organisasi, maka akurasi dan ketersediaan informasi pada organisasi tersebut akan dipertanyakan dan

Na slici 26 je prikazan graf puzanja za slučaj učitavanja podataka iz tekstualne datoteke prikazane na slici 15.. Slika 26

Misalkan sebuah benda empat persegi panjang yang mempunyai luas penampang seragam dengan ketebalan satu satuan mendapat tegangan tarik langsung pada dua arah yang saling tegak

Jika dilihat dari pemaknaan zuhud, bahwa yang dimaksud dengan zuhud adalah meninggalkan kehidupan dunia serta kesenangan material dan memperbanyak ibadah kepada Allah

Apakah hubungan antara stress yang dialami dengan tingkat keparahan acne vulgaris pada

Nilai Standarized estimates yang dihasilkan adalah 0,981 ( p < 0.01 ) yang menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara budaya organisasi terhadap