• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH MODEL PENYELENGARAAN PENDIDI KAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH MODEL PENYELENGARAAN PENDIDI KAN"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

Mata kuliah: P endidikan Teknologi dan Kejuruan

MODEL PENYELENGARAAN PENDIDIKAN TEKNOLOGI

KEJURUAN

Dosen Pengampu: Mohammad Fatkhurrokhman, M. Pd.

Tugas/makalah ke: 1 Disusun oleh Kelompok 2 : - Muhammad Nurul (2283150004) - Johan Whisnu A (2283150011) - Irvan Akram (2283150022) - M. Amir Baihaqi (2283150029) - Daniel PT Siregar (228314)

PENDIDIKAN VOKASIONAL TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

SULTAN AGENG TIRTAYASA BANTEN

▸ Baca selengkapnya: model c adalah

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap rasa syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini.

Makalah ini penulis susun setelah mencari data-data yang relevan dari berbagai sumber. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Pendidikan Teknologi dan Kejuruan yang diampu bapak Mohammad Fatkhurrokhman, M. Pd. selain itu juga untuk menginformasikan wawasan baru bagi teman teman mahasiswa pendidikan vokasional teknik elektro.

Tiada gading yang tak retak, begitu pula penulis yang hanya manusia biasa yang berusaha memberikan hal terbaik yang penulis bisa. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan agar penulis dapat lebih baik lagi di kemudian hari.

Penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan pada semua pihak yang telah membantu tersusunnya tugas makalah ini, semoga menjadi amal kebaikan dan mendapatkan pahala dari Tuhan yang Maha Esa. Amin.

Makalah ini pada dasarnya merupakan hasil rangkuman dari berbagai sumber yang memadai terkait model penyelengaraan pendidikan teknologi dan kejuruan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Serang, Maret 2018

(4)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i KATA PENGANTAR...ii DAFTAR ISI...iii BAB I

A. Latar Belakang Masalah...1 B. Rumusan Masalah...2 C. Tujuan Pembuatan Makalah...2 BAB II3

A. Definisi Pendidikan Kejuruan...3 B. Model Pengelengaraan Pendidikan Kejuruan...4 C. Peran Standar Kompetensi Dan Kualifikasi Kerja Dalam Pendidikan Teknologi Dan Kejuruan...10 D. Pembelajaran Dalam Pendidikan Kejuruan...15 E. Pendapat Penulis...26 BAB III

(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan dunia pendidikan saat ini sedang memasuki era yang ditandai dengan gencarnya inovasi teknologi, sehingga menuntut adanya penyesuaian sistem pendidikan yang selaras dengan tuntutan dunia kerja. Pendidikan harus mencerminkan proses memanusiakan manusia dalam arti mengaktualisasikan semua potensi yang dimilikinya menjadi kemampuan yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat luas.

Pendidikan kejuruan yang dikembangkan di Indonesia diantaranya adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dirancang untuk menyiapkan peserta didik atau lulusan yang siap memasuki dunia kerja dan mampu mengembangkan sikap profesional di bidang kejuruan. Lulusan pendidikan kejuruan, diharapkan menjadi individu yang produktif yang mampu bekerja menjadi tenaga kerja menengah dan memiliki kesiapan untuk menghadapi persaingan kerja. Kehadiran SMK sekarang ini semakin didambakan masyarakat khususnya masyarakat yang berkecimpung langsung dalam dunia kerja. Dengan catatan, bahwa lulusan pendidikan kejuruan memang mempunyai kualifikasi sebagai (calon) tenaga kerja yang memiliki keterampilan vokasional tertentu sesuai dengan bidang keahliannya.

(6)

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian pendidikan kejuruan ?

2. Apa saja model penyelengaraan pendidikan kejuruan ?

3. Bagaimana peran standar kompetensi dan kualifikasi kerja dalam pendidikan teknologi dan kejuruan ?

4. Bagaimana pembelajaran dalam pendidikan kejuruan ?

C. Tujuan Pembuatan Makalah

Tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui pengertian pendidikan kejuruan.

2. Mengetahui macam penyelengaraan pendidikan kejuruan.

3. Mengetahui peran standar kompetensi dan kualifikasi kerja dalam pendidikan teknologi dan kejuruan.

(7)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kajian Sumber

1. Definisi Pendidikan Kejuruan

Banyak istilah terkait dengan pendidikan kejuruan antara lain, vocational education, technical education, professional education, dan occupational education. Huges sebagaimana dikutip oleh Soeharto (1988) mengemukakan vocational education (pendidikan kejuruan) adalah pendidikan khusus yang program-programnya atau materi pelajarannya dipilih untuk siapapun yang tertarik untuk mempersiapkan diri bekerja sendiri, atau untuk bekerja sebagai bagian dari suatu grup kerja. Sejalan dengan pendapat tersebut Evans sebagaimana dikutip Muliati (2007) mengemukakan pendidikan kejuruan adalah bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan seseorang agar lebih mampu bekerja pada satu kelompok pekerjaan atau satu bidang pekerjaan daripada bidang-bidang pekerjaan lain. Hamalik (1990), mengemukakan pendidikan kejuruan adalah suatu bentuk pengembangan bakat, pendidikan dasar keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan yang mengarah pada dunia kerja yang dipandang sebagai latihan keterampilan. Djohar (2007) mengemukakan pendidikan kejuruan adalah suatu program pendidikan yang menyiapkan individu peserta didik menjadi tenaga kerja yang profesional. Secara lebih spesifik Wenrich sebagaimana dikutip Soeharto (1988) mengemukakan pendidikan kejuruan adalah seluruh bentuk pendidikan persiapan untuk bekerja yang dilakukan di sekolah menengah. Arti pendidikan kejuruan ini telah dijabarkan lebih spesifik dalam peraturan pemerintah nomor 29 tahun 1990 pasal 1 ayat 3 tentang pendidikan menengah yaitu: "pendidikan menengah kejuruan adalah pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk pelaksanaan jenis pekerjaan tertentu".

(8)

Pendidikan teknologi dan pendidikan kejuruan menyiratkan dua konsep yang berbeda, antara pendidikan teknologi dan pendidikan kejuruan. Konseptualisasi pendidikan teknologi adalah pendidikan yang mengajarkan penggunaan teknologi untuk memecahkan masalah dalam memenuhi berbagai kebutuhan. Landasan pokok pendidikan teknologi adalah digunakannya keterampilan pemecahan masalah dalam berbagai bidang. Pendidikan teknologi mencakup pengetahuan umum (general), pengetahuan teoritis, pemahaman konseptual, bakat dan kemampuan kreatif, keterampilan intelektual, dan penyiapan berkehidupan. Sedangkan pendidikan kejuruan mencakup pengetahuan khusus, pengetahuan praktis/fungsional, pemberian skill/keterampilan, kemampuan reproduktif, keterampilan fisik, dan penyiapan bekerja. Jadi pendidikan teknologi dan pendidikan kejuruan adalah dua pendidikan yang memiliki penekanan berbeda. Agar menjadi efektif maka pendidikan teknologi dan pendidikan kejuruan disinergikan menjadi pendidikan teknologi kejuruan yang menerapkan kedua prinsip-prinsip tersebut di atas dalam meningkatkan relevansinya.

Pendidikan kejuruan yang baik adalah pendidikan kejuruan yang dapat beradaptasi dengan lingkungan dunia usaha dan dunia industri, demikian pula mampu memenuhi tuntutan pasar tenaga kerja, sehingga pendidikan kejuruan seharusnya mempunyai karakteristik: (1) Pendidikan kejuruan diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki lapangan kerja, (2) Pendidikan kejuruan didasarkan atas demand-driven (kebutuhan tenaga kerja, (3) Fokus isi pendidikan kejuruan ditekankan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh dunia kerja, (4) Penilaian yang sesungguhnya terhadap kesuksesan siswa harus pada hands on atau performa tenaga kerja, (5) Hubungan yang erat dengan dunia kerja merupakan kunci sukses pendidikan kejuruan, (6) Pendidikan kejuruan yang baik adalah responsive dan antisipatif terhadap kemajuan teknologi, (7) Pendidikan kejuruan lebih ditekankan pada learning by doing dan hands on experience, (8) Pendidikan kejuruan mmerlukan fasilitas yang mutakhir untuk praktek dan (9) Pendidikan kejuruan memerlukan biaya investasi dan operasional yang lebih besar dari pada pendidikan umum[ CITATION Djo98 \l 1033 ].

2. Model Pengelengaraan Pendidikan Kejuruan

(9)

diartikan sebagai pola atau bentuk. Kaitannya dengan pendidikan kejuruan kata model di sini mengandung pengertian sebagai suatu bentuk atau pola penyelenggaraan pendidikan kejuruan. Munculnya berbagai model penyelenggaraan pendidikan kejuruan, tidak dapat dilepaskan dengan masyarakat dan kebutuhannya. Terdapat tiga model penyelenggaraan pendidikan kejuruan, sebagaimana dikemukakan oleh Hadi (dalam Muliati A.M, 2007), yaitu model berorientasi pasar, model sekolah dan model pendidikan sistem ganda. a. Model Berorientasi Pasar

Model pertama, pemerintah tidak mempunyai peran, atau hanya peran marginal dalam proses kualifikasi pendidikan kejuruan. Model ini sifatnya liberal, namun kita dapat mengatakannya sebagai model berorientasi pasar (Market Oriented Model). Perusahaan-perusahaan atau industri sebagai pemeran utama berhak menciptakan desain pendidikan kejuruan yang tidak harus berdasarkan prinsip pendidikan yang bersifat umum, dan mereka tidak dapat diusik oleh pemerintah karena yang menjadi sponsor, dana dan lainnya adalah dari perusahaan.

Konsep pendidikan kejuruan yang berorientasi ke dunia kerja didasarkan atas kebutuhan tenaga kerja di dunia industri di mana perencanaan ketenagakerjaan tidak dapat dipisahkan dari dunia pendidikan. Program Kebutuhan pasar kerja dan dunia pendidikan seharusnya dirancang secara terintegrasi dengan memperhatikan tujuan dan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri

Industri dapat mengambil peran yang lebih besar, karena selain memanfaatkan secara langsung hasil pendidikan, industri juga memiliki sumber daya dan sumber dana. Dengan demikian, industri dapat menyumbangkan sumber dayanya dalam proses pendidikan misalnya dengan penyediaan teknologi yang canggih dan tentu lebih maju dibandingkan dengan institusi pendidikan sebagai sarana pelatihan. Pada saat yang sama, industi dapat menjadi arena yang tepat di mana kompetensi profesi dapat diidentifikasi dan diujikan. Praktek-praktek yang dapat mempengaruhi pembelajaran berorientasi dunia kerja seperti Boud & Solomon (2003) menyatakan “The practices which have influenced the development of work-based learning include the following: (1)work placements and sandwich courses, (2) Independent studies and negotiated, (3) Access and the accreditation of prior experiental learning, (4) Generic competencies and capabilities, (5) Labour and learning”.

(10)

pendidikan menjadi kurang bermanfaat jika kompetensi dari lulusan yang dihasilkan tidak direspon secara positif dan terserap oleh pasar tenaga kerja. Asosiasi profesi dalam hal ini memegang peranan penting dalam identifikasi profesi. Oleh karena itu setiap profesi seyogyanya membentuk suatu asosiasi untuk menjembatani dengan dunia pendidikan. Pada era di mana kompetisi global telah merambah ke setiap sudut kepentingan hidup masyarakat, maka SDM yang dihasilkan dari proses pendidikan akan masuk dalam kompetisi global. Hanya SDM yang memiliki kualifikasi atau standar tertentu yang mendapat pengakuan dalam penguasaan kompetensi profesi yang akan dapat bertahan. Jadi, pengakuan dan pengesyahan kompetensi profesi menjadi sangat penting, di sinilah asosiasi profesi dapat mengambil peran bahkan tanggung jawab [ CITATION Han01 \l 1033 ].

Salah satu tolak ukur dari keberhasilan suatu proses pendidikan adalah apabila ada relevansi hasil lulusan dengan pasar tenaga kerja dan bagi institusi pendidikan yang mempunyai unit produksi seharusnya mengarahkan produknya dengan kebutuhan pasar dalam hal ini dunia industry dan dunia usaha bahkan masyarakat luas. Bailey, Hughens & Moore (2004) menyatakan bahwa “ A central argument in favor of work-based learning is that students acquire various practical skills and that they learn about industries and careers”. Jadi, alasan utama dari pembelajaran berorientasi dunia kerja adalah peserta didik dapat memperoleh berbagai keterampilan dan bahkan mereka mmempelajari mengenai industry dan karier. Karena bagaimanapun institusi pendidikan seharusnya tidak hanya berpikir bagaimana hasil lulusannya berkualitas namun demikian harus juga memperhatikan keinginan pasar yang selalu berobah. Jadi, berdasarkan konsep pemasaran alasan keberadaan social dan ekonomi bagi suatu organisasi termasuk di dalamnya institusi pendidikan adalah memuaskan kebutuhan konsumen dan keinginan tersbut sesuai dengan sasaran organisasi [ CITATION Lam01 \l 1033 ].

(11)

meningkatkan produktivitas nasional, jadi dapat meningkatkan penghasilan Negara dan dapat mengurangi pengangguran [ CITATION Djo98 \l 1033 ].

Pendidikan kejuruan berorintasi dunia kerja akan dapat berkembang dan berhasil manakala hasil lulusannya atau hasil produksinya dapat diterima dan diserap oleh pasar. Karena apabila hal tersebut dapat terjadi di sinilah konsep relevansi pendidkan berorientasi dunia kerja berhasil dicapai. Karena keberhasilan institusi pendidikan seharusnya tidak diukur dari berapa banyak institusi pendidikan dapat menghasilkan lulusan (SDM) tetapi bagaimana menghasilkan lulusan yang dapat terserap di dunia kerja, sehingga lulusannya tidak menambah pengangguran dan hal tersebut dapat menambah beban pemerintah. Oleh karena itu semua komponen pendidikan; kurikulum dan pembelajaran, ketenagaan (guru dan tenaga kependidikan), sarana dan prasarana, keuangan, organisasi dan kelembagaan, lingkungan dan budaya sekolah dan kerjasama dan kemitraan harus diorientasikan untuk menciptakan lulusan yang dibutuhakan oleh dunia usaha dan dunia industry serta pasar tenaga kerja [ CITATION Sut12 \l 1033 ]. Beberapa negara penganut model ini adalah Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat.

b. Model Sekolah

Model kedua, pemerintah sendiri merencanakan, mengorganisasikan dan mengontrol pendidikan kejuruan. Model ini sifatnya birokrat, pemerintah dalam hal ini yang menentukan jenis pendidikan apa yang harus dilaksanakan di perusahaan, bagaimana desain silabusnya, begitu pula dalam hal pendanaan dan pelatihan yang harus dilaksanakan oleh perusahaan tidak selalu berdasarkan permintaan kebutuhan tenaga kerja ataupun jenis pekerjaan saat itu. Walaupun model ini disebut juga model sekolah (school model), pelatihan dapat dilaksanakan di perusahaan sepenuhnya. Beberapa negara seperti Perancis, Italia, Swedia serta banyak dunia ketiga juga melaksanakan model ini.

c. Model Sistem Ganda

(12)

yang handal bagi para lulusan pelatihan tersebut. Negara yang menggunakan sistem ini diantaranya Swiss, Austria dan Jerman. Kecenderungan yang digunakan di Indonesia adalah model ketiga ini, dimana pelaksanaan pendidikan sistem ganda dilaksanakan di dua tempat yaitu di sekolah dan di industri dengan berbagai pengembangannya.

Menurut Djojonegoro (dalam Muliati A.M, 2007) pendidikan sistem ganda merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan keahlian kejuruan yang secara sistematik dan sinkron antara program pendidikan di sekolah dengan program penguasaan keahlian yang diperoleh. Sejalan dengan pendapat tersebut Permana (2005) mengemukakan PSG pada dasarnya merupakan suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan di sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja, terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu. Menurut Raharjo (dalam Anwar, 1999) PSG merupakan perkembangan dari magang yaitu belajar sambil bekerja atau bekerja sambil belajar langsung dari sumber belajar dengan aspek meniru sebagai unsur utamanya dan hasil belajar/bekerja itu merupakan ukuran keberhasilannya. Menurut Pakpaham (dalam Anwar, 1999) PSG mempunyai dua tempat kegiatan pembelajaran, dilaksanakan berbasis sekolah (school based learning) dan berbasis kerja (work based learning). Siswa berstatus sebagai pemagang di industri dan sebagai siswa di SMK.

Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dengan pendekatan PSG menurut Djojonegoro (dalam Anwar, 1999) bertujuan: (1) menghasilkan tenaga kerja yang memiliki keahlian profesional, yaitu tenaga kerja yang memiliki tingkat pengetahuan, keterampilan dan etos kerja yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja; (2) meningkatkan dan memperkokoh keterkaitan dan kesepadanan/kecocokan (link and match) antara lembaga pendidikan dan pelatihan kejuruan dengan dunia kerja; (3) meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja berkualitas profesional dengan memanfaatkan sumber daya pelatihan yang ada di dunia kerja; (4) memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap pengalaman kerja sebagai bagian dari proses pendidikan.

(13)

pasangan merupakan proses belajar yang utuh, bermakna dan sarat nilai untuk mencapai kompetensi lulusan; (3) ada kesinambungan proses belajar dengan waktu yang sesuai dalam mencapai tingkat kompetensi yang dibutuhkan; (4) berorientasi pada proses disamping berorientasi kepada produk dalam mencapai kompetensi lulusan secara optimal.

Program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) di Indonesia dilaksanakan mengacu pada Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 323/ U/1997 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Sistem Ganda Pada Sekolah Menengah Kejuruan. Kebijakan pendidikan sistem ganda dikembangkan berdasarkan konsep dual sistem di Jerman, yaitu suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sitematik dan sinkron program pendidikan di sekolah dan penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja, dengan tujuan untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu.

Pendidikan Sistem Ganda (PSG) adalah merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan mengevaluasi pelaksanaan dan pelatihan bagi siswa SMK yang melakukan praktek kerja industri, baik yang dilaksanakan di sekolah maupun di dunia usaha/dunia industri. PSG pada dasarnya adalah suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian professional yang memadukan secara sistematis dan sinkron program pendidikan di sekolah dengan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja, terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian professional tertentu.

Pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda di Indonesia akan menjadi salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan menengah kejuruan sesuai dengan ketentuan pada Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem pendidikan Nasional, dan peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 1992 tentang Peranan masyarakat Dalam Pendidikan Nasional, dan Kepmendikbut Nomor 080 / U / 1993 tetntang Kurikulum SMK, sebagi berikut:

a) "Penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui 2 ( dua ) jalur yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah". [ UUSPN, Bab IV, pasal 10, ayat ( 1 ) ]

(14)

rangka menunjang penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan". [ PP 29, Bab XI, pasal 29, ayat ( 1 ) ]

c) "Pengadaan dan pendayagunaan sumberdaya pendidikan di lakukan oleh Pemerintah, masyarakat, dan / atau keluarga peserta didik. [ UUSPN, Bab VIII, pasal 33 ]

d) "Masyarakat sebagai mitra pemerintah berkesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan Nasional ". [ UUSPN, Bab XIII, pasal 47, ayat ( 1 ) ]

e) "Peranserta masyarakat dapat berbentuk pemberian kesempatan untuk magang dan atau latihan kerja". [ PP 39, Bab III, pasal 4, butir ( 8 ) ].

f) "Pemerintah dan Masyarakat menciptakan peluang yang lebih besar untuk meningkatkan peranserta masyarakat dalam Sistem pendidikan Nasional". [ PP 39, Bab VI, pasal 8, ayat ( 2 ) ]

g) "Pada sekolah menengah dapat dilakukan uji coba gagasan baru yang di perlukan dalam rangka pengembangan pendidikan menengah". [ PP 29, Bab XIII, pasal 32, ayat ( 2 ) ]

h) Sekolah Menengah Kejuruan dapat memilih pola penyelenggaraan pengajaran sebagai berikut:

1) Menggunakan unit produksi sekolah yang beroperasi secara profesional sebagai wahana pelatihan kejuruan.

2) Melaksanakan sebagian kelompok mata pelajaran keahlian kejuruan di sekolah, dan sebagian lainnya di dunia usaha atau industri.

3) Melaksanakan kelompok mata pelajaran keahlian kejuruan sepenuhnya di masyarakat, dunia usaha dan industri.[ Kepmendikbud, No : 080 / U / 1993, Bab IV, butir C.I kurikulum 1994, SMK ]

3. Peran Standar Kompetensi Dan Kualifikasi Kerja Dalam Pendidikan Teknologi Dan Kejuruan

a. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)

(15)

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan penyusunan SKKNI yaitu sebagai acuan dalam mengukur kemampuan kerja seseorang yang meliputi aspek pengetahun, keterampilan, dan sikap kerja sebagaimana yang disyaratkan oleh industri. Penyusunan dan perumusan SKKNI merefleksikan kompetensi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia usaha dan industri harus memenuhi beberapa hal, antara lain: fokus pada kebutuhan dunia usaha/industri, kompatibilitas, fleksibilitas, keterukuran, ketelusuran, dan transferbilitas. Fokus pada kebutuhan dunia usaha/industri dalam upaya melaksanakan proses bisnis sesuai dengan tuntutan operasional perusahaan yang dipengaruhi oleh dampak era globalisasi. Kompatibilitas dengan standar-standar yang berlaku di dunia usaha/industri untuk bidang pekerjaan yang sejenis dan kompatibel dengan standar sejenis yang berlaku di negara lain ataupun secara internasional. Fleksibilitas adalah sifat generik yang mampu mengakomodasi perubahan dan penerapan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang diaplikasikan dalam bidang pekerjaan yang terkait. Keterukuran merupakan sifat generik standar kompetensi harus memiliki kemampuan ukur yang akurat.

SKKNI digunakan sebagai acuan dalam mengembangkan program kursus dan pelatihan; melakukan rekrutmen; menyusun uraian jabatan; mengembangkan program pelatihan dalam jabatan; melaksanakan pelatihan prajabatan yang spesifik berdasarkan kebutuhan dunia usaha/industri; merumuskan paket program sertifikasi sesuai dengan kualifikasi dan levelnya, penyelenggaraan pelatihan, dan penilaian; serta penyusunan standar kompetensi lulusan. Konsep kompetensi dalam SKKNI mengandung 5 (lima) dimensi kompetensi, yaitu:

a) Keterampilan melaksanakan pekerjaan (task skills), yaitu kemampaun seseorang meyelesaikan tugas – tugas dalam pekerjaan yang diuraikan dalam kriteria unjuk kerja.

b) Keterampilam mengelola pekerjaan (task management skills), yaitu kemampuan seseorang untuk mengelola beberapa pekerjaan, mencakup merencanakan pekerjaan sekaligus dengan menginterpretasikan menjadi beberapa tugas lainnya untuk menghasilkan pekerjaan yang lengkap.

(16)

d) Keterampilan memenuhi tuntutan pekerjaan/lingkungan kerja (job/role environment skills), yaitu kemampuan yang biasa digunakan untuk memenuhi tanggung jawab serta ekspektasi terhadap lingkungan pekerjaan dan untuk dapat bekerja sama dengan orang lain, termasuk berinteraksi dengan orang dari dalam maupun luar, seperti rekan sejawat, pelanggan, nasabah dan khalayak umum.

e) Kemampuan beradaptasi dengan situasi tempat kerja baru (transfer skills), yaitu kemampuan melakukan saling tukar terhadap aplikasi pengetahuan dan keterampilan pada situasi maupun konteks yang baru.

b. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia

Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. KKNI merupakan perwujudan mutu dan jati diri bangsa Indonesia terkait dengan sistem pendidikan dan pelatihan nasional yang dimiliki Indonesia. KKNI dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 08 Tahun 2012, yang terdiri dari sembilan jenjang kualifikasi, dimulai dari kualifikasi 1 sebagai kualifikasi terendah dan kulifikasi ke-9 sebagai kualifikasi tertinggi. Jenjang kualifikasi merupakan tingkat pencapaian pembelajaran yang disepakati secara nasional, disusun berdasarkan ukuran hasil pendidikan dan pelatihan yang diperoleh melalui pendidikan formal, nonformal, informal, atau pengalaman kerja. Uraian masing-masing jenjang kualifikasi secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut.

Jenjang kualifikasi level 1, yaitu: (1) mampu melaksanakan tugas sederhana, terbatas, bersifat rutin, dengan menggunakan alat, aturan, dan proses yang telah ditetapkan, serta di bawah bimbingan, pengawasan, dan tanggung jawab atasannya. (2) memiliki pengetahuan faktual, dan (3) bertanggung jawab atas pekerjaan sendiri dan tidak bertanggung jawab bertanggung jawab atas pekerjaan orang lain.

(17)

yang tersedia terhadap masalah yang lazim timbul. Bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab membimbing orang lain.

Jenjang kualifikasi level 3, meliputi: (1) mampu melaksanakan serangkaian tugas spesifik, dengan menerjemahkan informasi dan menggunakan alat, berdasarkan sejumlah pilihan prosedur kerja, serta mampu menunjukkan kinerja dengan mutu dan kuantitas yang terukur, yang sebagian merupakan hasil kerja sendiri dengan pengawasan tidak langsung, (2) memiliki pengetahuan operasional yang lengkap, prinsip-prinsip serta konsep umum yang terkait dengan fakta bidang keahlian tertentu, sehingga mampu menyelesaikan berbagai masalah yang lazim dengan metode yang sesuai, (3) mampu kerjasama dan melakukan komunikasi dalam lingkup kerjanya, dan (4) bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas hasil kerja orang lain.

Jenjang kualifikasi level 4, mencakup: (1) mampu menyelesaikan tugas berlingkup luas dan kasus spesifik dengan menganalisis informasi secara terbatas, memilih metode yang sesuai dari beberapa pilihan yang baku, serta mampu menunjukkan kinerja dengan mutu dan kuantitas yang terukur, (2) menguasai beberapa prinsip dasar bidang keahlian tertentu dan mampu menyelaraskan dengan permasalahan faktual di bidang kerjanya, (3) mampu bekerja sama dan melakukan komunikasi, menyusun laporan tertulis dalam lingkup terbatas, dan memiliki inisiatif, (4) bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas kuantitas dan mutu hasil kerja orang lain.

Jenjang kualifikasi level 5, berupa: (1) mampu menyelesaikan pekerjaan berlingkup luas, memilih metode yang sesuai dari beragam pilihan yang sudah maupun belum baku dengan menganalisis data, serta mampu menunjukkan kinerja dengan mutu dan kuantitas yang terukur, (2) menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum, serta mampu memformulasikan penyelesaian masalah prosedural, (3) mampu mengelola kelompok kerja dan menyusun laporan tertulis secara komprehensif, (4) bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja kelompok.

(18)

memformulasikan penyelesaian masalah prosedural, (3) mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi dan data, dan mampu memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok, dan (4) bertanggung jawab pada pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja organisasi.

Jenjang kualifikasi level 7, adalah: (1) mampu merencanakan dan mengelola sumberdaya di bawah tanggung jawabnya, dan mengevaluasi secara komprehensif kerjanya dengan memanfaatkan IPTEKS untuk menghasilkan langkah-langkah pengembangan strategis organisasi, (2) mampu memecahkan permasalahan sains, teknologi, dan atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan monodisipliner, dan (3) mampu melakukan riset dan mengambil keputusan strategis dengan akuntabilitas dan tanggung jawab penuh atas semua aspek yang berada di bawah tanggung jawab bidang keahliannya.

Jenjang kualifikasi level 8, ialah: (1) mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan atau seni di dalam bidang keilmuannya atau praktik profesionalnya melalui riset, hingga menghasilkan karya inovatif dan teruji, (2) mampu memecahkan permasalahan sains, teknologi, dan atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan inter atau multidisipliner, dan (3) mampu mengelola riset dan pengembangan yang bermanfaat bagi masyarakat dan keilmuan, serta mampu mendapat pengakuan nasional dan internasional.

Jenjang kualifikasi level 9, memiliki: (1) mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan atau seni baru di dalam bidang keilmuannya atau praktik profesionalnya melalui riset, hingga menghasilkan karya kreatif, original, dan teruji. Mampu memecahkan permasalahan sains, teknologi, dan atau seni di dalam bidang keilmuannya melalui pendekatan inter, multi, dan transdisipliner, dan (2) mampu mengelola, memimpin, dan mengembangkan riset dan pengembangan yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan kemaslahatan umat manusia, serta mampu mendapat pengakuan nasional dan internasional.

(19)

4. Pembelajaran Dalam Pendidikan Kejuruan

Pembelajaran menurut Dimyati dan Mudjiono, (1999) adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran sebagai proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreatifitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkontruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pembelajaran.

Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Tujuan Pendidikan Menengah Kejuruan sebagaimana tertuang dalam PP 19 Tahun 2005 Pasal 26 ayat 3 dinyatakan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. Rumusan ini kemudian disebut sebagai Standar Kompetensi Lulusan (SKL) satuan pendidikan menengah kejuruan oleh karena itu pembelajaran di SMK dilaksanakan dalam rangka pembentukan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) peserta didik. Pembelajaran di SMK menggunakan paradigma outcome yaitu kompetensi apa yang harus dikuasai peserta didik bukan pembelajaran yang memaksakan apa yang harus diajarkan oleh seorang guru. Berikut uraian macam pembelajaran di sekolah kejuruan dalam rangka pembentukan kompetensi siswa.

a.

Pembelajaran Berbasis Dunia Kerja (Work Based Learning)

(20)

yang berguna untuk mengembangkan pendekatan baru dalam memecahkan masalah. Pembelajaran berbasis dunia kerja dalam pendidikan kejuruan dirancang untuk mempersiapkan peserta didik bekerja sesuai dengan kompetensi standar kerja dan kurikulum di tempat kerja. Pembelajaran berbasis dunia kerja diasumsikan dalam konteks pekerjaan utama dan diterapkan untuk tujuan yang berbeda tidak terbatas pada kinerja pembelajaran dalam arti sempit. Sebaliknya, penekanan pembelajaran pada identifikasi dan kegiatan berbasis dunia kerja, dimanapun dan bagaimanapun pembelajaran itu dapat tercapai.

Pembelajaran berbasis dunia kerja menggabungkan teori dengan praktik dan pengetahuan dengan pengalaman. Dunia kerja menawarkan banyak kesempatan bagi siswa untuk belajar seperti di dalam kelas. Pembelajaran berbasis dunia kerja berpusat pada refleksi di seluruh kerja praktik. Oleh karena itu siswa akan dihadapkan pada perubahan pengetahuan yang berguna untuk mengatasi tekanan waktu dengan merenung dan belajar dari hasil pekerjaan mereka. Pembelajaran berbasis dunia kerja menggunakan banyak teknologi yang beragam, seperti penyebaran proyek kerja, pembentukan tim belajar, dan pengalaman interpersonal yang lain. Ada tiga elemen penting dalam proses pembelajaran berbasis kerja, yaitu belajar diperoleh dari keahlian dan tugas, pengetahuan dan pemanfaatan sebagai kegiatan kolektif dimana belajar menjadi pekerjaan setiap siswa, dan siswa menunjukkan bakat mereka dalam belajar dengan kebebasan untuk menanyakan asusmsi yang mendasari kerja praktik.

Pembelajaran berbasis dunia kerja berbeda dari pendidikan konvensional yang berasal dari refleksi pengalaman aktual. Proses belajar yang mendasar adalah konsep metakognisi yang berari siswa berpikir secara terus-menerus tentang proses pemecahan masalah. Belajar tidak cukup dengan bertanya ―apa yang kita pelajari‖, tetapi juga dengan bertanya ―apa artinya atau bagamana cara menerapkan apa yang sudah kita ketahui‖, sehingga belajar tidak sekedar memperoleh keterampilan teknis tetapi juga menciptakan pengetahuan baru. Pembelajaran berbasis dunia kerja juga membutuhkan kombinasi dari analisis rasional, imajinasi, dan intuisi

b. Pembelajaran Berorientasi Pengalaman (Experimental-Based Learning)

(21)

menjadi pengetahuan sebagai pengalaman belajar yang berguna bagi peserta didik dalam hidup dan kehidupannya. Dengan pengalaman belajar ini diharapkan pembelajar mampu mengembangkan potensi dirinya, sehingga siap digunakan untuk memecahkan problema hidupnya. Pengalaman belajar diharapkan juga menginspirasi pembelajar menghadapi problema hidup nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Uraian di atas merupakan gambaran singkat tentang pembelajaran berorientasi pengalaman. Pembelajaran berbasis pengalaman adalah pembelajaran yang menghubungkan pengalaman nyata dengan konseptualisasi abstrak melalui refleksi dan perencanaan. Refleksi merupakan kegiatan merenung, memahami, dan berpikir tentang pengalaman yang didapat. Perencanaan meliputi antipasi penerapan teori dan keterampilan baru untuk diaplikasikan dalam pembelajaran. Prinsip utama pembelajaran berbasis pengalaman ialah pemerataan kesempatan untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan bagi semua pihak serta menyalurkan informasi secara horizontal. Mulyana, dkk (dalam Istanto Wahju, dkk, 2013) berpendapat tentang prinsip-prinsip yang menjadi landasan pembelajaran berbasis pengalaman, yaitu: semua peserta adalah guru dan semua peserta adalah murid; semua tempat adalah ruang belajar; semua pengalaman adalah bahan pembelajaran; belajar secara sadar dan sungguh-sungguh; berorientasi pada perubahan; keterbukaan; serta keseimbangan teori dan praktik.

c. Pendidikan Kontekstual (Contextual Teaching Learning)

Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang membuat siswa mampu merperkuat, mengembangkan, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka di berbagai kondisi baik di dalam masyarakat maupun di luar sekolah untuk memecahkan masalah-masalah nyata maupun simulasi (Setiawan dalam Istanto Wahju, dkk, 2013). Pembelajaran kontekstual terjadi ketika para siswa mengalami dan menerapkan hal-hal yang dipelajari dengan peran dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga, masyarakat, warga negara, dan pekerja. Pembelajaran kontekstual menekankan pemikiran yang lebih tinggi, alih pengetahuan antar mata pelajaran akademis, serta menghubungkan, mengalisis, dan menyusun informasi dari berbagai sumber dan sudut pandang.

(22)

minds-on. Pembelajaran kontekstual hanya akan berlaku jika siswa dapat memroses pengetahuan baru dengan cara yang bermakna dan relevan dengan lingkungan sekitar. Pembelajaran kontekstual menggalakkan pendidik untuk memilih atau mewujudkan pembelajaran yang meliputi berbagai pengalaman yang sama dalam konteks sosial, budaya, dan psikologi untuk mendapatkan hasil pembelajaran yang diinginkan. Siswanto (dalam Istanto Wahju, dkk, 2013) menjelaskan ada tujuh elemen penting dalam pembelajaran kontekstual, antara lain: inquiry, questioning, constructivism, modelling, learnig comunity, authentic assesment, dan reflextion.

Pembelajaran kontekstual dapat memberi keyakinan siswa untuk memahami hubungan antara teori dan penerapannya dalam kehidupan masyarakat dan dunia kerja. Pembelajaran kontekstual juga membina siswa untuk bekerja kelompok untuk menyelesaikan suatu masalah. Sekolah memiliki peran sebagai penghubung antara akademik dan dunia pekerjaan untuk mendapat dukungan dari industri. Pembelajaran kontekstual dapat dicapai melalui berbagai bentuk, yaitu: relating (mengkaitkan), experiencing (mengalami), applying (mengaplikasi), coorperating (bekerjasama), dan transfering (memindahkan). Relating (mengkaitkan) adalah belajar dalam konteks saling-hubung antara pengetahuan baru dengan pengalaman hidup. Experiencing (mengalami) adalah belajar dalam konteks perekaan, penemuan, dan reka cipta. Applying (mengaplikasi) adalah belajar dalam konteks bagaimana pengetahuan atau informasi dapat digunakan dalam situasi lain. Coorperating (bekerjasama) adalah belajar dalam konteks bekerjasama dan berkomunikasi dengan orang lain. Transfering (memindahkan) adalah belajar dalam konteks pengetahuanyang telah dipelajari dan digunakan yang telah diketahui.

Uraian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan kontekstual sebagai suatu proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa agar dapat memahami makna materi pelajaran yang dipelajari dengan mengkaitkannya dengan konteks kehidupan sehari-hari dalam konteks pribadi, sosial, lingkungan, maupun kultural sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan dalam dari satu permasalahan tertentu menjadi permasalahan lainnya. d. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

(23)

nyata [ CITATION Tim07 \l 1033 ]. Pembelajaran berbasis masalah melibatkan peserta didik dalam proses pembelajaran yang aktif, kolaboratif, berpusat kepada peserta didik, yang mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan belajar mandiri yang diperlukan untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan dan karier, dalam lingkungan yang bertambah kompleks sekarang ini. Pembelajaran berbasis masalah dapat pula dimulai dengan melakukan kerja kelompok antar peserta didik.peserta didik menyelidiki sendiri, menemukan permasalahan, kemudian menyelesaikan masalahnya di bawah petunjuk fasilitator (guru).

Pembelajaran berbasis masalah menyarankan kepada peserta didik untuk mencari atau menentukan sumber-sumber pengetahuan yang relevan. Pembelajaran berbasis masalah memberikan tantangan kepada peserta didik untuk belajar sendiri. Peserta didik lebih diajak untuk membentuk suatu pengetahuan dengan sedikit bimbingan atau arahan guru sementara pada pembelajaran tradisional, peserta didik lebih diperlakukan sebagai penerima pengetahuan yang diberikan secara terstruktur oleh seorang guru. Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada peserta didik melibatkanpeserta didik untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah, sehingga peserta didik dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah.

Pembelajaran berbasis masalah perlu dirancang dengan baik mulai dari penyiapan masalah yang sesuai dengan kurikulum yang akan dikembangkan di kelas, memunculkan masalah dari peserta didik, peralatan yang mungkin diperlukan, dan penilaian yang akan digunakan agar hasil pembelajaran tercapai secara optimal. Pengajar yang menerapkan pendekatan ini harus mengembangkan diri melalui pengalaman mengelola kelas, dan pendidikan pelatihan atau pendidikan formal yang berkelanjutan. Oleh karena itu, pengajaran berdasarkan masalah merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berfikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu peserta didik untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya.Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks.

(24)

berperan sebagai self-directed problem solvers yang dapat berkolaborasi dengan pihak lain, menghadapkan siswa pada situasi yang dapat mendorong mereka untuk menemukan masalah, dan meneliti hakikat permasalahan yang disiapkan serta mengajukan hipotesis rencana penyelesaian masalah. Langkah investigasi mencakup mengeksplorasi berbagai cara menjelaskan kejadian serta implikasinya, dan mengumpulkan serta mendistribusikan informasi. Langkah penyajian hasil digunakan untuk menyajikan temuan-temuan.

Keunggulan model pembelajaran berbasis masalah, antara lain meningkatkan aktivitas pembelajaran peserta didik, melatih peserta didik untuk bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan, membantu peserta didik mentrasfer pengetahuan untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata, mengembangkan kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis dan menyesuaikan dengan pengetahuan baru, serta minat peserta didik untuk belajar secara terus menerus.

e. Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)

Pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning-PjBL) adalah metode pembelajaran yang sistematik yang melibatkan siswa dalam mempelajari pengetahuan dasar dan kecakapan hidup melalui perluasan, proses penyidikan, pertanyaan autentik, perancangan produk, dan kegiatan yang seksama [ CITATION Gor10 \l 1033 ]. Peserta didik melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar. Pembelajaran berbasis proyek merupakan metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas secara nyata. Pembelajaran berbasis proyek dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan peserta didik dalam melakukan insvestigasi dan memahaminya.

(25)

memunculkan pertanyaan penuntun (a guiding question) dan membimbing peserta didik dalam sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum. Pada saat pertanyaan terjawab, secara langsung peserta didik dapat melihat berbagai elemen utama sekaligus berbagai prinsip dalam sebuah disiplin yang sedang dikajinya. PjBL merupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik. Karena masing-masing peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda, maka pembelajaran berbasis proyek memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk memilih materi yang akan dikerjakan sendiri atau secara kelompok. Siswa mendiskusikan proyek dengan guru atau seluruh kelas sebagai cara bertukar informasi, melakukan tanya jawab, mendiskusikan masalah, serta memaknai pengalaman tersebut bagi setiap siswa hingga proyek selesai.

(26)

menunjukkan pengetahuan yang dimiliki, kemudian diimplementasikan dengan dunia nyata; serta membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, sehingga peserta didik maupun pendidik menikmati proses pembelajaran.

Kelemahan pembelajaran berbasis proyek, yaitu: memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan masalah; membutuhkan biaya yang cukup banyak; banyak instruktur yang merasa nyaman dengan kelas tradisional, di mana instruktur memegang peran utama di kelas; banyaknya peralatan yang harus disediakan; peserta didik yang memiliki kelemahan dalam percobaan dan pengumpulan informasi akan mengalami kesulitan; ada kemungkinan peserta didik yang kurang aktif dalam kerja kelompok; serta ketika topik yang diberikan kepada masing-masing kelompok berbeda, dikhawatirkan peserta didik tidak bisa memahami topik secara keseluruhan. Seorang pendidik harus dapat mengatasi kelemahan dari pembelajaran berbasis proyek di atas dengan cara memfasilitasi peserta didik dalam menghadapi masalah, membatasi waktu peserta didik dalam menyelesaikan proyek, meminimalis dan menyediakan peralatan yang sederhana yang terdapat di lingkungan sekitar, memilih lokasi penelitian yang mudah dijangkau sehingga tidak membutuhkan banyak waktu dan biaya, menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan sehingga instruktur dan peserta didik merasa nyaman dalam proses pembelajaran.

f. Pembelajaran Berbasis Usaha (Teaching Factory Learning)

Teaching Factory Learning (TEFA) adalah pembelajaran yang berorientasi bisnis dan produksi, atau suatu proses keahlian atau keterampilan yang dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prosedur dan standar bekerja baku menghasilkan produk yang sesuai dengan tuntutan pasar atau konsumen. TEFA merupakan respon terhadap perubahan paradigma kebutuhan terhadap lulusan pendidikan kejuruan yang terus berkembang, di mana yang semula berorientasi menjadi pekerja, berkembang menjadi entrepreneurship-oriented. TEFA juga merupakan suatu konsep pembelajaran dalam suasana nyata, sehingga dapat menjembatani kesenjangan kompetensi antara kebutuhan DUDI dan kompetensi yang diperoleh pada pendidikan kejuruan. Hal ini berarti pembelajaran berbasis usaha merupakan pembelajaran gabungan antara pendekatan pembelajaran berbasis kompetensi dan pembelajaran berbasis produksi untuk menghasilkan produk, baik berupa barang atau jasa yang sesuai dengan tuntutan pasar atau konsumen, serta dapat dijual atau yang dapat digunakan oleh masyarakat.

(27)

2010-2014 Direktorat PSMK (2009), teaching factory digunakan sebagai salah satu model untuk memberdayakan SMK dalam menciptakan lulusan yang berjiwa wirausaha dan memiliki kompetensi keahlian melalui pengembangan kerjasama dengan industri dan entitas bisnis yang relevan. Pembelajaran ini akan menumbuhkan jiwa wirausaha bagi siswa. Pembelajaran melalui teaching factory bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui wahana belajar sambil berbuat (learning by doing), sehingga dapat: (1) meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan bagi lulusan, (2) memberikan kontribusi meningkatkan daya saing bagi DUDI, dan (3) untuk memfasilitasi dan mempromosikan sekolah. Produk maupun jasa yang dihasilkan harus memenuhi kriteria yang layak jual sehingga dapat menghasilkan nilai ambah untuk sekolah [ CITATION Dir09 \l 1033 ]. Keuntungan yang didapatkan dipergunakan untuk menambah sumber pendapatan untuk membiayai kegiatan pembelajaran di SMK.

Adapun contoh sekolah yang pernah melaksanakan teaching factory learning yaitu SMK Katholik St. Mikael Surakarta. Pembelajaran berbasis teaching factory di SMK Mikael adalah model sekolah yang mendirikan unit produksi di dalam sekolah, sebagai tempat para siswa dapat mempraktikkan secara langsung proses produksi di sekolah merupakan strategi yang ditempuh oleh sekolah demi meningkatkan kemampuan dan keahlian para siswa. Aspek – aspek penting dalam konsep Teaching Factory yang dijalankan oleh SMK Mikael yaitu : kurikulum berorientasi pasar, proses pembelajaran dikdaktis (pendidikan dan pelatihan), fasilitas yang menunjang, sumber daya manusia yang profesional, manajemen organisasi yang efektif, lingkungan internal dan eksternal yang mendukung [ CITATION Har16 \l 1033 ]

g. Pembelajaran Co-op

(28)

bahwa mereka memiliki tujuan yang sama; siswa membagi tugas dan tanggung jawab; siswa diberikan satu evaluasi pada anggota yang berpengaruh terhadap evaluasi kelompok; siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama dalam belajar; sera setiap siswa diminta mempertanggung-jawabkan secara individu materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

Metode ini membantu siswa untuk lebih mudah memproses informasi yang diperoleh, karena proses encodingakan didukung dengan interaksi yang terjadi dalam Pembelajaran Kooperatif. Kagan dalam Gora dan Sunarto (2010) menyampaikan manfaat metode pembelajaran kooperatif, yaitu: pencapaian dan kemahiran kognitif, kemahiran sosial dan hubungan sosial, keterampilan kepemimpinan, kepercayaan diri, serta kemahiran teknologi siswa dapat ditingkatkan. Pembelajaran kooperatif juga memberikan beberapa keuntungan, antara lain: mengajarkan siswa menjadi percaya pada guru, kemampuan untuk berfikir, mencari informasi dari sumber lain dan belajar dari siswa lain; mendorong siswa untuk mengungkapkan idenya secara verbal dan membandingkan dengan ide temannya; dan membantu siswa belajar menghormati siswa yang pintar dan siswa yang lemah, juga menerima perbedaan ini. Beberapa tipe pembelajaran kooperatif, sebagai berikut: Jigsaw II, Student Teams Achievement Devition (STAD), Team Asisted Individualization (TAI), Teams Game Tournament (TGT), Group Investigation (GI), dan metode struktural.

h. Pembelajaran Ilmiah (Scientific Learning)

(29)

mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari substansi atau materi pembelajaran; mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau materi pembelajaran; berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan; serta tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.

Gambar 1. Hubungan Ranah Sikap, Pengetahuan, dan Keterampilan dalam Pembelajaran Ilmiah

Pembelajaran ilmiah ditekankan pada pengembangan sikap, keterampilan, pengetahuan peserta didik. Proses pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik ―tahu mengapa‖. Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik ―tahu bagaimana‖. Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik ―tahu apa. Hasil akhir adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Secara singkat, hubungan antar ranah tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 di atas.

B. Pendapat Penulis

(30)

rekayasa. Pendidikan dalam konteks pembangunan nasional mempunyai fungsi sebagai pemersatu bangsa, penyamaan kesempatan dan pengembangan potensi diri yang diharapkan dapat memperkuat keutuhan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sekolah Menengah Kejuruan memiliki peran untuk mempersiapkan peserta didik agar siap bekerja, baik secara mandiri (wiraswasta) maupun mengisi lowongan pekerjaan di dunia kerja. Lulusan yang dihasilkan SMK harus memiliki kompetensi nyakni kemampuan yang disyaratkan untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu pada dunia kerja dan ada pengakuan resmi terhadap kemampuan tersebut. Paradigma pendidikan Kejuruan berbeda dengan pendidikan umum. Dalam Pendidkan kejuruan menekankan pada pendidikan yang menyesuaikan dengan permintaan pasar (demand driven). Kebersambungan (link) diantara pengguna lulusan pendidikan dan penyelenggara pendidikan dan kecocokan (match) diantara employee dengan employer menjadi dasar penyelenggaraan dan ukuran keberhasilan penyelenggaraan pendidikan kejuruan ditinjau dari tingkat mutu dan relevansi. Pendidikan kejuruan tidak terpisahkan dari sistem pendidikan secara keseluruhan, namun mempunyai karakteristik tertentu yang membedakannya dengan pendidikan yang lain.

Untuk mencapai Paradigma pendidikan Kejuruan diperlukan suatu pengembangan dan formulasi untuk kompetensi pendidikan kejuruan, di samping memperhatikan tuntutan globalisasi dan perkembangan teknologi serta kebutuhan pasar kerja baik lokal, nasional maupun internasional, serta perlunya penerapan pola pendidikan berbasis kompetensi secara konsisten dengan memperhatikan potensi wilayah. Misi utama dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan pendidikan kejuruan yang berupaya membentuk peserta didik menjadi manusia berkualitas dan produktif serta penyiapan tenaga trampil tingkat menengah yang memiliki jiwa kemandirian guna mengisi kebutuhan dunia kerja.

Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan strategi agar tujuan pendidikan dapat dicapai secara optimal, untuk itu sekolah menerapkan berbagai model sesuai dengan program studinya dan karakteristik peserta didik. Terdapat tiga model yang dapat diterapkan untuk mencapai itu :

(31)

Di Indonesia model yang diterapkan di Sekolah Menengah Kejuruan merupakan Model Sistem Ganda, yaitu model yang merupakan kombinasi antara penyelenggaraan praktek kerja industri (prakerin) di institusi kerja pasangan (perusahaan; jasa, dagang, industri), secara sinkron dan sistematis, bertujuan menghantarkan peserta didik pada penguasaan kemampuan kerja tertentu, sehingga menjadi lulusan yang berkemampuan relevan seperti yang diharapkan.

(32)

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dalam makalah ini maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pendidikan Kejuruan merupakan suatu program pendidikan yang menyiapkan individu peserta didik menjadi tenaga kerja yang profesional.

2. Jenis – jenis model yang dapat diterapkan dalam penyelenggaraan Pendidikan teknologi dan kejuruan adalah a) Model Pasar; b) Model Sekolah; c) Model Sistem Ganda.

3. Standar Kompetensi dan Kualifikasi Kerja dalam Pendidikan Teknologi dan Kejuruan memiliki peran sebagai acuan dalam mengukur kemampuan kerja seseorang yang meliputi aspek pengetahun, keterampilan, dan sikap kerja sebagaimana yang disyaratkan oleh industri.

4. Pembelajaran di SMK menggunakan paradigma outcome yaitu kompetensi apa yang harus dikuasai peserta didik, bukan pembelajaran yang memaksakan apa yang harus diajarkan oleh seorang guru. Macam pembelajaran di sekolah kejuruan dalam rangka pembentukan kompetensi siswa yaitu ; a) Pembelajaran Berbasis Dunia Kerja (Work Based Learning); b) Pembelajaran Berorientasi Pengalaman (Experimental-Based Learning); c) Pendidikan Kontekstual (Contextual Teaching Learning); d) Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning); e) Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning); f) Pembelajaran Berbasis Usaha (Teaching Factory Learning); g) Pembelajaran Co-op; h) Pembelajaran Ilmiah (Scientific Learning)

B. Saran

(33)

efesien untuk mencetak SDM yang berkualitas dan kompeten dalam bidangnya. Tentunya semua itu tidak akan terwujud tanpa dukungan dan kerjasama dari masyarakat

DAFTAR PUSTAKA

Anwar. (1999). Pelaksanaan Program Pendidikan Sistem Ganda Pada SMK Di Kota Kendar. Disertasi Doktor: Tidak Diterbitkan. UPI.

Bailey, J., Hughens, K., & Moore, D. (2004). Working Knowledge: Work-Based Learning And Education. New York: Roun Hedgeflmer.

Boud, D., & Solomon, N. (2003). Work-Based Learning. Buckingham: Open University Press.

Dimyati, & Mudjiono. (1990). Belajar Dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Direktorat PSMK. (2009). Roadmap Pengembangan SMK 2010-2014. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Djatmiko, I. W., & Dkk. (2013). Modul Pendidikan Teknologi Dan Kejuruan. Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.

Djohar, A. (2007). Pendidikan Teknologi Dan Kejuruan. Dalam Ilmu Dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Pedagogiana Press.

Djojonegoro, W. (1998). Pengembangan Sumberdaya Manusia. Jakarta: PT. Jayakarta Agung Offset.

Gora, W., & Sunarto. (2010). Pakematik: Strategi Pembelajaran Inovatif Berbasis TIK. Jakarta: Elex Media Komputina.

Hamalik, O. (1990). Pendidikan Tenaga Kerja Nasional: Kejuruan, Kewirausahaan Dan Manajemen. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Hanoto, & Mursid. (2001). Model Pengembangan Pendidikan Program Diploma. Makalah Disajikan Dalam Seminar Pengembangan Pendidikan Diploma.

Hartanto, D., & Dkk. (2016). Model Perencanaan Sekolah Berbasis Teaching Factory Di SMK Katholik St. Mikael Surakarta. 26392-1-10-20170223.

Lamb, H., & Mcdaniel. (2001). Pemasaran. Jakarta: Salemba Empat.

(34)

M. P. (2013). Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta: Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan.

Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi. (2012). Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Sistem Standarisasi Kompetensi Kerja Nasional.

Muliati, A. (2007). Evaluasi Program Pendidikan Sistem Ganda: Suatu Penelitian Evaluatif Berdasarkan Stake’s Countenance Model Mengenai Program Pendidikan Sistem Ganda Pada Sebuah SMK Di Sulawesi Selatan (2005/2007).

Nurharjadmo, W. (2008). Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Sistem Ganda Di Sekolah Kejuruan. 4(2), 215-228.

Permana, T. (2005). Pemahaman Konsep PSG Dan Intensitas Bimbingan Terhadap Kemampuan Membimbing Siswa PSG. INVOTEC, 3 (7). 33 – 39.

Presiden. (1990). Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Menengah.

Presiden. (1992). Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1992 Tentang Peranan Masyarakat Dalam Pendidikan Nasional.

Presiden. (2005). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.

Presiden. (2012). Peraturan Presiden Nomor 08 Tahun 2012 Tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.

Republik Indonesia. (1989). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang RI Nomor 20, Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Soeharto. (1998). Desain Instruksional Sebuah Pendekatan Praktis Untuk Pendidikan Teknologi Dan Kejuruan. Jakarta: Departemen Pendidkan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidkan Tinggi, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

Sutiyatno, S. (2012). Pentingnya Pendidikan Kejuruan Berorientasi Pasar Tenaga Kerja. 597-25-690-1-10-20170427.

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. (2007). Ilmu Dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Imtima.

(35)

Gambar

Gambar 1. Hubungan Ranah Sikap, Pengetahuan, dan Keterampilan dalam

Referensi

Dokumen terkait

Sanggahan ditujukan kepada Pokja ULP Balai Veteriner Medan. Demikian disampaikan untuk

Saudara diharapkan membawa Dokumen Asli Perusahaan dan menyerahkan Fotocopynya antara lain : Dokumen Penawaran, Jaminan Penawaran, Surat Dukungan Keuangan Dari Bank,

Procurement pada Dinas Kependudukan dan pencatatan sipil adalah sebagai berikut:. Kegiatan Implementasi SIAK

Terlaksananya penyusunan laporan keuangan akhir tahun dan LAKIP.

Sanggahan ditujukan kepada Pokja ULP Balai Veteriner Medan. Demikian disampaikan untuk

Saudara diharapkan membawa Dokumen Asli Perusahaan dan menyerahkan Fotocopynya antara lain : Dokumen Penawaran, Jaminan Penawaran, Surat Dukungan Keuangan Dari Bank,

Dalam rangka pelaksanaan kegiatan pengadaan baran$asa tahun anggarcn 2012 di lingkungan SKPD Kecamatan Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Tengah, mer€ncanakan pemaketan

Când construim un arbore, dac ă dou ă frunze diferite pot fi expandate, este expandat ă prima cea care poate fi expandat ă cu o regul ă de prioritate mai mare.. Dac ă dou ă