• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERSPEKTIF VIKTIMOLOGIS TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN DOKUMEN TENAGA KERJA WANITA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS PERSPEKTIF VIKTIMOLOGIS TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN DOKUMEN TENAGA KERJA WANITA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERSPEKTIF VIKTIMOLOGIS TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN DOKUMEN TENAGA KERJA WANITA

(Jurnal)

Oleh: Lieta Vina Tania

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

ANALISIS PERSPEKTIF VIKTIMOLOGIS TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN DOKUMEN TENAGA KERJA WANITA

Oleh

Lieta Vina Tania, Heni Siswanto, Tri Andrisman Email : lietavina@gmail.com

Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, belum memperoleh perlindungan memadai seperti yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan sama sekali. Masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga korban kejahatan. Permasalahannya adalah bagaimanakah perspektif viktimologis terhadap korban tindak pidana pemalsuan dokumen tenaga kerja wanita? Bagaimanakah perlindungan hukum bagi korban tindak pidana pemalsuan dokumen tenaga kerja wanita?Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan masalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif.Hasil penelitian dan pembahasan ini menunjukan korban tindak pidana pemalsuan dokumen tenaga kerja wanitayaitu sering diabaikan hak-haknya korban, antara lain karena dakwaan lemah, tuntutan ringan, tidak mengetahui perkembangan penanganan perkara, tidak menerima ganti rugi dan tidak terpenuhinya hak-hak yang lain.Saat ini viktimologi sudah menjadi ilmu tersendiri, sehingga tidak tepat ketika kajian viktimologi hanya diarahkan kepada korban dalam proses terjadinya kejahatan. Perlindungan hukum terhadap korban pemalsuan dokumen tenaga kerja wanita dalam perkara ini korban mendapat ganti rugi sebesar Rp. 900.000,00 (sembilanratusribu rupiah).Saran yang didapat yaitu pemerintah wajib memperhatikan hak-hak korban suatu tindak pidana, selain sebagai saksi yang mengetahui terjadinya suatu kejahatan juga karena kedudukan korban sebagai subjek hukum yang memiliki kedudukan sederajat di depan hukum (equality before law). Selain itu, perlunya kerja sama antara Aparat penegak hukum dan dinas terkait untuk sering mengadakan penyuluhan kepada masyarakat tentang hak-hak korban dan tindakpidana pemalsuan dokumen oleh kepolisian setempat, serta prosedur yang tepat dilalui calon TKI oleh Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI).

(3)

ABSTRACT

ANALYSIS OF VICTIMOLOGICAL PERSPECTIVE ON VICTIMS OF CRIMINAL ACTS OF WOMEN FEMALE LABOR DOCUMENTS

Victims of crime that are essentially the most suffering parties in a criminal offense, have not received adequate protection as provided by law to perpetrators of crime. As a result, when criminals have been subject to criminal sanctions by the courts, the circumstances of victims of such crimes are ignored altogether. The issue of justice and respect for human rights applies not only to perpetrators of crimes, but also to crime victims. The problem is how is the psychological perspective of victims of the falsification of women employment document documentation? What is the legal protection for victims of falsification of women employment documents? The research method used in this research is to use the approach of juridical normative and juridical empirical. The data used in the form of primary data and secondary data. Data collection method in this research is using library research and field research. Data analysis using qualitative data analysis. The results of this study show that victims of falsification of women employment documents are often ignored the rights of the victims, among others because the indictment is weak, the demands are light, do not know the progress of the handling of the case, do not receive compensation and non-fulfillment of other rights. Currently viktimologi has become a separate science, so it is not appropriate when the study of victimology is only directed to the victim in the process of the crime. Legal protection against victims of forgery of women worker documents in this case the victim gets compensation of Rp. 900,000,00 (nine hundred thousand rupiah). Suggestions obtained are the government must pay attention to the rights of victims of a crime, other than as a witness who knows the occurrence of a crime also because of the status of the victim as a legal subject that has equal status before the law (equality before law). In addition, there is a need for cooperation between law enforcement officials and related agencies to frequently counsel the public about the rights of victims and the crime of falsification of documents by the local police, as well as proper procedures by prospective migrant workers through the Indonesian Center for Placement and Protection of Indonesian Migrant Workers BP3TKI).

(4)

I. PENDAHULUAN

Hal penting dalam Negara Hukum adalah adanya penghargaan dan komitmen menjunjung tinggi hak asasi manusia serta jaminan semua warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum (equality before law).

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa: “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Prinsip demikian idealnya bukan hanya sekedar tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundang-undangan. Namun yang lebih utama dan terutama adalah dalam pelaksanaan atau implementasinya. Praktik penegakan hukum seringkali diwarnai dengan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut.

Banyak peristiwa dalam kehidupan masyarakat menunjukkan bahwa kedua hal tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah. Padahal sangat jelas dalam Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, masalah perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat sangat penting bagi perwujudan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab serta Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Salah satu contoh kurang diperhatikannya masalah keadilan dan hak asasi dalam penegakan hukum pidana adalah berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana pemalsuan dokumen pada Tenaga Kerja Wanita (TKW). Berikut ini salah satu contoh kejahatan Tindak Pidana Pemalsuan Dokumen.Jajaran

Polda Lampung berhasil menangkap dua pelaku pembuat dokumen palsu, terkait pengembangan kasus pengiriman 53 TKW illegal yang berhasil diamankan Polda Lampung, Rabu 02 November 2016. Dua pelaku tersebut yaitu yang bernama M. Yasin dan Siti Mariyah menggunakan modus operandi selaku penyalur tenaga kerja ke luar negeri.1

Tersangka M. Yasin berperan sebagai pembuat, mengedit KK, KTP dan akte kelahiran atas nama calon TKW seolah-olah asli. Sedangkan tersangka Siti Mariyah berperan menginformasikan kepada tersangka M. Yasin dokumen yang kurang dari calon TKW untuk dipalsukan dan juga mencari serta meyakinkan calon TKW dengan menjanjikan gaji besar dengan hanya menyiapkan uang sebesar Rp. 900. 000 (sembilanratusribu rupiah) untuk pembuatan dokumen. Kemudian kedua tersangka tersebut berkoordinasi dengan tersangka Widia yang sudah terlebih dahulu ditangkap selaku biro jasa guna memperlancar pembuatan paspor di Lampung yang disebutkan dalam dokumen tersebut dalam rangka traveling bukan untuk bekerja sebagai TKW di luar negeri.

Bisnis illegal ini telah dijalankan dalam satu tahun terakhir menurut kesaksian dari tersangka Siti Mariyah dan dalam satu hari bisa membuat hampir 10 berkas dokumen palsu. Dalam kasus ini tersangka terancam Pasal 263 ayat (1), ayat (2) KUHP tentang pemalsuan dokumen dengan niat untuk keuntungan sendiri dengan ancaman hukuman enam tahun penjara.

1

(5)

Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, belum memperoleh perlindungan memadai seperti yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan sama sekali. Padahal, masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga korban kejahatan.

Penyebab seseorang dapat menjadi korban adalah kealpaan, ketidaktahuan, kurang hati-hati, kelemahan korban atau mungkin kesialan korban. Penyebab lain dapat terjadi korban tindak pidana yaitu perkembangan global, faktor ekonomi, politik, sosiologis, ataupun faktor-faktor negatif yang lain. Korban dapat menjadi korban murni artinya korban memang tidak bersalah atau dapat menjadi korban tidak murni yaitu korban tersangkut atau menjadi bagian dari pelaku kejahatan, bahkan sekaligus menjadi pelakunya.

Hentig beranggapan bahwa peran korban dalam menimbulkan kejahatan adalah:

a. Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh korban untuk terjadi;

b. Kerugian akibat tindak pidana kejahatan mungkin dijadikan korban untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar; c. Akibat yang merugikan korban

mungkin merupakan kerja sama antara pelaku dan korban;

Kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila tidak ada provokasi korban.2

Suatu penyelesaian perkara pidana di dalamnya banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai baik perlindungan yang sifatnya immaterial maupun materiil. Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan,3 yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil.4

Korban tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam proses penyidikan dan persidangan sehingga kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaannya akibat suatu kejahatan.5 Pemeriksaan suatu tindak pidana sering kali menempatkan korban hanya diposisi sebagai pemberi kesaksian,6sebagai pelapor dalam proses penyidikan, dan sebagai sumber informasi atau sebagai salah satu kunci penyelesaian perkara.7

2

Rena Yulia, Victimologi, Perlindungan Hukum

terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu,

Bandung, 2010, hlm. 81.

3 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, CV

Akademika Pressindo, Jakarta, 1989, hlm. 94.

4 Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban

Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan

Hukum Pidana Islam, Ghalia Press, Jakarta,

2004, hlm. 47.

5 Chaerudin dan Syarif Fadillah,Ibid., hlm. 49. 6 Arif Gosita,Masalah Perlindungan Anak,

Op.Cit., hlm. 96.

7 Chaerudin dan Syarif Fadillah,Op.Cit., hlm.

(6)

Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi pihak yang dirugikan.8 Menderitanya korban bisa disebabkan murni karena pihak lain atau tidak menutup kemungkinan timbul karena keterlibatan korban didalamnya.

Perlindungan hukum bagi masyarakat sangatlah penting karena masyarakat baik kelompok maupun perorangan, dapat menjadi korban atau bahkan sebagai pelaku kejahatan. Kepentingan korban sudah saatnya untuk diberikan perhatian khusus dalam penanganan perkara pidana, selain sebagai saksi yang mengetahui terjadinya suatu kejahatan juga karena kedudukan korban sebagai subjek hukum yang memiliki kedudukan sederajat di depan hukum (equality before law). Perhatian kepada korban dalam penanganan perkara pidana hendaknya dilakukan atas dasar belas kasihan dan hormat atas martabat korban (compassion and respect for their dignity).

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji sebagai bentuk karya ilmiah (skripsi) dengan judul “Analisis Perspektif Viktimologis Terhadap Korban Tindak Pidana Pemalsuan Dokumen Tenaga Kerja Wanita (Studi di Wilayah Hukum Polda Lampung)”

Berdasarkan latar belakang diatas, maka

yang menjadi permasalahan dalam

penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah perspektif viktimologis

terhadap korban tindak pidana

8

Arif Gosita, Op.Cit., hlm. 75.

pemalsuan dokumen tenaga kerja wanita?

b. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi korban tindak pidana pemalsuan dokumen tenaga kerja wanita?

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan masalah yuridis normative dan yuridis empiris. Data yang digunakan data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif.

II. PEMBAHASAN

A. PerspektifViktimologisTerhadap KorbanTindakPidanaPemalsuan DokumenTenagaKerjaWanita

Perspektif adalah pandangan, prediksi, perkiraan atau estimasi yang mengarah pada suatu hal atau keadaan. Viktimologi, berasal dari bahasa latin

victima yang berarti korban dan logos

yang berarti ilmu. Secara terminologis, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.9 Jadi, perspektif viktimologis adalah pandangan, prediksi, perkiraan atau estimasi yang mengarah pada korban kejahatan.

Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari suatu viktimisasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu

9

Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom,

(7)

kenyataan sosial. Perumusan ini membawa akibat perlunya suatu pemahaman, yaitu:

1. Sebagai suatu permasalahan manusia menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional; 2. Sebagai suatu hasil interaksi

akibat adanya suatu interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi;

3. Sebagai tindakan seseorang (individu) yang dipengaruhi oleh unsur struktur sosial tertentu suatu masyarakat tertentu.10

Viktimologi mencoba memberi

pemahaman, mencerahkan

permasalahan kejahatan dengan mempelajari para korban kejahatan, proses viktimisasi dan akibat-akibatnya

dalam rangka menciptakan

kebijaksanaan serta tindakan pencegahan dan menekan kejahatan secara lebih bertanggungjawab.11 Viktimologi memberikan pengertian yang lebih baik tentang korban kejahatan sebagai hasil perbuatan

manusia yang menimbulkan

penderitaan-penderitaan mental, fisik dan sosial.

Tujuannya adalah tidak untuk menyanjung-nyanjung para korban, tetapi hanya untuk memberi penjelasan mengenai peranan sesungguhnya para korban dan hubungan mereka dengan para korban. Penjelasan ini adalah penting dalam rangka mengusahakan kegiatan-kegiatan dalam mencegah kejahatan berbagai viktimisasi, mempertahankan keadilan sosial dan peningkatan kesejahteraan mereka yang

10

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan,

Loc.Cit.

11

Arif Gosita, Ibid, hlm. 208.

secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam suatu viktimisasi. Khususnya dalam bidang informasi dan pembinaan untuk tidak menjadi korban kejahatan struktural atau non struktural.12

Viktimologi mencoba mencapai hasil-hasil praktis. Ini berarti ingin menyelamatkan manusia dari dan yang berada di dalam bahaya. Viktimologi juga memberikan perhatian terhadap permasalahan viktimisasi yang tidak langsung. Misalnya efek-efek sosial polusi industri pada setiap anggota masyarakat; terjadinya viktimisasi ekonomis, politis, dan sosial, setiap kali jika seorang pejabat menyalahgunakan fungsinya dalam pemerintahan untuk kepentingan pribadinya.13

Perkembangan viktimologi hingga pada keadaan seperti sekarang tentunya tidak terjadi dengan sendirinya, namun telah mengalami berbagai perkembangan yang dapat dibagi dalam tiga fase. Pada tahap pertama, viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja, pada fase ini dikatakan sebagai “penal or special victimology.”

Fase kedua, viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban kejahatan, tetapi juga meliputi korban kecelakaan. Pada fase ini disebut sebagai “general victimology.” Fase ketiga, viktimologi sudah berkembang lebih luas lagi, yaitu mengkaji permasalahan korban karena penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi manusia. Fase ini dikatakan sebagai “new victimology.”

(8)

keterlibatan korban dalam proses terjadinya kejahatan, dan perhatian hukum pidana terhadap korban kejahatan.14 Yang pertama hakikatnya merupakan pengaruh dari kajian kriminologi yang menitikberatkan pada kejahatan, sehingga eksistensi korban hanya diakui dalam hubungan dengan partisipasinya dalam proses terjadinya kejahatan. Pemikiran yang demikian dapat dimaklumi mengingat kemunculan disiplin ilmu viktimologi awalnya diperoleh melalui kajian-kajian dalam kriminologi. Viktimologi lahir dari kriminologi.15

Perkembangan selanjutnya kajian viktimologi tidak lagi diarahkan pada partisipasi korban dalam proses terjadinya kejahatan, di mana hal itu lebih mengarah pada pelaku kejahatan dalam kaitannya berat ringannya penjatuhan pidana atas kejahatan yang dilakukan, tetapi sudah mengarah pada perlindungan yang harus diberikan oleh hukum pidana kepada korban kejahatan.

Saat ini viktimologi sudah menjadi ilmu tersendiri, sehingga tidak tepat ketika kajian viktimologi hanya diarahkan kepada korban dalam proses terjadinya kejahatan. Karena kalau hal itu yang dikaji, maka sesungguhnya kajian hukum pidana berat sebelah, dalam arti hanya memberikan perlindungan kepada pelaku kejahatan, sedangkan eksistensi dan kedudukan korban kejahatan diabaikan atau bahkan tidak diperhatikan. Padahal viktimologi

14

M. Abdul Kholiq, Buku Pedoman Kuliah

Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas

Islam Indonesia, Yogyakarta, 2002, hlm. 31.

15 Muhammad Topan, Kejahatan Korporasi di

Bidang Lingkungan Hidup Perspektif Viktimologi dalam Pembaharuan Hukum

Pidana di Indonesia, Nusamedia, Bandung,

2009, hlm. 15.

memiliki peran yang strategis dalam upaya menjadikan hukum pidana lebih humanis karena sama-sama memberikan perlindungan baik kepada pelaku kejahatan maupun korbannya.16

Dalam kasus pemalsuan dokumen tersangka dapat terancam Pasal 263 ayat (1), ayat (2) KUHP tentang pemalsuan dokumen dengan niat untuk keuntungan sendiri dengan ancaman hukuman enam tahun penjara. Sebagaimana isi dari Pasal 263 KUHP adalah:

(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun. (2) Diancam dengan pidana yang sama,

barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Dasar pertimbangan perlunya diatur undang-undang mengenai perlindungan korban (dan saksi) kejahatan dapat dilihat pada bagian pertimbangan undang-undang ini,17 yang antara lain

16

Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Teuku Fahmi, Dosen Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung, Pada Tanggal 25 Agustus 2017 pukul 10.00 WIB.

17 Pertimbangan Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban:

(9)

menyebutkan dalam proses peradilan pidana sering mengalami kesukaran dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini terjadi karena tidak hadirnya saksi di persidangan yang disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. Padahal diketahui bahwa peran saksi (korban) dalam suatu proses peradilan pidana menempati posisi kunci dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Korban dan/atau saksi diakui keberadaanya dalam proses peradilan pidana.18

Suatu proses peradilan pidana, saksi (korban) memegang peranan kunci dalam upaya mengungkap suatu kebenaran materiil. Maka, tidak berlebihan apabila dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, keterangan saksi ditempatkan pada urutan pertama di atas alat bukti lain yaitu keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana;

b. Bahwa penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak menghadirkan saksi dan/atau korban disebabkan adanya ancaman baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu;

c. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut,

perlu dilakukan perlindungan bagi saksi dan/atau korban yang sangat penting keberadaanya dalam proses peradilan pidana.

18 Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom,

Op.Cit., hlm. 152.

Saksi (korban) yang akan memberikan keterangan tentunya harus disertai jaminan bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum, pada saat,dan setelah memberikan kesaksian. Jaminan ini penting untuk diberikan guna memastikan bahwa keterangan yang akan diberikan benar-benar murni bukan hasil rekayasa apalagi hasil dari tekanan pihak-pihak tertentu.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 menganut pengertian korban dalam arti luas, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan, tidak hanya secara fisik atau mental atau ekonomi tetapi bias juga kombinasi di antara ketiganya. Hak ini terdapat pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang menyebutkan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, dapat dilihat tentang hak yang diberikan kepada saksi dan korban, yang meliputi:

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. Ikut serta dalam proses memilih

dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;

d. Mendapat penerjemah;

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. Mendapatkan informasi

(10)

h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

i. Mendapatkan identitas baru; j. Mendapatkan tempat kediaman

baru;

k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

l. Mendapatkan nasihat hukum; dan/atau

m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai waktu perlindungan berakhir.19

Hak-hak di atas cenderung memberikan porsi lebih besar terhadap kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana. Korban tidak mendapat porsi jaminan yang sama dengan saksi. Kedudukan korban tidak hanya sekedar dapat ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan atau dapat memperoleh informasi mengenai putusan pengadilan atau pun korban dapat mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan. Namun, sebagai pihak yang dirugikan korban pun berhak untuk memperoleh ganti rugi dari apa-apa yang diderita.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban di dalam Pasal 7 menyebutkan bahwa korban dapat mengajukan hak atas kompensasi dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. Namun, pengajuan hak katas kompensasi, restitusi atau pun ganti kerugian di atas harus diajukan ke pengadilan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Apabila dilihat dari segi aturan perlindungan saksi dan korban bahwa sistem perlindungan di

19Ibid., hlm. 153.

Indonesia sudah cukup baik, seperti sistem yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Penulis sependapat dengan responden di atas bahwa selama ini korban kejahatan merupakan orang yang terlupakan dalam sistem peradilan pidana. Pemerintah wajib memperhatikan hak-hak korban dalam mengadili suatu tindak pidana. Kepentingan korban harus diberikan perhatian dalam penanganan perkara pidana, selain sebagai saksi yang mengetahui terjadinya suatu kejahatan juga karena kedudukan korban sebagai subjek hukum yang memiliki kedudukan sederajat di depan hukum (equality before law).

B. PerlindunganTerhadapKorbanTin dakPidanaPemalsuanDokumenTe nagaKerjaWanita

Masalah korban kejahatan menimbulkan berbagai permasalahan dalam masyarakat pada umumnya dan pada korban/ pihak korban kejahatan pada khususnya. Belum adanya perhatian dan pelayanan terhadap para korban kejahatan merupakan tanda belum atau kurang adanya keadilan dan pengembangan kesejahteraan dalam masyarakat.

(11)

Perlindungan menurut UU Perlindungan Saksi dan Korban adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan. Perlindungan ini diberikan dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan.

Penegakan hukum pidana nasional (baik KUHP maupun KUHAP) harus dilaksanakan sesuai dengan isi ketentuan hukum pidana nasional tersebut, yang telah diatur secara tegas tanpa memperhatikan kedudukan dan kepentingan korban ternyata hingga sekarang hanyalah sebuah regularitas yang bersifat rutin namun tanpa makna ketika harus berhadapan dengan pentingnya perlindungan hukum korban kejahatan.

Perlindungan hukum bagi masyarakat sangatlah penting karena masyarakat baik kelompok maupun perorangan, dapat menjadi korban atau bahkan sebagai pelaku kejahatan. Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.

Beberapa bentuk perlindungan terhadap korban, yaitu:

a. Ganti rugi

Istilah ganti kerugian digunakan oleh KUHAP dalam Pasal 99 ayat (1) dan (2) dengan penekanan pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan atau korban.

b. Restitusi (restitution)

Restitusi lebih diarahkan pada tanggung jawab pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan sehingga sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang diderita korban.

c. Kompensasi

Kompensasi merupakan bentuk santunan yang dapat dilihat dari aspek kemanusiaan dan hak-hak asasi.

Dalam kasus tindak pidana pemalsuan dokumen korban mendapat ganti rugi sebesar Rp. 900.000 (sembilanratusribu rupiah) oleh tersangka M. Yasin dan Siti Mariyah. Hal ini dilakukan karena dilihat dari kepentingan korban, dalam konsep ganti kerugian material dan segala biaya yang telah dikeluarkan, serta merupakan pemuasan emosional korban. Sedangkan dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban mengganti kerugian dipandang sebagai suatu bentuk pidana yang dijatuhkan dan dirasakan sebagai sesuatu yang konkrit dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku.20

Gelaway merumuskan lima tujuan dari kewajiban mengganti kerugian, yaitu:

1. Meringankan penderitaan korban

2. Sebagai unsur yang

meringankan hukuman yang akan dijatuhkan

3. Sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana

20

(12)

4. Mempermudah proses peradilan

5. Dapat mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan balas dendam.21

Tujuan yang dirumuskan Gelaway di atas, bahwa pemberian ganti kerugian harus dilakukan secara terencana dan terpadu. Artinya tidak semua korban patut diberikan ganti kerugian karena adapula korban, baik langsung maupun tidak langsung turut terlibat dalam suatu kejahatan. Yang perlu dilayani dan diayomi adalah korban dari golongan masyarakat kurang mampu, baik secara finansial maupun sosial.

Tujuan inti dari pemberian ganti

kerugian tidak lain

untukmengembangkan keadilan dan kesejahteraan korban sebagai anggota masyarakat, dan tolak ukur pelaksanaannya adalah dengan diberikannya kesempatan kepada korban korban untuk mengembangkan hak dan kewajibannya sebagai manusia.22 Atas dasar itu, program pemberian ganti kerugian kepada korban seharusnya meerupakan perpaduan usaha dari berbagai pendekatan, baik pendekatan dalam bidang kesejahteraan sosial, pendekatan kemanusiaan dan pendekatan sistem peradilan pidana.

Hal yang memerlukan perhatian penting dalam pelaksanaan pembayaran ganti kerugian pada korban adalah perlunya diupayakan agar system pemberi ganti kerugian dilaksanakan dengan sederhana dan singkat sehingga apa yang menjadi hak korban dapat segera direalisasikan. Apabila jangka waktu yang diperlukan untuk merealisasikan membutuhkan waktu yang lama, dikhawatirkan konsep perlindungan korban dalam kaitan pembayaran ganti kerugian akan terabaikan.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku, yang dapat menjadi objek dari tindak pidana pemalsuan yang dimaksudkan dalam Bab ke-XII dari Buku ke-II adalah tulisan-tulisan.23Pemalsuan adalah proses pembuatan, beradaptasi, meniru benda atau dokumen-dokumen dengan maksud untuk menipu. Kejahatan yang serupa dengan penipuan adalah kejahatan memperdaya yang lain, termasuk melalui penggunaan benda yang diperoleh melalui pemalsuan.

Perbuatan pemalsuan ternyata merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap dua norma dasar:

1. Kebenaran atau kepercayaan yang pelanggarannya dapat tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan

2. Ketertiban masyarakat yang pelanggarannya tergolong dalam kelompok kejahatan terhadap Negara atau ketertiban umum

Perbuatan pemalsuan dapat digolongkan ke dalam kejahatan penipuan, tetapi tidak semua perbuatan penipuan adalah pemalsuan. Perbuatan pemalsuan tergolong kejahatan penipuan, apabila seseorang memberikan gambaran tentang sesuatu keadaan atas sesuatu barang (surat) seakan-akan asli atau kebenaran tersebut dimilikinya. Karena

23

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus: Kejahatan Membahayakan Kepercayaan Umum terhadap Surat, Alat

Pembayaran, Alat Bukti, dan Peradilan, Sinar

(13)

gambaran ini orang lain terperdaya dan mempercayai bahwa keadaan yang digambarkan atas barang/surat tersebut adalah benar atau asli.24

Dokumen adalah surat penting atau berharga yang sifatnya tertulis atau tercetak yang berfungsi atau dapat di pakai sebagai bukti ataupun keterangan. Dokumen memuat informasi penting yang diperlukan oleh suatu instansi, organisasi atau Negara. Setiap pemikiran yang dinyatakan dalam kata-kata secara tertulis adalah surat, baik itu secara tertulis tangan atau dengan cara lain.25

Pemalsuan dokumen mengandung dua makna yaitu perbuatan membuat surat palsu atau memalsu surat. Membuat surat palsu adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu, sedangkan memalsu surat adalah perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain atau berbeda dengan isi surat semula.26

Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) mempunyai tugas memberikan kemudahan pelayanan pemrosesan seluruh dokumen penempatan, perlindungan, dan penyelesaian masalah TKI secara terkoordinasi dan terintegrasi di wilayah kerja masing-masing BP3TKI. Dalam melakukan

24

H. A. K. Moch Anwar, Hukum Pidana di

Bidang Ekonomi, Citra Aditya Bakti, Bandung,

1990, hlm. 151. 25

Suharto RM, Hukum Pidana Materiil, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hlm. 67.

26

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap

Pemalsuan, Grafindo Persada, Jakarta, 2005,

hlm. 150.

tugasnya, BP3TKI bekerjasama dengan instansi pemerintah terkait baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sesuai tugas masing-masing, meliputi ketenagakerjaan, keimigrasian, verifikasi dokumen kependudukan, kesehatan, kepolisian dan bidang lain yang dianggap perlu.

Dalam melaksanakan tugas tersebut, BP3TKI menyelenggarakan fungsi:

1. Penyusunan, Pengembangan Program dan Anggaran;

2. Pembinaan, Pemantauan dan Evaluasi Kinerja Lembaga Penempatan TKI;

3. Penyelenggaraan

Pemasyarakatan Program Penempatan dan Perlindungan TKI;

4. Pelayanan Penerbitan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN);

5. Pengumpulan Data, Pembinaan Layanan Informasi Serta Pembinaan Sistem dan Jaringan Informasi Penempatan dan Perlindungan TKI;

6. Pemberdayaan dan Pembekalan Akhir Pemberangkatan TKI; 7. Pelaksanaan Pemantauan

Penempatan dan Perlindungan TKI di Negara Penempatan; 8. Pelaksanaan Pendaftaran dan

Seleksi Calon TKI Melalui Penempatan Oleh Pemerintah; 9. Monitoring Penyediaan dan

Pelaksanaan Sertifikat Calon TKI;

10.Pemantauan Pelaksanaan Kerjasama Luar Negeri dan Promosi;

11.Pelaksanaan Evaluasi dan

Penyusunan Laporan

(14)

12.Pelaksanaan Urusan Tata Usaha dan Rumah Tangga BP3TKI.27

Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat antara perorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.28

Perlindungan hukum korban suatu kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, ataupun bantuan hukum.29 Hal ini dapat dilihat dari acuan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 mengenai hak korban (victim) dan saksi, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.

Menurut penulis jika dilihat dari segi aturan perlindungan saksi dan korban bahwa sistem perlindungan di Indonesia sudah cukup baik, seperti sistem yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, perlu sering

27

Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Aiptu Slamet Ariyanto, Banit Subdit IV Renata (Remaja, Anak, dan Wanita) Ditkrimum Polda Lampung, Pada Tanggal 17 Juli 2017 Pukul 09.30 WIB.

28

Ibid, hlm. 55.

29

Dikdik. M. Arief Mansur & Elisatris Gultom,

Op.Cit., hlm. 31.

diadakan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat tentang hak-hak korban dan tindak pidana pemalsuan dokumen oleh kepolisian setempat, serta prosedur yang tepat dilalui calon TKI oleh Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Wanita (BP3TKI), karena di zaman sekarang banyak oknum-oknum nakal memanfatkan masyarakat yang minim pengetahuannya, khususnya untuk para calon tenaga kerja wanita agar mengubah pola pikir mereka dari yang pasif menjadi aktif dalam memberantas tindak pemalsuan dokumen ini.

Selain itu, pihak korban juga harus memiliki kesadaran hukum. Banyak korban atau keluarganya yang mengetahui tindak pidana pemalsuan dokumen akan tetapi menolak untuk melaporkan dengan berbagai alasan, seperti takut adanya ancaman dari pelaku atau ketakutan apabila masalahnya dilaporkan akan menimbulkan aib bagi korban maupun keluarganya. Padahal, dari segi yuridis sikap pembiaran ini dapat merugikan korban sendiri. Oleh karena itu, aparat penegak hukum (kepolisian) telah mengupayakan cara guna mengatasi kendala seperti ini, dengan membentuk Ruang Pelayanan Khusus hampir di setiap kepolisian resor (Polres).

III. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

(15)

sering diabaikan hak-haknya korban, antara lain karena dakwaan lemah, tuntutan ringan, tidak mengetahui perkembangan penanganan perkara, tidak menerima ganti rugi dan tidak terpenuhinya hak-hak yang lain. Saat ini viktimologi sudah menjadi ilmu tersendiri, sehingga tidak tepat ketika kajian viktimologi hanya diarahkan kepada korban dalam proses terjadinya kejahatan. Karena kalau hal itu yang dikaji, maka sesungguhnya kajian hukum pidana berat sebelah, dalam arti hanya memberikan perlindungan kepada pelaku kejahatan, sedangkan eksistensi dan kedudukan korban kejahatan diabaikan atau bahkan tidak diperhatikan.

2. Perlindunganhukumbagikorbantinda kpidana pemalsuan dokumen dalamkasusinikorban mendapat ganti rugi sebesar Rp. 900.000 (sembilanratusribu rupiah) oleh tersangka M. Yasin dan Siti Mariyah. Hal ini dilakukan karena dilihat dari kepentingan korban, dalam konsep ganti kerugian material dan segala biaya yang telah dikeluarkan, serta merupakan pemuasan emosional korban. Sedangkan dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban mengganti kerugian dipandang sebagai suatu bentuk pidana yang dijatuhkan dan dirasakan sebagai sesuatu yang konkrit dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku.

B. Saran

1. Pemerintah wajib memperhatikan hak-hak korban suatu tindak pidana. Kepentingan korban sudah saatnya untuk diberikan perhatian khusus dalam penanganan perkara pidana, selain sebagai saksi yang

mengetahui terjadinya suatu kejahatan juga karena kedudukan korban sebagai subjek hukum yang memiliki kedudukan sederajat di depan hukum (equality before law).

2. Perlunya kerjasama antara Aparat penegak hukum dan dinas terkait untuk sering mengadakan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat tentang hak-hak korban dan tindak pidana pemalsuan dokumen oleh kepolisian setempat, serta prosedur yang tepat dilalui calon TKW oleh Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI), karena di zaman sekarang banyak oknum-oknum nakal memanfatkan

masyarakat yang minim

pengetahuannya, khususnya untuk para calon tenaga kerja wanita agar mengubah pola pikir mereka dari yang pasif menjadi aktif dalam memberantas tindak pemalsuan dokumen ini.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdul, M. Kholiq. 2002. Buku PedomanKuliahHukum Pidana.Yogyakarta.Fakultas HukumUniversitas Islam.

Chaerudin dan Syarif Fadillah. 2004.

Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam. Jakarta. Ghalia Pers.

Chazawi, Adami. 2001. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

Gosita, Arif. 1989. Masalah

(16)

________. 1993. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta. CV Akademika Pressindo.

Moch Anwar, H. A. K. 1990. Hukum Pidana di Bidang Ekonomi.

Bandung. Citra Aditya Bakti.

Lamintang, P.A.F. 2009. Delik-Delik

Khusus: Kejahatan

Membahayakan Kepercayaan Umum terhadap Surat, Alat Pembayaran, Alat Bukti, dan Peradila. Jakarta.Sinar Grafika.

Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom. 2007. Urgensi

Perlindungan Korban

Kejahatan. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Muladi. 2005. Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung. Refika Aditama.

RM, Suharto. 1996. Hukum Pidana Materiil. Jakarta. Sinar Grafika.

Topan, Muhammad. 2009.

KejahatanKorporasi di

BidangLingkunganHidupPerspektif ViktimologidalamPembaharuanHu kumPidana di Indonesia.Bandung. Nusamedia.

Yulia, Rena. 2010. Victimologi, Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan. Bandung. Graha Ilmu.

B. Undang-Undang

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

C. Internet

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil perhitungan estimasi regresi, diperoleh nilai Koefisien Determinasi yang disesuaikan (adjusted R²) adalah 0,592 artinya 59,2 persen variasi dari semua

Hasil dari penelitian novel ini menunjukan bahwa adanya subordinasi yang dialami oleh tokoh perempuan mulai dari kecil hingga Ia menikah diantaranya (1) Tidak

Tujuan menciptakan sistem perencanaan pembangunan yang terpadu, dengan sasaran terciptanya sistem perencanaan yg terintegrasi antar daerah, antar ruang, antar waktu,

Pada tahun 2006-2012, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan bersama dengan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Balai

Manusia pertama yang mengerjakan sholat maghrib adalah Nabi Isa 'Alaihi Sallam. Hal ini terjadi ketika Nabi Isa dikeluarkan oleh Allah dari kejahilan dan kebodohan kaumnya, sedang

bahasa pemrograman PHP dengan database MySQL yang di dalamnya di hadirkan menu-menu berkaitan dengan akademik sekolah diataranya absensi siswa, nilai siswa, informasi

1. Para migran beranggapan bahwa pendapatan yang dihasilkan di Malaysia atau Arab Saudi lebih banyak daripada pendapatan mereka yang hanya bekerja di daerahnya