• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit Sosial Hidup dengan suatu Cacat (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penyakit Sosial Hidup dengan suatu Cacat (1)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Penyakit Sosial:

Hidup dengan suatu Cacat tanpa menjadi Sakit

1

(Perspektif Filsafat Sosial)

Oleh:

Listiyono Santoso

2

Pengantar

Dunia kita saat ini berada pada situasi moral yang upredictable; tidak disangka-sangka. Tidak pernah ada manusia yang sanggup memprediksikan bentuk masa depan dari moralitas manusia. Nilai tradisional yang dulu di’sakral’kan dan dimuliakan sebagai prinsip etik kini mulai dipertanyakan satu persatu kebenarannya. Situasi dunia kita – saat ini- seolah membawa kita untuk melakukan pilihan meninggalkan yang lama atau memilih sesuatu yang baru.

Dunia memang selalu dalam perubahan; pantarhei kata Heracleitos (535-475 SM). Hidup manusia berada dalam tangkapan ruang dan waktu. Ia hidup sebagai makhluk historis, bukan ahistoris. Dalam jejak perjalanan hidup, sampailah ia pada apa yang dalam tatapan (pos)modernisme telah menjadi klise; bahwa dalam setiap detak waktu, kepingan-kepingan pengalaman kehidupan berjatuhan ke dalam rangkain baru’. Meminjam terminologi Idi Subandy Ibrahim (1997; 167); hidup kita seakan tenggelam dalam terpaan banjir pengalaman dengan kriteria budaya yang sepenuhnya baru.

Masyarakatpun kemudian dipahami sama. Ia merupakan konstruksi sosial yang berkembang dari fase yang satu ke fase yang lain. August Comte (1798-1857) menyebutnya sebagai tahap teologis, tahap metafisik hingga akhirnya sampai pada konstruksi fungsional logis-jaman positif. Fase-fase itu bagi August Comte bersifat linear. Artinya, setiap tahap akan ditinggalkan ketika masyarakat sudah sampai pada fase selanjutnya. Tidak berlebihan jika tesis ini men-niscaya-kan abad teknologi sebagai kebenaran logis yang harus diterima setiap manusia dengan menyingkirkan aspek-aspek kebenaran batiniah dan ruhaniah. Tahap teologis dan metafisik –bagi masyarakat fungsional- harus cepat-cepat ditinggalkan agar manusia berada dalam kondisi kemajuan yang dibenarkan oleh jaman positif tersebut.

Situasi yang demikian, akhirnya menggiring umat manusia untuk menggunakan kebenaran logis sebagai ukuran untuk memaknai hidup. Hidup kemudian berada di bawah payung positivisme; yakni kebenaran ilmu pengetahuan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia harus dapat diukur oleh pendekatan positivisme tersebut. Hidup manusia kemudian ditandai dengan ukuran-ukuran

(2)

kemajuan ilmu pengetahuan; bersendikan materialisme3 secara metafisik dan secara etik berpahamkan pragmatisme4. Pada kondisi ini tidaklah salah jika akhirnya pola hidup manusia (hanya) dibayang-bayangi oleh keinginan (nafsu) untuk membuktikan kebenaran keilmuan yang materialistik tadi secara pragmatis an sich dengan menenggelamkan aspek-aspek batiniah-ilahiah.

Akhirnya, hidup manusia pun kemudian menjadi sebuah kompetisi untuk berburu kebenaran yang demikian. Sebuah perburuan yang nyaris tiada henti. Sebuah kompetisi yang harus memenangkan yang satu dengan mengalahkan yang lain. Membenarkan yang satu dengan menegasikan yang lain. Hidup kemudian menjadi panggung gladiator kebenaran; untuk mendapatkan kemenangan maka kebenaran yang lain tidaklah boleh hidup dan berkembang. Inilah situasi (post)modernitas.

Sakit Sosial: Akibat Krisis Masyarakat Modern

Prolog panjang diatas sesungguhnya hanyalah untuk menggambarkan bahwa kini –hidup kita- berada pada bayang-bayang ketidakpastian moralitas. Implikasi logis dari perkembangan peradaban manusia dari fase ke fase telah membuat ketidakpastian tadi bersifat niscaya. Peter L. Berger (1982: 35) melukiskan bahwa masyarakat modern mengalami

anomie5; yaitu suatu keadaan di mana setiap individu manusia

kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan sesama manusia lainnya, sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberi petunjuk tentang tujuan dan arti kehidupan di dunia ini.

Peradaban modern yang kita tinggali ini sebenarnya telah menghadapi tiga masalah pokok yang potensial untuk menyebabkan terjadinya berbagai krisis, yaitu: (1) Kemerosotan tingkat sosial; seperti meningkatnya angka kemiskinan, pengangguran, alienasi, kekerasan, kejahatan, pelacuran, penyalahgunaan obat-obatan, apatisme politik, dehumanisasi, dsb, (2) Penghancuran ekosistem planet bumi yang

3 Materialisme adalah aliran filsafat yang menganggap bahwa kenyataan

terdalam dari alam semesta adalah materi/benda. Satu-satunya realitas yang bisa dikenal dan dipahami adalah tentang benda/materi tersebut.

4 Pragmatisme merupakan aliran dalam etika yang lebih mengedepankan nilai

guna dalam hidup ini. Segala sesuatu dianggap benar jika dia berguna secara praktis dalam hidup manusia, dengan meminggirkan segala sesuatu yang dianggap tidak berguna.

5Anomie adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Émile Durkheim untuk

(3)

semakin tidak terkendali, yang sebenarnya adalah sebuah masalah yang sangat urgen sebab menyangkut kehidupan semua jenis kehidupan di muka bumi, dan (3) Perlombaan masalah senjata oleh berbagai negara yang tampaknya malahan menjadi topik pembahasan utama daripada menyoroti dan menanggulangi masalah-masalah kemanusiaan (Rudolf Rocker, 2002 )

Tidak berlebihan jika Daniel Bell telah cukup lama menyuarakan kegelisahan dan penyesalan atas modernisasi yang telah mencerabut dan melenyapkan nilai-nilai luhur kehidupan tradisional yang digantikan nilai-nilai kemodernan masyarakat yang –materialistik-pragmatik- yang penuh dengan logika keserakahan dan seribu satu nafsu untuk menguasai yang lain. Maka hidup dengan logika ini adalah hidup yang mengedepankan rasionalitas tujuan ketimbang rasionalitas nilai. Yang penting tujuan dapat dicapai; keuntungan pragmatis dapat diraih meskipun harus melanggar common value (nilai yang disepakati bersama). Itulah sebabnya; dunia modern kita akan disesaki oleh manusia-manusia yang sibuk berlomba-lomba mengejar kenikmatan dunia melalui cara-cara praktis-instant. Disebabkan problema ekonomi maka banyak perempuan kita rela menjajakan diri menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK). Disebabkan karena kebuntuan menemukenali masalah, banyak dari anggota masyarakat kita lari ke minum-minuman keras dan narkotika. Dikarenakan impian sesaat menjadi kaya; lari ke meja perjudian6.

Begitu pula lainnya. Ketika gagal memaknai modernisme dengan seperangkat gaya hidupnya banyak yang kemudian menjadi stres dan gila. Meningkatnya penderita gangguan jiwa seiring bertambahnya beban ekonomi dan sosial, menjadi bukti autentik bahwa kondisi sosial di masyarakat semakin menciptakan kekhawatiran dan kesedihan bagi mereka. Kondisi sosial kemasyarakatan sudah tidak memberikan rasa aman dan kepastian hidup bagi semua kalangan masyarakat

Bagi Robert King Merton situasi yang demikian muncul karena adanya kesenjangan antara tujuan-tujuan sosial bersama dan cara-cara yang sah untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dengan kata lain, individu yang mengalami anomie akan berusaha mencapai tujuan-tujuan bersama dari suatu masyarakat tertentu, namun tidak dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut dengan sah karena berbagai keterbatasan sosial. Akibatnya, individu itu akan memperlihatkan perilaku menyimpang untuk memuaskan dirinya sendiri.

6 Apakah pilihan tersebut merupakan pilihan bebas manusia? Ternyata tidak,

(4)

Dalam perspektif sosiologisnya, Emile Durkheim (1858-1917) melihat gejala kiris modern itu dalam skala kehidupan masyarakat sebagai kemunduran (regress) bukannya kemajuan (progress) sebagai kenyataan sosial yang tidak terbantah. Terdapat kerusahan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, pertama-tama berlangsung dalam level pribadi (individu) yang berkaitan dengan motif, persepsi, dan respons (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status, peran dan identitas diri. Kedua, berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang harus menjadi patokan kehidupan perilaku –yang disebut Durkheim- sebagai kehidupan tanpa acuan norma (normlessnes). Pada level kebudayaan, krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat yang disebut sebagai kesenjangan kebudayaan atau ’cultural lag’. Bahwa nilai-nilai dan pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat jauh melampui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan (Haedar Nashir, 1997: 4). Realitas ini oleh Ali Syariati (1952: 57) dilukiskan sebagai penyakit manusia modern sebagai malapetaka modern yang menyebabkan kemerosotan dan kehancuran manusia.

Masyarakat Cacat yang Tidak Merasa Sakit

Banyak usaha dilakukan manusia untuk keluar dari kemelut krisis modernisme tersebut. Kenyataannya berbagai pendekatan yang ‘dilakukan’ oleh mereka hanya akan terus menemui jalan buntu, sementara semua masalah terus bertambah parah. Berbagai penyakit sosial akibat konstruksi masyarakat yang demikian bukannya berkurang, melainkan kian berbukit. Benar kata pepatah; bahwa sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit. Masalah yang kecil tapi kalau dibiarkan bertumpuk maka ia akan seperti bola salju yang lama-lama kian membesar.

Tengok saja kebiasaan kita dalam membiarkan berbagai perilaku menyimpang secara sosial. Perjudian awalnya dianggap sebagai permainan biasa. Yakni permainan untuk melawan kantuk di malam hari atau iseng di siang hari. Kita membiarkan situasi ini terjadi. Secara tidak disadari berkembanglah ia menjadi kebiasaan dalam sebagian anggota masyarakat kita. Begitu juga dengan minum-minuman keras dan narkoba. Awalnya pun hanya sekedar keinginan untuk coba-coba. Atau sekedar pelarian menghadapi suntuknya masalah. Tapi karena dilakukan terus menerus dan bersama-sama maka sebagian masyarakat kita menganggapnya sebagai sebuah perilaku sosial biasa dalam masyarakat.

(5)

maka masyarakat yang terkena penyakit sosial tadi tidak merasakan bahwa dalam tubuh sosialnya –sesungguhnya- terdapat sebuah cacat

(sosial) yang –sayangnya- tidak membawa efek sakit. Penyakit sosial

pada dasarnya adalah realitas penyimpangan dalam masyarakat yang secara kolektif seringkali tidak disadari, tapi dibiarkan sebagai implikasi logis perubahan dalam sejarah manusia.

Kebiasaan untuk membiarkan berbagai perilaku yangmenyimpang secara sosial itu disebut sebagai ommission culture atau budaya pembiaran. Masyarakat (kita) terlanjur suka membiarkan berbagai ketidakpatutan sosial di sekitarnya; karena dianggap bukan menjadi persoalan yang berkaitan dengan dirinya secara personal. Lihat saja; kita termasuk orang yang suka membiarkan kemiskinan di sekitar kita sebagai persoalan biasa. Kita membiarkan orang-orang miskin berjuang sendirian tanpa teman. Kita biarkan mereka mengais rejeki di sampah-sampah. Kita biarkan mereka menjadi pengemis. Kita biarkan mereka menjadi maling; Tragisnya kita kemudian membiarkan perempuan-perempuan dari mereka menjual diri menjadi PSK. Setelah semua terjadi. Kita baru marah pada mereka. Kita maki-maki mereka sebagai penyakit dalam masyarakat, tanpa mampu memberikan solusi atas mereka.

Ketika negara mereloka(lisa)si PSK pada sebuah tempat, kita usir mereka dari tempatnya. Kita pun berteriak bangga bahwa daerah kita terbebas dari penyakit sosial berupa PSK atau minuman keras, dsb. Tanpa disadari bahwa para PSK tersebut hanya berpindah ke tempat lainnya. Begitulah seterusnya cara kita mengobati penyakit sosial. Inikan ibarat ada bau bangkai tikus, kita hanya sekedar menutup hidup untuk menghilangkan bau, tapi tidak dengan menghilangkan sumber bau. Seolah dengan menutup hidung kita sudah menganggap bahwa bau bangkai sudah hilang.

Mengobati Penyakit Sosial

Lalu apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi berbagai penyakit sosial dalam masyarakat kita? Apakah kita harus melenyapkan individu yang menderita sakit secara sosial. Idiom yang sudah menjadi klise, bahwa ”untuk menghilangkan penderitaan dan kemiskinan tidak mungkin membunuh orang-orang miskin dan mereka yang menderita” menjadi benar adanya. Demikian juga untuk melenyapkan berbagai penyakit tidak mungkin negara juga mematikan orang-orang yang terkena penyakit.

(6)

(kriminologi, eugenetika, dan karantina terhadap mereka yang mengalami degenerasi). Ini berarti masyarakat yang sehat harus lebih mendorong supaya masyarakat yang sakit mengalami kehidupan dan normalisasi, dan bukan lagi dikerangkeng dalam kematian dan abnormalisasi yang berkepanjangan. Artinya perlu ada tindakan-tindakan preventif dan persuasive bagi anggota masyarakat yang sedang sakit secara social tersebut.

Pertama, secara preventif, masyarakat harus melakukan berbagai

bentuk usaha untuk melakukan pencegahan agar penyakit-penyakit social tersebut tidak muncul. Pola ini setidaknya harus mengingatkan kita untuk menghidupakan konsep Tri Pusat Pendidikannya Ki Hadjar Dewantara. Bahwa pendidikan yang berfungsi sebagai transfer of knowledge dan transfer or value harus melibatkan tiga pusat pendidikan, yakni keluarga, masyarakat dan sekolah.

Keterpaduan ini mengharuskan ada bentuk-bentuk sinergi dalam aras pendidikan kita untuk memberikan pengetahuan dan nilai (moral) kepada anak didik dan masyarakat. Andaikata kita memisahkan ketiga pusat pendidikan tersebut, bisa terjadi kesenjangan pemahaman dalam diri anak didik. Bagaimana mungkin ketika di keluarda dan di sekolah kita mengajarkan bahwa seksualitas adalah sacral untuk fungsi regenerasi (kreasi), ketika dalam masyarakat kita membiarkan munculnya pemahaman seks hanya sebagai rekreasi; fun; hobby, dsb. Begitu juga sebaliknya. Bagaimana mungkin kita mengajarkan bahwa nilai-nilai luhur harus diwariskan kepada anak-anak kita ketika di media televisi kita membiarkan sinetron-sinetron kita meluluhlantakan keluhuran nilai tersebut.

Kedua, sedangkan secara persuasive tampaknya kita harus meyakini

(7)

Ketiga, relokasi berbagai ketimpangan sosial agar tidak menyebar kemana-mana. Ciptakan iklim kondusif dalam masyarakat agar memiliki kesadaran dalam kebersamaan. Selama ini kan kita –jangan-jangan- lebih mementingkan ego-private kita. Kita memang bersama dalam masyarakat tapi tidak dalam kebersamaan. Masyarakat haruis diberikan sebuah kesadaran bersama untuk menolak dan katakan tidak kepada penyimpangan sosial yang melanggar ketidakpatutan publik. Benarlah apa yang dikatakan oleh seorang filsuf Arab, Abu Hanifah, bahwa kemaksiatan yang diorganisasir akan dapat mengalahkan kebaikan yang berjalan sendiri-sendiri, begitu juga sebaliknya, kebaikan atau kepatutan yang diorganisir akan dapat meminggirkan ketidakpatutan yang berjalan sendiri-sendiri maupun diorganisir.

Catatan Penutup: Epilog Kefilsafatan

UU No.23,1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa:Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial danekonomi. Dalam pengertian ini maka kesehatan harus dilihatsebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur-unsur fisik,mental dan sosial dan di dalamnya kesehatan jiwa dan sosial merupakanbagian integral kesehatan. Kesehatan tidak melulu membincangkan persoalan kesehatan fisik (medik), melainkan juga kesehatan sosial. Bisa jadi secara fisik kita sehat, tetapi secara sosial ternyata dalam diri kita dan dalam masyarakat kita terhinggapi penyakit sosial akut.

Mendekati persoalan tersebut, tampaknya kita membutuhkan banyak pihak untuk terlibat. Salah satunya adalah kajian kefilsafatan. Ditengah ketidakpercayaan banyak orang atas kegagalan (ilmu) filsafat dalam memberikan solusi berbagai problema kehidupan, kini saatnya harus dimulai bahwa tiada problema hidup ini yang dapat steril dari pembahasan kefilsafatan. Meminggirkan nalar filsafat sesungguhnya adalah kekerdilan kita menangkan substansi persoalan. Kegagalan kita dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang membelit bangsa ini;

jangan-jangan karena kepongahan dan arogansi keilmuan kita yang menganggap remeh pendekatan kefilsafatan.

(8)

Referensi

Dokumen terkait

Nomor 5: Pembeli B karena dengan gaya dorong yang sama antara pembeli A dan B, faktor yang mempengaruhi besarnya akselerasi kereta adalah massa benda. Pembeli A membawa kereta

Untuk penggantian Personil bagi kepala teknik/penyelidik, pilih data yang ada pada daftar dengan cara klik radio button, kemudian tekan tombol “Ganti Personil”,

Variabel Struktur Modal tidak berpengaruh secara signifikan, terhadap keputusan investasi pada perusahaan Consumer Good sub sektor perusahaan Makanan dan Minuman

Berdasarkan hasil penelitian yang terlihat pada tabel 3 hasil uji statistik diperoleh p value ≤ 0,05 yaitu 0,01 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan

 Apabila jawaban dari regu wajib jawab kurang tepat atau salah, maka akan diberikan kesempatan kepada regu yang lain setelah bunyi timer..  Pada sesi rebutan, sama seperti pada

Dalam hal terdapat perbedaan data antara DIPA Petikan dengan database RKA-K/L-DIPA Kementerian Keuangan maka yang berlaku adalah data yang terdapat di dalam database

Penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar senantiasa dilakukan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, serta telah memenuhi ketentuan Otoritas Jasa

  In our opinion, the financial statements referred  to above present fairly, in all material respects,  the  financial  position  of  PT  Bumi  Siak