108
D
OING
A
VANT
G
ARDE
:
K
RITIKS
ASTRAP
OSTMODERN Oleh Yongky Gigih PrasiskoAbstrak
109
karya sastra dengan mengungkap keberagaman pengalaman manusia, untuk dibaca secara politis,demi sebuah pengakuan pluralitas yang demokratis, atau bisa disebut dengan proyek politik representasi. Ada unsur radikal dalam model kritik ini yakni, saya menamainya, doing Avant Garde. Titik paling radikal ini adalah kerja bagi kritikus untuk membaca potensi ekstrim ini dalam karya sastra. Doing Avant Garde tidak menganjurkan pembalikan posisi, tidak juga merupakan ekses dari sesuatu yang ditentangnya, tetapi ia adalah sesuatu yang murni baru, yang belum ada sebelumnya dan tidak terikat dengan makna yang sudah mapan sebelumnya. Model kritik ini diharapkan tidak hanya mampu mengungkapkan gerakan meruntuhkan jejaring makna yang mapan, tetapi juga melihat adanya kemungkinan sesuatu yang lahir, yang akan diberikan bentuk dan diisi maknanya oleh sang kritikus.
Kata Kunci : Postmodern, Avant Garde, Sublim, politik representasi.
Kritik Sastra Postmodern Kritik sastra205
yang berurusan dengan pembahasan postmodern kerap merujuk pada nama-nama tokoh seperti Brian McHale, Linda Hutcheon atau Frederick Jameson. Brian Mc Hale secara eksplisit menggunakan istilah fiksi postmodern. Istilah postmodernisme, sama halnya dengan Renaissance dan Romantisisme, merupakan sebuah konstruksi wacana yang membentuk objek tertentu. Sederhananya, ia menjelaskan postmodernisme sebagai karya puitis yang merupakan penerus, ataupun reaksi terhadap, karya sastra modernisme awal abad 20.206
Postmodernisme tidak sesederhana sebuah bentuk diskursif setelah atau kelanjutan dari modernisme, tetapi sebagai konsekuensi historis dari modernisme yang bisa dilihat perbedaan konstruksi diskursif diantara keduanya.207
Perbedaannya terletak pada apa
yang disebut dengan ‘dominan’ yakni komponen utama karya sastra, yang berperan
membentuk, mengatur, dan menentukan serangkaian struktur dalam karya.208
Perbedaan sederhananya yakni dominan karya sastra modern adalah epistemologis, yakni bagaimana manusia menginterpretasi dunia, sebagaimana manusia merupakan bagian di dalamnya. Sedangkan dominan postmodern adalah ontologis, yakni mempertanyakan perihal eksistensi (di balik) dunia, apa itu dunia? bagaimana ia terbentuk? Apa batas-batas yang mebedakan antara dunia-dunia tersebut?209
Dari sini terlihat bahwa McHale secara khusus mengamati model karya sastra yang memiliki perbedaan penyajian wacana melalui bahasanya. Kritik postmodern di sini lebih diarahkan kepada bentuk ataupun strategi karya satra dalam mengkonstuksi wacanannya. Ia menjurus pada semacam klasifikasi yang menyediakan kategori dalam menilai karya sastra.
Tokoh lain, Linda Hutcheon, membahas postmodern dengan lebih kompleks. Postmodernisme adalah sebuah praktik budaya yang bisa dipahami melalui bentuk seni dan
205 Kritik sastra (literary criticism) adalah kajian yang mendefinisikan, mengklasifikasikan,
menginterpretasikan dan mengevaluasi karya sastra. Lihat Abrams, A Glosary of Literary Terms-Ninth Edition,
(Boston:Wadswort Cengage Learning, 2009), hlm 61.
206 Brian McHale, Postmodernist Fiction, (New YorkRoutledge, 1987), hlm 5.
207Ibid., hlm. 6.
208 Roman Jakobson, “The dominant,”
in Ladislav Matejka and Krystyna Pomorska (eds), Readings in.
Russian Poetics: Formalist and Structuralist Views (Cambridge, Mass, and London, MIT Press, 1971), 105–
10. Lihat juga Brian McHale, Op.Cit, hlm 6.
110
pemikiran kontemporer yang secara fundamental kontradiktif, secara tegas historis dan tentunya bersifat politis.210
Ia banyak membahas perihal gaya seni dan pemikiran yang muncul di era kapitalisme lanjut, antara lain arsitektur, karya sastra, seni lukis, seni pahat, film, video, tari, TV, musik, filsafat, teori estetika, psikoanalisa, linguistik atau historiografi/narasi sejarah. Model konsep tentang postmodern dalam karya tersebut bersifat teoretis dan praktis, yang menggunakan parodi untuk merekontekstualisasi dan menghubungkan kembali estetika dalam dan dengan masyarakat, sejarah dan politik. Hubungan tersebut membentuk dua karakteristik yakni ironi – efek nostalgia, rekontekstualisasi bentuk masa lalu akan membuat pernyataan ideologis – dan parodi – hubungan paradoks dengan objeknya, dalam hal ini masa lalu historis dan estetis.211 Pemikiran Hutcheon tentang postmodern ini ujungnya akan mengarah pada model-model gaya, sebagai praktik budaya, atau bisa dikatakan estetika dari karya seni maupun pemikiran yang muncul dalam era kontemporer. Pembahasan Hutcheon tak jauh beda dengan apa yang diajukan Frederic Jameson. Jameson mengaitkan postmodernisme dengan kebudayaan kapitalisme lanjut, seperti seni dan budaya massa, yang memiliki kecenderungan estetika tertentu.212
Postmodern yang telah saya jelaskan di atas, jika dikaitkan dengan kritik sastra, cenderung mengarah kepada analisa bentuk khususnya dalam karya seni maupun sastra, sehingga ujungnya akan mengarah pada analisis jenis, kategori maupun gaya. Postmodernisme juga masih dipahami dalam kerangka historisis: menganggap fenomena modernisme berlangsung di awal abad 20, lalu muncul reaksi terhadapnya (post-). Analisis akan bentuk, gaya maupun kecenderungan estetika telah mengesampingkan persoalan substansi. Kita kurang memperhatikan semangat apa yang diusung oleh postmodernisme, dan apa yang hendak diperjuangkannya. Sedangkan pemahaman postmodernisme secara historis akan menjurus pada anggapan bahwa postmodernisme hanyalah ekses atau konsekuensi dari kondisi dan situasi di awal abad 20. Berangkat dari persoalan ini, mari kita mengalihkan perhatian tentang postmodern dari konsentrasinya pada bentuk ke substansi, untuk lebih memahami:
1. Persoalan apa sebenarnya yang didobrak dan dibongkar oleh postmodern? 2. Apa sebenarnya yang hendak diperjuangkan oleh semangat postmodernisme?
3. Bagaimana ia berjuang melalui gerakan-gerakan kultural melalui seni, filsafat maupun sastra?
Untuk menjawab sekaligus menjelaskan persoalan perihal substansi di atas, maka kita harus menariknya pada titik paling fundamental, yakni filsafat. Hal ini dimaksudkan untuk merumuskan kembali, mulai dari akarnya, kritik postmodern yang lebih substansial. Maka dari itu marilah kita menengok kepada seorang pemikir Perancis yang mendasarkan postmodernisme secara filosofis yakni Jean-François Lyotard.
Lyotard tentang Modern dan Postmodern
210 Linda Hutcheon, A Poetics of Postmodernism, (New York:Routledge, 1988) hlm 4.
211Chris Luebbe, ‘Review: A Poetic of Postmodernism’ MLN, Vol. 105, No. 5, Comparative Literature (Dec.,
1990), pp. 1113-1117, hlm 1114.
212 Frederic Jameson, Postmodernism, Or, The Cultural Logic Of Late Capitalism (Durham:Duke University
111
Lyotard adalah seorang filsuf Perancis yang banyak menaruh perhatian tentangpersoalan politik dan kemanusiaan. Ia mengkaji tragedi kemanusiaan Nazi di kamp konsentrasi Auschwitz tahun 1940 dari sisi filosofis, yang kemudian menguraikan pemikirannya perihat phrase, kaitannya dengan artikulasi pengalaman manusia.213
Phrase merupakan suatu istilah tindak tutur, yang menjelaskan situasi linguistik dan peristiwa yang bersifat independen dari berbagai peristiwa lain. Setiap phrase meliputi empat elemen yang saling berkaitan yakni penutur (addressor), penerima (addresse), acuan (referent) dan makna (meaning). Phrase merupakan peristiwa terkecil dan partikular yang tidak berkaitan dengan waktu lampau, maupun sekarang, tanpa penggerak serta tanpa tujuan. Phrase merupakan peristiwa-peristiwa yang terhubung secara tiba-tiba, dan lepas secara tiba-tiba pula, tanpa logika atau aturan yang tetap. Oleh sebab itu mereka, peristiwa-peristiwa tersebut, terhubung dengan cara yang unik pula. Phrase yang independen dan sistem yang menghubungkan phrase lain disebut Lyotard sebagai différend, yang merupakan pengalaman partikular, dan konflik yang eksis di dalamnya.214
Lyotard mengarahkan pembahasan différend dalam ranah etis dan politik.
Permasalahan kemanusiaan - dekadensi humanitas, gerakan liberalisme dan marxisme, Genosida Nazi, tragedi bom atom Hiroshima dan Nagashak - disinggung sebagai ironi modernitas.215
Persoalan inilah yang mengantarkan pada sikap pemutusan terhadap segala proyek modernitas, dan menuju pada paradigma baru yang disebut dengan postmodern. Modern dan postmodern diasumsikan sebagai dua paradigm yang berbeda.
“I will use the term modern to designate any science that legitimates itself with reference to a metadiscourse of this kind making an explicit appeal to some grand narrative, such as the dialectics of Spirit, the hermeneutics of meaning, the emancipation of the rational or working subject, or the creation of wealth (Lyotard, J.F., 1984: xxiii)”.
Istilah modern digunakan Lyotard untuk merujuk pada ilmu pengetahuan yang melegitimasi dirinya melalui metanarasi, atau kemudian disebutnya dengan narasi besar seperti dialektika roh (Hegel), hermeneutika makna (Dilthey) dan emansipasi (Habermas). Lyotard kemudian secara sederhana menyebut postmodern sebagai ketidakpercayaan terhadap metanarasi216
213
Jean-François Lyotard, The Différend:Phrases in Dispute, translated by Georges Van Den Abbeele,
(Manchester:Manchester University Press, 1988), hlm. 44-45. Kebanyakan bukti tragedi kemanusiaan Nazi tersebut sudah musnah selama perang. Oleh sebab itu para korban kebingungan untuk menuntut keadilan kepada siapa, mereka tidak bisa mengekspresikan kompleksitas pengalaman yang dialaminya ketika Nazi
berkuasa. Maka dari itu dibutuhkan suatu phrase yang mampu menuntaskan keadilan bagi korban. Lalu,
muncullah phrase hukum publik internasional, yang menghasilkan pendirian pengadilan hukum internasional
dan pendirian Negara Israel. Ibid., hlm 56.
214 Lihat Allen Dunn “A Tyranny of Justice: The Ethics of Lyotard's Différend”, boundary 2,Vol. 20, No. 1
(Spring, 1993), pp. 192-220, hlm 195.
215 Yulianto, Fristian, 2005, “Estetika dalam Wacana Posmodernitas:Kritik Jean-François Lyotard atas
Rasionalisme Formalisme Jürgen Habermas”, dalam Sutrisno, Mudji dkk., 2005, Teks-Teks Kunci
Estetika:Filsafat Seni, Yogyakarta:Galagpress. hlm. 131-132.
216
Simplifying to the extreme, I define postmodem as incredulity toward metanarratives. Lihat Lyotard., The
Postmodern Condition:A Report on Knowledge, translated by Geoff Bennington and Brian Massumi,
112
tersebut, karena pengetahuan berdasarkan metanarasi telah menghasilkan teror, tragedi kemanusiaan dan dekadensi moral. Lyotard menolak segala bentuk totalisasi dan memutus segala proyeknya, lalu mengusulkan paradigm postmodern yang merayakan keberagaman ekspresi pengalaman manusia.
Selain fokus pada persoalan kemanusiaan dan politik, Lyotard juga menaruh perhatian pada estetika, dan inilah kemudian yang menjadi basis filosofisnya tentang postmodern dalam ranah seni dan sastra. Lyotard mengadopsi konsep Kant, sublim, sebagai fondasi filosofis dari konsepnya tentang estetika postmodern.
Tentang Sublim
Sublim merupakan perasaan kesenangan dan ketaknyamanan (pleasure and displeasure) yang muncul karena ketidakmampuan imajinasi217
dalam mempresentasikan objek dalam diri subjek, sehingga objek dialami sebagai sesuatu yang chaos (kacau), disorder (tidak teratur) dan disharmony (tidak harmonis). Ketidakmampuan imajinasi dalam usaha pengukuran terhadap terhadap magnitude218
mengindikasikan sebuah pelampauan batas standart sensibilitas sebagai suatu kekerasan terhadap imajinasi, yang kemudian menghasilkan rasa ketaknyamanan. Perasaan senang muncul karena pengalaman sublim selaras dengan hukum-hukum reason, ia timbul secara tidak langsung dalam proses penolakan imajinasi dan ketertarikan reason219
(repulsion and attraction). Presentasi objek yang kacau dan tak teratur menjadikannya sebuah penghadiran objek tak berbentuk (formless), yang juga berarti menghadirkan ketidakterbatasan. Ia juga membangkitkan kemampuan yang tak terbatas dari kapasitas reason. Perasaan sublim muncul karena usaha imajinasi untuk menuju pada ad infinitum (ketakterbatasan) dan reason meminta totalitas absolut. Hal ini menunjukkan sebuah ide yang nyata. Ketidakmampuan pengukuran magnitude kemudian membangkitkan perasaan supersensible dalam diri subjek. Judgement lalu menempatkan objek forma, bukan objek empiris, di dalam perasaan supersensible yang kemudian disebut dengan objek yang agung secara absolut. Jadi sublim adalah segala hal yang dapat dipikirkan, yang membuktikan bahwa pikiran mempunyai kemampuan untuk melampaui standar panca indera.220
Kant membagi dua macam sublim yakni sublim matematis dan dinamis. Sublim matematis muncul ketika keluasan objek melimpah dalam kapasitas memahaminya sebagai sebuah totalitas. Sesuatu yang sublim adalah sesuatu yang agung secara absolut (something
217
Imajinasi adalah kemampuan untuk mempresentasikan objek dalam diri subjek (presentational power).
Lihat Harsawibawa, Estetika menurut Immanuel Kant, (tesis yang tidak diterbitkan, 1997) hlm. 94.
218 Magnitude adalah sesuatu yang sangat besar. Ibid., hlm. 108.
219Reason adalah kemampuan untuk membuat penyimpulan. Understanding berperan mempersatukan
data-data inderawi yang diterima dengan kategori-kategori untuk membentuk judgement-judgement di dalam
pengalaman, sedangkan reason mempersatukan judgement-judgement tersebut menjadi inferensi. ibid. hlm
38-39. Penyimpulan tersebut kemudian akan menghasilkan ide-ide reason. Reason melalui ide memungkinkan
subjek mampu berfikir tentang hal-hal yang mungkin dipikirkan dengan cara menciptakan kondisi-kondisi yang dijadikan forma dari hal-hal yang mungkin tersebut. Artinya, ia mampu membuat subjek memikirkan sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada dengan cara mempersatukan hal-hal yang ada. Oleh sebab itu
subjek dapat berfikir tentang keberadaan Tuhan, kebebasan dan imortalitas jiwa. Ibid. hlm. 40-41
220 Immanuel Kant, Critique of Judgement, translated by James Creed Meredith, Revised, edited, and
113
absolutely great), yang ukurannya melampaui segala perbandingan yang ada. Sesuatu yang agung secara absolut tersebut standart pengukurannya bukanlah alam di luar diri subjek, tetapi di dalam diri subjek melalui ide-ide. Oleh sebab itu ia tidak dapat diukur secara matematis/logis melalui logical jugdgement (disebut juga pengukuran melalui konsep angka), tetapi standar tersebut adalah berdasarkan pada reflective judgement, artinya pengukuran dalam intuisi atau disebut juga pengukuran secara estetis.221
Selanjutnya ada sublim dinamis yakni alam yang dinilai dengan aesthetic judgement sebagai might222
yang tidak memiliki kuasa (dominion11) atas subjek. Judgement terhadap alam sebagai sublim dinamis akan direpresentasikan sebagai sumber ketakutan. Setiap objek sumber ketakutan, jika dipandang secara estetis, bisa menjadi superior terhadap halangan dan rintangan, hanya bila dinilai menurut kekuatan resistensinya. Sublim dinamis muncul ketika mengalami objek yang perkasa (powerful) yang kemudian melimpahi subjek dengan ketakutan akan kehidupan. Sublim dinamis berkaitan dengan sumber ketakutan yakni alam, yang membuat subjek merasa kecil, inferior dan lemah terhadap sesuatu yang sungguh besar dan agung yang dapat mengancam eksistensinya secara fisik.223
Kant kemudian menghubungkan perasaan sublim ini dengan moral. Ia
mencontohkan, “…the righteous man fears God without being afraid of him”224
, artinya bahwa meskipun objek itu menakutkan, bukan berarti subjek takut terhadapnya. Agama seharusnya tidak dilihat sebagai penundukan kehendak. Orang yang relijius seharusnya mampu takjub dan memuja Tuhan, bukan hanya dalam beribadah untuk mengatasi ancaman yang besar. Dalam proses penemuan sublim dalam kapasitas moral, subjek menguatkan pemahaman akan dirinya sebagai kehendak bebas untuk patuh terhadap Tuhan, bukan patuh karena takut terhadap Tuhan. Kesenangan sublim yang didapatkan dalam penemuan kemampuan untuk melawan kekuatan alam, pada akhinya, berkontribusi pada agama, di mana Tuhan akan sunggh-sungguh dihormati.225
Lyotard mengadopsi konsep sublim dari Kant dalam usahanya merumuskan cara berfikir yang dapat melampaui segala representasi. Ia bermaksud menggunakan analisis feeling of différend (sublim atau negative feeling dari Kant) dan menghubungkannya dengan sarana yang mengarahkan pada segala cara berfikir, termasuk berfikir kritis sampai menembus batasnya.226
Sublim terkait erat dengan ide tentang différend. Différend adalah keadaan tidak stabil dan bahasa instan di mana sesuatu harus menjadi phrase yang belum ada sebelumnya. Keadaan ini juga termasuk ke-ter-diam-an (silence), atau disebut juga negative phrase (ketika seseorang tidak dapat menemukan kata yang tepat untuk mengekspresikan pengalamannya).227
Sederhananya différend adalah keadaan keberagaman
221
Crowther 1989:67 Crowther, Paul, 1989, “The Kantian Sublime, the Avant-Garde, and The Postmodern:A
Critique of Lyotard”, (New Formations, Number 7 spring, 1989), hlm. 67.
222Might adalah kemampuan superior terhadap rintangan besar. Lihat Immanuel Kant, Op. Cit., hlm 90.
223 Crowther, Op. Cit.,hlm. 67.
224 Immanuel Kant, Op.Cit., hlm 91.
225
Fiona Hughes Hughes, Fiona, 2010, Kant’s Critique of Aesthetic Judgement:A Readers Guide, (New
York:Continuum International Publishing Group, 2010), hlm. 91.
226 J.F. Lyotard, Lesson on the Analytic of the Sublime, translated by Elizabeth Rottenberg, (California:The
Board of Trustees of the Leland Stanford Junior University, 1994) hlm. x.
114
ketika berbagai pihak berbicara dengan (permainan) bahasa yang berbeda, ketika percekcokan tidak dapat didamaikan, keadaan ketika permainan bahasa, narasi kecil dan phrase saling bertemu, dan tidak bisa menilai satu sama lain, berdasarkan standar dirinya.228 Kaitan tersebut menjelaskan bahwa Lyotard sebenarnya hendak mencari landasan filosofis untuk mendukung idenya tentang différend. Maka dari itu, sublim dirasakan secara subjektif oleh pikiran sebagai différend.229
Jika Kant mengaitkan sublim dengan kesadaran moral, atau menyelesaikan mental konfliktual dengan kesadaran etis, maka Lyotard menyatakan bahwa sublim tidak bisa diselesaikan atautidak bisa direduksi menjadi kesadaran moral.230 Ia membiarkan kondisi yang tak bisa diselesaikan tersebut untuk menyingkap perbedaan-perbedaan di dalam pengalaman manusia, serta mendukung pengungkapan keberagaman masyarakat tanpa ada relasi yang hirarkis. Setiap perbedaan memiliki standart sendiri yang tak bisa digunakan untuk menilai jenis perbedaan yang lain. Ini adalah semangat perjuangan postmodern yang disuarakan oleh Lyotard, semangat memperjuangkan kemanusiaan yang beragam dan demokratis.
Sublim dalam Seni dan Sastra
Sublim sebagai basis filosofis bagi différend adalah sebuah proyek kemanusiaan yang dijalankan melalui filsafat, seni dan karya sastra. Perjuangan itu merupakan agenda yang disebut dengan politik representasi, yakni menyediakan ruang representasi bagi pluralitas makna melalui ekspresi phrase. Ruang representasi ini mengakomodasi hubungan sosial yang demokratis, ia merupakan ruang di mana hubungan sosial beroperasi, dan perjuangan kelas mengambil perannya.231
Lyotard menyatakan bahwa sublim merupakan sebuah model estetika dalam seni maupun sastra yang menjalankan proyek kemanusiaan. Estetika sublim menjadi dasar perjuangan politik representasi
Pengamatan Lyotard terhadap perkembangan karya seni dan sastra, kaitannya dengan pengungkapan pengalaman manusia, mengarahkan pada pembagian dua model estetika sublim, yakni estetika modern dan postmodern. Estetika modern adalah estetika sublim, tetapi bersifat nostalgia.232
Ia menghadirkan the unpresentable hanya sebagai sesuatu yang hilang, terpecah-pecah dan melampaui waktu, seperti karya Proust, tetapi bentuk yang menyajikan the unpresentable, dapat dikenali karena masih konsisten dengan patron aturan bahasa.233
Dengan demikian ia memberikan audiens sebuah tawaran hiburan dan kesenangan. Lyotard kemudian menyatakan bahwa estetika modern masih belum memiliki semangat sublim yang sebenarnya. The real sublim, menurut Lyotard, merupakan kombinasi intrinsik dari pleasure dan displeasure. Pleasure yang dihasilkan karena reason menuntut pelampauan dari segala bentuk presentasi. Displeasure yang dihasilkan karena pengalaman dan imagination subjek tidak sesuai dengan konsep. Estetika postmodern menghadirkan the unpresentable sebagai wujud presentasinya yang tak berbentuk. Ia menolak bentuk yang menghibur dan bentuk yang bagus/indah, yang merupakan konsensus
228
Bill Readings, Introducing Lyotard:Art and Politics, (London and New York:Rotledge, 1991), hlm. xxiii.
115
dari selera, konsensus yang membuat subjek mengalami nostalgia terhadap kepenuhan yangtak pernah bisa dicapai. Estetika postmodern selalu mencari bentuk presentasi baru, bukan untuk menghasilkan hiburan, tetapi untuk menanamkan rasa yang kuat terhadap the unpresentable234
Maka dari itu, seniman atau sastrawan dalam hal ini berada di posisi sebagai filsuf. Karya yang dihasilkannya tidak mengikuti prinsip yang diatur oleh aturan yang mapan, dan ia tidak bisa dinilai berdasarkan patron kategori-kategori tertentu. Aturan dan kategori itulah yang sedang dicari oleh seniman dan sastrawan melalui karyanya. Seniman dan sastrawan berkarya tanpa mengikuti aturan tertentu karena mereka akan memformulasikan aturan selanjutnya. Oleh sebab itu, karya mereka memiliki karakteristik event atau figure. Karya postmodern selalu datang terlambat atau disadari terlalu awal. Hal ini karena pada saat kemunculannya ia tidak bisa dikenali atau dipahami karena ia tidak mengikuti aturan yang mapan pada saat itu. Maka dari itu, postmodern kemudian dipahami dalam paradoks antara masa depan dan masa lampau, atau bisa dikatakan eksistensinya sudah melampaui waktu. Inilah ide yang menarik dari Lyotard, ia mengasumsikan postmodern sebagai pelampauan atas ruang (kategori atau bentuk) serta waktu (sejarah atau historis).
Kritik Sastra Postmodern : Doing Avant Garde
Memahami pemikiran Lyotard tentang postmodern, dan proyek kemanusiaannya yang dijalankan dalam politik representasi, akan mengarahkan pada sebuah model tawaran teori dalam menganalisa sebuah karya baik seni maupun sastra. Landasan filosofisnya berangkat dari sublim – kondisi konfliktual yang tidak bisa diselesaikan - yang kemudian mengaitkannya dengan wacana politik representasi yang bisa diungkap dalam karya sastra. Model analisa ini sebenarnya sudah banyak diutarakan contohnya dalam analisa wacana kritis, analisis wacana Foucault, bahkan yang lebih politis lagi, yakni Pierre Bourdieu. Namun di sini, ada yang berbeda dari ide Lyotard yang saya tawarkan ini, yakni, kita masuk pada kritik radikalnya, doing Avant Garde.
Istilah Avant Garde merujuk pada gerakan artistik yang progresif dalam seni di awal abad
ke-20, seperti aliran dadaisme, surealisme, ekspresionisme, impresionisme dan kubisme.235 Seni Avant-Garde selalu berekperimentasi dengan bentuk dan medium yang baru. Ia kerap keluar dari aturan lama dan membuat jenis estetika yang lain, semangatnya sama dengan postmodern. Contohnya seniman Cézanne yang menentang seniman impresionis, dan membuat post-impresionis. Picasso dan Barque kemudian menentang Cézanne, dan menginisiasi aliran kubisme. Duchamp mendobrak kubisme, dan mempelopori nominalisme dan kemudian Buren mempertanyakan estetika karya Duchamp.236
Artinya setiap aturan tidak diijinkan menjadi mapan, karena yang mapan selalu mendominasi yang lain. Apa yang bisa diambil dari gerakan seni tersebut adalah semangat radikal Avant Garde (doing Avant Garde) untuk melakukan gerakan penggerogotan terus-menerus terhadap sesuatu yang
234 Ibid., 81
235 Richard Murphy, Theorizing the Avant Garde:Modernism, Expressionism, and the Problem of
Postmodernity, (Cambridge:Cambridge University Press, 2004), hlm. 1.
236
116
mapan, kreatif memunculkan makna-makna baru demi mengungkap pluralitas pengalaman manusia. Inilah yang harus dibaca oleh kritikus dalam menganalisa karya sastra.
Tawaran kritik sastra postmodern ini tidak sekedar mengaitkan estetika karya sastra dengan politik atau praktik sosial. Model kritik dengan relasi ini sudah dijelaskan dengan panjang lebar oleh Terry Eagleton dalam The Ideology of Aesthetic. Perhatian pada kritik sastra postmodern yang saya tawarkan adalah mengungkap adanya gerakan meruntuhkan jejaring makna yang mapan, baik itu melalui penemuan istilah baru, pelanggaran terhadap batas-batas konvensi norma, ataupun berbagai macam anomali dalam struktur sosial. Mereka dibaca sebagai bentuk perbedaan yang muncul dalam keberagaman pengalaman manusia, bukan sebagai yang menyimpang, yang salah ataupun yang aneh. Kritik ini juga akan kembali mempertanyakan batas antara karya sastra dan non-sastra, kategori sastrawan, filsuf maupun seniman. Tidak hanya membaca dengan perspektif yang demokratis, tetapi kritikus juga dituntut untuk mengungkap adanya kemungkinan adanya potensi konstruksi makna baru, yang sekali lagi, mesti dikaitkan dengan pengungkapan pengalaman manusia dalam politik representasi. Kritikus membaca ruang-ruang representasi dalam karya sastra dalam perspektif politik, menjustifikasi perbedaan demi sebuah pengakuan keberagaman yang demokratis.
Hal lagi yang paling penting, kritik postmodern ini, karena sifatnya yang radikal, bukan untuk mengungkap adanya alternatif makna sebagai ekses dari makna yang ditentang/dominan – seperti yang dilakukan Derrida - tetapi untuk menangkap adanya makna yang murni baru, Lyotard membahasakannya sebagai here and now, atau disebut juga dengan the unpresentable. Mempresentasikan yang tak terpresentasikan adalah titik paling radikal dari kritik postmodern ini. Agak sulit untuk menjelaskannya karena ia adalah entitas yang belum dikonvensi. Ia adalah eksistensi yang tidak tepat waktu, selalu hadir lebih awal ataupun muncul terlambat. The unpresentable adalah kehadiran yang belum mendapatkan makna maupun bentuk, maka dari itu di sinilah kerja kritikus dituntut untuk berfikir liar dalam mengisi makna dan memberikan bentuk padanya.
Doing Avant Garde: Phrase
Phrase menjadi perangkat analisa dalam kritik sastra postmodern ini. Pelampauan akan waktu sebenarnya mengarahkan pada analisis ruang, tetapi tawaran kritik ini tidak terjebak pada analisis bentuk. Ada semacam semangat perjuangan yang menubuh di dalamnya. Phrase merupakan perangkat analisa yang digunakan untuk mengawinkan analisa keruangan dengan substansi perjuangan postmodern. Ada dua dikotomi antara discourse dan figure. Sederhananya discourse merupakan sistem representasi realitas melalui bahasa, sedangkan figure adalah sesuatu yang tak terwakili oleh sistem bahasa yang mengacaukan aturan representasi, ia merupakan singularitas yang radikal, jejak yang resisten yang secara radikal tak dapat diukur dengan makna dalam discourse, ia berupa visual, alam bawah sadar maupun peristiwa.237
Figure merupakan subsatnsi dari phrase.
117
Analisanya nanti bukanlah perihal analisis struktur formal bahasa, atau sistem representasitetapi mengarah pada visual dalam teks, alam bawah sadar dan peristiwa (event)238 .
Phrase tidak mendapatkan maknanya dari penanda yang merujuk pada petanda dalam sistem representasi pertama (struktural – denotasi) atau dalam sistem kedua (mitologi
– konotasi), tetapi maknanya didapatkan dari hasrat, dalam arti psikonalisis Lacanian. Hasrat adalah sesuatu yang tersisa dari represi subjek terhadap bahasa, yang membuatnya terus merasa kekurangan, sehingga ada potensi agensi untuk membuyarkan wacana dominan. Phrase dipandang sebagai suatu kekutan yang mampu merekodifikasi kode dalam wacana yang mapan. Saya akan memberikan contoh sederhana perihal kapitalisme. Norma tradisional perihal kekerabatan baik keluarga maupun masyarakat akan mengalami rekodifikasi ketika kapitalisme mulai masuk. Kapitalisme mampu mengubah hubungan, misalkan, suami istri menjadi hubungan antarburuh, mengubah hubungan tuan tanah dan pekerja menjadi relasi pemodal dengan buruh. Bentuk kodifikasi lama mampu didekodifikasi lalu menjadi kodifikasi baru. Ada hasrat yang bisa ditangkap sebagai gerakan yang mampu menggerogoti norma yang mapan, dan secara radikal membentuk rumusan baru. Tujuan sebenarnya bukan untuk menenggelamkan yang lama tetapi membuka ruang pluralitas bagi berbagai macam ekspresi pengalaman manusia.
Phrase juga dipandang secara visual, dalam artian picture atau potret. Untuk memahaminya, mari kita coba membicarakan perihal ingatan. Ingatan dalam pengalaman manusia tidak pernah bersifat tekstual, atau tak pernah terangkum sepenuhnya dalam sistem representasi bahasa/tanda. Ingatan kita selalu bersifat visual, yang terkadang muncul dalam mimpi. Setiap potret ingatan manusia akan tereduksi secara masif ketika direpresentasikan melalui sistem bahasa. Dalam phrase, kita memandang teks dalam karya sastra sebagai visual, artinya dalam teks tersebut tersimpan sesuatu yang lebih kompleks dan besar, atau bisa dikatakan sesuatu yang chaos. Ada sesuatu di balik teks yang berpotensi menggoyahkan sistem representasi yang menentukan maknanya.
Terakhir, kita memandang phrase sebagai suatu peristiwa. Sederhananya, peristiwa adalah pengalaman yang menolak untuk direpresentasikan, maka dari itu ia tidak terpahami, tak diketahui maupun tak teridentifikasi, tetapi ia eksis dalam pengalaman manusia. Peran seorang kritikus adalah menggali berbagai macam peristiwa dalam pengalaman manusia yang tidak mampu terartikulasikan melalui bahasa. Kritikus nantinya bisa diarahkan untuk membuat rumusan baru yang mampu mewakili kedalaman pengalaman manusia. Keberlimpahan peristiwa dalam karya sastra akan menjadi makanan empuk bagi kritikus untuk memahami keberagaman pengalaman manusia, dan kemudian memformulasikan formasi representasi untuk mendobrak sistem representasi yang mapan. Gerakan-gerakan pendobrakan ini merupakan usaha, bisa dikatakan radikal, untuk mengungkap pengalaman manusia yang tidak terartikulasikan oleh sistem representasi yang sudah ada. Jika disederhankan, peran kritikus sastra adalah untuk mempresentasikan (pengalaman manusia) yang tak terpresentasikan demi membuka ruang keberagaman yang demokratis.
Model tawaran kritik sastra postmodern ini masih terus saya kembangkan dengan terus mencari kemungkinan yang bisa ditawarkan untuk menganalisa dengan menggunakan
238Event adalah kejadian yang melampaui kemampuan representasi. Ia muncul mendadak, spontan dan brutal,
mengacaukan semua pengalaman dan pemahaman yang dikenali sebelumnya. Lihat Anthony Gritten, “Event”
118
basis filosofis sublim. Tawaran ini setidaknya mampu menjawab model kritik sastra postmodern yang sebelumnya, yang cenderung formal, terjebak pada analisis klasifikasi dan perangkap historis. Kritik sastra postmodern yang saya tawarkan ini mengandung semangat perjuangan yang substansial, yakni pengungkapan keberagaman pengalaman manusia yang demokratis. Ia juga menawarkan pelampauan ruang (bentuk) dan waktu (historis), dengan mengungkap unpresentable yang bentuknya belum dikonvensi dan terlepas dari waktu – konsep here and now menjelaskan bahwa ia merupakan gerakan terus-menerus dalam tenses present.
Postmodernism thus understood is not modernism at its end but in the nascent state, and this state is constant.239
(Postmodern adalah sebuah gerakan meruntuhkan sesuatu yang mapan, yang disebut sebagai modern. Ketika postmodern menjadi mapan maka pada saat itu ia menjadi modern. Postmodern adalah awal, potensi atau bibit dari modern, ketika ia menjadi modern dan mapan maka ia akan menggerogoti dirinya sendiri dan membentuk sesuatu yang baru. Keadaan tidak mengijinkan sesuatu menjadi mapan tersebut, yang berlangsung terus-menerus, nantinya akan membuka ruang keberagaman ekspresi manusia yang demokratis).
Postmodern dalam Perkembangan Kritik Sastra di Indonesia
Sastra postmodern mencoba keluar dari pemikiran yang dikotomis, biner yakni antara tradisi dan modernitas. Bahkan ia bisa mencampurkan tradisionalitas dan modernitas, realitas dengan mitos, sastra dengan legenda, seperti dalam karya-karya realisme magis. Sastra postmodern memberi perhatian pada segala yang diketepikan oleh modernitas, seperti sejarah, kehidupan budaya masyarakat pinggiran, serta di wilayah-wilayah jajahan dan bekas jajahan. Segala sesuatu yang ditepikan tersebut dipahami masih dalam persentuhannya dengan modernitas. Lebih jauh sastra postmodern mencoba keluar dari segala bentuk pemikiran biner atau dikotomis yang dibangun oleh sastra modern, seperti pemisahan antara wacana pengetahuan modern dengan sastra modern, wacana sastra modern dengan jurnalistik, wacana sastra dengan politik, sastra serius dengan sastra populer. 240
Analisanya berupa analisis kultural, diskursif, maupun praktik penandaan.241 Sastra postmodern dipahami sebagai realisme kultural, karena analisanya mengasumsikan bahwa realitas merupakan konstruksi sosial.242
Pandangan ini jika dilacak berasal dari Linda Hutcheon, yang juga menjadi target kritik saya. Dalam kritik sastra postmodern, Faruk menjabarkan ada beberapa model sebagai penegasan realism kultural, yang jika dirangkum antara lain : kritik sastra postmodern menganggap karya sastra sebagai aktivitas diskursif, selalu terkait dengan berbagai diskursif lain, seperti gender, ras, etnik maupun agama. Ia memungkinkan untuk menembus berbagai macam batas – sastra, berita jurnalis, ilmu pengetahuan - serta memungkinkan percampuran batas identitas bangsa, etnis
239
Lyotard, Op. Cit., 1984. hlm. 79.
240 Faruk H.T., Beyond Imagination:Sastra Mutakhir dan Ideologi, (Yogyakarta:Gama Media, 2001), hlm.
25-27.
241 Faruk H.T., Pengantar Sosiologi Sastra:Dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme,
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 145-152.
242Faruk H.T. “Memasuki Dunia Imajiner:Soal Satra Mutakhir dan Kritiknya”, Jurnal Humaniora IV, tahun
119
maupun ras. Kritik sastra postmodern juga berusaha menemukan kemungkinan berbagaisuara yang tidak saling mendominasi. Ia juga memungkinkan penggunaan dan penyalahgunaan berbagai macam wacana.243
Dalam kaitannya dengan kritik sastra postmodern yang saya tawarkan, terlebih dahulu saya harus membedakan antara analisa poststrukturalisme dengan postmodernisme. Poststrukturalisme berangkat dari problem filsafat, maka dari itu ia adalah entitas filsafat. Sedangkan postmodernisme berangkat dari persoalan kultural, sehingga ia adalah entitas kultural.244
Kritik sastra postmodern yang ditawarkan Faruk lebih cenderung kepada analisa poststrukturalisme, atau sederhananya model analisa diskursif (parole). Sedangkan postmodernisme yang saya tawarkan bermula dari persoalan kultural – dehumanisasi, dekadensi genosida – yang merupakan konsekuensi dari totalitarian dan universalisme narasi-narasi besar. Perbedaan yang paling mencolok adalah analisa diskursif memusatkan perhatian pada pengungkapan jejaring wacana, atau rantai penanda-penanda, sedangkan analisa postmodernisme memusatkan perhatian kepada pembongkaran jejaring makna yang mapan. Jika analisis diskursif hendak mengungkap pluralitas wacana, serta kemungkinan konstruksi relasi diantara mereka, maka analisa postmodernisme hendak mencari kemungkinan istilah baru yang berpotensi menjadi wacana baru, yang belum ada sebelumnya. Kritikus dituntut untuk menciptakan istilah baru tersebut yang sanggup mewakili suara-suara yang dibungkam.
Contoh yang bisa saya berikan, dan sengaja saya kaitkan dengan konteks yang dihadapi Idonesia hari ini, adalah persoalan tragedi 65. Berpuluh-puluh tahun kerabat ataupun keluarga korban tragedi tersebut terepresi bahkan bungkam – atau dibungkam – oleh wacana mapan tentang komunisme. Berbagai macam istilah perihal tragedi komunis seperti G30S/PKI, ateis, pemberontak Negara, cenderung bernada negatif bagi kaum komunis. Kerabat keluarga maupun sanak saudara korban tragedi 65 tidak memiliki istilah yang sanggup mengekspresikan pengalaman mereka sebagai pihak yang tidak terlibat langsung dengan peristiwa G30S. Sama seperti yang dirasakan para kerabat korban pembantaian Nazi, yakni kaum Yahudi. Mereka membutuhkan phrase yang mampu mengartikulasikan pengalaman mereka yang terepresi demi menuntaskan keadilan. Kemudian lahir phrase hukum publik internasional, sebagai basis wacana pengadilan hukum internasional.245
Terakhir saya mendengar ada istilah komunisme gaya baru yang kabarnya diutarakan oleh seorang penyair Taufiq Ismail. Istilah komunisme gaya baru yang saya tangkap merujuk pada dugaan kebangkitan kelompok komunis yang hendak melakukan balas dendam246
. Lagi-lagi istilah baru ini cenderung menyudutkan identitas
243 Ibid, hlm 17-19.
244
M. Suryajaya, Imanensi dan Transendensi: Sebuah Rekonstruksi Deleuzian atas Ontologi Imanensi dalam
Filsafat Prancis Kontemporer, (Jakarta:Aksi sepihak, 2009), hlm 127. Pembedaan ini hanya bertujuan untuk
120
komunisme. Beberapa novel kontemporer, sebagai contoh, yang mengandung persoalan komunisme di Indonesia antara lain trilogi novel Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jentera Bianglala, novel Ilham Zoebazary berjudul Titik Balik Kesunyian, dan yang paling baru adalah novel Amba karya Laksmi Pamuntjak. Novel-novel tersebut sangat memungkinkan untuk dikaji dengan kritik sastra postmodern untuk merumuskan sistem representasi baru yang mampu mewakili suara-suara yang selama ini dibungkam oleh wacana dominan, khususnya diskursus warisan orde baru. Representasi baru tersebut diharapkan bisa membuyarkan batas representasi antara komunis, Islam dan Negara, demi memberikan suara bagi pihak yang terepresi untuk mengekspresikan pengalamannya, serta menuntut keadilan. Jika berhasil, sang kritikus berarti telah melakukan doing Avant Garde, minimal ia sudah menjadi radikal sejak di dalam pikiran.
Bibliografi
Abrams, M.H., 2009, A Glossary of Literary Terms:Ninth Edition, Boston:Wadswort Cengage Learning
Crowther, Paul, 1989, “The Kantian Sublime, the Avant-Garde, and The Postmodern:A Critique of Lyotard”, New
Formations, Number 7 spring.
Dunn, Allen, 1993, “A Tyranny of Justice: The Ethics of Lyotard's Différend”, boundary 2,Vol. 20, No. 1 (Spring, 1993),
pp. 192-220, diambil dari http://www.jstor.org/stable/303182 (akses Oktober 2015). Faruk H.T., 2001, Beyond Imagination:Sastra Mutakhir dan Ideologi, Yogyakarta:Gama Media.
, 1994, Pengantar Sosiologi Sastra:Dari Strukturalisme Genetik sampai Post Modernisme, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
, 1997, “Memasuki Dunia Imajiner:Soal Satra Mutakhir dan Kritiknya”, Jurnal Humaniora IV/1997.
Gritten, Anthony, 2011, “Event” dalam Sim, Stuart (Ed), 2011, The Lyotard Dictionary, Edinburgh:Edinburgh University
Press.
McHale, Brian, 1987, Postmodernist Fiction, New York:Routledge.
Harsawibawa, Albertus, 1997, Estetika Menurut Immanuel Kant, Tesis FIB UI yang tidak diterbitkan.
Hughes, Fiona, 2010, Kant’s Critique of Aesthetic Judgement:A Readers Guide, New York:Continuum International Publishing Group.
Hutcheon, Linda, 1988, A Poetics of Postmodernism:History, Theory, Fiction, New York:Routledge.
Jameson, Federick, 1991, Postmodernism or the Cultural logic of Late Capitalism, Durham:Duke University Press. Kant, Immanuel, 2007, Critique of Judgement, translated by James Creed Meredith, Revised, edited, and introduced by
Nicholas Walker, New York:Oxford University Press.
Luebbe, Chris, ‘Review: A Poetic of Postmodernism’ MLN, Vol. 105, No. 5, Comparative Literature (Dec., 1990), pp. 1113-1117, hlm 1114, diambil dari http://www.jstor.org/stable/2905181 (akses Oktober 2015).