• Tidak ada hasil yang ditemukan

kebijakan candu di Hindia Belanda dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "kebijakan candu di Hindia Belanda dari"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Nama : M. Ichsan Budi P NIM : 14407141038 Prodi : Ilmu Sejarah (A)

Kebijakan Candu Pemerintah Hindia-Belanda dari masa VOC

Hingga Awal abad ke 20 ( 1667- 1943)

Abstak

Candu merupakan sesuatu yang tidak asing lagi bagi sejarah perkembangan Hindia-Belanda. Awalnya candu hadir sebagai suatu komoditas dagang biasa, namun, dengan segala pesonanya candu terus hadir dan memiliki sisi menarik dalam sejarah Indonesia. Pemerintah Hindia-Belanda tidak dapat dilepaskan dari peran dan pengaruhnya dalam masalah candu mulai dari perdagangan monopoli dan kebijakan politik. Hal tersebut terus berubah seiring dengan perkembangan zaman dan keadaan politik dan ekonomi yang ada. Peran masyarakat Tionghoa sebagai pedagang yang berperan penting dalam perdagangan candu. Hubungan antara keduanya menghasilkan hal yang menarik seperti kosporasi dan berbagai kecurangan. Namun pada dasarnya setiap kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda dalam candu selalu menghasilkan dampak yang mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi bagi seluruh masyarakat Hindia-Belanda.

(2)

A. Pendahuluan

Candu (Papaversomniferum Papaveraceae) adalah sebuah tanaman yang berasal dari wilayah Asia Barat tepatnya di India, Pakistan dan sekitarnya. Tanaman yang menghasilkan candu disebut juga Opium. Candu setelah diolah berbentuk pasta yang merupakan olahan dari getah opium yang telah di extraksi tersebut dikonsumsi dengan cara yang beragam. Di Jawa pasta candu tersebut di hisap dengan Bong1 lalu

dibakar di sebuah lampu minyak kecil dan asap dari bakaran tersebut dihisap oleh sang penikmat candu. Candu memiliki berbagai efek bagi pemakainya seperti penghilang rasa sakit, anti depresan, dan tentunya menimbulkan kecanduan bagi para pemakainya. Di Jawa saja awal abad ke-16 hingga awal abad ke-20 candu digunakan oleh semua kalangan dan etnis dalam masyarakat dan perdagangan juga industrialisasinya tidak lepas dari peran VOC hingga Pemerintah Hindia-Belanda juga peran etnis Tionghoa di dalam peredarannya.

Berbagai metode digunakan untuk memasarkan candu. Pada awalnya, candu dijual secara langsung oleh VOC setelah Indonesia beralih ke tangan Pemerintah Hindia-Belanda. Berbagai kebijakan mengenai candu terus mengalami perubahan mulai dari monopoli sepihak Pemerintah Hindia Benda juga keterlibatan etnis Tionghoa sebagai pengecer hingga candu terpengaruh kebijakan ekonomi liberal yang berkembang di akhir abad ke-192.

Perdagangan dan Industrialisasi candu di Jawa selalu memberikan pengaruh berbagai perubahan sosial dan ekonomi di Jawa. Artikel ini ditulis agar kita dapat mengetahui bagaimana candu sebagai suatu komoditas dagang tidak pernah lepas dari kebijakan-kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda baik secara politis, ekonomi dan sosial. Dalam setiap perkembangannya candu selalu membawa perubahan sosial dan ekonomi pada masyarakat Jawa.

1Bong merupakan sebuah alat berbentuk pipa hisap sepanjang kurang lebih 25 cm yang terbuat dari bambu, kayu, ataupun gading.

(3)

B. Candu masuk ke Jawa dari masalah politik Mataram menjadi keuntungan VOC

Masyarakat Jawa telah mengenal candu sejak lama diperkirakan sejak orang Tionghoa mulai memperdagangkannya di Indonesia pada abad ke-16 terbukti dengan salah satu falsafah yang diajarkan oleh para wali yang melarang untuk mengkonsumsi madat atau disebut juga candu dalam konsep Malima. Namun, secara jelas alur perdagangan candu di Jawa mulai menjadi bagian penting baru setelah masa VOC memasuki Mataram. Akibat kemenangan Amangkurat II yang melawan pemberontakan Trunajoyo dengan bantuan VOC maka Amangkurat II member konsensi bagi VOC dengan diberinya hak monopoli atas benang tenun dan candu di wilayah Mataram, dengan demikian hanya VOC saja yang berhak memasarkan candu dan menjadi distributor candu di Mataram3.Candu pada mulanya dijual dalam jumlah

sedikit pada para pedagang Tionghoa yang memiliki lisensi saja. Penjualan candu terus menunjukkan peningkatan dari beberapa dekade ke depan bahkan candu menjadi salah satu komoditas impor yang mendatangkan keuntungan besar bagi VOC selain itu juga mendatangkan keuntungan bagi para pedagang Tionghoa sebagai pemegang lisensi candu. Candu didatangkan dari Benggala dan wilayah India yang menjadi kekuasaan VOC4.

C. Dibentuknya Yayasan Societeit van den Amphioen Handel oleh VOC

Diterimanya usul Van Imhoff, maka dibentuklah yayasan yang mengatur perdagangan candu oleh VOC. Yayasan itu bernama Societeit van den Amphioen Handel atau disebut juga Yayasan Amfium. Yayasan ini bergerak khusus dalam perdagangan candu di Jawa yang menangani impor candu dari Benggala dan mengawasi peredarannya dan pemberian lisensinya di Jawa.

3 Capt. R.P, Suyono.Seks dan Kekertasan pada Zaman Kolonial, (Jakarta: Grasindo, 2007), hlm. 78.

(4)

Yayasan Amfium akan membeli candu dari VOC dalam jumlah 1200 peti atau setara dengan 73.000 kologram pertahunnya. Dengan harga tetap sebesar 450 ringgit per petinya dengan berat 61 kilogram franko Belanda per peti nya5. Sesuai akta

pendiriannya ditetapkan bahwa yang berhak menjadi direktur adalah pemegang 10% saham. Sebenarnya Amfium juga merupakan anak perusahaan VOC, jadi setiap keuntungan yang didapatkan oleh Amfium juga menjadi keuntungan untuk VOC. Dengan cara mengedarkan candu kepada pada priayi dan orang-orang kaya baik pribumi maupun orang Tionghoa sehingga dapat meningkatkan permintaan candu dan tentunya penjualannya. Candu sebagai komoditas yang menerima keuntungan bagi VOC tidak pernah menunjukkan penurunan harga maupun permintaan bahkan candu tetap menjadi komoditas yang menguntungkan bagi VOC hingga masa pembubarannya. Kebijakan mengenai candu terus berlanjut sampai VOC dibubarkan dan digantikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda.

D. Candu di bawah Kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda Politik dalam Perdagangan Candu

Setalah VOC dinyatakan bubar oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1799 maka segala urusan VOC mulai dari perjanjian dan juga perdagangan berada di tangan Pemerintah Hindia-Belanda. Tidak terkecuali candu, di bawah penguasaan yang baru maka monopoli perdagangan candu berkembang lebih luas lagi karena berada di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia-Belanda. Pada tahun 1808 Dendeles menghapuskan Amfioen Dorectie6 dan menggantikannya dengan Pachtstelsel7.

Sedangkan sistem pemborangnya disebut Opiumpacht.

5 Ibid., hlm. 82.

6 Amfioem Directie adalah keorganisasian Societeit van den Amphioen Handel

yang kemudian dibubarkan oleh Dendeles karena dianggap masih berkaitan dengan VOC

(5)

Pada tahun 1809, sistem Opimumpacht mulai dilaksanakan di Jawa dan Madura yang dibagi tiap daerah dan menetapkan jumlah candu untuk tiap daerah8. Namun

setelah kekalahan Napoleon Boneparte di Eropa dan Jawa jatuh ke tangan Inggris, kebijakan candu tidak mengalami perubahan yang signifikan pada masa Raffles. Pemborongan candu diubah menjadi perdagangan bebas. Namun, sebenarnya Raffles mengetahui dari dampak buruk opium bagi masyarakat Jawa9. Pada tahun 1815,

Raffles mencoba menghapuskan perdagangan candu di Jawa namun usulan tersebut gagal karena tidak disetujui atasannya di Calcutta. Usaha Raffles dianggap merugikan kepentingan dagang Pemerintah Inggris. Sebagai jalan lain setelah Pemerintah Hindia-Belanda berkuasa kembali maka pada tahun 1824 oleh Raja Willem I10

didirikan sebuah perusahan yang berbentuk perseroan terbatas yang bernama Nedeelandsche Handeles Maatchappij atau biasa di singkat NHM. NHM didirikan dengan modal 37 juta Gulden, dimana Raja Willem I secara pribadi menanamkan modal terbesar sebesar 4 juta Gulden. Raja Willem I juga menjamin para pemegang saham akan dibagi diven tahunan sebesar 4,5%. Raja secara pribadi menjadi pendiri dan pemegang saham utama di NHM dan penjamin perusahaan tersebut. Sehingga dengan demikian kepentingan Nasional Belanda akan jatuh bersama kepentingan Raja. Bahkan Presiden Direktur diangkat langsung oleh Raja Willem. Selanjutnya NHM memegang segala urusan ekonomi Pemerintah Hindia-Belanda sebagai perusahaan swasta. NHM juga memegang hak atas monopoli perdagangan candu dan berbagai regulasinya.

8 Asmi Rahayu, Perdagangan Candu Di JawaAkhir Abad XIX awal abad XX.Skripsi, (Yogyakarta: FIS UNY, 2002), hlm 23-24.

9 Y.P Jokosuyona, Masalah Narkotika dan Bahan Sejenisnya, (Yogyakarta :Kanisius, 1980), hlm. 35.

(6)

E. Oppiumpacht Antara Pedagang Tionghoa dan Pemerintah Hindia-Belanda Keberadaan HNM sebagai pemegang otoritas perdagangan candu otomatis telah menjadikan HNM sebagai Bandar sekaligus pemberi lisensi untuk para pengecer candu selanjutnya maka diterapkanlah oppiumpacht yang telah dimulai di Jawa dan Madura sejak tahun 1809. Dalam hal ini peran Pemerintah Hindia-Belanda dan para pemegang lisensi candu yang didominasi oleh para pedagang Tionghoa sangatlah dominan. Banyak terjadi pertentangan dan juga kerja sama antara keduanya yang terjadi di berbagai tempat dan berbagai perkara. Masa oppiumpacht adalah masa terlama suatu kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda mengenai candu dari awal abad ke-19 hingga awal abad ke-20, meski tiap-tiap undang-undang dalam kebijakan tersebut sering mengalami perubahan yang cukup dinamis tetapi secara garis besar kebijakan oppiumpacht tidak berubah yaitu pemerintah sebagai bandar candu dan penjualan candu selanjutnya diserahkan secara bebas pada para pedagang. Kebijakan ini juga mendatangkan keuntungan yang besar bagi Pemerintah Hindia-Belanda dan para perdagang candu.

Alur dari sistem ini dimulai dari Pemerintah Hinda-Belanda, dimulai dari sebuah pelelangan hak lisensi candu. Hak lisensi disebut oppiumpacht dan para pemegang lisensi disebut Paachater namun lebih familiar disebut dengan Pak-pak candu. Para Pak-pak candu didominasi oleh para penguasa Tionghoa. Dalam sebuah pelelangan seorang Pak-pak candu yang telah memenangkan pelelangan akan mendapat hak membeli candu pemerintah dan menjualnya kembali di suatu wilayah karesidenan, hak ini berlaku selama satu tahun. Seorang Pak akan mendapat kontrak resmi penyewaan sebagai berikut :

1) Pokok kontrak yaitu hak eksklusif untuk menjual opium secara eceran di wilayah yang telah ditentukan dengan jelas.

2) Masa berlakunya kontrak yaitu satu atau tiga tahun.

(7)

11 James R. Rush. Candu Tempo Doeloe. (Jakarta: L Komunitas Bambu, 1012), hlm. 53.

Dari isi kontrak tersebut kita dapat melihat bahwa pemerintah mengatur dengan ketat perdagangan candu mulai dari proses pemberian hak lisensi perdagangan candu melalui lelang pemerintah hingga candu ke tangan konsumen melalui para pengecer yang mendapat candu resmi dari pemerintah. Namun pada dekade berikutnya terjadi perubahan pada wilayah penjualan dan waktu penjualan. Wilayah yang semula terbatas pada satu karesidenan ditambah menjadi tiga karesidenan dan waktu penyewaan yang semula minimal satu tahun menjadi tiga tahun. Di sini mulai tampak adanya unsur-unsur kepentingan dalam perubahan kebijakan tersebut. Keuntungan perdagangan candu yang menggiurkan mengundang potensi kecurangan dan usaha pengambilan keuntungan sebesar-besarnya oleh para pedagang. Para pedagang Tionghoa membujuk pemerintah membuat kebijakan untuk memperlama masa sewa dan memperluas wilayah penjualan. Para Pak opium juga kerap kali berkomplot untuk menjaga agar harga pelelangan tetap rendah, atau jika hasil lelang tidak memuaskan karena alasan lain, pihak Belanda akan melaksanakan lelang kedua atau memberi tawaran-tawaran rahasia12. Seperti yang terjadi pada tahun 1886, 12 dari 20

Pak opium justru dimenangkan di luar pemberi penawaran tertinggi yang seharusnya menang. Diulangnya penetapan-penetapan itu mencerminkan kekecewaan pihak Pemerintah Hindia-Belanda atas hasil financial dari beberapa lelang, di samping keraguan pasca lelang tentang kemampuan-kemampuan managerial dan kepercayaan berbagai kongsi pemenang lelang.

(8)

12 Ibid., hlm. 50.

Namun, ketika para kongsi justru mempertentangkan mengenai hak kewajiban pembayarannya justru pihak Belanda mengajukan tuntutan ke pengadilan.Akibatnya para anggota kongsi ditahan termasuk Tan dan berkewajiban membayar sebesar f600.0013. Hal ini menunjukkan betapa beresikonya sebuah kongsi dan bagaimana

cara Pemerintah Hindia-Belanda menangani kerugian yang ditimbulkan melalui jalur hukum.

Akan tetapi, kejadian dapat juga berbalik sepeti yang terjadi pada kasus Liem Kie Soen, seorang Pak opium Surabaya pada tahun 1817 yang berhasil menuntut Pemerintah Hindia-Belanda atas kerugian-kerugian yang dideritanya ketika terpaksa menutup took opiumnya selama dua hari karena gudang pemerintah tidak bisa memasok opium padanya. Hal tersebut dinilai melanggar kontrak dan pihak pemerintah harus membayar ganti rugi sebesar f150.0014. Hal ini kembali

menunjukkan bahwa kesuksesan oppiumpach tidak sepenuhnya berjalan lancar dari sisi kebijakan maupun keuntungannya. Tetapi memang pada masa ini Pemerintah Hindia-Belanda dalam bisnis opiumnya mengalami masa kejayaannya juga para pedagang Tionghoa. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan semakin parahnya korupsi dan penyelewengan maka pada awal abad ke-20 Pemerintah Hindia-Belanda beralih ke sistem opiumregie di mana Pemerintah Hindia-Belanda menjadi satu– satunya pusat penjualan candu tanpa adanya pihak perantara.

13 Ibid., hlm. 53. 14 Ibid

F. Nederland Hendeles Maatschappij (NHM) Semakin Kuatnya Monopoli

Candu Pemerintah Hindia-Belanda

(9)

Pemerintah Hindia-Belanda dan juga NHM dapat mengambil keuntungan langsung melalui perdagangan kecil yang dapat dilakukan mereka sendiri. Tetapi biasanya hal tersebut dilimpahkan kepada pedagang eceran Cina yang telah mendapat hak khusus dengan harga dan jumlah yang telah ditentukan oleh NHM.

Dalam tiga tahun pertama, perusahaan NHM berhasil menjual 1.725 peti candu dengan berat 16,18 kilogram per petinya. Dengan berat keseluruhan 105 ton candu. Dalam waktu yang sesingkat itu secara keseluruhan NHM telah mendapat keuntungan sebesar 8 juta Gulden15.

Dan dalam catatan Pemerintah Hindia-Belanda sepanjang sejarah pun belum ada suatu komoditas impor yang memiliki pertumbuhan keuntungan secepat candu. Candu yang didatangkan NHM dari Syamara dan Turki terlebih dahulu di tempatkan di Belanda kemudian baru dikirim ke Hindia. Dari alaur ini saja NHM telah mendapatkan keuntungan sebesar 16% di luar biaya operasional yang terhitung seluruhnya.

Jadi tiap tahun rata-rata NHM mendapat keuntungan lebih dari tiga juta gulden. Bila seluruh anak perusahaan NHM yang beroperasi di seluruh wilayah Hindia-Belanda mengalami kerugian sebesar 440.000 gulden tetapi karena oppiumpacht mereka mendapat keuntungan seperempat juta gulden di tahun yang sama.

15 Capt. R.P. Suyono. Op.cit., hlm. 85.

Pendapatan dan Pengeluaran

(10)

Penerimaan

1. Penjualan Hasil Produk di Negeri Belanda 970,6 Penjualan Hasil Produk di Hinda-Belanda 125,8

Jumlah 1.096,4 2. Pendapatan dari candu 176,9

3. Jenis monopoli lain 100,5

Jumlah 277,4

4. Sewa Tanah 191,64

Cukai 140,35

Lain-lain 192,1

Jumlah 524,09 Total (dimana 927 gulden dari Hindia) 1.897,89

Pengeluaran

1. Biaya Produksi 477,9 2. Biaya Pemerintahan 488,8 3. Biaya untuk garam dan candu 349,2

Total 1.371,4

Dari jumlah 1.371,4 juta gulden, 128,9 juta gulden di tanggung negeri Belanda dan 1.242,5 menjadi tanggungan Hindia

(11)

pengeluaran serta digunakan sebagai kebutuhan yang penting disetarakan dengan garam sebagai kebutuhan pokok.

G.Opium Ragie Pemerintah Hindia-Belanda Menjadi Penguasa Mutlak Candu

Pada tahun 1894, dilakukan percobaan suatu kebijakan yang dinamakan Opium Ragie atau pajak langsung opium. Hal ini diterapkan di Madura. Di bagian ini candu dalam bentuk langsung atau “Candu Hisap” dijual langsung oleh pemerintah melalui para pegawai yang ditentukan pegawai tersebut setara dengan pegawai pos. Namun sebelum kebijakan Opium Ragie diterapkan di seluruh wilayah Hindia-Belanda terlebih dahulu pemerintah Belanda mengutus seorang anggota dewan Hindia-Belanda yang bernama W.P Groeneveldt untuk mempelajari kebijakan serupa yang diterapkan Prancis di wilayah jajahannya di Indo Cina16.

Baru pada 1 Oktober tahun 1920 Opium Ragie diterapkan di seluruh wilayah jajahan Hindia-Belanda. Sebagai langkah pertama pemerintah Hindia-Belanda melakukan pemborongan atas candu para Pak Opium yang mendapat candu dari kebijakan sebelumnya. Kemudian candu tersebut disimpan di gudang resmi milik pemerintah dan diberi tulisan “Candu Negara dijual di sini” dalam bahasa Belanda, Cina dan bahasa daerah setempat17.

Mulai dari masa inilah pemerintah menjadi pemilik sekaligus penjual tunggal candu di seluruh Hindia-Belanda. Gubernur Jenderal menetapkan dan mengatur ketentuan mulai dari pemasokan, pembungkusan dan pendistribusian hingga penjualan candu di daerah yang ditentukan. Kebijakan ini ditunjang juga dengan dibuatnya pabrik candu di Hindia-Belanda oleh pemerintah. Pabrik candu pertama beroperasi di daerah Kramat Batavia sejak tahun 1893 yang pada tahun 1901 di dimodernisasi dengan dipasangnya alat-alat pengolahan candu yang lebih besar bertenagakan uap, untuk menaikkan produktifitas candu18 berton-ton candu mentah

(12)

memproduksi candu sendiri akan meningkatkan keuntungan penjualan candu pemerintah.

Candu yang dijual pemerintah terbagi menjadi beberapa jenis. Pertama adalah candu Regie, yaitu candu siap pakai yang berbentuk pasta. Selanjutnya adalah Jicing atau lebih sering disebut Tike, jenis candu ini berupa residu pembakaran candu yang dicampur dengan daun awar-awar yang sebelumnya telah dikeringkan terlebih dahulu. Tike merupakan candu yang paling umum digunakan di Jawa karena dinilai baik dan harganya lebih murah dari pada candu Regie. Yang terakhir adalah Jicingko disebut juga dengan Kletet, candu ini merupakan residu dari Jicing yang telah di campur dengan air. Jenis candu ini merupakan yang pamiagran dan biasanya untuk saran pengobatan ataupun campuran bagi para konsumen candu kelas rendah.

Untuk membungkus candu pemerintah membungkusnya dalam sebuah tube/ kaleng, pada kaleng tersebut tertera bulan dan tanggal pengisian candu juga logo pemerintah sebagai merk dagang. Selanjutnya tube tersebut dimasukkan dalam kardus lalu dimasukkan lagi dalam peti kayu untuk didistribusikan. Candu yang dijual pemerintah menggunakan satuan ukur yang disebut Mata namun orang Jawa lebih sering menyebutnya dengan Umpling. Tabel ukuran candu adalah sebagai berikut:

Kode Mata Berat (Gram)

A 1/2 193

B 1 386

C 2 772

D 5 1 gram 930

E 12 ,5 4 gram 825

F 25 9 gram 650

Sumber :Encyclopedie Van Nederlansch-Indie

(13)

dinas di suatu karesidenan di bawahnya adalah asisten kolektor yang membawahi beberapa depot yang diatur oleh mantra dan asistennya.

Untuk menentukan pembuatan depot penjualan candu maka Kepala Daerah setempat dengan persetujuan Residen dan Kepala Dinas Opium Ragie menentukan tempat yang akan dibangun sebagai tempat penjualan candu dan biaya perawatan serta pembangunannya ditanggung oleh pemerintah. Sebuah tempat penjualan candu wajib memasang daftar harga candu agar pembeli dapat mengetahui harga candu dengan jelas. Secara umum harga candu ditentukan pemerintah daerah setempat dengan persetujuan Dinas Opium Ragie. Hal tersebut disebabkan karena tingkat daya beli dan jenis candu yang diminati konsumen berbeda pada setiap daerahnya. Seorang pemilik warung candu akan mendapat surat perjanjian yang berisi sebagai berikut:

1. Nama pemilik.

2. Bangunan atau bagian bangunan yang digunakan sebagai warung. 3. Jumlah Jicing terbanyak yang disediakan di sebuah pipa.

4. Orang yang minta izin memakai candu harus memberikan orang yang diangkat sebagai wakil atau pelayan dari warung candu19.

Kemudahan dalam mendirikan warung candu dan mendapatkan candu dari pemerintah menjadikan semakin berkembag pesatnya warung candu di berbagai tempat hingga daerah perkebunan dan pasar-pasar di pedesaan. Di perkebunan candu banyak disediakan oleh para pengelola yang bekerjasama dengan depot untuk mendirikan warung candu bagi para buruh perkebunan. Sedangkan di pasar konsumen candu di dominasi oleh para kuli angkut pasar.

(14)

juga tidak hilang begitu saja namun mereka justru memberi modal pada para depot untuk membuka warung candu sesuai dengan keinginan mereka.

H. Kesimpulan

Sebagai suatu komoditas perdagangan yang memberi keuntungan yang besar, candu selalu menjadi “perebutan” antara kepentingan Pemerintah Hinda-Belanda dan para pedagang. Di sini yang dimaksud adalah para pedagang Tionghoa. Pemerintah meski membuat berbagai kebijakan mengenai candu mulai dari perdagangan, pendistribusian hingga produksi tetap tidak akan lepas dari peran pada pedagang Tionghoa. Masa kejayaan candu sendiri terjadi saat diterpakannya kebijakan Opiumpacat dimana pemerintah menarik hak-hak perdagangan candu para pedagang Tionghoa, pada masa ini candu semakin luas menyebar ke seluruh Jawa dengan jaringan dagang yang luas dan kuat. Para Pak-pak candu Tionghoa menguasai hampir seluruh Karesidean di Jawa.

Dengan hal tersebut dapat dipastikan bahwa setiap Karesidenan tersebut terdapat tempat percanduaan. Namun, kebijakan ini mengundang berbagai kecurangan seperti korupsi dan kolusi dalam pelaksanaannya. Para Pak-pak candu sering melakukan suap pada para pejabat kolonial demi keuntungan bisnis candunya.

Setelah berjalan lama, sistem Opiumpacat akhirnya dihapuskan dan diganti dengan sistem Opiumregie. Pada sistem ini peran Pemerintah Hindia-Belanda semakin kuat. Pemerintah berperan sebagai pedagang tunggal. Candu dibeli langsung dari pemerintah tanpa perantara pihak kedua. Namun pada sistem ini peran pedagang Tionghoa tidak hilang, mereka menjadi pemilik tempat percanduan dan tetap menguasai pengorganisasiannya.

(15)

Darftar Pustaka

Buku

James R. Rush. Candu Tempo Doeloe. Jakarta: Komunitas Bambu, 2013.

Cribb, Robert dkk. Kamus Sejarah Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu, 2012. Capt. R.P. Suyono. Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial. Jakarta: Grasindo,

2007.

Tim Nasional Penulisan Sejarah. Sejarah Nasional Indonesia jilid 2. Jakarta: Balai Pustaka, 2009.

Skripsi

Asmi Rahayu. “Perdagangan Candu di Jawa Akhir Abad XIX Awal Abad XX”. Yogyakarta: Skripsi S-I Universitas Negeri Yogyakarta, 2002.

Referensi

Dokumen terkait

In accordance with the research design, the hypothesis of this study is formulated as follow: If the teaching of English using songs to the cadets of

Berdasarkan hal tersebut, maka muncullah gagasan untuk membuat produk fashion menggunakan teknik quilting hand made dengan motif bunga empat musim China atau the four flowers

Tahap kegiatan merupakan tahap inti dari kegiatan bimbingan kelompok.Dalam tahap ini, pembahasan topik dilakukan dengan menghidupkan dinamika kelompok.Tahap kegiatan

Berdasarkan fenomena dan latar belakang di atas, peneliti ingin mengetahui lebih dalam tentang bagaimana gambaran makna hidup pemain sepak bola Arema di tengah ketidakpastian

a) Kondisi lingkungan perancangan merupakan tempat singgahan penyu untuk bertelur dengan kondisi alami tumbuhan masih terjaga, sehingga dapat dijadikan media pendidikan

Melalui pelaksanaan Emotional Activities Approach Learning (Pendekatan Pembelajaran yang Mengembangkan Minat dan Perhatian Peserta Didik) sebagai fasilitator dan

Menurut Harahap (2001:267) yang dimaksud dengan laba adalah “perbedaan antara realisasi penghasilan yang berasal dari transaksi perusahaan pada periode tertentu