• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. 2.1 Kerangka Teori Pelecehan seksual. A. Pengertian Pelecehan Seksual

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. 2.1 Kerangka Teori Pelecehan seksual. A. Pengertian Pelecehan Seksual"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Kerangka Teori 2.1.1. Pelecehan seksual

A. Pengertian Pelecehan Seksual

Menurut Sarwono (2006) dalam Lumongga (2013:75) perilaku seks bebas adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik yang dilakukan sendiri, dengan lawan jenis, maupun sesama jenis, tanpa adanya ikatan pernikahan menurut agama. Menurut Stuart dan Sundeen (1999) dalam Lumongga (2013:75), perilaku seksual yang sehat dan adaptif dilakukan ditempat pribadi dalam ikatan yang sah menurut hukum. Menurut Irawati (2002) dalam Lumongga (2013:75) remaja melakukan berbagai macam perilaku seksual yang beresiko yang terdiri atas tahapan-tahapan tertentu, yaitu dimulai dari pegangan tangan, cium kening,cium basah,berpelukan,memegang atau meraba bagian sensitif, petting, oral sex, dan senggama (sexsual intercourse).

Menurut Mathis dan Jakson (2001) dalam Lumongga (2013:137), pelecehan seksual adalah pelecehan yang terjadi di tempat kerja berhubungan dengan tindakan yang ditujukan kearah seksual,dan menempatkan tenaga kerja yang merugikan atau menciptakan lingkungan kerja yang tidak bersahabat.

Harapan Permat Hati Kita (2005) dalam Lumongga (2013:138) mendefenisikan pelecehan seksual sebagai tindakan yang mengganggu, menjengkelkan, dan tidak diundang yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap pihak lain, yang berkaitan langsung dengan jenis kelamin pihak

(2)

yang diganggunya dan dirasakan menurunkan martabat dan hargat diri orang yang diganggunya.

Secara umum yang dimaksud dengan pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau mengenai kepada hal- hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti malu, marah, benci, tersinggung, dan sebagainya pada diri individu yang menjadi korban pelecehan tersebut.

B. Bentuk -Bentuk Pelecehan Seksual

Menurut Kelly (1998) dalam Lumongga (2013:115) ada tiga golongan bentuk pelecehan seksual, yaitu:

1. Bentuk visual : tatapan yang penuh nafsu, tatapan yang mengancam, dan gerak-gerik yang bersifat seksual.

2. Bentuk verbal : siulan, gosip, gurauan seks, dan pernyataan yang bersifat mengancam.

3. Bentuk fisik : sentuhan, mencubit, menepuk, menyenggol dengan sengaja, meremas, mendekatkan diri tanpa diinginkan.

Menurut Indriyanti (2005) dalam Dharma (2009:3) bentuk pelecehan seksual adalah:

1. Bentuk visual :memperhatikan wanita sambil mendecakkan lidah, memandangi korban dari atas ke bawah.

(3)

2. Bentuk verbal : memberi komentar mengenai penampilan fisik (badannya seksi), mengemukakan gurauan-gurauan porno, memberi komentar mengenai bagian-bagian tubuh wanita (betis, pantat, dsb), mendesak wanita untuk kencan (nonton, makan malam, dsb) terus menerus menanyakan aktivitas seksual wanita, menyombongkan aktivitas seksualnya kepada wanita, menelpon dan dengan nada menggoda bertanya: mau nggak sama saya.

3. Bentuk fisik : menggelitik tangan saat bersalaman, menyentuhkan tangan ke paha, mendekatkan tangan ke paha, mendekatkan wajah dan badannya kearah wanita, menyentuh tangan saat bicara, menyentuh lutut, merangkul wanita, menyenderkan tubuhnya ke tubuh wanita, memijat-mijat bahu, menyenggolkan pantat ke pantat wanita, menepuk pantat wanita, memegang pinggang, melempar pantat dengan kertas, berusaha mencium wanita, membelai-belai kepala/rambut korban.

Menurut Imran (1998) dalam Karliana & Prabowo (2014:1381) memaparkan adanya bentuk-bentuk pelecehan seksual antrara lain:

1. Menggoda atau menarik perhatian lawan jenis dengan siulan.

2. Menceritakan lelucon jorok atau kotor pada seseorang yang merasakan sebagai merendahkan martabat.

3. Mempertunjukkan atau memasang gambar-gambar porno berupa kalender, majalah atau buku bergambar porno kepada orang yang tidak menyukainya.

(4)

4. Bertanya atau menginterogasi seseorang atau bawahannya mengenai kehidupan pribadi atau kehidupan seksualnya.

5. Memberikan komentar yang tidak senonoh pada penampilan, pakaian atau gaya seseorang.

6. Terus-menerus mengajak kencan seseorang yang jelas-jelas tidak mau.

7. Berkomentar yang merendahkan atas dasar sterotype gender (misalnya: dia tidak mungkin akan sanggup memimpin aksi ini karena dia seorang perempuan).

8. Menggerakkan tangan atau tubuh secara tidak sopan kepada seseorang.

9. Memandangi atau mengerling kepada seseorang tanpa dikehendaki. 10. Menyentuh, menyubit dan menepuk tanpa dikehendaki.

11. Mengamat-amati tubuh seseorang secara berlebihan tanpa dikehendaki.

12. Mencium dan memeluk seseorang yang tidak menyukai pelukan tersebut.

13. Meminta imbalan seseorang atas pekerjaan, kondisi kerja yang baik atau supaya tidak dikeluarkan dari pekerjaan.

14. Perbuatan yang tidak senonoh yakni memamerkan tubuh telanjang atau alat kelamin pada seseorang yang terhina karenanya.

15. Telepon atau surat cabul.

(5)

Adapun bentuk-bentuk pelecehan seksual menurut Kusmana (2005) dalam Karliana & Prabowo (2014:1381) digolongkan ke dalam tiga bentuk yaitu:

1. Bentuk visual, yaitu pandangan atau tatapan yang penuh nafsu.

2. Bentuk verbal, berupa olok-olok, gurauan, pernyataan atau pertanyaan yang bersifat seksual dan tidak diinginkan, surat-surat, telepon dan benda-benda yang bersifat seksual yang tidak diinginkan, desakan untuk berkencan.

3. Bentuk fisik, berupa perkosaan, baik yang masih berupa percobaan maupun yang sudah merupakan tindakan yang nyata, sentuhan, sandaran, penyudutan atau cubitan yang tidak diinginkan, gerakan-gerakan yang bersifat seksual dan tidak diinginkan.

C. Faktor Penyebab Terjadinya Pelecehan Seksual 1. Pengaruh pornomedia massa

Pornomedia merupakan alat atau sarana yang digunakan dalam mengekspost hal-hal yang bersifat cabul. Hal ini disebabkan karena rangsangan dan pengaruh yang ditimbulkan dari konten-konten prno yang pada gilirannya dapat menimbulkan kecanduan bagi yang membaca dan melihatnya.

Pada era globalisasi sekarang ini, memungkikan mudahnya setiap orang mendapatkan sajian mengenai kehidupan seksual dengan gamblang. Hal ini merupakan dampak dari pengaruh jaringan media telekomunikasi terkhusus nya media internet. Internet menjadi bagian dari media massa, telah memegang kendali penting dan menjadi bagian dalam peradaban umat manusia saat ini. hal ini disebabkan karena kemampuan istimewanya dapa menjangkau informasi hingga seluruh permukaan dunia

2. Ketidakpahaman anak akan persoalan seksualitas

Seksualitas mencakup banyak aspek, yaitu: pikiran, perasaan, sikap, dan perilaku seseorang terhadap dirinya. Pemahaman akan seksualitas dapat diperoleh melalui pendidikan seks melalui proses berkesinambungan.

(6)

Berawal dari masaa kanak-kanak hingga dewasa. Tujuan bukan menggali informasi sebanyak banyaknya, melainkan agar dapat menggunakan informasi secara fungsional dan bertanggungjawab sehingga mengetahui sejak dini apa yang boleh dan tidak boleh oleh agama. Pendidikan seks diberikan kepada anak secara bertahap, sesuai dengan usia seorang anak. Usia 2 tahun seorang anak sudah dapat diberikan pengajaran mengenai seksualitas. Yaitu dimulai dengan pengenalan anatomi tubuhnya dan menjelaskan bagian-bagian tubuh yang tidak boleh disentuh ataupun dilihat oleh orang lain. Membiasakan menutup aurat bagian dari pendidikan seks.

3. Lingkungan

Fenomena yang ada pada perilaku pelecehan seksual tersebut disebabkan oleh banyak masalah pelecehan seksual yang di mengerti hanya sebagai masalah perorangan serta kurang informasi pada masyarakat tentang masalah pelecehan seksual.

D. Dampak Pelecehan Seksual

Menurut O’Donohue (1997) dalam Lumongga (2013:117) dampak pelecehan seksual terdiri dari:

1. Dampak psikologis

Sebagian besar penelitian menghasilkan bahwa korban pelecehan seksual merasakan beberapa gejala yang sangat bervariasi, diantaranya merasa menurunnya harga diri, depresi, kecemasan, ketakutan,

(7)

terhadap perkosaan, serta meningkatnya ketakutan terhadap tindakan-tindakan criminal lainnya.

2. Dampak fisik

Dampak fisik berikut ini telah tercatat dalam literatur yang membahas tentang pelecehan seksual, diantaranya sakit kepala, gangguan makan, gangguan pencernaan (perut), rasa mual, menurun atau bertambahnya berat badan dan memanggil tanpa sebab yang jelas.

2.1.2 Bimbingan Kelompok

A. Pengertian Layanan Bimbingan Kelompok

Layanan bimbingan kelompok merupakan suatu cara memberikan bantuan (bimbingan) kepada individu (siswa) melalui kegiatan kelompok. Dalam layanan bimbingan kelompok, aktivitas dan dinamika kelompok harus diwujudkan untuk membahas berbagai hal yang berguna bagi pengembangan atau pemecahan masalah individu (siswa) yang menjadi peserta layanan.

Beberapa pengertian menurut para ahli tentang bimbingan kelompok. Menurut Gazda dalam Prayitno dan Amti (2008:309) “bimbingan kelompok merupakan kegiatan informasi dengan sekelompok siswa untuk membantu mereka menyusun rencana dan keputusan yang tepat”.

Menurut Thohirin (2011:170) mengemukakan bahwa:

“Bimbingan kelompok merupakan suatu cara memberikan bantuan (bimbingan) kepada individu (siswa) melalui kegiatan kelompok. Dalam layanan bimbingan kelompok, aktifitas dan dinamika kelompok harus diwujudkan untuk membahas berbagai hal yang berguna bagi pengembangan atau pemecahan masalah individu (siswa) yang menjadi peserta layanan”.

(8)

Selain unsur terpenting yaitu anggota kelompok, bimbingan kelompok juga perlu adanya unsur penting lainnya yaitu dinamika kelompok, seperti yang dikatakan oleh Prayitno (2004:178) bahwa bimbingan kelompok adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan memanfaatkan dinamika kelompok.Selanjutnya dijelaskan oleh Prayitno dan Amti (2008:309) menyatakan bahwa bimbingan kelompok adalah layanan yang diberikan dalam suasana kelompok.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa bimbingan kelompok merupakan suatu upaya pemberian bantuan dan pemberian informasi kepada suatu kelompok atau sejumlah siswa, yang dilakukan oleh seorang ahli untuk mencapai tujuan tertentu dengan suasana kelompok.Melalui layanan bimbingan kelompok, diharapkan individu dapat membuat keputusan yang tepat, serta dapat memperbaiki diri sehingga dapat tercipta kehidupan sehari -hari yang efektif.

B. Tujuan Layanan Bimbingan Kelompok

Setiap kegiatan yang dilakukan pasti mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapai, begitu pula dengan layanan bimbingan kelompok.

Menurut Tohirin (2011:172) mengemukakan bahwa:

“Secara umum layanan bimbingan kelompok bertujuan untuk pengembangan kemampuan bersosialisasi, khususnya kemampuan berkomunikasi peserta layanan (siswa).Secara lebih khusus, layanan bimbingan kelompok bertujuan untuk mendorong pengembangan perasaan, pikiran, persepsi, wawasan dan sikap yang menunjang perwujudan tingkah laku yang lebih efektif, yakni peningkatan kemampuan berkomunikasi baik verbal maupun non verbal para siswa”.

Tujuan bimbingan keolompok juga dapat dilihat dari dua sisi yaitu tujuan secara umum dan tujuan secara khusus, seperti yang dijelaskan oleh Prayitno

(9)

(2004:2) tujuan bimbingan kelompok dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan secara umum dan tujuan secara khusus.Tujuan umum layanan bimbingan kelompok adalah berkembangnya kemampuan sosialisasi siswa, khususnya kemampuan komunikasi peserta layanan. Sedangkan tujuan khusus layanan bimbingan kelompok bermaksud membahas topik-topik tertentu yang mengandung permasalahan aktual (hangat) dan menjadi perhatian peserta. Melalui dinamika kelompok yang intensif, pembahasan topik-topik itu mendorong pengembangan perasaan, pikiran, persepsi, wawasan, dan sikap yang menunjang diwujudkannya tingkah laku yang lebih efektif. Dalam hal ini kemampuan berkomunikasi, verbal maupun non verbal ditingkatkan.

C. Tahap-Tahap Layanan Bimbingan Kelompok

Seperti berbagai jenis kegiatan lainnya, setiap kegiatan pasti memiliki tahap-tahap dalam pelaksanaannya.Prosedur pelaksanaan layanan bimbingan kelompok dibagi menjadi empat tahap. Menurut Prayitno (2004:40-60) tahap-tahap bimbingan kelompok yaitu tahap-tahap pembentukan, tahap-tahap peralihan, tahap-tahap pelaksanaan kegiatan, dan tahap pengakhiran. Pada masing-masing tahap tersebut mempunyai sub-sub tahap dalam pelaksanaan bimbingan kelompok. Di samping keempat tahap tersebut masih adal yang disebut tahap awal. Tahap awal berlangsung sampai berkumpulnya para anggota kelompok dan dimulainya tahap pembentukan. Berikut ini merupakan penjelasannya:

1. Tahap Pembentukan

Tahap pembentukan yaitu tahapan untuk membentuk kerumunan sejumlah individu menjadi satu kelompok yang siap mengembangkan dinamika

(10)

kelompok dalam mencapai tujuan bersama.Tahap ini merupakan tahap pengenalan dan keterlibatan anggota ke dalam kelompok dengan tujuan anggota lebih memahami maksud dan tujuan bimbingan kelompok.Pemahaman ini memungkinkan anggota untuk berperan secara aktif dalam bimbingan kelompok dan selanjutnya dapat menumbuhkan minat untuk mengikuti bimbingan kelompok.Tahap ini juga bertujuan untuk menumbuhkan suasana saling mengenal, saling percaya, saling menerima, dan membantu antar anggota kelompok. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah pengungkapan pengertian dan tujuan dari kelompok dalam rangka pelayanan bimbingan dan konseling, penjelasan cara dan asas-asas bimbingan kelompok, perkenalan dan pengungkapan diri dari anggota kelompok, serta melakukan permainan keakraban bila diperlukan.

2. Tahap Peralihan

Tahap peralihan atau disebut juga tahap transisi merupakan tahap untuk mengalihkan kegiatan dari tahap pembentukan ke tahap kegiatan yang lebih terarah pada pencapaian tujuan kelompok.Pada tahap ini pemimpin kelompok menegaskan jenis bimbingan kelompok yaitu tugas atau bebas. Kegiatan yang dilakukan oleh pemimpin kelompok pada tahap ini adalah menjelaskan kegiatan yang akanditempuh pada tahap berikutnya, menawarkan atau mengamati apakah para anggota sudah siap menjalani kegiatan pada tahap selanjutnya, membahas suasana yang terjadi, dan meningkatkan kemampuan keikutsertaan anggota kelompok. Pada tahap peralihan, anggota dimantapkan lagi sebelum masuk ke tahap selanjutnya.Anggota juga ditanya mengenai

(11)

harapan yang ingin dicapai dalam kegiatan bimbingan kelompok. Setelah jelas kegiatan apa saja yang harus dilakukan maka tidak akan muncul keraguan atau belum siapnya anggota dalam melaksanakan kegiatan dan manfaat yang diperoleh setiap anggota kelompok.

3. Tahap Kegiatan

Tahap kegiatan merupakan tahap inti dari kegiatan bimbingan kelompok.Dalam tahap ini, pembahasan topik dilakukan dengan menghidupkan dinamika kelompok.Tahap kegiatan ini merupakan kehidupan yang sebenarnya dari kehidupan kelompok.Tujuan yang hendak dicapai dalam tahap ini yaitu terbahasnya secara tuntas permasalahan yang dihadapi anggota kelompok dan terciptanya suasana untuk mengembangkan diri, baik menyangkut pengembangan kemampuan berkomunikasi maupun pendapat yang dikemukakan oleh anggota kelompok.Kegiatan yang tengah berlangung pada tahap kegiatan ini yaitu semua anggota saling bertukar pendapat atau pengalamannya masing-masing secara bebas.Para anggota bersikap saling membantu, saling menerima, saling kuat menguatkan, dan saing berusaha untuk memperkuat rasa kebersamaan.Pada tahap inilah kelompok benar-benar sedang mengarah pada pencapaian tujuan, anggota dapat mengembangkan diri, baik pengembangan kemampuan berkomunikasi maupun kemampuan sosialisasi.Dalam tahap ini, perbedaan kelompok topik tugas dan bebas terlihat secara nyata. Kegiatan yang dilakukan pada kelompok topik tugas adalah pemimpin kelompok mengemukakan satu topik untuk dibahas oleh kelompok, kemudian terjadi tanya jawab antara anggota kelompok dan pemimpin

(12)

kelompok tentang hal-hal yang belum jelas mengenai topik yang dikemukakan oleh pemimpin kelompok. Selanjutnya anggota membahas topik tersebut secara mendalam dan tuntas, serta dilakukan kegiatan selingan bila diperlukan. Sedangkan untuk kelompok topik bebas, kegiatan yang dilakukan adalah masing-masing anggota secara bebas mengemukakan topik bahasan, selanjutnya menetapkan topik yang akan dibahas dulu, kemudian anggota membahas secara mendalam dan tuntas, serta diakhiri kegiatan selingan bila perlu. Layanan bimbingan kelompok dalam penelitian ini menggunakan topik tugas disesuaikan dengan kebutuhan siswa setelah mengetahui hasil analisis alat pengumpul data yaitu berupa skala psikologi.

4. Tahap Pengakhiran

Tahap pengakhiran merupakan tahapan akhir kegiatan untuk melihat kembali apa yang sudah dilakukan dan dicapai oleh kelompok, serta merencanakan kegiatan lanjutan (follow up). Pada tahap ini, pemimpin kelompok menyimpulkan hasil pembahasan dan diungkapkan pada anggota kelompok sekaligus melaksanakan evaluasi. Pemimpin kelompok juga membahas tindak lanjut (follow up) dari bimbingan kelompok yang telah dilakukan, serta menanyakan tentang pesan dan kesan serta ganjalan yang mungkin dirasakan oleh anggota selama kegiatan berlangsung.Pada tahap akhir ini yang penting adalah bagaimana keterampilan anggota, termasuk konselor, dalam mentransfer apa yang telah mereka pelajari dalam kelompok itu ke dalam kehidupannya di luar lingkungan kelompok, anggota kelompok berupaya merealisasikan rencana-rencana tindakan sampai mencapai suatu perubahan

(13)

perilaku yang diinginkan. Peran pemimpin kelompok disini adalah memberikan penguatan (reinforcement) terhadap hasil-hasil yang telah dicapai leh kelompok itu, khususnya terhadap keikutsertaan secara aktif para anggota dan hasil - hasil yang telah dicapai oleh masing - masing anggota kelompok. 2.1.3 Konseling Kelompok

A. Pengertian Konseling Kelompok

Konseling kelompok adalah salah satu layanan yang terdapat dalam bimbingan konseling.Layanan konseling kelompok mengikutkan sejumlah peserta dalam bentuk kelompok dengan konselor sebagai pemimpin kegiatan kelompok.Dalam Tohirin (2014:172) layanan konseling kelompok yaitu suatu upaya pembimbing atau konselor membantu memecahkan masalah pribadi yang dialami oleh masing-masing anggota kelompok melalui kegiatan kelompok agar tercapai perkembangan yang optimal.

Konseling kelompok membahas masalah pribadi yang dialami oleh masing-masing anggota kelompok.Dalam prosesnya, konseling kelompok dapat membicarakan beberapa masalah, seperti kemampuan dalam membangun hubungan dan komunikasi, pengembangan harga diri, dan keterampilan-keterampilan dalam mengatasi masalah. Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Juntika Nurihsan dalam M.Edi. Kurnanto (2013:7) yang mengatakan bahwa konseling kelompok adalah suatu bantuan kepada individu dalam situasi kelompok yang bersifat pencegahan dan penyembuhan, serta diarahkan pada pemberian kemudahan dalam perkembangan dan pertumbuhannya.

(14)

Berdasarkan dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konseling kelompok adalah suatu proses pemberian bantuan yang dilakukan konselor kepada individu dalam suasana kelompok agar individu lebih mandiri dan mampu menyelesaikan sendiri masalah yang sedang dihadapi dengan mengembangkan kemampuan yang dimilikinya secara optimal.

B. Tujuan Konseling Kelompok

Tohirin (2014:173) Secara umum tujuan layanan konseling kelompok adalah berkembangnya kemampuan sosialisasi siswa, khususnya kemampuan berkomunikasinya.

Menurut Winkel (1997:544) dalam Edi Kurnanto (2013:10) tujuan secara umum dari konseling kelompok adalah sebagai berikut :

a. Masing-masing konseli memahami dirinya dengan lebih baik dan lebih terbuka terhadap aspek-aspek positif dalam kepribadiannya.

b. Para konseli mengembangkan kemampuan berkomunikasi satu sama lain, sehingga mereka dapat saling memberikan bantuan dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangan yang khas untuk fase perkembangan mereka.

c. Para konseli memperoleh kemampuan mengatur dirinya sendiri dan mengarahkan hidupnya sendiri, mula-mula dalam kontak antar pribadi di dalam kelompok dan kemudian juga dalam kehidupan sehari-hari di luar lingkunagn kelompoknya.

d. Para konseli menjadi lebih peka terhadap kebutuhan orang lain dan lebih mampu menghayati perasaan orang lain.

(15)

e. Masing-masing konseli menetapkan suatu sasaran yang ingin mereka capai, yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku yang lebih konstruktif.

f. Para anggota kelompok lebih berani melangkah maju dan menerima resiko yang wajar dalam bertindak, daripada tinggal diam dan tidak berbuat apa-apa. g. Para anggota kelompok lebih menyadari dan menghayati makna dan kehidupan

manusia sebagai kehidupan bersama,yang mengandung tuntutan menerima orang lain dan harapan akan diterima orang lain.

h. Masing-masing anggota kelompok semakin menyadari bahwa hal-hal yang memprihatinkan bagi dirinya sendiri kerap juga menimbulkan rasa prihatin dalam hati orang lain. Dengan demikian dia tidak merasa terisolir, atau seolah olah hanya dialah yang mengalami ini dan itu.

i. Para anggota kelompok belajar berkomunikasi dengan anggota-anggota yang lain secara terbuka, dengan saling menghargai dan menaruh perhatian. Pengalaman bahwa komunikasi demikian dimungkinkan akan membawa dampak positif dalam kehidupan dengan orang-orang yang dekat di kemudian hari.

C. Tahap-Tahap Proses Konseling Kelompok

Tahapan-tahapan dalam proses konseling kelompok menurut M. Edi Kurnanto (2013:136) yaitu:

1. Tahap Pembentukan Kelompok

Tahap pembentukan kelompok sering juga disebut dengan tahap awal dalam konseling kelompok.Tahap awal adalah saat-saat oriesntasi dan penggalian yang meliputi penentuan struktur kelompok, pengenalan, dan penggalian garapan atau keinginan anggotanya.Dalam tahap ini anggota mempelajari

(16)

fungsi kelompok, memperjelas harapan-harapan mereka, mempertegas tujuan-tujuan mereka dan mencari posisinya dalam kelompok.Tahap ini merupakan masa keheningan dan kecanggungan.Para anggota mulai memperlajari perilaku-perilaku dasar dari menghargai, empati, penerimaan, perhatian dan menanggapi semua perilaku yang membangun kepercayaan.Dalam tahap ini anggota kelompok mulai memperkenalkan diri dan belajar bagaimana untuk terlibat dalam interaksi kelompok.Fungsi dan tugas utama pemimpin selama tahap ini adalah mengajarkan bagaimana cara untuk berpartisipasi dengana ktif sehingga dapat meningkatkan peluang mereka untuk mendapatkan kelompok yang produktif. Selain itu mengajarkan kepada anggota dasar hubungan antar manusia seperti mendengarkan dan menanggapi dengan aktif.

2. Tahap Peralihan

Tahap peralihan merupakan jembatan antara tahap pertama dengan tahap ketiga. Adapun tujuan dari tahap peralihan adalah terbebaskannya anggota dari perasaan atau sikap enggan, ragu, malu, atau saling tidak percaya untuk memasuki tahap berikutnya, makin mantapnya suasana kelompok dan kebersamaan, makin mantapnya minat untuk ikut serta dalam kegiatan kelompok.Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah menjelaskan kegiatan yang akan ditempuh pada tahap berikutnya, menawarkan atau mengamati apakah para anggota sudah siap menjalani kegiatan pada tahap berikutnya, meningkatkan keikutsertaan anggota. Peranan pemimpin kelompok, menerima suasana yang ada secara sadar dan terbuka tidak mempergunakan cara-cara yang bersifat langsung atau mengambil alih

(17)

kekuasaan, mendorong dibahasnya suasana perasaan, membuka diri sebagai contoh dan penuh empati.

3. Tahap Kegiatan

Tahap kegiatan bertujuan membahas suatu masalah atau topik yang relevan dengan kehidupan anggota secara mendalam dan tuntas. Dalam tahap ini pemimpin kelompok mengumumkan suatu masalah atau topik tanya jawab antara anggota dan pemimpin kelompok tentang hal-hal belum jelas yang menyangkut masalah atau topik tersebut secara tuntas dan mendalam.Dalam tahap ini konseli belajar materi-materi baru, diskusi dengan baik tentang berbagai topik personal, dan kerja terapeutik. Pada kegiatan ini saatnya anggota berpartisipasi untuk menyadari bahwa merekalah yang bertanggung jawab atas kehidupan mereka. Jadi mereka harus didorong untuk mengambil keputusan sendiri mengenai masalah yang dihadapi untuk digali dalam kelompok, dan belajar bagaimana menjadi bagian kelompok yang integral sekaligus memahami kepribadiannya sendiri dan menyaring umpan balik yang diterima dan membuat keputusan sendiri apa yang akan dilakukan. Ketika suatu kelompok mencapai tahap kegiatan, ada beberapa ciri yang nampak, antara lain: tingkat kepercayaan dan keakraban yang tinggi. Pada tahap ini semua persoalan dibahas secara tuntas, sehingga tahap ini benar-benar bermakna sebagai tahap penemuan solusi, selanjutnya ditentukan aksi nyata sebagai tindak lanjut dari sebuah upaya untuk mengatasi masalah tersebut. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tahap ini adalah tahap dimana masalah akan tergantikan dengan solusi yang digali melalui eksplorasi kemampuan dari semua anggota kelompok.

(18)

4. Tahap Penutupan

Tahap penutupan merupakan penilaian dan tindak lanjut, adanya tujuan terungkapnya kesan-kesan anggota kelompok tentang pelaksanaan kegiatan, terungkapnya hasil kegiatan kelompok yang telah dicapai yang dikemukakan secara mendalam dan tuntas, terumuskan rencana kegiatan lebih lanjut, tetap dirasakannya hubungan kelompok dan rasa kebersamaan meskipun kegiatan diakhiri.

D. Kekuatan dan Keterbatasan Konseling Kelompok

Keunggulan-keunggulan yang dimilki oleh layanan konseling kelompok dijelaskan secara rinci oleh Natawijaya (2012) dalam Edi Kurnanto (2013:27) sebagai berikut:

1. Menghemat waktu dan energi.

2. Menyediakan sumber belajar dan masukan yang kaya bagi konseli.

3. Pengalaman komunalitas dalam konseling kelompok dapat meringankan beban penderitaan dan menentramkan konseli.

4. Memahami kebutuhan akan rasa memiliki.

5. Bisa menjadi sarana untuk melatih dan mengembangkan keterampilan dan perilaku sosial dalam suasana yang mendekati kondisi kehidupan nyata.

6. Menyediakan kesempatan untuk belajar dari pengalaman orang lain.

7. Memberikan motivasi yang lebih kuat kepada konseli untuk berperilaku konsisten sesuai dengan rencana tindakannya.

8. Bisa menjadi sarana eksplorasi.

Sedangkan keuntungan konseling kelompok, menurut Jacobs, Harvill & Masson (1994) dalam Ngurah Adiputra (2015:27) adalah sebagai berikut:

1. Perasaan membagi keadaan bersama. 2. Rasa memiliki.

3. Kesempatan untuk berpraktek dengan orang lain. 4. Kesempatan untuk menerima berbagai umpan balik.

5. Belajar seolah-olah mengalami berdasarkan kepedulian orang lain. 6. Perkiraan untuk menghadapi kenyataan hidup.

(19)

Adapun keterbatasan konseling kelompok menurut Ngurah Adiputra (2015:4) yaitu sebagai berikut:

1. Tidak semua orang cocok berada dalam kelompok.

2. Perhatian konselor menjadi lebih menyebar, oleh karena itu yang dihadapi tidak hanya satu orang tetapi banyak orang.

3. Sulit untuk dibina kepercayaan.

4. Sering klien mengharapkan terlalu banyak dari kelompok, sehingga ia tidak berusaha untuk berubah.

5. Sering kelompok bukan dijadikan sarana untuk berlatih melakukan perubahan, tetapi justru digunakan sebagai tujuan.

2.1.4 Cognitive Behavioral Therapy

A. Pengertian Cognitive Behavioral Theraphy

Muqodas (2011) dalam Mentari Putri (2016:24) mendefinisikan konseling cognitive behavior theraphy sebagai pendekatan konseling yang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konseli pada saat ini dengan cara melakukan reskronstruksi kognitif dan perilaku yang menyimpang. Pendekatan kognitif behavior didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan dan strategi perilaku yang mengganggu. Proses konseling didasarkan pada konseptualisasi atau pemahaman konseli atas keyakinan khusus dan pola perilaku konseli. Harapan dari konseling kognitif behavior yaitu munculnya reskonstruksi kognitif yang menyimpang dan sistem kepercayaan untuk membawa perubahan emosi dan perilaku ke arah yang lebih baik.

Para ahli yang tergabung dalam National Association Of Cognitive-Behavioral Therapists (NACBT), mengungkapkan bahwa definisi dari cognitive behavior theraphy yaitu suatu pendekatan psikoterapi yang menekankan peran yang penting berfikir bagaimana kita merasakan dan apa yang kita lakukan.

Bush (2003) dalam Mentari Putri (2016:26) mengungkapkan bahwa CBT merupakan perpaduan dari dua pendekatan dalam psikoterapi yaitu cognitive

(20)

theraphy dan behavior theraphy. Terapi kognitif memfokuskan pada pikiran, asumsi dan kepercayaan. Terapi kognitif memfasilitasi individu belajar mengenali dan mengubah kesalahan. Terapi kognitif tidak hanya berkaitan dengan positive thingking, tetapi berkaitan pula dengan happy thingking. Sedangkan terapi tingkah laku membantu membangun hubungan antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Individu belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berfikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat.

Pikiran negatif, perilaku negatif, dan perasaan tidak nyaman dapat membawa individu pada permasalahan psikologis yang lebih serius, seperti depresi, trauma, dan gangguan kecemasan. Perasaan tidak nyaman atau negatif pada dasarnya diciptakan oleh pikiran dan perilaku yang disfungsional. Oleh sebab itu dalam konseling, pikiran dan perilaku yang disfungsional harus direkonstruksi sehingga dapat kembali berfungsi secara normal.

CBT didasarkan pada konsep mengubah pikiran dan perilaku negatif yang sangat mempengaruhi emosi. Melalui CBT, konseli terlibat aktifitas dan berparisipasi dalam training untuk diri dengan cara membuat keputusan, penguatan diri dan strategi lain yang mengacu pada self-regulation (Matson & Ollendick, 1988:44) dalam Mentari Putri (2016:26).

Teori Cognitve Behavior Oemarjoedi (2003:6) dalam Mentari Putri (2016:26) pada dasarnya meyakini pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses Stimulus-Kognisi-Respon (SKR), yang saling berkaitan dan membentuk semacam jaringan SKR dalam otak manusia, di mana proses kognitif menjadi

(21)

faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berfikir, merasa, dan bertindak.

Terapi Cognitive Behavioral memiliki asumsi bahwa pola berpikir dan keyakinan mempengaruhi perilaku, dan perubahan pada kognisi ini dapat menghasilkan perubahan perilaku yang diharapkan.Dobson & Dozois, 2001; McGinn & Sanderson, 2001 dalam Nevid S. J (2005:113).

Sementara dengan adanya keyakinan bahwa manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan irasional, dimana pemikiran yang irasional dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku yang menyimpang, maka CBT diarahkan pada modifikasi fungsi berfikir, merasa, dan bertindak dengan menekankan peran otak, dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali. Dengan mengubah status pikiran dan perasaannya, konseli diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya dari negatif menjadi positif.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa Cognitive Behavior Theraphy merupakan suatu pendekatan yang digunakan untuk membantu menyelesaikan permasalahan konseli dengan cara mengubah pola pikir dan tingkah laku yang menyimpang melalui proses belajar sehingga konseli dapat berfikir, merasa, membuat keputusan, dan bertindak rasional seperti yang diharapkan.

B. Tujuan Konseling Cognitive Behavioral Theraphy

Tujuan dari konseling Cognitive Behavior (Oemarjoedi, 2003: 9) dalam Mentari Putri (2016:27) yaitu “mengajak konseli untuk menentang pikiran dan

(22)

emosi yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi.Konselor diharapkan mampu menolong konseli untuk mencari keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam diri konseli dan secara kuat mencoba menguranginya”.

Dalam proses konseling, beberapa ahli CBT (NACBT, 2007; Oemarjoedi, 2003) dalam Mentari Putri (2016:27) berasumsi bahwa masa lalu tidak perlu menjadi fokus penting dalam koseling. Oleh sebab itu CBT dalam pelaksanaan konseling lebih menekankan kepada masa kini dari pada masa lalu, akan tetapi bukan berarti mengabaikan masa lalu. CBT tetap menghargai masa lalu sebagai bagian dari hidup konseli dan mencoba membuat konseli menerima masa lalunya, untuk tetap melakukan perubahan pada pola pikir masa kini untuk mencapai perubahan di waktu yang akan datang. Oleh sebab itu, CBT lebih banyak bekerja pada status kognitif saat ini untuk dirubah dari status kognitif negatif menajdi status kognitif positif.

C. Fokus Konseling Cognitive Behavioral Theraphy

CBT merupakan konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis dan lebih melihat ke masa depan dibanding masa lalu. Aspek kognitif dalam CBT antara lain mengubah cara berpikir, kepercayaan, sikap, asumsi, imajinai dan memfasilitasi konseli belajar mengenali dan mengubah kesalahan dalam aspek kognitif. Sedangkan aspek behavioral dalam CBT yaitu mengubah hubungan yang salah antara situasi permasalahan dengan

(23)

kebiasaan mereaksi permasalahan, balajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, serta berpikir lebih jelas.

D. Prinsip-Prinsip Cognitive Behavior Therapy (CBT)

Berikut adalah prinsip-prinsip dasar dari CBT berdasarkan kajian yang diungkapkan oleh Beck (2011) dalam Mentari Putri (2016:28):

Prinsip nomor 1: Cognitive Behavior Therapy didasarkan pada formulasi yang terus berkembang dari permasalahan konseli dan konseptualisasi kognitif konseli. Formulasi konseling terus diperbaiki seiring dengan perkembangan evaluasi dari setiap sesi konseling.Pada momen yang strategis, konselor mengkoordinasikan penemuan-penemuan konseptualisasi kognitif konseli yang menyimpang dan meluruskannya sehingga dapat membantu konseli dalam penyesuaian antara berfikir, merasa dan bertindak.

Prinsip nomor 2: Cognitive Behavior Therapy didasarkan pada pemahaman yang sama antara konselor dan konseli terhadap permasalahan yang dihadapi konseli. Melalui situasi konseling yang penuh dengan kehangatan, empati, peduli, dan orisinilitas respon terhadap permasalahan konseli akan membuat pemahaman yang sama terhadap permasalahan yang dihadapi konseli. Kondisi tersebut akan menunjukkan sebuah keberhasilan dari konseling.

Prinsisp nomor 3: Cognitive Behavior Therapy memerlukan kolaborasi dan partisipasi aktif. Menempatkan konseli sebagai tim dalam konseling maka keputusan konseling merupakan keputusan yang disepakati dengan konseli. Konseli akan lebih aktif dalam mengikuti setiap sesi konseling, karena konseli mengetahui apa yang harus dilakukan dari setiap sesi konseling.

(24)

Prinsip nomor 4: Cognitive Behavior Therapyberorientasi pada tujuan dan berfokus pada permasalahan. Setiap sesi konseling selalu dilakukan evaluasi untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan. Melalui evaluasi ini diharapkan adanya respon konseli terhadap pikiran-pikiran yang mengganggu tujuannya, dengan kata lain tetap berfokus pada permasalahan konseli.

Prinsip nomor 5 :Cognitive Behavior Therapy berfokus pada kejadiaan saat ini. Konseling dimulai dari menganalisis permasalahan konseli pada saat ini dan di sini (here and now).Perhatian konseling beralih pada dua keadaan.Pertama, ketika konseli mengungkapkan sumber kekuatan dalam melakukan kesalahannya. Kedua, ketika konseli terjebak pada proses berfikir yang menyimpang dan keyakinan konseli dimasa lalunya yang berpotensi merubah kepercayaan dan tingkah laku ke arah yang lebih baik.

Prinsip nomor 6: Cognitive Behavior Therapy merupakan edukasi, bertujuan mengajarkan konseli untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri, dan menekankan pada pencegahan. Sesi pertama CBT mengarahkan konseli untuk mempelajari sifat dan permasalahan yang dihadapinya termasuk proses konsleing cognitive-behavior serta model kognitifnya karena CBT meyakini bahwa pikiran mempengaruhi emosi dan perilaku. Konselor membantu menetapkan tujuan konseli, mengidentifikasi dan mengevaluasi proses berfikir serta keyakinan konseli. Kemuadian merencanakan rancangan pelatihan untuk perubahan tingkah lakunya.

Prinsip nomor 7 :Cognitive Behavior Therapyberlangsung pada waktu yang terbatas. Pada kasus-kasus tertentu, konseling membutuhkan pertemuan

(25)

antara 6 sampai 14 sesi. Agar proses konseling tidak membutuhkan waktu yang panjang, diharapkan secara kontinyu konselor dapat membantu dan melatih konseli untuk melakukan self-help.

Prinsip nomor 8: Sesi Cognitive Behavior Therapy yang terstruktur. Struktur ini terdiri dari tiga bagian konseling.Bagian awal, menganalisis perasaan dan emosi konseli, menganalisis kejadian yang terjadi dalamsatu minggu kebelakang, kemudian menetapkan agenda untuk setiap sesi konseling. Bagian tengah, meninjau pelaksanaan tugas rumah (homework asigment), membahas permasalahan yang muncul dari setiap sesi yang telah berlangsung, serta merancang pekerjaan rumah baru yang akan dilakukan. Bagian akhir, melakukan umpan balik terhadap perkembangan dari setiap sesi konseling. Sesi konseling yang terstruktur ini membuat proses konseling lebih dipahami oleh konseli dan meningkatkan kemungkinan mereka mampu melakukan self-help di akhir sesi konseling.

Prinsip nomor 9 :Cognitive Behavior Therapy mengajarkan konseli untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menanggapi pemikiran disfungsional dan keyakinan mereka. Setiap hari konseli memiliki kesempatan dalam pikiran-pikiran otomatisnya yang akan mempengaruhi suasana hati, emosi dan tingkah laku mereka. Konselor membantu konseli dalam mengidentifikasi pikirannya serta menyesuaikan dengan kondisi realita serta perspektif adaptif yang mengarahkan konseli untuk merasa lebih baik secara emosional, tingkah laku dan mengurangi kondisi psikologis negatif.Konselor juga menciptakan pengalaman baru yang disebut dengan eksperimen perilaku. Konseli dilatih untuk menciptakan

(26)

pengalaman barunya dengan cara menguji pemikiran mereka (misalnya: jika saya melihat gambar laba-laba, maka saya akan merasa sangat cemas, namun saya pasti bisa menghilangkan perasaan cemas tersebut dan dapat melaluinya dengan baik). Dengan cara ini, konselor terlibat dalam eksperimen kolaboratif. Konselor dan konseli bersama-sama menguji pemikiran konseli untuk mengembangkan respon yang lebih bermanfaat dan akurat.

Prinsip nomor 10 :Cognitive Behavior Therapy menggunakan berbagai teknik untuk merubah pikiran, perasaan, dan tingkah laku. Pernyataan-pernyataan yang berbentuk sokratik memudahkan konselor dalam melakukan konseling cognitive-behavior. Pernyataan dalam bentuk sokratik ini merupakan inti atau kunci dari proses evaluasi konseling. Dalam proses konseling, CBT tidak mempermasalahkan konselor menggunkan teknik-teknik dalam konseling lain seperti teknik Gestalt, Psikodinamik, Psikoanalisis, selama teknik tersebut membantu proses konseling yang lebih singkat dan memudahkan konselor dalam membantu konseli. Jenis teknik yang dipili akan dipengaruhi oleh konseptualisasi konselor terhadap konseli, masalah yang sedang ditangani, dan tujuan konselor dalam sesi konseling tersebut.

E. Teknik Cognitive Behavior Therapy (CBT)

CBT adalah pendekatan psikoterapeutik yang digunakan oleh konselor untuk membantu individu ke arah yang positif.Berbagai variasi teknik perubahan kognisi, emosi, dan tingkah laku menjadi bagain yang terpenting dalam Cognitive Behavior Therapy. Metode ini berkembang sesuai dnegan kebutuhan konseli,

(27)

dimana konselor bersifat aktif, direktif, terbatas waktu, berstruktur, dan berpusat pada konseli.

Konselor atau terapis cognitive behavior biasanya menggunakan berbagai teknik intervensi untuk mendapatkan kesepakatan perilaku sasaran dengan konseli. Teknik yang biasa dipergunakan oleh para ahli dalam CBT (McLeod, 2006: 157-158) yaitu :

a. Menentang keyakinan irasional.

b. Bibliotheraphy, menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu yang menarik ketimbang sesuatu yang menakiutkan.

c. Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan dari dalam role play dengan konselor.

d. Mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam situasi ril. e. Mengukur perasaan, misalnya dengan mengukur perasaan cemas yang dialami

paa saat ini dengan skala 0-100.

f. Menghentikan pikiran. Konseli belajar untuk menghentikan pikiran negatif dan mengubahnya menjadi pikiran positif.

g. Desensitizition systematic. Digantinya respon takut dan cemas dengan respon relaksasi dengancara mengemukakan permasalahan secara berulang-ulang dan berurutan dari respon takut terberat sampai yang teringan untuk mengurangi intensitas emosional koseli.

h. Pelatihan keterampilan sosial. Melatih konseli untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya.

(28)

i. Assertiveness skill training atau pelatihan keterampilan supaya bisa bertindak tegas.

j. Penugasan rumah. Mempraktikan perilaku baru dan strategi kognitif antara sesi konseling.

k. In vivo exposure. Mengatasi situasi yang menyebabkan masalah dengan memasuki situasi tersebut.

l. Covert conditioning, upaya pengkondisian tersembunyi dengan menekankan kepada proses psikologis yang terjadi di dlaam diri individu. Peranannya di dalam mengontrol perilaku berdasarkan kepada imajinasi, perasaan dan persepsi.

F. Karakteristik Cognitive Behavior Therapy (CBT)

CBT merupakan bentuk psikoterapi yang sangat memperhatikan aspek dalam berpikir, merasa, dan bertindak. Terdapat beberapa pendekatan dalam psikoterapi CBT termasuk didalamnya pendekatan Rational Emotive Behavior Theraphy, Rational Behavior Theraphy , Rational Living Theraphy, Cognitive Therapy dan Dialectic Behavior Theraphy. Akan tetapi CBT memiliki karakteristik tersendiri yang membuat CBT lebih khas dari pendekatan lainnya.

Berikut akan disajikan mengenai karakteristik CBT menurut NACBT (2007) dalam Mentari Putri (2016:33):

a. CBT didasarkan pada model kognitif dari respon emosional. CBT didasarkan pada fakta ilmiah yang menyebabkan munculnya perasaan dan perilaku, situasi dan peristiwa. Keuntungan dari fakta ini adalah seseorang dapat mengubah cara berpikir, cara merasa, dan cara berperilaku dengan lebih baik walaupun situasi tidak berubah.

(29)

b. CBT lebih cepat dan dibatasi waktu. CBT merupakan konseling yang memberikan bantuan dalam waktu yang relative leboh singkat dibandingkan dengan pendekatan lainnya. Rata-rata sesi terbanyak yang diberikan kepada konseli hanya 16 sesi. Berbeda dengan bentuk konseling lainnya, seperti psikoanalisa yang membutuhkan waktu satu tahun. Sehingga CBT memungkinkan konseling yang lebih singkat dalam penanganannya.

c. Hubungan antara konseli dengan terapis atau konselor terjalin dengan baik. Hubungan ini bertujuan agar konseling dapat berjalan dengan baik. Konselor meyakini bahwa sangat penting untuk mendapatkan kepercayaan dari konseli. Namun, hal ini tidak cukup bila tidak diiringi dengan keyakinan bahwa konseli dapat memberikan konseling bagi dirinya sendiri.

d. CBT merupakan konseling kolaboratif yang dilakukan terapis atau konselor dan konseli. Konselor harus mampu memahami maksud dan tujuan yang diharapkan konseli serta membantu konseli dalam mewujudkannya. Peranan konselor yaitu menjadi pendengar, pengajar, dan pemberi semangat.

e. CBT didasarkan pada filosofi stoic (orang yang pandai menahan hawa nafsu). CBT tidak menginformasikan bagaimana seharusnya konseli merasakan sesuatu, tapi menawarkan keuntungan perasaan yang tenang walaupun dalam keadaan sulit.

f. CBT menggunakan metode sokratik. Terapis atau konselor ingin memperoleh pemahaman yang baik terhadap hal-hal yang dipikirkan oleh konseli. Hal ini menyebabkan konselor sering mengajukan pertanyaan dan memotivasi konseli untuk bertanya dalam hari, seperti “Bagaimana saya tahu bahwa mereka

(30)

sedang menertawakansaya?” “Apakah mungkin mereka menertawakan hal lain”.

g. CBT memiliki program terstruktur dan terarah. Konselor CBT memiliki agenda khusus untuk setiap sesi atau pertemuan. CBT memfokuskan pada pemberian bantuan kepada konseli untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Konselor CBT tidak hanya mengajarkan apa yang harus dilakukan oleh konseli, tetapi bagaimana cara konseli melakukannya.

h. CBT didasarkan pada model pendidikan. CBT didasarkan atas dukungan secara ilmiah terhadap asumsi tingkah laku dan emosional yang dipelajari. Oleh sebab itu, tujuan konseling yaitu untuk membantu konseli belajar meninggalkan reaksi yang tidak dikehendaki dan untuk belajar sebuah reaksi yang baru. Penekanan bidang pendidikan dalam CBT mempunyai nilai tambah yang bermanfaat untuk hasil tujuan jangka panjang.

i. CBT merupakan teori dan teknik didasarkan atas metode induktif. Metode induktif mendorong konseli untuk memperhatikan pemikirannya sebagai sebuah jawaban sementara yang dapat dipertanyakan dan diuji kebenarannya. Jika jawaban sementaranya salah (disebabkan oleh informasi baru), maka konseli dapat mengubah pikirannya sesuai dengan situasi yang sesunggugnya. j. Tugas rumah merupakan bagian tergantung dari teknik CBT, karena dengan

pemberian tugas, konselor memiliki informasi yang memadai tentang perkembangan konseling yangakan dijalani konseli. Selain itu, dengan tugas rumah konseli terus melakukan proses konselingnya walaupun tanpa dibantu

(31)

konselor. Penugasan rumah inilah yang membuat CBT lebih cepat dalam proses konselingnya.

G. Merencanakan Proses dan Sesi Konseling

Tujuan utama dari konseling yaitu untuk membuat proses konseling mudah dipahami oleh konselor dan konseli. Konselor akan mencoba melakukan proses konseling seefisein mungkin, sehingga dapat meringankan atau menyelesaikan permasalahan secepat mungkin. Dengan demikian perencanaan diperlukan untuk memudahkan proses konseling, karena CBT bukan konseling yang didasarkan pada hafalan langkah-langkah konseling namunberpusat pada permasalahan konseli.

Pada umumnya konseli lebih merasa nyaman ketika mereka mengetahui apa akan didapatkan dari setiap sisi konseling, mengetahui dengan jelas apa yang dilakukan dari setiap sesi konseling, merasa sebagai tim dalam proses konseling, serta ketika konseli memiliki ide-ide konkret mengenai proses konseling dan ketercapaian konseling. Kondisi ini bila ditindaklanjuti oleh konselor melalui perencanaan sesi konseling dengan matang membuat proses konseling berjalan dengan baik. Perencanaan dari setiap sesi konseling tentunya harus didasarkan pada gejala-gejala yang ditujukan oleh konseli, konseptualisasi konselor, kerjasama yang baik antara konselor dan konselis erta evaluasi tugas rumah yang dilakukan oleh konseli.

Menurut teori Cognitive-Behavior yang dikemukakan oleh Aaron T. Beck (Oemarjoedi, 2003:12) dalam Mentari Putri (2016:37), konseling cognitive-behavior memerlukan sedikitnya 12 sesi pertemuan.Setiap langkah disusun secara

(32)

sistematis dan terencana. Berikut akan disajikan proses konseling cognitive behavior.

Tabel 2.1

Proses Konseling Berdasarkan Konsep Aaron T. Beck

NO PROSES SESI

1 Assesmen dan Diagnosa 1-2

2 Pendekatan Kognitif 2-3

3 Formulasi Status 3-5

4 Fokus Konseling 4-10

5 Intervensi Tingkah Laku 5-7

6 Perubahan Core Beliefs 8-11

7 Pencegahan 11-12

Oemarjoedi (2003:12)

Melihat kultur yang ada di Indonesia, penerapan sesi pertemuan dirasakan sulit untuk dilakukan. Oermarjoedi (2003:12) dalam Mentari Putri (2016:37) mengungkapkan beberapa alasan tersebut berdasarkan pengalaman, diantaranya: a. Terlalu lama, sementara konseli mengharapkan hasil yang dapat segera

dirasakan manfaatnya.

b. Terlalu rumit, di mana konseli yang mengalami gangguan umumnya datang dan berkonsultasi dalam kondisi pikiran yang sudah begitu berat, sehingga tidak mampu lahi mengikuti program konseling yang merepotkan, atau karena kapasitas intelegensi dan emosinya yang terbatas.

c. Membosankan, akrena kemajuan dan perkembangan konseling menjadi sedikit demi sedikit.

d. Menurunnya keyakinan konseli akan kemampuan konselornya, antara lain karena alasan-alasan yang telah disebutkan di atas, yang dapat berakibat pada kegagalan konseling.

(33)

Berdasarkan beberapa alasan diatas, penerapan konseling cognitive-behavior di Indonesia sering kali mengalami hambatan, sehingga memerlukan penyesuaian yang lebih fleksibel. Jumlah pertemuan konseling yang tadinya memerlukan sedikitnya 12 sesi bisa saja diefisiensikan menjadi kurang dari 12 sesi. Sebagai perbandingan berikut akan disajikan efisiensi konseling menjadi 6 sesi, dengan harapan dapat memberikan bayangan yang lebih jelas dan mengundang kreativitas yang lebih tinggi.

Tabel 2.2.

Proses Konseling Cognitive-Behavior Yang Telah Disesuaikan Dengan Kultur di Indonesia

NO PROSES SESI

1 Assesment dan diagnose 1

2 Mencari akar permasalahan yang bersumber dari emosi negatif, penyimpangan proses berfikir, dan keyakinan utama yang berhubungan dengan gangguan

2

3 Konselor bersama konseli menyusun rencana intervensi dengan memberikan konsekwensi positif-negatif kepada konseli

3

4 Menata kembali keyakinan yang menyimpang 4

5 Intervensi tingkah laku 5

6 Pencegahan dan training self-Help 6 Oemarjoedi (2003:12)

H. Konseling Kelompok Pendekatan Cognitive Behavioral Therapy

Konseling dengan pendekatan cognitive behavioral therapy merupakan suatu pendekatan yang menurut banyak ahli diramalkan akan banyak dipergunakan untuk menghadapi masalah-masalah klien psikologis dikemudian hari. Sebab terapi cognitive behavioral therapy merupakan modifikasi (campuran) dari terapi kognitif dan terapi perilaku. Pada pelaksanaannya konseling cognitive

(34)

behavioral therapy merupakan bentuk konseling yang menekankan kepada pentingnya penggunaan pikiran dalam perasaan dan tindakan individu.

Singgih (1996:228) dalam Mentari Putri (2016:39) Terapi cognitive behavioral ini mendasarkan pada tiga dasar pokok yakni :

1. Aktivitas kognitif mempengaruhi perilaku

2. Aktifitas kognitif dapat dipantau dan diubah-ubah

3. Perubahan perilaku yang dikehendaki dapat dilakukan melalui perubahan kognitif.

Perubahan perilaku terjadi melalui proses yang melibatkan interaksi dari berbicara dalam pikiran (inner speech), struktur kognitif dan perilaku dengan akibat-akibatnya. Menurut Meichenbaum dalam Singgih (1996:229) dalam Mentari Putri (2016:39) ada tiga tahap dalam proses perubahan perilaku yang terjadi dengan saling berkaitan, yakni :

Tahap pertama adalah pengamatan terhadap diri sendiri, ialah proses dimana seseorang belajar bagaimana melihat perilakunya sendiri. Dialog internal yang terjadi ditandai oleh penilaian negatif terhadap keadaannya. Kesulitan hanya dapat terjadi kalau orang yang bersangkutan tidak mau “mendengarkan” apa yang sebagai kenyataan dan mendengarkannya sendiri. Jadi agar terjadi perubahan konstruktif, perlu melepaskan diri dari pikiran yang negatif.

Tahap kedua ditandai dengan dimulainya dialog internal yang baru. Melalui hubungannya dengan terapis, pasien menyadari akan perilakunya yang malasuai dan mulai melihat kemungkinan-kemungkinann perubahan pada aspek-aspek perilakunya baik yang kognitif maupun yang afektif. Kalau pada pasien ada

(35)

keinginan terjadi perubahan, dialog yang terjadi di dalam dirinya akan memprakarsai terbentuknya rangkaian perilaku yang mengarah kehilangnya perialku malasuai. Perubahan dialog internal pada pasien terjadi melalui terapi yang dilakukan oleh terapis dengan pendekatan-pendekatan tertentu.

Tahap ketiga adalah tahap dimana pasien diajarkan bagaimana ia mempergunakan keterampilannya secara lebih efektif yang diperlukan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Pada pasien akan terjadi proses menstrukturan kembali, menghilangkan pikiran-pikiran negatif dan dengan bantuan yang dibentuk oleh terapis, sedikit demi sedikir menstruktur pola kognitif yang baru yang sesuai dengan lingkungannya dan tidak menimbulkan kegoncangan atau persoalan.

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa konseling kelompok dengan pendekatan cognitive behavior therapy adalah suatu kegiatan konseling dengan pendekatan cognitive behavior therapy yang difokuskan untuk membantu individu dalam perubahan ke arah yang lebih baik baik pada perubahan perilaku maupun pemikiran, keyakinan dan sikap yang mendasarinya.

2.2 Kerangka Konseptual

Pelecehan seksual merupakan segala macam bentuk perilaku seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran hingga menimbulkan reaksi negatif : rasa malu, marah, tersinggung dan sebagainnya pada diri orang yang menjadi korban pelecehan. Pelecehan seksual dapat terjadi ketika pelaku memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada korban,

(36)

dalam kasus sekolah ini dapat dimisalkanteman yang lebih tinggi status ekonominya, pacar, senioritas, jenis kelamin dan lain sebagainya.

Untuk mengatasi perilaku pelecehan seksual maka peneliti menggunakan layanan konseling kelompok dengan pendekatan Cognitive Behavioral Perilaku. Konseling kelompok merupakan suatu proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang konselor kepada individu dalam suasana kelompok untuk membantu individu agar individu lebih mandiri dan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri melalui kemampuan yang dimilikinya. Pendekatan Cognitive Behavior Therapy ini merupakan suatu pendekatan konseling yang digunakan untuk membantu konseli menyelesaikan masalahnya dengan cara mengubah pola pikir dan perilaku konseli. Pendekatan Cognitive Behavior Therapy mengubah pola pikir dan perilaku konseli dengan caramengurangi pemikiran irrasional konseli, mengurangi pikiran negatif konseli, dan perasaan tidak nyaman. Dengan pendekatan Cognitive Behavior Therapy yang mengubah pemikiran irasional, pikiran negatif dan perasaan tidak nyaman yang dialami konseli melalui konseling kelompok diharapkan mempengaruhi perilaku konseli ke perubahan yang diinginkan.

2.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengurangan yang signifikan melalui Layanan Konseling Kelompok dengan Menggunakan Pendekatan Cognitive Behavior Theraphy terhadap perilaku pelecehan seksuaal pada siswa kelas VIII di SMP Swasta Puteri Sion Medan Tahun Ajaran 2017/2018.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian untuk variabel Pendapatan Perkapita, secara parsial pendapatan perkapita berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas (ROA) bank syariah, hal

a) A.11.1 terkait kebijakan pengendalian akses, PT. CTP Line telah memiliki kebijakan mengenai pengendalian akses terkait pengendalian akses ke jaringan. b) A.11.6 terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan logam berat timbal (Pb) dan cadmium (Cd) yang terkandung pada ikan layang ( Decapterus russelli ) di perairan Pantai Losari

Pada karya ilmiah ini dilakukan kajian numerik untuk melihat perilaku penduga tipe kernel bagi komponen periodik dari fungsi intensitas yang berbentuk

Selain dari yang diinformasikan di atas, tidak terdapat kejadian penting lainnya yang mempunyai dampak material terhadap posisi keuangan dan hasil usaha Perusahaan

2ekanan kompresi adalah ketahanan internal suatu benda terhadap beban  bila suatu benda diletakkan dibawah beban yang cenderung menekan atau memendekkannya. #uatu tekanan