• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potret Perjalanan Tafsir Al Quran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Potret Perjalanan Tafsir Al Quran"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

ميحرلا نمحرلا ل ما

Potret Perjalanan Tafsir Al-Qur’an

(Kajian Historis ; Tafsir Al-Qur’an)

Tafsir merupakan disiplin ilmu yang menjadi pilar utama dalam meng-interpretasikan dan mengkaji al-Qur’an. mulai dari pertama kali diturunkannya risalah hingga sekarang. Hal ini dibuktikan dengan adanya hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari ‘Uqbah bin Amir yang mendengar Rasullah Saw. membacakan Surat al-Anfal : 60 saat beliau dengan kekuatan yang kamu miliki” (Q.S: al-Anfal : 60).

Kata quwwah di atas ditafsirkan oleh Nabi dengan kata al-Ramyu (memanah). Karenanya, penafsiran al-Qur’an bukan hal baru untuk selalu dikembangkan dan digenjotkan oleh generasi selanjutnya.

Namun, meskipun demikian, bukan berarti tafsir al-Qur’an pada masa Nabi telah terbukukan sebagaimana yang hadir di berbagai perpustakaan atau toko buku terdekat. Karenanya, dalam tulisan ini, akan dipaparkan lebih gamblang dan tajam lagi bagaimana perjalanan ilmu tafsir mulai dari masa Nabi hingga tabi’in dan sekaligus tentang kodifkasi tafsir al-Quran.

1. Tafsir pada Masa Shahabat

Pada masa ini, Sahabat mulai berupaya untuk memindahkan makna-makna dan penafsiran al-Qur’an sesuai dengan barometer pengetahuan mereka. Sebab, tidak semua sahabat selalu bersama dan hidup dengan Nabi sehingga melahirkan kapasitas pengetahuan yang tidak sama pula. Misalkan sebagaimana yang diceritakan oleh Anas r.a bahwa ketika Umar bin Khattab berkhutbah, dia membaca ayat : )31 : سبع( اّبَأَو ًةَهِكاَفَو kemudian ia berkata “Aku tahu arti dari kata fakihah tapi apa arti kata ab?”.

Oleh karena itu, Ibnu Qutaibah berkata : bahwa tidaklah sama pengetahuan orang arab dalam mememahami ayat gharib dan Mutasyabihah al-Qur’an. Meskipun Ibnu Khaldun di dalam bukunya, Muqaddimah mengatakan, “Al-Qur’an diturunkan kemuka bumi ini berbahasa arab dan menggunakan dialek balaghah mereka. Maka, tidak heran, jika mereka mengetahui dan memahami betul arti kata beserta susunannya”. Tapi hal ini tidak memastikan semua orang arab paham akan seluruh kosa kata al-Quran beserta susunannya, seperti yang telah dirasakan sayyina Umar di atas.

Adapun metodologi untuk menafsirkan ayat al-Qur’an yang digunakan oleh para shahabat yaitu ada tiga tipe ; Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Ijtihad.

a. Al-Qur’an

Dalam menafsirkan ayat Mujmal, Mutlaq, dan ‘Am, para shahabat menafsirkan

al-Qur’an antar satu ayat dengan ayat lainnya. Sehingga menelurkan pemahaman yang cukup real. Metode ini dikenal dengan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an.

Misalnya surat al-Maidah; 1, ْمُكْيَلَع ىَلْتُي اَم ّنِإ ِماَعْاَلْا ُةَمْيِهَب ْمُكَل ْتّلِحُأ “Dihalalkan bagi kalian memakan hewan ternak kecuali yang akan disebutkan atas kalian”. Ayat ini tentu masih umum dan perlu dikhususkan dengan ayat ketiga yang berbunyi: ةينا ... ُةَتْيَمْلا ُمُكْيَلَع ْتَمّرُح dan masih banyak lagi ayat lainnya yang menghususkan atau memperjelas antar satu ayat dengan ayat lainnya.

b. Al-Sunnah

(2)

ميحرلا نمحرلا ل ما

dalam memahami redaksi al-Qur’an. Semisal surat al-Kautsar yang menceritakan tentang Sungai Kautsar yang akan diberikan kepada Nabi kelak di surga. Terbukti dengan adanya hadist yang diriwayatkan oleh Anas, Rasulullah Saw. bersabda: “Kautsar adalah sebuah sungai yang diberikan oleh Allah Swt. kepadaku kelak di surga”. Selain itu, banyaknya takwil dan ayat mutasyabihat lebih memperkuat posisi al-Sunnah dalam menjelaskan al-Qur’an lebih rinci dan luas, baik tentang hukum, perintah, larangan dan lain sebagainya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi yang berbunyi,

“Sungguh aku telah diberikan al-Qur’an dan aku selalu ada bersamanya (sebagai

penjelas)”.

c. Ijtihad

Perkembangan dinamika sosial pada saat itu memberi stimulasi positif para shahabat untuk selalu mencari terobosan baru. Sebab idealnya dalam suatu hukum, mereka berpijak pada al-Qur’an, lalu jika tidak ada, mereka kembali pada Sunnah Nabi, dan jika masih belum menemukan juga, mereka mengambil alternative terakhir yaitu dengan berijtihad.

Terkait ijtihad, al-hafdd Ibnu Katsir mengomentari di dalam muqadimmah tafsirnya dengan mengatakan, bahwa “Apabila kami tidak menemukan penafsiran ayat di dalam

al-Qur’an dan al-Sunnah, kami merujuk pada Aqwal/ ijtihad shahabat. Karena mereka

lebih mengetahui kronologi yang mengalir, sangat paham betul serta diiringi dengan perbuatan baiknya, lebih-lebih tokoh pembesar mereka, seperti Khulafau Al-rasyidun, Abdullah bin Masu’d, Ibnu Abbas dan tokoh lainnya”.

Dari beberapa metodologi dan sampel diatas, kondisi tafsir al-Qur’an masih belum terbukukan, dan tidak pula menjadi disiplin ilmu yang independen. Karena ia masih menjadi cabang ilmu Hadist. Oleh karena itu, mari kita selami lebih dalam lagi era selanjutnya, Masa Tabi’in.

2. Tafsir pada Masa Tabi’in

Flash back, seiring dengan berkibarnya bendera Islam di berbagai negara, para Shahabat berinisiasi untuk hijrah pada taraf yang lebih luas lagi. sehingga pada saat yang bersamaan, Para Tabi’in berantusias untuk belajar dan ber-talaqqi kepada mereka demi memahami sekaligus memperdalam khadanah keislaman yang dibawa. Hingga pada gilirannya, muncullah murid-murid mereka yang dikenal dengan “Generasi Tabi’in”.

Diantara tokoh-tokoh Shahabat ahli tafsir yang paling tersohor dalam menyebarkan pemikirian tafsirnya adalah :

a. Ibnu Abbas, beliau memfokuskan dakwahnya di Kota mekah serta melahirkan banyak generasi tabi’in diantaranya; Sa’id bin Jabir, Mujahid, ‘Ikrimah Maula ibu Abbas, Tous bin Kaisan al-Yamani, dan Atho’ bin Abi Robah.

b. Ubai Bin Ka’ab, beliau merupakan salah satu tokoh tafsir yang juga unggul dari pada shahabat lainnya, atau dikenal dengan tokoh Madrasah ahli Madinah, karena berporos di madinah. Murid-muridnya adalah; Zaid Ibnu Aslam, Abu al-‘Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab al-Qharddi. Dan

(3)

ميحرلا نمحرلا ل ما

Muhammad Husain Al-Ddahabi di dalam bukunya al-Tafsir wa al-Mufassirun menyebutkan: (seperti generasi sebelumnya), bahwa “para tabi’in di dalam memotret suatu tafsir, mereka memprioritaskan al-Qur’an sebagai sumber utama, al-Hadist, riwayat para shahabat itu sendiri, riwayat Ahli Kitab, dan berpijak melalui ijtihad atau teori yang senafas dengan al-Qur’an.

Menurutnya, riwayat yang dikutip dari Rasulullah dan para shahabat pada saat itu masih belum menganalisa tafsir secara konprehensif. Akan tetapi, penafsiran mereka masih dalam ruang lingkup ayat-ayat gharib yang sulit untuk dipahami. sehingga, pada tatanan selanjutnya, para tabi’in termotivasi untuk menyempurnakan tafsir mereka. Adapun metodologi yang digunakannya adalah sumber Bahasa Arab beserta karakteristiknya, kronologi yang searah dengan masa turunnya al-Qur’an, dan media pendukung lainnya.

Dengan demikian, Rihlah tafsir dari masa awal Risalah, dilanjutkan dengan masa

shahabat, dan tabi’in masih terlestari original. Sebab, antar satu periwayat dengan

periwayat lainnya terhitung sangat terpercaya dan diyakinkan tidak ada pengaburan sejarah. Hanya saja, meski demikian, pembukuan tafsir pada masa tabi’in ini masih belum pula digalakkan. Karenanya, kita lanjutkan detik-detik awal dibukukannya tafsir pada masa selanjutnya, yang dikenal dengan masa tadwin/kodifikasi tafsir.

3. Tafsir pada Masa Tadwin/Kodifiasi

Sejarah mencatat, bahwa pembukuan tafsir digalakkan pada awal abad kedua atau bersamaan dengan detik-detik terakhir masa Bani Umayah yang memasuki jendela awal kekuasaan Bani Abbasiyah. Di mana, ia masih berada di dalam lingkup ilmu hadist yang digagas secara bab per bab, sub per sub, sehingga dalam menafsirkan surat atau ayat al-Qur’an, tafsir masih berada utuh di dalam ilmu hadist itu sendiri serta belum terpisahkan.

Manna’ Khalil Al-Qattan di dalam bukunya Mabahist f Ulumi al-Qur’an mengatakan,

bahwa “Pasca masa Nabi, shahabat dan tabi’in, sama sekali tidak mematahkan aral para ulama dalam menggalakkan dirinya untuk selalu menganalisa dan menghimpun riwayat-riwayat yang berkaitan erat dengan tafsir. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya para penulis tafsir, seperti ; Yadid bin Harun al-Salma (w.117 H), Syu’bah bin Hajjaj (w. 160), Waqi’ bin Jaroh (w. 197 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), dan Abdul Radaq bin Himam (w.211 H). Hanya saja, sangat disayangkan, bahwa seluruh karya-karya mereka tidak satupun yang sampai kepada kita kecuali manuskrip Abdul Radaq bin Himam dan riwayat hasil kutipan yang disandarkan kepada mereka di dalam kitab-kitab tafsir al-Ma’tsur”.

Tidak lama kemudian, banjirlah ilmuan- ilmuan tafsir yang mencoba menyusun kitab tafsir sekaligus menjadikannya sebagai disiplin ilmu independen, yang asal mulanya ia merupakan cabang dari ilmu hadist. sehingga pada saat itu pula ia melepaskan diri dari ilmu hadist dan secara otomatis, tafsir menjadi disiplin ilmu baku sebagaimana disiplin ilmu Islam lainnya. Lalu, mereka menggalakkan karyanya dengan menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan sistematika ayat dan mushafnya. Seperti ; Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir al-Thabri (w. 310 H), Abu Bakar bin Munddir al-Naisaburi (w. 318 H), al-Hakim (w. 450 H), dan lain sebagainya.

(4)

ميحرلا نمحرلا ل ما

Tidak berhenti disini, muncul pula para pembesar ilmuan tafsir lainnya yang masih dalam skala Tafsir bi al-Ma’tsur, hanya saja perbedaannya, mereka meringkas sanad, dan lebih mendominasikan pendapat tanpa menisbatkannya kepada orang yang berpendapat.

Selain itu, adapula mufassir yang dalam karyanya mengedepankan metode sesuai dengan keahliannya masing-masing, seperti Fakhruddin al-Radi yang tafsirnya didominasi oleh masalah pemikiran/teologi. Al-Jassos berserta al-Qurtubi (tafsir fqih). Al-Tsa’labi berserta al-Kadin (tafsir sejarah). Selanjutnya dilanjutkan dengan corak yang lebih produktif, seperti asbabu Nuzul (Ali bin Madini, guru Imam Bukhari, w.234 H), Nasikh wa al-Mansukh (Abu Ubaid al-Qasim bin Salam w. 224 H), Musykali al-Qur’an (Ibnu Qutaibah w. 276). Serta banyak generasi setelahnya yang melanjutkan warisan ilmuan tafsir terdahulu seperti Ibnu Katsir, Abi Hayyan (bahrul Muhit), Zamakhsyari (al-Kasyyaf) dan lain sebagainya.

Dengan demikian, -dengan memohon perlindungan kepada Allah Yang Maha Mampu- usai sudah perjalanan ilmu tafsir mulai sejak awal masa Nabi Muhammad Saw. hingga pada masa pembukuannya. Meskipun, di dalamnya hanya mengupas segelintir historis perjalanan al-Qur’an yang masih banyak terhampar. Karenanya, betapa agungnya butiran-butiran ilmiyah al-Qur’an yang harus kita ekplorasi dan gali kembali. Tentunya dengan selalu mencintai Qur’an dan mengkajinya sebagai bentuk Afala yaa tadabbaruuna al-Qur’an. Allahu ‘A’lam.

Referensi

Dokumen terkait

Rajah 1.1 menunjukkan dapatan kajian yang diperolehi berdasarkan soalan ‘hormat menghormati dan menolong kaum lain ketika dalam kesusahan adalah tanggungjawab pelajar’

Rasa memiliki artinya seseorang memiliki kesadaran akan tanggung jawab yang harus dilakukan khususnya dalam hal belajar; disiplin berarti seseorang menunjukkan perilaku taat

Hasil penelitian diperoleh: (1) Bahan ajar dari model pembelajaran berbasis masalah yang inovatif yang dilengkapi dengan media pembelajaran yang dapat

Para mahasiswa baru ini memasuki lingkungan kampus tanpa mengetahui sedikitpun tentangapa itu peraturan dan sistem akademik di dalam kampus, seandainya pun ada yang tahu

Hasil penelitian menunjukkan belum berjalan optimal, karena kurangnya kesadaran pengelola kawasan untuk mengelola sampah secara mandiri, masyarakat cenderung acuh

Hewan uji yang digunakan adalah jenis krustasea liar yang terdapat dalam tambak udang windu, di Kabupaten Takalar Propinsi Sulawesi Selatan, berupa krustasea liar

Sedangkan rumusan hipotesis yang ke 3 (tiga) menunjukkan bahwa secara statistik tidak terdapat perbedaan signifikan. Secara rata-rata bahwa skor metode mengajar

Pendidikan di Pesantren SMIH Tasyrifin Karim diterima di kelas V, selama mengikuti pendidikan di SMIH pada awalnya tinggal di rumah sepupu yang buka usaha