• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelompok 6 Sejarah Perkembangan Filologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kelompok 6 Sejarah Perkembangan Filologi"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH PERKEMBANGAN FILOLOGI

DI INDONESIA

Diajukan sebagai salah satu syarat kelengkapan tugas presentasi kelompok untuk Mata Kuliah Filologi yang diampu oleh:

Dr. Dedi Supriadi, M.Hum.

Oleh Kelompok 6:

M. Aziz Hakim (1145020076) Ranny Buggy W.R. (1145020113) Wahidatul Wafa (1145020164)

Wika Kurnia (1145020166)

KELAS VI - C

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

(2)

Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam, atas segala limpahan karunia-Nya yang tak pernah terputus dan pandang buluh, khususnya bagi kami sehingga bisa menyelesaikan makalah ilmu filologi yang bertajuk, “Sejarah Perkembangan Filologi di Indonesia” ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga selamanya tercurah pada junjungan alam Muhammad SAW, yang telah menuntun manusia ke jalan kebenaran atas izin-Nya. Juga yang telah menyampaikan perintah-Nya untuk manusia belajar dari mana saja dan di antaranya belajar dari masa lalu. Karena masa lalu menyimpan banyak pengetahuan yang layak untuk dijadikan pembelajaran di masa mendatang.

Filologi bukanlah ilmu yang baru tumbuh kemarin. Sebagai sebuah metode, filologi telah ada bahkan sejak abad sebelum masehi. Filologi memiliki

track record yang cukup panjang hingga menjadi sebuah disiplin ilmu seperti saat ini. Track record inilah yang kita sebut dengan sejarah perkembangan.

Di Indonesia ilmu ini juga dikenal di kalangan akademis dan pihak-pihak tertentu yang memusatkan perhatian pada naskah-naskah kuno. Padahal Indonesia bukan negara induk semang munculnya ilmu ini. oleh karena itu tentu ada kisah tertentu hingga akhirnya Indonesia juga mengenal ilmu ini. Bahasan inilah yang akan dibahas dalam makalah ini.

Perkembangan filologi di Indonesia tidak terlepas dari sejarah Indonesia di masa lampau yang kebudayaannya sangat dipengaruhi kebudayaan etnis lain yang masuk dan berkembang di Indonesia. Oleh karena itu makalah ini akan mengulas perjalanan perkembangan filologi di Indonesia, mulai dari bagaimana awal mula adanya naskah kuno nusantara, hingga berlanjut pada seperti apa kegiatan filologi terhadap naskah nusantara tersebut hingga saat ini.

(3)

dan ikut menguak kearifan yang tersimpan dalam naskah-naskah kuno tersebut sehingga bisa memahami kebudayaan masyarakat yang ada pada masa tersebut.

Segala bentuk kritik dan masukan yang membangun sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini. Semoga lebih bermanfaat.

Cibiru, Februari 2017

(4)

Daftar Isi

Kata Pengantar...i

Daftar Isi...iii

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1. Latar Belakang...1

1.2. Rumusan Masalah...2

1.3. Tujuan...2

BAB II ISI...3

2.1. Khazanah Naskah dan Telaah Naskah Nusantara...3

2.1.1. Periode Pra-Abad 14 M...3

2.1.2. Periode Abad 14-19 M...4

2.1.3. Periode Abad 19 M-Sekarang...7

2.2. Perkembangan Studi Filologis di Indonesia...9

2.2.1. Fase Awal: Inventarisasi dan Pencatatan Naskah...9

2.2.2. Fase Lanjutan: Kajian Kebahasaan, Penerjemahan, Hingga Telaah Filologis...11

2.2.3. Ilmu Filologi Saat Ini...14

BAB III PENUTUP...15

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kaya yang gemah ripah loh jinawi. Ungkapan tersebut merupakan sebuah semboyan yang menggambarkan negara Indonesia zaman dulu, sejak masa penyebaran agama Hindu-Budha, Islam, hingga mulai masuknya penjajahan kolonial ke Indonesia ternyata meninggalkan peninggalan di antaranya berupa manuskrip-manuskrip (naskah kuno) yang sampai hari ini diminati para peneliti naskah tak hanya dari Indonesia namun para peneliti dari luar negeri. Bahkan kegiatan meneliti manuskrip ini –dalam pengertian yang paling sederhana- pertama kali dimulai oleh para sarjana Kolonial atau Eropa.

(6)

Belanda mulai masuk dan menjajah Indonesia. Kedatangan penjajah ke Indonesia juga dibarengi dengan usaha penyebaran agama Kristen kepada pribumi. Salah satu penyebaran agama kristen itu ditandai dengan usaha menyebarkan Alkitab dengan bahasa pribumi agar bisa menarik perhatian. Dalam abad ini ditemukan manuskrip berupa terjemahan bibel ke dalam bahasa Melayu, Jawa, dsb. Pada masa modern, peninggalan-peninggalan manuskrip ini diteliti oleh para sarjana dan peneliti.

Penelitian terhadap manuskrip ini lalu dikenal dengan istilah filologi. Para filolog meneliti manuskrip (manuscript – MS atau dalam bentuk jamak MSS) dari beberapa aspek seperti wujud penampakan manuskrip, aksara yang tertulis dalam manuskrip, ataupun juga aspek isi atau makna yang terkandung dibalik aksara yang dicoba pahami dalam manuskrip tersebut.

Atas dasar fakta di atas, menyingkap sejarah perkembangan filologi di Indonesia menjadi menarik untuk dipelajari. Terlebih diketahui banyaknya manuskrip peninggalan sejarah nusantara yang menarik minat para filolog untuk selanjutnya diteliti.

1.2. Rumusan Masalah

Dari kilas sejarah Indonesia di atas, kiranya penting mengulas dengan lebih jelas mengenai sejarah perkembangan filologi di Indonesia. Sehingga timbul rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan khazanah naskah nusantara? 2. Bagaimana perkembangan filologi di Indonesia?

1.3. Tujuan

(7)

1. Mengetahui seperti apa perkembangan khazanah naskah nusantara yang menjadi manuskrip yang diteliti filolog.

(8)

BAB II

ISI

2.1. Khazanah Naskah dan Telaah Naskah Nusantara

Berdasarkan kurun waktu dan juga dengan tujuan memudahkan pembahasan, perkembangan pernaskahan nusantara dibagi ke dalam tiga periode, yaitu periode sebelum abad 14 M, periode abad 14-19 M, dan periode abad 19 M hingga sekarang.

2.1.1. Periode Pra-Abad 14 M

Indonesia sudah mengenal tradisi tulis sejak abad ke-4, yaitu sejak ditemukannya prasasti Yupa di Kalimantan Timur1. Tulisan sejak abad ini pada

umumnya ditulis di atas batu, logam yang berupa prasasti.

Indonesia termasuk salah satu negara yang telah mengalami beberapa kali pergantian kebudayaan yang mendominasi hampir seluruh bagian wilayahnya, terutama wilayah-wilayah yang menjadi daerah kekuasaan kerajaan-kerajaan besar yang pernah ada, seperti kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Samudera Pasai, Demak, dsb.

Berdiri sejak abad ke-7 M, kerajaan Sriwijaya segera menjadi pusat kebudayaan agama Budha di Indonesia yang kekuasaannya tersebar bahkan hingga ke wilayah Kambodja. Kerajaan Sriwijaya memiliki peradaban yang maju di banyak bidang. Pengaruh agama Budha yang kuat tercermin tak hanya dalam kehidupan sosial rakyatnya dan ritual peribadatannya, namun juga tercermin pada bentuk bangunan, bahasa, hingga aksara yang digunakan. Sebelumnya, rakyat asli Indonesia belum mengenal tulisan. Mereka lebih mengandalkan kebudayaan lisan sejak zaman nenek moyang. Namun ketika kerajaan Sriwijaya berkuasa, bahasa

(9)

Melayu Kuno dan Sanskerta mulai dikenal dan digunakan oleh pihak kerajaan dan rakyat. Lebih dari itu, Sriwijaya juga menjadi pusat pembelajaran agama Budha dan bahasa Sanskerta yang terkenal hampir di seluruh kawasan Asia.2 Sehingga

tidak mengherankan berbagai teks yang muncul pada masa kerajaan Sriwijaya ini banyak dipengaruhi oleh agama Budha dengan bahasa Sanskerta dan ditulis menggunakan aksara Pallawa.

Selain bahasa Sanskerta, bahasa Melayu Kuno, Jawa Kuno, dan Kawi juga berkembang pesat pada masa ini. Namun bahasa Sanskerta masih menjadi salah satu bahasa terpenting bagi kalangan cendekiawan dan agamawan baik di pusat kerajaan di Sumatera, juga berkembang di Jawa dan Bali.

Ekspansi kerajaan Sriwijaya ke berbagai wilayah termasuk ke wilayah pulau Jawa dan Bali juga meninggalkan jejak kebudayaannya. Hingga abad ke-10 M, pengaruh agama Hindu-Budha di pulau Jawa sangat kuat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ditemukan naskah sastra dan agama yang ditulis dengan bahasa Jawa Kuno, Jawa Tengahan, dan juga bahasa Sanskerta yang ditulis di atas daun lontar. Tradisi ini bahkan berlanjut hingga abad ke-15 M. Di pulau Bali, yang naskah tertuanya diketahui berasal dari abad ke-16 atau awal abad ke-17 (Hinzler, 1993 dalam Fathurahman, 2015:42), tradisi menulis di atas lontar ini juga masih berlanjut hingga masa modern.

2.1.2. Periode Abad 14-19 M

Sebelum dan menjelang memasuki abad ke-14, Islam mulai masuk ke Indonesia. Agama ini salah satunya dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, India yang datang ke kawasan Nusantara dengan niat awal untuk berdagang. Sambil berdagang, para pendatang dari Gujarat ini juga menyebarkan agama Islam dan segera berkembang dengan pesat.

(10)

Fathurahman (2015:42) menerangkan bahwa salah satu perubahan penting dalam sejarah dan tradisi tulis naskah Indonesia adalah pada abad 13 M ini Islam dan kebudayaannya sudah mulai masuk dan tersebar di Indonesia, namun jejak-jejak kebudayaan pra-Islam masih bisa ditemukan. Pada abad ke-14 penulisan naskah Melayu dengan menggunakan aksara Jawa Kuno masih mendominasi.

Seperti naskah Undang-Undang Tanjung Tanah yang setelah diuji karbon diketahui berasal dari antara tahun 1304 dan 1436 M. Naskah ini pertama kali diuji oleh Voorhoeve (1941) dan Uli Kozok (2006). Di dalamnya, aksara yang digunakan masih menggunakan aksara pasca-Pallawa atau aksara Malayu yang ditulis di atas kertas lokal deluang. Ini membuktikan bahwa naskah ini tidak berbau corak Islam meski hasil penelitian menunjukkan naskah tersebut berasal dari abad ketika Islam mulai tersebar di pelosok Nusantara. Naskah tersebut juga dapat dianggap sebagai salah satu dari sedikit naskah terakhir yang bercorak Hindu-Budha, karena naskah-naskah yang muncul setelahnya lebih didominasi oleh naskah-naskah yang bercorak Islam dengan menggunakan bahasa Arab dan aksara Arab sebagai tulisannya, atau bahasa Jawa yang ditulis dengan aksara Arab (Arab Melayu) dan mayoritas beralaskan kertas Eropa (Fathurahman, 2015:43).

(11)

Bahasa Arab masuk ke Nusantara dan mengalami lokalisasi atau pribumisasi agar bisa menarik pengikut dan diterima masyarakat Nusantara. Pengaruh dari akulturasi ini pada budaya tulis Nusantara di antaranya muncul aksara Pegon, yaitu huruf Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa lainnya (modified Arabic’s Script).

Pesatnya penyebaran agama Islam di Nusantara juga menjadi salah satu sebab pesatnya kebudayaan Islam yang di satu sisi membuat kebudayaan Hindu-Budha yang sebelumnya sempat berkuasa semakin tergeser. Begitu pun dalam budaya tulis, penulisan menggunakan aksara Pallawa dengan bahasa Sanskerta semakin jarang ditemukan. Produksi naskah pada abad ini lebih didominasi oleh produksi naskah bercorak Islam.

Pada abad ke-16, tepatnya tahun 1511 M, Portugis datang dan mulai menjajah Indonesia. Kedatangan Portugis ini juga membawa akulturasi kebudayaan kepada Indonesia selain juga penyebaran agama Kristen di pulau Jawa. Selain itu Portugis juga menyumbang beberapa pembendaharaan kata pada bahasa Indonesia yang sekarang dikenal. Perlahan penulisan aksara dengan aksara latin juga mulai menyebar. Kedatangan Portugis diikuti pelayaran Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman pada tahun 1595 yang mulanya bertujuan mencari sumber rempah-rempah. Rombongan pelayaran ini tiba di Banten pada tahun 1596.

Pada Abad ke-16 ada sebuah kebiasaan di antara bangsa Barat terutama benua Eropa dan wilayah Laut Tengah di bidang perdagangan. Selain perdagangan rempah-rempah, perdagangan naskah kuno atau manuskrip juga dianggap membawa keuntungan yang besar (Reynold dan Wilson, 1975 dalam Baried, 1985: 43)3. Mengetahui nusantara yang juga kaya akan warisan naskah

kuno membuat bangsa Kolonial juga tertarik untuk mengumpulkan naskah-naskah kuno Nusantara. Para kolektor naskah akan membeli dari para pedagang yang telah mengumpulkan naskah-naskah tersebut dari perorangan ataupun dari

(12)

lembaga-lembaga yang mengoleksi naskah-naskah kuno seperti pesantren atau kuil. Naskah ini seterusnya berpindah tangan ke tangan kolektor Eropa dan terus berpindah karena dijual atau dihadiahkan kepada seseorang atau lembaga lainnya Seperti halnya koleksi naskah Nusantara yang dimiliki Thomas Erpenius –seorang orientalis kenamaan dari Leiden- jatuh ke tangan perpustakaan Universitas Oxford, dan juga koleksi naskah Nusantara yang sebelumnya dimiliki William Laud –uskup besar Canterbury- dihadiahkan kepada perpustakaan Bodeian di Oxford (Ricklefs, 1977 dalam Baried, 1985)4

Selain oleh para pedagang Barat, para penginjil juga mengambil bagian dalam telaah naskah Nusantara. Seperti pada tahun 1629 yaitu kurang lebih tiga puluh tahun setelah kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia, Jan Jacobz Palenstein menerbitkan terjemahan Alkitab dalam bahasa Melayu dengan penerjemahnya Albert Cornelisz Ruyl. Penginjil lain yang terkenal adalah Dr. Melchior Leijdecker (1645-1701) yang menulis terjemahan Alkitab dalam bahasa Melayu tinggi atas perintah dari dewan gereja Belanda. Namun belum sempat karyanya rampung, ia meninggal, sehingga penyelesaian terjemahan Alkitab ini dilanjutkan oleh penginjil lain bernama Petrus van den Vorm (1664-1731).

Selain Leijdecker, ada juga pendeta yang menaruh minat yang cukup besar terhadap bahasa Melayu dan merupakan lulusan Teologi dari Universitas Leiden, Francois Zalentijn (1666-1727). Dia pernah menyusun sebuah buku yang berjudul

Oud en Nieuw Oost-Indien, vervattende een nauukeurige en uitvoerige verhandelinge van Nederlandse mogentheyd in die gewesten (1726). Di dalam karangannya ini terdapat judul-judul karangan dalam naskah-naskah nusantara yang dia ketahui. Karena kemahirannya berbahasa Melayu, selain buku tersebut, ia juga menulis buku tata bahasa Melayu yang baik, dan juga kamus (Teeuw, 1975 dalam Baried, 1985)5. Selain itu, nama G.H. Werndly juga dikenal sebagai

penginjil yang menguasai bahasa Melayu. Pada tahun 1736 dia menyusun sebuah buku yang berjudul Maleische Boekzaal yang didalamnya terdapat lampiran 69

4 Siti, Pengantar, hlm 43

(13)

judul naskah Melayu. Pemahamannya akan naskah Nusantara dibuktikan dengan adanya catatan ringkasan isi naskah beserta lampiran tersebut meskipun singkat.

2.1.3. Periode Abad 19 M-Sekarang

Pada abad ini kolonial sedang berkuasa di Indonesia. Mulanya bangsa Belanda datang ke Indonesia hanya untuk mencari rempah-rempah. Namun setelah Portugis hengkang, alih-alih menjadi sahabat baik bagi masyarakat. Melihat Indonesia yang merupakan sumber rempah-rempah, Belanda malah berniat untuk menguasai wilayah ini. Hingga akhirnya menjajah selama lebih dari 3,5 abad.

Lamanya bangsa Kolonial menjajah juga membawa perubahan kebudayaan yang signifikan. Kebudayaan Islam yang sebelumnya sudah kental di masyarakat perlahan tersisih dan tertekan kehadirannya oleh kebudayaan Barat yang dibawa penjajah. Kegiatan penyebaran agama Kristen juga semakin kuat. Belanda banyak mengirimkan pendeta-pendeta ke hampir seluruh wilayah Indonesia. Para pendeta ini berusaha menyebarkan Alkitab kepada pribumi.

Pada saat itu rakyat Indonesia masih sering menggunakan aksara Arab atau pegon. Oleh karena itu, untuk menarik hati rakyat, para pendeta tersebut mempelajari bahasa rakyat dan membuat Alkitab dalam bahasa pribumi agar mudah dipahami. Untuk bisa memahami bahasa pribumi itu, mereka mempelajari bahasanya dari manuskrip-manuskrip atau naskah kuno yang ada. Lalu kemudian diaksarakan menggunakan aksara latin. Sebagian ada juga yang sampai membuat kamus bahasa pribumi ke bahasa Belanda atau sebaliknya.

Semasa penjajahan, Belanda sempat mendirikan VOC. Sebuah badan yang bergerak di bidang persekutuan dagang yang memiliki monopoli untuk perdagangan di daerah Asia6. Badan ini juga sebenarnya merupakan jalan tengah

yang ditempuh Belanda untuk menangani persaingan tidak sehat antar perusahaan 6Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), dikutip dari laman:

(14)

yang berusaha menguasai perdagangan terutama ke Nusantara. Namun setelah 198 tahun berdiri, VOC mengalami penurunan dan akhirnya bangkrut dikarenakan korupsi yang justru terjadi di badan internal sendiri. Melemahnya VOC ternyata juga berdampak pada menurunnya minat mempelajari bahasa dan naskah Nusantara. Melihat hal tersebut, usaha pengajaran dan penyebaran Alkitab selanjutnya diteruskan oleh Zending dan Bijbelgenootschap. Namun karena berbagai kendala, lembaga ini akhirnya mengutus penginjil bernama G. Bruckner ke Jawa pada tahun 1814. Tugasnya ialah menyebarkan Alkitab kepada masyarakat Jawa. Oleh karena itu ia mempelajari bahasa Jawa terutama dari naskah-naskah Jawa. Karena kemahirannya, ia berhasil menerjemahkan dan menyusun Alkitab yang ditulis dalam huruf Jawa.

Karena prestasinya ini sebuah lembaga penginjil Belanda yang bernama

Nederlandsche Bijbel Genootschap (NBG) berpendapat bahwa para Zending (penginjil) yang dikirimkan ke Nusantara harus menguasai bahasanya. Sehingga dibuatlah keputusan yang isinya keharusan melaksanakan studi singkat akademik Penetapan keputusan ini mendapat respons positif dari Negara Belanda karena keuntungan yang dihasilkan. Keuntungan tersebut berupa adanya lembaga yang bisa memberikan pengajaran bahasa kepada para pegawai sipil Belanda di Nusantara sehingga para kompeni (sebutan bagi tentara Belanda) bisa berbaur dengan rakyat Nusantara. (Lubis, 2007)7.

Apa yang dilakukan NBG tentunya hanya pada penerjemahan naskah-naskah Nusantara ke dalam bahasa asing terutama bahasa Belanda tanpa melakukan telaah secara filologis. Namun hal inilah yang justru mendorong minat para sarjana dan filolog untuk memulai telaah teks atau studi secara filologis terhadap naskah-naskah Nusantara yang melimpah.

(15)

2.2. Perkembangan Studi Filologis di Indonesia

Berdasarkan kegiatan yang dilakukan para sarjana Kolonial dan Eropa secara filologis terhadap naskah Nusantara, studi filologis di Indonesia dibagi ke dalam dua fase, fase awal yang berupa kegiatan inventarisasi dan pencatatan naskah, lalu fase lanjutan yaitu kegiatan kajian kebahasaan, penerjemahan, hingga studi filologis.

2.2.1. Fase Awal: Inventarisasi dan Pencatatan Naskah

Aktivitas awal studi naskah Indonesia ditandai dengan dimulainya kegiatan inventarisasi dan pencatatan naskah sejak abad ke-17. Fathurahman (2015) menegaskan bahwa pada fase awal ini kegiatan pengkajian naskah memang belum terlalu menonjol. Seperti belum adanya kajian isi teks secara mendalam, kajian linguistik dalam naskah, dan penerjemahan serta studi filologis. Pegiat dalam fase ini pun masih terbatas pada sarjana-sarjana yang terutama berasal dari Eropa.

Dr. Melchior Leijdecker (1645-1701), juga pernah menyusun daftar naskah Nusantara bersama C. Mutter pada tahun 1696 di Batavia (nama lama kota Jakarta). Daftar naskah ini disebut-sebut sebagai publikasi pertama dari usaha pengumpulan dan pendokumentasian naskah-naskah Nusantara. Naskah-naskah yang inventarisasikan merupakan koleksi dari seorang perwira asal Prancis, Isaac de Saint-Martin yang telah meninggal pada bulan April di tahun yang sama, sebulan menjelang diterbitkannya publikasi tersebut. Jumlah naskah dalam koleksi ini mencapai 89 naskah, yang 60 naskah di antaranya berbahasa Melayu.

(16)

katalog tetapi juga berupa resensi yang di dalamnya memuat informasi mengenai semua daftar naskah yang pernah disusun. Seperti karya Henri Chambert-Loir misalnya, Catalogue des Catalogues de manuscripts Malaise yang diterbitkan dalam jurnal Archipel 20, (1980): 45-69. Selain berisi daftar naskah, juga berisi resensi atas semua daftar naskah dan katalog Melayu yang terbit sebelum tahun 1980.

Selain kelompok bahasa Melayu, ada pula kelompok naskah Jawa seperti yang disusun oleh Willem van der Molen, A Catalogue of Catalogues of Javanese MSS yang diterbitkan dalam jurnal Caraka No.4, (April 1984): 12-49. Katalog ini dianggap yang paling akurat pada masanya yang memuat semua katalog naskah Jawa dalam periode sebelum tahun 1980.

Sementara itu untuk koleksi naskah dan katalog semua bahasa di Indonesia, di antaranya yang paling lengkap adalah yang ditulis oleh Chambert-Loir & Fathurahman pada tahun 1999 dengan judul Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah Indonesia Sedunia. Di dalamnya memuat hampir seribu daftar naskah dan katalog yang pernah disusun sampai akhir tahun 1990an dan tidak hanya dalam bahasa Melayu atau Jawa, tapi seluruh bahasa yang ada di Indonesia mulai dari Aceh, Bali, Batak, Belanda, Bugis-Makassar-Mandar, Jawa dan Jawa Kuno, Madura, Melayu, dsb hingga bahasa yang ada di Indonesia bagian timur.8

Buku ini juga disertai dengan Indeks Lembaga Penyimpanan Naskah, Judul Majalah Rujukan, dan Bibliografi semua daftar dan katalog naskah yang dirujuk.

Setelah terbitnya Khazanah Naskah tersebut, terbit juga sejumlah katalog yang memuat judul-judul baru yang baru diketahui. Sejumlah katalog tersebut ditulis oleh sarjana baik dalam maupun luar negeri.

(17)

2.2.2. Fase Lanjutan: Kajian Kebahasaan, Penerjemahan, Hingga Telaah Filologis

Kegiatan mengkaji dan menerjemahkan kandungan isi naskah bisa terbilang baru, yaitu sejak abad 18 M9. Kegiatan ini pun tidak dilakukan oleh

sarjana pribumi, melainkan oleh bangsa Eropa, terutama Belanda dan Inggris10

yang awalnya hanya melakukan ekspansi politik dan perdagangan ke wilayah Hindia Timur. Para sarjana tersebut di antaranya adalah tenaga misionaris dan

zending yang sebelumnya telah dibekali pengetahuan linguistik (kebahasaan) oleh NBG. Pendidikan kebahasaan ini sangat penting bagi para misionaris untuk memahami bahasa Melayu sebagai media dakwah mereka. Dengan bekal kebahasaan yang dimiliki, mendorong para sarjana tersebut untuk mempelajari bahasa yang terdapat dalam naskah-naskah Nusantara. Dengan sendirinya pula pengkajian terhadap naskah ini berlanjut menjadi penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Melayu. Hal ini menjadi kepentingan tersendiri bagi mereka untuk bisa berkomunikasi langsung dengan pribumi dan bisa mengajarkan Alkitab dengan mudah.

Selanjutnya pada abad 19, para ahli filolog Eropa mulai berupaya untuk menyunting, membahas, serta menganalisis isinya. Namun penyunting pada masa itu masih sedikit sehingga lebih diarahkan untuk menyunting bahasa Melayu dan Jawa saja.

Hasil penyuntingan teks pun mulanya disajikan dalam huruf aslinya seperti huruf Jawa dengan disertai pengantar singkat tanpa analisis isi seperti Ramayana Kakawin oleh H. Kem (1900) dan Syair Bidasari oleh van Hoevell (1843). Selanjutnya muncul pula hasil suntingan naskah yang telah ditransliterasi ke dalam huruf Latin, seperti karya R.Th.A. Friederick, Wrettasantjaja (1849), Arjoena-Wiwaha (1850), dan Bomakawya (1850). Perkembangan selanjutnya, muncul hasil suntingan naskah yang disertai dengan terjemahan bahasa asing, terutama Belanda, seperti Sang Hyang Kamahayanikam (1910) oleh J. Kats.

9 Oman, Filologi, hlm.49

(18)

Memasuki abad 20 baru muncul hasil suntingan naskah yang disertai terjemahan dalam bahasa Inggris dan Belanda, seperti Sejarah Melayu oleh Leyden (1821).

Memasuki abad 20 juga, pegiat-pegiat naskah dari kalangan pribumi mulai bermunculan. Yang pertama kali merintis ialah Hoesein Djajaningrat dengan karyanya Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (1913) dan Poerbatjaraka dengan karyanya di antaranya Arjuna-Wiwaha (1926) (Baried 1994 dalam Fathurahman, 2015: 52). Karakter penelitian filologi pada masa ini lebih menekankan pada teori filologi murni, seperti kritik teks dan penerjemahannya11.

Penerapan kritik teks ini ternyata menghasilkan suntingan naskah yang lebih baik dari sebelumnya.12

Fathurahman (2015:52) juga menerangkan bahwa setelah tahun 1965, minat para sarjana pribumi untuk mengkaji naskah semakin besar. Pada masa ini juga mulai terjalin mulai terjalin berbagai kerja sama penelitian antara perguruan tinggi Indonesia dengan sejumlah institusi di luar negeri. Karakter penelitiannya pun semakin beragam. Seperti yang diterangkan Lubis (2007:57) bahwa pada abad 20 ini studi naskah Nusantara sudah mulai dirintis dengan analisa berdasarkan ilmu sastra (Barat). Ilmu sastra atau teori sastra ini seperti analisa struktur (teori strukturalisme), intertekstualisme, resepsi, beserta tokoh-tokohnya. Seperti penelitian menggunakan teori strukturalisme atas Hikayat Sri Rama

(1979) oleh Achadiati Ikram, atau penggunaan pendekatan intertekstualisme atas

Tambo Minangkabau (1991) oleh Edwar Djamaris. Lalu yang menggunakan pendekatan teori resepsi seperti Hikayat Iskandar Zulkarnain: Suntingan Teks dan Analisis Resepsi oleh Soeratno (1988).

Selain itu, pengkajian naskah Nusantara tidak berhenti pada naskah sastra saja, melainkan naskah keagamaan dan sejarah baik yang berbahasa Melayu ataupun Arab Pegon. Seperti penelitian yang dilakukan Amir Fatah (1997) yang meneliti naskah tasawuf Melayu al-Hikam dengan pendekatan teori strukturalisme.

11 Oman, Filologi, hlm.52

(19)

Pendekatan lain yang juga telah berkembang dan digunakan dalam penelitian filologi ialah pendekatan sejarah sosial-intelektual seperti penelitian yang dilakukan oleh Oman Fathurahman terhadap sekelompok naskah tarekat Syattariyah di Minangkabau (2003). Pendekatan yang sama juga digunakan oleh Fakhriati (2007) yang melakukan penelitian atas sekelompok naskah tarekat Syattariya di Aceh.

Pendekatan ini sepertinya memang menjauhi hakikat filologi yang pada awalnya terbatas pada studi naskah. Namun perkembangan ini tetap mendapat sambutan positif dari para peneliti karena penggunaan metode ini meskipun lebih merambah pada pencarian makna dan fungsinya, namun pada akhirnya juga mendukung pada usaha pemahaman serta penelusuran makna dan fungsi sastra lama itu sendiri. Dan seperti yang dikatakan Robson (1988 dalam Fathurahman, 201513) bahwa inilah sesungguhnya tugas seorang filolog, menyajikan naskah

lama agar dapat dipahami dan dimanfaatkan khalayak luas.

Akibat pergeseran pemilihan metode analisis ini, berakibat pada berubahnya cara pandang peneliti dalam menginterpretasi naskah lama. Perubahan ini sering kali muncul dalam naskah salinan/turunan (arketipe/hiparketipe) dari naskah aslinya (autograf). Namun demikian, kajian filologi terhadap naskah-naskah Nusantara telah mendorong berbagai kajian ilmiah yang hasilnya dimanfaatkan pelbagai disiplin ilmu terutama ilmu humaniora dan ilmu sosial. Sesungguhnya semua kegiatan tersebut telah memenuhi tujuan ilmu filologi, yaitu melalui telaah naskah dapat membuka kebudayaan bangsa dan mengangkat nilai-nilai luhur yang terkandungnya.

2.2.3. Ilmu Filologi Saat Ini

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga berimplikasi pada perkembangan studi naskah. Ketertarikan mengkaji naskah sebagai salah satu penelitian ilmu pengetahuan ternyata juga menarik hati perguruan tinggi berbasis

(20)

agama. Bukti dari ketertarikan itu adalah ditempatkannya filologi sebagai bagian kurikulum di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), seperti Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Sebelumnya filologi hanya diberikan sebagai mata kuliah di perguruan tinggi umum saja seperti UI, UGM, dan Unpad.14

Dengan dibukanya studi filologi di perguruan tinggi berbasis agama ini membuka kecenderungan calon peneliti dalam memilih naskah keislaman, dan mendiskusikan kandungannya secara lebih mendalam. Hal ini pula yang mendorong Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dab Diklat, Kementrian –saat itu Departemen- Agama RI mencanangkan program “Inventarisasi, Pelestarian, Penelitian, dan Pemanfaatan Naskah Keagamaan Nusantara” pada awal tahun 2000-an.

Perkembangan lainnya adalah dibukanya beasiswa filologi tingkat Magister di Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah yang merupakan beasiswa dari Puslitbang Lektur Keagamaan pada tahun 2009. Pada tahun 2010, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Pendis) juga mengadakan beasiswa bagi para dosen PTAI untuk mengambil program Doktoral pengkhususan Filologi di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) Depok.

Kesemua perkembangan ini menunjukkan bahwa filologi bisa diintegrasikan dengan multidisiplin ilmu mencakup penerapan kritik teks disertai kajian mendalam atas konteks Islam lokal dan dengan penerapan berbagai teori, seperti teori sastra yang berkembang mulai tahun 1970-an. Demikianlah, perkembangan filologi sejak awal penggunaannya hingga saat ini yang berkembang di Indonesia. Kita bisa melihat bahwa filologi tak hanya orientasi pada naskah seperti penyuntingan, penerjemahan saja, melainkan juga kontekstualisasi atas teks yang dikajinya.

(21)

BAB III

aksaranya aksara Pallawa, Jawa Kuno, Kawi dsb.

Sementara pada kisaran abad 14-19, telah terjadi akulturasi kebudayaan Islam yang telah tersebar di Pulau Jawa dan sekitarnya. Kebudayaan ini baru. Bahasa yang baru pula, yaitu bahasa Arab yang kemudian mengalami lokalisasi menjadi aksara Jawi dan aksara Pegon.

Sementara pada kisaran abad 19 hingga saat ini, ditandai dengan akulturasi budaya Barat yang dibawa penjajah. Penggunaan aksara latin dan tersebarnya agama kristen juga merebak pada masa ini. Perhatian terhadap naskah-naskah Nusantara juga semakin besar terutama oleh para misionaris dan zending

Belanda yang mempelajari bahasa Melayu untuk kepentingan dakwah hingga melahirkan kamus dan terjemahan Alkitab.

(22)
(23)

Bibliografi

Buku:

Baried, Baroroh., dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Versi PDF.

Fathurahman, Oman. 2015. Filologi Indonesia: Teori dan Metode. Jakarta: Prenadamedia Group.

Lubis, Nabilah. 2007. Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Penerbit Yayasan Media Alo Indonesia.

Internet:

Pendahuluan Proposal Acara Festival Naskah Nusantara 14-17 September 2015 dari laman http://festivalnaskahnusantara.perpusnas.go.id/ diakses pada 10-02-2017

Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), dikutip dari laman:

Referensi

Dokumen terkait