Desa Sugihwaras Sebagai Bentuk Mitigasi Bencana Erupsi
A. Terraningtyas1* , I. Haris1 , N. Aprilia1 , T.Febriana1, E. Hariyono2
1Jurusan Fisika, Universitas Negeri Surabaya,Surabaya-Indonesia
2Program Studi Pendidikan IPA, Sekolah Pascasarjana UPI, Bandung-Indonesia
*Email: ambarwatiterraingtyas@gmail.com
Abstrak:
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis desain bangunan terhadap tingkat keamanan pemukiman masyarakat di sekitar Gunung Kelud di Desa Sugihwaras sebagai bentuk mitigasi bencana erupsi. Metode yang kami gunakan adalah survey langsung 25 rumah warga (random sample survey) dengan melihat desain rumah, kemiringan atap bangunan rumah, luas rumah, dan data pendukung seperti pemilik rumah sudah berapa kali mengalami erupsi Kelud. Kesimpulan dari penelitian ini adalah desain bangunan warga di Desa Sugihwaras menggunakan bentuk desain bangunan yang hampir sama dengan kebanyakan rumah pada umumnya namun memiliki atap yang lebih kerucut. Bentuk desain bangunan yang atapnya lebih kerucut tersebut dapat mempercepat turunnya
material erupsi sehingga tidak menumpuk di atap rumah. Dari hal ini, maka bisa di ketahui desain bangunan yang tepat untuk warga yang tinggal di sekitar lereng gunung api sebaiknya memiliki atap yang lebih mengerucut dibandingkan dengan rumah kebanyakan dengan kemiringan minimal 45°.
PENDAHULUAN
Salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia adalah erupsi gunung api. Indonesia memiliki 125 gunung berapi dan 83 diantaranya masih aktif hingga saat ini. Salah satu gunung api aktif di Indonesia adalah Gunung Kelud. Gunung Kelud selama ini pernah mengalami erupsi selama enam kali yaitu pada tahun 1901,1919, 1951, 1966, 1990, 2007 dan 2014. Gunung Kelud sejak abad ke-15 telah menimbulkan korban hingga lebih dari ke-15 ribu jiwa. Pada tahun ke-1586, letusan gunung ini telah merenggut korban lebih dari 10 ribu jiwa. Hingga saat ini
Gunung Kelud masih dinyatakan sebagai gunung api aktif sehingga masih dimungkinkan terjadi letusan dimasa mendatang (Hidayati and Aida Kurniawati, 2013).
Letusan Kelud 2014 dianggap lebih dahsyat daripada tahun 1990. Meskipun hanya berlangsung tidak lebih daripada dua hari dan memakan 4 korban jiwa akibat peristiwa ikutan, bukan akibat langsung letusan. Peningkatan aktivitas sudah dideteksi di akhir tahun 2013. Namun, situasi kembali tenang. Baru kemudian diumumkan peningkatan status dari Normal menjadi Waspada sejak tanggal 2 Februari 2014. Pada 10 Februari 2014, Gunung Kelud dinaikkan statusnya menjadi Siaga dan kemudian pada tanggal 13 Februari pukul 21.15 diumumkan status bahaya tertinggi, Awas (Level IV), sehingga radius 10 km dari puncak harus dikosongkan dari manusia. Hanya dalam waktu kurang dari dua jam, pada pukul 22.50 telah terjadi letusan pertama tipe ledakan (eksplosif). Erupsi tipe eksplosif seperti pada tahun 1990 ini (pada tahun 2007 tipenya efusif, yaitu berupa aliran magma) menyebabkan hujan kerikil yang cukup lebat dirasakan warga di wilayah Kecamatan Ngancar, Kediri, Jawa Timur (Pusat Vulkanologi, Mitigasi, dan Bencana Geologi).
Dalam kasus erupsi Gunung Kelud yang terjadi pada bulan Februari 2014,
Kerusakan Erupsi Gunung Kelud, Pemkab Kediri).
Desa Sugihwaras sendiri adalah salah satu desa yang terletak dilereng Gunung Kelud. Tepatnya ada di Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri. Desa ini berlokasi 8 km dari puncak Gunung Kelud. Pada desa ini terdapat 31 RW dan 6 RT dengan jumlah rumah total sebanyak 1.150 Rumah. Dari data diatas disebutkan kurang dari 50% dari jumlah rumah yang mengalami kerusakan.
Ketangguhan masyarakat lereng Gunung Kelud dalam menyikapi bahaya
erupsi 2014 menjadi tema yang menarik. Minimnya dampak erupsi terhadap bangunan pemukiman bisa menjadi model bagi daerah lain yang memiliki potensi bencana gunung api yang sama.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 1 April 2017 yang berlokasi di Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Desa Sugihwaras berjarak sekitar 8 km dari lokasi gunung kelud. Data yang diambil berupa 25 rumah warga (random sample survey) dengan melihat desain rumah, kemiringan atap bangunan rumah, luas rumah, dan data pendukung seperti pemilik rumah sudah berapa kali mengalami erupsi Kelud. Instrumen penelitian ini mempergunakan pedoman observasi, note, dan alat perekam gambar serta wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan dan alat perekam suara.
HASIL DAN DISKUSI
Hasil yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan dengan 25 sampel acak adalah
No Desain Bangunan Kemiringan Atap (°) Jumlah Ket
1 Rumah Joglo 10 1 KB
2 Rumah lebih enom (atapnya
25 2 KB
4 lebih kerucut) 35 3 KR
5 40 9 KR
6 45 3 KR
7 50 1 TR
Ket= KB:Kerusakan Berat KR:Kerusakan Ringan TR:Tidak Rusak (saat terjadi erupsi Kelud 2014)
Masyarakat sekitar lereng gunung kelud telah paham akan desain bangunan yang tepat sebagai bentuk mitigasi bencana. Hal tersebut diketaui dari data yang diperoleh, hampir semua warga desa sugihwaras telah memiliki desain
yang atapnya kerucut atau biasa disebut warga lebih “enom”. Bentuk bangunan ini sangat disarankan untuk pemukiman warga yang berada disekitar lereng gunung
api.
Jika diperhitungkan, memang bangunan yang memiliki atap yang lebih kerucut akan sangat tahan jika terkena material erupsi. Material akan langsung jatuh dan tidak tertimbun di atap bangunan. Sudut kemiringan pada atapnya sendiri pun mempengaruhi turunnya material. Salah satu warga yang memiliki atap dengan kemiringan sebesar 50° mengaku bahwa rumahnya tidak rusak sedikitpun saat erupsi Kelud 2014. Hal ini menunjukkan bahwa memang dengan atap yang sedikit lebih kerucut dapat meminimalisir dampak erupsi.
Dari hal tersebut dapat diketahui desain bangunan yang seharusnya ada dilereng gunung api adalah dengan memiliki atap rumah yang lebih kerucut. Dari data yang diperoleh dapat dijadikan patokan, dengan memiliki atap rumah dengan kemiringan minimal 45° maka dapat menghindari dampak erupsi.
KESIMPULAN
menumpuk di atap rumah. Hal tersebut yang mengakibatkan minimnya dampak erupsi pada pemukiman warga saat erupsi Kelud 2014. Dari hal ini, maka bisa di ketahui desain bangunan yang tepat untuk warga yang tinggal di sekitar lereng gunung api sebaiknya memiliki atap yang lebih mengerucut dibandingkan dengan rumah kebanyakan dengan kemiringan minimal 45°.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. no year. Gunung Kelud (http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung Kelud). Diakses tanggal: 28 Maret 2017
Any J., Widodo B., Ribut L., Hamidin, Evi O.. (2011). Rapid Assessment Terhadap Kerusakan Bangunan Akibat Erupsi Merapi Tahun 2010. J. Sains Dan Teknol. Lingkung. Vol. 3 No. 1, 115‐124.
BNPB. (2010). Jangan Lengah Terhadap Ancaman Bencana Geologi, Tanggal: 1 Januari 2015 pukul 13.5 WIB, Jakarta
Falconer, Sam. (2017). The thought experiment: Could I build a house that would survive a volcanic eruption?. http://www.sciencefocus.com. Diakses tanggal: 25 Maret 2017
Hidayati, D.N., Aida Kurniawati. (2013). Kesiapan Tanggap Bencana Masyarakat Kecamatan Ngancar Kabupaten Kediri Terhadap Ancaman Erupsi Gunung Kelud. Vol. 2 No. 1
Pomonis, A., Robin S., Peter Baxter. (1999). Risk assessment of residential buildings for an eruption of Furnas Volcano, Sa˜o Miguel, the Azores. Journal of Volcanology and Geothermal Research 92 _1999. 107–131. Wardhani, P.I., Sartohadi, J., Sunarto, Bachri, S.. (2015). Ancaman Bencana Alam