• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pendidikan Tinggi Di Indonesia (Analisis Kebijakan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Kebijakan Pendidikan Tinggi Di Indonesia (Analisis Kebijakan Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012)"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

PROSES TERBENTUKNYA UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI NO 12 TAHUN 2012

Makna dan tujuan pendidikan adalah untuk memerdekakan, membudayakan dan memanusiakan manusia termasuk didalamnya proses sosialisasi nilai-nilai dan kultural yang diharapkan dapat membantu manusia menjadi manusia (on the process of becoming human). Pendidikan adalah suatu proses mendidik seseorang manusia menjadi manusia yang dapat menghargai martabat setiap manusia baik perempuan maupun laki-laki. Implikasinya adalah seorang manusia terdidik akan berusaha untuk memperluas cakrawala wawasannya, memperdalam pengetahuannya untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.33

Pendidikan di Indonesia akan berhasil jika setiap proses dan pelaksanaan sistem pendidikannya dilaksanakan sesuai dengan cita-cita Undang-Undang Dasar 1945. Terutama dalam menangani permasalahan alokasi pembiayaan pendidikan seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Diperlukan komitmen dalam merealisasikan 20% APBN dan APBD untuk pendidikan serta inovasi yang brilian untuk mengelola dana pendidikan agar dapat bermanfaat untuk pembiayaan sistem pendidikan nasional. Karena pendidikan menjadi fokus utama untuk kemajuan suatu bangsa. Jika pendidikan suatu bangsa baik maka kemajuan bangsa tersebut akan baik.

Jika melihat negara-negara maju yang mengalokasikan dana pendidikan secara memadai seperti Swedia (8.3 %), Swiss (7.3%), Kanada (7,0%), Australia (5.6%), Inggris (5.4%) terbukti kinerja pendidikan nasionalnya memadai. Sekolah-sekolah dinegara tersebut, apalagi perguruan tinggi banyak diminati siswa dan mahasiswa dari manca negara. 34 Apabila negara-negara maju rata-rata sudah mengalokasikan dana untuk pendidikan sebesar 5.1 % dari GNP maka angka untuk negara-negara berkembang hanya 3.8%. Rendahnya GNP pada negara-negara berkembang masih harus didistribusikan dalam banyak prioritas. Banyaknya prioritas pembangunan sudah menjadi ciri khusus negara-negara berkembang. Alhasil, dana yang dialokasikan untuk pembiayaan pendidikan menjadi problem utama karena alokasinya sangat terbatas.35

33

Mochtar Buchori. Spektrum Problema Pendidikan di Indonesia. Yogyakarta: Tiarawacana. hal. 33.

34

Tonny D Widiastono. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Kompas. hal. 421.

35

(2)

Jika diukur dari GNP, pembiayaan pendidikan di Indonesia tergolong rendah. Indonesia hanya mengalokasikan dana untuk pembiayaan pendidikan sebesar 1,4 % dari GNP. Dalam mengalokasikan dana untuk pembiayaan pendidikan Indoneisa termasuk negara yang pelit. Jangankan dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Swedia, Kanada dan Australia yang mengalokasikan dana pendidikan relatif sangat tinggi dari GNP-nya, dibanding negara-negara tetangga saja kita tidak mampu menandinginya. Malaysia mengalokasikan dana pendidikan sebesar (5,2%) dan Thailand sebesar (4,1%).36

Pada bab ini, penulis akan memaparkan proses terbentuknya undang-undang pendidikan tinggi serta alokasi anggaran pendidikan di Indonesia sebagai upaya menganalisis permasalahan-permasalahan pendidikan sehingga kemudian memudahkan analisis kebijakan khususnya Undang-Undang Pendidikan Tinggi No.12 Tahun 2012.

2.1Transformasi Kebijakan Pendidikan pada Masa Orde Baru Menuju Reformasi

Berselimutkan otonomi pendidikan tinggi, pemerintah memberi kesempatan leluasa kepada beberapa pendidikan tinggi untuk mengatur dan mencari dana sendiri didalam penyelenggaraan pendidikannya. Hal itu disebabkan karena pemerintah kekurangan dana untuk pendidikan sehingga memberikan kesempatan kepada universitas-universitas yang telah maju untuk mencari dana tambahan selain dana yang diberikan oleh pemerintah.37

Badan Hukum Milik Negara (BHMN) adalah salah satu bentuk badan hukum di Indonesia yang awalnya dibentuk untuk mengakomodasi kebutuhan khusus dalam rangka “privatisasi”

Kita mengetahui betapa konsekuensi dari kebijakan tersebut antara lain ialah naiknya SPP dan masuknya universitas-universitas dalam dunia bisnis. Dengan demikian ilmu pengetahuan telah menjadi komoditas. Hal itu memang dapat dimaklumi, tetapi pengaruh selanjutnya adalah akses untuk memperoleh ilmu pengetahuan tersebut terbatas bagi masyarakat yang mampu. Universitas-universitas BHMN secara tidak sadar menjadi universitas elit yang hanya dapat dimasuki oleh golongan atas.

38

36

Ibid., hal. 427.

lembaga pendidikan yang memiliki karakteristik tersendiri, khususnya sifat non-profit meski berstatus badan usaha.

37

H.A.R Tilaar. 2012. Kaleidoskop Pendidikan Nasional. Jakarta: Kompas. hal 266.

38

(3)

Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 1999 ini pemerintah membuka kemungkinan secara selektif kepada perguruan tinggi negeri yang dinilai sudah memiliki kemampuan pengelolaan yang mencukupi untuk dapat memiliki kemandirian, otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar untuk diubah status hukumnya menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang dapat berperan sebagai kekuatan moral dalam proses pembangunan masyarakat madani yang lebih demokratis dan mampu bersaing secara global. Perguruan Tinggi Negeri berstatus BHMN tetap menjadi aset negara yang berharga untuk memperbaiki citra bangsa.

Menurut Arifin P. Soeria Atmadja, keberadaan Perguruan Tinggi Negeri sebagai BHMN adalah sebagai upaya menentukan badan hukum dapat didirikan atau diakui oleh Pemerintah. Tidak ada suatu ketentuan yang mengharuskan pendirian suatu badan hukum dengan undang. Pendirian suatu badan hukum dapat dilakukan dengan undang-undang, peraturan pemerintah, bahkan dengan keputusan presiden sekalipun, atau dengan konstruksi hukum39

Ada 3 alasan mengapa pendirian Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum Milik Negara dilakukan dengan peraturan pemerintah, yaitu:40

1. Pemisahan kekayaan negara harus dilakukan dengan peraturan pemerintah sehingga peraturan pemerintah bagi penetapan perguruan tinggi negeri sebagai BHMN merupakan landasan hukum bagi pemisahan kekayaan negara dan penempatannya sebagai kekayaan awal BHMN.

2. Kekayaan awal perguruan tinggi negeri BHMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan, dimana sebagian kekayaan negara yang merupakan harta kekayaan tidak bergerak berupa tanah, tidak dapat dipindahtangankan oleh perguruan Tinggi Negeri BHMN kepada pihak ketiga, hubungan kepemilikan kekayaan awal tetap berada pada negara.

3. Karena penetapan perguruan tinggi negeri BHMN dilakukan dengan suatu ketentuan publik, yaitu peraturan pemerintah, eksistentsi perguruan tinggi negeri BHMN tidak lagi memerlukan pengesahan lagi dari Departemen Hukum dan HAM RI yang merupakan bagian integral dari organisasi kekuasaan umum atau pemerintah.

39

Arifin P. Soeria Atmaja. 2005. Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum : Teori, Praktik dan Kritik, Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. hal 131.

40

(4)

Perguruan tinggi negeri yang berstatus sebagai Badan Hukum Milik Negara merupakan bentuk perguruan tinggi yang memiliki lima prinsip utama dalam penyelenggaraannya, yaitu otonomi, akuntabilitas, akreditasi, kualitas dan evaluasi. Kelima prinsip tersebut akhirnya menjadi paradigma baru bagi pendidikan tinggi di Indonesia.

Terutama dari segi akuntabilitas, dimana Badan Hukum Milik Negara harus memberikan laporan tahunan berupa:

1. Laporan keuangan yang meliputi neraca, laporan arus kas dan laporan perubahan aktiva bersih.

2. Laporan akademik berupa penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang meliputi keadaan, kinerja, serta hasil-hasil yang telah dicapai universitas.

3. Laporan ketenagakerjaan universitas yang meliputi keadaan, kinerja, dan kemajuan yang telah dicapai.

Perguruan Tinggi BHMN memiliki otonomi dalam pengelolaan kekayaan (sumber dana), yang disesuaikan dengan kebutuhan dengan memperhatikan prinsip efisiensi dan akuntabilitas. Pada PTN biasa, pengelolaan dana diatur secara sentralistik melalui rambu-rambu, yang ditetapkan melalui suprastruktur pusat serta penetapan sumber-sumber dana secara kaku otonomi pada PTN biasa ini terbatas pada kewenangan menerima, menyimpan dan menggunakan dana yang berasal dari masyarakat.

Pendidikan tinggi memerlukan otonomi bukan hanya otonomi dalam bentuk kebebasan akademik, tetapi juga otonomi kelembagaan dalam masalah-masalah manajemen, penyusunan program, dan anggaran. Dengan demikian, pendidikan tinggi tersebut sebagai lembaga akan bersifat kreatif dan menjadi pelopor perubahan baik di dalam masyarakat sekitarnya maupun di dalam kemajuan ilmu pengetahuan.41

Dengan adanya otonomi lembaga pendidikan tinggi, maka dapat dipilah-pilah prinsip-prinsip mana yang dapat diterapkan dalam lingkungan pendidikan tinggi yang ada. Mengubah suatu manajemen pendidikan tinggi tidaklah semudah sebagaimana yang digambarkan. Terdapat banyak kendala yang dihadapi di dalam penerapan suatu sistem. Selain itu, setiap perubahan sistem biasanya menuntut biaya dan persiapan yang matang, apalagi jika tidak tersedia sumber daya manusia yang diperlukan, maka setiap penerapan prinsip manajemen baru akan meminta biaya besar.42

41

Hasbullah. 2010. Otonomi Pendidikan, Kebijakan Otonomi Daerah dan implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. hal 129.

42

(5)

Sebagai akibat kebijakan sentralistis dalam beberapa dekade penyelenggaraan pendidikan tinggi, dampaknya tidak saja melahirkan sifat-sifat ambivalen, afirmatif, arogan dan sebagainya, tetapi juga kesulitan dalam pengembangan dan peningkatan kualitasnya sehingga sulit bersaing dengan perguruan-perguruan tinggi yang ada di luar negeri.43

Dengan demikian, pengelolaan dana perguruan tinggi BHMN memerlukan model pengelolaan yang lebih tepat, akurat dan informatif, agar dapat mengelola dana yang jumlahnya terbatas menjadi lebih efektif dan efisien serta senantiasa mampu menyediakan informasi yang dibutuhkan. Suatu model pengelolaan dana yang dapat meningkatkan kinerja pengelolaan, khususnya pada aspek-aspek penting seperti pengalokasian atau pembebanan, sehingga dapat mewujudkan tuntutan masyarakat tentang pengelolaan dana secara efektif dan efisien dalam mewujudukan akuntabilitas pengelolaan dana di lingkungan perguruan tinggi.

Keberhasilan gerakan reformasi tahun 1998 dengan cepat mengubah tatanan kehidupan sosial, politik dan pemerintah di Indonesia. Gagasan tentang demokratisasi politik dan desentralisasi pemerintahan dengan cepat diaplikasikan melalui berbagai undang-undang. Menyikapi desentralisasi atau otonomi pemerintahan daerah dan tuntutan dan tantangan global serta tuntutan-tuntutan lainnya maka, Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) memandang bahwa Sistem Pendidikan Nasional harus segera diperbaharui atau direformasi, dengan membentuk Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru menggantikan Undang-Undang Sisdiknas No. 2 Tahun 1989, yang tidak sesuai dengan semangat tuntutan reformasi.44

Undang-Undang tentang Sisdiknas merupakan proses politik yang memadukan aspek-aspek filosofi, akademis, sosiologis, kultural, keuangan, hukum, politik dan pemerintahan. Reformasi dibidang pendidikan yang ditandai dengan demokratisasi pemerintahan yang sebelumnya menganut pemerintahan sentralistis. Hal ini dapat ditanggap dalam dua segi yaitu pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah

Langkah tersebut dimulai pada awal 2001 dengan membentuk tim, melakukan pengkajian, dengar pendapat dan sebagainya hingga diperoleh kesepakatan lahirnya RUU Sisdiknas tanggal 28 Maret 2003 yang kemudian disempurnakan dengan penjelasan dan lain-lain menjadi naskah pada 25 April 2004. Kemudian naskah itu disempurnakan lagi pada 19 Mei 2003 dan terakhir pada 10 Juni 2003 dan akhirnya disahkan pada 11 Juni 2003 menjadi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas)

43

Ibid, hal 142.

44

(6)

daerah (otonomi daerah). Hal ini menunjukkan peranan pemerintah akan dilimpahkan kepada pemerintahan daerah dan sekaligus memperbesar partisipasi masyarakat. Peranan pemerintah pusat yang bersifat sentralistis selama 32 tahun lebih akan diperkecil dengan memberikan peranan yang lebih besar kepada pemerintahan daerah yang kemudian dikenal dengan desentralisasi. Kedua hal tersebut harus berjalan dengan simultan dan merupakan paradigma baru yang menggantikan paradigma lama yang sentralistis.

Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam Undang-Undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003) dalam bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa, “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan

menjunjung hak asasi manusia”. Karena pendidikan diselenggarakan sebagai sebuah proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat serta memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.45

Meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan pendidikan namun tanggung jawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada ditangan menteri yang diberi tugas oleh presiden yaitu menteri pendidikan nasional. Dalam hal itu pemerintah menentukan kebijakan pendidikan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Sedangkan pemerintah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga pendidik, penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota.

Kelahiran Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada dasarnya merupakan salah satu wujud reformasi bangsa dalam bidang pendidikan sebagai respon terhadap berbagai tuntutan dan tantangan yang berkembang baik global, nasional, maupun lokal. Dalam konsideran UU tersebut dinyatakan: ”Bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan,

peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi

tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global

sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan

berkesinambuingan”. Undang-undang ini memberi peluang bagi peran serta pemerintah daerah dan masyarakat secara lebih optimal, kesetaraan, dan layanan bagi kaum lemah. Dengan demikian, melalui Undang-undang Sisdiknas ini diharapkan terwujudnya satu

45

(7)

sistem pendidikan nasional yang lebih adaptif dengan aspirasi, semangat, dan komitmen yang berkembang di masa kini. Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003, mengandung sejumlah paradigma baruyang menjadi landasan perwujudan pendidikan nasional yaitu yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan nasional secara demokratis, sistemik, pembudidayaan dan pemberdayaan, keteladanan, budaya belajar, pemberdayaan masyarakat, pengendalian mutu layanan pendidikan.46

Nuansa upaya mengurangi derajat tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan dan membiayai pendidikan, terutama pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan bermutu, sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Aromanya dimulai dari munculnya pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisidiknas).

47

Penurunan derajat kewajiban pemerintah juga terlihat dalam pasal 11 UU Sisdiknas, Ayat (1) dan (2). Lengkapnya dinyatakan dalam ayat (1), “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan pelayanan dan kemudahan, serta menjamin

terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warganegara tanpa diskriminasi.”, dan juga Ayat (2), “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dan guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warganegara yang berusia tujuh sampai

dengan lima belas tahun”.

Hal ini memungkinkan penurunan derajat kewajiban pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat dalam pasal 9 UU sisdiknas yang menyatakan bahwa “masyarakat berkewajiban memberi dukungan sumber daya dalam penyelenggaraaan pendidikan” dan pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai dengan undang-undang yang ada.

Padahal, dalam undang-undang Sisdiknas pasal 1, Bab 1 tentang ketentuan umum, Ayat (18), dengan jelas dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap terselanggaranya wajib belajar bagi setiap warga negara Indonesia. Berikut ini bunyi ayatnya, “Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti warganegara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan

pemerintah daerah”.

46

Anwar Arifin, op.cit., hal 130.

47

(8)

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang diamandemen dinyatakan dengan tegas pada pasal 31 Ayat (2), “Setiap warganegara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Hal tersebut dipertegas dalam Ayat (4), “Negara memprioritaskan anggaran pendapatan sekurang kurangnya 20% dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan”. Kemudian diperjelas dalam rancangan peraturan pemerintah penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), “Setiap warganegara usia wajib belajar berhak mendapat pelayanan program wajib belajar yang

bermutu tanpa dipungut biaya”.

Kembali pada penerapan undang-undang dibawah UUD 1945 yang mengamanatkan pelaksanaan pendidikan dasar gratis, ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan ketidakmampuannya.48 Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menyatakan pemerintah belum mampu memberikan pendidikan dasar secara gratis (RPJMN, halaman IV.26-4).

2.2 Format Baru Kebijakan Pendidikan Nasional UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjabarkan lebih lanjut mengenai tujuan pendidikan nasional yang digariskan dalam UUD 1945. Pasal 3 undang-undang tersebut dengan tegas mengatakan bahwa :

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi akademik peserta didik agar menjadi mahasiswa yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”49

Fungsi dan tujuan sistem pendidikan nasional sudah jelas menunjukkan mengenai apa sebenarnya yang akan kita capai dengan sistem pendidikan nasional itu. Dalam

48

Anwar Arifin, op.cit., hal 131.

49

(9)

rumusan tersebut sama sekali tidak dikatakan bahwa pendidikan nasional dikembangkan di atas paradigma persaingan ataupun paradigma internasional.50

Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mencantumkan keharusan penyelenggaraan satuan pendidikan formal berbentuk badan hukum pendidikan yang diletakkan dalam bagian kedua Bab XIV tentang Pengelolaan Pendidikan.

Satuan pendidikan di Indonesia harus mempunyai eksis, bertumbuh dan berkembang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat, seperti wujud masyarakat industri, masyarakat informasi, dan masyarakat demokratis yang memerlukan pengelolaan yang lebih rasional, profesional, transparan dan akuntabel. Sudah selayaknya jajaran pendidikan tidak bersifat konserfatif falam menghadapi perubahan sosial dan seharusnya bersifat reformis, progresif dan demokratis serta terbuka terhadap tuntutan perubahan. Setiap zaman memerlukan cara tersendiri untuk menjawab semua tantangan dan peluang yang timbul dan dunia pendidikan akan selalu dijuluki pelopor perubahan (agent of change). Itulah sebabnya ketika reformasi bertiup kencang pada 1998, maka masyarakat pendidikan juga mendorong perlunya reformasi dan paradigma baru dalam sistem pendidikan nasional. Hal itu kemudian diimplementasikan oleh DPR-RI bersama pemerintah dengan membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Salah satu substansi penting yang dicantumkan dalam pasal 53 ayat (1) yaitu: “Penyelenggaraa dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau

masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”.

Salah satu latar belakang lahirnya gagasan dan bahkan desakan perlunya badan hukum pendidikan diatur dalam UU Sisdiknas berawal dari masalah yang dihadapi sejumlah perguruan tinggi negeri yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang lahir berdasarkan Peraturan Pemerintah. Itulah sebabnya kehadiran BHMN dianggap tidak memiliki payung hukum yang kuat, karena tidak memiliki rujukan pada UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas. Sehingga perguruan tinggi yang berstatus BHMN mengalami kesulitan dalam pengelolaan keuangan yang hendak dilakukan secara mandiri seperti SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) dari mahasiswa dan sumber-sumber dana lainnya dari masyarakat.

Pembentukan status BHMN bagi perguruan tinggi negeri (UI, UGM,ITB dan IPB) pada 1999, merupakan awal dari upaya pemerintah melakukan reformasi pendidikan tinggi

50

(10)

untuk menjawab tuntutan demokratisasi dan desentralisasi atau otonomi perguruan tinggi dan menjawab tantangan global. Hal ini dimaksudkan agar perguruan tinggi yang berstatus BHMN memberikan pelayanan yang baik kepada peserta didik untuk meningkatkan mutu dan relevansi lulusan dan pada saatnya mampu bersaing dengan perguruan tinggi di negara lain dalam era globalisasi.

Pada tataran praktis, bangsa Indonesia juga tidak terlepas dari persaingan antarbangsa di satu sisi dan kemitraan dengan bangsa lain di sisi lain. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan daya saing dan daya mitra bangsa Indonesia dalam era global, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mewujudkan darma pendidikan yaitu menghasilkan insan Indonesia yang cerdas, kreatif, berbudaya, toleran, demokratis, dan berkarakter tangguh.

Globalisasi menimbulkan sejumlah tantangan. Pertama, menguatnya globalisasi berdampak pada memudarnya batas geografis dan geopolitik diiringi dengan meningkatnya mobilitas dan migrasi antarwarga. Kecenderungan yang terjadi di berbagai belahan dunia, sejumlah negara terus membuka arus perdagangan gobal terhadap produk, barang, dan jasa.

Kedua, globalisai juga ditandai dengan meningkatnya ragam kompetisi. Kapasitas kompetisi dan nilai daya saing menjadi penentu bagi keunggulan masing-masing bangsa. Ketiga, persaingan dalam memperebutkan tingkat kesejahteraan dan ekonomi masyarakat di berbagai belahan dunia semakin ditentukan oleh penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta keunggulan seni dan budaya. Keempat, perkembangan peradaban global juga semakin bergerak ke arah masyarakat ekonomi yang berbasis ilmu pengetahuan.51

Berdasarkan hal tersebut, maka DPR-RI bersama pemerintah menetapkan bahwa penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal harus berbentuk badan hukum pendidikan yang ditetapkan dalam undang-undang. Bentuk yayasan atau bentuk perseroan terbatas atau koperasi atau perkumpulan yang selama ini dipakai para penyelenggara pendidikan, dipandang sudah tidak sesusi lagi dengan semangat zaman baru.

Dengan lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional membawa paradigma baru pendidikan nasional bahwa pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu dan evaluasi yang transparan. Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola lembaganya, dan perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri

51

(11)

lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah dan pengabdian masyarakat, sehingga perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.

Prinsip otonomi dalam pengelolaan saruan pendidikan tinggi dapat diartikan sebagai demokratisasi penyelenggaraan (Pemerintah, Pemerintah Daerah, Yayasan, PT, Koperasi, atau Perkumpulan). Dengan kata lain perguruan tinggi harus lebih mandiri dan otonom dalam pengelolaan lembaganya untuk melaksanakan tri darma perguruan tinggi.52

Berikut ini adalah awal lahirnya badan hukum pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dengan beberapa pasal pendukung, antara lain:

Untuk itu, perguruan tinggi yang berbentuk badan hukum pendidikan dan penyelenggara masuk sebagai pendiri “BHP” dengan tetap memiliki kewenangan dan hak suara secara proporsional dalam pengelolaan satuan pendidikan yang didalam BHMN disebut wali amanah (dewan pembina). Inilah bentuk reformasi pendidikan yang lahir dari tuntutan perubahan yang mengusung paradigma baru untuk memberikan pelayanan prima kepada peserta didik dalam memenuhi tantangan global.

1. Pasal 9 menyebutkan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.

2. Dalam Pasal 12 Ayat 2 (b) memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang berlaku.

3. Pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan bahwa: Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

1. Badan hukum pendidikan dalam Ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.

2. Badan hukum pendidikan dalam Ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Berdasarkan pasal 53 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat. Undang-Undang Sisdiknas secara tegas menyatakan bahwa

52

(12)

peran serta partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan terutama dalam pemenuhan atas pembiayaan pendidikan.

2.3Lahirnya Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan

Badan Hukum Pendidikan merupakan suatu wacana dalam masyarakat maupun dalam dunia akademis. Sejak RUU BHP diperkenalkan di DPR, telah timbul pro-kontra didalam masyarakat mengenai fungsi dan peranan BHP dalam manajemen pendidikan nasional. Telah banyak sorotan dari masyarakat maupun dari dunia akademik mengenai Badan Hukum Pendidikan dilihat dari segi hukum, perundang-undangan, politik, demokrasi maupun tinjauan historis dari yayasan-yayasan penyelenggara pendidikan yang menganggap BHP telah merampas hak yayasan pendidikan.

Dalam Undang-Undang No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan menyatakan bahwa Badan Hukum Pendidikan adalah unit organisasi yang menjalankan fungsi Badan Hukum Pendidikan, baik secara sendiri maupun secara bersama-sama, sesuai dengan tujuan Badan Hukum Pendidikan. Jadi dapat dikatakan bahwa, di dalam Badan Hukum Pendidikan tersebut terdapat juga unit-unit pelaksana seperti yayasan pendidikan yang menjalankan fungsi Badan Hukum Pendidikan untuk melaksanakan kegiatan pendidikan formal, baik itu pemimpin organ pengelola pendidikan maupun pimpinan organ pengelola.

Kelahiran Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) merupakan perintah/amanat dari Pasal 53 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang menyebutkan bahwa :

1. Penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

2. Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri.

(13)

dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.53

Pasal 1 ayat 1 UU BHP menyebutkan Badan Hukum Pendidikan adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal. Kemudian dalam Pasal 1 angka 9 diberikan batasan bahwa pendidikan formal adalah jalur pendidikan terstruktur dan berjenjang yang meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

UU Sisdiknas mengamanatkan perlunya pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi. Selain itu, dalam Pasal 53 UU Sisdiknas juga diperintahkan bahwa BHP harus diatur dengan undang-undang. Sehubungan dengan hal tersebut, telah diundangkan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang mengatur tentang BHP dalam bentuk undang-undang.

Selanjutnya, sesuai ketentuan Pasal 5 UU BHP, maka BHP terdiri dari ada 2 (dua) jenis, yaitu:

1. BHP Penyelenggara

BHP Penyelenggara adalah Yayasan, Perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan diakui sebagai badan hukum pendidikan, yang menyelenggarakan 1 (satu) atau lebih satuan pendidikan formal. 2. BHP Satuan Pendidikan.

BHP Satuan Pendidikan merupakan jenis badan hukum pada satuan pendidikan formal. Sesuai dengan Pasal 6 dan Pasal 7 UU BHP, ada 3 (tiga) bentuk BHP Satuan Pendidikan yaitu:

1. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) adalah badan hukum pendidikan yang didirikan Pemerintah dengan peraturan Pemerintah atas usul Menteri. 2. Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD) adalah badan hukum

pendidikan yang didirikan Pemerintah Daerah dengan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota.

3. Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM) adalah badan hukum pendidikan yang didirikan masyarakat dengan Akta Notaris yang disahkan oleh Menteri.

Ketiga bentuk BHP tersebut di atas hanya mengelola 1 (satu) satuan pendidikan formal (Pasal 6 ayat (2)). Dengan demikian UU BHP menegaskan bahwa pendiri badan hukum pendidikan adalah pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Di mana

53

(14)

pendiri dapat orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum seperti Yayasan, Perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis. Sehingga setelah berlakunya UU BHP tidak ada lagi penyelenggara pendidikan selain dalam bentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP).

Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan merupakan eksekusi terhadap Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 yang mengamanatkan otonomisasi perguruan tinggi. Berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa:

1. Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan pemerintah atau masyarakat berbentuk Badan Hukum Pendidikan.

2. Badan Hukum Pendidikan pada ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.

3. Badan Hukum Pendidikan pada ayat (1) berprinsip Nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.

4. Ketentuan Badan Hukum Pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri. Lahirnya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat. Sehingga beberapa kelompok masyarakat mengajukan judicial review Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan karena telah terlanggar hak konstitusionalnya.

Dengan putusan nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 permohonan Aep Saepudin menyampaikan kepada Mahkamah Konstitusi maka muncul dampak negatif yang berpotensi menciptakan pendidikan yang tidak ilmiah antara lain :54

1. Negara melepas tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang merata bagi masyarakat.

2. Masyarakat menanggung dan akan menanggung beban sebagai penanggung jawab keberlangsungan pendidikan.

3. Masyarakat diharuskan mengeluarkan biaya pendidikan dan menjadi sumber pendanaan pendidikan untuk setiap jenjang pendidikan.

4. Kerugian bagi setiap orang yang telah melebihi usia 15 tahun tidak dapat mengenyam pendidikan dasar karena adanya pembatasan usia dan pendidikan dasar dibatasi hingga 9 tahun.

5. Menurunkan kualitas pengelolaan institusi pendidikan oleh karena adanya kegiatan diluar peningkatan keilmuan.

54

(15)

6. Nasionalisme akan terkikis oleh karena pendidikan dilepas ke pasar, dimana negara hanya menjadi pemegang saham dalam Badan Hukum Pendidikan.

7. Berpotensi terjadi disintegrasi bangsa karena adanya diskriminasi sosial dalam kebijakan pendidikan nasional.

Hak Uji Materiil Atas Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan antara lain adalah :55

1. Filosofi pendidikan dalam cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia akan terpenuhi sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, terutama berhubungan dengan tanggung jawab penuh negara atas pendidikan.

2. Tanggung jawab pendidikan sepenuhnya berada pada pemerintah sehingga setiap warga negara akan mengikuti jenjang pendidikan dengan sungguhsungguh tanpa ada beban.

3. Pengawasan kualitas, pembiayaan dan pendanaan pendidikan sepenuhnya berada dan bersumber dari pemerintah dan pemerintah daerah.

4. Hilangnya diskriminasi kelas sosial dalam sistem pendidikan nasional.

5. Institusi pendidikan akan senantiasa fokus dalam pengelolaan pendidikan di bidang peningkatan ilmu pengetahuan bukan kegatan usaha lainnya.

6. Penyelarasan seluruh peraturan dibawah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.

Sistem Pendidikan Nasional yang didasarkan pada Badan Hukum Pendidikan bertentangan dengan paradigma pendidikan menurut Undang- Undang Dasar yang dapat menyebabkan komersialisasi, melepaskan tanggung jawab negara dan berpotensi adanya diskriminasi sosial di bidang pendidikan.

Akhirnya pada 31 Maret 2010 Mahkamah Konstitusi telah membatalkan semua pasal dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Mahkamah Konstitusi juga membatalkan beberapa isi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut antara lain menyatakan bahwa:56

1. Menyatakan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tetang sistem pendidikan nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 4301) sepanjang frasa,”... bertanggung jawab” adalah konstitusional sepanjang

55

Putusan Perkara nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 halaman 15-16.

56

(16)

dimaknai”...ikut bertanggung jawab”, sehingga pasal tersebut selengkapnya menjadi ” Setiap warga negara ikut bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”.

2. Menyatakan Pasal 12 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301), sepanjang frasa,”....yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga Pasal 12 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi,”Mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi”.

3. Menyatakan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003, nomor 78,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4301) Konstitusional sepanjang frasa ”Badan Hukum Pendidikan” di maknai sebagai sebutan fungsi penyelenggaraan pendidikan dan bukan bentuk badan hukum tertentu.

4. Menyatakan Penjelasan Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003, nomor 78,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4301) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5. Menyatakan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) sepanjang frasa ”...bertanggung jawab” tidak mempunyai kekuataan hukum mengikat kecuali dimaknai ”....ikut bertanggung jawab”.

6. Menyatakan Pasal 12 ayat (1) huruf c Undang-Undang Noor 20 Tahun 003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4301 ), sepanjang frasa,”...yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

(17)

2003, nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4301) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

8. Menyatakan Undang-Undang nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009, nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4965) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

9. Menyatakan Undang-Undang nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009, nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4965) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Putusan Mahkamah Kostitusi dengan jelas menyatakan bahwa Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan merupakan produk hukum yang inkonstitusional sehingga perlu di batalkan karena tidak sesuai dengan konstitusi yang ada di Indonesia. Pasca pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi menutup eksistensi atau riwayat segala hal mengenai badan hukum pendidikan sebagai Badan Hukum Pendidikan yang dikonstruksikan sebagai lembaga penyelenggara pendidikan formal.

Menteri Pendidikan Nasional menjelaskan, solusi untuk mengusulkan undang-undang baru sebagai pengganti undang-undang-undang-undang Badan Hukum Pendidikan bisa saja dilakukan, namun untuk jangka pendek pihaknya akan mencari payung hukum dalam menyelenggarakan pendidikan. Membuat undang-undang baru cukup lama, sekarang yang dipikirkan adalah penyelenggaraan pendidikan memiliki payung hukum yang jelas. Kepastian payung hukum itu harus cepat sehingga ada kejelasan status hukum bagi perguruan tinggi negeri yang menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional harus berjalan.

Sebagai akibat kebijakan sentralistis dalam beberapa dekade penyelenggaraan pendidikan tinggi, dampaknya tidak saja melahirkan sifat-sifat ambivalen, afirmatif, arogan dan sebagainya, tetapi juga kesulitan dalam pengembangan dan peningkatan kualitasnya sehingga sulit bersaing dengan perguruan-perguruan tinggi yang ada di luar negeri.57

Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) awalnya dibentuk untuk mengakomodasi kebutuhan khusus dalam rangka privatisasi lembaga pendidikan yang memiliki karakteristik tersendiri, khususnya sifat nonprofit meski berstatus sebagai badan usaha. Penetapan sebuah Universitas menjadi berstatus BHMN ditetapkan melalui

57

(18)

Peraturan Pemerintah.58

Dalam perjalanannya, kehadiran PT BHMN tidak terlepas dari pro dan kontra berbagai kalangan. Mulai mahasiswa, dosen, maupun masyarakat luas, acap kali melakukan kritik tajam terhadap pelaksanaan BHMN. Utamanya menyangkut penerimaan mahasiswa melalui jalur khusus yang mengeruk dana sampai ratusan juta rupiah. Selain itu, aset-aset PT BHMN dikomersialisasikan untuk menutup kebutuhannya.

Ada 7 (tujuh) Universitas yang berstatus BHMN yaitu: Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Universitas Airlangga (UNAIR).

Peristiwa itu terjadi bahkan jauh setelah terbitnya PP Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pada akhir September 2010. Bisa dibayangkan persoalan operasional lain seperti status hukum para dosen maupun tenaga kependidikan dan tata cara pengelolaan keuangan di PT BHMN masih belum jelas.

Dengan terbitnya PP Nomor 66 Tahun 2010 paling tidak memberikan sedikit ruang kejelasan status hukum kepegawaian dosen dan tenaga kependidikan eks Perguruan Tinggi BHMN. Berdasarkan Pasal 220A ayat (3), pemerintah mengatur adanya pengalihan status dosen dan tenaga kependidikan yang berstatus pegawai BHMN menurut peraturan perundang-undangan

Pada penjelasan Pasal 220B ayat (3) PP No. 66 Tahun 2010 disebutkan bahwa Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Airlangga (UNAIR) memenuhi kewajiban sebagai institusi Pemerintah yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.

Prosedur pengelolaan keuangan Perguruan Tinggi BHMN yaitu semua penerimaan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disimpan atau disetorkan ke kas Negara (KPPN), sedangkan penerimaan yang bersumber dari APBD Pemerintah Provinsi dan APBD Pemerintah Kabupaten/Kota, Dana Masyarakat (bersumber dari SPP mahasiswa dan lain-lain), serta usaha/penjualan jasa universitas dan lain-lain disetorkan ke Rekening Universitas, dan dimanfaatkan menurut keperluannya

58

(19)

dengan mengacu kepada anggaran yang telah disahkan. Pimpinan Universitas menetapkan alokasi, batas alokasi anggaran misalnya bagian pembiayaan honorarium, kegiatan administrasi pemeliharaan, pengembangan staf dan lain-lain.

Dengan demikian perguruan tinggi memiliki wewenang dan tanggung jawab penuh di dalam mengelola keuangannya, baik pemasukan dan pengeluaran yang dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Sehingga sumber keuangan tidak hanya didasarkan kepada anggaran pendidikan dari pemerintah. Dengan kata lain, diperbolehkan berusaha secara mandiri untuk mencari biaya operasional agar proses belajar mengajar di kampus tersebut dapat terus berlangsung.

2.4Otonomi Pendidikan Tinggi dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi

Lahirnya RUU PT yang mengusung semangat otonomisasi dan internasionalisasi perguruan tinggi dalam melakukan pengeloaan perguruan tinggi memang dapat dipandang sebagai suatu angin segar dalam memperbaiki sistem dan kualitas pengelolaan perguruan tinggi di Indonesia namun, tidak dapat di tepis justru otonomi dalam pengelolaan perguruan tinggi ini bernuasa individualistik dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia sebab, dengan adanya RUU PT ini kita akan dihadapkan dengan drama “kelinci dan kura-kura” yaitu sebuah gambaran bagaimana universitas yang memiliki kapasitas yang mumpuni akan dapat maju pesat layaknya seekor kelinci yang mampu berlari kencang di sirkuit perlombaan, mungkin hal ini memang baik tapi, disisi lain universitas-universitas negeri dan swasta yang belum digdaya dalam melakukan pengelolaan perguruan tinggi akan ketinggalan dalam mutu dan kualitas pendidikan layaknya seekor kura-kura yang berjalan lamban dalam sirkuit perlombaan.

Setelah pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi, pemerintah harus dengan segera memberi kepastian hukum yang jelas kepada perguruan tinggi yang ada di Indonesia. DPR RI kemudian menyusun sebuah rancangan peundang-undangan yang akan dijadikan sumber hukum kepada perguruan tinggi. Rancangan tersebut diberi nama Draft 20 Maret 2011 yang terdiri dari XII bab dan 102 pasal.

(20)

sehat karena secara nyata universitas yang diberi label BHMN sebelumnya meningkatkan biaya operasional pendidikan sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan menengah kebawah. Selain itu, pemberian otonomi tersebut dikhawatirkan merupakan tampilan baru Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Draft 20 Maret 2011 juga sudah memberkenalkan pendirian perguruan tinggi asing dan kerjasama pendidikan dengan negara lain. Hal itu terdapat pada pasal 73 Ayat (1) yang berbunyi, “Perguruan Tinggi Asing dapat membuka Program Studi di wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia”59

Dalam kurun waktu kurang lebih satu tahun Draft 20 Maret 2011 dikelola oleh DPR RI akhirnya berkas tersebut di uji kelayakannya. Panitia Panja RUU Dikti kemudian memberi nama Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi dengan berbagai penambahan pasal. Dalam Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi versi 22 Februari 2012 yang terdiri dari X bab dan 119 pasal mengusung pasal standarisasi pendidikan tinggi yang ditetapkan oleh menteri untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi memenuhi standar pendidikan secara nasional.

.Sehingga memungkinkan bagi negara lain untuk mendirikan perguruan tinggi di Indonesia. Akibatnya adalah akan timbul persaingan dengan perguruan tinggi negeri terutama terkait akreditasi dan kualitas perguruan.

Berdasarkan pasal 77 status pengelolaan perguruan tinggi yang dibagi menjadi tiga yaitu:60

1. Otonom terbatas 2. Semi otonom 3. Otonom

Status otonom terbatas merupakan perguruan tinggi yang hanya memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik. Status semi otonom merupakan perguruan tinggi yang memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik dan memiliki sebagian dari wewenang non akademik yang diberikan oleh Pemerintah atau badan penyelenggara. Status otonom sebagaimana merupakan perguruan tinggi yang memiliki otonomi pengelolaan bidang akademik dan non akademik. Wewenang non akademik adalah wewenang pengelolaan keuangan secara mandiri. Pengelolaan keuangan secara mandiri dilaksanakan secara transparan dan akuntabel.

Setelah mengalami berbagai perbaikan karena berbagai polemik dalam berbagai pasal maka DPR RI kembali merevisi Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi

59

Draft RUU DIKTI versi 20 Maret 2011 halaman 24.

60

(21)

hingga kembali hadir dalam Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi versi 20 Maret 2011 yang terdiri dari VII bab dan 122 pasal. Adapun penambahan pasal dalam versi ini antara lain:

Pasal 40

Menteri berwenang mengubah atau menarik pendelegasian tugas atau pemberian mandat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 39 dengan melakukan perubahan atau pencabutan izin pendirian Perguruan Tinggi.61

Setelah kurun waktu lebih dari satu tahun sejak digulirkannya draft RUU Dikti ternyata tarik menarik kepentingan antara pemerintah dengan DPR RI tidak dapat terelakkan. Pemerintah sebagai penanggung jawab perguruan tinggi sepertinya tidak ingin memberikan otonomi sebebas-bebasnya kepada perguruan tinggi karena perguruan tinggi negeri merupakan salah satu aset negara. Dilain pihak, DPR RI menilai bahwa untuk menciptakan pendidikan tinggi yang mampu bersaing dalam era globalisasi maka dibutuhkan otonomi perguruan tinggi berupa otonomi akademik dan non-akademik. Karena setiap persoalan yang terjadi dalam baik dalam hal kebijakan akademik dan pengelolaan keuangan merupakan tanggung jawab perguruan tinggi.

Namun melihat adanya pasal 40 tersebut dapat penulis ambil sebuah benang merah bahwa pemerintah melalui menteri pendidikan dan kebudayaan mempunyai kekuasaan penuh atas perguruan tinggi walaupun perguruan tinggi memperoleh haknya atas otonomi. Jika tarik-menarik kepentingan terus terjadi antara pemerintah dengan perguruan tinggi maka peserta didiklah yang akan dirugikan. Karena pemerintah dapat dengan mudah mencabut izin dari perguruan tinggi.

Pasal 49

1. Otonomi Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan Pendidikan Tinggi diberikan sesuai dengan kapasitas Perguruan Tinggi yang bersangkutan. 2. Status Perguruan Tinggi berdasarkan otonomi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) terdiri atas:

a. Perguruan Tinggi berbadan hukum; b. Perguruan Tinggi mandiri; dan

c. PTN dan PTK sebagai unit pelaksana teknis Kementerian, Kementerian Lain, dan/atau LPNK. 62

Perguruan Tinggi berbadan hukum terdiri atas:

61

Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi versi 20 Maret 2012 halaman 15.

62

(22)

1. PTN berbadan hukum yang memiliki otonomi aspek akademik dan aspek nonakademik; dan

2. PTS berbadan hukum yang memiliki otonomi aspek akademik. Perguruan tinggi mandiri terdiri atas:

1. PTN mandiri yang memiliki otonomi dalam aspek akademik dan aspek nonakademik; dan

2. PTS mandiri yang memiliki otonomi dalam aspek akademik.

DPR RI kemudian merevisi undang-undang sebelumnya dengan mendengarkan berbagai masukan dari pemerintah dan ahli yang berwenang. Sehingga dikeluarkan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi versi 4 April 2012 yang terdiri dari XI bab dan 102 pasal. Adapun perubahan yang terjadi pada rancangan undang-undang ini terdapat pada pasal 69 Ayat (1) yang berbunyi, “Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat diberikan secara selektif berdasarkan

evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan

Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk badan hukum untuk

menghasilkan pendidikan tinggi bermutu”.63

a. tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri;

Penyelenggaraan otonomi pendidikan tinggi kemudian disepakati menjadi dua yaitu pola pengelolaan keuangan perguruan tinggi badan layanan umum dan perguruan tinggi badan hukum. PTN yang menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum memiliki tata kelola dan kewenangan pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan PTN badan hukum memiliki kewenangan:

b. unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi; c. hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel;

d. wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri dosen dan tenaga kependidikan;

e. wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi; f. wewenang untuk menyelenggarakan dan menutup Program Studi; dan g. wewenang untuk mengelola kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah. Setelah mengalami tujuh kali revisi dan penundaan akibat adanya kontrofersi dari berbagai kalangan, tepatnya pada 13 Juli 2012 pukul 11.00 WIB mengesahkan RUU Pendidikan Tinggi menjadi Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012.

63

(23)

Pengesahan Undang-Undang Pendidikan tinggi ini sebagai upaya penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia melalui payung hukum yang jelas. Undang-Undang Pendidikan Tinggi ini berisi XII bab dan 100 pasal.

Berdasarkan teori bagan/kerangka analisis kebijakan publik adalah: 1. Public Policy

DPR dan pemerintah bersama-sama membuat kebijakan pendidikan yang baru khususnya untuk pendidikan tinggi setelah dibatalkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Seperti yang dikemukakan oleh Menteri Pendidikan Nasional bahwa perlunya mengusulkan undang-undang baru sebagai pengganti undang-undang Badan Hukum Pendidikan, namun untuk jangka pendek pihaknya akan mencari payung hukum dalam menyelenggarakan pendidikan. Membuat undang-undang baru cukup lama, sekarang yang dipikirkan adalah penyelenggaraan pendidikan memiliki payung hukum yang jelas. Kepastian payung hukum itu harus cepat sehingga ada kejelasan status hukum bagi perguruan tinggi negeri yang menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional harus berjalan.

2. Policy Stakeholder

DPR yang tergabung dalam komisi X dan pemerintah dengan dibantu oleh individu-individu yang dianggap mempunyai kapabilitas khusus dalam merencanakan suatu sistem pendidikan tinggi seperti Prof. Dr. Johannes Gunawan. Nah, Prof. Dr. Satryo S, Brodjonegoro, Prof. Dr. Sofian Effendi, Prof. Dr. Anwar Arifin, Prof. Dr. H. Fasich, Apt., Rektor Universitas Airlangga, Prof. Dr. Johannes Gunawan, SH., LL.M, Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D Sekretaris Dewan Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K).

3. Policy Enviroment

DPR dan pemerintah merencanakan kebijakan pendidikan yang memberi payung hukum kepada perguruan tinggi negeri setelah dibatalkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Peraturan Pemerintah no. 66 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan harus dilaksanakan dibawah undang-undang pendidikan yang baru sehingga proses pelaksanaan pendidikan nasional dapat berjalan dengan maksimal.

(24)

pelajaran yang berharga bagi DPR maupun pemerintah dalam merencanakan undang-undang pendidikan yang baru. Oleh karena itu, tidak heran jika undang-undang-undang-undang penidikan tinggi ini mengalami tujuh kali revisi. Sehingga diharapkan dapat menjadi undang-undang yang mampu mengatur sistem pendidikan nasional sesuai dengan cita-cita Undang-Undang Dasar 1945.

2.5Keadaan Umum Peserta Didik di Indonesia

Jumlah peserta didik di Indonesia mulai dari Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi mengalami peningkatan tiap tahunnya. Kesadaran atas pentingnya pendidikan adalah faktor utama peningkatan jumlah peserta didik, tetapi hal tersebut tidak dibarengi dengan peraturan pemerintah yang seakan menghambat proses pelaksanaan pendidikan yang ilmiah dan demokratis. Dampaknya adalah biaya pendidikan yang mahal sehingga masyarakat dengan ekonomi rendah sangat sulit mengakses pendidikan.

Tabel 1

Perkembangan Jumlah Siswa Negeri dan Swasta Tingk

atan

2007/2008 2008/2009 2009/2010

Negeri Swasta Jumlah Negeri Swasta Jumlah Negeri Swasta Jumlah

TK 50.224 2.733.189 2.783.413 63.490 3.338.885 3.402.375 97.037 2.850.156 2.947.193

SLB 21.216 49.285 70.501 22.537 50.476 73.013 23.491 50.804 74.295

SD 24.403.611 2.223.816 26.627.427 24.624.085 2.342.739 26.984.824 24.863.936 2.464.665 27.328.601

SMP 6.330.728 2.283.578 8.614.306 6.638.014 2.354.605 8.992.619 6.812.457 2.294.549 9.107.006

SM 3.267.613 3.230.242 6.497.855 3.525.151 3.427.798 6.952.949 3.784.608 3.477.236 7.261.844

SMA 2.355.179 1.403.714 3.758.893 2.480.318 1.376.927 3.857.245 2.594.977 1.347.799 3.942.776

SMK 912.434 1.826.528 2.738.962 1.044.833 2.050.871 3.095.704 1.189.631 2.129.437 3.319.068

PT 1.237.408 2.567.879 3.805.287 1.748.201 2.533.494 4.281.695 1.773.313 2.532.278 4.305.591

Diplo ma

341.812 461.105 802.917 482.822 446.005 928.827 499.363 491.898 991.261

S1 798.559 1.970.047 2.768.606 1.128.188 1.952.317 3.080.505 1.136759 1.959.553 3.096.312

S2 82.115 126.673 208.788 116.470 125.207 241.677 116.470 78.935 195.405

S3 14.922 10.054 24.976 20.721 9.965 30.686 20.721 1.892 22.613

Sumber :

(25)

tinggi lagi mampu menciptakan generasi muda yang kreatif, inovatif dan mandiri sehingga dapat menerapkan ilmu pengetahuannya di tengah-tengah masyarakat.

Tabel 2

Perkembangan Angka Kelulusan Tingkatan

dan Jenis Sekolah

2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

SD 3.700.814 96.81 3.798.698 96.86 3.872.972 97.02 3.943.639 97.95

SMP 2.436.506 97.56 2.563.220 98.17 2.563.220 95.62 2.673.362 93.98

SM 1.712.972 95.99 1.792.077 93.97 1.841.531 94.80 1.988.429 95.00

SMA 1.076.154 97.15 1.043.095 92.33 1.088.619 93.45 1.163.207 94.27

SMK 641.666 94.81 685.982 96.58 752.912 96.81 825.222 96.05

Sumber :26 Maret 2013 pukul 21.30

Salah satu yang menjadi permasalahan pendidikan Indonesia adalah angka melanjut ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi masih dinilai sangat rendah. Pada tahun ajaran 2008/2009 hanya 2.997.012 siswa Sekolah Dasar yang melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama dari 3.949.696 lulusan Sekolah Dasar. Dengan demikian, sebanyak 952.684 siswa yang putus sekolah dan tidak dapat mengecap pendidikan. Pemerintah seharusnya tanggap dalam menanggapi 952.684 siswa yang putus sekolah dengan mengamalkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 2 mengamanatkan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya sehingga

(26)

Diagram 4

Perkembangan Angka Melanjut ke Perguruan Tinggi

Sumber :

Jumlah peserta didik Sekolah Menengah Atas yang tidak dapat melanjut ke perguruan tinggi pada tahun ajaran 2008/2009 mencapai 1.027.777 siswa. Besarnya angka peserta didik yang tidak dapat melanjut ke perguruan tinggi disebabkan oleh mahalnya pendidikan di perguruan tinggi. Sehingga kebanyakan peserta didik memilih untuk langsung bekerja dengan keterampilan seadanya. Peserta didik tersebut tidak akan mampu bertahan ditengah era globalisasi yang sangat mengedepankan inovasi, kreativitas, kemandirian dan penguasaan IPTEK. Akibatnya adalah peserta didik harus bekerja dengan upah atau gaji yang minimal dan dalam jangka waktu yang pendek karena tidak mampu bersaing.

1.712.972

1.988.429

1.841.531

1.988.429

696.402

1.030.970

940.477 960.652

0 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000

2005/2006 2006/2007 2007/2008 2008/2009

Perkembangan Angka Melanjut ke Perguruan Tinggi

(27)

Tabel 3

Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi Tahun 2005-2011

Sumber : Makalah Sosialisas UU PT oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Judul Merajut Masa Depan bangsa Melalui Undang-Undang No 12. Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

2.6Anggaran Pendidikan di Indonesia

Analisis atas kebijakan pendidikan di Indonesia sejak dahulu hingga sekarang membuat kita sampai pada kesimpulan bahwa terdapat beberapa permasalahan mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Permasalahan tersebut dapat dideskripsikan seperti berikut ini.

Pertama, masalah alokasi dana pendidikan nasional yang tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Komitmen pemerintah Indonesia mengalokasikan dana pendidikan dinilai belum memadai oleh masyarakat sehingga bagi masyarakat dengan ekonomi rendah sangat sulit mengakses dunia pendidikan. Pemerintah harus merealisasikan 20% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) seperti yang tertulis dalam UUD 1945 pasal 31 ayat (4) yang berbunyi:

“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.

Berdasarkan UUD 1945 ayat (4) tersebut bahwa alokasi 20% APBN dan APBD sepenuhnya untuk pembiayaan pendidikan peserta didik. Biaya pendidikan kedinasan tidak boleh dihitung dalam alokasi 20% dari APBN dan APBD untuk sektor pendidikan. Hal ini

Deskripsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Populasi (Usia

19-20)

21.190.000 21.184.100 21.174.900 21.171.300 21.170.300 19.844.485 19.858.146

Jumlah

Mahasiswa

3.868.358 4.285.645 4.375.505 4.501.543 4.657.547 5.226.450 5.381.216

PTN 805.475 824.693 978.739 965.970 1.011.721 1.030.403 1.063.274

PTS 2.243.270

2.567.879 2.392.417 2.410.276 2.451.451 2.886.641 2.928.890

PT Kedinasan 48.493 51.318 47.253 47.253 66.535 92.971 101.351

Religious HEI 508.545 518.901 506.247 556.763 503.439 571.336 620.938

Universitas

(28)

dimaksudkan agar pendidikan kedinasan (diklat, penataran, pengembangan SDM dan lainnya) yang diselenggarakan oleh semua departemen dapat dilakukan secara efisien dan swadana. Pendidikan kedinasan tetap diakomodasi dalam sistem pendidikan nasional, namun harus diselenggarakan secara mandiri. Biaya gaji guru dan dosen juga bukan berasal dari 20% alokasi APBN dan APBD sehingga alokasi dana pendidikan dapat mewujudkan pendidikan yang ilmiah dan demokratis serta program Wajib Belajar 9 tahun dapat terlaksana dengan maksimal.

Diagram 5

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2000-2010

Diagram 6

205.334,50 300.599,50

298.527,50340.928,30 403.104,60

493.919,40

636.153,10706.108

979.305,40984.786,50

1.047.700,00 1.104.901,96

1.311.386,67

0,00 200.000,00 400.000,00 600.000,00 800.000,00 1.000.000,00 1.200.000,00 1.400.000,00

(29)

Alokasi APBN untuk Pendidikan

Sumber :26 Maret 2013 pukul 23.01 WIB

Namun, apakah kenaikan dana untuk pembangunan pendidikan dengan sendirinya akan menjadi pemicu bagi peningkatan kemakmuran rakyat? Memang hal tersebut menjadi suatu mitos bahwa anggaran yang besar untuk pendidikan dengan sendirinya akan membawa masyarakat kemakmuran. H.A.R Tilaar mengatakan bahwa, “Kebijakan pendidikan dewasa ini tidak terarah dengan jelas. Yang jelas pendidikan telah dijadikan sebagai komoditi perdagangan yang terlihat dalam PP No.7 Tahun 2007 yang memberi kesempatan bagi masuknya modal asing dalam bidang pendidikan”.64 Proses pendidikan ditekankan pada kemampuan bersaing dengan memanfaatkan sumber-sumber dalam negeri sehingga potensi alam dan budaya Indonesia yang kaya raya dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kesejahteraan Indonesia dan sekaligus melindungi kelestarian alam demi generasi berikutnya. Dengan peningkatan kecerdasan bangsa, dengan sendirinya bangsa ini akan mampu duduk sama tinggi dan sama rendah dengan bangsa lain, bahkan bangsa Indonesia mampu menyumbangkan kemampuan dan sumber-sumber kekayaannya untuk umat manusia.

Tabel 4

64

H.A.R Tilaar, Kebijakan Pendidikan, op.cit. hal 326.

0,00

200.000.000.000.000,00

400.000.000.000.000,00 2009

2010 2011 2012

208.286.633.287.000, 00

209.537.587.275.000, 00

249.978.493.061.200, 00

289.957.815.783.800, 00

(30)

Perbandingan Alokasi Pendanaan Pendidikan Nasional Tahun Anggaran 2011 dan 2012

Komponen Anggaran Pendidikan Tahun Anggaran

201165

Tahun Anggaran 201266

1. Anggaran Pendidikan melalui Belanja

Pemerintah Pusat

89.744.353.212.000 102.518.328.983.800

1. Kementrian Pendidikan Nasional 55.582.101.011.000 64.350.856.443.000

2. Kementrian Agama 27.263.218.531.000 32.007.510.602.000

3. Kementerian Negara/Lembaga lainnya

- Kementerian Keuangan

- Kementerian Kelautan dan Perikanan

- Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata

- Badan Pertanahan Nasional

- BMKG

- Badan tenaga Nuklir Nasional

- Kementerian Pemudan dan Olahraga

- Kementerian Pertahanan

- Kementerian Tenaga Kerja

- Perpustakaan Nasional

- Kementerian Koperasi dan UKM

- Kementerian Komunikasi dan Informatika

6.899.033.670.000

2. Anggaran Pendidikan melalui Transfer ke 158.234.139.849.200 186.439.486.800.000

65

Lihat dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2010 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Pasal 28

66

(31)

Daerah

1). Bagian Anggaran Pendidikan yang

dialokasikan dalam DBH Pendidikan

762.991.369.000 815.613.542.000

2). DAK Pendidikan 10.041.300.000.000 10.041.300.000.000

3). Bagian Anggaran Pendidikan yang

dialokasikan dalam DAU

104.289.781.242.000 113.855.500.000.000

4). Dana Tambahan Penghasilan untuk Guru

PNSD

3.696.177.700.000 2.898.900.000.000

5). Tunjangan Profesi Guru 18.537.689.880.200 30.559.800.000.000

6). Bagian Anggaran Pendidikan yang

dialokasikan dalam Otsus

2.706.393.898.000 3.285.773.258.000

7). Dana Insentif Daerah 1.387.800.000.000 1.387.800.000.000

8). Bantuan Operasional Sekolah 16.812.005.760.000 23.594.800.000.000

3. Anggaran Pendidikan Nasional melalui

Pengeluaran Pembiayaan

1.000.000.000.000 1.000.000.000.000

Dana Pengembangan Pendidikan Nasional 1.000.000.000.000 1.000.000.000.000

APBN 1.104.901.964.236.000 1.435.406.719.999.000

Persentase Anggaran Fungsi Pendidikan 20,2% 20,2%

Anggaran Fungsi Pendidikan 248.978.493.061.200 289.957.815.783.800

(32)

dari APBN dan itu artinya setiap tahunnya tingkat partisipasi peserta didik akan terus berkurang akibatnya jumlah putus sekolah dan penyandang buta aksara.

Tidak direalisasikannya 20% anggaran pendidikan mengakibatkan pendidikan Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi akan semakin mahal. Angka putus sekolah akan semakin banyak diperoleh dari lulusan Sekolah Dasar hingga Perguruan tinggi. Akibatnya adalah :

1. Semakin rendah angka generasi muda yang kreatif, inovatif dan mandiri. 2. Tidak tercipta inovasi dan kemandirian serta rendahnya penguasaan atas

IPTEK.

3. Kesejahteraan masyarakat akan terus rendah akibat tidak adanya regenerasi inovasi dan teknologi masyarakat Indonesia.

4. Tingkat pendapatan daerah akan semakin rendah akibat tidak adanya generasi penerus untuk membangun daerahnya.

5. Tingkat pendapatan negara akan semakin rendah akibat tidak adanya dorongan dari pemerintah daerah untuk ikut membantu membangun pemerintah pusat. Berdasarkan fakta-fakta diatas memberikan sebuah kesimpulan bahwa alokasi dana pendidikan yang rendah tidak mampu menciptakan suatu sistem pendidikan nasional sesuai dengan visi dan misi pendidikan nasional dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini juga diperkuat dengan menggunakan teori Tonny D Widiaksono yang menyatakan bahwa,

“Pembiayaan pendidikan suatu negara terbukti berpengaruh positif terhadap kinerja pendidikan nasional dinegara bersangkutan. Hal ini berarti semakin tinggi pembiayaan pendidikan di suatu negara semakin baik kinerja pendidikan nasionalnya. Sebaliknya semakin rendah pembiayaan pendidikan suatu bangsa semakin rendah pula kinerja pendidikan nasionalnya.”

Jika melihat negara-negara maju yang mengalokasikan dana pendidikan secara memadai seperti Swedia (8.3 %), Swiss (7.3%), Kanada (7,0%), Australia (5.6%), Inggris (5.4%) terbukti kinerja pendidikan nasionalnya memadai. Sekolah-sekolah dinegara tersebut, apalagi perguruan tinggi banyak diminati siswa dan mahasiswa dari manca negara. 67

67

Tonny D Widiastono. 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Kompas. hal. 421.

(33)

negara-negara berkembang. Alhasil, dana yang dialokasikan untuk pembiayaan pendidikan menjadi problem utama karena alokasinya sangat terbatas.68

Jika diukur dari GNP, pembiayaan pendidikan di Indonesia tergolong rendah. Indonesia hanya mengalokasikan dana untuk pembiayaan pendidikan sebesar 1,4 % dari GNP. Dalam mengalokasikan dana untuk pembiayaan pendidikan Indoneisa termasuk negara yang pelit. Jangankan dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Swedia, Kanada dan Australia yang mengalokasikan dana pendidikan relatif sangat tinggi dari GNP-nya, dibanding negara-negara tetangga saja kita tidak mampu menandinginya. Malaysia mengalokasikan dana pendidikan sebesar (5,2%) dan Thailand sebesar (4,1%).69

Alokasi dana pembiayaan pendidikan yang rendah menyebabkan buruknya kinerja sistem pendidikan nasional di Indonesia. Kiranya sulit dibayangkan oleh siapapun dalam usia 67 tahun kemerdekaan Indonesia, pemerintah belum dapat menyelesaikan masalah-masalah elementer di dalam dunia pendidikan.

BAB 3

68 Ibid.,

hal. 422. 69

Gambar

Tabel 1
Tabel 3
Tabel 4

Referensi

Dokumen terkait

Implementasi pembiasaan salat duha dlam rangka pembinaan akhlak siswa di SMPN 1 Patrol Kecamatan Patrol Kabupaten Indramayu. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

normal terapi dilakukan diklinik, selama masa pandemic covid-19 terapi dilkukan secara home visit, terapis datang kerumahdan sekolah, keterlibatan orangtua dalam kegiatan

1) Setelah menerima hasil investigasi dari Tim Investigasi, Bupati memerintahkan Pokja Pangan dan Gizi untuk mengkoordinasikan pelaksanaan intervensi. 2) Intervensi

Sejarah Singkat Sekolah Menengah Pertama Islam Sunan Kali Jaga Yayasan babul jannah yang terletak di desa karangpring kecamatan sokorambi jember didirikan pada tahun

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI TIMUR DINAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN Kawasan Perkantoran Bukit Pelangi Telp.. Karangan ” Dinyatakan BATAL karena peserta yang menghadiri undangan

Dengan ini memberitahukan bahwa setelah diadakan Penetapan oleh Panitia Pengadaan Langsung Barang/Jasa Bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Pesawaran maka

Beberapa teknologi yang dapat atau berpotensi untuk mencegah kehilangan N dari tanah antara lain memberikan pupuk N sesuai dengan fase pertumbuhan tanaman dengan

Ko Kalau kamu sudah tahu akibatnya jika kamu terus memiliki sikap temperamental dan akibatnya adalah akan merugikan kamu sendiri dan orang-orang yang ada di sekelilingmu