• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Fitoremediasi Dan Constructed We

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Potensi Fitoremediasi Dan Constructed We"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Potensi Fitoremediasi Dan

Constructed Wetland

Pada Pengolahan

Limbah Cair Industri Kulit Samak

Febriani Purba

Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PENDAHULUAN

Latar belakang

Industri kulit samak merupakan salah satu industri yang tidak ramah lingkungan. Hal ini karena banyaknya jumlah limbah padat dan cair yang dihasilkan. Dalam setiap pengolahan 1 ton kulit mentah menjadi kulit samak dibutuhkan sekitar 50-150 liter air dan sekitar 300 kg bahan kimia. Bahan kimia yang biasa digunakan pada proses produksi adalah kromium, sulfat, sodium sulfat, kapur, ammonium sulfat, sodium klorida, asam sulfat, formaldehid, pigment, pewarna, dan bahan antijamur Bahan-bahan kimia ini membuat intensitas racun yang dihasilkan per unit output tinggi (Khan 2001). Di Indonesia kromium merupakan bahan penyamak yang banyak digunkan karena harganya yang murah, proses penyamakan yang cepat, serta menghasilkan kulit samak yang stabil.

Membuang langsung limbah cair penyamakan kulit tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu dapat menyebabkan masalah lingkungan serius karena kandungan COD, BOD, kromium dan pewarna yang tinggi (Song et al. 2000). Limbah cair industri kulit samak mengandung sekitar 500-1000 ppm kromium (Aravindhan et al. 2004). Kromium dapat meracuni hewan dan tanaman (Chidambaran et al. 2009).

Biaya pengolahan limbah cair industry kulit samak tergolong mahal sehingga banyak negara berkembang yang menggunakan pengolahan primer dan/atau sekunder berupa proses biologis dan pysico-kimia seperti, pertukaran ion resin (ion exchange), reverse osmosis, sistem elektrolisis, precipitation, koagulasi dan adsorpsi (Kacaoba et al. 2002, Hafez

et al. 2002). Sistem pengelolaan ini biasanya mahal dan menghasilkan polutan sekunder serta tidak efektif secara ekonomi bagi industry skala kecil dan menegah padahal menurut data Asosiasi Pengusaha Kulit Samak Indonesia sebanyak 75% industri kulit samak di Indonesia merupakan industry skala kecil dan menegah. Oleh sebab itu dibutuhkan teknik pengelolaan limbah cair yang lebih sederhana dan murah.

Pengolahan limbah cair dengan

constructed wetland merupakan teknik yang banyak dilakukan karena efisisien, murah dan powerful (Lu et al. 2016). Sistem constructed wetland (CW) telah banyak digunakan untuk mengolah berbagai bentuk limbah cair, seperti limbah industri, limbah rumah tangga pedesaan, limbah rumah tangga perkotaan dan nonpoint-source pollutant

(2)

Tujuan

Paper ini bertujuan untuk mengulas potensi pengolahan limbah cair industry penyamakan kulit dengan teknik fitoremediasi dan constructed wetland.

PEMBAHASAN

Karakteristik Limbah Cair Industri Kulit Samak

Limbah cair industry penyamakan kulit pada umumnya berwarna keruh dan berbau tidak sedap, karena umumnya mengandung sisa-sisa daging serta darah, bubur kapur, bulu halus, protein terlarut, sisa garam, asam, sisa cat dan zat samak krom (Yazid et al. 2007). Kromium (Cr) merupakan logam dengan nilai oksidasi mulai 2+ sampai 6+ Cr, namun biasanya ada sebagai kromium trivalen Cr (III) dan kromium heksavalen Cr (VI) (Cheung et al.

2007). Kromium dalam bentuk Cr(VI) memiliki tingkat toksisitas yang paling tinggi sekitar 10 sampai 100 kali dari Cr(III) (Chauhan et al. 2015). The United States Environmental Protection Agency telah menggolongkan Cr6 + sebagai salah satu

dari 17 bahan kimia beracun bagi manusia. Hal ini dianggap sebagai salah satu dari 20 kontaminan yang perlu ditangani sebelum di buang ke lingkungan. Karakteristik limbah cair industry penyamakan kulit dari beberapa hasil penelitian oleh peneliti terdahulu disajikan pada Gambar 1.

Tabel 1 Kandungan zat kimia limbah cair Parameter Singgih

et al.

Tanaman merupakan paru-paru alam yang memilikim kemampuan untuk membersihkan udara melalui mekanisme fotosintesis dan meminimumkan jumlah logam beracun dari tanah dengan bantuan mikroorganisme melalui mekanisme asimlilasi dan proses biotransformasi. Vaskular tanaman menyerap racun dari udara melalui daun atau dari tanah dan air melalui akar. Berbagai spesies tanaman diketahui dan telah diuji memiliki kemampuan untuk menyerap dan mengakumulasi beragam jenis logam beracun, senyawa fenolik, pewarna azo, berbagai kontaminan organik dan anorganik lainya. Spesies tanaman ini dapat bertindak sebagai excluders, akumulator dan hiper-akumulator.

Excluders menumpuk polutan dari substrat ke dalam akar dan membatasi perpindahanya ke bagian lain, misalnya tunas.

Akumulator menumpuk dan mengubah polutan menjadi bentuk inert dalam jaringan aerial, sedangkan

hyperaccumlators mampu

(3)

Tabel 2 Karakteristik fitoremediasi Keuntungan Kekurangan Sistem

input nutrisi sedikit,

Cost effective Bioavailabilitas polutan terbatas Strategi yang

berkelanjutan dan ramah lingkungan

Risiko kontaminasi pada rantai makanan

Sumber: Khandare et al. 92011a,b); Telke

et al. (2011;) Ali et al. (2013)

Fitoremediasi merupakan proses yang murah, efisien, dan ramah lingkungan. Teknik ini memanfaatkan secara efisien penggunaan tanaman, enzim yang terkait dan mikroba yang ikut berperan untuk isolasi, trasnportasi, penyerapan, detoksifikasi dan penghilangan mineral beracun melalui proses biologis, fisiologi, dan kimia yang kompleks (Sureshvarr et al. 2010; Khandare et al. 2011a,b; Etim 2012; Ali et al. 2013). Tanaman ini selanjutnya dapat dipanen dan diproses atau dibuang secara aman. Cara ini cocok dilakukan untuk menghilangkan kontaminan pada level rendah sampai sedang (Ghosh dan Singh 2005). Berdasarkan proses detoksifikasi, jenis bahan pencemar, medium, dan kadar polutan, fitoremediasi dapat diklasifikasikan menjadi

phytoextraction, phytofiltration, phytostabilization, rhizodegradation dan

phytovolatilization (Tabel 3) (Raskin dan Ensley 2000; Sureshvarr et al. 2010; Ali et al. 2013). Efektivitas fitoremediasi dan mekanisme penyerapan polutan (baik

organik maupun anorganik) sangat dipengaruhi oleh spesies tanaman dan karakteristiknya, interaksi pada zona akar, sifat medium, sifat kimia kontaminan, bioavailabilitas kontaminan, efek penambahan chelating agents, kondisi lingkungan, dll (Cunningham and Ow 1996; Tangahu et al. 2011).

Constructed Wetland

Constructed wetlands (CW) merupakan sistem yang dirancang dan dibangun untuk memanfaatkan proses alami yang melibatkan vegetasi di rawa, tanah, dan kumpulan mikroba yang saling terkait untuk mengolah air limbah. CW dirancang untuk dapat mengambil keuntungan yang maksimum dari proses yang terjadi di rawa alami namun dalam lingkungan yang lebih terkontrol. CW diklasifikasikan berdasarkan karakteristik tanaman air yang paling mendominasi, atau

macrophyte dan bentuk alur aliran air (Gambar 1 dan Gambar 2).

Sumber: Vymazal (2001

Gambar 1 Klasifikasi constructed wetland

untuk pengolahan limbah cair

Mekanisme penghilangan logam

(4)

terdapat di permukaan atau di dalam akar untuk waktu yang lama. Hidrologi kemungkin menjadi faktor penentu utama pada proses pembentukan dan pemeliharaan jenis CW tertentu. Kejenuhan yang terjadi secara permanen atau periodik akan menghasilkan kondisi anaerob di tanah sehingga berakibat pada terjadinya proses biogeo-chemical. Proses ini menyebabkan perkembangan karakteristik tanah pada wetland, yang akan mendukung adaptasi tanaman dominan di tanah jenuh (Mitsch and Gosselink 1993; ITRC 2003). Kompartemen hidrologi juga mengandung polyligands yang heterogen yaitu fulvat, humat dan tannic acids, logam oxyhydroxides amorf, tanah liat, bakteri di permukaan, dan exocopolymers

terkait, partikel tersuspensi dan makro-molekul mis polisakarida, protein dll (Matagi et al. 1998).

Proses penghilangan logam di dalam CW terjadi melalui mekanisme yang sangat kompleks. Proses ini dipengaruhi oleh komposisi substrat, pH sedimen, karakteristik air limbah yang mengalir, dan jenis tanaman. Selanjutnya berbagai proses penghilangan logam di CW dapat terjadi melalui tiga mekanisme berikut: Fisik, Kimia dan Proses Biologi.

Penghilangan logam melalui proses fisik

Penghilangan melalui proses fisik dapat terjadi akibat settling dan sedimentasi. Sedimentasi telah lama dikenal sebagai prinsip dasar dalam penghilangan logam berat dari air limbah di CW. Hal ini bukan merupakan reaksi fisik yang berlangsung secara sederhana. Proses kimia lainnya seperti presipitasi dan co-presipitasi harus terjadi terlebih dahulu. Sedimentasi terjadi setelah proses fisik lain mengakibatkan terbentuknya agregat logam berat sehingga menjadi partikel yang cukup besar sehingga dapat tenggelam (Walker dan Hurl 2002). Proses pembentukan sedimen pada CW ditingkatkan dengan peningkatkan pH air

limbah, konsentrasi bahan terlarut, keuatan ion dan konsentrasi alga yang besar (Matagi et al. 1998). Dengan cara ini logam berat dipisahkan dari air limbah dan terperangkap di dalam sedimen CW, sehingga dapat melindungi ekosistem perairan di atasnya.

Penghilangan logam melalui proses kimia

Penghilangan melalui proses kimia dapat terjadi melalui mekanisme sorpsi, adsorpsi, oksidasi dan hidrolisis logam, presipitasi dan co-presipitasi, metal carbonates, dan metal sulfit. Sorpsi merupakan transfer ion dari air ke tanah, misal dari fase cairan ke fase padat. Sorpsi sebenarnya menggambarkan sekelompok proses, yang meliputi adsorpsi dan reaksi presipitasi (Sheoran dan Sheoran 2006).

Di dalam sedimen logam berat ter-adsorpsi pada partikel tanah akibat adanya pertukaran kation atau

chemisorption. Pertukaran kation melibatkan pelekatan secara fisik kation (ion bermuatan positif) pada permukaan tanah liat dan bahan organik akibat tarik-menarik elektrostatik. Apabila logam berat telah diserap ke humic atau koloid tanah liat, logam berat akan tetap dalam bentuk atom logam, tidak seperti polutan organik, yang pada akhirnya akan terurai. karakteristik dapat berubah seiring dengan waktu sebagai akibat perubahan kondisi sedimen (Batty et al. 2002; Wiebner et al. 2005). Lebih dari 50% logam berat dapat dengan mudah diadsorbsi ke dalam bentuk partikulat di dalam CW sehingga dapat dihilangkan dari air dengan sedimentasi. Besi, aluminium dan mangan dapat membentuk senyawa tidak larut air melalui hidrolisis dan / atau oksidasi yang terjadi di CW, sehingga menyebabkan pembentukan berbagai oksida, oxyhydroxides dan hidroksida (Batty et al. 2002; Woulds dan Ngwenya 2004).

(5)

sedimen CW. Pembentukan endapan logam berat tidak larut air adalah salah satu dari banyak faktor yang membatasi bioavailabilitas logam berat ke berbagai ekosistem perairan. Presipitasi tergantung pada kelarutan logam yang terlibat Ksp, pH dari CW dan konsentrasi ion logam dan anion yang relevan. Ketika konsentrasi kation dan anion melebihi Ksp, maka presipitasi terjadi. Co-presipitasi juga merupakan fenomena adsorptive dalam sedimen CW. Logam berat mengalami co-presipitasi dengan mineral sekunder di CW. Tembaga, nikel, seng, mangan dll mengalami co-presipitasi dengan oksida Fe dan kobalt, besi, nikel dan seng mengalami co-presipitasi dengan oksida mangan (Stumm dan Morgan 1981; Noller et al, 1994). CW dengan substrat yang sesuai dapat memepercepat pertumbuhan bakteri pengurai sulfat dalam kondisi anaerobic. Dalam air limbah dengan kadar sulfat tinggi bakteri ini akan menghasilkan hidrogen sulfida. Sebagian besar logam berat bereaksi dengan hidrogen sulfida dan menyebabkan pembentukan sulfida logam yang sangat tidak larut (Stumm dan Morgan 1981).

Penghilangan logam melalui proses biologis

Proses penghilangan logam dengan proses biologis terjadi akibat proses fitoremediasi oleh tumbuhan. Sharpe dan Denny (1976) serta Welsh dan Denny (1979) melaporkan bahwa sebagian besar penyerapan logam oleh jaringan tanaman terjadi melalui mekanisme penyerapan anionik di dinding sel dan logam tidak dapat memasuk ke dalam tanaman secara langsung. Dalam biota, konversi biologis terjadi melalui asimilasi dan metabolisme mikroorganisme yang hidup di dan di sekitar macrophyte serta penyerapan dan metabolism tanaman. Dalam kondisi air yang toxic secara permanen, dekomposisi bahan organik terjadi lewat pengurangan dan akumulasi bahan organik pada permukaan sedimen. Sehingga

permukaan sedimen bertanggung jawab untuk menangkap logam berat dari influen (Matagi et al. 1998; Walker and Hurl 2002; Manios et al. 2003).

Mikroorganisme juga dapat mennghilangkan dan menyimpan sejumlah logam berat melalui proses metabolism. Reduksi logam ke dalam bentuk imobil oleh aktivitas mikroba di CW telah dilaporkan oleh Sobolewski (1999); Logam seperti kromium dan uranium menjadi imobil ketika direduksi melalui proses biologis yang dikatalisis oleh mikroorganisme (Fude et al. 1994). Schiffer (1989), Sinicrope et al. (1992), Nelson et al. (2002) dan Adriano (2001) melaporkan bahwa kromium dapat dihilangkan melalui aktivitas bakteri, dengan tingkat penghilangan kromium dari 40% sampai 84%.

Mekanisme Penghilangan Nitrogen

Nitrogen memiliki siklus biogeokimia yang kompleks dengan beberapa transformasi biotik/abiotik yang melibatkan tujuh valensi (+5 sampai -3) (Vymazal 2005). Di dalam limbah cair industri kulit samak nitrogen berada dalam bentuk ammonium (NH4+) dan

ammonia (NH3). Transformasi nitrogen

(6)

Model Matematika untuk Prediksi Penghilangan Nitrogen

Model matematika dapat digunakan untuk memprediski jumlah nitrogen yang dapat diuraikan selama jangka waktu tertentu pada suatu jenis konstruksik wetland. Pemodelan ini sangat membantu engineer dalam merancang konstruksi wetland yang tepat. Model matematika untuk satu constructed wetland berbeda dengan model matematika untuk jenis constructed wetland lainnya. Karakteristik limbah cair, suhu, keadaan lingkungan, jenis tanaman, jenis batuan yang digunakan, laju alir limbah cair, merupakan hal-hal yang dapat mempengaruhi model matematika suatu constructed wetland.

Mayo dan Bigambo (2015) mengusulkan model matematika yang menngambarkan mekanisme perubahan nitrogen di dalam horizontal subsurface constructed wetland dengan karakteristik limbah domestik. Model matematika ini memperhitungkan aktivitas biomassa yang terlarut dalam air limbah dan agregat biofilm yang terbentuk serta akar tanaman dengan variable berupa konsentrasi bahan organic, amoniak, dan nitrat-nitrogen serta tanaman dan agregat. Adapun proses transformasi nitrogen utama yang dipertimbangkan adalah mineralisasi, nitrifikasi, denitrifikasi, penyerapan tanaman, pembusukan tanaman dan sedimentasi. Fungsi lain yang dianggap mempengaruhi model adalah adalah suhu, pH dan oksigen terlarut. Gambar 3 adalah salah satu persamaan matematika yang digunakan untuk memodelkan proses nitrifikasi oleh bakteri dan nitrifikasi biofilm. Model ini pertama kali dikembangkan oleh Polprasert dan Agarwalla (1994) disebut dengan model Monod.

Sumber: Mayo dan Bigambo (2015) Gambar 2 Persamaan untuk model Monod

dengan ln adalah laju pertumbuhan maksimum Nitrosomonas (d-1), Yn adalah

koefisien yield untuk bakteri Nitrosomonas dalam mg VSS/mg N, KN adalah konstanta ammonia Nitrosomonas

half saturation (g/m3), KNO adalah konstanta oksigen Nitrosomonas half saturation (g/m3), CT adalah temperature

yang merupakan faktor dependen, CpH adalah faktor penghambat pertumbuhan Nitrosomonas untuk pH, rb1 aadalah

konstanta laju reaksi biofilm untuk agregat (d-1), rb

2 adalah konstanta laju

reaksi biofilm untuk tanaman (d-1).

Potensi Aplikasi untuk Pengolahan Limbah Cair Industri Kulit Samak

Penelitian tentang pengolahan limbah cair industry penyamakan kulit dengan memanfatkan teknik fitoremediasi di dalam constructed wetland belum banyak dilakukukan. Beberapa peneliti melakukan penelitian pemilihan jenis tanaman untuk fitoremediasi di CW (Tabel 5 dan Gambar 4). Dari data pada Tabel 5 diketahui bahwa spesies tanaman Typha domingensis dan Borassus aethiopium

memiliki efisiensi penghilangan krom yang paling tinggi yakni mencapai 99%, spesies

Phragmites (reeds) memiliki efisiensi penghilangan COD paling tinggi mencapai 85%, dan spesies Phragmites australis

(7)

horizontal sub-surface flow diketahui merupakan jenis CW terbaik untuk pengolahan limbah cair industry kulit samak. Jenis ini mampu mentolerir fluktuasi input, termasuk jika terjadi kelebihan input. Kemampuan ini sangat penting karena pada umumnya kapasitas produksi industry kulit samak skala kecil dan menegah khususnya di Indonesia berfluktuasi sepanjang tahun.

KESIMPULAN

Hasil studi literature menunjukkan bahwa penerapan sistem CW untuk pengolahan limbah industry penyamakan kulit merupakan pendekatan yang menjanjikan untuk tahapan pengolahan sekunder.

DAFTAR PUSTAKA

Ali H, Khan E, Sajad MA. 2013.

Phytoremediation of heavy metals:

concepts and applications.

Chemosphere 91, 869–881.

Aravindhan R, Madhan B, Rao J R, Nair U,

Ramasami T. 2004. Bioaccumulation of

chromium from tannery wastewater:

An approach for chrome recovery.

Environmental science and

Technology. American chemical society

38, 1: 300-306.

Batty LC, Baker AJ, Wheeler BD. 2002.

Aluminium and Phosphate Uptake by

Phragmites australis: the Role of Fe,

Mn and al Root Plaques. Annals of

Botany 89, 443–449.

Chauhan S, Das M, Nigam H, Pandey P,

Swati P, Tiwari A, Yadav M. 2015.

Implementation of phytoremediation

to remediate heavy metals from

tannery waste: A review. Advanced in

Applied Science research 6(3):

119-128.

Cheung K, Gu JD. 2007. International

Biodeterioration & Biodegradation,

59(1): 8-15.

Chidambaram A, Sundaramoorthy P,

Murugan A, Ganesh K S. 2009.

Chromium induced cytotoxicity in black

gram. J. Environ Health. Sci. Eng., 6: 17–

22.

Cristina SC, Calheiros, Rangel AOSS, Castro

PML. 2007. Constructed wetland

systems vegetated with different

plants applied to the treatment of

tannery wastewater. Water research

41: 1790-1798.

Cunningham SD, Ow DW. 1996. Promises

and prospect of phytoremediation.

Plant Physiol. 110, 715–719.

Daniel, R. 1998. You’re now entering the

root zone-investigation: the potential

of reed beds for treating waste waters

from leather manufacture. World

Leather 11 (7): 48–50

Daniels R. 200. Enter the root-zone: green

technology for the leather

manufacturer, part 1. World Leather 14

(4), 63–67.

Etim EE. 2012. Phytoremediation and its

mechanisms: a review. Int. J. Environ.

(8)

Galanopoulos, Christos, Sazakli, Eleni,

Leotsinidis, Michalis, Lyberatos,

Gerasimos. 2013. A pilot-scale study

for modeling a free water surface

constructed wetlands wastewater

treatment system. J. Environ. Chem.

Eng. 1, 642e651.

Ghosh M, Singh S. 2005. Asian J Energy

Environ, 6(4): 18.

Hefez AL, El-Manharawy MS, khedr MA.

2002. RO Membrane Removal of

Unreacted Chromium from Spent

tanning Effluent: A Pilot-Scale Study,

Part 2.

ITRC. 2003. Technical and regulatory

guidance document for constructed

treatment wetlands. The Interstate

Technology and Regulatory Council

Wetlands Team. 128 pp.

Kacaoba S, Akcin G. 2002. Removal and

Recovery of Chromium and Chromium

Speciation with MINTEQA2. Talanta 57:

23-30.

Khan AG. 2001. Relationships between

Chromium Biomanification Ratio,

Accumulation Factor, and Mycorrhizae

in Plants Growing on tannery

effluent-Polluted Soil. Environ. Int. 26: 417-423.

Khandare RV, Kabra AN, Kurade MB,

Govindwar SP. 2011a.

Phytoremediation potential of

Portulaca grandiflora Hook.

(Moss-Rose) in degrading a sulfonated diazo

reactive dye Navy Blue HE2R (Reactive

Blue 172). Bioresour. Technol. 102,

6774– 6777.

Khandare RV, Kabra AN, Kurade MB,

Govindwar SP. 2011b. The role of Aster

amellus Linn in the degradation of a

sulfonated azo dye Ramazol Red: a

phytoremediation strategy.

Chemosphere 82, 1147–1154.

Lu S, Wang J, Pei L. 2016. Study on the

effects of irrigation with reclaimed

water on the content and distribution

of heavy metals in soil. Int. J. Environ.

Res. Public Health 13, 298.

Lone ML et al..2009. Journal of Zhejiang

University Science B, 9(3): 210-220.

Malik N, Biswas AK. 2012. Role of higher

plants in remediation of metal

contaminated soils. Sci. Rev. Chem.

Commun. 2, 141–146.

Matamoros, Víctor, Salvado, Victoria.

2012. Evaluation of the seasonal

performance of a water reclamation

pond-constructed wetland system for

removing emerging contaminants.

Matagi SV, Swai D, Mugabe R. 1998. A

review of heavy metal removal

mechanisms in wetlands. African

Journal for Tropical Hydrobiology and

Fisheries 8, 23–35.

Mayo AW, Bigambo T. 2015. Nitrogen

transformation in horizontal

(9)

Model Development. Journal of Physics

and Chemistry of the Earth 30:

658-667.

Memon AR, Aktoprakligil D, Ozdemir A,

Vertii A. 2001. Heavy metal

accumulation and detoxification

mechanisms in plants. Turk. J. Bot. 25,

111–121.

Memon AR, Schroder P. 2009.

Implication of metal accumulation

mechanisms to phytoremediation.

Environ. Sci. Pollut. Res. 16: 162–175.

Mitsch WJ, Gosselink JG. 1993. Wetlands.

Van Nostrand Reinhold, New York, 722

pp.

Noller BN, Woods PH, Ross BJ. 1994. Case

studies of wetland filtration of mine

waste water in constructed and

naturally occurring systems in northern

Australia. Water Science and

Technology 29: 257–266.

Raskin RD, Salt DE. 1997.

Phytoremediation of metals: using

plants to remove pollutants from the

environment. Curr. Opin. Biotechnol. 8

(2), 2–6.

Raskin I., Ensley BD. 2000. Recent

developments for in situ treatment of

metal contaminated soils. In:

Phytoremediation of Toxic Metals:

Using Plants to Clean Up the

Environment. John Wiley and Sons Inc.,

New York.

Sheoran V, Sheoran A, Poonia P. 2011.

Role of hyperaccumulators in

phytoextraction of metals from

contaminated mining sites: a review.

Crit. Rev. Environ. Sci. Technol. 41,

168–214.

Shao, Ling, Wu, Zi, Zeng L, Chen ZM, Zhou

Y, Chen GC. 2013. Embodied energy

assessment for ecological wastewater

treatment by a constructed wetland.

Ecol. Model. 252, 63e71.

Sheoran AS, Sheoran V. 2005. Heavy

metal removal mechanism of acid mine

drainage in wetlands: A critical review.

Minerals Engineering Journal, 19:

105-116.

Song Z, Williams CJ, Edyvean RGJ. 2000.

Sedimentation of tannery wastewater.

Water Res. 34 (7), 2171–2176.

Sinha RK, Herat S, Tandon PK. 2007.

Phytoremediation: role of plants in

contaminated site management. In:

Singh SN, Tripathi RD. (Eds.),

Environmental Bioremediation

Technologies. Springer-Verlag, Berlin

Heidelberg, pp. 315–330.

Sureshvarr K, Bharathiraja B, Jayakumar

M, Jayamuthunagai J, Balaji L. 2010.

Removal of azo-dye compounds from

paper industries wastes using

phytoremediation methodology. Int.

(10)

Stumm W, Morgan J. 1981. Aquatic

Chemistry, second ed. John Wiley &

Sons, New York, 780 pp.

Tangahu BV, Abdullah SRS, Basri H, Idris

M, Anuar N, Mukhlisin M. 2011. A

review on heavymetals (As, Pb and Hg)

uptake by plants through

phytoremediation. Int. J. Chem. Eng.

201: 1–31.

Terife TA, Sfaw SL. 2015. Evaluation of

selected wetland plants for removal of

chromium from tannery wastewater in

constructed wetlands, Ethiophia.

African Journal of Environmental

Science and Technology. 9(5): 420-427

Vymazal J. 2001. Types of constructed

wetlands for wastewater treatment:

their potential for nutrient removal. In:

Vymazal J, editor. Transformations of

nutrients in natural and constructed

wetlands. Leiden, The Netherlands:

Backhuys Publishers, p. 1-93.

Vymazal J. Constructed wetlands for

wastewater treatment in Europe. In:

Dunne EJ, Reddy R, Carton OT, editors.

Nutrient management in agricultural

watersheds: a wetland solution.

Wageningen, The Netherlands:

Wageningen Academic Publishers;

2005a. p. 230–44.

Walker DJ, Hurl S. 2002. The reduction of

heavy metals in a storm water wetland.

Ecological Engineering 18 (4), 407–414.

Wiebner A, Kappelmeyer U, Kuschk P,

Kastner M. 2005. Influence of the redox

condition dynamics on the removal

efficiency of a laboratory-scale

constructed wetland. Water Research

(11)

Tabel 3 Ringkasan berbagai proses dan mekanisme fitoremediasi Mekanisme

fitoremediasi Keterangan

Cara penyerapan

kontaminan Mekanisme Penggunaan Referensi

Phytoextraction Menyerap kontaminan melalui akar dan terkonsentrasi pada bagian tanaman yang dapat dipanen. Misal: tunas

Melalui akar tanaman Absorpsi melalui Polutan anorganik.

Phytofiltration Memanfaatkan luas permukaan akar yang luas untuk menyerap polutan dari air

Melalui akar tanaman (rhizofiltration), bibit tanaman muda (blastofiltration), atau tunas tanaman yang dipotong

Filtrasi, penyerapan, presipitasi polutan yang terdapat di sekitar zona akar

Polutan anorganisk Mis: logam

Marmiroli

et al. (2006); Macek et al. (2009); Al-Baldawi

et al. (2013); Ali et al.(2013)

Phytostabilization Imobilisasi polutan dan bioavailibilitasnya

Melalui akar tanaman Penyerapan, presipitasi dan kompleksasi di rizosfer

Polutan anorganik

Marmiroli et al. (2006); Macek et al. (2009); Ali

et al.(2013)

Phytotransformation Memecah komponen organic melalui aktivitas metabolism dan enzim tanaman

Mmelalui akar tanaman atau proses metabolism di sekitar akar

Absorpsi oleh sistem akar menyebabkan perubahan melalui proses metabolisme atau enzim

Rhizodegradation Degradasi polutan melaui simbiosis mikroba yang terdapat pada akar tanaman

Perubahan pada daerah akar

Sekresi eksudat dari akar atau enzim di sekitar zona akar dan degradasi oleh mikroba xenobiotic

Polutan organik atau xenobiotic

Al-Baldawi et al. (2013)

Phytovolatilization Mengubah polutan dan produk turunananya menjadi bahan volatile atau gas dan

melepaskan ke udara melalui proses transpirasi

Penyerapan polutan yang larut air melalui akar tanaman

(12)

Sumber: Vymazal 2006

(13)

Tabel 4 Transformasi nitrogen di dalam constructed wetland

Proses Transformasi

Volatilisasi Ammonia-N (aq)  ammonia-N (g) Amonifikasi Organic-N  ammonia-N

Nitrifikasi Ammonia-N  nitrit-N  nitrat-N Nitrat-amonifikasi Nitrat-N  ammonia-N

Denitrifikasi Nitrit-N  nitrit-N  N(g), N2O

Fiksasi N2 N2(g)  ammonia-N (organic-N) Plant/microbial uptake (asimilasi) Ammonia-, nitrit-, nitrat-N  organic-N

Ammonia adsorption Organic nitrogen burial ANAMMOX (anaerobic ammonia oxidaton)

Ammonia-N  N2(g)

Sumber: Vymazal (2005)

Tabel 5 Jenis tanaman potensial untuk fitoremediasi limbah cair industri kulit samak

Species

Efisiensi penghilangan (%)

Referensi

COD BOD Cr NH4

+ /

NH3 Phragmites australis 80.9 77 97.7 82.5

Terfie et al. (2015)

C. alternifolius 64.8 67.5 98 64.8

Typha domingensis 56.6 66.7 99 53.3

Borassus aethiopum 58 66 99 80

Canna indica 55 50 94 20

Cristina et al. (2007)

Typha latifolia 56.5 49.2 76.5 20

Phragmites australis 57.6 48.6 29.4 17.5 Stenotaphrum

secundatum 54.6 46.5 52.9 17.5

Iris peseudacorus 55 46.4 70.5 18.9

Phragmite 80-85 - - - Daniels (2001)

Phragmites 70 - - -

Daniels (1998)

Glyceria maxima

dan Phragmites 82-85 - - -

(14)

Typha domingensis Canna indica

Iris peseudacorus Glyceria maxima

Stenotaphrum secundatum

Gambar

Tabel 1 Kandungan zat kimia limbah cair
Gambar 1 Klasifikasi constructed wetland untuk pengolahan limbah cair
Tabel 3 Ringkasan berbagai proses dan mekanisme fitoremediasi
Gambar 3 Constructed wetlands untuk pengolahan limbah cair (dari atas ke bawah): CW dengan free water surface tanaman mengambang bebas (FFP), CW dengan free water surface dan emergent macrophytes (FWS), CW dengan horizontal sub-surface flow (HSSF, HF), CW
+3

Referensi

Dokumen terkait

Disiplin sangat penting baik bagi individu (tenaga kerja) yang bersangkutan maupun organisasi, karena disiplin pribadi untuk mengetahui kinerja pribadi seseorang

Pemanfaatan tanaman ganja bila diolah dengan benar khususnya di bidang industri dapat mendapatkan keuntungan yang cukup signifikan, karena dengan pemanfaatan serat tanaman ganja

keteladanan merupakan syarat utama dalam penanaman akhlak siswa. Keteladanan tidak hanya sekedar memberikan contoh dalam melakukan sesuatu, tetapi juga menyangkut berbagai

ternyata tidak ada peserta yang lulus evaluasi teknis. Berdasarkan Dokumen Pengadaan Bab III. apabila tidak ada peserta yang lulus evaluasi teknis maka pelelangan

Selain harga dan rasa, hal lain yang cukup penting dalam usaha rumah. makan adalah