• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASUHAN KEPERAWA TAN SEXUAL ABUSE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ASUHAN KEPERAWA TAN SEXUAL ABUSE"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

ASUHAN KEPERAWATAN

SEXUAL ABUSE

Di Susun Untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak 2

Dosen Pengampu : Remilda A.V.,S.Kep.,Ns., M.Kep

Oleh :

Andri Gunawan

0520014611

Semester 6

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pelecehan yang berulang sering ditemui pada lebih dari setengah kasus pelecehan seksual di komunitas dan terdapat pada 75% kasus yang ditemukan di klinik.sexual abuse (kekerasan seksual) dikenal pada tahun 70-an dan 80-an. Penelitian lain telah mengarah pada perkiraan kekerasan pada anak yang lebih luas di Inggris, seperti dari Childhood Matters (1996): Sekitar 100 000 anak mengalami pengalaman seksual yang berpotensi mengarah ke seksual abuse (FKUI, 2006).

Banyak anak yang mendapat perlakuan kurang manusiawi, bahkan tidak jarang dijadikan objek kesewenangan.Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, ada 481 kasus kekerasan anak (2003).Jumlah ini menjadi 547 kasus pada tahun 2004. Dari situ, ada 140 kasus kekerasan fisik, 80 kasus kekerasan psikis, 106 kasus kekerasan lainnya, dan 221 kasus kekerasan seksual. Gambaran paradoks tersebut memancing pertanyaan.Mengapa kekerasan seksual sering menimpa diri anak dan siapa yang paling berpotensi sebagai pelakunya? Di samping dapat menimbulkan dampak yang luar biasa pada diri si korban, kasus kekerasan seksual juga dapat menguji kebenaran dari pernyataan Singarimbun

(2004), bahwa modernisasi sering diasosiasikan sebagai keserbabolehan melakukan hubungan seksual (Suda, 2006).

(3)

B. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui tentang definisi dari seksual abuse. 2. Untuk mengetahui tentang etiologi dari seksual abuse. 3. Untuk mengetahui tentang klasifikasi dari seksual abuse. 4. Untuk mengetahui tentang patofisiologi dari seksual abuse. 5. Untuk mengetahui tentang pathway dari seksual abuse.

6. Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis dari seksual abuse. 7. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan dari seksual abuse.

8. Untuk mengetahui tentang pemeriksaan penunjang dari seksual abuse. 9. Untuk mengetahui tentang pengkajian dari seksual abuse.

10. Untuk mengetahui tentang diagnosa keperawatan dari seksual abuse. 11. Untuk mengetahui tentang intervensi dan rasional dari seksual abuse. 12. Untuk mengetahui tentang discharge planning dari seksual abuse.

C. SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I : PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG MASALAH

TUJUAN PENULISAN SISTEMATIKA PENULISAN BAB II : KONSEP DASAR

PENGERTIAN

ETIOLOGI/ PREDISPOSISI KLASIFIKASI

PATOFISIOLOGI

PATHWAYS KEPERAWATAN MANIFESTASI KLINIK

(4)

PENGKAJIAN FOKUS

PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSA KEPERAWATAN

FOKUS INTERVENSI DAN RASIONAL DISCHARGE PLANNING

BAB III : PENUTUP

(5)

BAB II KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN

Penyiksaan seksual (sexual abuse) terhadap anak disebut Pedofilian atau penyuka anak-anak secara seksual. Seorang Pedofilia adalah orang yang melakukan aktivitas seksual dengan korban anak usia 13 tahun ke bawah. Penyakit ini ada dalam kategori Sadomasokisme : adalah suatu kecenderungan terhadap aktivitas seksual yang meliputi pengikatan atau menimbulkan rasa sakit atau penghinaan (Pramono, 2009).

Kemudian klasifikasi kekerasan/penganiayaan seksual pada anak menurut Resna dan Darmawan (dalam Huraerah, 2006:60) diklasifikasi menjadi tiga kategori, antara lain: perkosaan, incest, dan eksploitasi. Perkosaan biasanya terjadi pada saat pelaku terlebih dahulu mengancam dengan memperlihatkan kekuatannya kepada anak. Incest, diartikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual lainnya antarindividu yang mempunyai hubungan dekat, yang perkawinan di antara mereka dilarang, baik oleh hukum, kultur, maupun agama. Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi (Suda, 2006).

Kekerasan seksual (sexual abuse), dapat didefinisikan sebagai perilaku seksual secara fisik maupun non fisik oleh orang yang lebih tua atau memiliki

kekuasaan terhadap korban, bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual pelakunya. Korban mungkin saja belum atau tidak memahami perlakuan yang dilakukan terhadap dirinya, mereka hanya merasa tidak nyaman, sakit, takut, merasa bersalah, dan perasaan lain yang tidak menyenangkan (FKUI, 2006).

(6)

eksploitasi anak dalam pornografi (gambar, foto, film, slide, majalah, buku), exhibitionism, atau mengintip kamar tidur/kamar mandi (voyeurism). (Suda, 2006).

B. ETIOLOGI/ PREDISPOSISI

Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi”, Faktorpenyebab sexual abuse adalah :

Faktor-fakor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan seksual yang dialami oleh subyek adalah sebagai berikut:

a. Faktor kelalaian orang tua.. Kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan tumbuh kembang dan pergaulan anak yang membuat subyek menjadi korban kekerasan seksual..

b. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. Moralitas dan mentalitas yang tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu atau perilakunya.

c. Faktor ekomoni. Faktor ekonomi membuat pelaku dengan mudah memuluskan rencananya dengan memberikan imingiming kepada korban yang menjadi target dari pelaku.

(Jurnal Terlampir)

Berdasarkan jurnal “play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan seksual terhadap anak”,dampak sexual abuse adalah :

(7)

itu muncul gangguan-gangguan psikologis seperti pasca-trauma stress disorder, kecemasan, jiwa penyakit lain (termasuk gangguan kepribadian dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk reviktimisasi di masa dewasa, bulimia nervosa, cedera fisik kepada anak, (Widom, 1999; Levitan, Rector, Sheldon, & Goering, 2003; Messman-Moore, Terri Patricia, 2000; Dinwiddie , Heath , Dunne, Bucholz , Madden, Slutske, Bierut, Statham et al, 2000)

(Jurnal Terlampir)

Menurut Townsend (1998) factor yang predisposisi (yang berperan dalam pola penganiayaan anak (seksuak abuse) antara lain:

1. Teori biologis

a. Pengaruh neurofisiologis. Perubahan dalam system limbik otak dapat mempengaruhi perilaku agresif pada beberapa individu

b. Pengaruh biokimia, bermacam-macam neurotransmitter (misalnya epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetilkolin dan serotonin) dapat memainkan peranan dalam memudahkan dan menghambat impuls-impuls agresif

c. Pengaruh genetika. Beberapa penyelidikan telah melibatkan herediter sebagai komponen pada predisposisi untuk perilaku agresif seksual, baik ikatan genetik langsung maupun karyotip genetik XYY telah diteliti

sebagai kemungkinan.

d. Kelainan otak. Berbagai kelainan otak mencakup tumor, trauma dan

penyakit-penyakit tertentu (misalnya ensefalitis dan epilepsy), telah dilibatkan pada predisposisi pada perilaku agresif.

2. Teori psikologis

a. Teori psikoanalitik. Berbadai teori psikoanalitik telah membuat hipotesa bahwa agresi dan kekerasan adalah ekspresi terbuka dari ketidakperdayaan dan harga diri rendah, yang timbul bila kebutuhan-kebutuhan masa anak terhadap kepuasan dan keamanan tidak terpenuhi. b. Teori pembelajaran. Teori ini mendalilkan bahwa perilaku agresif dan

(8)

Individu-individu yang dianiaya seperti anak-anak atau yang orang tuanya mendisiplinkan dengan hukuman fisik lebih mungkin untuk berperilaku kejam sebagai orang dewasa.

3. Teori sosiokultural (pengaruh sosial)

Pengaruh sosial.Ilmuwan social yakin bahwa perilaku agresif terutama merupakan hasil dari struktur budaya dan social seseorang.Pengaruh-pengaruh social dapat berperan pada kekerasan saat individu menyadari bahwa kebutuhan dan hasrat mereka tidak dapat dipenuhi melalui cara-cara yang lazim dan mereka mengusahakan perilaku-perilaku kejahatan dalam suatu usaha untuk memperoleh akhir yang diharapkan.

Menurut Freewebs (2006) kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak sering muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial.

1. Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse)

Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga inti atau majemuk, dan dapat melibatkan teman dari anggota keluarga, atau orang yang tinggal bersama dengan keluarga tersebut, atau kenalan dekat dengan sepengetahuan keluarga.Kekerasan pada anak adopsi ataupun anak tiri juga termasuk dalam lingukup ini.

2. Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse)

Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang kenal dengan anak tersebut dari berbagai sumber, seperti tetangga, teman, orangtua dari teman sekolah.

3. Ritualistic abuse

Mencakup kekerasan yang di lakukan oleh orang dewasa untuk mendapatkan ilmu gaib atau ilmu hitam demi keperluan pribadinya.

(9)

Mencakup kekerasan seksual dalam lingkup institusi tertentu seperti sekolah, tempat penitipan anak, kamp berlibur, seperti kegiatan pramuka, dan organisasi lainnya.

5. Kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal (Street or stranger abuse) Penyerangan pada anak-anak di tempat-tempat umum.

Ada beberapa pandangan berbeda penyebab kekerasan seksual yang menimpa anak. Orang yang mencabuli anak-anak dianggap orang yang mengalami disfungsi karena kecanduan alkohol, tidak memiliki pekerjaan tetap dan

penghasilan yang mapan, serta tingkat pendidikan yang rendah. Menurut Cok Gede Atmadja, pencabulan terhadap anak terjadi karena himpitan ekonomi.

Sementara Magdalena Manik, aktivis Forum Sayang Anak, menyatakan pencabulan terhadap anak disebabkan meluasnya budaya permisif, dan ketidakkonsistenan pihak kepolisian dalam mengambil tindakan hukum terhadap pelaku incest (Suda, 2006).

Koran Tokoh (Edisi 337/TahunVII, 5—11 Juni 2005:14) menulis beberapa pemicu terjadinya pencabulan terhadap anak, khususnya oleh orangtua.

1. Pertama, pelaku tidak bisa lagi melakukan hubungan dengan istri karena alasan kesehatan atau telah lama menduda.

2. Kedua, pelaku ingin menyempurnakan ilmu kebatinan yang sedang ditekuninya.

3. Ketiga, pelaku tidak tahan melihat kemontokan tubuh anak perempuannya, atau melihat anak perempuannya ke luar kamar mandi menggunakan handuk. Bahkan, bisa pula pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap anak perempuan, karena terpengaruh film porno (Atmadja, 2005:139 dalam Suda, 2006).

C. KLASIFIKASI

(10)

Perkosaan adalah jenis kekerasan yang paling mendapat sorotan. Diperkirakan 22% perempuan dan 2% laki-laki pernah menjadi korban perkosaan. Untuk di Amerika saja, setiap 2 menit terjadi satu orang diperkosa. Hanya 1 dari 6 perkosaan yang dilaporkan ke polisi. Sebagian besar perkosaan dilakukan oleh orang yang mengenal korban alias orang dekat korban.

2. Kekerasan seksual terhadap anak-anak.

Suatu tinjauan baru-baru ini terhadap 17 studi dari seluruh dunia menunjukkan bahwa di manapun, sekitar 11% sampai dengan 32% perempuan dilaporkan mendapat perlakuan atau mengalami kekerasan seksual pada masa kanak-kanaknya. Umumnya pelaku kekerasan adalah anggota keluarga, orang-orang yang memiliki hubungan dekat, atau teman. Mereka yang menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak biasanya adalah korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak.

3. Kekerasan seksual terhadap pasangan.

Kekerasan ini mencakup segala jenis kekerasan seksual yang dilakukan seseorang terhadap pasangan seksualnya. Sebesar 95% korban kekerasan adalah perempuan. Temuan penelitian yang dilakukan Rifka Annisa bersama

UGM, UMEA University, dan Women’s Health Exchange USA di

Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia, pada tahun 2000 menunjukkan bahwa 22% perempuan mengalami kekerasan seksual. Sejumlah 1 dari 5 perempuan

(19%) melaporkan bahwa biasanya mereka dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangan mereka selama dipukuli. Termasuk kekerasan seksual adalah kekerasan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, semata-mata karena sang korban adalah perempuan. Istilah untuk ini adalah kekerasan berbasis gender. Berikut adalah kekerasan berbasis gender:

4. Kekerasan fisik : Menampar, memukul, menendang, mendorong, mencambuk, dll.

(11)

6. Ketergantungan finansial: Mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan, membuat pasangan dipecat, membuat pasangan meminta uang, dll

7. Isolasi sosial: Mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu dan di mana bisa bertemu, membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dll

8. Kekerasan seksual: Memaksa seks, berselingkuh, sadomasokisme, dll.

9. Pengabaian/penolakan: Mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi, menyalahkan pasangan bila kekerasan terjadi, dll.

10. Koersi, ancaman, intimidasi: Membuat pasangan khawatir, memecahkan benda-benda, mengancam akan meninggalkan, dll.

D. PATOFISIOLOGI

Menurut Tower (2002) dalam Maria (2008) kekerasan seksual pada anak dapat terjadi satu kali, beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan menahun. Walaupun berbeda-beda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui beberapa tahapan antara lain :

1. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan bahwa apa yang dilakukannya "tidak salah" secara moral. Pelaku mencoba menyentuh sisi kbutuhan anak akan kasih saying dan perhhatian, penerimaan dari orang lain, atau mencoba menyamakannya dengan permainan dan menjanjikan imbalan material yang menyenangkan. Pelaku dapat

mengintimidasi secara halus ataupun bersikap memaksa secara kasar.

2. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bisa saja hanya berupa mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memakasa anak untuk melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku mengancam korban agar merahasiakan apa yang terjadi kepada orang lain. 3. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan

(12)

a. Pelaku membuka pakaiannya sendiri

b. Pelaku meraba-raba bagian tubuhnya sendiri c. pelaku memperlihatkan alat kelaminnya

d. Pelaku mencium korban dengan pakaian lengkap

e. Pelaku meraba bagian-bagian tubuh korban : payudara, alat kelamin, dan bagian lainnya.

f. Masturbasi, dilakukan oleh pelaku sendiri atau pelaku dan korban saling menstimulasi.

g. Oral sex, dengan menstimilasi alat kelamin korban h. Sodomi

i. Petting

j. Penetrasi alat kelamin pelaku

Anak yang memiliki resiko mengalami kekerasan seksual biasanya adalah anak-anak yang biasa ditinggalkan sendiri dan tidak mendapat pengawasan dari orang yanglebih dewasa, terutama ibu.Tidak hanya kehadiran secara fisik, kedekatan emosional antara ibu dan anak pun merupakan faktor yang penting (Maria, 2008).

Menurut Maria (2008) dampak kekerasan seksual pada anak adalah sebagai berikut :

1. Stress: akut, traumatic–PTSD (post traumatik stress disorder) 2. Agresif, menjadi pelaku kekerasan, tidak percaya diri

3. Rasa takut, cemas

4. Perilaku seksual yang tidak wajar untuk anak seusianya

(13)

menjadi korban kekerasan seksual kemudian justru malah menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak lain (Maria, 2008).

Menghadapi anak yang mengalami kekerasan seksual, kata Maria, hendaknya tetap mempertimbangkan faktor psikologis.Tidak hanya pada posisi anak sebagai korban, yang tentunya berisiko mengalami stres bahkan trauma, tapi juga perlu penanganan yang baik pada anak sebagai pelaku kekerasan. Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku lain. Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk

eksploitasi-memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang dialami sebelumnya, baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang

dilihatnya.Dengan adanya azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam faktor yang mendorong anak menjadi pelakukekerasan seksual, agar anak tidak dua kali menjadi korban (Maria, 2008).

Berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak perempuan di masyarakat, selalu diwarnai kekerasan fisik atau psikologis.Jika meminjam gagasan Giddens (2004) tentang kekerasan laki-laki dalam menyalurkan libidonya, tindakan tersebut berkaitan dengan label yang diberikan masyarakat kepada laki-laki.Laki-laki harus jantan menangani sektor publik dan urusan seksual. Di sisi lain, meluasnya sistem

ekonomi kapitalisme global mengakibatkan banyak orang termarjinal, bahkan terhimpit, baik secara ekonomi maupun psikologis. Akibatnya, harga diri mereka dalam keluarga dan masyarakat mengalami goncangan.Begitu pula hubungan seksual mereka dengan istrinya bisa terganggu. Kondisi ini bisa diperparah lagi karena usia tua, impotensi, ejakulasi dini, kekhawatiran ukuran dan fungsi penis, dan lainnya. Ini menimbulkan rasa tidak aman dan kekawatiran yang mendalam (Suda, 2006).

Berikut ini jenis-jenis kekerasan seksual berdasarkan pelakunya (Tower, 2002 dalam Maria, 2008) :

(14)

Dilakukan oleh ayah, ibu atau saudara kandung. Selain itu, kekerasan seksual mungkin pula dilakukan oleh orang tua angkat/tiri, atau orang lain yang tinggal serumah dengan korban.

2. Kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota keluarga Kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak dibatasi perbedaan jenis kelamin, suku, agama, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.Sebagian besar pelaku adalah pria dan orang yang melakukan orang yang cukup dikenal oleh korban, misalnya tetangga, guru, sopir, baby-sittter.Pelaku bisa saja mengalami kelainan seperti paedophilia, pecandu seks, atau sangat mungkin teman sebaya. Kemungkinan pelaku penah menjadi korban kekerasan seksual sebelumnya,atau menirukan perilaku orang lain. salah satu penyebabnya adalah untuk mengatasi trauma akibat kekesaran seksual yang dialaminya, atau sekedar memenuhi rasa ingin tahu.

Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus,

fisur pada anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/kerusakan

hymen pada vagina. Efek psikologis pencabulan terhadap anak umumnya

berjangka panjang, antara lain: kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa tak

Iman, kebingungan, ketakutan, kesedihan, dan perubahan perilaku baik

(15)

E. PATHWAYS KEPERAWATAN

(16)

F. MANIFESTASI KLINIK

Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah Studi Fenomenologi”, Dampak psikologis sexual abuse adalah :

Dampak psikologis yang dialami oleh subyek dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu gangguan perilaku, gangguan kognisi, gangguan emosional.

a. Gangguan Perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan aktifitas sehari-hari.

b. Gangguan Kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak fokus ketika sedang belajar, sering melamun dan termenung sendiri.

c. Gangguan Emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan suasana hati serta menyalahkan diri sendiri.

(Jurnal Terlampir)

Patricia A Moran dalam buku Slayer of the Soul, 1991 dalam Minangsari (2007), mengatakan, menurut riset, korban pelecehan seksual adalah anak laki-laki dan perempuan berusia bayi sampai usia 18 tahun. Kebanyakan pelakunya adalah orang yang mereka kenal dan percaya.

Gejala seorang anak yang mengalami pelecehan seksual tidak selalu jelas. Ada anak-anak yang menyimpan rahasia pelecehan seksual yang dialaminya dengan bersikap "manis" dan patuh, berusaha agar tidak menjadi pusat perhatian.Meskipun pelecehan seksual terhadap anak tidak memperlihatkan bukti

mutlak, tetapi jika tanda-tanda di bawah ini tampak pada anak dan terlihat terus-menerus dalam jangka waktu panjang, kiranya perlu segera mempertimbangkan kemungkinan anak telah mengalami pelecehan seksual (minangsari, 2007)

Tanda dan indikasi ini diambil Jeanne Wess dari buku yang sama:

1. Balita

(17)

b. Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada siapa saja atau pada tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan kelakuan yang tiba-tiba, gangguan tidur (susah tidur, mimpi buruk, dan ngompol), menarik diri atau depresi, serta perkembangan terhambat.

2. Anak usia prasekolah

Gejalanya sama ditambah tanda-tanda berikut:

a. Tanda fisik: antara lain perilaku regresif, seperti mengisap jempol, hiperaktif, keluhan somatik seperti sakit kepala yang terus-menerus, sakit perut, sembelit.

b. Tanda pada perilaku emosional dan sosial: kelakuan yang tiba-tiba berubah, anak mengeluh sakit karena perlakuan seksual.

c. Tanda pada perilaku seksual: masturbasi berlebihan, mencium secara seksual, mendesakkan tubuh, melakukan aktivitas seksual terang-terangan pada saudara atau teman sebaya, tahu banyak tentang aktivitas seksual, dan rasa ingin tahu berlebihan tentang masalah seksual.

3. Anak usia sekolah

Memperlihatkan tanda-tanda di atas serta perubahan kemampuan belajar, seperti susah konsentrasi, nilai turun, telat atau bolos, hubungan dengan teman terganggu, tidak percaya kepada orang dewasa, depresi, menarik diri, sedih, lesu, gangguan tidur, mimpi buruk, tak suka disentuh, serta menghindari hal-hal sekitar buka pakaian.

4. Remaja

Tandanya sama dengan di atas dan kelakuan yang merusak diri sendiri, pikiran bunuh diri, gangguan makan, melarikan din, berbagai kenakalan remaja, penggunaan obat terlarang atau alkohol, kehamilan dini, melacur, seks di luar nikah, atau kelakuan seksual lain yang tak biasa.

Sedangkan menurut Townsend (1998) simtomatologi dari penganiayaan/kekerasan seksual pada anak (sexual abuse) antara lain :

1. Infeksi saluran kemih yang sering

(18)

3. Kemerahan atau gatal pada daerah genital, menggaruk daerah tersebut secara sering atau gelisah saat duduk

4. Sering muntah

5. Perilaku menggairahkan, dorongan masturbasi, bermain seks dewasa sebelum waktunya

6. Ansietas berlebihan dan tidak percaya kepada orang lain 7. Penganiyaan seksual pada anak yang lain

G. PENATALAKSANAAN

Berdasarkan jurnal “play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan seksual terhadap anak”,terapi sexual abuse adalah :

Cholidah (2005) menyatakan bahwa diantara tujuan terapi bermain adalah mengurangi atau menghilangkan gangguan-gangguan perilaku, fisik, psikis, social, sensori dan komunikasi dan mengembangkan kemampuan yang masih dimiliki secara optimal. Terkait dengan kasus kekerasan seksual pada anak, Jongsma, Peterson dan Mclnnis (2000) menyatakan bahwa terapi bermain (play therapy) merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi dan menggalikan perasaan anak korban kekerasan seksual. Melalui terapi bermain selain kasus dapat diidentifikasi apa yang terjadi pada diri anak, anak juga dapat

mengekpresikan perasaan atas kasus yang terjadi pada dirinya.

(Jurnal Terlampir)

Menurut Suda (2006) ada beberapa model program counseling yang dapat diberikan kepada anak yang mengalami sexual abuse, yaitu :

a. The dynamics of sexual abuse.

Artinya, terapi difokuskan pada pengambangan konsepsi. Pada kasus tersebut kdsalahan dan tanggung jawa berada pada pelaku bukan pada korban. Anak dijamin tidak disalahkan meskipun telah terjadi kontak seksual.

(19)

Artinya, anak-anak dilatih menguasai keterampilan mengurangi kerentannya sesuai dengan usia. Pelatihan anak prasekolah dapat dibatasi; berkata tidak terhadap sentuhan-sentuhan yang tidak diinginkan; menjauh secepatnya dari orang yang kelihatan sebagai abusive person; melaporkan pada orangtua atau orang dewasa yang dipercaya dapat membantu menghentikan perlakuan salah.

c. Survivor/self-esteem counseling.

Artinya, menyadarkan anak-anak yang menjadi korban bahwa mereka sebenarnya bukanlah korban, melainkan orang yang mampu bertahan (survivor) dalam menghadapi masalah sexual abuse. Keempat, feeling counseling. Artinya, terlebih dahulu harus diidentifikasi kemampuan anak yang mengalami sexual abuse untuk mengenali berbagai perasaan. Kemudian mereka didorong untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya yang tidak menyenangkan, baik pada saat mengalami sexual abuse maupun sesudahnya. Selanjutnya mereka diberi kesempatan untuk secara tepat memfokuskan perasaan marahnya terhadap pelaku yang telah menyakitinya, atau kepada orang tua, polisi, pekerja sosial, atau lembaga peradilan yang tidak dapat melindungi mereka.

d. Cognitif terapy.

Artinya, konsep dasar dalam teknik ini adalah perasaan-perasaan seseorang mengenai beragam jenis dalam kehidupannya dipengaruhi oleh

pikiran-pikiran mengenai kejadian tersebut secara berulang-lingkar. H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

(20)

I. PENGKAJIAN

Menurut Doenges et.al (2007) pengkajian anak yang mengalami penganiayaan seksual (sexual abus) antara lain :

1. Aktivitas atau istirahat : Masalah tidur (misalnya tidak padat tidur atau tidur berlebihan, mimpi burukm, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang asing, keletihan.

2. Integritas ego

a. Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun karena tindakannya terhadap orang tua.

b. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat.) c. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak berdaya d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme pertahanan

yang paling dominan/menonjol)

e. Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap menunduk, takut (terutama jika ada pelaku)

f. Melaporkan faktor stres (misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan finansial, pola hidup, perselisihan dalam pernikahan)

g. Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain 3. Eliminasi

a. Enuresisi, enkopresis.

b. Infeksi saluran kemih yang berulang c. Perubahan tonus sfingter.

4. Makan dan minum : Muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia), makan berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat badan yang sesuai .

5. Higiene

(21)

b. Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan kotor/tidak terpelihara.

6. Neurosensori

a. Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat amuk atau pasivitas dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan usia

b. Status mental : memori tidak sadar, periode amnesia, lap[oran adanya pengingatan kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan konsentrasi/membuat keputusan. Afek tidak sesuai, mungkin sangat waspada, cemas dan depresi.

c. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan penyesalan yang dalam setelah penganiayaan seksual terjadi.

d. Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk, ketrampilan koping terbatas, kurang empati terhadap orang lain.

e. Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain : gelisah (korban selamat).

f. Manifestasi psikiatrik (misal : fenomena disosiatif meliputi kepribadian ganda (penganiayaan seksual), gangguan kepribadian ambang (koeban inses dewasa)

g. Adanya defisit neurologis/kerusakaan SSP tanpa tanda-tanda cedera eksternal

7. Nyeri atau ketidaknyamanan

a. Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual

b. Berbagai keluhan somatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul kronis, spastik kolon, sakit kepala)

8. Keamanan

a. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiran air panas, rokok) ada bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan yang tidak wajar, ruam/gatal di area genital, fisura anal, goresan kulit, hemoroid, jaringan parut, perubahan tonus sfingter.

(22)

c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam aktivitas dengan risiko tinggi

d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat menghindari bahaya di dalam rumah

9. Seksualitas

a. Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi kompulsif, permainan seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan mengulang atau melakukan kembali pengalaman inses. Kecurigaan yang berlebihan tentang seks, secara seksual menganiaya anak lain.

b. Perdarahan vagina , laserasi himen linier, bagian mukosa berlendir.

c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada anak). 10. Interaksi sosial

Merikan diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal kurang responsif, peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan kritik, penurunan penghargaan atau pengakuan verbal, merasa rendah diri. Pencapaian restasi dis ekolah rendah atau prestasi di sekolah menurun.

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Menurut Townsend (1998), dan Doenges et.al (2007) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada anak yang mengalami sexual abuse antara lain :

1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban perkosaan seksual yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan keinginan dan persetujuan pribadi seseorang

2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri rendah

(23)

4. Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman konsep diri, rasa takut terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan hubungan antara orang tua dan anak yang tidak memuaskan

5. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tidak efektif

6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan a nsietas dan hiperaktif

7. Koping defensif berhubungan dengan harga diri rendah, kurang umpan balik atau umpan balik negatif yang berulang yang mengakibatkan penurunan makna diri

8. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perasaan bersalah yang berlebihan, marah atau saling menyalahkan diantara anggota keluarga mengenai perilaku anak, kepenatan orang tua karena menghadapi anak dengan gangguan dalam jengka waktu lama

9. Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis, perawatan diri dan kebutuhan terapi berhubungan dengan kurang sumber informasi, interpretasi yang salah tentang informasi

K. INTERVENSI DAN RASIONAL

Menurut Videbeck (2008), Townsend (1998), dan Doenges et.al (2007) intervensi keperawatan yang dapat dirumuskan untuk mengatasi diagnosa

keperawatan diatas antara lain :

1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban perkosaan seksual yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan dengan keinginan dan persetujuan pribadi seseorang

Tujuan :

a. Tujuan jangka pendek : Luka fisik anak akan sembuh tanpa komplikasi b. Tujuan jangka panjang : anak akan mengalami resolusi berduka yang

(24)

Intervensi:

a. Smith (1987) menghubungkan pentingnya mengkomunikasikan empat ucapan berikut ini pada korban perkosaan : saya prihatin hal ini terjadi padamu, anda aman disini, saya senang anda hidup, anda tidak bersalah. Anda adalah korban. Ini bukan kesalahan anda. Apapun keputusan yang Anda buat pada saat pengorbanan adalah hak seseorang karena anda hidup. Rasional : Wanita tau anak yang telah diperkosa secara seksual takut terhadap kehidupannya dan harus diyakinkan kembali keamanannya. Ia mungkin juga sangat ragu-ragu dengan dirinya dan menyalahkan diri sendiri dan pernyataan-pernyataan ini membangkitkan rasa percaya secara bertahap dan memvalidasi harga diri anak

b. Jelaskan setiap prosedur pengkajian yang akan dilakukan dan mengapa dilakukan. Pastikan bahwa pengumpulan data dilakukan dalam perawatan, cara tidak menghakimi

Rasional : Untuk menurunkan ketakutan atau ansietas dan untuk meningkaytkan rasa percaya

c. Pastikan bahwa anak memiliki privasi yang adekuat untuk semua intervensi-intervensi segera pasca krisis. Cobaan sedikit mungkin orang yang memberikan perawatan segera atau mengumpulkan bukti segera. Atau mengumpulkan bukti segera

Rasional : Anak pasca trauma sangat rentan. Penambahan orang dalam lingkungannya meningkatkan perasaan rentan ini dan bertindak meningkatkan ansietas

d. Dorong anak untuk menghitung jumlahs erangan kekerasan seksual. Dengarkan, tetapi tidak menyelidiki

(25)

e. Diskusikan dengan anak siapa yang dapat dihubung untuk memberikan dukungan atau bantuan. Berikan informasi tentang rujukan setelah perawatan

Rasional : Karena ansietas berat dan rasa takut, anak mungkin membutuhkan bantuan dari orang lain selama periode segera pasca-krisis. Berikan informasi rujukan tertulis untuk referensi selanjutnya (misalnya psikoterapi, klinik kesehatan jiwa, kelompok pembela masyarakat)

2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri rendah

Tujuan :

a. Tujuan jangka pendek : Anak mengenali dan menyatakan secara verbal pilihan-pilihan yang tersedia dengan demikian merasakan beberapa kontrol terhadap situasi kehidupan (dimensi waktu ditentukan secara individu) b. Tujuan jangka panjang : Anak memperlihatkan kontrol situasi kehidupan

dengan membuat keputusan tentang apa yang harus dilakukan berkenaan dengan hidup bersama siklus penganiyaan seksual (dimensi waktu ditentukan secara individual)

Intervensi :

a. Dalam berkolaburasi dengan tim medis, pastikan bahwa semua cedera fisik, fraktur, luka bakar mendapatkan perhatian segera, mengambiul foto

jika anak mengijinkan merupakan ide yang baik

Rasional : Keamanan anak merupakan prioritas keperawatan. Foto dapat digunakan sebagai bukti jika tuntutan dilakukan

b. Bawa anak wanita tersebut ke dalam area yang pribadi untuk melakukan wawancara

(26)

c. Jika seorang anak wantia datang sendiri atau berserta dengan orang tuanya, pastikan tentang keselamatannya. Dorong untuk mendiskusikan peristiwa pemerkosaan yang telah dilakukan. Tanyakan pertanyaan tentang apakah hal ini telah terjadi sebelumnya. Jika pelaku kekerasan seksual minum obat bius, jika anak tersebut memiliki tempat yang aman untuk pergi dan apakah ia berminat dalam tuntutan yang mendesak

Rasional : Beberapa anak wanita berusaha untuk menyimpan rahasia tentang bagimana cedera seksual yang dideritanya terjadi dalam usaha untuk melindungi orang tuanya atau saudaranya atau karena mereka takut bahwa orang tuanya atau saudaranya akan membunuh mereka jika menceritakan hal tersebut

d. Pastikan bahwa usaha-usaha menyelamatkan tidak diusahakan oleh perawat. Berikan dukungan, tetapi ingat bahwa keputusan akhir harus dibuat oleh anak

Rasional : Membuat keputusan untuk dirinya sendiri memberikan rasa kontrol situasi kehidupannya sendiri. Memberikan penilaian dan nasehat adalah tidak terapeutik

e. Tekankan pentingnya keamanan, smith (1987) menyarankan suatu pernyataan seperti, ya itu telah terjadi. Sekarang ke mana anda ingin pergi dari sini ?. Burgess (1990) menyatakan "Korban perlu dibuat sadar tentang berbagai sumber yang tersedia untuk dirinya. Hal ini dapat mencakup

hotline krisis, kelompok-kelompok masyarakat untuk wanita dan anak yang pernah dianiaya secara seksual, tempat perlindungan, berbagai tempat konseling.

Rasional : Pengetahuan tentang pilihan-pilihan yang tersedia dapat membantu menurunkan rasa tidak berdaya dari korban, tetapi kewenangan yang sesungguhnya datang hanya saat ia memilih untuk menggunakan pengetahuan itu bagi keuntungannya sendiri.

(27)

dengan tujuan untuk menyebabkan bahaya, biasanya terjadi dalam waktu lama.

Tujuan :

a. Tujuan jangka pendek : Anak akan mengembangkan hubungan saling percaya dengan perawat dan melaporkan bagaimana tanda cedera terjadi (dimensi waktu ditentukan secara individu)

b. Tujuan jangka panjang : Anak akan mendemonstrasikan perilaku yang konsisten dengan usia tumbuh dan kembangnya.

Intervensi :

a. Lakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh pada anak. Buat catatab yang teliti dari luka memarnya (dalam berbagai tahap penyembuhan), laserasi, dan keluhan anak tentang area nyeri pada derah yang spesifik, misalnya kemaluan. Jangan mengabaikan atau melalaikan kemungkinan penganiayaan seksual. Kaji tanda nonverbal penganiayaan, perilaku agresif, rasa takut yang berlebihan, hiperaktivitas hebat, apatis, menarik diri, perilaku yang tidaks esuai dengan usianya

Rasional : Suatu pemeriksaan fisik yang akurat dan seksama dibutuhkan agar perawatan yang tepat dapat diberikan untuk pasien

b. Adakan wawancara yang dalam dengan orang tua atau orang dekat yang menyertai anak. Pertimbangkan jika cidera dilaporkan sebagai suatu

kecelakaan, apakah penjelasan ini berlasan? Apakah cedera tersebut konsisten dengan penjelasan yang diberikan? Apakah cedera tersebut konsisten dengan kemampuan perkembangan anak ?

(28)

c. Gunakan pertandingan atau terapi bermain untuk memperoleh rasa percaya anak. Gunakan teknik-teknik ini untuk membantu dalam menjelaskan sisi lain dari cerita anak tersebut

Rasional : Menetapkan hubungan saling percaya dengans eorang anak yang teraniaya sangatlah sukar. Mereka mungkin tidak ingin untuk disentuh. Jenis-jenis aktivitas bermain ini dapat memberikan suatu lingkungan yang tidak mengancam yang dapat meningkatkan usaha anak untuk mendiskusikan masalah-masalah yang menyakitkan ini

d. Tentukan apakah cedera yang dialami dibenarkan untuk dilaporkan kepada yang berwenang. Undang-Undang negara yang spesifik harus masuk ke dalam keputusan apakah ya atau tidak untuk melaporkan dugaan penganiayaan seksual anak.

Rasional : Suatu laporan (umumhya dibuat) jika ada alasan untuk mencurigai bahwa seseorang anak telah dicederai sebagai suatu akibat penganiayaan seksual. Alasan untuk mencirugai ditetapkan saat ada tanda-tanda ketidaksesuaian atau ketidakkonsistenan dalam menjelaskan cedera pada anak. Kebanayakan negara membutuhkan individu-individu berikut melaporkan kasus dari anak yang dicurigai dianiaya seksual : semua pekerja kesehatan, semau terapis kesehatan jiwa, guru-guru, pengasuh-pengasuh anak, pemadam kebakaran, anggota medis gawat darurat dan anggota penyelenggara hukum. Laporan dibuat oleh Departemen

Pelayanan Sosial dan rehabiulitasi atau Badan penyelenggara Hukum.

4. Koping individu tidak efektif berhubungan dengankelainan fungsi dari system keluarga dan perkembangan ego yang terlambat, serta penganiayaan dan pengabaian anak

Tujuan :

(29)

b. Anak mampu menundakan pemuasan terhadap keinginannya, tanpa terpaksa untuk menipulasi orang lain

c. Anak mampu mengekspresikan kemarahan dengan cara yang dapat diterima secara sosial

d. Anak mampu mengungkapkan kemampuan-kemampuan koping alternatif yang dapat diterima secara sosial sesuai dengan gaya hidup dari yang ia rencanakan untuk menggunakannya sebagai respons terhadap rasa frustasi

Intervensi:

a. Pastikan bahwa sasaran-sasarannya adalah realistis

Rasional : penting bagi anak untuk nmencapai sesuatu, maka rencana untuk aktivitas-aktivitas di mana kemungkinan untuk sukses adalah mungkin. Sukses meningkatkan harga diri

b. Sampaikan perhatian tanpa syarat pada anak

Rasional : Komunikasi dari pada penerimaan anda terhadapnya sebagai makhluk hidup yang berguna dapat meningkatkan harga diri

c. Sediakan waktu bersama anak, keduanya pada saty ke satu basis dan pada aktivitas-aktivitas kelompok

Rasional : Hal ini untuk menyampaikan pada anak bahwa anda merasa

bahwa dia berharga bagi waktu anda

d. Menemani anak dalam mengidentifikasi aspek-aspek positif dari dan

dalam mengembangkan rencana-rencana untuk merubah karakteristik yang lihatnya sebagai negatif

Rasional : identifikasi aspek-aspek positif anak dapat membantu mengembangkan aspek positif sehingga mempunyai koping individu yang efektif

(30)

Rasional : Penguatan positif membantu meningkatkan harga diri dan meningkatkan penggunaan perilaku-perilaku yang dapat diterima oleh anak

f. Memberi dorongan dan dukungan kepada anak dalam menghadapi rasa takut terhadap kegagalan dengan mengikuti aktivitas-aktivitas terapi dan melaksanakan tugas-tugas baru. Beri pangakuan tentang kerja keras yang berhasil dan penguatan positif bagi usaha-usaha yang dilakukan

Rasional : Pengakuan dan penguatan positif meningkatkan harga diri

5. Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman konsep diri, rasa takut terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan hubungan antara orang tua dan anak yang tidak memuaskan

Tujuan :

Anak mampu mempertahankan ansietas di bawah tingkat sedang, sebagaimana yang ditandai oleh tidak adanya perilaku-perilaku yang tidak perilaku yang tidak mampu dalam memberi respons terhadap stres .

Intervensi :

a. Bentuk hubungan kepercayaan dengan anak. Bersikap jujur, konsisten di dalam berespons dan bersedia. Tunjukkan rasa hormat yang positif dan tulus

Rasional : Kejujuran, ketersediaan dan penerimaan meningkatkan kepercayaan pada hubungan anak dengan staf atau perawat

b. Sediakan aktivitas-aktivitas yang diarahkan pada penurunan tegangan dan pengurangan ansietas (misalnya berjalan atau joging, bola voli, latihan dengan musik, pekerjaan rumah tangga, permainan-permainan kelompok Rasional : tegangan dan ansietas dilepaskan dengan aman dan dengan manfaat bagi anak melalui aktivitas-aktivitas fisik

(31)

Rasional : Anak-anak vemas sering menolak hubungan antara masalah-masalah emosi dengan ansietas mereka. Gunakan mekanisme-mekanisme pertahanan projeksi dan pemibdahan yang dilebih-lebihkan

d. Perawat harus mempertahankan suasana tentang

Rasional : Ansietas dengan mudah dapat menular pada orang lain

e. Tawarkan bantuan pada wajtu-waktu terjadi peningkatan ansietas. Pastikan kembali akan keselamatan fisik dan fisiologis

Rasional : Keamanan anak adalah prioritas keperawatan

f. Penggunaan sentuhan menyenangkan bagi beberaoa anak. Bagaimanapun juga anak harus berhati-hati terhadap penggunaannya

Rasional : sebagaimana ansietas dapat membantu mengembangkan kecurigaan pada beberapa individu yang dapat salah menafsirkan sentuhan sebagai suatu agresi

g. Dengan berkurangnta ansietas, temani anak untuk mengetahui peristiwa-peristiwa tertentu yang mendahului serangannya. Berhasil pada respons-respons alternatif pada kejadian selanjutnyta

Rasional : Rencana tindakan memberikan anak perasaan aman untuk penanganan yang lebih berhasil terhadap kondisi yang sulit jika terjadi lagi h. Berikan obat-obatan dengan obat penenang sesuai dengan yang diperintahkan. Kaji untuk keefektifitasannya, dan beri petunjukkepada anak mengenai kemungkinan efek-efek samping yang memberi penharuh

berlawanan

Rasional : Obat-obatan terhadap ansietas (misalnya diazepam, klordiasepoksida, alprazolam) memberikan perasaan lega terhadap efek-efek yang tidak berjalan dari ansietas dan mempermudah kerjasama anak dengan terapi

6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ansietas dan hiperaktif

(32)

a. Anak mampu untuk mencapai tidur tidak terganggu selama 6 sampai 7 jamn setiap malam dengan kriteria hasil:

b. Anak mengungkapkan tidak adanya gangguan-gangguan pada waktu tidur c. Tidak ada gangguan-gangguan yang dialamti oleh perawat

d. Anak mampu untuk mulai tidur dalam 30 menit dan tidur selama 6 sampai 7 jam tanpa terbangun

Intervensi :

a. Amati pola tidur anak, catat keadaan-keadaan yang menganggu tidur Rasional : Masalah harus diidentifikasi sebelum bantuan dapat diberikan b. Kaji gangguan-gangguan pola tidur yang berlangsung berhubungan

dengan rasa takut dan ansietas-ansietas tertentu

Rasional : Ansietas yang dirasakan oleh anak dapat mengganggu pola tidur anak sehingfga perlu diidentifikasi penyebabnya

c. Duduk dengan anak sampai dia tertidur

Rasional : kehadiran seseorang yang dipercaya memberikan rasa aman d. Pastikan bahwa makanan dan minuman yang mengandung kafein

dihilangkan dari diet anak

Rasional : Kafein adalah stimulan SSP yang dapat mengganggu tidur e. Berikan sarana perawatan yang membantu tidur (misalnya : gosok

punggung, latihan gerak relaksasi dengan musik lembut, susu hangat dan mandi air hangat)

Rasional : Sarana-sarana ini meningkatkan relaksasi dan membuat bisa tidur

f. Buat jam-jam tidur yang rutin, hindari terjadinya deviasi dari jadwal ini Rasional : Tubuh memberikan reaksi menyesuaikan kepada suatu siklus rutin dari istirahat dan aktivitas

g. Beri jaminan ketersediaan kepada anak jika dia terbangun pada malam hari dan dalam keadaan ketakutan

(33)

7. Koping defensif berhubungan dengan harga diri rendah, kurang umpan balik atau umpan balik negatif yang berulang yang mengakibatkan penurunan makna diri

Tujuan :

a. Anak akan mendemonstrasikan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain tanpa menjadi defensif, perilaku merasionalisasi atau mengekspresikan pikiran waham kebesaran dengan kriteria hasil :

b. Anak mengungkapkan dan menerima tanggung jawab terhadap perilakunya sendiri

c. Anak mengungkapkan korelasi antara perasaan-perasaan ketidakseimbangan dan keperluan untuk mempertahankan ego melalui rasionalisasi dan kemuliaan

d. Anak tidak menertawakan atau mengkritik orang lain

e. Anak berinteraksi dengan orang lain dengan situasi-situasi kelompok tanpa bersikap defensif

Intervensi :

a. Kenali dan dukung kekuatan-kekuatan ego dasar

Rasional : memfokuskan pada spek-aspek positif dari kepribadian dapat membantu untuk memperbaiki konsep diri

b. Beri semangat kepada anak untuk menteahui dan mengungkapkan dan

bagaimana perasaan ini menimbulkan perilaku defensif, seperti menyalahkan oprang lain karena prilakunya sendiri

Rasional : Pengenalan masalah adalah langkah pertama pada proses perubahan ke arah resolusi

c. Berikan segera sebenarnya umpan balik yang tidaj mengancam untuk perilaku-perilaku yang tidak dapat diterima

(34)

mengancam dapat membantu untuk mengeliminasi perilaku yang tidak diinginkan

d. Bantu anak untuk mengidentifikasi situasi-situasi yang menimbulkan sifat defensif dan praktik bermain peran dengan respons-respons yang lebih sesuai

Rasional : Bermain peran memberikan percaya diri untuk menghadapi situasi-situasi yang sulit jika hal-hal tersebut benar-benar terjadi

e. Berikan dengans egera umpan balik positif bagi perilaku-perilaku yang dapat diterima

Rasional : Umpan balik positif meningkatkan harga diri dan memberi semangat untuk mengulangi perilaku-perilaku yang diinginkan

f. Membantu anak untu menetapkan sasaran-sasaran yang realistis, konkret dan memerlukan tindakan-tindakan yang cocok untuk mencapai sasaran-sasaran ini

Rasional : Keberhasilan akan meningkatkan harga diri

g. Evaluasi dengan anak keefektifan perilaku-perilaku yang baru dan diskusikan adanya perubahan untuk perbaikan

Rasional : Karena keterbatasan kemampuan untuk memecahkan masalah, bantuan mungkin diperlukan untuk menetapkan kembali dan mengembangkan strategi baru, pada keadaan di mana metode-metode koping baru tertentu terbukti tidak efektif

8. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perasaan bersalah yang berlebihan, marah atau saling menyalahkan diantara anggota keluarga mengenai perilaku anak, kepenatan orang tua karena menghadapi anak dengan gangguan dalam jangka waktu lama

Tujuan :

a. Orang tua mendemonstrasikan metode intervensi yang lebih konsisten dan efektif dalam berespons perilaku anak dengan kriteria hasil :

(35)

c. Mengidentifikasi dan menggunakan sistem pendukung yang diperlukan

Intervensi :

a. Berikan informasi dan material yang berhubungan dengan gangguan anak dan teknik menjadi orang tua yang efektif

Rasional : Pengetahuan dan ketrampilan yang tepat dapat meningkatkan keefektifan peran orang tua

b. Dorong individu untuk mengungkapkan perasaan secara verbal dan menggali alternatif cara berhubungan dengan anak

Rasional : Konseling suportif dapat membantu keluarga dalam mengembangkan strategi koping

c. Beri umpan balik positif dan dorong metode menjadi orang tua yang efektif

Rasional : Penguatan positif dapat meningkatkan harga diri dan mendorong kontinuitas upaya

d. Libatkan saudara kandung dalam diskusi keluarga dan perencanaan interaksi keluarga yang lebih efektif

Rasional : Masalah keluarga mempengaruhi semua anggota keluarga dan tindakan lebih efektif bila setiap orang terlibat dalam terapi tersebut

e. Libatkan dalam konseling keluarga

Rasional : terapi keluarga dapat membantu mengatasi masalah global yang mempengaruhi seluruh struktur keluarga. Gangguan pada salah satu

anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh anggota keluarga

f. Rujuk pada sumber komunitas esuai indikasi, termasuk kelompok pendukung orang tua, kelas menjadi orang tua

(36)

9. Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis, perawatan diri dan kebutuhan terapi berhubungan dengan kurang sumber informasi, interpretasi yang salah tentang informasi

Tujuan :

a. Mengungkapkan secara verbal pemahaman tentang penyebab masalah perilaku, perlunya terapi dalam kemampuan perkembangan dengan kriteria hasil :

b. Berpartisipasi dalam pembelajaran dan m,ulai bertanya dan mencari informasi secara mandiri

c. Mencapai tujuan kognitive yang konsisten sesuai tingkat temperamen

Intervensi :

a. Berikan lingkungan yang tenang, ruang kelas berisi dirinya sendiri, aktivitas kelompok kecil. Hindari tempat yang terlalu banyak stimulasi, seperti bus sekolah, kafetaria yang ramai, aula yang ramai

Rasional : Peredaan dalam stimulasi lingkungan dapat menurunkan distraktibilitas. Kelompok kecil dapat meningkatkan kemampuan untuk tepat pada tugas dan membantu klien mempelajari interaksi yang tepat dengan orang lain, menghindari rasa terisolasi

b. Beri materi petunjuk format tertulis dan lisan dengan penjelasan langkah demi langkah

Rasional : Keterampilan belajar yang terurut akan meningkat. Mengajarkan anak keterampilan pemecahan masalah, mempraktikkan contoh situasional. Keterampilan efektif dapat meningkatkan tingkat prestasi

c. Ajarkan anak dan keluarga tentang penggunaan psikostimulan dan antisipasi respons perilaku

(37)

d. Koordinasi seluruh rencana terapi dengan sekolah personel sederajat, anak, dan keluarga

Rasional : keefektifan kognitif paling mungkin meningkat ketika terapi tidak terfragmentasi, juga tidak terlewatkannya intervensi signifikan karena kurangnya komunikasi interdisiplin.

L. DISCHARGE PLANNING

Hasil yang diharapkan dari pemberian asuhan keperawatan pada anak dengan penganiayaan seksual (sexual abuse) antara lain :

1. Anak tidak mengalami ansietas panik lagi

2. Anak mendemonstrasikan derajat percaya kepada perawat primer 3. Anak menerima perhatian dengan segera terhadap cedera fisiknya 4. Anak memulai perilaku yang konsisten terhadap respons berduka 5. Anak mendapatkan perhatian segera untuk cedera fisiknya jika ada 6. Anak menyatakan secara verbal jaminan keamanannya dengan segera 7. Anak mendiskusikan situasi kehidupannya dengan perawat primer

8. Anak mampu menyatakan secara verbal pilihan –pilihan yang tersedia untuk dirinya yang dari hal ini ia menerima bantuan

9. Anak mendemosntrasikan rasa percaya kepada perawat utama melalui

(38)

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN

Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak dibawah umur belakangan ini semakin banyak muncul dipermukaan.Hal ini belum tentu merupakan indikator meningkatnya jumlah kasus, karena fenomena yang terjadi adalah fenomena gunung es, jumlah yang terlihat belum tentu menunjukkan fakta yang sesungguhnya.Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap penegakan hukum merupakan salah satu faktor meningkatnya pelaporan kasus kekerasan seksual. Penganiayaan seksual pada anak didefinisikan sebagai adanya tindakan seksual yang mencakup tetapi tidak dibatas pada insiden membuka pakaian, menyentuh dengan cara yang tidak pantas dan penetrasi (koitus seksual), yang dilakukan dengan seorang anak untuk kesenangan seksual orang dewasa. Insest telah didefinisikan sebagai eksploitasi seksual pada seorang anak di bawah usia 18 tahun oleh kerabat atau buka kerabat yang merupakan orang dipercaya dalam keluarga (Townsend, 1998).

Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku lain. Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk eksploitasi-memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang dialami sebelumnya, baik dari perlakuan

langsung maupun dari media yang dilihatnya.Dengan adanya azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam faktor yang mendorong anak menjadi pelakukekerasan seksual, agar anak tidak dua kali menjadi korban (Maria, 2008).

Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus, fisur

pada anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/kerusakan hymen

pada vagina. Efek psikologis pencabulan terhadap anak umumnya berjangka

panjang, antara lain: kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa tak Iman,

(39)

B. SARAN

Berdasarkan asuhan keperawatan anak pada retardasi mental maka disarankan : 1. Perawat

Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan seksual abuse dapat melibatkan anak dalam brain Gym untuk memfokuskan perhatian anak dan melupakan peristiwa trauma akibat penganiayaan seksual.

2. Sekolah

Sekolah dapat bekerja sama dengan keluarga dan para dokter untuk membantu anak korban aniaya seksual di sekolah. Komunikasi terbuka antara orangtua dan staf sekolah dapat merupakan kunci keberhasilan anak dalam menyesuaikan diri di sekolah.

3. Keluarga/Orang tua

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M.E. Townsend, M.C. Moorhouse, M.F. (2007). Rencana asuhan keperawatan Psikiatri (terjemahan).Edisi 3.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Elia, H. (2003). Korban Pelecehan Seksual Usia Muda ..!. http://64.203.71.11/kesehatan/news/0307/21/103523.htm. Diakses tanggal 28 Februari 2015

FKUI.(2006). Pendahuluan Sebuah Tinjauan

.http://www.freewebs.com/ childabusea1/.htm. Diakses tanggal 28 Februari 2015

Freewebs, (2006).Pola Child Sexual Abuse. http://www.freewebs.com/ forensik_sexual_abuse/.htm. Diakses tanggal 28 Februari 2015

Jeanne Wess, and Videbeck (2008) Metode Penelitian Pengetahuan Sosial. Alih bahasa: Sulistia, Mujianto, Sofwan, Ahmad, dan Suhardjito. Semarang: IKIP Semarang Press.

Maria. (2008). Hadapi Kekerasan Seksual Pada Anak Hendaknya Tetap

Mempertimbangkan Faktor Psikologis

http://apindonesia.com/new/index.php?option=com_content&task

=view&id=1656&Itemid=62. Diakses 28 Februari 2015

Minangsari, D. (2007. Merespons Anak yang Mengalami Pelecehan Seksual!.

http://www.kesrepro.info/?q=node/194. Diakses tanggal 28 Februari 2015

(41)

Smith, M.S. (1998). Sexual harassment in the Workplace: Perspectives, Frontiers and Response Strategies. Vol 5 Women & Work, Sage Publications, New Delhi.

Suda, I.K, (2006). Topik Interaktif: "Membedah Penyebab Kekerasan Seksual terhadap Anak"Penyebab Kekerasan Seksual terhadap Anak http://www.dradio1034fm.or.id/detail.php?id=4269. Diakses 28 Februari 2015

Referensi

Dokumen terkait

penggunaan waktu, gerak, cara memotivasi siswa, teknik bertanya, teknik penguasaan kelas, penggunaan media, dan bentuk dan cara evalusi. Sedangkan perilaku siswa

Turkiseläinten lannan lisäksi ei porkkanan kaltaisilla hitaasti ravinteita ottavalla kasvilla tarvita täydennystyppilan- noitusta, mutta ainoana ravinteiden lähteenä

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran pada mata kuliah metodologi penelitian di jurusan sosiologi, mata kuliah filsafat India di jurusan filsafat

Peranan modal intelektual sangat berpengaruh terhadap kinerja karyawan dan dalam jangka panjang akan mempengaruhi kinerja organisasi, karena modal intelektual

Dalam kedua film juga digambarkan ciuman yang dilakukan di jalan umum namun remaja mengkritisi hal tersebut bahwa ciuman tersebut berbeda dengan kehidupan nyata karena di

(2) Subbidang Potensi Sumber Daya Kawasan Perbatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, mempunyai tugas menyiapkan bahan perumusan kebijakan, dan

Dari hasil pengujian yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa serat pinang dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan papan semen-gipsum yang berfungsi

menggunakan uji statistik Mc.Nemar diperoleh hasil bahwa metode konseling efektif untuk meningkatkan pengetahun ( ρ value 0,001), sikap (ρ value 0,002) dan Tindakan (