• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Ketika berbicara mengenai masalah sosial di Indonesia, anak merupakan kajian

permasalahan yang sensitif dibahas dan selalu mendapat perhatian khusus oleh

semua kalangan. Problematika anak dapat disebut juga sebagai unfinished agenda,

agenda yang tidak terselesaikan. Sangat disayangkan melihat sekarang ini fenomena

masalah sosial kritis di Indonesia salah satunya mengenai anak. Anak sebagai pribadi

yang masih menjalani masa perkembangan sering kali mengahadapi permasalahan

sosial yang terkadang tidak dapat diselesaikannya sendiri karena keterbatasannya

sebagai seorang anak. Tidak jarang anak terjerumus dalam masalah sosial seperti

yang sering kita lihat di kepala-kepala berita di berbagai media massa sebagian besar

mengenai kejahatan terhadap anak, yang mana menjadikannya sebagai salah satu

masalah sosial terhangat di Indonesia sekarang ini.

Kejahatan terhadap anak pada saat ini telah mencapai ambang batas yang

memilukan, dimana jika dicermati dalam beberapa kasus kejahatan terhadap anak

justru dilakukan oleh pihak-pihak yang seharusnya diharapkan berperan penting

dalam mengasuh dan melindungi anak, yakni orang tua/keluarga dan juga guru

sebagai pendidik. Dalam laporan yang dirilis oleh Badan PBB untuk anak-anak,

UNICEF, pada tahun 2014 sebanyak 6 dari 10 orang anak di seluruh dunia yang

totalnya mencapai 1 miliar, mengalami kekerasan fisik antara usia 2-14 tahun.

Berbekal data dari 190 negara, UNICEF mencatat bahwa seluruh anak-anak di dunia

(2)

pembunuhan, tindakan seksual, bullying, dan penegakkan disiplin yang terlalu kasar.

Laporan tersebut menyebutkan hanya ada 39 negara di seluruh dunia yang memiliki

perlindungan anak-anak secara hukum.

(http://news.liputan6.com/read/2101694/unicef-1-dari-10-anak-perempuan-alami-pelecehan-seksual, diakses pada tanggal 4 Februari 2016 pukul 14:45 WIB).

Beberapa kasus kejahatan terhadap anak sebagian besar dilakukan oleh orang

terdekat anak itu sendiri dalam bentuk kekerasan ataupun diskriminasi. Di Indonesia

sendiri, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan dalam setiap

tahunnya telah terjadi 3.700-an atau sebanyak 13-15 kasus kekerasan terhadap anak

dalam setiap harinya.

(http://rri.co.id/post/berita/104143/nasional/kpai_setiap_tahun_terjadi_3700_kasus_k

ekerasan_terhadap_anak.html diakses pada tanggal 18 Januari 2016 pukul 15:00

WIB).

Seperti yang tercantum dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa, “Setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi.” Pasal ini menunjukkan bahwa anak harus dilindungi dari segala tindak kekerasan maupun diskriminasi.

Child abuse atau kekerasan terhadap anak antara lain dirumuskan sebagai suatu

bentuk tindakan yang bersifat tidak wajar pada anak dan biasanya dilakukan oleh

orang dewasa. Para pakar umumnya memberikan definisi ini menjadi suatu bentuk

(3)

penganiayaan, pemukulan, melukai anak, maupun kejiwaan (mentally abused) seperti

melampiaskan kemarahan terhadap anak dengan mengeluarkan kata-kata kotor dan

tidak senonoh. Bentuk lain dari tindakan tidak wajar terhadap anak dapat juga

berbentuk perlakuan salah secara seksual (sexual abused). Contoh tindakan ini antara

lain kontak seksual langsung yang dilakukan antara orang dewasa dan anak

berdasarkan paska (perkosaan) maupun tanpa paksaan (incest). Tindakan perlakuan

salah secara seksual lainnya adalah eksploitasi seksual seperti prostitusi anak dan

pelecehan seksual terhadap anak. (Wahid & Irfan, 2001:99).

Kekerasan seksual merupakan salah satu dari sekian banyak contoh tindakan

kejahatan terhadap anak dalam bentuk kekerasan. Kekerasan seksual (sexual

violence) terhadap anak merupakan bentuk perlakuan yang merendahkan martabat

anak dan menimbulkan trauma yang berkepanjangan. Bentuk perlakuan kekerasan

seksual seperti digerayangi, diperkosa, dicabuli atapun digaulli dengan paksaan telah

membawa dampak yang sangat endemik, dalam kacamata psikologis anak akan

menyimpan semua derita yang pernah ada, terlebih kekerasan seksual pada anak.

(Kartono, 1992:8). Dalam banyak kejadian, kasus kekerasan seksual terhadap anak

sering tidak dilaporkan kepada kepolisi. Kasus tersebut cenderung dirahasiakan,

bahkan jarang dibicarakan baik oleh pelaku maupun korban. Para korban merasa

malu karena menganggap hal itu sebagai sebuah aib yang harus disembunyikan

rapat- rapat atau korban merasa takut akan ancaman pelaku. Sedangkan si pelaku

merasa malu dan takut akan di hukum apabila perbuatannya diketahui.

Berdasarkan laporan UNICEF tahun 2014 yang telah dijelaskan sebelumnya,

dalam laporan tersebut dikatakan bahwa 1 dari 10 anak perempuan di dunia

(4)

menyebar luas. Satu dari 3 remaja perempuan yang telah menikah, dan sekitar 84 juta

orang telah menjadi koban kekerasan emosional, fisik atau seksual yang dilakukan

oleh suami mereka sendiri. Kekerasan oleh pasangan sendiri paling tinggi terjadi di

Kongo dan Guinea. Sedangkan seperti yang diungkapkan oleh Anshor (2014:1)

bahwa Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, dari bulan Januari

sampai Agustus tahun 2014, telah terjadi sebanyak 621 (enam ratus dua puluh satu)

kasus kejahatan seksual, sedangkan pada tahun 2013 tercatat sebanyak 590 (lima

ratus sembilan puluh) kasus. Data lain juga dikemukakan oleh Dwiatmodjo

(2011:202), bahwa dari 1998 kasus kekerasan anak pada tahun 2009, sekitar 62,7%

adalah kasus kekerasan seksual (sodomi, perkosaan, pencabulan, dan incest) yang

diadukan ke Komisi Nasional Perlindungan Anak.

Kota Medan sebagai salah satu kota besar di Indonesia dan merupakan ibukota

Provinsi Sumatera Utara juga menjadi sorotan dalam kasus kekerasan seksual yang

dilakukan terhadap anak. Berdasarkan data yang tercantum dalam surat kabar Sumut

Pos tanggal 06 Mei 2014 bahwa di Sumatera Utara, kasus kekerasan seksual terhadap

anak merupakan kasus tertinggi kedua setelah kasus hak kuasa asuh yang ditangani

oleh KPAID Provinsi Sumatera Utara dan setiap tahunnya kasus kekerasan seksual

ini mengalami peningkatan. Seperti yang bisa dilihat dalam kutipan berita online

tentang pencabulan yang dilakukan oleh Y.A (34 tahun) terhadap tetangganya

seorang anak berusia 9 tahun. Kanit Reskrim Polsek Medan Baru, Iptu Oscar S Setjo,

pada hari Selasa tanggal 6 Januari 2015 mengatakan, kejadian bermula saat pelaku

dipergoki oleh kakek korban sedang menunjukkan video dewasa sembari meraba

tubuh korban. Kakek korban melihat cucunya diraba dan langsung berteriak hingga

(5)

hingga babak belur. Kepada polisi pelaku mengaku telah 4 kali melakukan aksi

pencabulan anak di bawah umur.

(http://medansatu.com/berita/476/cabuli-anak-9-tahun-pengangguran-ini-ditangkap-polsek-medan-baru-sumut/, diakses pada tanggal

18 Januari 2016 pukul 13:53 WIB).

Masih di Kota Medan dengan kasus serupa yakni pencabulan terhadap anak

dibawah umur, dimana dalam kasus ini penulis sebagai peneliti ikut serta pada proses

penanganannya ketika melakukan proses praktikum di Komisi Perlindungan Anak

Indonesia Daerah Sumatera Utara. Kali ini kasus pencabulan atas N (Pr, 13 tahun)

pada November 2015 lalu yang mana hingga penelitian ini ditulis proses hukum dan

penyidikannya masih berlangsung. Belum diketahui pasti siapa pelaku pencabulan N,

apakah ayah kandungnya sendiri (A, 40 tahun) atau kakeknya sendiri (K, 69 tahun).

Kapolresta Medan Kombes Pol Mardiaz Husein yang turun langsung menangani

kasus tersebut mengatakan bahwa sudah dilakukan pemeriksaan terhadap korban,

namun belum bisa ditetapkan siapa pelaku dari kedua orang terduga tersebut. Korban

belum bisa memberikan pernyataan sebenarnya karena mentalnya masih terganggu,

dan untuk sementara korban dipindahkan ke Rumah Aman KPAID untuk

mendapatkan perawatan supaya jiwa dan mentalnya pulih.

Selengkapnya:

(http://matatelinga.com/view/Berita-Sumut/34815/Saling-Tuduh--Ayah-Atau-Kakeknya-yang-Cabuli-Gadis-Belia-ini----.html#.VpyLvpp97IV, diakses

pada tanggal 18 Januari 2016 pukul 13:52 WIB)

Sebagai wujud nyata bahwa Negara sebagai pelindung martabat anak, melalui

Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Kepres No. 77

(6)

disebut dengan KPAI. KPAI merupakan lembaga negara yang bersifat independen

yang bertugas untuk melindungi anak-anak bangsa dari segala tindakan yang

merugikan mereka.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara adalah

Komisi Daerah (KPAI-Komisi Negara) yang bersifat Independen yang terbentuk

untuk mendorong/memfasilitasi dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan

hak-hak anak baik hak-hak hidup, hak-hak sipil, hak-hak tumbuh kembang anak dan hak-hak berpartisipasi

sesuai keinginan bakat dan minat dan kebutuhannya. Komisi Perlindungan Anak

Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara yang selanjutnya dalam penelitian ini

disebut KPAID SUMUT dibentuk semenjak tanggal 26 Januari 2006 yang lalu oleh

Gubernur Sumatera Utara pada waktu itu Rudolf M. Pardede. Saat ini KPAID

SUMUT masih tetap konsisten dalam mengawal UU No. 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Perlindungan hak-hak tersebut dilakukan dengan tujuan “demi

kepentingan terbaik bagi anak” sebagai generasi penerus sekaligus pemilik dan

pengelola masa depan bangsa.

Urgensitas KPAID SUMUT dirasa sangat penting pada saat ini, melihat

kondisi kekerasan seksual terhadap anak khususnya di Kota Medan. Sebagai lembaga

Independen Negara, secara spesifik KPAID SUMUT mempunyai tugas dan fungsi

menurut Undang No.35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yaitu antara lain:

a) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan

(7)

b) Memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang

penyelenggaraan Perlindungan Anak.

c) Mengumpulkan data dan informasi mengenai Perlindungan Anak.

d) Menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan masyarakat mengenai

pelanggaran Hak Anak.

e) Melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran Hak Anak.

f) Melakukan kerjasama dengan lembaga yang dibentuk masyarakat di bidang

Perlindungan Anak.

g) Memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan

pelanggaran terhadap Undang-Undang ini.

Dengan begitu tugas dan fungsi Komisi Perlindungan Anak Indonesia telah jelas

secara legalitasnya. Sekarang ini yang difokuskan adalah bagaimana mengenai

pelaksanaan tugas dan fungsi KPAID SUMUT itu sendiri terhadap maraknya kasus

kekerasan anak yang terjadi seperti pelecehan dan kekerasan seksual di mana-mana.

Berdasarkan data yang peneliti dapat dari pihak KPAID SUMUT mengenai

daftar kasus pengaduan dan juga klasifikasi kasus dalam dua tahun terakhir yang

nantinya akan dilampirkan pada akhir penelitian ini, pengaduan kekerasan terhadap

anak yang dilaporkan ke KPAID SUMUT atas kasus kekerasan seksual pada tahun

2014 sebanyak 56 kasus dengan klasifikasi kasus yang telah selesai sebanyak 39

kasus, termasuk dialamnya kasus yang selesai ditangani melalui proses kepolisian

sebanyak 11 kasus, dan sisanya sebanyak 17 kasus belum tercatat selesai kasusnya,

(8)

kepada pihak KPAID SUMUT. Sedangkan data kasus kekerasan seksual yang masuk

ke KPAID SUMUT tahun 2015 sebanyak 53 kasus, dengan klasifikasi kasus yang

telah selesai yakni 26 kasus, dimana termasuk didalamnya 23 kasus selesai melalui

proses kepolisian, 2 kasus diproses pengadilan, dan 1 kasus di kejaksaan, kemudian

sisanya sebanyak 27 kasus belum dinyatakan sebagai kasus yang selesai karena

masih dalam proses hukum ataupun tidak ada keterangan lanjutan kepada pihak

(9)

Tabel I.2 Daftar Klasifikasi Kasus KPAID SUMUT Tahun 2015

Setelah melihat data-data di atas, jumlah pengaduan yang dilaporkan ke KPAID

SUMUT mengalami penurunan sebanyak 2 kasus. Penurunan tersebut tidak

signifikan, dan kasus kekerasan seksual masih menjadi kasus terbanyak nomor dua di

Sumatera Utara khususnya Kota Medan. Kemudian dapat dilihat kasus yang sudah

selesai proses penanganannya juga mengalami penurunan, dari 39 kasus menjadi 26

kasus, dapat diartikan bahwa penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak

yang menjadi dampingan KPAID SUMUT cukup menurun. Melihat hal ini, penulis

menemukan permasalahan dari menurunya kasus kekerasan seksual yang dinyatakan

selesai proses penyelesaiannya, dari penurunan tersebut pastilah terdapat

(10)

tersebut. Adapun kasus yang telah selesai dalam penanganan KPAID SUMUT yakni

terlapor atau pelaku tindakan pidana kekerasan seksual terhadap anak tersebut telah

mendapat vonis hukuman dari pengadilan berupa penjara dan denda, dikabulkannya

hak restitusi apabila diajukan oleh pihak korban, serta anak korban kekerasan seksual

dikembalikan kepada orangtuanya setelah mendapatkan perlindungan berupa hak

rehabilitasi fisik, psikis, dan reintegrasi sosial di RPTC (Rumah Perlindungan

Trauma Center) milik Kementerian Sosial RI, RUPA (Rumah Perlindungan Anak)

milik KPAID SUMUT, atau di rumah perlindungan anak lainnya dengan

pendampingan KPAID SUMUT bersama pihak Pekerja Sosial atau Sakti Peksos

Kemensos RI terkait.

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka penulis sebagai

peneliti tertarik untuk meneliti dan mengetahui hal-hal apa saja yang berpengaruh

dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak dampingan Komisi

Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara (KPAID SUMUT)

dan mengklasifikasikannya menjadi faktor-faktor seperti faktor pendukung dan

penghambat dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual tersebut. Penulis

membatasi penelitian ini pada ruang lingkup kasus kekerasan seksual yang diadukan

di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara dengan

studi kasus pada data tahun 2015. Penulis mengangkat permasalahan yang

dirangkum dalam penelitian sebuah karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual

Terhadap Anak (Child Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak

(11)

1.2Perumusan Masalah

Agar memudahkan peneliti dalam menginterpretasikan data dan fakta ke dalam

penulisan, maka penulis sebagai peneliti akan merumuskan permasalahan yang akan

diteliti terlebih dahulu. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan

sebelumnya, maka dapat ditarik sebuah rumusan masalah dalam penelitian ini yakni

“Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi penyelesaian kasus kekerasan seksual

dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera Utara?”

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, adapun tujuan yang ingin dicapai dalam

penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran penyelesaian kasus kekerasan

seksual dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Provinsi Sumatera

Utara.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dalam

pengembangan:

1. Secara Akademis, dapat memberikan sumbangan positif terhadap keilmuan di

Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial mengenai konsep pelayanan sosial

dan juga diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan dalam

menambah referensi dan kajian bagi peneliti atau mahasiswa yang tertarik

terhadap penelitian yang berkaitan dengan Faktor-Faktor yang

(12)

Sexual Abuse) Dampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah

Provinsi Sumatera Utara.

2. Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan dan

informasi bagi peneliti untuk meningkatkan lagi pemahaman mengenai

perlindungan anak khususnya pada anak korban kekerasan seksual, serta

masukan dalam pengembangan penyelesaian kasus kekerasan seksual

terhadap anak.

3. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih

pemikiran bagi pihak-pihak yang terlibat di dalam penanganan anak korban

kekerasan khususnya kekerasan seksual dan juga lembaga atau institusi

lainnya yang terkait dalam menangani permasalahan anak agar dapat

membuat suatu pelayanan sosial terkait memberikan perlindungan kepada

anak.

1.4Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika sebagai

berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan

(13)

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan uraian konsep yang berkaitan dengan masalah dan

objek yang diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi

operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, informan

penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang sejarah berdirinya Komisi Perlindungan

Anak Indonesia Daerah (KPAID) Provinsi Sumatera Utara, dan

gambaran lokasi penelitian secara umum.

BAB V : ANALISIS DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil

penelitian beserta analisisnya.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan

Gambar

Tabel I.1 Daftar Kasus Pengaduan KPAID SUMUT Tahun 2015
Tabel I.2 Daftar Klasifikasi Kasus KPAID SUMUT Tahun 2015

Referensi

Dokumen terkait

Pembinaan Tabuh dan Tari di Dusun Jenggala Desa Bilabante Kecamatan Pringgarata dan di Banjar Ubung Desa Ubung Kecamatan Jonggat Kabupaten Lombok Tengah Nusa Tenggra Barat..

Pembianaan Pedalangan Di Sekaa Batel, Parwa, Wayang Dan Topeng Banjar Belawan, Abiansemal,

Sementara menurut Kepmenkes RI Nomor 1479/MENKES/SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular

Sukraka, SST.,MHum Pembinaan Tari Kekebyaran dan Petopengan di SMK Negeri Kubu Kabupaten Bangli Bali Seni Tari FSP PENGABDIAN (IbM) 50,000,000 DIPA. N0 Nama Peneliti Judul

With the limits of connectivity, service workers provide us with a means to build offline-first capable applications, which will load content for our users, after an initial site

glaucoma /NVG) adalah glaukoma sekunder yang dapat menyebabkan kebutaan, ditandai dengan perkembangan neovaskularisasi iris, peningkatan tekanan intraokular (TIO) dan,

Jenispenelitian yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dengan metodePenelitian Kepustakaan (Library Research) dan Penelitian Lapangan (Field

While the construction of the defensive posture nirmiliter prioritized on: Increasing the role of family corresponding tasks and their respective functions in the face