BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambar Digital
Gambar digital adalah proses digitalisasi dari suatu objek gambar yang
umumnya direpresentasikan dalam bentuk matriks dimensi dua (2D) yang isinya berupa kumpulan nilai intensitas dari pixel (picture element/piksel) gambar. Piksel
bisa dikatakan sebagai informasi warna pada titik kordinat suatu matriks fungsi f(x,y)
dan merupakan suatu unit terkecil pada gambar.
Apabila diasumsikan bahwa sebuah gambar digital adalah berupa kumpulan
angka sebagai representasi nilai intensitas L dan terletak pada bidang empat persegi panjang dengan dimensi lebar M dan dimensi tinggi N untuk suatu fungsi f(x,y) yang
Koordinat f(x,y) gambar digital seperti terlihat pada Persamaan (2.1) dimulai dari kiri atas bergeser kekanan setiap baris dan berakhir pada kanan bawah atau
dengan kata lain titik awal f(0,0) terletak pada kiri atas dan titik akhir f(N-1,M-1)
terletak pada kanan bawah [13].
Sebuah gambar digital disimpan dalam bit dan juga dapat dicirikan dalam hal
kedalaman bit. Kedalaman bit adalah jumlah bit yang digunakan untuk menyimpan satu pixel. Kedalaman bit yang besar dari gambar adalah besar jumlah nada atau
warna yang dapat diwakili. Sebuah gambar biner adalah yang diwakili oleh satu bit dengan nilai bit '0’ 'untuk hitam dan '1' untuk putih. Sebuah gambar grayscale adalah terdiri dari pixel diwakili oleh berbagai bit informasi biasanya berkisar antara 2
sampai 8 bit atau lebih dan gambar warna biasanya diwakili oleh kedalaman bit mulai dari 8 sampai 24 atau lebih tinggi [4].
Piksel bisa dikatakan sebagai informasi warna pada titik kordinat suatu matriks fungsi f(x,y) dan merupakan suatu unit terkecil pada gambar.
Gambar digital mempunyai struktur yang dinyatakan dalam format file. Pada
dasarnya format file adalah teknik kompresi file yang dikodekan untuk keperluan penyimpanan dan pertukaran data sehingga bisa mereduksi ukuran file dan
meminimalkan penggunaan bandwidth. Kedalaman bit adalah jumlah bit yang digunakan untuk menyimpan satu pixel. Kedalaman bit yang besar dari gambar adalah besar jumlah nada atau warna yang dapat diwakili Berdasarkan dari format
Secara umum tipe gambar digital dapat dibedakan atas [14]: 1. Binary image (gambar biner).
Gambar biner adalah jenis gambar yang hanya berisi informasi warna hitam atau putih saja berarti setiap piksel pada citra gambar diwakili oleh nilai “1” atau “0”.
2. Grayscale image (gambar abu-abu).
Gambar abu-abu merupakan informasi lebih detail dari gambar biner dengan menunjukkan tingkat kecerahan (level brightness), sebuah gambar
grayscale mengandung tingkat kecerahan dari warna putih dan dari warna hitam. Jumlah level tergantung pada kedalaman bit yang digunakan untuk menyimpan level brightness untuk kedalaman n bit maka level brightness
adalah 2n level. Umumnya tingkat kedalaman bit yang digunakan adalah 8 sehingga sebuah gambar grayscale bisa mengandung 256 tingkat kecerahan.
3. Color image (gambar berwarna).
Gambar berwarna adalah merupakan informasi dari kecerahan
masing-masing dari tiga warna dasar RGB tingkat kecerahan mengontrol intensitas warna merah (R), hijau (G), dan biru (B) yang digunakan dalam gambar, setiap piksel pada gambar merupakan tiga elemen vektor. Untuk kedalaman
2.2. Ruang Warna (Color Space) Gambar Digital
Warna pada gambar dapat bervariasi untuk menyatakan warna sebagai sebuah
nilai, didalam prosesnya dilakukan pendekatan dengan menggunakan ruang warna dimana ukuran-ukuran tertentu yang digunakan menjadi dasar dari pengelompokan ruang warna tersebut. Warna sebagai nilai intensitas mempunyai skala range bergerak
dari pencahayaan paling gelap (hitam) sebagai nilai minimal dan pencahayaan paling terang (putih) sebagai nilai maksimal.
Ruang warna mengacu pada sensasi manusia terhadap warna ada beberapa sensasi didefinisikan yang menjadi dasar CIE (komisi internasional yang menangani color space) untuk mengukur warna yaitu [15]:
a. Brightness: sensasi terhadap dimana suatu daerah menunjukkan pencahayaan yang lebih atau kurang.
b. Hue: sensasi terhadap daerah yang mirip dengan salah satu atau lebih dari warna merah, kuning, hijau, dan biru.
c. Colourfulness: sensasi terhadap daerah yang menunjukkan Hue yang
lebih atau kurang.
d. Lightness: sensasi terhadap kecerahan relatif mengacu ke warna putih
pada lokasi gambar.
e. Chroma: colourfulness dari kecerahan relatif mengacu ke warna putih. f. Saturation: colourfulness mengacu kepada brightness relatif.
Dari sensasi diatas banyak ruang warna yang didefinisikan maupun transformasi dari bentuk dasarnya diklasifikasikan sesuai dengan HVS (Human
Visual Sistem), antara lain adalah:
1. RGB
Salah satu ruang warna yang umum adalah berdasarkan teori tri-chromatic dimana RGB digunakan sebagai parameter untuk menentukan warna ini
didasarkan bahwa retina mata mengambil sample warna menggunakan tiga
broadband merah (R), hijau (G) dan biru (B). Suatu gambar dalam ruang warna RGB merupakan informasi kecerahan warna merah, hijau dan biru yang digunakan pada
gambar nilai intensitas RGB. Konversi nilai piksel RGB divisualisasikan ke CIE-XYZ sebagai kubus dengan titik sudut bawah menjadi nilai R,G, dan B
masing-masing sama dengan 0(nol) sebagai representasi warna hitam dan sudut pojok atas berlawanan nilai R,G, dan B masing-masing 255 sebagai representasi warna putih, untuk 8 bit saluran R,G,B inilah yang menjadi dasar operasi ruang warna pada
komputer dan fotografi (Gambar 2.1).
Suatu gambar dalam ruang warna RGB merupakan informasi kecerahan warna merah, hijau dan biru yang digunakan pada gambar nilai intensitas RGB sesuai
dengan rata-rata tingkat kecerahan masing-masing saluran R,G,dan B pada piksel tersebut [15][16].
2. YCbCr
YCbCr bukanlah ruang warna absolute melainkan transformasi dari RGB yang di transform menjadi sensasi luminance dan chroma. Y adalah komponen untuk
luminance, Cr adalah komponen chroma perbedaan merah dan Cb adalah komponen chroma perbedaan biru.
Tranformasi RGB ke YCrCb didapat berdasarkan Persamaan (2.2).
0.299000 0.587000 0.114000 0 0.168736 0.331264 0.500002 128 0.500000 0.418688 0.081312 128
b r
Y R
C G
C B
= − − +
− −
…………(2.2)
YCrCb umum digunakan pada citra Video dan TV.
2.3. Definisi dan Pengertian Gambar JPEG
Istilah "JPEG" adalah singkatan untuk Joint Photographic Experts Group
yang menciptakan standar Jpeg. Jenis media MIME (Multipurpose Internet Mail
Extensions) untuk JPEG adalah image/jpeg (didefinisikan dalam RFC 1341) tipe MIME adalah penggunaan untuk mengidentifikasi bagian non-ASCII dari pesan
akan bisa memahami jika file attachment adalah file grafis atau lainnya dan tidak akan mampu menangani lampiran dengan
JPEG juga memiliki standar untuk pertukaran metadata dikenal dengan format JFIF (JPEG File Interchange Format) yang memungkinkan JPEG dapat dipertukarkan antar platform dan aplikasi.
tepat [5].
Kebanyakan format file gambar adalah JPEG karena umumnya gambar yang beredar adalah hasil kamera digital dan kebanyakan kamera digital mempunyai
standar format EXIF (Exchangeable Image File Format) yang berisi antara lain informasi standar seperti dimensi gambar, tanggal dan waktu akuisisi, dll, tetapi karena tidak mendukung profil warna, EXIF disimpan dalam format JFIF di dalam
pengolahannya.
Pada JPEG dikenal istilah faktor quality yaitu tingkat kuantisasi yang
digunakan pada proses kompresi JPEG, faktor quality menjadi faktor yang menentukan tingkat rasio kompresi dimana berkorelasi langsung dengan besarnya
byte yang dihasilkan.
Sebuah gambar JPEG bisa berwarna atau grayscale. Operasi pada encode
biasanya dengan nilai pixel kisaran 0 sampai 255 (8-bit). Dalam kasus gambar
grayscale, sejumlah 8-bit tunggal mewakili tingkat abu-abu di setiap pixel. Gambar berwarna menggunakan batas yang sama tetapi termasuk tiga 8-bit satu untuk saluran merah, hijau, dan biru. Hal ini memungkinkan untuk penciptaan gambar warna
24-Beberapa tools forensic memanfaatkan informasi EXIF untuk mengetahui apakah sebuah file gambar telah diolah dari gambar asli hasil kamera pada penelitian
ini digunakan tools JPEGsnoop_v1_6_0 sebagai deteksi awal adanya manipulasi gambar.
2.4. Algoritma Kompresi JPEG
Kompresi di dalam gambar digital adalah suatu teknik yang meminimalisasi ukuran file sehingga mengurangi pemakaian memori dan bandwidth data stream
dengan rasio kompresi tertentu.
Ada dua jenis kompresi yang sering digunakan, yaitu kompresi Lossy dan
Lossless.
Lossy : gambar dikodekan dengan membuang secara selektif informasi yang dapat meningkatkan rasio kompresi tetapi dengan meminimalkan efek distorsi pada
pandangan ketika melihat citra rekonstruksi sebagai piksel aslinya. Umum digunakan untuk kompres data multimedia (gambar dan video) yang berkaitan dengan data
streaming pada komunikasi jaringan [17].
Lossless : gambar dikodekan untuk menjamin pemulihan yang persis sama dari setiap piksel aslinya meskipun rasio kompresi lebih kecil. Umumnya digunakan
untuk data teks atau dalam kasus dimana penyimpangan data asli bisa merugikan [17].
JPEG umumnya menggunakan kompresi Lossy, kecuali JPEG 2000 yang mendukung kompresi Lossy dan Lossless. Standar kompresi yang ditetapkan ISO (International Standards Organization) dan IEC (International Electro-technical
kemampuan untuk melakukan operasi pemotongan (truncating) dan pembulatan (rounding) sehingga memungkinkan kompresi sinyal berlangsung.
Kompresi JPEG beroperasi pada setiap komponen saluran warna secara terpisah sehingga hanya akan berurusan dengan 8-bit piksel. Ini memungkinkan berguna untuk memvisualisasikan gambar grayscale (seperti foto hitam putih) dimana
setiap pixel dapat disimpan sebagai 8-bit nilai grayscale bukan jumlah merah, hijau dan biru.
Proses kompresi JPEG dimulai dengan mengubah ruang warna RGB ditransformasi menjadi YCbCr dengan Persamaan (2.2), lalu masing-masing saluran Y, Cb, dan Cr dibagi menjadi blok-blok ukuran 8x8 piksel jika tidak mewakili integer
jumlah blok maka kompresor mengisi area sisa blok dengan angka dummy [6].
Sebelum dilakukan transform DCT setiap piksel di subtract dalam range [-128,127] agar pergeseran nilai piksel grayscale berpusat ke nol jadi nilai piksel origin
dikurangi dengan 128 (Gambar 2.2b), nilai piksel inilah yang dihitung untuk mendapatkan koefisien DCT (Gambar 2.2c) berdasarkan rumus berikut:
JPEG umumnya menggunakan kompresi Lossy, kecuali JPEG 2000 yang mendukung
kompresi Lossy dan Lossless
dimana: Gu,v
u adalah frekuensi bidang horizontal, untuk 0 ≤ u ≤ 8. adalah koefisien DCT pada kordinat (u,v).
v adalah frekuensi bidang vertikal, untuk 0 ≤ u ≤ 8. gx,y adalah nilai piksel pada koordinat (x,y)
x u
Gambar 2.2. Proses mendapatkan nilai koefisien DCT untuk salah satu blok piksel (a). Nilai piksel origin, (b) nilai dikurangi 128, (c) nilai koefisien DCT
Dari Gambar 2.2c nilai yang terletak pada posisi G(0,0) atau pada pojok kiri atas dinamai koefisien DC sisanya dinamai koefisien AC. Kecenderungan DCT
adalah mengumpulkan sebagian besar sinyal signifikan disalah satu sudut dan dilanjutkan dengan proses kuantisasi yang juga menonjolkan efek ini sekaligus
Matriks yang berisi 64 koefisien DCT lalu dikuantisasi dengan Persamaan (2.5) sehingga didapat nilai koefisien DCT sesudah kuantisasi (Gambar 2.3) dimana
koefisien sebelum kuantisasi dibagi dengan sebuah matriks standar kuantisasi untuk JPEG dengan faktor quality yang ditentukan (Gambar 2.3b) dengan hasil bilangan integer sebagai nilai koefisien DCT terkuantisasi.
adalah koefisien DCT sesudah kuantisasi.
ij
Q
adalah koefisien DCT sebelum kuantisasi.
ij adalah matriks tabel kuantisasi standar JPEG.
Tabel kuantisasi adalah standar dalam proses kuantisasi kompresi DCT, nilai faktor kuantisasi berkisar antara 0 -100 pada Gambar 2.3b adalah tabel kuantisasi
Luminance untuk Q = 50, untuk faktor kuantisasi berbeda nilai tabel kuantisasi tidak sama, bila S adalah skala faktor kuantisasi maka nilai setiap elemen tabel kuantisasi pada skala tersebut dapat dihitung dengan Persamaan (2.6). Untuk mengembalikan
kembali menjadi visual gambar (dekompresi) dilakukan proses yang yang mirip dengan proses kompresi hanya dalam urutan terbalik.
Ts
[ ]
i=S*T100b[ ]
i+50………... (2.6)Dimana:
Ts T
[i] = nilai elemen tabel kuantisasi baru
b
S = skala faktor kuantisasi.
[i] = nilai elemen tabel kuantisasi standar (Q=50)
S dihitung berdasarkan Q baru yang ditentukan berdasarkan Persamaan (2.7).
> −
< =
50 ,
2 200
50 ,
5000
Q jika Q
Q jika Q
S ………... (2.7)
Setelah koefisien terkuantisasi Dij didapat kemudian disusun dalam urutan
Untuk mengembalikan kembali menjadi visual gambar (dekompresi) dilakukan proses yang yang mirip dengan proses kompresi hanya dalam urutan
terbalik. Walapun nilai piksel yang dihasilkan dekompresi tidak seperti nilai piksel gambar aslinya tetapi secara sensasi mata tidak terdapat perbedaan yang mencolok.
2.5. Algoritma Pemalsuan Gambar
Pemalsuan gambar pada prinsipnya adalah merubah piksel dengan nilai intesitas yang baru umumnya secara spasial (Gambar 2.4) atau sederhananya adalah
mengubah gambar yang sudah ada yang telah dihasilkan oleh kamera atau perangkat pencitraan lainnya.
(a) (b) (c)
Gambar 2.4. Ilustrasi daerah yang dipalsukan [20]
Ciri-ciri fisik dari gambar yang dapat dideteksi antara lain meliputi perubahan–perubahan yang dilakukan terhadap elemen-elemen dasar suatu citra.
Citra digital mengandung sejumlah elemen-elemen dasar yang sering berkaitan dengan pemalsuan gambar, beberapa kesalahan yang memungkinkan untuk dideteksi adalah antara lain [21]:
1. Kecerahan (brightness) dikenal sebagai intensitas cahaya. Kecerahan pada suatu titik didalam suatu citra sebenarnya adalah intensitas rata-rata dari
suatu area yang melingkupinya.
2. Kontur (contour) adalah keadaan yang ditimbulkan oleh perubahan intensitas pada piksel-piksel yang bertetangga dengan adanya perubahan
inilah maka tepi-tepi (edge) objek pada citra dapat dideteksi.
3. Tekstur (texture) adalah pencirian distribusi spasial dari derajat keabuan
di dalam sekumpulan piksel-piksel yang bertetangga. Tekstur merupakan karakteristik untuk menganalisa permukaan berbagai jenis citra objek.
Sebuah inkonsistensi umum ditemukan bila konten gambar diubah. Efek
kamera yang paling signifikan adalah ketajaman tepi dipengaruhi oleh difraksi lensa, fokus, dan blur, geometri perspektif, dan sifat kebisingan, biasanya dari detektor dan kompresi.
Ketika sebuah objek yang ditambahkan atau dihapus dari gambar, tepi yang dibuat biasanya memiliki ketajaman yang tidak konsisten dengan seluruh gambar.
matematis jika desain kamera dikenal. Bahkan jika desain kamera tidak diketahui, pengukuran dalam gambar dapat menghasilkan model matematika yang relatif akurat
dari kamera yang dapat memberikan prediksi yang wajar. Memotong objek dari satu gambar dan memasukkan ke gambar lain akan menciptakan tepi tajam pada batas dari objek (Gambar 2.4) ketajaman ini dapat dideteksi dan mengindikasikan kemungkinan
bahwa gambar telah diubah meskipun perangkat lunak pengolah gambar bisa digunakan untuk mengurangi visibilitas tepi ini.
Semua benda dalam foto juga harus mengandung perspektif dan geometri yang benar. Jika geometri objek tidak konsisten dengan obyek lain dalam gambar maka itu kemungkinan adalah daerah yang ditambahkan dari gambar lain.
Kebanyakan gambar akan menunjukkan beberapa jumlah kebisingan terutama dari detektor atau dari kompresi gambar yang diterapkan. Karakteristik kebisingan
dari bagian yang berubah dari suatu gambar dapat menjadi tidak konsisten dengan seluruh gambar.
Sehingga dengan mengenal pendekatan algoritma pemalsuan gambar kita
dapat melakukan pendeteksian berdasarkan hal-hal yang mungkin dilakukan pemalsu terhadap sebuah gambar asli walaupun menurut Thomas Gloe suatu ketidak
kepercayaan terhadap image forensic muncul diakibatkan kurangnya diskusi mengenai pemalsu strategis yang mampu mengantisipasi adanya teknik forensik [1].
Efek kamera yang paling signifikan adalah ketajaman tepi dipengaruhi oleh
2.6. Threshold
Thresholding adalah langkah pendekatan yang dilakukan dalam segmentasi citra, metodenya adalah dengan membagi piksel (biasanya dalam grayscale) kedalam kelompok piksel atau fitur tertentu sering digunakan histogram citra untuk menentukan pengaturan terbaik untuk nilai threshold (Gambar 2.5) [22][23].
Gambar 2.5. Histogram segmentasi citra berdasarkan threshold [24].
Threshold dapat dibedakan atas threshold tunggal dan adaptive [22],
Threshold tunggal atau global threshold adalah membagi histogram citra menggunakan ambang batas global tunggal (Gambar 2.6a) keberhasilan teknik ini sangat kuat tergantung pada seberapa baik histogram dapat dipartisi. Sebuah histogram distribusi gray-level dihasilkan untuk setiap sub-gambar dan ambang batas
Untuk histogram tertentu (Gambar 2.6b) diperlukan lebih dari satu threshold
dengan membagi gambar menjadi beberapa sub-gambar digunakan threshold secara
individual karena ambang batas untuk setiap pixel tergantung pada lokasi pada gambar teknik ini dikatakan adaptif secara umum thresholding bertingkat kurang dapat diandalkan dibandingkan thresholding tunggal kebanyakan karena sangat sulit
untuk menentukan nilai ambang yang cukup terpisah dari objek penting [22].
(a) (b) Gambar 2.6 (a) Histogram dengan threshold tunggal
(b) Histogtam dengan threshold adaptive [22]
Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk menentukan threshold, yaitu Chow & Kanenko dan Lokal [23].
Menurut Chow & Kanenko gambar asli dibagi menjadi array tumpang tindih sub-gambar [23]. Sebuah histogram distribusi gray-level dihasilkan untuk setiap
Metode ini memberikan hasil yang wajar namun kelemahan utamanya adalah fakta bahwa hal itu memerlukan perhitungan banyak. Hal ini menyebabkan terlalu
lambat dan berat untuk aplikasi real-time (yaitu untuk digunakan dalam Computer Vision).
Pendekatan Lokal adalah dengan memeriksa statistik nilai intensitas dari
lingkungan lokal masing-masing pixel. Masalah yang di hadapi ketika memilih metode ini adalah pilihan statistik dimana pengukuran dilakukan. Statistik yang tepat
dapat bervariasi dari satu gambar dengan yang lain dan sebagian besar tergantung pada sifat dari gambar. Dalam menentukan threshold statistik yang umum digunakan adalah dengan menghitung rata-rata, median, atau rata-rata minimal dan maksimal
dari gray level dari satu lingkungan yang sering menjadi kendala adalah lingkungan besar semakin buruk hasilnya karena lebih dipengaruhi oleh gradien iluminasi di sisi
lain jika lingkungan terlalu kecil maka ada risiko terkena data tidak memadai yang mengakibatkan hasil buruk karena dipengaruhi kebisingan
Untuk menghitung dasar global threshold T adalah sebagai berikut [17]: (noise).
1. Pilih perkiraan awal untuk T (biasanya tingkat abu-abu rata-rata pada gambar).
2. Bagi gambar menggunakan T untuk menghasilkan dua kelompok piksel, G1 terdiri dari piksel dengan tingkat abu-abu >T dan G2 terdiri dari piksel dengan tingkat abu-abu <= T.
4. Hitung nilai threshold yang baru berdasarkan:
5. Ulangi langkah 2 – 4 sampai perbedaan T iterasi kurang dari batas yang ditetapkan.
Global threshold secara matematis dinyatakan dalam bentuk:
...(2.8)
dimana:
g(x,y) adalah nilai piksel biner hasil pengambangan pada kordinat (x,y)
f(x,y) adalah nilai piksel pada gambar asli pada koordinat (x,y)
T adalah nilai threshold yang ditentukan.
2.7. Definisi serta Algoritma-Algoritma Pencocokan Blok
Salah satu kelebihan JPEG adalah metode kompresi yang digunakan kompresi
yang digunakan JPEG dalam transformasi data adalah DCT dua dimensi yang bekerja berbasis pemrosesan blok dimana proses dilakukan pada masing-masing blok pada satu waktu dengan ukuran blok yang sama untuk seluruh gambar lalu setelah diproses
blok-blok tersebut berkumpul kembali untuk membentuk output gambar. Karena beroperasi secara independen pada masing-masing blok hal ini juga menciptakan blok
2
2
1
µ
µ
+
=
T
≤ > =
T y x f
T y x f y
x g
) , ( jika 0
artefak. Blok artefak sering digunakan sebagai bahan informasi Passive Blind Image
Forensic dalam mendeteksi image tamper gambar berformat JPEG.
Untuk pemalsuan gambar secara region duplication (cloning) dapat dideteksi dengan mencocokkan blok dari daerah yang diduplikasi tetapi berdasarkan citra tersebut berasal dari perangkat penangkap citra yang sama bisa dikatakan bahwa
tekstur maupun arah cahaya relatif akan sama sehingga menyulitkan untuk mendeteksi daerah yang digandakan apalagi untuk gambar alam memungkinkan
untuk menjumpai banyak blok yang sama sehingga perlu mengekstraksi fitur tersebut dengan pendekatan tertentu agar dapat menentukan lokasi daerah duplikasi.
Ada 3 jenis pendekatan pencocokan blok yaitu [4]:
1. Direct Matching dengan menganalisa piksel blok dan mencocokkan secara langsung dengan blok lainnya.
2. Matcing Coefficient DCT Quantized dengan menghitung koefisien DCT terkuantisasi masing-masing blok piksel dan mencari pencocokan blok. 3. Matching PCA Eigen Blocks dengan menganalisis komponen utama blok
dan mencocokkan blok berdasarkan nilai Eigen.
Salah satu ide untuk deteksi pencocokan blok berdasarkan Matching
Coefficient DCT Quantized adalah robust match detection [8][25] yang mengatur pencocokan dengan representasi koefisien DCT terkuantisasi bukan pencocokan atas
Langkah pencocokan blok adalah dengan melakukan proses segmentasi dengan membentuk blok berukuran BxB piksel lalu blok tersebut digeser per satu
piksel terhadap gambar mulai dari sudut kiri teratas hingga sudut kanan terbawah (blok overlapping). Bila sebuah blok dilambangkan sebagai Bij
B
maka:
ij
dimana x,y Є {0,...,B-1), iЄ {1,...,M-B+1} dan jЄ {1,...,N-B+1}
= f(x+j, y+i) ...(2.9)
Untuk setiap posisi blok BxB nilai-nilai piksel dari blok yang diambil oleh kolom menjadi baris dari array dua dimensi A dengan kolom BxB dan
(M-B+1)(N-B+1) baris. Untuk setiap blok dilakukan DCT transformasi menggunakan rumus Persamaan 2.4 dan Persamaan 2.5, nilai koefisien DCT dikuantisasi sehingga didapat koefisien DCT terkuantisasi Persamaan 2.6 , tabel Q yang digunakan tergantung dari
skala faktor kuantisasi yang dipilih Persamaan 2.7 dan Persamaan 2.8, penentuan skala kuantisasi diperlukan dalam pendeteksian berbasis blok karena karakteristik
DCT adalah energi hanya berfokus pada frekuensi rendah bila dilakukan pencarian blok yang identik maka sangat memungkinkan akan banyak ditemukan blok identik “palsu”, untuk mengantisipasinya salah satu adalah dengan membuat faktor
kuantisasi harus besar sekitar 95 maka nilai skala faktor kuantisasi Q sangat menentukan ketika proses identifikasi dilakukan [20].
memudahkan mengidentifikasi blok yang identik, baris dari matriks A diurut secara leksikografis sehingga mengurangi waktu membandingkan pencocokan.
Baris-baris A yang diurutkan secara leksikografis lalu dibandingkan koefisien DCT terkuantisasi untuk blok piksel berurutan yang identik, nilai vektor pergeseran antara dua blok piksel yang identik dihitung [8]. Secara formal misalkan (i1, i2) blok
pertama dan (j1, j2) menjadi posisi kedua pencocokan blok. Vektor pergeseran s antara dua blok pencocokan dihitung sebagai:
)
,
(
)
,
(
s
1s
2i
1j
1i
2j
2s
=
=
−
−
……….…(2.10)
Dimana S adalah selisih positif antara piksel (i1,j1) dan (i2,j2).
Algoritma pencocokan blok mungkin menemukan terlalu banyak pencocokan palsu untuk itu jika dua baris matriks identik berurutan ditemukan algoritma
menyimpan posisi blok yang cocok
dalam daftar yang terpisah dan mengenalnya sebagi vektor pergeseran ternormalisasi C kemudian untuk setiap blok pasangan yang identik, vektor pergeseran ternormalisai C dinaikkan satu.
1
)
,
(
)
,
(
s
1s
2=
C
s
1s
2+
C
………..….……(2.11)Vektor-vektor pergeseran dihitung dan C bertambah untuk setiap pasangan baris beurutan yang identik, vektor pergeseran ternormalisasi C diinisialisasi ke nol
kemunculannya melebihi ambang batas yang ditentukan pengguna T: C (s (r)) > T untuk semua r = 1, ..., K [23].
Untuk semua vektor pergeseran ternormalisasi pencocokan blok yang memberikan kontribusi terhadap vektor pergeseran tertentu yang diindikasikan melebihi batas ambang T dapat di identifikasi sebagai wilayah yang mungkin telah di
duplikasi.
Nilai ambang T berkaitan dengan ukuran segmen terkecil yang dapat
diidentifikasi oleh algoritma. Nilai yang lebih besar dapat menyebabkan algoritma kehilangan beberapa blok yang cocok sementara terlalu kecil nilai T dapat menyebabkan terlalu banyak “cocok palsu”. Perlu digaris bawahi bahwa yang
mengontrol kepekaan algoritma untuk tingkat pencocokan antara blok adalah Q faktor sementara ukuran blok B dan ambang T mengontrol ukuran minimal dari
segmen yang dapat dideteksi diasumsikan blok B lebih kecil dari daerah yang dicloning.
2.8. Algoritma Deteksi Tepi
Tepi suatu citra dapat didefinisikan sebagai daerah dimana intensitas piksel
bergerak dari nilai yang rendah ke nilai yang tinggi atau sebaliknya. Untuk mendeteksi tepi citra dilakukan hubungan antara piksel yang bertetanggga umumnya dilakukan untuk setiap piksel tetangga yang bisa secara horizontal, vertikal, maupun
Algoritma deteksi tepi adalah salah satu pengolahan citra yang sangat signifikan dalam pendeteksian karena dapat memberikan informasi tekstur, ukuran
dan bentuk sehingga dapat memperlihatkan anomali yang tersembunyi disekitar objek yang dirusak. Kebanyakan deteksi untuk gambar palsu splicing menggunakan deteksi tepi pada penelitian ini, untuk pemalsuan dengan cara splicing menggunakan
algoritma deteksi tepi, pilihan ini berdasarkan bahwa apabila gambar digabung secara
splicing maka akan terlihat tepi citra lebih tajam dari sekitarnya karena berasal dari dua gambar yang berbeda, arah dan pencahayaan yang berbeda dan juga faktor kuantisasi yang berbeda.
Setiap kali gambar JPEG dikompres, fenomena yang berbeda terjadi.
Sehingga jika dua gambar digunakan untuk membuat pemalsuan ada kemungkinan bahwa keduanya memiliki tingkat kompresi berbeda khususnya faktor kualitas
mungkin berbeda dalam kedua gambar sumber maka ketika disimpan sebagai gambar
splicing seolah-olah seperti rekompres oleh karena itu sangat mungkin meninggalkan beberapa petunjuk apalagi dengan karakteristiknya yang berbasis blok maka akan
menghasilkan suatu fenomena yang dikenal dengan Block Artefact.
Sebuah tepi citra dapat dihasilkan dengan menerapkan detektor tepi ke gambar dengan detektor sederhana seperti deteksi tepi Sobel, Canny, atau Prewitt bisa didapat
nilai empat tepi citra masing-masing untuk piksel “bertetangga” dalam arah horizontal, vertikal, dan diagonal seperti dilambangkan dibawah.
Untuk mendeteksi tepi citra dilakukan hubungan antara piksel yang bertetanggga umumnya dilakukan
Dimana x(i,j) menunjukkan nilai abu-abu dari piksel dilokasi (i,j). Sedangkan
Eh, Ev, Ed, E-d berturut-turut adalah menyatakan masing-masing untuk arah
horizontal (00), vertical (900), diagonal (450), dan inverse diagonal (1350
Prinsip kerja metode deteksi tepi adalah berdasarkan analisa terhadap standar JPEG terkompresi dimana setiap gambar JPEG yang telah terkompresi akan
meninggalkan “sidik jari” dalam rangkaian blok 8 x 8 karena perbedaan antar blok akan berbeda disebabkan artefak blok untuk mendeteksi perbedaan tersebut gambar
yang akan dideteksi dipecah kembali menjadi blok 8 x 8 lalu dihitung perbedaan dalam blok mencakup seluruh batas blok. Dengan asumsi gambar target dan gambar asal (Gambar 2.4) mempunyai faktor kuantisasi yang berbeda maka gambar target
seolah di recompressed sehingga dengan menghitung nilai piksel bertetangga akan didapat perbedaaan yang signifikan [3][11][28]. Dapat terlihat pada Gambar 2.7.
). Dari hasil deteksi tepi akan terlihat tepi citra pada gambar yang telah dilakukan splicing akan
terlihat perubahan nilai piksel akan tampak lebih tajam [12][26][27].
(a)
(b) Gambar 2.7 (a) Piksel bertetangga batas blok
(b)Piksel bertetangga dalam blok
Menurut Jonathan R Sturak bila koordinat dari A, B, C dan D yang berada dalam blok maka perbedaaan energi antara piksel yang bertetangga akan kecil seperti
A ke D dan E ke H (Gambar 2.7b) [28], diasumsikan A,B,C,D,E,F,G,dan H didalam blok 8x8 tetapi apabila koordinat A,B,C, dan D melewati batas blok perbedaan energi
tersebut akan besar.
Perbedaan energi tersebut dapat dilihat dari histogram dengan menghitung: Z’(x,y)=(A+D-B-C) , Z’’(x,y)
dimana:
= (E+H-F-G) ... (2.13)
x,y menyatakan posisi koordinat A.
HI H
adalah histogram Z’.
II adalah histogram Z’’.
K(x,y)(n) = |HI(n) – HII(n)|…………... ………....(2.14)
(a) (b)
Gambar 2.8. Histogram dari Z’ dan Z’,(a) Histogram HI dan HII (b) Perbedaan H
, I dan HII [17]
Berdasarkan metode diatas maka diasumsikan piksel A,B,C, dan D terletak pada setiap tepi dibatas blok (Gambar 2.7a), bila piksel A pada salah satu blok dianggap sebagai nilai piksel blok(i,j), sehingga untuk setiap blok akan didapat
masing-masing : A adalah nilai piksel pada (8*i,8*j), B adalah nilai piksel pada (8*i, [8*j]+1), C adalah nilai piksel pada ([8*i]+1, 8*j), dan D adalah nilai piksel pada
([8*i]+1, [8*j]+1).
Dengan menghitung e(i,j) pada masing-masing tepi blok dengan rumus : e(i,j) = |(A + D) – (B + C) ……….…... (2.15)
dihitung perbedaaan antara e(i,j) setiap blok terhadap blok dikanannya dan blok dibawahnya dengan Persamaan 2.16.
Drigth = | e(i, j) – e(i, j+1) | dan Dbottom = | e(i, j) – e(i+1, j) | ...(2.16) Dimana:
Drigth adalah perbedaan e(i,j) sebuah blok dengan blok dikanannya
Dbottom adalah perbedaaan e(i,j) sebuah blok dengan blok dibawahnya [28]
Untuk menentukan lokasi yang dirusak maka suatu nilai thresold T ditentukan dan dibandingkan terhadap nilai Drigth dan Dbottom untuk nilai Drigth dan Dbottom lebih besar atau sama dengan T maka tepi tersebut diduga sebagai tepi dari daerah