• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN GAGASAN TENTANG PERGAULAN P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERKEMBANGAN GAGASAN TENTANG PERGAULAN P"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

PERKEMBANGAN GAGASAN TENTANG PERGAULAN

PRIYAYI DALAM NOVEL AWAL SASTRA JAWA

MODERN

OfehDarni

Kupasan mengenai priyayi dalam sastra Jawa modern diawali oleh George Quinn melalui disertasinya yang berjudul The Novel in Javanese (1992). Quinn antara lain mengemukakan bahwa novel-novel Jawa pada awal pertnmbuhannya menyuarakan ideologi priyayi. Novel yang dibicarakan Quinn tersebut banyak sekali, mulai kemuncul-annya sampai tahun 1980-an. Penelitiah Quinn tersebut dapat dijadikan landasan bagi penelitian lebih lanjut, dengan mempersempit cakupan bahannya dan memperdalam kajiannya.

Pembicaraan tersebut disusul oleh Sapardi Djoko Damono juga dalam disertasi dengan judul Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur. Disertasi tersebut selanjutnya diterbitkan oleh Pusat Bahasa (1993). Penelitian tersebut merupakan tindak lanjut atau bentuk pengembangan penelitian Quinn. Dapat dilihat dari judulnya, penelitian Sapardi Djoko Damono ini cakupan bahannya lebih sempil. Karena itu, kajiannya juga lebih mendalam. Berkaitan dengan pembicaraan tentang priyayi, antara lain diungkapkan bahwa nilai-nilai dan gayahidup priyayi masih dipcrtahankan oleh tokoh-tokoh novel tahun 1950-an, bahkan sudah disebarkan kepada wong citik, rakyat jelata.

Ada pula pembicaraan mengenai priyayi dalam bentuk makalah yang kemudjan disunting oleh Poer Adhi Prawoto dan diterbitkan bersama artikel-ariikeJ yang lain dengan judul Keterlibatan Sosial Sastra Jawa Modern (1991). Makalah tersebut berjudul Sastra Priyayi sebagai Sebuah Jenis Sastra Jawa karya Kuntowijoyo.

Tulisan-tulisan tentang priyayi yang ditunjuk dalam tulisan ini terbatas pada buku-buku yang sudah tcrbit. Tentu saja, masih ada tulisan yang berbentuk skripsi dan makalah yang tidak diterbitkan yang tidak dapat disebut di sini.

Penelitian keduatokoh di atas mendorong penulis untuk mengadakan penelitian lebih lanjut, khususnya mengenai priyayi pada novel-novel yang terbit lebih awal.

(2)

PERKEMBANGAN PERGAULAN PRIYAYI DALAM SASTRA JA WA MODERN

2 sepeti Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo (1975:55) dan J. J. Rass (1979:10-13), rnunculnya novel Jawa modem ditandai oleh rnunculnya SeratRiyanta (1920)karangan R. B. Sulardi.

Tidak semua novel yang muncul pada awal periode sastra Jawa modern dibicarakan dalam tulisan ini. Pembicaraan akan dibatasi pada tiga novel, yaitu Serat Riyanta, Kirti Njunjung Drajat, dan Ngukmdara. Dasar pemiliban ketiga novel tersebul ialah bahwa ada sesuatu yang mengikat ketiga novel tersebul, yaitu perkembangan. Perkembangan apa dan bagaimana perkembangan itu merupakan pertanyaan yang menuntut jawaban dan akan dijelaskan melalui tulisan ini.

Ketiga novel tersebut akan didekati melalui pendekatan sosiologi sastra, pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Damono, 1979:5). Swingewood (1972:13-22) mengelompokkan telaah sosiologi sastra menjadi dua. Telaah pertama menekankan aspek dokumenter sastra, yang menyatakan bahwa sastra mencerminkan norma-norma dan nilai-nilai. Telaah kedua bergeser dari penekanan pada karya sastra itu sendiri kepada segi produksi dan khususnya pada situasi sosial penulis. Dari kedua pendekatan tersebul pendekatan pertamalah yang akan digunakan. Cara kerja yang digu-nakan ialah cara kerja yang memandang teks sastra sebagai teks utama atau bah an telaah. Sedangkan analisis teks sastra dalam rangkaanalisis sosiologis dalam tulisan iniperhatian utama akan ditujukan kepada tokoh, latar, dan alur. Adapun konsep-konsep yang digunakan adalah konsep-konsep yang dikemukakan oleh Norman Friedman (1975:63-65).

2. Pembahasan

Ada tiga gagasan yang berkaitan dengan priyayi yang menonjol dalam tiga novel awal sastra Jawa modern yang akan dibicarakan ini, yaitu gagasan tentang pergaulan, pekerjaan, dan perkawinan.

Dalam tulisan ini akan dibahas satu di antara ketiga gagasan tersebut, yaitu gagasan tentang pergaulan. Sebelum menginjak analisis, lebih dahulu akan disajikan fakta sosial mengenai pergaulan khususnya pergaulan priyayi dalam masyarakat Jawa yang dapat memberikan arah terhadap analisis yang akan dilakukan.

2.1. Pergaulan dalam Masyarakat Jawa

Sebelum menginjak pembicaraan tentang pergaulan priyayi, lebih dahulu akan diberikan penjelasan sedikit tentang siapakah priyayi dan bagaimanakah kedudukan priyayi dalam masyarakat Jawa.

(3)

PRASASTf 'NO. 29' TAHUN Vft 'JANUAR11998

3

pettama, priyayi, merupakan elit yang berkedudukan di atas rakyat jelata (van Niel, 19^4:30). Selaku kelompok yang berkedudukan di atas, priyayi bertugas memimpin, memberikan pengaruh, dan menjadi anutan bagi kelompok rakyat jelata yang terdiri atas para petani, pedagang, tukang, buruh, dan yang lain.

Dahulu, pada zaman kolonial Bel and a, priyayi itu mereka yang bekerja sebagai pegawai di kantor-kantor pemerintah, seperti k an tor kabupaten, kawedanan, kecamatan, pengadilah, dan para guru seltofah (Kartodirdjo, 1993:10-11). Menurut Geertz, priyayi yang menduduki jabatan penting seperti bupati diambil dari kerabat raja-raja di Jawa dan disebut priyayi atas. Sedangkan mereka yang berasal bukan dari kerabat raja disebut priyayi rendah dan tidak dapat menduduki jabatan penting.

Di lingkungan kerajaan, Surakarta dan Yogyakarta, terdapatpriyayi luhur dan priyayi cilik. Yang disebut pertama ialah para kerabat raja, sedangkan yang kedua ialah para pegawai yang mengabdi kepada raja (Kartodirdjo, 1993:11).

Priyayi memiliki sifat-sifat kepriyayian sebagai ciri khas kelompoknya, yang juga dicita-citakan oleh kelompok kelas di bawahnya. Sifat-sifat kepriyayian yang merupakan pancaran kebudayaan keraton, yang melekat dalam diri seorang priyayi menurut Sapardi Djoko Damono (1993:205) antara lain ialah tindak-tanduk dan penggunaan bahasa yang halus, sikap men ah an diri, rendah hati, berbudi luhur, selalu menjaga harga dan kesucian diri, suka berk orb an untuk orang lain, suka prihatin, dan tawakal (lihat juga Ardani, 1995:174).

Menurut pengamatan Geertz (1989:326), perbedaan priyayi dan orang ke ban yak an terletak pada tataran halus dan kasar. Sebagian besar sifat-sifat hahis priyayi tersebut berkaitan erat dengan etiket. Menurut All (1986:19), etiket memegang peranan penting dalam pergaulan priyayi. Etiket menuntut seorang priyayi untuk menyem-bunyikan perasaan sebenamya dari orang lain, etiket juga mengatur tingkah laku diri sen diri dan orang lain sehingga tidak terjadi peristiwa yang roe ma] uk an yang tidak menyenangkan.

Pergaulan dalam pembicaraan ini meliputi pergaulan dalam keluarga priyayi, per-gaulan antarsesama keluarga priyayi perper-gaulan antara priyayi dan bukan priyayi, dan pergaulan muda-mudi

(4)

PRASASW 'NO.29' TAHUN VII 'JANUAR11998

kasar. Ditambahkan oleh Kartodirdjo (1993:63) bahwa isolasi pergaulan priyayi ini jugaberlangsung antara abdi dan majikan. Adanya jarak tersebut akan memperlancar terselesaikannya semua pekerjaan. Tidak ada hubungan yang akrab antara abdi dan priyayi. Seorang abdi harus patuh dan tunduk sepenuhnya kepada tuannya. Apa pun kehendak tuannya harus diturut seperti bayangan dalam cermin yang setia mengikuti gerak orang yang becermin. Sampai titik yang paling tinggi para abdi harus rela mempertaruhkan jiwa dan raganya demi keselamatan majikannya.

Pergaulan muda-mudi sangat terbatas. Menurut pengamatan Kartodirdjo (1993: J 94), perkumpulanmasih terpisah antarapriadan wanita. Di luar lingkungan keluarga, para pemudi juga belum dapat bergaul dengan leluasa, meskipun mereka sudah dapal belajar di sekolah. Anak wanita masih diikuti inang pengasuh waktu bersekolah. Banyak sekolah yang menyelenggarakan pendidikan secara terpisah antara pria dan wanita.

Per an an wanita dalam keluarga juga sangat terbatas. Menurut Kartodirdjo (1993:195), rjeranan dalam keluarga dkiom

yang menyangkut pemerintahan dan komunikasi dengan lingkungan dan orang asing menjadi tugas pria.

Keempat pokok pembicaraan tersebut, pergaulan dalam keluarga priyayi, pergaulan antara keluarga priyayi, pergaulan antara priyayi dan orang kebanyakan. dan pergaulan muda-mudi memiliki corak yang berbeda-beda dalam ketiga novel yang dibicarakan ini.

2.2 Pergaulan dalam Novel Awal Sastra Jawa Modern

2J2.1 Pergaulan dalam Serai Riyanta

Ada jarak yang membatasi hubungan antaranggota keluarga dalam Serat Riyanta. Komunikasi antara anak dan orang tua, yaitu R. "M. Riyanta dan ibunya, tidak terjadi secara langsung. Kita perfiatikan kutipan berikut ini.

"... yen mangkono luwih becik saiki kowe nusula menyang ing pasanggrahan, api-apia yen mentas daksrengeni, aja pisan tutur yen dakkongkon, mungguh perlune: sepisan kowe dakkongkon..." (R. M. Sulardi, 1920:7)

"... ora liwat kabeh tuturku mau aturna panjenengane ibu, kajaba iku matura,yenibudakaturi supayangicalakesanggarunggi..."(R.M. Sulardi, 1920:17)

(5)

PRASASW 'NO.29' TAHUN VII 'JANUAR11998

"... tidak Jupa semua perkataanku tadi sampaikan kepada Ibu, selain itu sampaikan juga bahwa aku berharap agar Fbu menghilangkan kecurigaan..."

Pemecahan mengenai persoalan yang penting seperti di atas tidak dilakukan secara langsung. Ada seorang perantara yang bertugas menyampaikan ke-inginan mereka. Adanya jarak tersebut, selain mengakibatkan tidak akrabnya hubungan antara orang tua dan anak, juga mengakibatkan persoalan menjadi berlarut-larut karena terjadi salah paham.

Pergaulan an tars es am a keluarga priyayi, kehiarga priyayi yang berpangkat rendah sangat menaruh hormat kepada priyayi yang berpangkat tinggi. Hal itu dapat dilihat dari bahasa yang mereka gunakan (R. M. Sulardi, 1920:54-5). Kutipan berikut menggambarkan bahwa budi luhur menjadi dasar pergaulan.

nKyai Dipati gedheg-gedheg kalayansangei gumun:Hem,ayaknaanteng, alus, tansah

nglungguhi tata krama, ora getem nyamah kowe, Ina wong ndara Riyanta, Hanging

aku gumun banget, dene dhek taken ilangmu teka orakersa blakayen slirane sing nemu..." (R. M. Sulardi, 1920:90)

Kyai Dipati menggeleng-gelengkan kepala karena merasa heran, dan berkata: "Makanya diam, halus, selalu menjaga tata krama, tidak mau menyentuhmu, ternyata R. M. Riyanta. Tetapi, saya heran sekali, waktu bertanya tentang hilangmu, ia tidak mau berterus-terang bahwa ia yang menemukan..."

Sikap-sikap seperti di atas: pendiam, halus, selalu menjaga tata krama, hormat kepada wanita merupakan bagian budi luhur.

Mengenai pergaulan antara priyayi dan bukan priyayi dalam Serat Riyanta* tampak adanya jarak yang jelas. Meskipun keluarga R. A. Natasewayamem-punyai beberapa abdi, mereka tidak pern ah dimunculkan dalam pembicaraan keluarga. Adasuatu peristiwa yang dapat memberikan kejelasan adanya jarak tersebut, yaitu peristiwa perjamuan kunjungan Kyai Pramayoga bersama isterinya. Dalam perjamuan tersebut yang bertindak melayani mereka adalah R. A. Mars am, anak angkat R.X. Natasewaya (him. 54). Sedangkan pergaulan antara priyayi dan orang asing belum disebut dalam novel ini.

(6)

PRASASW 'NO.29' TAHUN VII 'JANUAR11998

"... temah ginugah rudhatosipun mar go badhe kondhur piyambak ajrih, nangin yen kelampahan numpak kreta kaliyan R. M. Riyanta nyipta badhe kadospundi kedadosanipun." (film. 28)

"... lalu muncul kesedihannya, karena akan pulang sendiri takut, tetapi ia membayangkan apa yang akan terjadi kalau sampai pulang dengan diantar R. M. Riyanta".

R. A. Srini membayangkan bahwa ia akan mendapat main dan dimarahi apabila diantar oleh lelaki yang tak dikenal. Ia akan disebut sebagai wanita tak bermoral dan keluarganya akan ikut menanggung malu.

2.2 J, Pergaulan dalam KirW Njunjung Drajat

Suasana pergaulan keluarga yang akrab ditunjukkan dalam Kirti Njunjung Drajat, melalui keluarga Nayapada, seorang priyayi kecil di lingkungan keraton Surakarta. Terjadi dialog langsung antara anak dan orang tua Orang tua sangat memperhatikan kelakuan anaknya dan berusaha memberikan nasihat. Sebaliknya, anak tidak tampak sangat takut kepada orang tua (Jasawidagda, 1934:15).

Di samping tercipta suasana yang akrab dalam keluarga, juga terbina iklim musyawarah dalam keluarga. Orang tua mau memperhatikan pendapat anak, sebaliknya anak juga berani mengemukakan pendapat (him. 34).

Digambarkan masih adanya ketidakakraban pergaulan antara kelompok priyayi dan bukan priyayi. Perbedaan pangkat dan kedudukan tidak hanya berlaku pada tempat kerja. Para priyayi terlalu menganggap rendah rakyat jelata (him. 4).

Dalam latar suasana pergaulan yang berjarak antarsesama priyayi maupun antara priyayi dan bukan priyayi, dan anggapan yang rendah terhadap kelompok bukan priyayi seperti itu, ditunjukkan keberhasilan terciplanya pergaulan yang akrab antara priyayi dan bukan priyayi melalui tokoh Darba. Darba adalah anak Nayapada, seorang priyayi kecil, yang bekerja sebagai tukang dan penjual sepeda. Kita perhatikan kutipan ini.

Darba saweg ingandikan dhateng para ageng, inggih punika priyagung Bupati pangarsaning pang Budi Utomo, saha kanjeng pangeran sawatawis,... sab en-sab en griyanipun dipun datengipara sag ed saha para ageng,... (him. 54).

(7)

PRASASTt 'NO.29' TAHUN W *JANUARt 1998

Darba, pedagang sepeda yang tergolong bukan priyayi, dapat bergaul akrab dengan priyayi. Selain itu Darba juga dapat menjadi anggota organisasi Budi Utomo, organisasi priyayi.

Darba sebagai pedagang juga dapat bergaul akrab dengan orang-orang Belan-da yang berk u as a di Jawa Pergaulan mereka tidak terbatas pada hubungan dagang, mereka juga berhubungan dalam bidang organisasi, yaitu Budi Utomo (him. 55).

Keberhasilan menjalin hubungan yang akrab dengan priyayi dan orang Belan-da di atas tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang dengan mudah, tetapi diperlukan bekal yang tidak ringan. Darba telah membekali diri dengan sopan santun dalam bertutur, bertindak, penampilan, dan berpakaian, keramah-tamahan. percaya diri, dan pendidikan yang cukup (him. 49-50).

Gagasan dan tindakan Darba untuk menciptakan suasana pergaulan yang akrab antara priyayi dan bukan priyayi tersebut dapat diterima. Buktinya Darba dapat diterima dan dihargai di tengah pergaulan priyayi (him. 55).

Pergaulan muda-mudi tidak dibicarakan dengan jelas dan panjang lebar. Namun dapat dilihat bahwa pergaulan muda-mudi sudah tidak melalui .saluran orang tua. Suasana tersebut terbukti pada perkawinan Darba yang tidak dijodohkan oleh orang tua maupun siapapun (him. 49).

'.23 Pergauian dalam Ngulaadra

Suasana akrab dalam keluarga juga terjalin dalam Ngulandara. Suasana akrab tersebut dapat dilihat pada dialog antara anak dan orang tua di bawah ini.

"Yah Ibu kit Punapa inggih oto menika namung mwrugaken kesisahan thoh? Wong lagi sepisan we dingendikakake akehl" "Ingkang risak menika menapanipun ia Pak? Mengke gek dipunpaeka ing sopir ingkang mcntas medal menika?' (Margono Djajaatmadja, 1936:4)

"Wah, Ibu ini! Apa benar bahwa mobil hanya mendatangkan kesusahan saja? Baru sekali saja dikatakan berulang kali"!

"Apanya yang rusak, Pak? Jangan-jangan memang sengaja dirusak oleh sopir yang baru saja keluar?"

(8)

PERKEMBANGAN PERGAULAN PRIYAYI DALAM SASTRA JAWA MODERN

8 Supartinah agak keras, namun bernada humor. Bahasa yang digunakan R.A. Supartinah, yang kadang-kadang menggunakan bahasa ngoko juga menam-bah keakraban mereka. Hubungan yang akrab antara orang tua dan anak tersebut didasari oleh keakraban yang lerjalin antara suami isteri dalam keluarga priyayi. Isteri menggunakan bahasa ngoko terhadap suami dan isteri tidak mendapat marah ketika terlanjur membuat keputusan dalam jual beli mendahului suami (him. 15).

Pergaulan antarsesama keluarga priyayi lerjalin akrab. Mereka saling me-ngunjungi. Kunjungan mereka tidak hanya karena adanya suatu keperluan yang penting atau mencari sesuatu atau kebuluhan tertentu, tctapi juga karena sekedar bersantai dan melepaskan rasa rindu (him. 45). Suasana pergaulan antarsesama priyayi berlangsung sangat akrab. Mereka tidak memheda-bedakan pangkat dan kedudukan (him. 98).

Hubungan yang akrab dalam keluarga ikut memberikan corak antara hubungan priyayi, selaku majikan, dan abdi, selaku kelompok bukan priyayi. Hubungan antara priyayi dan abdi dalam novel ini dekat. Majikan memperhatikan kesehatan dan keselamatan abdi (him. 27). Kedekatan tersebut sampai padalitik yang paling tinggi, yaitu adanya anggapan dari pihak priyayi bahwa meskipun abdi, ia pan las dihargai karena memil iki sopan santun dan keluhuran budi, seperti dalam kutipan berikut ini.

"Isin la dumeh sopir/ Empun ngoten nak Rap. Ajining wong niku boten mung dumunung teng pangkat mawon. Tandang tanduk ion luhuring budi niku sagel njunjung aji" (him. 47)

"MaJu ya, karena hanya seorang sopir! Jangan mempunyai anggapan seperti itu nak Rap! Martabat manusia tidak hanya lerletak pada pangkat saja. Tingkah laku dan keluhuran budi juga dapat mengangkat martabat seseorang".

Keluarga priyayi memperluas pergaulannya dengan menjalin hubungan de-ngan orang asing. Orang asing yang ditampilkan sebagai kawan bergaul keluarga priyayi di sini adalah orang Cina. Mereka saling mengunjungi. Keakraban mereka bergaul tecermin pada bahasa dan canda ria mereka yang hangat (him. 77). Hubungan mereka tidak hanya dalam pergaulan sehari-hari dan jual beli, tetapi juga dalam bidang pendidikan. R.A. Supartinah, putra Asisten Wedana menjadi guru di HCS, sebuah sekolah yang diperuntukkan bagi orang Cina

(9)

PRASASTI ' N O . 29* TAHUN V f l ' JANUARt 1998

9

tinah sering dipinjami buku oleh temannya yang hernama Harjono (him. 60), yang dilihat dari namanya jelas bukan seorang priyayi luhur.

Muda-mudi sudah dapat bergau] leluasa tanpa perantara dan campur tangan orangtua. Pergaulan mereka berlangsung lewat pendidikan di sekolah. Namun pergaulan mereka tetap berpijak pada tata pergaulan Jawa seperti daiam kutipan berikut ini.

"Sesrawunganku karo kowe rak ya ora mlangkah saka kasussilan Jawa ta? Upama anggonku sesrawungan karo kowe kuwi aku niru cara Eropah..." (him. 60)

"Bukankah pergaulan kita tidak melangkah keluar dari lata pergaulan Jawa? Seandainya pergaulan kita meniru pergaulan caraEropa..."

Dengan tegas R.A. Tien menyatakan bahwa tata pergaulan yang dijadikan panutan adalah tata pergaulan Jawa, bukan Eropa

Pergaulan muda-mudi yang mehgarah kepada cinta asmara sudah tampak dalam novel ini. Dalam hubungan cinta asmara muda-mudi sudah tampak keberanian wanita untuk menolak cinta seorang pria dengan tegas (hlm.60).

3. Penutup

Ada perkembangan yang jelas mengenai gagasan pergaulan dalam Serai Riyanta, Kirti Njunjung Drajat, dan Ngulandara. Perkembangan itu mencakup keempat pokok permasalahan yang dibicarakan, yaitu pergaulan dalam keluarga priyayi, antara sesama keluarga priyayi, antara priyayi dan bukan priyayi, dan pergaulan muda-mudi. Perkem-bangan tersebut terjadi dari novel satu kc novel yang lain. PerkemPerkem-bangan tersebut berjalan dari pergaulan yang ketat menuju pergaulan yang agak longgar.

Pergaulan angataranggota keluarga dalam Serat Riyanta tidak akrab, ada jarak. Jarak yang mewamaj pergaulan antaranggota keluarga tersebut dihilangkan dalam kedua novel yang lain. Masing-masing anggotakeluarga, baik antara anak dan orang tua maupun suami dan isteri sudah dapat bergaul dengan ak*rab dan leluasa.

Pergaulan antarsesama keluarga priyayi tersebut akrab padaNgulandara. Sedangkan dalam Kirti Njunjung Dro/of terdapat jarak yang jelas antara priyayi berpangkat tinggi dan rendah.

(10)

PERKEMBANGAN PERGAULAN PRIYA Yi DALAM SASTRA JA WA MODERN

10 orang Cina. Ditampilkannya orang Cina memperluas gcrak pergaulan priyayi, mengingat pergaulan dengan orang asing selain Belanda pada saat penjajahan Belanda memang cenderung dihalang-halangi untuk menjaga agar tidak ada golongan elit menengah lain.

Pergaulan muda-mudi sangat ketat dalam Serat Riyanta. Sedangkan dalam Kirti Njunjung Drajat meskipun tidak dijelaskan secara rinci, muda-mudi sudah bebas memilih pasangannya tanpa campur tangan orang tua. Selanjutnya dalam Ngulandara pergaulan muda-mudi menjadi longgar. Muda-mudi dapat bergaul tanpa melalui saiuran orang tua. Pergaulan muda-mudi yang mcngarah kepada cinta asmara juga sudah tampak.

Apabilakitabandingkan dengan fakta sosial tentang pergaulan dari hasil pengamatan dan penelitian para ahli sosiologi, juga tampak adanya suatu perkembangan. Pergaulan priyayi tidak lagi terjsolasi. Hal itu tampak jelas pada novel Kirti Njunjung Drajat dan Ngulandara.

Meskipun pergaulan sudah menjadi sedemikian longgar, apabila kita perhatikan, masih ada suatu nilai yang tetap dipertahankan, yaitu budi luhur. DaJam Ngulandara, meskipun antara priyayi dan abdi sudah dapat menjaiin hubungan yang akrab, budi luhur tetap dipegang teguh.

DAFTAR PUSTAKA

Ardani, Moh.

1995 At Qur'an dan Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-serat Piwulang). Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf.

Damono, Sapardi Djoko

1979 Sosblogi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Bahasa.

1993 Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur. Jakarta: Pusat Bahasa.

Djajaatmadja, Margana

1936 Ngulandara. Jakarta: Balai Pustaka.

Friedman, Norman

1975 From and Meaning in Fiction. Athens: The University of Giorgia Press. Geertz,

Clifford

1989 Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Puslaka Jaya.

Hadjowirogo, Marbangun

1964 Manuaia Jawa. Jakarta: Yayasan fdayu.

Hutomo, Suripan Sadi

1975 Telaah Kesusastraan Jawa Modem. Jakarta: Pusat Bahasa.

JasawkJagda

(11)

PERKEMBANGAN PERGAULAN PRIYA Yi DALAM SASTRA JA WA MODERN

11 Kartodirdjo, Sartono

1993 Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gajah Mada Universfty Press.

Koentajaraningrat

1964 Kabudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka

Kurtlowijoyo

1991 "Sastra Priyayi Sebagai Sebuah Jenis Sastra Jawa" dalam Poer Adhi Prawoto. Keteriibaian Sastra Jawa Modem. Solo: Tri Tunggal Tata Fajar.

Mulder, Niels

1981 Kebatman dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa: Ketangsungan dan Perubahan Kuffurit. Jakarta: Gramedia. 1985 Pribadi dan Masyarakat di Jawa: Penjeiajahan mengenai Hubungannya. Jakarta: Sinar Harapan.

Quinn, George

1992 The Novel in Javanese. Leiden: KITLV Press.

Rass, J. J.

1979 Javanese Literature Since Independence. The Hague: Martin us Ntjhoff. Sulardi 1920 Serat Riyanta. Jakarta: Balai Pustaka.

Swingewood, Alan dan Diana Laurenson

1972 Sociology o f Literature. London: Paladin.

van Niel, Robert

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini pabrikan Honda telah membuat dan menyelesaikan suatu penelitian dan pengembangan suatu robot yang menyerupai manusia yang nyata dan dapat digunakan (Truly

Jika pernyataan A yang Anda anggap lebih sesuai dengan pikiran yang muncul dalam diri Anda saat Anda menghadapi situasi seperti pada persoalan nomor 1, maka

Adanya permukaan dan pori yang terbuka pada senyawa polimer dibuktikan oleh jumlah kapasitas adsorpsi hidrogen yang diperoleh dari metode gravimetri yaitu sebesar 2,048%

Tabel kedua memperlihatkan bahwa setelah dilakukan penyuluhan, untuk kelompok eksperimen sebagian besar responden menunjukkan niat yang baik untuk melakukan deteksi

Saya langsung mendaftarkan diri menjadi Bintara TNI-AD ketika saya lulus SMA karena saya merasa yakin (7).. Saya yakin dengan keputusan saya untuk menjadi Bintara TNI-AD (17)

Indonesia juga secara aktif terlibat di berbagai agenda strat- egis seperti reformasi IMF dengan mendorong adanya kuota yang lebih besar untuk negara-negara miskin dan

Pada tahap refleksi awal ini, kegiatan yang dilakukan adalah deskripsi situasi dan materi dari catatan tentang hasil belajar siswa di kelas. Dari deskripsi ini

Manusia itu makhluk unik, ia diciptakan setelah melalui pertimbangan yang matang, hanya ia yang satu- satunya disebut gambar Allah, tetapi tidak berada di atas