• Tidak ada hasil yang ditemukan

teori rancang kota berkelanjutan tugas k

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "teori rancang kota berkelanjutan tugas k"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BABI

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Perkembangan peradaban manusia bisa dilihat dari bentuk fsik yang tertinggal dari sebuah kota. Kota merupakan sebuah tujuan dan kenangan terakhir dari perjuangan dan kemuliaan suatu peradaban manusia (Spiro Kostof dalam Heryanto, 2011 :3). Selanjutnya kota sebagai perwujudan budaya, tidak hanya meruapakan bentuk fsikal, formal dan morfologikal semata sebagai perwujudan tangibilitas, namun juga terdapat sebuah proses interaktif antara penghuni dan norma maupun nilai sosial dalam pemenuhan kebutuhannya. Patut ditelaah lebih lanjut tentang proses terbentuknya sebuah kota dari berbagai teori rancang kota yang ada di dalam konteks peradaban manusia yang semakin bergerak kearah permasalahan yang sangat komplek.

Fenomena pendekatan perancangan kota yang banyak dilakukan saat ini jarang mengakomodasi keberagaman struktur sosio-kultural yang telah terbentuk di kawasan tersebut (Antariksa, 2008). Para perancang kota lebih sering melihat kota sebagai benda fsik (physical artifact) ketimbang sebagai benda budaya (cultural artifact) Perangkat rencana kota masih ditemukan kesenjangan antara rencana tata ruang yang bersifat dua dimensi dengan rencana fsik yang bersifat tiga demensi .sehingga belum sepenuhnya mengendalikan wujud kota, serta mampu memberikan panduan operasional bagi terbentuknya ruang kota yang akomodatif terhadap fenomena urban, baik situasi dan kondisi masyarakat yang ada.

Hal ini diperparah dengan kondisi global masyarakat yang ada (Konferensi Global mengenai Kota Masa Depan/Urban 21, 4-6 Juli 2000 di Berlin Jerman), antara lain :

a. Penduduk dunia yang berjumlah 6 milyar hidup di kota-kota besar (saat ini penduduk bumi telah mencapai 7 Milyar lebih- Hari Tujuh Miliar jatuh pada tanggal 31/10/2011 dengan selebrasi oleh PBB pada Danica May Camacho-Manila, Pyotr -Rusia, Oishee-Bangladesh, Pring Phal- Kamboja, Nargis-India: Jawapos, 1 November 2011)

b. Dunia menghadapi pertumbuhan pesat dari jumlah penduduk kota-kota, terutama di negara berkembang.

c. 1 dari 4 jumlah penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan. d. Penularan HIV dan munculnya kembali berbagai penyakit menular. e. Kita hidup di dunia yang banyak dengan perbedaan

f. Banyak kota-kota, dihadapkan kepada perkembangan yang berlebihan, gagal dalam pemenuhan kebutuhan pokok warganya. g. Beberapa kota yang dinamis telah berhasil dalam pembangunan

sementara kota lain menghadapi penuaan populasi dan pemborosan SDA

(2)

• Bebas dari kemiskinan

• Kerja menghasilkan pendapatan yang mencukupi. • Hidup dalam keharmonisan ekologi dengan alam.

• Tersedianya udara bersih,air yang aman/bersih dan sanitasi yang layak.

• Perumahan yang layak dan keamanan atas hak milik.

• Kemampuan untuk bergerak dengan mudah dari rumah ke tempat kerja,toko,sekolah dan tempat-tempat tujuan lain. • Hidup dalam komunitas persahabatan dan tetangga yang stabil

dan terintegrasi.

• Menikmati hak politik kewarganegaraan, termasuk hak ikut serta dalam pengambilan keputusan dan hak untuk mendapatkan informasi dan keadilan.

• Manusia dan kekayaannya akan merasa aman dan terlindungi. Mulai tahun 2008 merupakan suatu milestone dimana 50% penduduk dunia tinggal di kawasan perkotaan peningkatan populasi urban dari 30% pada 1950 menjadi 50% pada 2007. Hal ini telah juga menyebabkan tekanan berat pada kawasan perkotaan dan terjadinya “urban sprawling”/ perkembangan kota secara horisontal yang tidak terkendali. Dan hal ini selanjutnya diprediksi akan menghasilkan Kota – Kota Mega atau “Mega Cities” di negara negara berkembang. Diperkirakan 60 Kota Mega akan muncul pada 2015, seperti Singapura, Hong Kong, Jakarta, Mumbai, Bangkok and Manila (Tanuwidjaja, 2010:1). Jika pertumbuhan penduduk tidak terkendali, kebutuhan akan fasilitas tersebut akan semakin tinggi. Pembangunan fsik menuju ke arah maksimal sedangkan sebaliknya pengembangan ruang terbuka menuju ke arah minimal, sehingga mengubah wajah keseluruhan kota. Lahan akhirnya merupakan sumber daya utama kota yang sangat kritikal, disamping pengadaannya yang semakin sangat terbatas, sifatnya juga tidak memungkinkan untuk diperluas. Lahan bahkan permukaan air di tutup atau berubah fungsi (land use diubah), sehingga timbul perubahan suhu kota, kualitas udara memburuk, banjir, penurunan tanah, intrusi air laut, abrasi, dll.

2

Degradasi Lingkungan

(3)

Akibat langsung dari ketidakseimbangan antara lingkungan terbangun (binaan) dengan lingkungan perlindungan (alam) menyebabkan penurunan mutu lingkungan kota (environmental degradation). Tingkat kesehatan dan stabilitas emosional sebuah populasi dipengaruhi oleh sikap frustrasi dari suatu kota, terutama lingkungan buatan . keindahan alam dan kelengkapannya terkadang kita tinggalkan dalam kajian lingkungan yang berkualitas. Jika memungkinkan, penataan suatu lingkungan binaan harus memperhatikan hal tersebut sebagai bagian yang tak terpisahkan di dalam kebutuhan biologis kita, bukan hanya sebagai pelengkap kemewahan.(Olmsted, dalam Dramstad, et all, 1996).

Perkembangan kota yang tidak terkelola dengan baik akan cenderung menimbulkan persoalan turunan. Antara lain seperti kemacetan lalu lintas, tumbuhnya kawasan kumuh dan kemiskinan perkotaan, masalah kriminalitas, menurunnya kualitas lingkungan perkotaan, dan ancaman bencana. Sudah menjadi trend saat ini desakan pasar dan capitalism yangbergerak sangat cepat semakin menutup pergerakan ruang public dan ruang hunian. Dinamika sebuah kota dengan heterogenitas di satu sisi memang baik di dalam percepatannya, namun disisi lainnya kota tidak hanya berlari kencang namun livability. Kota harus mampu juga menyiapkan seluruh kebutuhan penggunanya dan infrastruktur yang ada. Kota harus menawarkan konsep equity dan keberlanjutan/ sustainability agar para gernerasi yang akan datang tidak akan sampai menikmati chaotic dysfunctional cities. (Sachdeva, 2012 :2)

(4)

Pembangunan yang berkelanjutan kemudian menjadi tema yang diangkat bersama-sama. Dampak pembangungan terhadap lingkungan hidup mulai dirasakan pada tahun 1960-1970, di saat krisis energy dirasakan oleh negara-negara industry. Mereka kemudian menyusun sebuah rencana tentang perbaikan nasib generasi mendatang agar mampu menikmati sumber daya alam yang ada.

Terkait dengan ketersediaan dan tingkat keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan, perlu kiranya juga menghitung tapak ekologi (ecological footprint). Telapak ekologis adalah gambaran jumlah lahan produktif darat dan laut yang dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup suatu populasi dalam memproduksi dan mengkonsumsi semua sumber daya termasuk limbah yang dihasilkannya. Indonesia terutama di Jawa dan Bali memiliki telah menggunakan sumber daya alam melebihi kapasitas alam penyedianya dengan nilai defsit ekologis masing-masing adalah 0,81 gha/orang dan 1,52 gha/orang. (DPU,2010 : 33). Daya dukung wilayah yang belum terlampaui (surplus) yang berada di posisi pertama dan kedua adalah Pulau Papua dan Pulau Kalimantan, yang nilainya adalah 6,64 gha/orang dan 2,79 gha/orang. Secara keseluruhan nilai biokapasitas Indonesia yaitu 1,12 gha/orang masih lebih tinggi dibandingkan dengan nilai telapak ekologisnya yaitu 1,07 gha/orang, meskipun nilainya tidak terlalu berbeda jauh (signifkan). Hasil perhitungan tersebut dapat menjadi acuan bagi masyarakat Indonesia, bahwa dalam upaya pemenuhan kebutuhannya dan pemanfaatan sumber daya alam yang terdapat di Indonesia sudah seharusnya memperhatikan daya dukung masing-masing wilayah.

Constantinos Doxiadis (1913-1975) seorang arsitek dari Yunani dalam bukunya Ekistics: An Introduction to the Science of Human Settlements (1968: 5), mengatakan bahwa kota saat ini sudah tidak lagi nyaman bagi penduduknya disebabkan unsur-unsur kota-kota kontemporer, seperti transportasi, zonasi dan komunikasi, sudah

4

Gambar 2. Peta Tingkat Kerawanan terhadap Bencana Alam.

Sumber : UNDP Indonesia, Sisi Lain Perubahan Iklim: Mengapa Indonesia harus beradaptasi untuk melindungi rakyat miskinnya , Jakarta, 2007

Gambar 3. Ecology Footprint Sumber : Hand Out Kuliah Prinsip-Prinsip

Rancang Kota,

Desain Lingkungan dan Keberlanjutan

Kota,

(5)

tidak lagi seimbang. Akibatnya, kota-kota menjadi membesar, ramai, berisik dan sumber daya alam serta lingkungannya mengalami kerusakan. Kota akan tumbuh dan membengkak semakin luas dan sulit dikendalikan. Polis (kota) menjadi metropolis, kemudian megapolis lalu econupolis (kota dunia), jika tidak berhati-hati akan menjadi necropolis (kota mayat) sebagai bagian dari ketidak berlanjutan/ ending dari sebuah kota (Budiharjo, 1999: 2). Para pemegang kebijakan bersama-sama dengan penduduk kota seakan-akan sedang berlomba lomba untuk melakukan “ecological suicide”, sedemikian parahnya kondisi perkotaan dan lingkungan yang telah rusak.

Perancangan kota sekarang masih bernuansa utopis/ambisius, artifcial/kolosal dan konsumtif/elitis, jauh dari menghormati kaidah-kaidah lingkungan, sosio budaya, tradisi dan kebiasaan masa lalu dalam penataan kotanya. ( Heryanto, 2011 :13). Globalisasi merupakan salah satu factor utama semakin kaburnya nilai-nilai budaya yang menjadi karakteristik suatu tempat. Muncullah istilah junk cities (Budiharjo, 1999: 2), sebagai penanda terhadap kota-kota yang telah terserang virus globalisasi dan intervensi pasar bebas. Bangunan-bangunan yang ada terkesan seragam dan monoton, hanya meniru dari budaya yang jauh dari karakteristik geografs maupun budaya setempat.

1.2 PENGANTAR PERMASALAHAN

Sustainable Development diperkenalkan pertamakalinya pada tahun 1983, PBB membentuk The World Commission on Environment and Development (WCED), serta menunjuk Perdana Menteri Norwegia Gro Harlem Brundtland, selaku ketuanya. WCED bertujuan untuk mempelajari permasalahan lingkungan dan pembangunan yang terjadi dan berusaha mencari solusi yang tepat dalam penangananya, bersifat jangka panjang dengan mempertimbangkan masa depan.

Tahun 1987 WCED melaporkan meneliti bagaimana kerusakan lingkungan

(6)

Sustainable Cities merupakan salah satu turunan dari konsep sustainable development yang dikembangkan oleh PBB mulai tahun 1990-an. Konsep utama dari program ini adalah menciptakan lingkungan kota yang efsien dan produktif bagi pertumbuhan ekonomi nasional untuk menghasilkan sumber daya yang dibutuhkan bagi investasi publik dan swasta dalam perbaikan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan, kondisi hidup yang lebih baik, dan pengentasan kemiskinan, yang diaplikasikan di dalam AGENDA 21. Program ini telah berlangsang 2 tahap, dan saat ini telah diikuti oleh 30 negara.( http:// www.unchs.org) Dalam pengertian lain, Sustainable Cities merupakan respon terhadap gaya hidup modern yang menggunakan sumber daya alam terlalu banyak, mengotori atau menghancurkan ekosistem, meningkatkan kesenjangan sosial, menciptakan pulau-pulau panas perkotaan, dan menyebabkan perubahan iklim.

Sustainable Communities merupakan lingkup yang lebih kecil dari sebuah program penataan kota berkelanjutan, merupakan salah satu agenda 21 pemerintah Inggris pada tahun 2005, yaitu yang mulai dikembangkan di Eropa dengan munculnya deklarasi Bristol Accord, 6 – 7 December 2005 di Inggris. Sustainable communities mampu menjamin pemenuhan beragam kebutuhan warga yang ada saat ini maupun di masa yang akan datang, sensitif terhadap kondisi lingkungan, dan mampu meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih tinggi. Mereka aman dan inklusif, terencana, terbangun dan terus tumbuh, dengan konsep kesetaraan yang menawarkan kesempatan dan pelayanan yang baik bagi semua. (Bristol Accord , 2005:4)

Sustainable Neighborhood adalah Sebuah lingkungan yang berkelanjutan merupakan mix used area yang bercitarasakan kemasyarakatan yang kuat, yaitu sebuah tempat di mana orang ingin tinggal dan bekerja, sekarang dan di masa yang akan datang. (www.mobilityweek-europe.org) Kedua jenis teori tersebut di atas sama-sama dikembangkan pada tataran lingkup yang semakin sempit, sebagai bagian dari upaya lebih semakin engerucut di dalam penanganan masalah keberlanjutan suatu komunitas atau lingkungan.

Sustainable Architecture merupakan tataran yang jauh lebih mikro, yang mengatur tentang konsep keberlanjutan dari sisi single building. Arsitektur dengan diwakili oleh bangunan, juga ikut andil di dalam menyumbang efek rumah kaca. Gerakan ini sudah dimulai dari 1967, oleh Ian Mcharg, dengan design with nature, yang kemudian lebih dipertajam oleh Malcolm B. Wells di dalam thesisnya Gentle Architecture (1969) yang menunjukkan peran lingkungan sangat berpengaruh didalam perilaku desain yang dilakukan terhadap suhu ruangan (majalah Ruang Edisi 002, hal 14). Namun seiring dengan perkembangan teknologi, arsitektur sekarang tidak hanya sekedar teori Vitruvius yang hanya berpilar 3 : structure-fungsi-estetika, namun juga pelibatan teknologi didalamnya.

Beberapa kerangka “Sustainable Architecture” telah disampaikan berbagai pihak, tetapi mungkin yang terpenting ialah yang diungkapkan oleh UIA atau International Union of Architect pada Declaration of Interdependence for a Sustainable Future dalam UIA/AIA

World Congress of Architects

(7)

Chicago, 18-21 June 1993 yang merupakan manifesto profesi arsitek terhadap komitmen menjaga keberlanjutan sebuah lingkungan binaan serta Deklarasi Copenhagen pada 7 Desember 2009, yang berisikan tekad para arsistek didalam mengatasi global change dan efek rumah kaca. (http://www.uia-architectes.org). UIA (Union internationale des Architectes) adalah organisasi asosiasi arsitek non-proft yang mewakili lebih dari satu juta arsitek di 124 negara. Dalam Deklarasi Copenhagen tsb, UIA menyampaikan betapa bangunan dan industry konstruksi berdampak kepada perubahan iklim yang terjadi saaat ini. Dan berbagai dampak ini dapat dikurangi dengan menentukan bentuk sistem lingkungan binaan (“builtenvironment”).

1.3. TUJUAN

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Mengetahui latar belakang munculnya konsep sustainability, dan factor apa yang mempengaruhinya

2. Mengetahui tentang perkembangan tentang teori sustainability, prinsip dasarnya, dan hierarki secara spasial 3. Mengetahui aplikasi teori sustainability pada kota-kota di

Indonesia

1.4. SASARAN

Sasaran yang ingin dicapai dalam penullisan makalah ini adalah peranan teori sustainability dari hierarki tingkatan yang ada pada penataan kota di Indonesia.

BAB II

PERKEMBANGAN & DISKUSI TEORI

2.1 Teori Perencanaan, Perancangan dan Arsitektur

(8)

bangunan dan artefak kota, serta yang bersifat intangible berupa aspek-aspek kehidupan masyarakat.

Kota merupakan cerminan kebudayaan dan ekspresi peradaban manusia pada suatu kondisi geografs tertentu dalam bentuk fsik dan spasial, yang berbentuk :

a. Kumpulan tata ruang kegiatan perekonomian

b. Di dalamnya terdapat kode moral dan etika yang memberikan fungsi dan estetika dalam penataan lingkungan kehidupan kota. c. Merupakan cerminan ideologi, moral, etika dan kebijakan dalam

menata kehidupan politik social ekonomi, budaya dan keamanan masyarakat.

Penataan kota seharusnya tidak hanya merancang bangunan namun juga merancang kehidupan, yaitu pembangunan fsik untuk memenuhi kebutuhan jasmani rohani masyarakat, baik psikis maupun visual. Saat ini cenderung kurang manusiawi, karena hanya memperhatikan aspek fsik serta upaya di dalam peningkatan pendapatan kota. Aspek dikotomi sebagai heterogenitas sebuah kota, kurang seimbang proporsinya, sehingga keijakan public yang diambil akan memunculkan permasalahan keserasian (harmony), keselarasan (compatible), kesetaraan (equity), keseimbangan (equality), dan kenyamanan (liveability)

Perancangan kota sekarang masih bernuansa utopis/ambisius, artifcial/kolosal dan konsumtif/elitis, jauh dari menghormati kaidah-kaidah lingkungan, sosio budaya, tradisi dan kebiasaan masa lalu dalam penataan kotanya.

Bentuk kota adalah hasil interaksi antara masyarakat dengan lingkungannya, yang dibantu oleh rekayasa teknologi serta diayomi oleh kebijakan penguasa di dalam memenuhi kebutuhan mereka, baik fsik maupun psikis. Dalamnya perkembangannya terdapat proses kegiatan politik social ekonomi,dan budaya yang diadministrasi perilaku moral dan etika para actor yang diwujudkan dalam suatu kebijakan public dalam suatu kurun waktu tertentu. Perancangan Kota semestinya menggabungkan tradisi budaya Timur dengan daya akal Barat dengan mempertimbangkan kearifan local yang ada, bukan hanya yang berbentuk fsik sebagai wujud akhirnya, namun lebih pada penggalian unsur-unsur etika dan moral yang berada di dalamnya.

Teori perencanaan dan perancangan kota serta arsitektur berkembang dinamis seiring dengan peradaban manusia. Manusia yang dibekali akal akan cenderung untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk menuju keadaan yang welfare, meskipun dilalui dengan suatu pembelajaran terhadap suatu kesalahan. Perencanaan sendiri tidak terlepas dari perubahan, dengan time line masa lalu untuk pijakan penjelasan, masa sekarang untuk memahami, dan masa depan untuk meramalkan. Suatu kajian terhadap teori baik perencanaan, perancangan maupun arsitektur, diharapkan akan menjadi titik tolak yang baik dalam menangani masalah perubahan (Catanese, 1996 :3).

Posisi teori perancangan kota berada di dalam tataran mezzo, yaitu berada di tengah-tengah antara perencanaan secara makro dan arsitektur secara mikro. Teori rancang ibarat jembatan yang

(9)

menghubungkan antara suatu acuan kebijakan/fungsi yang mengatur pola-pola pemenuhan kebutuhan manusia, sebelum dituangkan kedalam bentuk detail rencana yang lebih spesifk dalam sebuah proses perencanaan besar. Jembatan inilah yang berguna di dalam perwujudan rencana tiga dimensional yang dapat mudah dipahami untuk pengembangan perencanaan. Dengan kata lain kesenjangan pemahaman terhadap sebuah produk perencanaan kota diterjemahkan dengan bentuk tiga dimensional dengan penajaman guideline rencana.

Rancang kota tidak mungkin hadir sendiri tanpa ada perencanaan kota di atasnya, dimana rancang kota banyak mengatur tentang unsur fsik lingkungan kota dan produk yang dihasilkan sangat terkait dengan tanggapan inderawi, berupa keindahan, tampilan visual serta estetika. Jadi tidak hanya egoistisitas seperti tampilan produk arsitektur, namun telah melakukan proses eksplorasi terhadap berbagai macam pertimbangan dan analisis dari produk perencanaan kota. Lingkup penataan yang terdiri atas beberapa massa, juga sudah mengatur tentang criteria desain yang sarat dengan pertimbangan citra dan tampilan.

Teori perancangan kota berangkat dari konsep usaha manusia di dalam memenuhi kebutuhannnya, sehingga dengan kata lain konsep perancangan kota-kota di dunia, baik dari Barat maupun Timur tidak terlepas dari sejarah institusinya. Pemenuhan terhadap kebutuhannya tersebut sangat dipengaruhi oleh kepercayaan, tradisi dan idiologi pada sebuah kondisi geografs tertentu. Suatu konsep rancang kota tidak serta merta bisa keluar begitu saja tanpa campur tangan kebijakan. Begitu pula, pola keruangan yang terbentuk dari suatu letak geografs tertentu sangat dipengaruhi oleh usaha para penghuninya di dalam pemenuhan kebutuhannya serta interaksi sosial lainnya.

Kemunculan sebuah teori, berdasarkan sejarah dapat diartikan dari solusi terhadap berbagai masalah yang sedang dihadapi oleh manusia. Permasalahan yang muncul bisa sangat beragam, namun dalam tataran rancang kota, penataan bisa dilaksanakan perbagian disesuaikan dengan permasalahan utama yang dihadapi. Dalam suatu perencanaan yang sifatnya jauh lebih komprehensif, solusi yang dilaksanakan langsung focus terhadap masalah yang dihadapi. Teori-teori yang dikembangkan bisa saja merupakan Teori-teori untuk awal pembentukan suatu kota, pengembangan kota, peremajaan kota, konservasi, revitalisasi, maupun regenerasi kota. Kompleksitas dari masalah yang dihadapi bisa dibedakan dengan pemisahan teori yang digunakan, bisa dari solusi ekonomi sebagai suatu kesatuan proses terhadap tuntutan pasar, solusi rekayasa yang menjawab berbagai kendala-kendal yang bersifat teknis pemanfaatan teknologi, solusi sosial yang banyak mengatur dinamika dan tatanan bermayarakat, solusi professional yang dikembangkan oleh para pelaku dan penanggungjawab desain, seperti arsitek dan urban planner maupun yang sifatnya legal formal sebagai bagian dari pengalaman dan trial by error yang telah teruji kelayakannya.

(10)

pelaku rancang kota, namun juga bisa berperan di dalam menengahi suatu permasalahan yang timbul dari suatu kota. Tidak hanya itu saja, teori perancangan kota juga bisa bermakna ganda, yaitu sebagai sebuah sandaran dari kepentingan public, karena sifatnya yang lebih luas dari arsitektur yang egocentric, sekaligus sebagai ekspresi dari kolase, sebuah masterpiece keindahan yang tereksplorasi dari penataan antar bangunannya. Rancang kota/urban design, adalah ruang-ruang yang berada di antara bangunan-bangunan. (Darmawan ,2003:11). Kelompok ruang yang ada dikelompokkan berdasarkan :

a. Bentuk dan kesan secara internal (internal pattern and image) b. Bentuk dan kesan secara eksternal (internal pattern and image) c. Parkir dan sirkulasi (circulation and parking)

 Jalan dan karakteristiknya,

 kualitas perawatan,

 luasan,

 susunan,

 kemonotonan,

 kejelasan dan rute,

 orientasi ke tujuan,

 sirkulasi mudah dan aman,

 pesyaratan parkir dan lokasinya

d. Kualitas lingkungan (quality of environment)

Perancangan sebuah kota berdasarkan sejarahnya hingga saat sekarang ini banyak didasarkan pada interaksi masyarakat terhadap kondisi geografs, tuntutan ekonomi, hubungan sosial budaya serta intervensi dari kebijakan yang diambil sebagai bagian dari politisasi dalam keruangan. Bagaimana mereka tetap bisa survive sebagai sebuah kota, adalah sebuah prestasi tersendiri dalam sejarah peradaban manusia.dar

Kota ibarat pasang surut mengalami dinamika yang tinggi di tengah-tengah keterbatasan sumber daya, baik alam maupun manusia merupakan bagian dari perkembangan teori perencanaan kota, yang berimplikasi pada tataran yang lebih detail yaitu rancang kota dan arsitektur. Perkembangan ke arah kota yang berkelanjutan dan pemanfaatan teknologi merupakan tantangan baru yang harus terus dipecahkan di dalam penataan sebuah kota. Teknologi dan globalisasi dalam tanda positif bisa diartikan sebagai tools untuk menciptakan keefektifan dan efsiensi sebuah proses, namun di satu sisi globalisasi yang ada juga mampu mengubah arah perkembangan suatu rancang kota. Nilai dan norma sosial yang ada di masyarakat akan ikut terpengaruh akibat ekspansi wilayah yang didasari akan permintaan ekonomi dan pertambahan penduduk yang membuat pemadatan peruntukan lahan bertempat tinggal. Revolusi kota ke arah multiused concept membuat social changes merupakan hal yang saat ini jamak ditemui di kota. Proses evolusi peradaban menuju ke arah universal semakin cepat terjadi.

Globalisasi juga memegang peranan penting di dalam evolusi sebuah peradaban. Globalisasi dengan kemajuan teknologi yang tidak

(11)

mengenal batas geografs, akan membuat idiologi dan pemikiran melakukan infltrasi secara leluasa. Padahal belum tentu idiologi dan paham pemikiran tadi sesuai dengan karakteristik lokal suatu masyarakat yang telah terbukti telah berhasil bertahan cukup lama sebagai falsafah hidup sehari-hari. Globalisasi yang sedemikian cepat akan sulit diikuti oleh evolusi sosial budaya masyarakat tersebut. Pada masa-masa seperti itulah jatidiri dan karakter suatu masyarakat menjadi sangat penting. Karakteristik lokal akan semakin kabur, sejarah akan hanya menjadi cerita, lahan kota akan semakin mubazir karena peruntukkannya tidak sesuai, yang pada akibatnya masyarakat akan kehilangan jatidirinya. Daya saing kota akan semakin menurun karena masyarakat menjadi kehilangan arah di dalam mencitrakan dirinya. Pada akhirnya perancangan kota seperti yang diungkapkan Winston Churcill (materi kuliah –Prinsip Rancang Kota-PK) adalah sebagai bagian dari peradaban manusia. Dulunya kota merupakan hasil bentukan manusia, namun saat ini kotalah yang menjadikan suatu peradaban terlahir.

2.2 Sejarah Perkembangan Teori

Jika dilihat dari konsep besar sustainable development, dan dihubungkan dengan posisi teori perancangan yang berada di taran mezzo, perlu kiranya dilakukan analisis perkembangan terhadap teori sustainable dalam konteks keruangan yang ada.

Dari tataran administrative keruangan yang ada, perlu kiranya dilakukan pendekatan perkembangan suatu teori sustainability dari tingkatan makro menuju mikro, yaitu komponen dan

bangunan. Dalam

perkembangannya teori Sustainable yang mulai diperkenalkan tahun 1987, sudah menjadi bahan pemikiran bagi ahli perencanaan kota dan arsitektur, namun seiring dengan adanya wadah teori berupa sustainability, kemudian lahirlah berbagai macam teori pengikut yang lingkupnya semakin mengerucut sebagai aplikasi akhir sebelum menuju ke proses pelaksanaan. Berikut di bawah ini adalah beberapa konsep dan teori tentang sustainability yang dimulai dari tataran yang makro (negara) sampai yang paling mikro (komponen dan bangunan) yang dapat dilihat pada gambar berikut :

(12)

a. Sustainable Development

Konsep Sustainable Development termasuk dalam tataran urban planning, berawal dari keprihatinan pemimpin dunia untuk memelihara planet bumi, yang dirasakan semakin memprihatinkan sebagai dampak dari pembangunan. Diawali dengan Stockholm Conference, yang dilaksanakan 5 Juni 1972, yang melahirkan underlying concept of sustainable development . Pada konferensi ini, pemimpin-pemimpin dunia bersepakat. Seiring dengan penetapan tanggal 5 Juni sebagai World Environmental Day, dilahirkan pula resolusi pembentukan UNEP (United Nations Environmental Program) yang bermarkas di Nairobi, Kenya.

Permasalahan semakin berkembang, karena banyak negara mengembangkan industrinya, dengan menggunakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Negara miskin dan berkembang semakin terpuruk akibat eksploitasi yang tak terkendali terhadap potensi sumber daya alamnya, hanya diperuntukkan untuk membayar hutang luar negeri serta pembelian teknologi dari negara maju yang cenderung mubazir.

Pada 1983 PBB membentuk World Commission on Environment and Development (Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan) yang diketuai oleh Ny. Gro Brundtland, Perdana Menteri Norwegia Komisi ini menyelesaikan tugasnya pada 1987 dengan menerbitkan laporan “Our Common Future” yang dikenal dengan Laporan Brundtland. Tema laporan ini adalah sustainable development (pembangunan berkelanjutan). Komisi ini mendefnisikan pembangunan berkelanjutan sebagai suatu upaya yang mendorong tercapainya kebutuhan generasi kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep ini menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan standar lingkungan yang tinggi. (Willis, 2005 :158).

12

Gambar 6. Strata keruangan teori sustainability

Gambar 7. Skema sederhana Sustainable

(13)

WCED kemudian membidani Konferensi Tingkat Tinggi Earth Summit di Rio de Janeiro Brasil pada tahun 1992, dengan jargonnya“Think globally, act locally”, untuk mengekspresikan kehendak berlaku ramah terhadap lingkungan menekankan sustainability development pada kebijakan perencanaan pembangunan. Salah satu hasil penting dalam konferensi ini adalah pembentukan komisi pembangunan berkelanjutan (CSD – Commission on Sustainable Development). Komisi ini telah menghasilkan kesepakatan untuk mengimplementasikan konsep pembangunan berkelanjutan seperti yang tertuang dalam Agenda 21. Agenda 21 global yang kemudian diratifkasi oleh setiap Negara menjadi agenda 21 lokal yang berisi ketergantungan pembangunan sosial dan ekonomi pada kelestarian lingkungan dan meletakkan dasar untuk pengesahan Perjanjian tentang Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Iklim.

Sepuluh tahun setelah KTT Bumi, pencapaian cita-cita Deklarasi Rio dan Agenda 21 masih jauh dari harapan. Oleh karena itu pada 2002 Majelis Umum PBB memutuskan untuk menyelenggarakan World

Summit on

Sustainable Development (WSSD) atau KTT

Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan. WSSD diberi mandat untuk melakukan kajian

pelaksanaan Agenda 21, menghidupkan kembali komitmen politik bagi pelaksanaan Agenda 21 di masa mendatang serta menghasilkan dokumen yang action oriented dengan target waktu dan cara pelaksanaan yang konkrit. Agenda 21 ini dikaji kembali dalam KTT yang sama di Johannesburg (Afrika Selatan). Indonesia melalui Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, dengan bantuan UNDP, telah melakukan tinjauan terhadap pelaksanaan Agenda 21 Indonesia untuk meneliti konteks pembangunan berkelanjutan setelah krisis ekonomi.

Agenda pertemuan yang penting lainnya adalah KTT Millenium di new York pada tahun 2000, yang melahirkan United Millennium Declaration yang menekankan perlunya langkah dan kebijakan global yang sesuai dengan kebutuhan negara berkembang. Agenda masyarakat global (Millennium Development Goals/MDGs) bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan waktu yang spesifk, yaitu melalui:

(14)

3) pemajuan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan

4) pengurangan tingkat kematian anak balita 5) pengurangan tingkat ibu melahirkan

6) pencegahan meluasnya penyakit HIV/AIDS 7) menjaga keberlanjutan kualitas lingkungan

8) pengembangan kemitraan global untuk pembangunan. Pertemuan membahas pembangunan berkelanjutan semakin meningkat kemudian, yang paling akhir dilaksanakan di Solo Indonesia pada 19 – 21 Juli 2011, yaitu Konferensi Tingkat Tinggi Institutional Framework of Sustainability Development, yang menghasilkan Solo Messages, yang intinya masyarakat dunia sepakat bahwa konsep dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan telah memperoleh penerimaan dalam lingkaran kebijakan publik, sehingga perlu sebuah implikasi yang nyata, baik melalui perbaikan kelembagaan, penguatan unsur-unsur (social-ekonomi-lingkungan), serta peningkatan pengorganisasian dari tingkat pusat ke lingkup yang jauh lebih kecil serta pengembangan transfer teknologi.

Dibahas pula tentang menyeimbangkan pendekatan Bottom Up dan Top Down, yang mengatur tentang kebijakan proses pembangunan baik di tingkat local, regional, nasional serta internasional harus mampu mengadopsi dan beradaptasi dengan kearifan local yang menjadi karakteristik pembeda.

Dalam perjalananya konsep sustainable development ini tidak hanya terdiri atas 3 pilar, namun masih ada pilar-pilar lain sebagai bagian dari perkembangan sebuah teori. Seperti yang dikatakan Eko Budihardjo dalam Sustainability Development (1999:10) bahwa dalam skala global tidak hanya 3 pilar tersebut namun juga harus memperhatikan 5-E, yaitu :

Employment yaitu ketersediaan lapangan pekerjaan (Ekonomi)

Environment yaitu keseimbangan lingkungan/ekologi

Equity yaitu pemerataan dan keadilan

Engagement yaitu peran serta masyarakat agar muncul sense of belonging

Energy, yaitu ketersediaan sumber daya alam berupa energy baik yang terbarukan mapun tidak terbarukan.

Namun secara keseluruhan teori ini berpengaruh besar di dalam bidang-bidang yang lain, dengan asumsi permasalahan yang dihadapi sama, yaitu keterbatasan sumber daya alam dan meledaknya populasi, sebagai akar dari theory Robert Malthus (Willis, 2005 :154). Yang mengatakan bahwa ketersediaan bahan pangan akan tidak mencukupi dan habis jika pertumbuhan penduduk tetap berjalan seperti sekarang ini .

14

(15)

b. Sustainable Cities

Sustainable Cities merupakan lingkup yang lebih sempit dari konsep sustainable development, biasa disebut dengan eco-city, yaitu suatu kota yang dirancang dengan mempertimbangkan dampak lingkungan, dihuni oleh orang yang berdedikasi untuk minimalisasi input yang diperlukan dari output energi, air dan makanan, dan sisa dari panas, polusi udara - CO2, metana, dan polusi air. Lingkup yang diatur dalam suatu cakupan kotadengan memperhatikan ekologi. Eco-city diperkenalkan pertama kali oleh Richard Register pada tahun 1987 dalam bukunya Ecocity Berkeley: Building Cities for a Healthy Future. Konsep dasar dari teori ini adalah tetap berpegang teguh pada pemanfaatan sumber daya lingkungan secara berkeadilan, dengan meninggalkan ecology footprint yang seminal mungkin. Dengan hambata tersebut sebuah kota harus mampu memfaatkan sebesar-besarnya teknologi di dalam menggunakan sumber daya dan lingkungan di dalam upayanya untuk tetap bertahan dan berdaya saing.

(16)

Sustainable Cities merupakan salah satu turunan dari konsep sustainable development yang

dikembangkan oleh PBB mulai tahun 1990-an. Konsep utama dari program ini adalah menciptakan lingkungan kota yang efsien dan produktif bagi pertumbuhan ekonomi nasional untuk menghasilkan sumber daya yang dibutuhkan bagi investasi publik dan swasta dalam perbaikan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan, kondisi hidup yang lebih baik, dan pengentasan kemiskinan, yang diaplikasikan di dalam

AGENDA 21. Program ini telah berlangsang 2 tahap, dan saat ini telah diikuti oleh 30 negara.( http://www.unchs.org) Dalam pengertian lain, Sustainable Cities merupakan respon terhadap gaya hidup modern yang menggunakan sumber daya alam terlalu banyak, mengotori atau menghancurkan ekosistem, meningkatkan kesenjangan sosial, menciptakan pulau-pulau panas perkotaan, dan menyebabkan perubahan iklim.

Teori tentang sustainable cities ini secara aplikatif banyak digunakan di kota-kota besar di dunia, karena jika dijalankan, baik itu dari pengurangan urban sprawl, perbaikan moda dan infrastruktur transportasi, kemampuan menghemat dan menciptakan sumber daya energy serta penataan arsitektur bangunan yang pintar, kota tidak akan menghadapi kendala di dalam pengembangannya.

c. Sustainable Communities

Sustainable communities pertama kali diperkenalkan di Inggris merupakan salah satu agenda 21 pemerintah Inggris pada tahun 2005, yaitu dengan munculnya deklarasi Bristol Accord, 6 – 7 December 2005. Sustainable communities mampu menjamin pemenuhan beragam kebutuhan warga yang ada saat ini maupun di masa yang akan datang, sensitif terhadap kondisi lingkungan, dan mampu meningkatkan kualitas kehidupan yang lebih tinggi. Mereka aman dan inklusif, terencana, terbangun dan terus tumbuh, dengan konsep kesetaraan yang menawarkan kesempatan dan pelayanan yang baik bagi semua. (Bristol Accord , 2005:4)

Teori ini berkembang pada saat sustainable development, ternyata membutuhkan pemecahan kebijakan, pembangunan infrastruktur dan peranserta masyarakat di dalamnya. Sehingga muncullah konsep Global to Local.

Prinsip dasar dari teori ini adalah penataan sebuah lingkup kota yang didasarkan pada suatu karakter yang unik dari suatu kelompok masyarakat tertentu, yang digunakan sebagai potensi utama di dalam pengembangan perekonomian. Pada dasarnya tidak ada bentuk baku

16

Gambar 9. Prinsip Teori Sustainability Communities

(17)

di dalam penataan kota seperti ini namun paling tidak sebuah kota harus memiliki masyarakat :

 Active, Inclusive dan Save - Fair, toleran dan kohesif dengan budaya lokal yang kuat dan mau melaksanakan kegiatan komunitas bersama

 Well Run – masyarakat yang efektif dan inklusif, partisipatif dan memiliki jiwa kepemimpinan

 Well Connected - dengan layanan transportasi yang baik dan komunikasi yang menghubungkan antar fungsi yaitu

pekerjaan, sekolah, kesehatan dan layanan lainnya

 Well Served - dengan pelayanan publik yang prima dan terbuka baik bagi bagi swasta, komunitas sesuai dengan kebutuhan masyarakat

 Environmental Sensitive – memiliki kepekaan sosial dan lingkungan yang tinggi

 Thriving – mampu mengembangkan ekonomi lokal, beragam dan inovati

 Well Design and Built-Kualitas bangunan dan lingkungan sekitar dirancang dan dibangun dengan bagus

 Fair for Everyone- Jujur dan terbuka dengan sesame anggota masyarakat dan anggota komunitas lain baik sekarang maupun di masa yang akan datang

d. Sustainable Neighbourhood

Sustainable

Neighbourhood adalah Sebuah lingkungan yang berkelanjutan merupakan mix used area yang bercitarasakan

kemasyarakatan yang kuat, yaitu sebuah tempat di mana orang ingin tinggal dan bekerja, sekarang dan di

masa yang akan datang.

(www.mobilityweek-europe.org) Kedua jenis teori tersebut di atas sama-sama dikembangkan pada tataran lingkup yang semakin sempit, sebagai bagian dari upaya lebih semakin mengerucut di dalam

penanganan masalah

keberlanjutan suatu komunitas atau lingkungan.

(18)

sesuatu yang kecil, lingkungan binaan paling kecil yang diberdayakan dengan sebijaksana mungkin menggunakan kaidah-kaidah sustainability. Dengan penerapan di lingkungan yang paling kecil akan membentuk sebuah lingkungan yang bebas bergerak, bebas beraktiftas, bebas dan mudah bersosialisasi, dengan menggunakan energy dan sumber daya local yang lebih efsien

Sedangkan tujuan dan aplikasi dari teori ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

e. Sustainable Architecture

Pola konsentrasi pembangunan di perkotaan di Indonesia telah menyebabkan tingginya laju urbanisasi dan perkembangan kota – kota tsb secara tidak berkelanjutan (Unsustainable Urban Development) sehingga menyebabkan besarnya kebutuhan akan perumahan dan hunian Sebaliknya, praktek spekulasi lahan dan keterbatasan subsidi pemerintah untuk rumah – rumah sederhana telah membuat kesulitan pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Sustainable Architecture merupakan tataran yang jauh lebih mikro, yang mengatur tentang konsep keberlanjutan dari sisi single building. Arsitektur dengan diwakili oleh bangunan, juga ikut andil di dalam menyumbang efek rumah kaca. Gerakan ini sudah dimulai dari 1967, oleh Ian Mcharg, dengan design with nature, yang kemudian lebih dipertajam oleh Malcolm B. Wells di dalam thesisnya Gentle Architecture (1969) yang menunjukkan peran lingkungan sangat berpengaruh didalam perilaku desain yang dilakukan terhadap suhu ruangan (majalah Ruang Edisi 002, hal 14). Namun seiring dengan perkembangan teknologi, arsitektur sekarang tidak hanya sekedar teori Vitruvius yang hanya berpilar 3 : structure-fungsi-estetika, namun juga pelibatan teknologi didalamnya.

Beberapa kerangka “Sustainable Architecture” telah disampaikan berbagai pihak, tetapi mungkin yang terpenting ialah yang diungkapkan oleh UIA atau International Union of Architect pada Declaration of Interdependence for a Sustainable Future dalam UIA/AIA

World Congress of Architects

Chicago, 18-21 June 1993 yang merupakan manifesto profesi arsitek terhadap komitmen menjaga keberlanjutan sebuah lingkungan binaan serta Deklarasi Copenhagen pada 7 Desember 2009, yang berisikan tekad para arsistek didalam mengatasi global change dan efek rumah kaca. (http://www.uia-architectes.org). UIA (Union internationale des Architectes) adalah organisasi asosiasi arsitek non-proft yang mewakili lebih dari satu juta arsitek di 124 negara. Dalam Deklarasi Copenhagen tsb, UIA menyampaikan betapa bangunan dan industry konstruksi berdampak kepada perubahan iklim yang terjadi saaat ini. Dan berbagai dampak ini dapat dikurangi dengan menentukan bentuk sistem lingkungan binaan (“builtenvironment”).

(19)

a. Sustainable by Design (SbD) dimulai pada tahapan awalpro yek dan melibatkan komitmen seluruh pihak: klien,desainer,

insinyur, pemerintah, kontraktor, pemilik, pengguna, dan komunitas;

b. SbD harus mengintegrasikan semua aspek dalam konstruksi dan penggunaannya di masa depan berdasarkan “Full Life Cycle Analysis and Management” (Analisa dan Manajemen

sepenuhnya dari Daur Hidup Bangunan);

c. SbD harus mengoptimalkan efsiensi melalui desain.

Penggunaan energi terbarukan, teknologi modern dan ramah lingkungan harus diintegrasikan dalam praktek penyusunan konsep proyek tsb

d. SbD harus menyadari bahwa proyek – proyek arsitektur dan perencanaan merupakan sistem interaktif yang kompleks dan terkait pada lingkungan sekitarnya yang lebih luas, mencakup warisan sejarah, kebudayaan dan nilai – nilai sosial

masyarakatnya;

e. SbD harus mencari “healthy materials” (material bangunan yang sehat) untuk menciptakan bangunan yang sehat, tataguna lahan yang terhormat secara ekologis dan sisual, dan kesan estetik yang menginspirasi, meyakinkan dan memuliakan;

f. SbD harus bertujuan untuk mengurangi “carbon imprints”, mengurangi penggunaan material berbahaya, dan dampak kegiatan manusia, khususnya dalam lingkup lingkungan binaan, terhadap lingkungan

g. SbD terus mengusahakan untuk meningkatkan kualitas hidup, mempromosikan kesetaraan baik lokal maupun global

memajukan kesejahteraan ekonomi, serta menyediakan

kesempatan – kesempatan untuk kegiatan bersama masyarakat dan pemberdayaan masyarakat;

h. SbD mengenal juga keterkaitan lokal dan sistem planet bum yang mempengaruhi segenap umat manusia. SbD juga mengakui bahwa populasi urban tergantung pada sistem desakota yang terintegrasi, saling terkait untuk

keberlangsungan hidupnya (air bersih, udara, makanan, tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, kebudayaan dan lain – lain);

i. SbD juga mendukung pernyataan UNESCO mengenai

(20)

BAB III PEMBAHASAN,

Dari berberapa konsep tentang sustainability sebelumnya, pada umumnya konsep sustainability cocok untuk dilaksanakan di setiap kota, tidak hanya di dunia, namun juga di Indonesia. Hal ini dilator belakangi permasalahan yang dihadapi oleh kota-kota hampir sama, yaitu pertumbuhan kota secara tak terkendali, kebutuhan lahan dan terbatasnya energy dan sumber daya lingkungan

Untuk lebih jelasnya perlu dikaji tentang kemapuan kota-kota di Indonesia di dalam penyediaan Sumber Daya sebagai bagian dari Ecology Footprint Nasional. Dari data tersebut akan terlihat bahwa banyak kota-kota terutama di Jawa sebetulnya sudah melebihi ambang batas, sehingga perlu dilaksanakan penerapan konsep sustainability desain. Sebagai satu bagian yang komprehensif, tentu saja Sustainable Development sebagai konsep utama selalu dijadikan patokan untuk konsep-konsep sustainability di bawahnya, seperti sustainability cities, communities, neighbourhood maupun architecture.

3.1 Analisis terhadap konsep Sustainable Development di Indonesia

Pelaksanaan Sustainable Development di Indonesia sendiri termasuk terlambat, meskipun pada akhirnya Pemerintah mengikuti dan meratifkasi setiap kebijakannya disesuaikan dengan perkembangan dari dalam negeri maupun dari kebijakan luar negeri. Pergantian pemimpin dan kondisi social politik sangat berpengaruh di dalam pelaksanaannya. Tingkat kepedulian pengelolaan lingkungan hidup dalam peraturan perundang-undangan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti : situasi politik, sosial budaya dan ekonomi, kualitas sumber daya manusia sampai globalisasi (Saifullah, 2010).

(21)

Sustainable Development ini merupakan sebuah langkah yang ditempuh oleh negara-negara industry maju yang telah kehilangan kemampuan untuk menperbarui sumber daya alam terutama minyak bumi sebagai krisis global tahun 1960-1970. Mereka berusaha mengajak negara-negara berkembang yang masih memiliki sumber daya alam yang melimpah untuk mau berbagi, sebuah smart alibi di dalam mengakali sustainable industry yang mereka jalankan. Pembangunan yang dilaksanakan oleh negara-negara berkembang mereka control dengan berbagai protocol disaat industry yang mereka kembangkan mulai berkembang. Berbagai alasan berkedok investasi banyak dijalankan pada awal-perkembangan program ini, dengan memberikan teknologi dibarter dengan ketersediaan sumber daya alam yang mereka punyai

Pada tahun 1960-1970-an sebenarnya Indonesia Indonesia memulai reformasi ekonomi di bawah rezim"Orde Baru" yaitu dengan model sentralistik namun sudah berkomitmen untuk mempromosikan industrialisasi. Meskipun Indonesia memulai reformasi ekonomi satu dekade lebih awal dari Cina lakukan di tahun 1978, kebijakan rezim orde baru kurang konsisten dalam menangani kualitas pertumbuhan ekonomi. Pendapatan yang dihasilkan dengan mengeksploitasi sumber daya alam seperti minyak dan hutan, penggunaan dananya sangat tidak bijaksana yaitu untuk investasi dalam meningkatkan kemampuan teknologi. (Zhang, 2004). Krisis minyak bumi pada tahun 1973 dan 1979 semakin menempatkan Indonesia sebagai tujuan investasi negera-negara industri, dengan tujuan utama mendapatkan izin pengelolaan sebesar-besarnya.

Kebijakan pembangunan secara sentralistik dan fragmentik selama kurun waktu 30 tahun selama orde baru menyisakan banyak sekali permalahan pelik. Pembangunan hanya bagus sebatas tampilan di atas kertas, namun lingkungan dan demokratisasi ikut diberangus. Hutang luar negeri menumpuk, investor yang masuk sama rakusnya dengan pemegang kebijakan. Sumber daya alam dikuras habis, menyisakan permasalahan bagi anal cucu di kemudian hari. Hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip sustainable development yang telah dimulai PBB tahun 1972.

(22)

Indonesia di masa depan. Dokumen ini mencakup aspek pelayanan masyarakat, pengelolaan limbah, pengelolaan sumber daya tanah dan pengelolaan sumber daya alam.

Dalam perkembangan selanjutnya, Indonesia semakin aktif di dalam mengikuti dan meratifkasi kebijakannya ke arah sustainable development, dari mulai protocol Kyoto hingga yang terakhir sebagai tuan rumah KTT Institutional Framework of Sustainability Development di Solo. Indonesia juga telah menggunakan MDG’s , sebagai salah satu instrument di dalam sustainability development. Hasil dari laporan MSG’s tahun 2010 yang dikeluarkan Bappenas, menyebutkan yang telah dicapai baru 3 sasaran, yang yang telah menunjukkan kemajuan signif kan dan diharapkan dapat tercapai pada tahun 2015 (on-track) ada 5 sasaran, dan yang menunjukkan kemajuan namun masih perlu usaha yang keras ada 4 sasaran. Peningkatan PDRB dan kualitas lingkungan penting dan berpengaruh bagi keberhasilan pembangunan, oleh karena itu Indonesia harus tetap konsisten dalam menjalankan program pembangunan yang berkelanjutannya, demi pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang.

3.2 Analisis terhadap konsep Sustainable Cities di Indonesia Konsep Sustainable cities telah dilaksanakan di bebrapa kota di Indonesia, hasilnya tentu saja banyak yang kurang berhasil akibat dari tumpang tindihnya aturan terutama dalam penataan ruang, serta ego sektoral yang masih tinggi. Namun Kota Surabaya pada tahun 2011 Kota Surabaya menjadi satu di antara 10 kota dari 10 negara anggota ASEAN yang menerima penghargaan sebagai Kota Berkelanjutan. ( Kompas, 23 November 2011) Kriteria didasarkan pada kualitas air bersih, udara bersih, dan kebersihan lingkungan. Sebanyak 9 kota lainnya yang menerima penghargaan Kota Berkelanjutan Environmentally Sustainable City/ESC Award) meliputi National Housing Scheme Rimba (Brunei), Pnom Penh (Kamboja), Xamneau (Laos), Putrajaya (Malaysia), Pyin Oo Lwin (Myanmar), Puerto Princesa (Filipina), South West CDC (Singapura), Phuket (Thailand), dan Danang (Vietnam).

3.3 Analisis terhadap konsep Sustainable Communities dan Sustainable Neighbourhood di Indonesia

Konsep seperti ini masih jarang dipergunakan di Indonesia, padahal dari karakter bangsa Indonesia yang senang bergotong royong dan memiliki semangat kebersamaan yang tinggi tentu saja menjadi modal yang besar. Factor penghambatnya adalah dalam bentuk peraturan dan regulasi yang harus disiapkan secara komprehensif dari atas sebagai paying hokum. Jika tidak akan muncul aglomerasi dan ketimpangan yang tinggi dari setiap bagian yang ada.

Best practice yang ada saat ini adalah program PNPM, sebagai program pemberdayaan masyarakat, namun tingkatan PNPM haya sebagai program pemberdayaan, belum menjadi guide line dalam penataan suatu kawasan terpilih.

(23)

3.4 Analisis terhadap konsep Sustainable Architecture di Indonesia

Di Indonesia Berkembangnya, gerakan “GreenArchitecture”, “Eco-Architecture” atau “Sustainable Architecture”, telahmemberikan warna pada Indonesia sejak tahun 1980-an setelah berkiprahnya arsitek– arsitek yang ingin menerapkan“Eco- Architecture” seperti: Y.B. Mangun Wijaya,Heinz Frick dan Jimmy Priatman. Kemudian generasi kedua “Eco-Architecture” di Indonesia muncul pada tahun 1990-an di antaranya Eko Prawoto,Ridwan Kamil, Budi Faisal, Andry Widyowijatnoko, dll._ yang menunjukkan mulai adanya kesadaran Arsitek untuk memperhatikan lingkungan hidup dalam mendesain bangunan kreativitas sangat diperlukan oleh umat manusia.

Indonesia juga telah mendirikan GREEN BUILDING COUNCIL

INDONESIA pada tanggal 15 Juni 2008 oleh 7 inisiator dan 44 core founder, sebagian besar dari kalangan

profesional pelaku industri konstruksi (dari berbagai profesi; arsitek, ME engineer, arsitek lansekap, interior desainer, facility managerm). GBC Indonesia merupakan salah satu dari 37 negara yang sudah tergabung di WGBC; memiliki komitmen untuk menerapkan dan mempromosikan pembangunan yang ramah lingkungan. Pada tanggal 9 September 2009, bergabung 21 perusahaan (terdiri dari pengembang, kontraktor, industri bahan bangunan, penyedia energi; baik perusahaan mul_ nasional, nasional dan badan usaha milik negara). Misi utama dari GBC Indonesia adalah promosi dan mengawal transformasi pasar, mengampanyekan kepada industri dan masyarakat luas, membentuk forum dan dialog, membangun komunitas, dan menyiapkan perangkat dan tenaga ahli untuk menilai bangunan ramah lingkungan.

Sebagai mana diketahui Di seluruh dunia, bangunan menyumbangkan 33% emisi CO2, mengonsumsi 17% air bersih, 25% produk kayu, 30-40% penggunaan energi dan 40-50% penggunaan bahan mentah untuk pembangunan dan pengoperasiannya (sumber: World Green Building Council). Sering kali bangunan (dan infrastruktur), dalam skala kecil maupun besar, merupakan suatu tolok ukur kesuksesan pembangunan ekonomi), sehingga bangunan sering ipergunakan sebagai simbol kesuksesan. masyarakat urban di seluruh dunia menghabiskan 90% aktunya di dalam bangunan (rumah, kantor, tempat kerja, sekolah, pusat perbelanjaan, dan lain-lain).

Gambar 11. Organisasi dalam Sustainable Architecture

(24)

3.5. Against Sustainability

Pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) sebagai sebuah teori besar, kemudian mulai diikuti oleh teori-teori lain dengan tema yang sama namun lebih spesifk. Namun dari tinjauan kali ini hanya dibatasi pada perkembangan teori sustainable berkelanjutan berdasarkan pada tataran rancang kota, serta hubungannya dengan teori-teori perencanaan kota dan arsitektur. Namun tidak sepenuhnya sustainable diartikan positif. Banyak sekali pembangunan yang mengklaim pro-sustainable, yang layaknya sebuah mantra untuk memasarkan dagangan dalam meyakinkan masyarakat. Material Sustainable, komunitas sustainable, desain sustainable, gaya hidup sustainable, turisme sustainable, kota sustainable, makanan sustainable. Politik sustainable? Sustainable telah digunakan, digunakan secara berlebihan dan bahkan disalahgunakan hingga makna nya sendiri selalu berubah setiap saat. Banyak sekolompok bangunan berpuluh ribu meter persegi sekonyong-konyong disebut proyek sustainable karena mampu mengoptimasi energy tapi dampaknya dalam skala urban, proyek tersebut mengundang ratusan penggunaan kendaraan bermotor

yang keluar masuk kota yang justru menghabiskan banyak energi, dalam hal ini bahan bakar fosil dan emisi. Inilah semangat against sustainability yang marak berkembang di kota-kota, termasuk juga di Indonesia.

BAB 4

(25)

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 Kesimpulan

Dari beberapa perkembangan terhadap teori perancangan berkelanjutan, dapat kesimpulan sebagai berikut :

a. Kota-kota di dunia sedang menghadapi permasalahan yang besar tentang perkembangannya yang tidak terkontrol

b. Penduduk dunia semakin bertambah, semakin dibutuhkan lahan untuk hunian, yang notabene sebagai kebutuhan pokok manusia namun sampai saat ini masih tergerus terhadap perkembangan ekonomi

c. Sumber daya alam yang tersedia semakin menipis, jejak ekologis yang dilakukan oleh kota-kota semakin besar dan tidak terkendali

d. Susustainability sebagai sebuah konsep besar dari sustainable development hadir sebagai penawar solusi terhadap permasalahan ekologis yang ada, dan kemudian berkembang pesat sevara konseptual menjadi berbagai macam teori, termasuk perencanaaan kota dan arsitektur.

e. Pendekatan teoritis bermacam yang dipergunakan, salah satunya dengan perndekatan ruang lingkup perencanaan, sebagaimana konsep teori Mikro (arsitektur)-Mezzo (urban Design) dan-Makro (Urban Planning), yang terdiri atas Sustainability architecture-Neighbourhood-Communitie-Cities-Development.

4.2 Rekomendasi

a. Konsep sustainability ini menjadikan equity sebagai konsep utama. Hal ini bisa merupakan sebuah hikmah sekaligus musibah bagi bangsa Indonesia yang memiliki cadangan sumber daya alam melimpah, paling tidak hingga saat ini. Konsep equity ini bisa jadi menjadikan daya tawar, daya saing Indonesia di mata dunia sangat tinggi,, namun pada kenyatannya, Indonesia “dipaksa”

(26)

daya alam yang ada, disaat bangsa industry sudah bersusah payah.

b. Jika tidak, bisa dipastikan Indonesia akan semakin terpuruk dan tertinggal, karena bangsa-bangsa lain di dunia sudah mulai untuk melakukan sustainability.

DAFTAR PUSTAKA

Budihardjo, Eko, Djoko Sujarto, Kota Berkelanjutan (Sustainable City), Alumni, Bandung, 1999

Chair’s Summary High Level Dialogue on Institutional Framework for Sustainable Development, 19 – 21 July 2011, Solo – Indonesia

http://www.uncsd2012.org/rio20/content/documents/Chairs %20Summary%20f rom%20Solo%20meeting.pdf, Juli 2010

Church, Chris, Sustainable Neighbourhoods a UK urban perspective, CEA , 2005

Dari Krisis Menuju Keberlanjutan, Meniti Jalan Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia, Pengkajian Nasional Terhadap Pelaksanaan Agenda 21 Indonesia, www.irwantoshut.co.cc

Departemen Pekerjaan Umum, Kajian Telapak Ekologis di Indonesia, Jakarta, 2010

Darmawan, Edy, Ir, M.Eng, Teori Dan Implementasi Perancangan Kota, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2003

Heryanto, Bambang, Roh dan Citra Kota, Brilian Internasional, Surabaya, 2011

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Laporan

Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2010,

2010

Michael W Zhang and N S Cooray, Sustainable Industrialisation in Large Developing Economies China and Indonesia Compared,

http://www.ias.unu.edu/binaries2/IASWorkingPaper108.doc. February 2004

Sachdeva, Pradeep , A Tale For Many Cities, The Times of India, NewDelhi, January 25, 2012

(27)

Tanuwidjaja, Gunawan, QUO VADIS KOTA – KOTA BESAR DI INDONESIA: MENYUSUN

STRATEGI REVITALISASI KOTA YANG LEBIH BERKELANJUTAN DI INDONESIA, 2010

Saville-Smith, K., Lietz, K., Bijoux, D. and Howell, M NEIGHBOURHOOD SUSTA INABILITY

FRAMEWORK: PROTOTYPE, Beacon Pathway Limited8 , New Zealand, 2005

Saifullah, Paradigma Pembangunan Lingkungan Hidup Di Indonesia, http://www.uin- malang.ac.id/index.php?

option=com_content&view=article&id=1629:paradigma

-pembangunan-lingkungan-hidup&catid=36:kolom-pr2, September 2010

The International Union of Architects, Copenhagen Declaration, 7 DECEMBER 2009 www.uia-architectes.org

The Office of the Deputy Prime Minister. Bristol Accord, Conclusions of Ministerial Informal on Sustainable Communities in Europe, Bristol, 6 – 7 December 2005

Web site: www.odpm.gov.uk

Watson, Donald, et. All Time-Saver Standards For Urban Design, The McGraw-Hill Companies, USA, 2003

Willis, Katie, Theories and Practicesof Development, Routledge, 2005

(28)

8111 9 20 1

Gambar

Gambar 3. Ecology Footprint
Gambar 3. Ecology
Gambar 5. Tataran administrativekeruangan  yang  ada,  perlukiranyaarsitektur,  namun  seiring  dengan  adanya  wadah  teori  berupasustainability,  kemudian  lahirlah  berbagai  macam  teori  pengikutyang  lingkupnya  semakin  mengerucut  sebagai  aplikas
Gambar 7. Skema abstainuSitecturchle Aabstainu Sodorhbheigle NabstainuSities nuomle CabstainuitiesSle Cabstainut Senmevelople Dsederhana SustainableBrundtland
+3

Referensi

Dokumen terkait

Zbog toga epoksidne smole imaju najbolja svojstva prilikom izrade konstrukcija koje se koriste u vodi i moru [2]... Slika 7 - Dijagram prekidnog naprezanja-deformacija tri vrste

Pada tanggal tersebut peneliti berkonsultasi mengenai penelitian yang akan dilaksanakan, jadwal pelajaran matematika pada kelas VII D dan VII E, meminta data nilai

Sesuai dengan nilai ambang batas yang telah ditetapkan oleh MENLH (2004) yaitu lebih kecil atau sama dengan 5 ppm kandungan minyak yang terdapat di Perairan Bungus

Penerapan media lembar balik flanel yang digunakan untuk pembelajaran mengenal bilangan 1 sampai 10 siswa tunagrahita kelas 1 SDLB dilaksanakan sesuai dengan RPP

Uraian wawancara pada subjek, menunjukkan bahwa penyebab perilaku konsumtif dalam membeli produk Korea yang dilakukan oleh mahasiswa UNISSULA tidak hanya karena

Berdasarkan uraian diatas penulis mengangkat permasalahan mengenai Tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah terhadap beredarnya produk pasta gigi yang mengandung bahan

Menurut Malhotra (2005) alasan penerapan manajemen pengetahuan di perusahaan dilatarbelakangi oleh 1)peningkatan persaingan pasar dan tingkat inovasi 2)penghematan

Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi yang selanjutnya disebut retribusi adalah pembayaran atas pemanfaatan ruang untuk Pembangunan Menara Telekomunikasi dan