• Tidak ada hasil yang ditemukan

farmakologi dan terapi II. docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "farmakologi dan terapi II. docx"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

LEMBAR KERJA

1. KLARIFIKASI KATA SULIT KS :

- IMUNODULATOR

- IMUNOSUPRESSIVE - ALERGI

- SISTEM IMUN/ANTIBODI

- ANTIGEN

- ADJUVAN

KK :

- IMUNODULATOR

- HISTAMIN - ALERGI

2. PROBLEM KUNCI

a. Penyakit terkait imunodulator

b. Imunodulator sebagai terapi yang menjanjikan c. Imunodulator sebagai terapi adjuvant

3. PERTANYAAN PERTANYAAN PENTING 1. Definisi imunodulator dan system imun 2. Pengertian imunodulator sebagai adjuvant 3. Contoh-contoh imunodulator

4. Golongan obat golongan imunodulator 5. Persyaratan untuk imunodulator

6. Contoh penyakit yang berkaitan dengan imun 7. Mekanisme kerja imunodulator pada alergi 4. Jawaban

(2)

Imunodulator adalah senyawa yang dapat meningkatkan system kekebalan tubuh dan dapat digunakan sebagai adjuvant sebagai terapi system imun (Pangkalan ide. Dark chocolate healing. 2008 : 188)

Terapi Imunopotensiasi adalah upaya pengobatan untuk memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem imun. Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non spesifik, dan terjadi induksi non spesifik baik mekanisme pertahanan seluler maupun humoral (Children Allergy Centre.co.id).

Imunomodulator adalah obat yang dapat mengembalikan dan memperbaiki sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan yang fungsinya berlebihan. Sistim imun terbagi atas dua jenis, yaitu sistim imun kongenital atau nonspesifik dan sistim imun didapat atau adaptive atau spesifik. Mekanisme pertahanan tubuh oleh sistim imun kongenital bersifat spontan, tidak spesifik, dan tidak berubah baik secara kualitas maupun kuantitas bahkan setelah paparan berulang dengan patogen yang sama. Imunomodulator digunakan pada pasien dengan gangguan imunitas, antara lain pada kasus keganasan, HIV/AIDS, malnutrisi, alergi, dan lain – lain. (Gemmy nastity. Al-fikr Vol 1 Nomor 1 Tahun 2010. 150)

(3)

tersebut untuk menimbulkan efek samping. (Imunomodulator pada Penyakit Alergi. Diana Krisanti Jasaputra Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha. Hal 1).

Penggunaan imunodulator juga dapat sebagai adjuvant artinya dapat digunakan bersamaan dengan obat untuk meningkatkan kerja obat dengan meningkatkan antibody. (dark chocolate healing. 2008 : 188).

Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non spesifik, dan terjadi induksi non spesifik baik mekanisme pertahanan seluler maupun humoral. Pertahanan non spesifik terhadap antigen ini disebut paramunitas, dan zat berhubungan dengan penginduksi disebut paraimunitas. Induktor semacam ini biasanya tidak atau sedikit sekali kerja antigennya, akan tetapi sebagian besar bekerja sebagai mitogen yaitu meningkatkan proliferasi sel yang berperan pada imunitas. Sel tujuan adalah makrofag, granulosit, limfosit T dan B, karena induktor paramunitas ini bekerja menstimulasi mekanisme pertahanan seluler. Mitogen ini dapat bekerja langsung maupun tak langsung (misalnya melalui sistem komplemen atau limfosit, melalui produksi interferon atau enzim lisosomal) untuk meningkatkan fagositosis mikro dan makro (Gambar 1). Mekanisme pertahanan spesifik maupun non spesifik umumnya saling berpengaruh. Dalam hal ini pengaruh pada beberapa sistem pertahanan mungkin terjadi, hingga mempersulit penggunaan imunomodulator, dalam praktek.

(4)

1) Immediate phase, ditandai oleh terdapatnya komponen sistim imun kongenital (makrofag dan neutrofil), yang beraksi langsung terhadap pathogen tanpa diinduksi. Jika mikroorganisme (m.o) memiliki molekul permukaan yang dikenali oleh fagosit (makrofag dan neutrofil) sebagai benda asing, akan diserang atau dihancurkan secara langsung. Bila m.o dikenali sebagai antibodi, maka protein komplemen yang sesuai yang berada diplasma akan berikatan dengan m.o, kompleks ini kemudian dikenal sebagai benda asing oleh fagosit dan kemudian diserang atau dihancurkan.

2) Acute-phase proteins atau early phase, muncul beberapa jam kemudian, diinduksi, tetapi masih bersifat nonspesifik, timbul bila fagosit gagal mengenalm.o melalui jalur diatas. M.o akan terpapar terhadap acute-phase proteins (APPs) yang diproduksi oleh hepatosit dan kemudian dikenali oleh protein oleh fagosit dan diserang serta dihancurkan.

3) Late phase, merupakan respon imun didapat timbul 4 hari setelah infeksi pertama, ditandai oleh clonal selection limfosit spesifik. Pada fase ini dibentuk molekul dan sel efektor pertama.

2. Mekanisme imunodulator

(5)

Gambar 1.mekanisme stimulant imun non spesifik

3. Contoh-contoh imunodulator a. Imunostimulan biologik

Nukleotida

Nukleotida terdapat pada air susu ibu. Akhir-akhir ini banyak susu formula yang diberi suplementasi nukleotida. Pada penelitian uji banding kasus yang dilakukan pada bayi, satu kelompok diberikan susu ibu atau susu formula yang disuplementasi nukleotida, dibandingkan dengan kelompok yang diberikan susu formula tanpa nukleotida, ternyata terdapat peningkatan aktifitas sel NK pada bayi-bayi yang diberi susu ibu dan formula dengan nukleotida dibandingkan bayi-bayi yang diberi susu formula tanpa nukleotida. Peneliti yang sama mendapatkan peningkatan produksi IL-2 oleh sel monosit pada kelompok yang diberi susu formula dengan nukleotida. Nukleotida juga mengaktifkan sel T dan sel B.

Kolostrum

Kolostrum mengandung “interferon like substance”, dapat menyebabkan aktifasi sitotoksisitas leukosit. Kolostrum juga mengandung makrofag yang berfungsi sebagai penyimpan dan pengangkut imunoglobulin.

(6)

Gonadotropin-releasing hormone meningkatkan pertumbuhan makrofag, sel T dan merangsang sumsum tulang, serta meningkatkan GM-CSF. Pada percobaan binatang yang mengalami imunodefisiensi dengan meningkatkan CD4 T limfosit dan kadar serum IgG total, sedangkan growth hormone

Hormon timus

Hormon timus berperan dalam sel T dan modulasi sel T yang sudah matang. Ada empat macam hormon timus, yaitu timosin a, timolin, timopoietin, dan faktor timus humoral. Hormon tersebut digunakan untuk memperbaiki gangguan fungsi sistem imun pada keadaan usia lanjut, kanker, autoimun, dan kegagalan sistem imun pada pengobatan dengan imunosupresan. Pada kasus tersebut pemberian hormon timus menimbulkan peningkatan jumlah dan fungsi reseptor sel T serta beberapa aspek imunitas selular. Efek samping yang mungkin timbul seperti pemberian hormon yang lain adalah reaksi alergi lokal maupun sistemik.

Limfokin

Limfokin atau sitokin dihasilkan oleh limfosit yang mengalami aktivasi. Ada beberapa limfokin antara lain faktor aktivasi makrofag (MAF), faktor pertumbuhan makrofag (MGF), faktor pertumbuhan sel T (IL-2), faktor stimulasi koloni (CSF), interferon gamma. Faktor yang dihasilkan oleh makrofag misalnya faktor nekrosis tumor (TNF). IL-2 dan TNF telah dapat dibuat dengan bioteknologi genetika. TNF pada percobaan dapat menyembuhkan beberapa tumor pada tikus. Gangguan sintesis IL-2 ada kaitannya dengan kanker, AIDS, usia lanjut dan penyakit autoimun.

Interferon

(7)

antibodi serta merangsang sistem imun yaitu meningkatkan aktivitas membunuh sel NK, makrofag dan sel T. Efek sampingnya adalah demam, malaise, mialgia, mual, muntah, mencret, leukopenia, trombositopenia, dan aritmia.

Antibodi monoklonal

Antibodi monoklonal diproduksi secara rekayasa bioteknologi. Dengan cara ini akan dihasilkan antibodi dalam jumlah banyak terhadap epitop tunggal antigen yang dikehendaki. Penggunaannya bersama radioisotop, toksin atau obat lain terutama pada pengobatan neoplasma. Antibodi monoklonal dapat mengikat komplemen untuk membunuh sel tumor manusia dan tikus pada percobaan in vivo.

Bahan dari jamur

Bahan yang dapat diisolasi dari jamur antara lain lentinan, krestin dan schizophyllan. Efek imunostimulasinya adalah meningkatkan fungsi makrofag. Krestin dan lentinan sebagai imunostimulator nonspesifik telah banyak digunakan pada pengobatan kanker.

Bahan dari bakteri

1. Corynebacterium parvum Corynebacterium parvum adalah kuman Gram positif. Digunakan sebagai imunostimulator dalam bentuk suspensi kuman yang telah dimatikan dengan pemanasan. Dalam klinik digunakan untuk mencegah pertumbuhan tumor dan mengurangi metastasis.

2. Lactobacillus acidophilus Dalam penelitian merupakan dapat menyebabkan pergeseran pola Th-2 ke arah Th-1 walaupun hanya secara lemah meningkatkan IFN-g.

3. Endotoksin Endotoksin merupakan lipopolisakarida, komponen dari dinding sel bakteri gram negatif seperti E. coli, shigela, dan salmonela. Sebagai imunomodulator diketahui dapat merangsang penggandaan sel B maupun sel T dan mengaktifkan makrofag. Masih bersifat eksperimen karena bersifat pirogenik dan imunogenik.

(8)

Echinacea

Farmakodinamik Echinacea adalah peningkatan fagositosis sel granulosit manusia in vitro Levamisol Dalam klinik lazim dipakai sebagai obat cacing, dan sebagai imunostimulan levamisol berkhasiat untuk meningkatkan penggandaan sel T, menghambat sitotoksisitas sel T, mengembalikan anergi pada beberapa kanker (bersifat stimulasi nonspesifik), meningkatkan efek antigen, mitogen, limfokin dan faktor kemotaktik terhadap limfosit, granulosit dan makrofag. Penggunaan klinisnya untuk mengobati artritis reumatoid, penyakit virus, lupus eritematosus sistemik, sindrom nefrotik. Diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgBB per oral selama 2 minggu, kemudian dosis pemeliharaan beberapa hari per minggu. Efek samping yang harus diperhatikan adalah mual, muntah, urtikaria, dan agranulositosis.

Isoprinosin Sebagai imunostimulator isoprinosin berkhasiat meningkatkan penggandaan sel T, meningkatkan toksisitas sel T, membantu produksi IL-2 yang berperan dalam diferensiasi limfosit dan makrofag, serta meningkatkan fungsi sel NK. Diberikan dengan dosis 50 mg/kgBB. Perlu pemantauan kadar asam urat darah karena pemberian isoprinosin dapat meningkatkan kadar asam urat.

Muramil dipeptida (MDP) MDP adalah komponen aktif terkecil dari dinding sel mikobakterium. Bahan tersebut kini dapat dibuat secara sintetik. Sebagai imunostimulan berkhasiat meningkatkan sekresi enzim dan monokin, serta bersama minyak dan antigen dapat meningkatkan respons selular maupun humoral. Dalam klinik telah banyak digunakan untuk pencegahan tumor dan infeksi sebagai ajuvan vaksin.

(9)

imunopotensiasi bermula dari pengamatan bahwa penderita tuberkulosis kelihatan lebih kebal terhadap infeksi oleh jasad renik lain. Dalam imunomodulasi BCG digunakan untuk mengaktifkan sel T, memperbaiki produksi limfokin, dan mengaktifkan sel NK.

Toksin kolera Toksin kolera subunit B yang berikatan dengan antigen presenting cell mengaktifasi produksi sitokin oleh sel T.

LW50020 LW50020 adalah suatu imunomodulator bakteria yang kini sedang dalam penelitian, merupakan preparat beberapa bacteria yang biasanya menyebabkan infeksi saluran nafas, bila diberikan per oral dapat meningkatkan mekanisme pertahanan paru dengan meningkatkan migrasi limfosit lamina propria dan limfosit Peyer’s patch. Penelitian ini dilakukan pada hewan coba BALG/c mice.

N,N’-Diacetyl-1 Cystein N,N’-Diacetyl-1 Cystein adalah suatu dimmer disulfit

dari N-acetylcystein pada penelitian dengan hewan percobaan BALB/c meningkatkan sel CD8+ dan sensitifitas kontak.

Acemannan Acemannan adalah suatu b(1,4)-linked acetylated mannan, mempunyai kasiat antivirus, diketahui menyebabkan aktivasi makrofag dan dengan IFN-g menyebabkan apoptosis sel RAW264.7 melalui mekanisme inhibisi ekspresi bcl-2. Pada penelitian lain acemannan meningkatkan sintesis NO. Kenaikan ini didahului dengan peningkatan ekspresi mRNA NO synthase. Diduga prosesnya melalui peningkatan NO synthase pada tingkat transkripsi.

Polifenol Polifenol adalah zat aktif dari teh hitam Cammelia sinensis assamica

mempunyai khasiat imunopotensiator yaitu menaikkan aktifitas makrofag, sel blast dan limfosit T sitotoksisitas.

(10)

 Imunoterapi spesifik. Imunoterapi spesifik adalah pemberian alergen dalam dosis rendah meningkat berjenjang dengan ekstrak alergen yang sensitif terhadap penderita. Saat ini yang diberikan adalah ekstrak alergen hirupan dan bisa/sengat. Modulasi imun yang ditimbulkan adalah merubah keseimbangan Th-1/Th-2 kearah Th-1. Pada beberapa penelitian imunoterapi meningkatkan IL-2 dan IFN-g, menurunkan IL-4, IL-5 dan IL-13. Penelitian lain menunjukkan peningkatan IgG4 dan menurunkan IgE. Kombinasi imunoterapi dengan kortikosteroid menimbulkan modulasi imun lebih kuat ke arah Th-1. Kortikosteroid menurunkan IL-5 lebih banyak, menyebabkan modulasi imun peningkatan IL-2 lebih kuat. (children allergy centre.co.id)

4. Golongan imunodulator

Untuk memperbaiki sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan yang fungsinya berlebihan.5

Obat golongan imunomodulator bekerja menurut 3 cara, yaitu melalui5: - Imunorestorasi

- Imunostimulasi - Imunosupresi

Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau up regulation, sedangkan imunosupresi disebut down regulation.5

A. Imunorestorasi

Ialah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun, seperti: immunoglobulin dalam bentuk Immune Serum Globulin (ISG), Hyperimmune Serum Globulin (HSG), plasma, plasmapheresis, leukopheresis, transplantasi sumsum tulang, hati dan timus.

(11)

jumlah besar, misalnya pada sindrom nefrotik, limfangiektasi intestinal, dermatitis eksfoliatif dan luka bakar.

2. Plasma

Infus plasma segar telah diberikan sejak tahun 1960 dalam usaha memperbaiki sistem imun. Keuntungan pemberian plasma adalah semua jenis imunoglobulin dapat diberikan dalam jumlah besar tanpa menimbulkan rasa sakit

3. Plasmapheresis

Plasmapheresis (pemisahan sel darah dari plasma) digunakan untuk memisahkan plasma yang mengandung banyak antibodi yang merusak jaringan atau sel, seperti pada penyakit: miastenia gravis, sindroma goodpasture dan anemia hemolitik autoimun.

4. Leukopheresis

Pemisahan leukosit secara selektif dari penderita telah dilakukan dalam usaha terapi artritis reumatoid yang tidak baik dengan cara-cara yang sudah

B. Imunortimulasi

Imunostimulasi yang disebut juga imunopotensiasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut. Biological Response Modifier (BRM) adalah bahanbahan yang dapat merubah respons imun, biasanya meningkatkan (Gemmy nastity. Al-fikr Vol 1 Nomor 1 Tahun 2010. 151).

5. Menurut WHO, imunomodulator haruslah memenuhi persyaratan berikut:  Secara kimiawi murni atau dapat didefinisikan secara kimia.

 Secara biologik dapat diuraikan dengan cepat  Tidak bersifat kanserogenik atau ko-kanserogenik.

 Baik secara akut maupun kronis tidak toksik dan tidak mempunyai efek samping farmakologik yang merugikan.

 Tidak menyebabkan stimulasi yang terlalu kecil ataupun terlalu besar. Dasar fungsional paramunitas

(12)

2) Menstimulasi limfosit (yang berperan pada imunitas tetapi belum spesifik terhadap antigen tertentu), terutama mempotensiasi proliferasi dan aktivitaslimfosit.

3) Mengaktifkan sitotoksisitas spontan.

4) Induksi pembentukan interferon tubuh sendiri.

5) Mengaktifkan faktor pertahanan humoral non spesifik (misalnya sistemkomplemen properdin-opsonin).

6) Pembebasan ataupun peningkatan reaktivitas limfokin dan mediator atauaktivator lain.

7) Memperkuat kerja regulasi prostaglandin.

Immunomodulator membantu memperbaiki sistem kekebalan tubuh atau menenangkan sistem kekebalan yang over aktif. Namun immonomodulator tidak meningkatkan sistem kekebalan seperti yang dilakukan oleh immunostimulant (seperti contohnya Echinacea). Immunomodulator direkomendasikan untuk orang-orang dengan penyakit autoimun dan secara luas digunakan pada penyakit-penyakit kronik untuk mengembalikan sistem kekebalan dalam rangka membantu orang-orang yang mengkonsumsi antibiotik atau terapi anti virus jangka panjang (termasuk terapi antiretroviral untuk pengobatan HIV). Immunomodulator bekerja dengan cara menstimulasi sistem pertahanan natural atau adaptif, seperti contohnya mengaktifkan sitokin yang secara alamiah akan membantu tubuh dalam memperbaiki sistem kekebalan tubuh

Golongan sterol dan sterolin yang berasal dari tumbuh-tumbuhan adalah immunomodulator yang sangat baik. Jenis ini bisa dengan mudah didapatkan dalam segala macam buah-buahan dan sayuran segar. Namun kandungannya akan hilang setelah dimasak. Ada beberapa nama obat atau produk (seperti Moducare) yang sangat kaya dengan sterol dan sterolin. Immunomodulator alamiah lainnya termasuk ginseng, chamomile tea, minuman lemon atau zaitun, ekstrak jamur resihi dan esktrak daun zaitun. Berbagai obat yang mengandung immunomodulator jenis ini antara lain Biobran, AHCC, Noxylane-4 dan MGN 3.

(13)

orang-orang dengan inflammatory bowel disease, ulcerative colitis, dan Crohn’s disease. Tacrolimus juga dapat digunakan pada Crohn’s disease pada saat penyakit tersebut sudah tidak efektif lagi terhadap pemberian kortikosteroid. Pada anak-anak, immunomodulator lebih jarang menimbulkan gagal pertumbuhan (jika dibandingkan dengan pemberian kortikosteroid).

6. Penyakit yang berkaitan dengan sistem imun

Sistem imun adalah suatu sistem pertahanan tubuh, guna melindungi tubuh dari berbagai ancaman seperti mikroorganisme penyebab infeksi. Secara garis besar, sistem imun terbagi dalam dua jalur, yaitu jalur T helper 1(Th1), yang bertanggung jawab untuk mengaktifkan imunitas seluler dan jalur T helper 2(Th2), yang bertanggung jawab untuk mengaktifkan imunitas humoral. Jalur Th1 dan Th2 dalam keadaan normal berada dalam keadaan seimbang. Bila keseimbangan ini terganggu maka keadaan tersebut dapat menimbulkan beberapa penyakit, antara lain penyakit alergi.

Ketidakseimbangan yang terjadi pada penyakit alergi adalah peningkatan aktivitas Th2. Manifestasi penyakit alergi dapat berupa pilek alergi, asma alergi, dermatitis alergika, dan urtikaria. Seperti telah disebutkan, patofisiologi penyakit-penyakit alergi adalah ketidakseimbangan sistem imun, yang mana jalur Th2 lebih dominan. Oleh karena itu, terapi imunomodulator yang mengurangi aktivitas sel-sel imun pada jalur Th2 sebaiknya digunakan untuk mengatasi ber-bagai manifestasi penyakit alergi. Terapi imunomodulator yang telah digunakan antara lain adalah imunoterap

- Imunoterapi

(14)

Berikut ini beberapa hipotesis mengenai mekanisme kerja imunoterapi:

a. Antibodi penghalang (Block-ing antibody). Imunoterapi menginduksi IgG spesifik alergen atau antibodi peng-halang, yang bersaing de-ngan IgE untuk berikatan dengan alergen. Namun, beberapa penelitian menun-jukkan adanya perbaikan kli-nis tanpa adanya pening-katan IgG spesifik-alergen.

b. Penurunan IgE, Imunoterapi menghasilkan penurunan IgE spesifik-alergen. Penu-runan ini terjadi bertahap. Pada tahap awal terjadi peningkatan yang kemudian diikuti penurunan.

c. Modulasi mastosit dan baso-fil. Imunoterapi memodulasi fungsi sel target dan mere-duksi pelepasan mediator dari mastosit dan basofil, walaupun IgE spesifik dapat dijumpai pada permukaannya. Efek ini ditunjukkan o-leh adanya penurunan pelepasan histamin pascaimuno-terapi dari basofil darah setelah paparan alergen in vitro, yang didahului oleh menurunnya IgE spesifik a-tau suatu peningkatan IgG spesifik.

d. Peningkatan aktivitas lim-fosit Th1 dengan peningkat-an interferon gamma dan penurunan aktivitas limfosit Th2 dengan penurunan IL-4 dan IL-5. (Imunomodulator pada Penyakit Alergi. Diana Krisanti Jasaputra Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha. Hal 2).

(15)

SKENARIO “MENCIPTAKAN HUBUNGAN TERAPEUTIK”

(16)

2 Desember dilakukan Biopsi hati pemeriksaan mikroskopis didapatkan jaringan hepar dengan portal triads, sel hepar dengan balloning degeneration dan focal necrosis, lobolus hepar sebagian besar masih baik, pada daerah portal sudah ada moderate piece meal necrosis dan moderate portal infiltrate of inflamatory cells (grade 3), sudah ada fibrosis periportal dan belum ada portal to portal fibrosis (stage 1). Sirosis tidak ada, tidak ada tanda-tanda keganasan. Kesimpulan diagnosis PA adalah kronik hepatitis (B dan C) with moderate piece-meal necrosis dan moderate portal infiltrate (inflamatori grade 3) with fibrotic portal tracts (stage 1). Pada jaringan biopsy hepar telah dilakukan ASPCR dengan hasil adanya mutasi pada gen p53 pada

kodon 249. Penderita diterapi dengan PEG INF alfa 80 mg/ minggu, ribavirin 6 tablet/hari, 3TC 100 mg/hr. Terapi ini diberikan selama 6 bulan. Selama masa pengobatan penderita tidak menunjukkan intoleransi terhadap obatobatan anti virus tersebut. Berdasarkan evaluasi ulangan dalam 1 bulan terapi dilakukan pemeriksaan pada tangal 11 Januari 2006 dengan HCV-RNA virus tidak terdeteksi. Pada tanggal 6 Juli 2006 dilakukan pemeriksaan HBsAg (+), HBeAg (+), SGOT 25 U/L, SGPT 32 U/L. HCV-RNA kualitatif (-), tapi HBsAg masih (+) dengan SGPT dan SGOT masih dalam batas normal sehinga pada tanggal 6 Juli 2006 3TC di hentikan pemberiannya. Pada evaluasi ulangan tanggal 7 Agustus 2006 didapatkan kadar SGPT 91,9 U/L, SGOT 51,3 U/L. Pemeriksaan USG abdomen kesan tidak jauh berbeda dengan USG sebelumnya yaitu fatty liver.

(17)

- kronik hepatitis (B dan C) with moderate piece-meal necrosis dan moderate portal infiltrate (inflamatori grade 3) with fibrotic portal tracts (stage 1). KP :

- Hepatitis kronik B dan C - Imunodulator

- Fatty liver

- Inflamatori grade 3

- Fibrotic portal tracts (stg 1) 2. KATA/PROBLEM KUNCI

- Hepatitis kronis B dan C - Antiviral

- Imunodulator IFN

3. PERTANYAAN-PERTANYAAN PENTING 1. Tujuan pemberian antiviral pada pasien ini 2. Pengertian hepatitis kronik B dan C

3. Pada kondisi bagaimana sehingga pasien dapat diberikan antiviral 4. Prosedur pemberian antiviral

5. Bagaimana mekanisme kerja kelompok imodulasi INF itu? 4. JAWABAN

Gambaran klinis :

(18)

apoptosis.2 Infeksi virus hepatitis B dan C menghambat gen tersebut dan sering terjadi mutasi pada gen tersebut. Khusus pada KHP sering terjadi mutasi pada kodon 249 gen p53, hal ini diduga sebagai salah satu pemicu terjadinya KHP. Adanya mutasi gen p53 banyak didapatkan pada jaringan hati yang mengalami keganasan. Dulu dengan metoda SSCP (single-stranded conformational polymorphism) mutasi gen p53 hanya didapatkan pada jaringan ganas dan tidak bisa dideteksi pada jaringan yang belum mengalami keganasan. Namun dengan metode yang lebih canggih seperti AS-PCR (allele-specific polymerase chain reaction) beberapa peneliti melaporkan terdeteksinya mutasi gen p53 pada jaringan hati yang belum mengalami keganasan. (J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 2 Mei 2007).

Virus Hepatitis B (HBV) termasuk dalam famili hepadnaviridae. Infeksi kronik HBV merupakan masalah kesehatan dunia yang serius, terutama di Asia, dimana terdapat sedikitnya 75% dari 350 juta individu HBsAg positif menetap di seluruh dunia. Di Asia-Pasifik, infeksi HBV biasanya terjadi melalui infeksi perinatal atau pada awal masa kanak-kanak. Dengan berkembangnya bidang biologi molekuler dan pemahaman tentang patogenesis HBV, telah ditemukan adalnya covalently closed circular DNA yang memegang peranan penting terjadinya infeksi kronik HBV. Infeksi kronik HBV merupakan suatu keadaan dinamis dimana terjadi interaksi antara virus, hepatosit dan system imun penjamu.

Perjalanan alami penyakit HBV sangat kompleks, dengan adanya kemajuan dalam pemeriksaan HBV DNA, siklus HBV, respon imun dan pemahaman mengenai genom HBV yang lebih baik, maka perjalanan alami penyakit HBV dibagi menjadi 4 fase, yaitu: a. Immune tolerance

Ditandai dengan keberadaan HBeAg positif, kadar HBV DNA yang tinggi, kadar ALT yang normal dan gambaran histology hati yang normal atau perubahan yang minimal. Fase ini dapat berlangsung 1-4 dekade. Fase ini biasanya berlangsung lama pada penderita yang terinfeksi perinatal, dan biasanya serokonversi spontan jarang terjadi, dan terapi untuk menginduksi serokonversi HBeAg biasanya tidak efektif. Fase ini biasanya tidak memberikan gejala klinis

(19)

Ditandai dengan keberadaan HBeAg positif, kadar HBV DNA yang tinggi atau berfluktuasi, kadar ALT yang meningkat dan gambaran histology hati menunjukkan keradangan yang aktif, hal ini merupakan kelanjutan dari fase immune clearance. Pada beberapa kasus, sirosis hati sering terjadi pada fase ini. Pada fase ini biasanya saat yang tepat untuk diterapi.

c. Inactive HBsAg carrier state

Fase ini biasanya bersifat jinak (70-80%), ditandai dengan HBeAg negative, antiHBe positif (serokonversi HBeAg), kadar HBV DNA yang rendah atau tidak terdeteksi, gambara histologi hati menunjukkan fibrosis hati yang minimal atau hepatitis yang ringan. Lama fase ini tidak dapat dipastikan, dan biasanya menunjukkan prognosis yang baik bila cepat dicapai oleh seorang penderita.

d. Reactivation

Fase ini dapat terjadi pada sebagian penderita secara spontan dimana kembalinya replikasi virus HBV DNA, ditandai dengan HBeAg negative, Anti HBe positif, kadar HBV DNA yang positif atau dapat terdeteksi, ALT yang meningkat serta gambaran histology hati menunjukkan proses nekroinflamasi yang aktif

Penelitian yang melibatkan banyak penderita hepatitis B kronik di Taiwan menunjukkan pentingnya kadar serum HBV DNA, bahwa peningkatan kadar serum HBV DNA ( 10.000 kopi/ml) adalah predictor risiko yang penting terhadap resiko kejadian sirosis dan kanker hati, dan tidak terkait dengan kadar HBeAg, kadar ALT.

(20)

Tujuan utama dari pengobatan hepatitis B kronik adalah untuk menekan secara permanen HBV sehingga dapat mengurangi patogenitas virus hepatitis. Tujuan jangka pendek adalah untuk menghilangka HBV DNA (disertai dengan serokonversi pada pasien kronik HBeAg positif menjadi anti HBe), normalisasi ALT dan mengurangi inflamasi hati, sedangkan tujuan jangka panjangnya diharapkan dapat mencegah terjadinya dekompensasi hati, perkembangan kearah sirosis dan kanker hati ( hepatoselular karsinoma). Berdasarkan panduan terbaru dari APASL 2008 terapi dapat dilakukan bila ALT > 2ULN ( upper limit normal ) dengan HBV DNA > 100.000 kopi/ml untuk pasien HBeAg positif hepatitis B kronik dan HBV DNA > 10.000 kopi/ml untuk pasien HBeAg negatif hepatitis B kronik. Dan perlu dicurigai pasien dengan ALT normal tetapi HBV DNA tinggi(terutama pasien dengan usia > 40 tahun), pasien ini harus dilakukan biopsy untuk menilai derajat kerusakan hati, bila hasil biopsy menunjukkan adanya fibrosis (F2/F3/F4) maka sebaiknya diterapi. Pengobatan hepatitis B kronik biasanya long therm (jangka panjang), walaupun demikian, bedasarkan panduan APASL 2008, terapi pada pasien HBeAg positif dapat dihentikan jika HBeAg serokonversi disertai dengan 2 kali pemeriksaan HBV DNA negatif berturut-turut berselang 6 bulan. Tidak ada panduan yang baku tentang kapan diberhentikannya terapi pada pasien HBeAg negatif, tetapi berdasarkan panduan APASL 2008, terapi “dipertimbangkan” untuk diberhentikan bila 3 kali berturut-turut pemerikasaan HBV DNA selang 6 bulan negatif.

(Rino A Gani, Dr, SpPD-KGEH Divisi Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN Cipto Mangunkusumo. 2005)

Perangkat Diagnostik :

(21)

Penatalaksanaan :

Saat ini ada 6 obat yang dapat digunakan untuk terapi hepatitis B kronik yaitu immunomodulator (konvensional dan pegilated interferon), lamivudin, adefovir, entecavir, dan yang terbaru telbivudine.

1. Interferon (IFN_)

Bekerja sebagai imunomodulator, antiproliferatif, dan antiviral. IFN adalah obat pertama yang digunakan untuk terapi hepatitis B kronik. Yang beredar saat ini adalah interferon alfa 2a dan 2b, serta pegilasi alfa 2a dan 2b. IFN berikatan dengan reseptor pada membran sel untuk menghasilkan protein yang berfungsi sebagai pertahanan sel terhadap virus hepatitis B. IFN mengaktivasi makrofag, sel natural killer (NK), sel sitokin dan limfosit T sitotoksik serta memodulasi pembentukan antibody yang akan meningkatkan respon imun host untuk melawan virus hepatitis B. HBeAg serokonversi dan HBsAg loss pada pasien HBeAg positif hepatitis B kronik mencapai 33 % dan 7.8 % setelah 16 minggu pengobatan dibandingkan 12 % dan 1.8% pada kontrol. Sedangkan HBV DNA tak terdeteksi hanya mencapai 50 % pada pasien HBeAg positif. Relaps sering ditemukan pada pasien HBeAg negatif walaupun HBV DNA sudah tak terdeteksi. Genotip hepatitis B dapat digunakan untuk memprediksi respon peg-IFN alfa 2b, dimana HBeAg loss dan HBsAg loss lebih tinggi pada genotip A dan B dibanding genotip C dan D. Terapi IFN biasanya disertai efek samping flu-like symptom, neutropenia, trombositopenia.

2. Lamivudine (LDV)

Bekerja dengan memutuskan sintesis DNA virus dan menghambat reverse transcriptase. LDV memiliki resistensi yang tinggi baik pada pasien HBeAg positif maupun HBeAg negatif. Resistensi LDV pada mutasi YMDD M204I/V. Pada tahun ke 4, resistensi LDV mencapai 70%

(22)

Bekerja dengan menghambat polymerase HBV berkompetisi langsung dengan substrat endogen deoksiadenosin trifosfat sehingga rantai DNA virus hepatitis B terhenti. Kekuatan supresi virus HBV DNA ADV lebih rendah dibanding LDV. ADV dapat digunakan sebagai terapi pengganti pada LDV resisten, walaupun demikian resistensi tetap terjadi pada ADV sebesar 30% setelah 5 tahun terapi. Neprotoksik adalah efek samping dari penggunaan ADV.

4. Entecavir(ETV)

Bekerja menghambat replikasi virus pada jalur priming, sintesis strain negatif, dan sintesis positif. Tidak ada resistensi pada tahun kedua, tetapi bagaimanapun resistensi meningkat leboih dari 35% pada penggunaan LDV resisten. Perlu diwaspadai penggunaan ETV pada pasien yang koinfeksi dengan HIV, penelitian membuktikan terjadi mutasi pada M184V pada virus HIV, sehingga pasien hanya dapat digunakan pada pasien yang tidak koinfeksi dengan HIV.

5. Telbivudine (LdT)

Merupakan analog timidin dan spesifik terhadap hepadnavirus. LdT spesifik dan selektif menghambat HBV second-strand DNA syntesis dan polymerase DNA. Supresi virus HBV DNA pada LdT secara siknifikan lebih tinggi dibanding LDV(60 vs 40). Pada fase 2, LdT dapat mereduksi hingga 6.5 log dari level HBV DNA dengan profile keamanan yang baik

(23)

Dan berikut ini adalah obat antivirus yang sedang dalam penelitian:

Dalam terapi pasien hepatitis B kronik, pemeriksaan HBV DNA pada 6 bulan pertama adalah penting, karena dapat memprediksi hasil terapi kedepan, data dari telbivudine, bahwa pasien hepatitis B kronik yang pada 6 bulan pertama mencapai HBV DNA tak terdeteksi ternyata setelah tahun ke-2 pengobatan memberikan HBeAg serkonversi sebesar 46%, HBV DNA tak terdeteksi sebesar 78 % pada pasien HBeAg positif, dan 79 % pada pasien HBeAg negatif, 81% normalisasi ALT, serta resistensi sebesar 2% dan 4% pada HBeAg negatif dan HBeAg positif.

(24)

(https://puskesmassimpangempat.wordpress.com/2009/06/30/perkembangan-terakhir-tentang-hepatitis-b-kronis/)

5. TUJUAN PEMBELAJARAN SELANJUTNYA

1. Untuk mengetahui cara penanganan pada kasusu hepatitis A,B,C kronik 2. Mengetahui pharmaceutical care pada pasien dengan hepatitis B dan C kronik 6. INFORMASI TAMBAHAN

Rasional / Irrasional :

(25)

diberikan kalau penderita HCV RNA (+) serta peningkatan ALT diatas 2 kali harga normal. Pasien anti HCV (+) belum tentu HCV RNA nya juga positif. Anti HCV yang positif dengan HCV RNA yang negatif menunjukkan adanya infeksi hepatitis C dimasa lalu (post infection).12-14 Pada kasus ini didapatkan dengan Anti HCV (+), HCV RNA (+), ALT > 2X normal. Adanya infeksi gabungan virus hepatitis B dan C meningkatkan risiko kejadian sirosis hati dan KHP.1 Risiko kejadian KHP pada penderita hepatitis kronik B sendiri 25 . 35 kali lebih tinggi dibanding akibat keradangan non virus. Tapi dengan adanya gabungan infeksi ini kejadiannya bisa mencapai 130 kali lebih tinggi.1,2 Banyak penelitian yang menunjukan bahwa pada 50-60% penderita KHP menunjukkan adanya mutasi gen p53 terutama dalam bentuk mutasi dari AGG_AGT pada kodon 249 gen tersebut. Gen p53 mengkode protein p53 yang mempunyai 3 fungsi utama dalam sel yaitu reparasi DNA, apoptosis, dan penghambat pertumbuhan sel. Ketidak mampuan melaksanakan fungsi tersebut akan berakibat kacaunya pertumbuhan sel yang selanjutnya menjelma menjadi sel kanker.5-7 Terdapat 2 mekanisme tidak berfungsinya p53 yaitu pada level genetic terjadi mutasi titik dalam sekuens gen p53 dan pada level protein terjadi inaktivasi fungsi p53 oleh onkoprotein. Beberapa protein onkogen yang dihasilkan oleh virus dan diketahui mempengaruhi fungsi p53 adalah protein E6 oleh HPV tipe 16 pada kanker serviks dan protein X oleh virus hepatitis B pada karsinoma hati. Namun sampai sekarang belum jelas benar peranan mutasi gen p53 dalam proses karsinogenik. Hal ini antara lain disebakan karena dengan metode deteksi gen p53 yang lazim dipakai seperti SSCP hanya dapat mendeteksi mutasi tersebut pada jaringan yang sudah mengalami kanker. Pemberian kombinasi terapi antiviral pada hepatitis B yaitu pemberian IFN dan lamivudin tidak memberikan manfaat berlebih dibandingkan dengan terapi tunggal interferon saja. Tapi dengan adanya infeksi gabungan dengan hepatitis C pemberian terapi kombinasi beberapa anti viral bisa dipertimbangkan. Tujuan terapi antiviral pada kasus ini adalah untuk mengurangi viral load secara cepat pada pasien yang sudah mengalami mutasi pada gen p53 di kodon 249 dengan harapan kejadian KHP bisa di cegah.

7. KLARIFIKASI INFORMASI’

(26)

Virus-virus ini selain dapat memberikan peradangan hati akut, juga dapat menjadi kronik. Virus-virus hepatitis dibedakan dari virus-virus lain yang juga dapat menyebabkan peradangan pada hati oleh karena sifat hepatotropik virus-virus golongan ini. Petanda adanya kerusakan hati (hepatocellular necrosis) adalah meningkatnya transaminase dalam serum terutama peningkatan alanin aminotransferase (ALT) yang umumnya berkorelasi baik dengan beratnya nekrosis pada sel-sel hati. Hepatitis kronik dibedakan dengan hepatitis akut apabila masih terdapat tanda-tanda peradangan hati dalam jangka waktu lebih dari 6 bulan. Virus-virus hepatitis penting yang dapat menyebabkan hepatitis akut adalah virus hepatitis A (VHA), B (VHB), C (VHC) dan E (VHE) sedangkan virus hepatitis yang dapat menyebabkan hepatitis kronik adalah virus hepatitis B dan C. Infeksi virus-virus hepatitis masih menjadi masalah masyarakat di Indonesia. Hepatitis akut walaupun kebanyakan bersifat self-limited kecuali hepatitis C, dapat menyebabkan penurunan produktifitas dan kinerja pasien untuk jangka waktu yang cukup panjang. Hepatitis kronik selain juga dapat menurunkan kinerja dan kualitas hidup pasien, lebih lanjut dapat menyebabkan kerusakan hati yang signifikan dalam bentuk sirosis hati dan kanker hati. Pengelolaan yang baik pasien hepatitis akibat virus sejak awal infeksi sangat penting untuk mencegah berlanjutnya penyakit dan komplikasi-komplikasi yang mungkin timbul. Akhir-akhir ini beberapa konsep pengelolaan hepatitis akut dan kronik banyak yang berubah dengan cepat sehingga perlu dicermati agar dapat memberikan pengobatan yang tepat.

Hepatitis

(27)
(28)

Hepatitis C

Pengobatan hepatitis C kronik pada dasarnya adalah dengan menggunakan inteferon dan ribavirin. Inteferon monoterapi saja tidak dianjurkan karena relatif rendahnya angka keberhasilan terapi. Keputusan pemberian interferon harus didasari dengan adanya peningkatan ALT dan RNA VHC yang positif dalam serum. Konsensus penanganan hepatitis C di Eropa dan Amerika menekankan untuk perlunya dilakukan biopsi hati karena ALT pada pasien hepatitis C kronik bisa sangat fluktuatif dan adanya fibrosis yang signifikan tidak bisa diketahui tanpa dilakukan biopsi. Fibrosis pada pasien hepatitis C kronik sangat menentukan terjadinya sirosis hati dan komplikasi penyakit hati lanjut. Penggunaan inteferon alfa konvensional 3 – 5 juta U yang diberikan 3 kali seminggu disertai ribavirin setiap hari pada pemberian selama 6 bulan, menghasilkan keberhasilan terapi (RNA VHC yang tetap menghilang setelah 6 bulan pengobatan diselesaikan) pada …….% pasien. Keberhasilan terapi dengan interferon akan lebih baik pada mereka yang terinfeksi VHC dengan genotip 2 dan 3 dibandingkan dengan genotip 1 dan 4. Lama terapi juga berpengaruh dimana pemberian inteferon dan ribavirin selama 48 minggu, akan menghasilkan angka keberhasilan terapi yang lebih baik dari pada 24 minggu.

(29)

pada 32 % pasien. Tingkat keberhasilan ini lebih kurang sama dengan pasien hepatitis kronikn C yang mendapat terapi inteferon atas dasar meningkatnya ALT (J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 2 Mei 2007)

8. ANALISA & SINTESIS INFORMASI

Telah dilaporkan seorang laki-laki 33 tahun dengan hepatitis kronik B HBsAg (+) serta HBeAg (+) dan hepatitis C dengan HCV RNA (+). Yang pada pemeriksaan Patologi Anatomi didapatkan gambaran berupa kronik hepatitis B dan C dengan moderate piecemeal necrosis dan moderate portal infiltrate grade 3 dengan fibrotic portal tract stage 1 sesuai criteria Metavir tetapi belum ada tanda-tanda sirosis atau keganasan.Pada kasus ini dari sediaan beku biopsy hepar dengan metode AS-PCR telah tejadi mutasi pada gen p53 di kodon 249. Penderita telah mendapatkan terapi PEG IFN, lamivudin dan ribavirin. (J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 2 Mei 2007)

DAFTAR PUSTAKA

Handayani, Gemmy Nastity. 2010. Imunodulator. UIN Alauddin Makassar. pdf J Peny Dalam, 2007. Chronic Hepatitis B And C Case With Mutation Of Gene P53 Codone 249 In The Liver Tissue Volume 8 Nomor 2. Pdf

Pangkalan ide. 2008. Dark chocolate healing. Jakarta : PT Elex Media .

Rino A Gani, Dr, SpPD-KGEH Divisi Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN Cipto Mangunkusumo. Pdf

Anonim.2007.Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapi , Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 757-766.

Mohamed Labib Salem.2005.Review: Immunomodulatory and therapeutic properties of the Nigella sativa L. seed. International Immunopharmacology 5 (2005) 1749–1770

Swamy S.M.K dan B.K.H. Tan. 2000.Immunomodulatory and therapeutic properties of the Nigella sativa L. seed. Journal of Ethnopharmacology 70 (2000) 1–7

(30)

Varalakshmi Ch,et al. 2008. Immunomodulatory effects of curcumin: In-vivo. International Immunopharmacology (2008) 8, 688–700.

Gambar

Gambar 1.mekanisme stimulant imun non spesifik

Referensi

Dokumen terkait

Adapun metodologi penelitian ini adalah membuat model steady state Heat Exchanger, kemudian mengubah model steady state menjadi model dynamic, lalu membuat model

Pada akhirnya, dari karya Tugas Akhir ini diketahui bahwa perancangan huruf display dari artefak kebudayaan Jawa Barat yang dikemas dalam buku "Aksara Jatnika"

Jawapan anda hendaklah ditulis pada ruang jawapan yang disediakan dalam kertas soalan

Kondisi ini seiring dengan hasil analisis regresi pada kelompok kemoterapi ringan yang menunjukkan bahwa semakin besar biaya pemeriksaan kimia klinik/hema- tologi/urin, semakin

Hasil penelitian terhadap review pencatatan hal-hal yang dilakukan saat perawatan dan pengobatan pada dokumen rekam medis rawat inap tindakan cesarean section di RSUD

Oleh karena itu penerapan metode Example Non Example dalam proses pembelajaran pada penelitian ini baik untuk meningkatkan hasil belajar siswa khususnya pada

Pelunasan Pokok Obligasi dan pembayaran Bunga Obligasi akan dilakukan oleh KSEI selaku Agen Pembayaran atas nama Perseroan kepada Pemegang Obligasi yang menyerahkan

Dalam perkembangannya, masyarakat telah menunjukkan kepedulian terhadap masalah pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan anak usia dini untuk usia 0 sampai dengan 6 tahun