PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA
(NON-INTERNASIONAL) DI NIGERIA DITINJAU DARI HUKUM
HUMANITER INTERNASIONAL
Gerald A. Bunga1 dan Grey J. Susang2 Fakultas Hukum, Universitas Nusa Cendana
Intisari
Dalam setiap konflik bersenjata selalu terdapat korban baik dalam bentuk materi maupun korban jiwa, namun hukum humaniter internasional (HHI) menetapkan bahwa dalam setiap konflik bersenjata pihak sipil, terutama anak-anak harus diberikan perlindungan dalam kondisi apapun dan tidak boleh menjadi sasaran militer yang sah. Hal inilah yang menjadi permasalahan dalam konflik bersenjata di Nigeria di mana anak-anak turut menjadi korban dari serangan Boko Haram. Hal ini tentu merupakan pelanggaran HHI. Untuk itu penegakan HHI dapat dilakukan salah satunya melalui mekanisme international criminal court (ICC) dan untuk membantu melindungi anak-anak serta mengatasi kelompok Boko Haram maka bisa ditempuh melalui mekanisme regional yakni melalui peran uni Afrika.
Keywords: Boko Haram, Konflik Bersenjata, Hukum Humaniter Internasional
Abstract
In every armed conflict there is always casualities wheter in form of things or human life loss, but international humanitarian law (IHL) ensures that in every armed conflict, the civilians, especialy the children, should be protected at all time and should not be the legitimate military target. It is the main problem in Nigeria armed conflict which in it, the children be the victim of Boko Haram attacks. It is clearly a violation of IHL, therefore the enforcement of IHL could be done through international criminal court mechanism and to protect the children and handle Boko Haram, it could be done through regional mechanism, which is done by African Union.
Keywords: Boko Haram, Armed Conflict, International Humanitarian Law
1 Dosen Fakultas Hukum, Bagian Hukum Internasional, Universitas Nusa Cendana, Kupang. Memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) dari Universitas Nusa Cendana (2009), Master of Laws (LL.M) dari Universitas Gadjah Mada (2012).
2
I. PENDAHULUAN
Dalam sejarah kehidupan manusia, peristiwa yang paling banyak dicatat
dalam sejarah adalah perang dan damai. Pertiwa-peristiwa besar yang menjadi
tema-tema utama dalam literatur-literatur politik dan juga hubungan internasional berkisar
antara dua macam interaksi tersebut. Ungkapan bahwa peace to be merely a respite between wars menunjukan, situasi perang dan damai, terus silih berganti dalam interaksi manusia.3
Pada abad ke-20 kita bisa menyaksikan perkembangan dan perbedaan dimensi
dan eskalasi konflik dalam lingkup yang paling kecil hingga tingkatan yang
mengglobal dan melibatkan pihak-pihak atau aktor-aktor yang cukup bervariatif. Ada
pergeseran definisi yang secara signifikan mengubah makna perang. Secara
tradisional, kondisi perang bisa dibedakan secara jelas dengan kondisi damai, karena
dictum yang menyebutkan bahwa kondisi damai adalah tidak adanya perang (demikian juga sebaliknya).4 Namun pada masa sekarang, negara-negara sepertinya
enggan untuk mendeklarasikan keterlibatannya secara terus terang dalam suatu
konflik sehingga agak sulit untuk mendefinisikan apakah negara tersebut terlibat
dalam perang atau tidak. Secara tradisional, perang juga hanya melibatkan aktor-aktor
negara, namun makna itu menjadi kabur ketika aktor non-negara juga terlibat dalam
konflik, seperti kelompok terorris, gerakan perlawanan lintas batas, gerakan-gerakan
etnis internasional, dan sebagainya.5
Masalah konflik bersenjata juga telah menjadi isu kontemporer dalam studi
Hukum Internasional (HI), lebih banyak lagi ketika timbul korban-korban manusia
akibat peristiwa tersebut. Masalah korban manusia akibat konflik bersenjata meliputi
korban dari pihak sipil maupun korban dari pihak militer. Selama ini, dalam konflik
bersenjata jatuhnya korban dari pihak militer dianggap sebagai konsekuensi logis dari
3
S. L. Roy, dalam Ambarwati, Hukum Humaniter Internasional”Dalam Studi Hubungan Internasional. Rajawali Pers, Bandung 2012, hlm.1-2.
4Abdulkadir Muhammad, Hubungan Internasional Kontemporer, citra aditya Bakti, Bandung 1998, hlm.11.
5
peristiwa tersebut. Namun jatuhnya korban sipil dianggap sebagai hal yang tidak
seharusnya terjadi. Secara normatif, masyarakat sipil yang tidak bersenjata dan tidak
terlibat dalam koflik seharusnya menjadi pihak yang bebas dan dilindungi
keselamatannya. Masalah yang memprihatinkan adalah, jika dalam suatu konflik,
keberadaan masyarakat sipil justru dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan strategis dan
politis dengan mengabaikan hak-hak dan keselamatan mereka.6
Keberadaan Hukum Humaniter Internasional (HHI), sebagai salah satu bagian
hukum internasional, merupakan salah satu alat dan cara yang dapat digunakan oleh
setiap negara, termasuk oleh negara damai atau negara netral, untuk ikut serta
mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat perang yang terjadi di
berbagai negara. Dalam hal ini, HHI merupakan suatu instrumen kebijakan dan
sekaligus pedoman teknis yang dapat digunakan untuk mengingatkan para pihak yang
berperang agar operasi tempur mereka dilaksanakan dalam batas-batas
perikemanusiaan. Hal tersebut dapat terlaksana apabila pihak-pihak yang terkait
menghormati dan mempraktikan HHI, karena HHI membuat aturan tentang
perlindungan korban konflik bersenjata serta pembatasan alat perang.7 Selain itu
dalam setiap peperangan masyarakat sipil seharusnya mendapatkan perlindungan, dan
salah satu pihak yang harus mendapatkan perlindungan secara khusus adalah
anak-anak. Anak-anak merupakan salah satu kelompok korban yang paling rentan terhadap
berbagai jenis konflik bersenjata, tidak hanya secara psikis tapi juga fisik karena
itulah perlindungan hukum terhadap anak sangatlah penting dalam sebuah konflik
bersenjata.8
Perlindungan terhadap anak dalam sebuah konflik bersenjata sudah diatur
dalam Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan I tahun 1977 Tentang
Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional (Protokol Tambahan I 1977)
6T.A. Couloumbis and James H. Wolfe, Introduction to International Relations: Power and Justice, New Jersey: Prentice Hall Inc., 1990, hlm.262.
7Ambarwati dan Rina Rusma, Hukum Humaniter Internasional, Rajawali Pers, Bandung 2012, hlm.27-28.
dan Protokol Tambahan II Tahun 1977 Tentang Perlindungan Korban Dalam Konflik
Bersenjata Non-internasional (Protokol Tambahan II 1977). Untuk melindungi
orang-orang yang tidak seharusnya terlibat dalam sebuah konflik bersenjata, HHI juga
menuntut setiap negara membuat peraturan perundang-undangan yang menetapkan
hukuman bagi orang yang melakukan pelanggaran yang telah ditentukan oleh hukum
intenasional sehingga bagi setiap pelanggar HHI dapat dikenakan sanksi sebagai
tindak pidana dalam hukum nasionalnya, akan tetapi banyak yang tidak peduli
ataupun tidak mengetahui mengenai hak-hak yang sebenarnya dimiliki oleh anak
dalam sebuah konflik bersenjata.9
Hal inilah yang tengah terjadi pada anak-anak di Nigeria di mana
perlindungan yang seharusnya diterima oleh anak-anak di Nigeria ternyata telah
diabaikan begitu saja oleh para pihak yang bertanggung jawab dalam konflik
bersenjata tersebut dan menyebabkan banyak anak yang menjadi korban dalam
konflik bersenjata yang terjadi antara pemerintah Nigeria dengan kelompok Boko
Haram. Dalam seluruh rangkaian konflik tersebut, ditemukan adanya unsur
pelanggaran, khususnya kepada anak, yang dilakukan oleh kelompok Boko Haram
yang telah melanggar ketentuan-ketentuan perlindungan hak anak dalam Konvensi
Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan I tahun 1977, Protokol Tambahan II tahun
1977, dan Konvensi Internasional Hak-Hak Anak 1989 (Internasional Convention on the Rights of the Child).
Dalam laporan Amnesty Internasional dan National Consortium for the Study of Terorism and Responses to Terrorism (STRART), tercatat ada 15 jenis pelanggaran terhadap warga sipil yang dilakukan oleh kelompok Boko Haram di antaranya adalah
(1) penculikan, (2) perbudakan, (3) pemerkosaan, (4) pembunuhan massal terhadap
warga sipil yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, (5) pembantaian,
(6) perekrutan anak-anak untuk menjadi pejuang Boko Haram, (7) kawin paksa
terhadap perempuan-perempuan dengan pejuang Boko Haram, (8) penyerangan dan
pengeboman terhadap fasilitas publik dan pemerintah serta markas Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB), (9) pembakaran rumah-rumah penduduk (10) penjarahan, (11)
perampasan senjata dan amunisi, (12) pembatasan ruang gerak terutama bagi wanita,
(13) perampokan bank, (14) pembajakan di pantai Nigeria dan (15) penyelundupan
narkoba.10 Dari semua pelanggaran yang sudah disebutkan tadi sebagian besar adalah
pelanggaran terhadap anak-anak.\
Dalam laporan Amnesty Internasional juga tercatat bahawa kelompok Boko Haram telah menculik lebih dari 200 anak perempuan dari Chibok. Hingga saat ini,
anak-anak dari sekolah tersebut masih belum ditemukan, meski negara-negara barat
telah membantu menelusuri keberadaan mereka, bahkan otoritas Chad pun telah
berupaya untuk memediasi pembebasan anak-anak perempuan tersebut.11 Sedangkan
dari United Nations Children’s Emergemcy Fund (UNICEF) sendiri juga mengatakan telah terjadi peningkatan jumlah perempuan dan anak yang dimanfaatkan untuk
melancarkan serangan bunuh diri di bagian timur-laut Nigeria. Menurut laporan juga
dikatakan 26 serangan bunuh diri yang dilancarkan pada tahun 2014 sampai dengan
tahun 2015, diantaranya 75% adalah perempuan dan anak yang telah dimanfaatkan
untuk meledakkan bom dan peristiwa tersebut kebanyakan terjadi di tempat yang
ramai dan daerah yang berpenghuni seperti tempat pemberhentian bus dan pasar, dan
sejak kasus ini pertama dilaporkan pada Juli tahun 2014, telah tercatat sembilan
serangan yang dilancarkan dan dilakukan oleh anak perempuan yang berusia antara 7
tahun sampai 17 tahun.12
Dari data di atas dapat dilihat bahwa pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan kelompok Boko Haram mengakibatkan kesengsaraan terhadap anak-anak
di Nigeria, padahal anak-anak seharusnya mendapat perlindungan setiap saat,
terutama pada saat konflik bersenjata terjadi, sebagaimana diamanatkan dalam HHI.
10Nilda D. I. Manu, dalam Proposal Skripsi “
Tanggung Jawab Kelompok Boko Haram Terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Nigeria”, hlm. 6.
11Detik News, Dua Ribu Wanita dan Anak-anak Nigeria Diculik Boko Haram, diakses pada 12 Januari 2016 .
Melalui penelitian ini akan diketahui mengenai bagaimana konflik bersenjata yang
terjadi antara pemerintah Nigeria dengan Boko Haram, serta bagaimana konflik
tersebut telah mempengaruhi anak-anak Nigeria dan bagaimana perlindungan yang
seharusnya diterima oleh anak-anak tersebut selama berlangsungnya konflik
berdasarkan HHI.
II. PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Konflik Bersenjata Non-Internasional Antara Pemerintah
Nigeria Dengan Kelompok Boko Haram.
1. Kondisi Nigeria
Nigeria merupakan salah satu negara pasca kolonial di Afrika Tengah yang
memiliki banyak kelompok etnolinguistik dan suku bangsa, tradisi keagamaan, serta
sejarah lokal.13 Nigeria juga dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam
yang melimpah, namun hampir dua pertiga penduduknya hidup miskin dengan
penghasilan yang tidak cukup untuk bertahan hidup. Tahun lalu, sebuah surat kabar
memperkirakan bahwa sejak presiden Goodluck Jonathan memerintah pada tahun
2010, terdapat sekitar 341 triliun rupiah uang negara yang dikorupsi yang mana hal
ini disebabkan para politikus di Nigeria yang tidak mempertanggungjawabkan
pendapatan negara kepada masyarakat.14
Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya kegagalan pemerintah di hampir
sepanjang sejarah Nigeria. Kegagalan yang terjadi di Nigeria terlihat di berbagai
wilayahnya terutama di wilayah Utara, kemunduran semakin terlihat dialami oleh
wilayah itu didukung dengan kurangnya pembangunan dan ketiadaan cadangan
minyak di wilayah utara. Tantangan terhadap stabilitas di Nigeria dapat dilihat di
sepanjang perjalanan politik, sosial, dan ekonomi.15 karena itu mulai timbul
perlawanan di dalam kelompok-kelompok masyarakat yang berusaha menuntut
13
, 2008,“ Pertumbuhan Masyarakat Nigeria”, www.detiknews.com, diakses pada 3 September 2016 14Elin Yunita Kristanti, 2015, “Goodluck Jonathan diduga melakukan tindak korupsi”
m.liputan6.com/global/read/2117034/Goodluck-Jonathan-diduga-melakukan-tindak- korupsi, diakses pada 3 September 2016
15
kesetaraan dan tanggung jawab pemerintah dalam mengelola sumber daya minyak
untuk dimanfaatkan bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Hal ini juga yang
melatarbelakangi munculnya kelompok Boko Haram yang menyuarakan perlawanan
terhadap pemerintah atas kegagalan pemerintah dalam membangun kehidupan
masyarakat di Nigeria.16
2. Konflik Boko Haram
Boko Haram digambarkan sebagai kelompok pemberontak yang melakukan
penyerangan dengan basis agama di Nigeria, terutama di bagian utara. Kelompok ini
bermula sebagai gerakan sosial yang aktif menyuarakan tentang ketidakpedulian
pemerintah terhadap Nigeria bagian utara melalui jalan dakwah. Nigeria merupakan
salah satu negara pasca kolonial di Afrika Tengah yang memiliki banyak kelompok
suku bangsa, tradisi keagamaan, serta sejarah lokal. Keanekaragaman kehidupan
masyarakat Nigeria seringkali menimbulkan konflik terutama ketika dihadapkan pada
pengelolaan sumber daya alam minyak. Instabilitas politik serta korupsi menambah
rumit persoalan. Ketimpangan pembangunan terjadi di mana industri dan
pembangunan lebih terpusat di wilayah selatan yang didominasi non-muslim,
sedangkan warga muslim yang lebih banyak berada di utara hanya mengandalkan
sektor pertanian dengan tingkat perekonomian yang buruk. Oleh karena itu mulai
timbul gejolak perlawanan di dalam kelompok-kelompok masyarakat Nigeria yang
berusaha menuntut kesetaraan dan tanggung jawab pemerintahnya dalam mengelola
sumber daya minyak untuk dimanfaatkan bagi peningkatan kualitas hidup.17
Gejolak sosial yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat Nigeria didukung
oleh lemahnya keamanan di wilayah perbatasan negara ini mengakibatkan terjadinya
penetrasi dari masyarakat suku Kanuri yang tinggal di negara tetangga, seperti
Kamerun, Chad dan Niger ke dalam wilayah Nigeria. Suku Kanuri melakukan
ekspansi ke Nigeria dengan motif membantu sesama anggota suku mereka dan
melalui pertalian hubungan kesukuan tersebut, terjadilah perdagangan senjata dan
16Ibid, hlm. 4
17
transaksi penyelundupan barang lain yang berperan penting dalam memfasilitasi
pembentukan sebuah gerakan transnasional beranggotakan mayoritas Suku Kanuri
yang diberi nama Boko Haram.18
Nama resmi kelompok ini adalah Jamaatu Ahlis Sunna Liddawati wal Jihad
yang berarti orang yang menjalankan anjuran sunnah dan jihad nabi. Boko Haram
dalam bahasa Hausa berarti "pendidikan Barat haram" merupakan organisasi militan
dan teroris islam yang bermarkas di Nigeria timur laut, Kamerun utara dan Niger.
Organisasi ini didirikan pada tahun 2002 oleh Mohammed Yusuf dengan tujuan
untuk mendirikan negara islam murni berdasarkan hukum syariah dan menghentikan
hal-hal yang dianggap sebagai westernisasi atau pengaruh barat. Tujuan politiknya adalah mendirikan sebuah negara islam dan sekolah merupakan sarana untuk
melakukan proses kaderisasi para jihadis yang dipersiapkan untuk melawan negara.
Kelompok Boko Haram juga lantang menyuarakan akan kegagalan pemerintah dalam
membangun kehidupan masyarakat di daerah tersebut, karena korupnya pemerintahan
Nigeria, serta tingginya angka pengangguran. Setelah beberapa rentang waktu, Boko
Haram mengalami berbagai perubahan hingga akhirnya menjadi sebuah kelompok
teroris.19
Tujuan Boko Haram bukan hanya menginginkan penerapan syariat islam secara
menyeluruh, tetapi juga memiliki tujuan dalam hal politik. Boko Haram telah
mengklaim mendirikan sebuah negara islam di kota-kota dan desa-desa yang telah
diambil alih di Nigeria bagian Utara. Saat ini Boko Haram tidak hanya dianggap
sebagai ancaman di Nigeria, tetapi juga seluruh dunia. Boko Haram terkenal dengan
gerakan islam radikal yang berbasis militer dan menggunakan aksi teror dalam
menyampaikan aksinya. Pada awalnya Boko Haram hanya sebatas fenomena lokal
yang menjadi tantangan keamanan bagi Nigeria, namun belakangan gerakan ini juga
18
Vinandhika Parameswari,”Terorisme Sebagai Tantangan Kelompok Etnis Terhadap Negara : Studi
Kasus Gerakan Transnasional Boko Haram di Nigeria” dalam Jurnal “Analisis Hubungan Internasional Universitas Airlangga”, Vol. 3, No. 1, hlm. 680
melancarkan serangan teroris berupa pengeboman pada target-target internasional
yang mampu menjadikan peringatan dan kewaspadaan bagi seluruh warga negara
Nigeria, terutama daerah regional Afrika. Hal ini dibuktikan oleh kelompok Boko
Haram, dengan melakukan serangan bom terhadap kantor pusat PBB di Abuja,
Nigeria tengah, pada hari Jumat pada tanggal 26/2008 yang menewaskan 16 orang.20
Kelompok Boko Haram bahkan secara terang-terangan telah berani melakukan
serangan di kawasan utara dan tengah Nigeria. Di samping meningkatkan frekuensi,
serangan Boko Haram ini juga telah menyebar secara geografis. Sampai saat ini,
serangan mereka masih berlangsung di beberapa negara bagian di timur laut Bauchi,
Borno, Yobe, Plateau, dan Kaduna, dan sebagian besar di sekitar kota Maiduguri,
Damaturu, Bama, dan Potiskum. Boko Haram juga bertanggung jawab mengenai
serangan terhadap pejabat pemerintah, patrol anggota militer, beberapa gereja,
anggota politisi, lembaga akademis dan barak polisi. Mereka juga mencuri
senjata-senjata yang digunakan dalam serangan berikutnya.21 Penyerangan ini dilakukan oleh
Boko Haram pada hari selasa (4/11/2014) satu kantor polisi di negara bagian Gombe,
Nigeria Timur laut. Serangan yang serupa terjadi lagi pada 19 November 2015 oleh
Boko Haram di daerah Kwami Nigeria Timurlaut.22
20, 2011, “Serangan Bom Terhadap Gedung PBB di Abuja”, http://www.dw.com/id/serangan-bom-terhadap-gedung-pbb-di-abuja/a-15347130, Diakses pada tanggal 18 September 2016
21Levina Chairunnisa dalam skripsi, “
Peran Uni Afrika dalam Menangani Kelompok Militan Boko Haran di Nigeria”, hlm 7-9
Grafik 1
Serangan yang dilakukan oleh Boko Haram pada 2008-2011
Sumber : Institute for the Study ofViolent Groups, 2011
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa semenjak tahun 2008 sampai
2009 serangan yang dilakukan oleh kelompok Boko Haram cukup meningkat yaitu
sekitar 48 kasus sedangkan pada tahun 2010 serangan yang dilakukan kelompok
Boko Haram mulai meningkat hingga 97 kasus dan pada tahun 2011 serangan dari
kelompok Boko Haram menjadi sangat meningkat hingga 345 kasus dan serangan
tersebut semakin tinggi setiap tahunnya, ini dikarenakan kelompok Boko Haram telah
meningkatkan aksi kekerasan, pembunuhan dan penyanderaan, di mana kelompok Boko Haram telah menjadikan sekolah dan sarana pendidikan sebagai target serangan mereka. Di negara bagian Borno di utara Nigeria, yang menjadi kubu utama Boko Haram, mereka telah membunuh 70 orang guru dan menghancurkan 900 gedung sekolah. Juga penculikan 200 siswa perempuan dari sebuah sekolah di Chibok, dan menjadi topik kecaman internasional,23 sehingga menimbulkan ancaman signifikan terhadap pemerintah dan keselamatan penduduk di Nigeria.
23Philipp Sandner, 2011, “Pelajar Nigeria Takut Boko Haram”,
Kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Boko Haram telah menyebabkan
ribuan orang menjadi korban sipil sehingga harus mengungsi ke berbagai wilayah
yang lebih aman. Menurut data yang diperoleh dari Armed Conflict Location and Even Data Project (ACLED), sejak aksi kekerasannya pada tahun 2009 ampai awal tahun 2015, korban tewas mencapai 20.000 jiwa dan menyebabkan 2,3 juta penduduk
mengungsi.24 Serangan tersebut juga sangat berdampak sekali terhadap penduduk
sipil yang rentan khususnya anak-anak yang karena serangan kelompok Boko Haram
tersebut telah menyebabkan mereka kehilangan masa-masa mereka untuk bermain,
belajar bahkan kehilangan kasih sayang, keluarga dan tempat tinggal. Menurut data
yang dikeluarkan oleh PBB juga disebutkan bahwa akibat dari serangan yang
dilakukan Boko Haram telah menyebabkan sekitar 1,4 juta anak, yang mana lebih
dari mereka berusia dibawah lima tahun, telah dipaksa untuk meninggalkan rumah
mereka dan mengungsi. Disebutkan juga bahwa akibat serangan tersebut, lebih dari
124,000 anak di Nigeria yang daerahnya terkena dampak serangan Boko Haram
belum menerima vaksin campak, lalu lebih dari 83.000 anak tidak memperoleh akses
ke air bersih dan lebih dari 208 anak tidak bisa bersekolah.25
B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Konflik Bersenjata di Nigeria
Dalam HHI, anak-anak diklasifikasikan sebagai salah satu kelompok rentan
yang harus diberlakukan khusus dalam penegakan hukum internasional dan nasional.
Dalam konteks terjadinya perang dan berbagai konflik bersenjata anak selalu menjadi
korban bahkan tidak sedikit dari mereka harus menanggung kebiadaban militer di saat
berkecamuknya perang ataupun konflik bersenjata di berbagai tempat. Perlindungan
terhadap anak-anak dijamin cukup serius. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa
pasal di Konvensi Jenewa IV Tahun1949 tentang Perlindungan Orang Sipil di Waktu
Perang. Pasal 17 menegaskan bahwa:
24Lavite Brown, 2015,“
Boko Haram Nigeriacivilian Death Toll Highest Acled African War
Zones”,http://www.theguardian.com/globaldevelopment/ 2015/jan/23/boko-haram-nigeriacivilian- death-toll-highest-acled-african-war-zones. Pada tanggal 26 Februari 2016
25Emaunuel Braun, 2015, “1,4 Juta Anak Mengungsi Akibat Boko Haram”,
“pihak-pihak dalam pertikaian harus berusaha untuk mengadakan persetujuan-persetujuan setempat untuk memindahkan yang luka, sakit, yang lemah dan orang-orang tua, anak-anak dan wanita hamil, dari daerah-daerah perjalanan mereka ke daerah-daerah demikian itu”
Kutipan pasal di atas mengatakan bahwa para pihak dituntut untuk membuat
perjanjian lokalistik untuk mengamankan zona yang nantinya akan dilewati atau
ditempati orang-orang yang terluka akibat perang, orang yang sakit, orang yang
lemah, para orang tua, anak-anak, persalinan, para medis dan termasuk harus
mengamankan alat-alat medis dalam perjalanannya menuju lokasi-lokasi tempat
berkumpulnya kelompok sipil yang dilindungi di atas terkhususnya anak-anak. Dalam
pasal 24 juga ditegaskan bahwa:
“pihak-pihak dalam pertikaian harus mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk menjamin bahwa anak-anak dibawah lima belas tahun, yatim piatu atau yang terpisah dari keluarganya sebagai akibat perang, tidak dibiarkan pada nasipnya sendiri, dan bahwa pemeliharaan, pelaksanaan ibadah dan pendidikan mereka selalu akan mendapat bantuan. Pendidikan mereka sebisa mungkin harus dipercayakan pada orang-orang dari tradisi, suku yang kebudayaannya serupa..”.
Dalam kutipan pasal 24 diatas, anak-anak sangat dilindungi secara khusus sama
seperti kelompok rentan lainnya. Di mana anak-anak korban perang haruslah
dipermudah untuk diterima di negara-negara netral dan mereka harus difasilitasi
layaknya seperti anak yang lainnya dalam segala situasi. Perang ataupun konflik
bersenjata juga tidak boleh mengucilkan dan mendiskriminasi posisi mereka. Pasal 38
(5) juga menegaskan bahwa:
“anak-anak di bawah lima belas tahun, wanita hamil dan ibu-ibu dari anak-anak dibawah tujuh tahun akan memperoleh manfaat dari tiap perlakuan istimewa,
seperti juga warganegara negara bersangkutan”
Dalam kutipan pasal di atas menegaskan bahwa di masa damai, anak-anak yang
di bawah 15 tahun serta ibu hamil yang mempunyai anak di bawah 7 tahun haruslah
seperti pemenang perang”.26
Perlakuan khusus terhadap anak juga ditegaskan dalam
Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik
Bersenjata Internasional. Konvensi ini menegaskan secara serius bahwa para pihak
yang terlibat konflik harus setiap saat membedakan antara subyek dan obyek sipil dan
kombatan. Para pihak harus patuh pada prinsip pembedaan, yaitu satu asas yang
menjadi petujuk bagi para pihak yang bertikai untuk menentukan siapa dan apa yang
harus dilindungi dan apa dan siapa yang bisa diperangi. Para pihak dilarang
melakukan penyerangan tanpa pandang bulu.
Pada protokol tambahan I dalam pasal 77 juga ditegaskan secara jelas
bagaimana perlindungan dan perlakuan khusus bagi anak-anak. Dalam pasal ini
dinyatakan bahwa anak-anak harus diberikan penghormatan yang khusus, mereka
harus dilindungi dari segala serangan yang tidak senonoh dalam konflik perang. Para
pihak harus memberikan perhatian khusus dan memberikan segala bantuan untuk
melindungi keberadaan mereka. Dalam pasal ini juga ditegaskan bahwa anak-anak di
bawah 15 tahun tidak boleh direkrut untuk menjadi kombatan. Kalaupun mereka
terlibat dalam kombatan, para pihak harus tetap memberikan perlindungan khusus
kepada anak-anak. Pada Protokol Tambahan I tahun 1977, dalam pasal 78 juga
mengatakan :
1. “Tidak satu pihakpun dalam sengketa boleh menyelenggarakan pengungsian anak-anak, selain dari pada warga negaranya sendiri, ke sebuah negara asing, kecuali untuk suatu pengungsian sementara karena alasan-alasan perawatan kesehatan atau pengobatan anak-anak itu memaksakannya atau kecuali keamanaan anak-anak itu di daerah yang diduduki menghendaki demikian. Apabila orang tua atau wali hukum mereka dapat ditemukan maka ijin tertulis untuk pengungsian seperti itu diperlukan. Apabila orang-orang tersebut tidak dapat ditemukan maka ijin tertulis bagi pengungsian seperti itu diperlukan dari orang-orang yang oleh undang-undang atau adat kebiasaan dinyatakan bertanggung jawab utama bagi pemeliharaan anak-anak itu. Setiap pengungsian seperti itu harus dilakukan dibawah pengawasan kekuasaan pelindung dengan persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan, yaitu pihak yang menyelenggarakan
pengungsian itu, pihak yang menerima anak-anak dan pihak-pihak manapun yang warga negara-warga negaranya sedang diungsikan. Dalam setiap hal, semua pihak dalam sengketa harus mengambil segala tindakan pencegahan yang dapat dilakukan guna menghindari terjadinya hal yang membahayakan pengungsian tersebut.
2. Manakala suatu pengungsian terjadi sejalan dengan ayat (1) di atas, maka setiap pendidikan anak-anak, termasuk pendidikan agama dan susila seperti yang dikehendaki orang tuanya, harus sedapat mungkin dijamin terus kelangsungannya selama anak-anak itu jauh dari orang tuanya.
3. Dengan mengingat untuk mempermudah kembalinya anak-anak yang diungsikan sesuai dengan pasal ini kepada orang tua dari negara mereka, para pejabat dan pihak yang menyelenggarakan pengungsian itu dan sebagaimana selayaknya, para pejabat dan negara penerima anak itu harus mengadakan bagi setiap anak sebuah kartu dengan ditempel fotonya, yang harus dikirimkan ke Badan Pencari Pusat dan Komite Internasional Palang Merah. Setiap kartu harus, manakala mungkin, dan manakala tidak melibatkan resiko yang membahayakan anak-anak itu,....”27
Dalam kutipan pasal di atas mengatur bagaimana perlindungan terhadap
anak-anak korban perang harus dilakukan berkesinambungan dan negara negara pihak
harus melakukan evaluasi terhadap situasi dan kondisi hak anak terkait dengan
pendidikan, agama, moral bahkan mereka harus difasilitasi untuk kembali kepada
famili dan keluarga mereka ketika dalam situasi damai. Sehingga negara pihak harus
bertanggungjawab untuk mendata secara obyektif identitas anak-anak korban perang
untuk mempermudah bersatunya anak-anak korban perang dengan para keluarganya.
Perlakuan khusus terhadap anak-anakpun juga berlaku dalam konflik bersenjata
non internasional. Dalam pasal 4 (3.3) Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa 1977
tentang Perlindungan Korban Non Konflik Bersenjata Internasional yaitu menyatakan
bahwa anak-anak harus diberikan perawatan dan bantuan yang mereka butuhkan
demi keselamatan mereka.
Dalam konflik bersenjata non-internasional juga diatur bahwa anak-anak yang
masih dibawah 15 tahun tidak diperbolehkan direkrut untuk terlibat dalam
permusuhan. Kalau anak-anak tetap terlibat dalam permusuhan yang ada, status
mereka harus tetap diberlakukan istimewa, anak-anak itu harus dilindungi dari segala
serangan yang tidak berprikemanusiaan. Dalam aturan 136 Daftar Aturan-aturan
Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan menyatakan bahwa “Anak-anak tidak boleh di rekrut ke dalam angkaran bersenjata ataupun kelompok bersenjata”. Oleh
karena itu, tindakan melibatkan anak-anak dalam konflik adalah merupakan
pelanggaran terhadap HHI.
Anak-anak dalam hukum humaniter diberlakukan secara istimewa. Posisi
mereka bagaimanapun tidak boleh diberlakukan secara sewenang-wenang apalagi
ditembaki dan dibombardir secara membabi buta. Apa yang sering kita saksikan
dalam peristiwa anak-anak di Nigeria yang menjadi korban dari kelompok Boko
Haram, merupakan fakta betapa para pihak berkonflik tidak mematuhi
konvensi-konvensi Jenewa. Tindakan tersebut jelas adalah bentuk pelanggaran HHI.
Instrumentasi terhadap perlindungan istimewa terhadap hak-hak anak tidak
hanya berhenti dalam hukum humaniter saja tetapi pada tahun 1974, Majelis Umum
PBB juga telah mengesahkan The Declaration on the Protection of Women and Children in Emergency and Armed Conflict (Res 3318 (XXIX)). Deklarasi ini memberikan perlindungan kepada anak dan perempuan dari segala serangan dan
pengeboman yang menggunakan senjata kimia dan bakteri. Maka dengan ini sudah
sangat jelas bahwa Dewan Keamanan PBB harusnya bertindak dengan khusus seperti
memberikan sanksi kepada negara-negara yang melakukan kejahatan-kejahatan
kemanusiaan terhadap anak, baik sanksi ekonomi, memerangi negara bersangkutan,
ataupun mendirikan pengadilan internasional seperti ICTY dan ICTR untuk
mengadili pelanggar-pelanggar aturan hukum humaniter. Dalam kasus kejahatan
terhadap kemanusiaan, kasus itu bisa diselesaikan lewat pembentukan pengadilan ad hoc seperti Nurenberg Tribunal dan International Military Tribunal for the Far East pada kasus pelanggaran perang dunia II, bisa lewat pengadilan ad hoc seperti ICTY di Yugoslavia dan ICTR di Rwanda, dan saat ini bisa diselesaikan lewat
pengadilan tetap ICC setelah negara yang berperang ataupun terlibat konflik
mengadili pelaku-pelaku pelanggaran kejahatan terhadap kemanusiaan dalam
pengadilan HAM domestiknya.28
Penegakan hukum humaniter dan resolusi PBB tahun 1974 sangat penting
sehingga tidak terjadi lagi kekarasan terhadap anak-anak di berbagai negara.
Sebagaimana dikatakan Melanie Gow dalam The Right to Peace-Children and Armed Conflict bahwa sudah sekitar 2 juta anak-anak terbunuh, 6 juta mengalami luka serius atau cacat permanen, 12 juta kehilangan rumah. Selain itu 1 juta anak menjadi
yatim piatu atau terpisah dari orangtuanya, 10 juta menderita trauma psikologis yang
serius sebagai dampak perang, 300 ribu anak menjadi serdadu. Sekitar 90% korban
perang adalah masyarakat sipil, utamanya anak dan perempuan. Separuh dari 21 juta
pengungsi di seluruh dunia adalah anak-anak, dan setiap tahun antara 8.000 hingga
10.000 anak menjadi korban ranjau darat.29 Kegiatan kelompok militan Boko Haram
tentu saja meresahkan bagi Nigeria, karna telah merusak sistem yang ada. Tidak
hanya menimbulkan ancaman serius terhadap keamanan internal di Nigeria, tetapi
dapat mengancam stabilitas regional di Afrika secara keseluruhan.
C. Penegakan Hukum Humaniter Internasional Dalam Konflik Bersenjata di
Nigeria
Sebagaimana dipaparkan di atas bahwa konflik antara pemerintah Nigeria dan
Boko Haram telah turut mengakibatkan penderitaan bagi anak-anak di sana. Hal ini
diperparah dengan ketidakmampuan pemerintah Nigeria untuk secara efektif
mengatasi masalah tersebut. Selain mengharapkan pemerintah Nigeria untuk
mengatasi masalah tersebut, tersedia juga beberapa pilihan untuk menegakan HHI
dan melindungi anak-anak Nigeria dalam konflik yang terjadi di sana yakni melalui
International Criminal Court (ICC) dan melalui peran organisasi regional seperti Uni-Afrika untuk membantu Nigeria dalam permasalahan ini.
28Levina Chairunnisa, Op. cit, 2013, hlm, 13 29
1. International Criminal Court (ICC)
Ketidakmampuan pemerintah untuk merespons secara efektif ketika
menghadapi serangan-serangan yang dilakukan oleh kelompok Boko Haram telah
mengakibatkan banyak kesengsaraan yang dialami oleh masyarakat terkhususnya
anak-anak di Nigeria sehingga menarik perhatian dari Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court/ICC) untuk menangani masalah terkait konflik bersenjata antara pemerintah Nigeria dan kelompok bersenjata Boko Haram,
mengingat ICC adalah badan peradilan independen permanen yang bermarkas di Den
Haag, Belanda, dan dibentuk oleh negara-negara anggota masyarakat internasional
melalui Statuta Roma 1998 untuk menangani kahusus negara-negara yang berperang
ataupun terlibat konflik bersenjata atau dianggap tidak mau (unwilling) dan tidak mampu (unable) untuk mengadili pelaku-pelaku pelanggaran kejahatan kemanusiaan dalam pengadilan HAM berdasarkan hukum internasional seperti
(1) genocide, (2) crime against humanity, (3) kejahatan terhadap hukum humaniter, (4) kejahatan agresi.
Tidak seperti Mahkamah Internasional (International Court of Justice-ICJ) yang menangani sengketa antar-negara, yuridiksi ICC mencakup individu dan
memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan.
ICC menangani tindak pidana yang dilakukan oleh individu-individu, baik sebagai
bagian dari rezim pemerintahan ataupun sebagai bagian dari gerakan
pemberontak. Dalam hal ini, ia memberlakukan yurisdiksi internasional terhadap
tindak-tindak pidana tersebut. Dasar pendirian ICC adalah (1) kegagalan masyarakat
ketidakmauan (unwilling) dan ketidakmampuan (unable) dari negara-negara yang bersangkutan.30
Dikeluarkan dari situs resminya, ICC menuduh Boko Haram melakukan
kejahatan terhadap kemanusiaan di Nigeria, terutama pembunuhan dan presekusi.
ICC juga menentukan bahwa serangan Boko Haram di Nigeria merupakan kejahatan
terhadap kemanusiaan. Kantor jaksa penuntut Fatou Bensouda mengatakan, ada dasar
yang masuk akal untuk meyakini bahwa Boko Haram telah melancarkan serangan
luas dan sistematis yang menewaskan lebih dari 1.200 umat Kristen dan Muslim
sejak pertengahan tahun 2009.31 Laporan yang dibocorkan ke media itu
merekomendasikan agar pihak berwenang Nigeria mengadili kasus-kasus kejahatan
itu, jika tidak demikian maka ICC mengatakan bahawa mereka sendiri yang akan
melakukannya sendiri.
Menyangkut tuduhan bahwa badan-badan keamanan Nigeria juga melakukan
pelanggaran hak asasi, laporan itu menegaskan bahwa tidak ada indikasi bahwa
tindakan-tindakan yang dituduhkan itu merupakan bagian kebijakan pemerintah atau
organisasi untuk menyerang penduduk. Bulan lalu, Human Rights Watch (HRW) mengatakan bahwa konflik antara Boko Haram dan pemerintah Nigeria telah
menewaskan lebih dari 2.800 orang sejak 2009, dan 1.300 di antaranya karena
perbuatan pasukan keamanan Nigeria. ICC juga menetapkan bahwa serangan yang
dilakukan oleh Boko Haram yang menyerukan genosida, merupakan kejahatan
terhadap kemanusiaan dan melanggar aturan internasional yang telah diatur dalam
Statuta Roma, yaitu berdasarkan “Pasal 7 (1) (a) tentang pembunuhan” dan “Pasal 7
(1) (h) tentang penganiyayaan”.32
30Zain Al-Muhtar, 2012, “Mengenal Lebih Dekat International Criminal Courtd”, sergie-zainovsky.blogspot.co.id, pada tanggal 13 September 2016
31
International Criminal Court (ICC), 2015, “Boko Haram”, https:/www.icc-cpi.int, pada tanggal 2 September 2016
32Septian Syarif, 2015,”Tanggung Jawab Pemerintah Nigeria Dan Boko
Pengadilan di negara Chad menjatuhkan hukuman mati kepada 10 tersangka
anggota Boko Haram. Mereka divonis mati atas dua aksi bom bunuh diri yang
menewaskan 38 orang di N'Djamena, ibukota Chad pada Juni lalu. "Para terdakwa
Boko Haram itu divonis mati," demikian putusan pengadilan pada Jumat (28/8)
seperti dilansir kantor berita AFP, Sabtu (29/8/2015). Ini merupakan persidangan pertama di Nigeria terhadap kelompok Boko Haram yang berbasis di Nigeria.
Negara-negara tetangga Nigeria seperti Chad, Kamerun dan Niger tak luput dari
serangan-serangan Boko Haram. Awal tahun ini, negara-negara tersebut
mengumumkan pembentukan pasukan regional untuk memerangi Boko Haram yang
telah menewaskan lebih dari 15 ribu orang sejak tahun 2009.
Para terdakwa Boko Haram tersebut didakwa atas konspirasi kejahatan,
pembunuhan, pengrusakan dengan bahan peledak, penipuan, kepemilikan senjata dan
amunisi ilegal dan penggunaan zat-zat psikotropika. Salah satu terdakwa termasuk
warga Nigeria bernama Mahamat Mustapha, yang juga dikenal sebagai Bana Fanaye.
Otoritas Chad menyebut dia sebagai dalang serangan bom bunuh diri di sekolah dan
kantor polisi pada 15 Juni lalu. Sebanyak 38 orang tewas dan lebih dari 100 orang
lainnya luka-luka dalam dua insiden bom tersebut. Tak lama setelah penangkapan
Fanaye pada akhir Juni lalu, Jaksa Agung Chad Alghassim Kassim menyatakan, pria
itu merupakan pemimpin jaringan penyelundupan senjata dan munisi antara Nigeria,
Kamerun dan Chad.33
2. Peran Uni-Afrika
Nigeria yang ingin menanggani kelompok Boko Haram di negara mereka,
mengundang reaksi bagi organisasi regional Afrika, yaitu Uni Afrika yang
menciptakan stabilitas dan perdamaian di Afrika. Kegiatan Boko Haram yang
dipandang menjadi ancaman serius bagi perdamaian dan keamanan di kawasan
Afrika, membuat Uni Afrika mengambil langkah-langkah bersama secara efektif
33Rita Uli Hitapea, 2015, “10 Anggota Boko Haram Divonis Mati Pengadilan Chat”,
dalam menanggani ancaman tersebut. Hal ini dikarenakan dalam penanganan kasus
Boko Haram, PBB telah mendaftar hitamkan Boko Haram sebagai kelompok teroris.
Uni Afrika (African Union) merupakan sebuah organisasi internasional untuk daerah regional Afrika yang dibentuk pada tahun 2002. Organisasi ini adalah penerus
dari Organisasi Persatuan Afrika (Organization of African Unity). Uni Afrika merupakan organisasi yang bertujuan untuk memperkuat integrasi antar
negara-negara anggota, memperkuat suara Afrika di kancah internasional, menyatukan
seluruh negara di kawasan Afrika dalam rangka menyelesaikan berbagai masalah
sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggotanya. Uni Afrika memiliki lebih
banyak badan dengan tugas-tugas dan fungsi yang lebih spesifik yang mencerminkan
keseriusan para pemimpin Afrika untuk membangun kawasan Afrika ke arah yang
lebih baik, terutama dalam hal pembangunan ekonomi dan stabilitas kawasan.34
Dengan berakhirnya perang dingin, pembebasan akhir dari Afrika Selatan, dan
terbentuknya kembali Afrika di panggung politik internasional, maka para kepala
negara di Afrika mengakui bahwa kerangka OAU tidak lagi memadai untuk
memenuhi kebutuhan Afrika dalam mengkoordinasi kebijakan benua yang lebih besar
dan menumbuhkan perekonomian yang lebih pesat. Uni Afrika berhak mencampuri
urusan internal negara anggotanya jika terjadi peristiwa yang dapat mengancam
perdamaian serta keamanan kawasan secara keseluruhan. Pada saat ini, salah satu
negara anggota Uni Afrika yaitu Nigeria menjadi fokus penting dari isu keamanan di
Afrika, karena terjadinya konflik kekerasan kelompok militan Boko Haram yang
mengganggu stabilitas keamanan di kawasan Afrika. Uni Afrika sebagai organisasi
regional menjadi lebih aktif terlibat dalam mengakhiri pemberontakan dan
mengalahkan Boko Haram. Dengan adanya kebijakan sebagai organisasi regional,
peran-peran yang dilakukan oleh Uni Afrika dalam mengatasi permasalahan yang
34Roman Suyono, 2015,”Diploma PBB dan Daftar Hitam Boko Haram”,
diakibatkan oleh kelompok Boko Haram sangat diperhatikan oleh masyarakat
internasional.35
Upaya Uni Afrika untuk terus melakukan menangani tindak kekerasan
kelompok Boko Haram guna menciptakan keadaan damai di kawasan Afrika. Dalam
upaya menyelesaikan konflik tersebut, banyak pihak menilai masuknya pihak asing
ke dalam konflik sangat diperlukan untuk melakukan mediasi. Pihak ketiga
diharapkan mampu membawa setiap pihak yang bertikai untuk melakukan
perundingan dan menghentikan konflik. Terdapat faktor internal dan faktor eksternal
sehingga masuknya Uni Afrika dalam menanggani kelompok militan Boko Haram di
Nigeria. Faktor-faktor internal merupakan faktor yang secara langsung berasal dari
komitmen Uni Afrika sendiri untuk terlibat dalam penyelesaian konflik di
negara-negara anggotanya melalui mekanisme dan penyelesaian konflik yang dimiliki Uni
Afrika. Sedangkan faktor eksternal berasal dari beberapa pihak internasional (PBB,
Uni Eropa, Amerika Serikat, Perancis, dll) yang terus mendorong Uni Afrika untuk
dapat mangatasi masalah dihadapi bangsa Afrika dan untuk mencapai
tujuan-tujuannya.36
Banyak negara-negara yang mengecam tindakan Nigeria yang kurang responsif
dan bergerak lambat dalam menganggulangi permasalahan Boko Haram. Uni Afrika
sebagai organisasi regional mendapat desakan dari pihak internasional untuk
mengatasi permasalahan kemanusiaan ini. Tawaran bantuan datang dari banyak
negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, China dan Israel. Tawaran bantuan
juga datang dari badan-badan PBB, seperti United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR).37
Bentrokan antara Boko Haram dan pasukan pemerintah Nigeria telah
meningkat dan meluas ke lintas batas dan menjadi semakin teregionalisasi. Lonjakan
pertempuran di wilayah ini sebagian besar telah menghambat upaya untuk
3535Levina Chairunnisa, Op. cit, 2013, hlm, 47 36
Ibid 49
37Anggid, 2014, ”Uni Afrika Didesak Untuk Turun Tangan”,
memberikan bantuan kemanusiaan kepada mereka yang membutuhkan khususnya
anak-anak dan wanita. Para ahli PBB menekankan bahwa melawan terorisme dan
menangani ancaman Boko Haram akan membutuhkan lebih dari aksi militer. Upaya
seharusnya juga lebih ditekankan pada bantuan kemanusiaan untuk orang-orang yang
menderita akibat kekerasan Boko Haram, karena Boko Haram menargetkan warga
sipil khususnya anak-anak dalam penyerangannya sehingga berdampak psikologis
bagi para anak-anak dan wanita. Uni Afrika diharapkan fokus pada upaya menolong
membangun kembali komunitas dan membantu mereka yang terkena dampak
pemberontakan oleh kelompok militan itu. Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB
menyatakan siap membantu Nigeria dalam rehabilitasi dan reintegrasi. Bantuan akan
diberikan dalam pemulihan dan rehabilitasi yang didasarkan pada norma-norma hak
asasi manusia dan mempertimbangkan dampak dari konflik regional pada perempuan
dan anak-anak.38
Aksi solidaritas dalam memerangi terorisme perlu ditingkatkan karena adanya
kaitan penuh hak asasi manusia internasional, hukum humaniter dan pengungsi.
Masyarakat internasional harus bekerja sama untuk memberikan dukungan bantuan
kemanusiaan yang mendesak dan pemulihan segera sebagai cara untuk mengurangi
dampak pada populasi terkena dampak oleh Boko Haram. Bantuan yang diberikan
oleh negara penerima pengungsi lebih difokuskan untuk menyediakan tempat tinggal
dan layanan dasar lainnya. Selain kebutuhan dasar, bantuan juga diperlukan untuk
mencegah kekurangan gizi di kalangan anak-anak dan untuk membangun sistem
pendidikan yang rusak akibat konflik. Dalam rangka mendukung keamanan di dalam
bidang kemanusiaan, Uni Afrika juga bekerja sama dengan negara-negara tetangga
Nigeria. Sebagai anggota Uni Afrika yang bertetangga dengan Nigeria, pemerintah
Chad, Kamerun dan Niger memiliki tanggung jawab utama untuk membantu dan
melindungi pengungsi. UNHCR terus mengkoordinasikan bersama-sama dengan Uni
38Arie Rachman, 2011, “PBB Desak Negara Afrika Bersatu Menghadapi Boko
Afrika dalam merespon pengungsi dengan mengadakan pertemuan rutin antar sektor
dan koordinasi sektor yang diselenggarakan di ibukota N'Djamena dan di daerah
perbatasan Danau Chad, Baga Sola, dengan Komisi Nationale d'Accueil et de Reinsersi des Réfugiés et des Rapatriés (CARR).39 Adanya koordinasi dari berbagai sektor ini untuk memfasilitasi analisis, pelaksanaan, pemantauan dan laporan
kegiatan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dilihat bahwa anak-anak yang
seharusnya dilindungi telah terabaikan hak-haknya dan menjadi sasaran dalam
konflik bersenjata yang terjadi. Penegakan Hukum Humaniter dan juga penerapannya
di lapangan sangat diperlukan demi melindungi mereka yang sebenarnya tidak
terlibat dalam konflik bersenjata khususnya anak-anak, dan hal tersebut merupakan
tanggungjawab dari setiap badan atau kelompok yang terlibat dalam konflik di
Nigeria untuk melaksanakannya.
III. PENUTUP
Dampak dari serangan kelompok Boko Haram telah banyak memakan korban
terkhususnya anak-anak di Nigeria dan serangan-serangan tersebut semakin
meningkat setiap tahunnya, terlihat dari grafik penyerangan kelompok Boko Haram
yang semakin tinggi dari tahun 2008 sampai dengan 2011 dan terus meningkat
sampai dengan sekarang. Berdasarkan Konvensi jenewa IV tahun 1949 tentang
prlindungan orang sipil dalam konflik bersenjata, Protokol Tambahan I tahun 1977
tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional, dan Protokol
Tambahan II Tahun 1977 tentang Perlindungan Korban dalam Konflik Bersenjata
Non-internasional (Protokol Tambahan II 1977) dan resolusi PBB, kelompok Boko
Haram telah melanggar aturan-aturan dalam pasal-pasal yang mengatur tentang
perlindungan anak dalam sebuah konflik bersenjata non-internasional dan ketentuan
yang ada dalam Statuta Roma yang juga mengatur tantang perlindungan anak.
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku
Ambarwati, dkk, 2012, Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Thontowi, Jawahir, dkk, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung, Refika Aditama.
Nasution, Adnan Buyung, dkk, 2006, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia (YLBHI).
International Review of The Red Cross, Volume 87 Nomor 857 Maret 2005.
ICRC, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999.
KGPH Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Rajawali Press, Jakarta, 2007.
Nowak, Manfred, Pengantar pada Rezim HAMInternasional,Pustaka Hak Asasi Manusia Wallenberg Institute, 2003
Wagiman, Wahyu, Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia, Elsam, Jakarta, 2005.
II. Perjanjian Internasional
Konvensi jenewa I, II, III dan IV tahun 1949 tentang Perlindungan Terhadap
Korban Perang dan Konvlik Non Internasional.
Protokol Tambahan I tahun 1977, tentang Perlindungan Korban Sengketa
bersenjata Internasional.
Protokol Tambahan II tahun 1977, tentang Perlindungan Orang-orang Sipil
dalam Konflik Bersenjata Non-Internasional.
Konvensi Hak-hak Anak 1989 (Internasional Convention on the Rights of
the Child).
Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak Tahun 2000 Tentang Pelibatan
Anak-anak Dalam Konflik Bersenjata.
Statuta Roma 1998 (International Criminal Court (ICC) III.Artikel dan Jurnal
Amnesty Internasional, Nigeria: Nigerian Autorities were Warned of Boko Haram Attacks on Baga and Monguno,2016.
Detik News, Dua Ribu Wanita dan Anak-anak Nigeria Diculik Boko Haram, 2016.
Antara News, Serangan Bunuh Diri Perempuan dan Anak meningkat di
Nigeria.2016.
Nilda D. I. Manu, dalam Skripsi “Tanggung Jawab Kelompok Boko Haram