MAKNA SUMBANGAN
PADA ACARA PERNIKAHAN MASA KINI
(Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang,
Kabupaten Sragen)
Skripsi oleh :
HIMBASU MADOKO NIM. K8405001
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
MAKNA SUMBANGAN
PADA ACARA PERNIKAHAN MASA KINI
(Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang,
Kabupaten Sragen)
oleh :
HIMBASU MADOKO NIM. K8405001
Skripsi
Ditulis dan Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi Jurusan
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini Telah Disetujui untuk Dipertahankan di Hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Surakarta, Juli 2009
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I
Drs. Suparno, M.Si NIP. 19481210 197903 1 002
Pembimbing II
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan.
Pada hari : Jum’at
Tanggal : 17 Juli 2009
Tim Penguji Skripsi:
Nama Terang Tanda tangan
Ketua : Drs. H. MH. Sukarno, M.Pd ...
Sekretaris : Dra. Hj. Siti Rochani .CH, M.Pd ...
Anggota I : Drs. Suparno, M.Si ………
Anggota II : Siany Indria. L, S.Ant., M.Hum ………
Disahkan oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan,
Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd
ABSTRAK
Himbasu Madoko, MAKNA SUMBANGAN PADA ACARA PERNIKAHAN MASA KINI (Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009.
Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui dan memahami mengapa sumbangan dalam acara perkawinan menjadi sesuatu yang penting di dalam kehidupan masyarakat, (2) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana masyarakat memaknai sumbangan pada acara pernikahan dalam konteks masa kini.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif diskriptif. Sumber data dalam penelitian ini yaitu; (1) Informan atau narasumber, yaitu warga masyarakat dilokasi penelitian serta pihak-pihak yang sedang atau pernah mengadakan acara pernikahan, (2) Sumber data dari peristiwa atau aktivitas, yaitu ketika acara pernikahan dan sistem sumbangan ini dilaksanakan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara mendalam (in depth interviewing) dan observasi secara langsung. Teknik pengembangan validitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah trianggulasi data (trianggulasi sumber), trianggulasi metode dan review informan. Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif yang meliputi empat komponen yaitu pengumpulan data, reduksi data (reduction), sajian data (display) dan penarikan kesimpulan serta verifikasinya.
ABSTRACT
Himbasu Madoko, THE MEANING OF CONTRIBUTION IN THE PRESENT WEDDING CEREMONY EVENT (A Case Study in Village Jati, Sub district Sumberlawang, Regency Sragen). Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty. Surakarta Sebelas Maret University, 2009.
The objective of research is (1) to find out and to understand why the contribution in wedding ceremony event becomes something important in the society life, (2) to find out and to understand how the society means the contribution in wedding ceremony event in the present context.
This research used a descriptive qualitative method. The data source in this study includes: (1) informant or resource, that is, the residents of research location and the people who are conducting or has ever conducted the wedding ceremony event, (2) data source from the event or activity, that is, the wedding ceremony or the contribution system conducted. Techniques of collecting data employed in this study were in depth interview and direct observation. Technique of validating data used was data (source), method triangulations and informant review. Technique of analysing data used was an interactive analysis model encompassing four components: data collection, reduction, display and conclusion drawing as well as verification.
MOTTO
“Orang yang murah hati dan jujur mengalami masa terbaik dalam hidup
mereka dan tidak pernah dibebani oleh kesukaran-kesukaran. Tetapi orang yang
penakut selalu curiga dan gelisah terhadap segala sesuatu, dan seseorang yang kikir
selalu mengeluh atas hadiah-hadiah yang diberikannya kepada orang lain” ( Havamal
dalam Marcel Mauss. 1992: xvii).
“Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai”
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan
Kepada:
Bapak dan ibu tercinta
Adikku
Teman-teman Sos-Ant ’05
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan untuk memenuhi
sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya
kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuannya,
disampaikan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd, selaku Dekan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta;
2. Bapak Drs. H. Syaiful Bachri, M. Pd selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu
Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret
Surakarta;
3. Bapak Drs. H. MH Sukarno, M. Pd selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Sosiologi-Antropologi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Universitas Sebelas Maret Surakarta;
4. Bapak Drs. Suparno, M.Si selaku Pembimbing I yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingannya;
5. Ibu Siany Indria. L. S.Ant., M.Hum selaku Pembimbing II yang telah
memberikan pengarahan dan bimbingan demi penyempurnaan penulisan
skripsi;
6. Ibu Atik Catur Budiati, S. Sos, M.A selaku Pembimbing Akademik terima
kasih atas kesabaran dan petunjuk yang diberikan selama peneliti menempuh
studi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta;
7. Segenap Bapak/Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi
8. Bapak kepala Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen atas izin yang
diberikan;
9. Para informan yang telah memberikan pengalaman hidup dan berbagai
informasi yang dibutuhkan peneliti;
10.Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan imbalan dari Tuhan Yang
Maha Esa.
Walaupun disadari dalam skripsi ini masih ada kekurangan, namun
diharapkan skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Surakarta, 2009
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGAJUAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN ABSTRAK ... v
HALAMAN MOTTO ... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II LANDASAN TEORI... 7
A. Tinjauan Pustaka ... 7
1. Definisi dan Bentuk Sumbangan………. 7
2. Konsep Sumbangan dalam Fungsionalisme……… 8
3. Resiprositas dalam Sistem Sumbangan………... 15
4. Kekerasan Simbolik dalam Sistem Sumbangan……….. 20
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 25
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 25
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 26
C. Sumber Data ... 27
D. Teknik Cuplikan ... 28
E. Teknik Pengumpulan Data ... 29
F. Validitas Data ... 31
G. Analisis Data ... 32
H. Prosedur Penelitian... 33
BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN ………... 35
A. Deskripsi Lokasi Penelitian... 35
B. Temuan Hasil Penelitian yang Dihubungkan dengan Kajian Teori ... 38
1.Waktu Pelaksanaan Pernikahan di Desa Jati ... 38
2.Bentuk Sumbangan pada Acara Pernikahan di Desa Jati... 40
3. Arti Penting Sumbangan dalam Acara Pernikahan bagi Kehidupan Masyarakat Desa Jati... 44
4. Pemaknaan Sumbangan pada Acara Pernikahan dalam Konteks Masa Kini... 65
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN... 81
A. Simpulan ... 81
B. Implikasi ... 83
C. Saran ... 84
DAFTAR PUSTAKA ... 86
Daftar Tabel
DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupannya manusia tidak akan dapat lepas antara yang satu
dengan lainnya. Mereka saling berinteraksi untuk membangun pergaulan hidup
bersama karena itu terbentuklah masyarakat. Pertemuan antar manusia secara
badaniah saja tidak akan dapat menghasilkan pergaulan hidup. Pergaulan hidup
akan dapat tercapai jika mereka saling berkomunikasi, bekerja sama, bahkan saling
bersaing dan bertikai. Sehubungan dengan hal ini Kimball Young dan Raymond
dalam Soerjono Soekanto (2004:61) mengemukakan bahwa, ”interaksi sosial adalah
kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial tidak akan
mungkin ada kehidupan bersama”.
Aktifitas saling tolong-menolong/kerja sama merupakan salah satu bentuk
interaksi sosial. Gillin dan Gillin dalam Soerjono Soekanto (2004:71)
menggolongkan aktifitas ini sebagai interaksi sosial yang mengarah pada bentuk
penyatuan (assosiasif). Perasaan saling membutuhkan yang tersalurkan melalui
interaksi sosial akan terwujud dalam aktivitas saling tolong-menolong. Bentuk
tolong-menolong antar sesama manusia dapat mempererat persaudaraan (hubungan
batin), yang akan membentuk perasaan bersatu dan bersolidaritas. Perasaan saling
membutuhkan ini menimbulkan sistem tukar menukar kewajiban untuk memberi
dan menerima bantuan kepada sesamanya. Masyarakat kemudian saling membantu
satu sama lain dalam berbagai hal.
Kegiatan saling tolong-menolong dalam masyarakat salah satunya dapat
dilihat dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat. Hampir masyarakat di seluruh
itu memang universal, dan ada hampir dalam semua kebudayaan di seluruh dunia,
hanya saja tidak semua saat peralihan dianggap sama pentingnya dalam semua
kebudayaan”. Masyarakat Jawa juga mengenal siklus kehidupan ini yang meliputi
kelahiran, perkembangan, dan kematian. Dalam hal ini mereka sangat
mengindahkan kegiatan saling tolong menolong terutama dalam pelaksanaan acara
adatnya.
Pertolongan/bantuan yang diberikan seseorang dalam kegiatan adat
bentuknya bermacam-macam. Bantuan tersebut dapat berupa tenaga, pikiran, benda
materi, biaya, dan sebagainya. Seseorang dalam kehidupan masyarakat dapat
memberikan salah satu bentuk pertolongan/bantuan saja seperti misalnya tenaga,
pikiran, benda materi, biaya, atau bantuan yang lainnya, namun seseorang juga
dapat memberikan berbagai bantuan dalam suatu acara. Seseorang mungkin dalam
suatu acara dapat memberikan bantuan tenaga dalam pelaksanaanya, disamping itu
juga sering memberikan bantuan biaya, pikiran benda materi, maupun
bantuan-bantuan yang lainnya.
Salah satu bentuk tolong menolong adalah sumbangan. Di dalam
masyarakat kita sumbangan memiliki dua arti. Pertama, sumbangan dalam arti
umum yang mencakup semua pertolongan baik yang berupa tenaga, pikiran, benda
materi, biaya, dan sebagainya. Kedua, sumbangan dalam arti yang lebih sempit,
yaitu sebagai istilah pertolongan (sokongan) yang berupa bantuan material (benda
ataupun biaya) untuk membantu seseorang yang sedang memiliki hajat. Arti
sumbangan yang kedua ini dalam bukunya Clifford Geertz (1983:88) dituliskan
dengan istilah “buwuh”. Sumbangan dalam arti “buwuh” inilah yang akan menjadi fokus dalam pembahasan ini.
Berkaitan dengan upacara dalam siklus kehidupan yang dikenal
masyarakat Jawa, sumbangan biasanya diberikan pada saat adanya kelahiran,
sunatan, perkawinan, kematian ataupun aktifitas-aktifitas yang lainnya seperti
sebagainya. Sumbangan yang diberikan pada pesta perayaan perkawinan dan
sunatan merupakan sumbangan yang sedikit berbeda dibandingkan dengan
sumbangan pada kematian, kelahiran, dan aktifitas yang lainnya, karena diberikan
kepada seseorang/keluarga yang notabene adalah mereka yang mampu
menyelenggarakan pesta dan mengundang para tamu yang akan memberikan
sumbangan tersebut.
Dewasa ini sumbangan, sering dinilai secara sinis sebagai sumber
keuntungan dan banyak orang yang menyelenggarakan hajat hanya untuk
mengharapkan keuntungan dari sumbangan para tamu saja. Seperti kutipan dari
informan yang diteliti oleh Clifford Geertz dalam bukunya Abangan, Santri Priyayi
Dalam Masyarakat Jawa (1983:88), berikut ini :
... Ia mengatakan bahwa buwuh yang dahulu merupakan soal rukun, terutama
ketika buwuh itu tidak berupa uang tetapi berupa barang seperti barang
makanan dan sebagainya telah merosot menjadi pasal cari uang biasa di mata
seorang yang sedang gawe duwe. Kerap kali yang yang masuk lebih banyak
dari uang yang keluar, karena itu tuan rumah memperoleh laba, karena itu
jugalah sekarang ini orang suka menyelenggarakan pesta sekedar untuk
memperoleh keuntungan. Kata orang siallah kita kalau tidak punya anak untuk
disunatkan atau dikawinkan dengan suatu pesta, sebab ini berarti hilanglah
kesempatan untuk memperoleh keuntungan... .
Sudarmono dalam Opini; Nuansa Kondangan http://www.lampungspost.
com/cetak/berita.php?id=2007010900565359, Selasa 9Januari2007, menjelas-kan,
merasuk pada niatnya”. Kenyataannya pada umumnya masyarakat apabila
menerima undangan suatu acara pernikahan atau sunatan yang merupakan kabar
gembira dari saudara atau temannya justru sering menjadi bahan keluhan.
Masyarakat kini memandang jika menghadiri undangan suatu upacara
pernikahan/sunatan yang dipikirkan pertama kali adalah harus menyediakan
sejumlah uang yang dianggap pantas sebagai sumbangan. Pandangan ini telah
menggeser niat utama dalam menghadiri suatu undangan. Masyarakat seakan-akan
menjadi kurang ikhlas dengan keluhan-keluhan mereka.
Fenomena menyumbang/sumbangan telah menjadi budaya yang tidak sehat
lagi dalam kehidupan masyarakat. Sangat jarang sekali seseorang/keluarga yang
menyelenggarakan suatu pesta pernikahan ataupun khitanan tanpa mengharapkan
sumbangan dari para tamu undangannya, dan sangat banyak sekali masyarakat yang
kini menjadi sering mengeluh karena sumbangan ini. Di dalam surat undangan
suatu acara pesta perkawinan atau khitanan sering kita lihat tulisan yang pada
intinya menyatakan seseorang/keluarga yang menyelenggarakan pesta tanpa
mengurangi rasa hormat tidak menerima sumbangan yang berupa cinderamata atau
karangan bunga. Sangat jarang sekali bahkan hanya ada beberapa orang saja yang
berani menuliskan di dalam surat undangannya jika mereka (penyelenggara pesta)
tidak menerima sumbangan dalam bentuk apapun.
Sistem sumbangan pada khususnya dalam upacara khitanan dan
pernikahan, di dalamnya terdapat berbagai fenomena sosial. Sumbangan
memberikan banyak cerita dan interpretasi di baliknya, mulai dari sistem aturan
timbal balik yang mengikat, pergeseran makna dan tujuan dari sistem sumbangan,
konflik yang mungkin terdapat di dalamnya, beratnya biaya sosial,dan sebagainya,
meskipun secara tampilan luar teratur dan sudah menjadi kewajiban yang dilakukan
masyarakat. Berhubungan dengan hal ini, peneliti tertarik melakukan penelitian
tentang sistem sumbangan pada upacara perkawinan dan upacara khitanan, karena
arti penting dalam penelitian ini. Pertama, pengetahuan serta pemahaman akan arti
penting sistem sumbangan pada acara pernikahan dalam kehidupan masyarakat.
Kedua, penganalisaan berbagai fenomena yang terjadi pada masa kini terkait
dengan sistem sumbangan pada acara pernikahan, serta pengetahuan dan pemahan
akan makna sistem sumbangan ini dalam konteks masa kini. Untuk memperoleh
kajian yang lebih terfokus sehingga akan dapat memperoleh kajian yang sempit
serta mendalam cakupannya, penelitian ini akan difokuskan pada sumbangan
pernikahan. Maka penelitian ini akan diberi judul “Makna Sumbangan pada Acara
Pernikahan Masa Kini” (Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang,
Kabupaten Sragen).
B. Rumusan Masalah
Masalah pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
a. Mengapa sumbangan dalam acara pernikahan menjadi sesuatu yang penting
di dalam kehidupan masyarakat?
b. Bagaimana masyarakat memaknai sumbangan pada acara pernikahan dalam
konteks masa kini?
C. Tujuan penelitian
Dari uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan dari
penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui dan memahami mengapa sumbangan dalam acara
pernikahan menjadi sesuatu yang penting di dalam kehidupan masyarakat.
b. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana masyarakat memaknai
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain:
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah pengetahuan yang lebih mendalam mengenai berbagai
hal yang berkaitan dengan sistem sumbangan pada acara pernikahan
masa kini.
b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan sosiologi
dan antropologi pada khususnya, serta ilmu pengetahuan sosial pada
umumnya .
c. Dapat dijadikan sebagai penelitian awal yang mendasari penelitian
yang lebih luas cakupannya dan lebih mendalam kajiannya.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat digunakan sebagai wacana reflektif bagi masyarakat dalam
kehidupan sosial.
b. Dapat digunakan sebagai masukan bagi masyarakat dalam rangka
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Definisi dan Bentuk Sumbangan
Sumbangan berasal dari kata sumbang, dimana dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1990) sumbang/menyumbang memiliki arti, “memberi sesuatu kepada
orang yang sedang pesta, dan sebagainya sebagai sokongan”, sedangkan sumbangan
sendiri artinya adalah “pemberian sebagai bantuan (pada pesta perkawinan, dsb)”.
Secara umum menyumbang termasuk aktivitas sosial manusia yang disebut gotong
royong. Koentjaraningrat (1992:171) menjelaskan menjelaskan konsep gotong
royong sebagai “rasa saling tolong menolong atau rasa saling bantu-membantu
dalam jiwa masyarakat”.
Koentjaraningrat (1983:59-60) membedakan kegiatan tolong-menolong
dalam masyarakat menjadi empat, yaitu 1) tolong menolong dalam produksi
pertanian, 2) aktivitas tolong menolong antar tetangga yang tinggal berdekatan,
untuk pekerjaan-pekerjaan kecil sekitar rumah dan pekarangan, 3) aktivitas tolong
menolong antara kaum kerabat (dan kadang-kadang beberapa tetangga yang paling
dekat) untuk menyelenggarakan pesta sunat, perkawinan atau upacara-upacara lain
sekitar titik peralihan pada lingkaran hidup individu, 4) aktivitas spontan tanpa
permintaan dan tanpa pamrih untuk membantu secara spontan pada waktu
seseorang penduduk Desa mengalami kematian atau bencana. Dalam hal ini,
menyumbang atau memberikan sumbangan merupakan tolong menolong pada
aktivitas ketiga yaitu, pada persiapan dan penyelenggaraan pesta atau upacara adat.
Novita Purnamasari (2005:55) dalam penelitian mandirinya telah
menganalisis bahwa sumbangan dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu “1)
dengan buwuh ini Clifford Geertz (1983:87) secara lebih terperinci menjelaskan bahwa,
buwuh adalah sejenis sumbangan yang khas dari para tamu kepada tuan rumah atas hidangan dan pelayanan yang telah mereka terima. Kebiasaan yang umum dalam memberikannya adalah dengan menempelkan pada telapak tangan secara diam-diam ketika bersalaman dengan tuan rumah untuk berpamitan, pada saat mana tuan rumah akan memberikan sebungkus jajan kepada istri tamunya sebagai lambang sumbangannya kepada sang tamu yang berupa hidangan dan hiburan pada malam pertemuan ini. Lagi-lagi sumbangan timbal balik terlibat dalam hal ini.
Ketiga bentuk sumbangan tersebut merupakan suatu pemberian. Pemberian dari
para tamu undangan untuk seseorang atau keluarga yang sedang merayakan acara
pernikahan. Dalam Kamus Inggris-Indonesia (1986:269), kado, hadiah, dan
pemberian memiliki istilah dalam bahasa inggris yang sama, yaitu ”gift”.
Menurut kebiasaan di beberapa daerah, misalnya di daerah Surakarta, yang
datang dan menyumbang ialah kaum ibu, kemudian pulangnya memperoleh angsul-angsul atau bentelan.1 Di daerah Semarang, Purwodadi kaum laki-laki yang hadir. Mereka juga menyumbang dengan istilah salam templek, yaitu pada waktu pulang sambil bersalaman memberikan uang sumbangan (Anonim. 1982: 86).
Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa
sumbangan adalah aktifitas sosial untuk membantu meringankan orang yang sedang
punya hajat, berkaitan dengan berbagai hajat termasuk acara pesta perkawinan
yang bentuknya dapat berupa tenaga, barang (kado atau bahan hidangan,
perlengkapan upacara pernikahan, dan sebagainya), serta uang.
2. Konsep Sumbangan dalam Fungsionalisme
Pelaksanaan sistem sumbangan terdiri dari hubungan timbal balik antara
pemberi dan penerima yang membentuk suatu sistem. Hubungan timbal balik antara
1Angsul-angsul atau bentelan
pemberi dan penerima ini bersifat fungsional yang akan membentuk kehidupan
bermasyarakat. Seperti yang dikemukakan Aafke .E. Komter (2005: 195) yang
menjelaskan, ”the principle of reciprocity underlying gift exchange proved to be fundament of human society” (prinsip dari hubungan timbal balik mendasari pertukaran pemberian yang dibuktikan menjadi dasar masyarakat manusia).
Sumbangan yang merupakan suatu sistem salah satunya dapat dijelaskan melalui
teori fungsionalsme.
Aguste Comte dalam Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini (1988:20)
mencoba untuk merumuskan cara menganalisis masyarakat dengan menyajikan
metode penafsiran organis terhadap masyarakat. Bagi Comte masyarakat
dikonseptualisasikan sebagai suatu tipe organis dan harus ditelaah melalui prisma
konsepsi-konsepsi biologis mengenai struktur dan fungsi. Comte dalam Saifuddin
(2005:142) mengemukakan bahwasanya,
manusia secara intrinsik adalah makhluk sosial, dan hubungan-hubungan yang mereka bangun jauh dari kontrak-kontrak antara individu-individu yang bebas. Masyarakat memiliki organ-organ seperti halnya tubuh seekor binatang, dimana memiliki fungsi dari suatu bagian ditentukan oleh tempatnya dalam keseluruhan tubuh. Konsep individu adalah konstruksi sosial, yang berasal dari peranan yang dikenakan oleh masyarakat kepada tindakan individu. Cara berpikir ini dikenal sebagai ‘analogi organik’.
Comte juga sadar akan perbedaan antara organisme biologis dan
masyarakat. Organisme sosial atau masyarakat tidak berwujud fisik seperti halnya
organisme biologis, tetapi organisme sosial terdiri atas ikatan-ikatan batin. Sejalan
dengan Comte, Herbert Spencer juga memandang masyarakat seperti halnya suatu
organisme. Herbert Spencer dalam Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini
(1988:20-21) menyusun suatu sistematik mengenai cara-cara berpikir yang
menganggap masyarakat merupakan analogi suatu organisme, sebagai berikut:
dibedakan dari masalah organik, untuk tumbuh dan berkembang
keduannya).
2. in both society and organisms an increase in size means an increase in complexity an differentiation (pada keduannya masyarakat dan organisme peningkatan ukuran berarti peningkatan kompleksitas sebuah perbedaan).
3. in both, a progressive differentiation in structure is accompanied by a differentiation in function (pada keduanya, sebuah perbedaan dalam struktur progresif disertai oleh perbedaan dalam fungsi).
4. in both, parts of the shale are independent with a change in one part affecting other parts (pada keduanya, bagian dari pecahan yang bebas dengan suatu perubahan mempengaruhi bagian-bagian lainnya).
5. in both, each part of the whole is also a micro society or organisms in and of itself (pada kedua, setiap bagian dari keseluruhan adalah juga suatu masyarakat kecil atau organisme dalam dan dari keseluruhan itu sendiri).
6. and in both organisms and societies, the life of the whole can be destroyed but the parts will live on for a while (dan pada kedua organisme dan masyarakat, kehidupan seluruh dapat dimusnahkan tetapi
bagian-bangiannya akan hidup untuk sementara waktu).
Pemikiran Emile Durkheim dalam Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini
(1988:22-23), juga mencerminkan asumsi dalam organisme, sebagai berikut:
1) Masyarakat harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang dapat dibedakan dari bagian-bagiannya, namun tidak dapat dipisah darinya. Dengan menganggap masyarakat sebagai suatu relatis, maka Durkheim memberikan prioritas dalam analisis menyeluruh.
2) Durkheim beranggapan bahwa bagian-bagian dari suatu sistem berfungsi untuk memenuhi kepentingan sistem secara menyeluruh.
4) Dengan memandang sistem secara normal, patologi dan fungsional, maka ada taraf atau titik tertentu dimana harmoni tercapai, sehingga fungsionalisasi secara normal berproses disekitar titik tersebut.
Pemikiran tiga tokoh sosiologi awal abad 19 tentang fungsionalisme yaitu
Aguste Comte, Herbert Spencer, dan Emile Durkheim tersebut menghasilkan tiga
asumsi yang mengawali fungsionalisme sosiologis, seperti yang dijelaskan Soerjono
Soekanto dan Ratih Lestarini (1989:21), sebagai berikut:
1) Relitas sosial dianggap sebagai suatu sistem.
2) Proses-proses suatu sistem hanya dapat dimengerti dalam kerangka hubungan timbal balik antara bagian-bagiannya.
3) Sebagai halnya dengan suatu organisme maka struktur suatu sistem sifatnya terikat yang disertai adanya proses-proses untuk mempertahankan integritas dan batas-batasnya.
Berkaitan dengan sistem, Duncan Mitchell (1984:53) menerangkan jika
”setiap sistem mempunyai beberapa sifat yang sama, terutama bagian-bagiannya
yang begitu erat hubungannya satu sama lain dari segi struktur hingga perubahan
dalam satu bagian akan mengakibatkan perubahan di bagian yang lain”. Sementara
itu Dahrendorf dalam Kamanto Sunarto (2000:228) mengemukakan mengenai
pokok teori fungsionalisme sebagai berikut:
1). Setiap masyarakat merupakan suatu struktur unsur yang relatif gigih dan stabil.
2). Mempunyai struktur unsur yang terintegrasi dengan baik.
3). Setiap unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, memberikan sumbangan pada terpeliharanya masyarakat sebagai suatu sistem.
4). Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada konsensus mengenai nilai dikalangan para anggotanya.
”Organisme Comte, Spencer dan Durkheim mempengaruhi
fungsionalis-fungsionalis antropologi yang pertama seperti Malinowski dan Radcliffe Brown,
yang kemudian membantu pembentukan perspektif fungsional” (Soerjono
Soekanto. 1986:17). Malinowski dalam Saifudin (2005: 167) berpandangan bahwa,
Manners (2000:79), memperkenalkan, konsep fungsi yang dibedakan antara fungsi
manifes dan fungsi laten (fungsi tampak dan fungsi terselubung), dalam suatu
tindak atau unsur budaya. ”Fungsi manifes ialah konsekuensi obyektif yang
memberikan sumbangan pada penyesuaian atau adaptasi sistem yang dikehendaki
dan didasari oleh pertisipan sistem tersebut. Sebaliknya, fungsi laten adalah
konsekuensi objektif dari suatu ihwal budaya yang tidak dikehendaki maupun
disadari oleh warga masyarakat”.
Malinowski dalam Koenjtaranigrat (1987:167) membedakan antara fungsi
sosial dalam tiga tingkatan abstraksi, yaitu:
1) Fungsi sosial dari suatu adat , pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial dalam masyarakat.
2) Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat.
3) Fungsi sosial dari suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.
Radcliffe Brown yang juga tokoh fungsionalisme dalam antropologi lebih
suka pada penggunaan strukturalisme dari pada fungsionalisme. Radcliffe Brown
dalam Soerjono Soekanto (1986: 11) mengakui bahwa, “the concept of function applied to human societies is based on an analogy between social life and organic life… the first systematic formulation of the concept as applying to the strictly scientific study of society was performed by Durkheim…”. Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa konsep fungsi diterapkan pada masyarakat manusia
didasarkan pada analogi antara kehidupan sosial dan kehidupan organik. Perumusan
konsep sistematis pertama seperti yang diterapkan untuk kajian ilmiah sosial yang
ketat telah dilakukan oleh Durkheim.
Struktur masyarakat adalah susunan yang bagian-bagiannya memberi
suatu organisme. Radcliffe Brown dalam Duncan Mitchell (1984:51) menerangkan
bahwa “unsur-unsur struktur sosial ialah manusia, tetapi lebih tepat jika dianggap
sebagai kedudukan yang diduduki oleh orang-orang”. Brown dalam Soerjono
Soekanto dan Ratih Lestarini (1988:26) berpendapat bahwa analisis struktural
(=fungsional) haruslah bertitik tolak pada asumsi;
1) Suatu kondisi bagi ketahanan suatu masyarakat adalah adanya taraf integrasi minimal dari bagian-bagiannya.
2) Istilah fungsi mengacu pada proses-proses yang memelihara taraf integrasi atau solidaritas tersebut.
3) Dalam setiap masyarakat cirri-ciri struktural dapat diidentifikasikan manfaatnya bagi pemeliharaan solidaritas.
Berdasarkan pemikiran para fungsionalis di atas maka dapat disimpulkan
bahwa pertukaran sumbangan pada acara pernikahan sebagai suatu realitas sosial
juga dapat dipahami sebagai suatu sistem layaknya suatu organisme. Jika dilihat
secara lebih luas dalam cakupan masyarakat maka sistem sumbangan dalam acara
pernikahan ini dapat dikatakan sebagai suatu sub sistem diantara sistem-sistem yang
lainnya sebagai pembentuk adanya kehidupan bermasyarakat. Seperti yang telah
dikemukakan para tokoh fungsionalis di atas bahwa proses-proses suatu sistem
hanya dapat dimengerti dalam kerangka hubungan timbal balik antara
bagian-bagiannya, maka dalam sistem sumbangan juga berlaku seperti ini. Sistem
sumbangan hanya akan dapat berjalan apabila unsur-unsur di dalamnya berjalan
dalam hubungan timbal balik secara fungsional. Apabila salah satu unsur tidak
dapat berjalan sebagaimana mestinya maka sistem pertukaran dalam sumbangan ini
tentunya akan mengalami gangguan. Unsur-unsur tersebut diantaranya adalah
pemberi dan penerima yang saling melakukan pertukaran sumbangan yang saling
terkait diantara yang satu dengan yang lainnya secara luas. Sistem sumbangan ini
juga bersifat mengikat bagi masyarakat sehingga akan selalu mempertahankan
integritasnya sebagai suatu sistem. Menurut penjelasan Malinowski di atas, sistem
memiliki fungsi yaitu memberikan pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah
laku manusia dan pranata sosial dalam masyarakat, pengaruh atau efeknya terhadap
kebutuhan suatu adat, dan pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk
berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.
Novita Purnamasari (2000:91-99) dalam penelitian mandirinya
menjelaskan bahwa,
bagi masyarakat Yogyakarta yang memiliki mobilitas tinggi diadakannya suatu upacara perkawinan merupakan sarana untuk bertemu dengan saudara, tetangga dan teman. Sebagai suatu aktifitas sosial nyumbang mempertemukan anggota-anggota masyarakat. Sebagai orang jawa memenuhi undangan perkawinan dan memberikan sumbangan adalah salah satu kewajiban sosial.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem sumbangan berfungsi untuk mempertemukan
anggota-anggota masyarakat, dimana setiap individu/keluarga merupakan bagian
dari sistem yang terjalin secara fungsional sehingga akan membentuk dan
memperkuat keberadaan masyarakat.
Pembahasan tentang masyarakat yang terintegrasi sebagai suatu sistem
secara fungsional dapat pula ditinjau dalam penelitian etnografi Malinowski tentang
sistem tukar menukar kalung kerang atau yang disebut sulava dan gelang-gelang kerang yang disebut mwali di masyarakat kepulauan Trobriand. Kalung kerang
(sulava) beredar ke satu arah mengikuti arah jarum jam yang peredaranya meliputi kepulauan Tobrian atau Boyowa, Kepulauan Amphlett, Kepulauan D’entrecasteaux
atau Dobu, pulau st. Aignau atau Misima, kepulauan Laughlan atau Nada dan
kepulauan Woodlark atau Murua, yang semuanya terletak di sebelah timur Papua
Nugini Tenggara. Sementara itu gelang-gelang kerang (mwali) beredar kearah yang berlawanan. Sistem tukar menukar ini disebut dengan sistem Kula
(Koenjaraningrat. 1987:164-165). Dalam hal ini pada intinya Malinowski
bermaksud untuk menjelaskan bahwa melalui pertukaran yang disebut dengan
(mwali) dan kalung-kalung kerang (sulava) memiliki peran masing-masing yang saling terikat secara fungsional sehingga membentuk serta memperkuat keberadaan
masyarakat kepulauan Trobiand.
3. Resiprositas dalam Sistem Sumbangan
Prinsip moral tentang resiprositas ada dalam kehidupan sosial. Gouldner
dalam James Scott (1981:255) mengemukakan prinsip tentang resiprositas dan
perimbangan pertukaran adalah prinsip yang didasarkan pada gagasan yang
sederhana saja yakni bahwa orang harus membantu mereka yang pernah
membantunya atau setidak-tidaknya jangan merugikannya. Lebih khusus lagi
prinsip itu mengandung arti bahwa suatu hadiah atau jasa yang diterima
menciptakan bagi si penerima suatu kewajiban timbal balik untuk membalas dengan
hadiah/jasa dengan nilai yang setiadak-tidaknya sebanding dikemudian hari.
Gouldner dalam Susana Narotzky dan Paz Moreno (2002:285) menjelaskan
tentang konsep resiprositas sebagai, “a mutually contingent exchange of benefits between two or more units in his view, reciprocity constituted a general principle of mutual dependence and recognition of a shared moral norm: You should give benefits to those who give you benefits”. Pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa resiprositas adalah suatu kesatuan hubungan pertukaran tibal balik yang bermanfaat
antara dua unit atau lebih. Resiprositas mendasari suatu prinsip umum saling
ketergantungan dan pengakuan suatu norma moral bersama: Anda harus memberikan
manfaat kepada mereka yang memberikan manfaat.
Menurut Durkheim, faham pertukaran yang sepadan ini merupakan suatu
prinsip moral umum yang terdapat pada semua kebudayaan. Di Asia Tenggara
prinsip resiprositas terdapat dalam banyak kegiatan. Bentuk-bentuk saling
sangat teratur. Resiprositas juga merupakan prinsip moral yang pokok yang
mendasari kegiatan sosial desa-desa di Muangthai, baik dilingkungan keluarga
maupun antar keluarga. Di Filipina, pola persekutuan diantara manusia yang satu
dengan manusia yang lain pada umumnya ditafsirkan sebagai resiprositas, bahwa
“setiap jasa yang diterima, diminta atau tidak, harus dibalas,” rasa malu (hiya) dan rasa berhutang budi (utang na loob) merupakan daya penggerak resiprositas (Scott. 1981:255-256).
Terkait dengan sistem sumbangan dalam penelitian Novita Purnamasari
(2000:98-99) dijelaskan bahwa bagi pemangku hajat, sumbangan yang diterima
pada suatu hari nanti harus dikembalikan dengan mengidealkan bentuk dan jumlah
yang sepadan dengan yang diterimanya, sekurang-kurangnya sama dengan jumlah
yang diterimanya. Pengambalian sumbangan harus disesuaikan dengan
perkembangan nilai tukar uang, karena kesempatan untuk memberikan sumbangan
terutama pada kesempatan yang sama tidak terjadi pada tahun yang sama. Pada
masyarakat Jawa sumbangan dilihat sebagai bantuan penyelenggaraan upacara
perkawinan yang merupakan suatu balas jasa atas segala bentuk bantuan yang telah
diberikan pada masa sebelumnya. Oleh karena itu pendapatan dari sumbangan dapat
diperhitungkan dalam rencana pembiayaan upacara perkawinan. Meskipun
demikian, dalam masyarakat terdapat suatu pandangan bahwa sumbangan
dipandang sebagai tanda kasih yang harus diingat dengan baik agar suatu hari nanti
dapat terbalas dengan sepadan dan tidak memperhitungkannya dalam rencana
pembiayaan upacara perkawinan
Sistem hubungan timbal balik pemberian bukanlah sesuatu yang gratis
tanpa pengembalian, dan tanpa pamrih. Dalam teori, pemberian-pemberian hadiah
seperti itu sebenarnya dilakukan secara suka rela, tetapi dalam kenyataan
kesemuannya itu diberikan dan dibayar kembali dalam suatu kerangka kewajiban
yang harus dipenuhi oleh para pelakunya (Marcel Mauss. 1992:1). Marcel Mauss
prestasi-prestasi yang dalam teori bersifat sukarela tanpa pakasaan, tanpa pamrih dan sopan, tetapi dalam kenyataannya bersifat mengharuskan atau mewajibkan dan bersikap pamrih. Bentuk yang biasanya digunakan ialah pemberian hadiah yang secara murah hati disajikan; tetapi kelakuan yang menyertai pemberian itu resmi dengan kepura-puraan dan penipuan sosial, sementara transaksi itu sendiri dilandasi oleh kewajiban dan kepentingan ekonomi diri sendiri dari para pelakunya.
Blau dalam Margaret .M. Poloma (1994:82) menjelaskan bahwa ”dalam menjawab
pertanyaan apakah yang menarik individu kedalam assosiasi? Jawaban Blau ialah
mereka tertarik pada pertukaran karena mengharapkan ganjaran yang intrinsik
maupun ekstrinsik”.
Novita Purnamasari (2000:91-92) dalam penelitian mandirinya
menjelaskan jika keaktifan seseorang dalam menyumbang dan memenuhi undangan
perkawinan menunjukkan sebagai orang yang gemati (penuh perhatian) dan
entengan (suka menolong), sebagai balasanya orang yang menyumbang tersebut mudah mendapatkan balasan dan diperhatikan pula oleh lingkungan sosialnya
sehingga pada saat membutuhkan pertolongan akan segera mendapat bantuan bila
dibandingkan dengan mereka yang kurang aktif dalam aktifitas sosialnya.
Status, kedudukan, dan pangkat dalam sistem hubungan timbal balik yang
bersifat pamrih ini akan mempengaruhi jumlah banyak sedikitnya rekan dalam
melaksanakan hubungan pertukaran pemberian. Malinowski (1992:91)
menjelaskan, “the number of partner a man has varies with his rank and importance…a man would naturally know to what number of partners he was entitled by his rank and position” (jumlah rekan setiap orang berbeda-beda dengan pangkat dan kepentingan mereka…setiap orang secara alamiah akan tahu berapa
jumlah rekan yang telah mereka dapat dengan pangkat dan posisi mereka).
Sistem hubungan timbal balik dalam pemberian ini telah menjadi suatu
pranata yang kuat, serta membentuk suatu prosedur yang rumit. Marcel Mauss
memberi, kewajiban menerima, dan membayar kembali. Marcel Mauss (2005: 59)
mengatakan :
…Pada prinsipnya pemberian-pemberian selalu diterima dan selalu disukuri. Anda harus mengatakan rasa sukur anda atas makanan yang telah dipersiapkan untuk anda. Tetapi pada saat yang sama, anda menerima sebuah tantangan. Anda menerima pemberian “dari punggung”. Anda menerima makanan yang diberikan kepada anda karena anda bermaksud untuk menerima tantangan untuk membuktikan bahwa anda bukanlah seseorang yang tidak ada harganya... .
Dalam konteks sumbangan pada acara pernikahan, pernyataan tersebut dapat
dipahami bahwa para tamu undangan harus selalu bersyukur atas hidangan pesta
yang dipersiapkan untuk mereka. Akan tetapi hal ini sebenarnya merupakan suatu
tantangan bagi para tamu undangan untuk membalasnya yaitu dengan memberikan
sumbangan kepada pihak yang mengadakan hajat, serta mengadakan pesta pada saat
giliran mereka mempunyai hajat agar tidak dikatakan sebagai orang yang tidak
berharga atau orang yang rendah martabatnya. Kegagalan untuk memberi atau
menerima sama dengan kegagalan untuk membalas pemberian, yang sama artinya
dengan kehilangan rasa harga diri dan kehormatan, lebih lanjut Mauss (2005:
59-60) mengemukakan bahwa ”orang yang tidak dapat membayar hutang atau
pothlach, kehilangan kedudukannya dalam jenjang sosial dan bahkan kedudukannya sebagai orang bebas”. Marcel Mauss (1992: 16) juga mengatakan:
Ikatan sosial yang dihasilkan dari sistem timbal balik dalam pemberian dan
penerimaan juga dijelaskan oleh Aafke .E. Komter (2005:116-117), yang
menjelaskan bahwa, ”social ties are created, sustained and strengthened by means of gift. Acts of gift exchange are at the basis of humansolidarity”, (hubungan sosial diciptakan, ditopang dan diperkuat oleh pemberian. Aktifitas tukar menukar
pemberian adalah dasar dari solidaritas manusia). Labih lanjut Komter (2005: 195)
menjelaskan; “the principle of reciprocity underlying gift exchange proved to be the fundament of human society. It contains to moral basis for the development of social ties and solidarity because it’s implicit assumption is the recognition of the other person as a potentially” (prinsip dari hubungan timbal balik mendasari pertukaran pemberaian yang dibuktikan menjadi dasar masyarakat manusia. Ini
berisi dasar moral dari perkembangan ikatan sosial dan solidaritas karena ini adalah
asumsi yang harus dipatuhi dari pengkuan orang lain sebagai suatu penggabungan).
Tidak dapat dipungkiri jika dalam sistem sumbangan yang menjadi suatu
pranata yang kuat dan penuh makna ini, di dalamnya juga terdapat konflik. Konflik
terjadi karena ketidak konsisitenan dari pada pelaksanaan aturan timbal baliknya.
Aafke .E. Komter (2005:30-31) menjelaskan,
different between people’s attitudes to wards things may be the source of disagreeable misunderstandings and serious disputes. Conflicts may arise between people when things represent a different value to them or embody different sets of expectations and different course of action that need to be undertaken
Dari pernyataan di atas dapat dipahami jika perbedaan diantara orang terhadap
barang mungkin menjadi sumber dari ketidak setujuan salah paham dan perselisihan
yang serius. Konflik mungkin timbul diantara orang saat benda menunjukkan suatu
perbedaan nilai untuk mereka atau aturan yang menjadi perbedaan dari harapan dan
perbedaan jalan dari aktivitas yang dibutuhkan untuk dilakukan.
Katherine Jellison (2007:408) dalam menanggapi analisis Louise Pubrick
on who gives it, who receives it and the circumstances of its exchange, but she also proves that the absence of a gift likewise communicates a message social disapproval”, (Purbrick menunjukkan bahwa makna dari sebuah pernikahan hadiah tergantung yang memberikan, yang menerimanya dan keadaan dari pertukaran, tetapi
dia juga membuktikan bahwa tidak adanya hadiah juga mengkomunikasikan pesan
penolakan sosial).
Margaret .M. Poloma (1994:69-70) dalam analisinya terhadap pemikiran
Homans menjelaskan bahwa “berbagai hubungan serta perjenjangan dalam
masyarakat harus sesuai dengan apa yang disebut Homans sebagai distribusi
keadilan (distributive justice)”. Ketika sedang berinteraksi orang mengharapkan ganjaran mereka harus seimbang dengan biayanya. Bilamana ganjaran-ganjaran
tersebut kelak tidak sesuai lagi dengan distribusi keadilan itu, maka kita akan
berada dalam situasi ketidak adilan atau ketimpangan dalam distribusi ganjarang.
Kuatnya sistem pranata dari hubungan timbal balik pemberian dan
penerimaan serta sistem yang telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan
masyarakat, menjadikan sistem ini akan terus berlangsung. Marcel Mauss (1992:
16-17) menjelaskan, ”dalam saling menerima dan memberi hadiah-hadiah yang
berlangsung tetap dan terus menerus, dan dapat kita namakan sebagai masalah
spiritual yang meliputi orang-orang, benda-benda, dan unsur-unsur ini beredar dan
beredar kembali diantara klen-klen dan individu-individu, pangkat-pangkat, jenis
kelamin dan generasi-generasi”. Lebih lanjut Marcel Mauss (1992:136)
mengemukakan bahwa,
kita menghormati mereka itu pada peristiwa-peristiwa tertentu dan pada waktu-waktu tertentu dalam setiap tahunnya.
4. Kekerasan Simbolik dalam Sistem Sumbangan
Smith dalam Saifuddin (2005:142) mencatat bahwa ”tukar menukar adalah
sifat alamiah manusia, karena tak seorang pun pernah menyaksikan dua ekor anjing
saling mempertukarkan tulang, namun manusialah makhluk yang saling bertukar
dengan aneka ragam cara”. Akan tetapi bagi mereka yang tidak memiliki modal
dalam pelaksanaan sistem pertukaran ini menimbulkan suatu konsekuensi
tersendiri. Kuatnya sistem hubungan timbal balik dalam kebiasaan sumbangan
menimbulkan komitmen bagi warga masyarakat untuk tetap melaksanakan dengan
berbagai cara. Koentjaraningrat (1992:172) mengemukakan bahwa, ”orang desa
menyumbang dan membantu sesamanya itu karena ia terpaksa atas jasa yang pernah
diberikan kepadanya dan ia menyumbang untuk mendapatkan pertolongannya lagi
dikemudian hari”. Marcel Mauss (2005:137) juga mendiskripsikan pengalamannya
tentang sebuah keluarga dalam masa kanak-kanaknya di Lorraine, yang terpaksa
harus hidup dalam keadaan serba kekurangan, masih berani menghadapi
kehancuran diri mereka sendiri demi kepentingan para tamunya pada hari-hari suci,
perkawinan, komuni pertama dan upacara penguburan.
Hal ini sering menjadi keadaan seperti apa yang disebutkan Bourdieu
sebagai kekerasan simbolis. Kekerasan simbolis menurut Bourdieu dalam Richard
Jenkins (2004:157) adalah ”pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya
kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal ini
dialami sebagai sesuatu yang sah”. Atau dengan kata lain kekerasan simbolis adalah
kekerasan yang secara paksa mendapatkan kepatuhan yang tidak dirasakan sebagai
paksaan dengan bersandar pada harapan-harapan kolektif dari
kepercayaan-kepercayaan yang sudah tertanam secara sosial (Haryatmoko. 2003:38). Kekerasan
tetapi sebagai sesuatu yang alamiah dan wajar. Bourdieu dalam Haryatmoko
(2003:18-19) menjelaskan bahwa,
pada dasarnya kekerasan simbolis berlangsung karena ketidak tahuan dari yang ditindas. Jadi, sebetulnya logika dominasi ini bisa berjalan karena prinsip simbolis yang diketahui dan diterima baik oleh yang menguasai maupun yang dikuasai. Prinsip simbolis itu berupa bahasa, gaya hidup, cara berpikir, cara bertindak dan kepemilikan yang khas pada kelompok tertentu atas dasar ciri kebutuhan.
Seperti halnya ilmu gaib, teori kekerasan simbolik berdasarkan pada teori
produksi kepercayaan, yang didapat dari proses sosialisasi yang diperlukan untuk
meproduksi pelaku-pelaku sosial yang dilengkapi dengan skema persepsi dan
apresiasi yang memungkinkan mereka mampu menerima perintah-perintah yang
diberikan dalam suatu situasi atau suatu wacana untuk mematuhinya. Kekerasan
simbolik bekerja dengan mekanisme meconnaissance –mekanisme penyembunyian kekerasan yang dimiliki-menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang
seharusnya demikian”. “Yang memang seharusnya demikian” inilah yang oleh
Bourdieu disebut dengan doxa. Dunia sosial manusia penuh dengan doxa. Bourdieu menjelaskan doxa adalah wacana yang kita terima begitu saja sebagai kebenaran dan tidak pernah lagi kita pertanyakan sebab-sebabnya apalagi kebenarannya.
Keberadaan doxa hanya dapat diperoleh melalui proses inkalkulasi, atau proses penanaman yang berlangsung terus menerus (Bourdieu dalam Suma Riella
Rusdiarti. 2003:38).
Pelaku sosial menerima kekerasan simbolik sebagai sesuatu yang wajar
karena kekerasan simbolik sudah dipahami dan sudah menjadi kebiasaan yang telah
dimiliki oleh pelaku sosial sejak lahir. Mekanisme kekerasan simbolik berjalan
dengan dua cara, yaitu eufemisasi dan sensorisasi. Eufemisasi biasanya membuat
kekerasan simbolik tidak tampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan
dipilah secara “tak sadar”. Bentuknya dapat berupa kepercayaan, kewajiban,
mekanisme sensorisasi menjadikan kekerasan simbolik tampak sebagai bentuk nilai
yang dianggap sebagai “moral kehormatan”, seperti kesantunan, kesucian,
kedermawanan, dan sebagainya yang biasanya dipertentangkan dengan “moral
rendah”, seperti kekerasan, kriminal, ketidakpantasan, asusila, kerakusan, dan
sebagainya (Bourdieu dalam Suma Riella Rusdiarti. 2003:38-39).
Adanya standarisasi berkaitan dengan jumlah sumbangan yang akan
diberikan dalam masyarakat juga sering menambah adanya kekerasan simbolik bagi
mereka yang kurang memiliki modal. Dalam penelitian Novita Purnamasari
(2000:94-95) dijelaskan bahwa sumbangan yang akan diberikan akan
dipertimbangkan secara rasional oleh masyarakat Yogyakarta. Pemberian
sumbangan uang akan disesuaikan dengan pesta perkawinan yang diadakan
pengundang, selain dengan melihat kedekatan hubungan, penyumbang akan
menghitung sendiri jumlah yang pantas diberikan pada pengundang berdasarkan
tempat dimana acara akan dilakukan. Seseorang akan menyumbang lebih jika
diundang di pesta perkawinan karena acara tersebut terkesan lebih mewah dan lebih
bergengsi, kemudian komponen pesta yang lain seperti tempat dan makanan yang
disuguhkan akan menjadi pertimbangan lain.
Masyarakat memiliki kekuasaan penuh dalam hal ini, Rousseau dalam
Saifudin (2005:141-142) menjelaskan bahwa,
masyarakat bukanlah sebagai gejala alam, melainkan penjumlahan kekuatan-kekuatan yang hanya dapat muncul apabila beberapa orang berhimpun bersama. Setiap orang harus menyerahkan diri, tunduk, tidak kepada kekuasaan seseorang melainkan kepada kolektivitas atau asosiasi dengan cara mematuhi arahan tertinggi dari kehendak umum.
Margaret Poloma (1994:89) mangemukakan bahwa, ”wewenang
berdasarkan atas norma-norma atau aturan-aturan bersama menggariskan perilaku
dalam suatu kolektifitas. Norma-norma itu memaksakan individu mematuhi aturan
kelompok dan dipaksakan kepada mereka”. Blau dalam Margaret Poloma (1994:89)
juga berpendapat bahwa,
ukuran-ukuran normatif yang mendasari wewenang yang terlembaga tidak lahir dalam proses interaksi sosial antara mereka yang berada di lapisan atas dan bawah dan diantara sesama mereka yang berada dilapisan bawah, tetapi dalam proses sosialisasi dimana setiap orang secara terpisah mengakui kebudayaan bersama.
Dengan kata lain, kita belajar menerima struktur wewenang sebab kita disosialisir
kedalam kebudayaan kita sendiri.
B. Kerangka Berpikir
Sumbangan dalam acara pernikahan memiliki arti penting dalam
kehidupan masyarakat. Pada dasarnya sistem sumbangan ini merupakan suatu
bentuk aktifitas tolong menolong dari masyarakat yang berupa bantuan baik berupa
benda maupun biaya (uang) untuk pihak yang sedang mengadakan suatu hajat.
Sesuai dengan teori fungsionalisme yang menganalogikan masyarakat layaknya
seperti organisme hidup dimana memiliki bagian-bagian yang terikat secara
fungsional untuk mencapai suatu tujuan bersama, sumbangan sebagai suatu sistem
juga dapat dianalogikan layaknya seperti itu. Dalam sumbangan terdiri dari
berbagai unsur seperti pemberi, penerima, benda yang diberikan atau diterima, dan
sebagainya sehingga membentuk suatu sistem yang sangat kuat dengan berbagai
konsekuensi kewajiban yang harus dilaksanakan. Sumbangan yang merupakan
suatu bentuk pemberian menjadi salah satu sistem yang dapat membentuk serta
memperkuat keberadaan masyarakat.
Sebagai suatu sistem yang sangat kuat yang menimbulkan tiga kewajiban
seperti yang dikemukakan Marcel Mauss yaitu kewajiban memberi, kewajiban
menerima dan kewajiban membayar kembali, kewajiban sumbangan dalam acara
pernikahan seperti halnya mata rantai yang saling menyambung dan tidak terputus.
terinternalisasi oleh setiap warga masayarakat semenjak mereka masih kecil.
Akibatnya masyarakat yang merupakan unsur pelaku sistem tersebut menjadi
terikat dan tidak dapat keluar dari sistem. Hal ini menimbulkan konsekuensi
dimana mereka harus selalu melaksanakan sistem dengan berbagai cara dan upaya.
Bagi mereka yang tidak memiliki modal hal ini tentunya akan menimbulkan suatu
bentuk kekerasan simbolik dimana masyarakat memiliki kekuatan kekuasaan
penuh. Setiap individu sebagai warga masyarakat akan tunduk dan patuh terhadap
kekuasaan bersama dalam masyarakat sebagai kehendak umum. Kekerasan
simbolik yang dialami individu-individu yang tidak memiliki modal tidak dapat
terlihat secara jelas karena sistem sumbangan sudah membudaya dalam kehidupan
masyarakat dan juga menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat. Sebagai
akibatnya sistem ini akan bergeser atau berubah menjadi sistem lain yang berbeda
jenisnya atau terjadi pergeseran makna dan arti penting yang akan terjadi dalam
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian tentang makna sumbangan dalam acara pernikahan masa kini ini
dilaksanakan di Kabupaten Sragen, yaitu di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang.
Pengambilan lokasi ini didasarkan pada masih terlaksananya sistem sumbangan
dengan lengkap, dimana sumbangan yang diberikan pada pihak yang sedang
mengadakan pesta pernikahan di daerah ini masih berbentuk barang (hasil bumi),
uang, kado (cindera mata) dan yang lainnya. Di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang,
Kabupaten Sragen sistem sumbangan juga masih terlaksana dengan baik. Sistem
sumbangan di daerah ini masih menjadi adat kebiasaan yang berjalan dengan kuat.
disajikan dalam tabel perincian waktu pelaksanaan penelitian sebagai berikut:
Tabel 1: Perincian waktu pelaksanaan penelitian
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah penelitian kualitatif diskriptif, dimana dalam
penelitian kualitatif diskriptif akan mampu menangkap berbagai informasi kualitatif
dengan diskripsi yang teliti dan penuh nuansa. Dalam hal ini, peneliti akan
menangkap berbagai fenomena dan informasi yang berkaitan dengan objek penelitian
di lapangan, kemudian direkonstruksi secara tidak bebas nilai. Penelitian ini
menggunakan desain penelitian yang bersifat lentur dan terbuka, disesuaikan dengan
kondisi dan fakta yang ada di lapangan. Maka setiap saat data dapat berubah sesuai
dengan pengetahuan baru yang ditemukan. Berdasarkan lokasi atau tempat dimana
penelitian dilakukan, penelitian ini termasuk penelitian kancah (field research). Y. Slamet (2006:9) menjelaskan, ”penelitian kancah (field research) adalah penelitian yang dilakukan disuatu daerah geografis tertentu dimana peneliti terjun ke
masyarakat secara langsung melihat apa yang terjadi”. Peneliti berinteraksi dengan
informan-informan sampai data-data yang diperlukan betul-betul lengkap dan tepat,
serta peneliti benar-benar puas dalam mengambil informasi. Penelitian ini bersifat
penelitian dasar (basic research). Sedangkan strategi penelitian yang digunakan yaitu studi kasus. Seperti yang dikemukakan Abdul Azis SR. dalam Burhan Bungin
(2003:23) dengan studi kasus akan dapat mengisaratkan beberapa keunggulan sebagai
berikut:
1. Studi kasus dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan antar variabel serta proses-proses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas.
2. Studi kasus memberikan kesempatan untuk memperoleh wawasan mengenai konsep-konsep dasar perilaku manusia.
Disamping tiga keunggulan di atas, studi kasus dapat memiliki keunggulan spesifik
lainnya, seperti yang dikemukakan Black dan Champion dalam Burhan Bungin
(2003:23), yakni:
1. Bersifat luwes berkenaan dengan metode pengumpulan data yang digunakan.
2. Keluwesan studi kasus menjangkau dimensi yang sesungguhnya dari topik yang diselidiki.
3. Dapat dilaksanakan secara praktis di dalam banyak lingkungan sosial. 4. Studi kasus menawarkan kesempatan menguji teori.
5. Studi kasus bisa sangat murah, tergantung pada jangkauan penyelidikan dan tipe teknik pengumpulan data yang digunakan.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus
tunggal terpancang. HB. Sutopo (2002:112) menjelaskan, ”suatu penelitian disebut
sebagai bentuk studi kasus tunggal bilamana penelitian tersebut terarah pada satu
karakteristik”. Artinya penelitian tersebut hanya dilakukan pada satu sasaran (satu
lokasi atau satu subjek). Jumlah sasaran (lokasi studi) tidak menentukan suatu
penelitian berupa studi kasus tunggal ataupun ganda, meskipun penelitian dilakukan
di beberapa lokasi (beberapa kelompok atau sejumlah pribadi), kalau sasaran studi
tersebut memiliki karakteristik yang sama atau seragam maka penelitian tersebut
tetap merupakan studi kasus tunggal. Begitu juga dengan penelitian tentang Makna
Sumbangan pada Acara Pernikahan Masa Kini ini yang hanya dilakukan pada satu
sasaran, yaitu sistem sumbangan di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen
yang memiliki suatu karakteristik. Penelitian ini juga termasuk penelitian terpancang
karena peneliti telah memilih dan menentukan masalah-masalah yang menjadi fokus
utamannya sebelum memasuki lapangan studinya.
C. Sumber Data
Data yang dikaji dan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif.
Ada dua sumber data penting yang akan dijadikan sasaran dalam pencarian informasi
a. Informan atau narasumber, yaitu warga masyarakat di lokasi penelitian
serta pihak-pihak yang sedang atau pernah mengadakan acara pernikahan.
b. Sumber data dari peristiwa atau aktivitas, yaitu ketika acara pernikahan
dan sistem sumbangan ini dilaksanakan.
D. Teknik Cuplikan (Sampling)
Teknik cuplikan (sampling) yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik
purposive sampling. H.B. Sutopo (2002:56) menjelaskan bahwa dalam teknik
purposive sampling peneliti memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data
yang mantab. Berkaitan dengan pemilihan informan yang baik, peneliti dalam hal ini
mempertimbangkan analisis Spradley (2007: 68-77) yang telah menganalisis lima
persyaratan minimal untuk memilih informan yang baik, yaitu:
1. Enkulturasi penuh (informan yang mengetahui budayanya dengan baik secara alami).
2. Keterlibatan langsung (keterlibatan secara langsung yang dialami oleh calon informan).
3. Suasana budaya yang tidak dikenal oleh peneliti (informan yang bukan daerah seasal dengan peneliti).
4. Waktu yang cukup (memilih informan yang tidak terlalu sibuk dan mudah diteliti).
5. Non-analitis (informan yang tidak menganalisis kebudayaannya sendiri dari perspektif orang luar, tetapi dari masyarakatnya sendiri).
Dalam penelitian ini, peneliti juga memilih informan kunci. Suwardi
Endraswara (2006:119) menyebutkan bahwa, ”informan kunci adalah seseorang yang
memiliki informasi relatif lengkap terhadap budaya yang diteliti”. Peneliti juga akan
mempertimbangkan tentang penentuan siapa yang akan menjadi informan kunci
seperti yang dikemukakan Suwardi Endraswara (2006:119) sebagai berikut:
1. Orang yang bersangkutan memiliki pengalaman pribadi sesuai dengan permasalahan yang diteliti;
2. Usia orang yang bersangkutan telah dewasa;
3. Orang yang bersangkutan sehat jasmani dan rohani;
5. Orang yang bersangkutan tokoh masyarakat;
6. Orang yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang luas mengenai permasalahan yang diteliti, dan lain-lain.
Informan dalam penelitian ini yaitu Warto (bukan nama sebenarnya) yang
merupakan mantan kepala Desa Jati yang telah menjabat selama 22 tahun 8 bulan,
Pardi (bukan nama sebenarnya) sekretaris Desa Jati, Yono (bukan nama sebenarnya)
salah satu bayan dukuh di Desa Jati, Brama (bukan nama sebenarnya) salah satu
pemuda warga Desa Jati yang juga merupakan seorang mahasiswa, Endang serta
Ratmi (bukan nama sebenarnya) yang juga warga Desa Jati. Informan-informan ini
dirasa sesuai dengan pertimbangan Spradley dan Endraswara di atas dalam
menentukan dan memilih informan penelitian.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
wawancara dan observasi.
a. Wawancara mendalam (in depth interviewing)
Dalam penelitian ini teknik wawancara yang digunakan adalah
teknik wawancara tidak terstruktur (wawancara mendalam / in-depth interviewing). Wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang bersifat “open-ended” dan mengarah pada kedalaman informasi, serta dilakukan dengan cara yang tidak secara formal terstruktur, guna menggali
pandangan subyek yang diteliti tentang banyak hal yang sangat
bermanfaat untuk menjadi dasar bagi penggalian informasi secara lebih
jauh dan mendalam. Seperti yang dikemukakan Suwardi Endraswara
(2006:151) tujuan wawancara antara lain adalah,
(a) Untuk menggali pemikiran konstruktif seseorang informan, yang menyangkut peristiwa, organisasi, perasaan, perhatian, dan sebagainya yang terkait dengan aktivitas budaya.
(c) Untuk mengungkapkan proyeksi pemikiran informan tentang kemungkinan budaya miliknya dimasa mendatang.
Sesuai dengan fokus dalam penelitian ini, berbagai tujuan tersebut akan
diarahkan pada makna sumbangan pada acara pernikahan masa kini.
Dalam melakukan wawancara peneliti juga memperhatikan dan
menerapkan beberapa syarat-syarat kode etik penting dalam wawancara
yang dikemukakan Payne dalam Suwardi Endraswara (2006:152) sebagai
berikut:
1. Peneliti sebaiknya menghindari kata-kata yang mempunyai dua makna atau banyak arti;
2. Peneliti sebaiknya menghindari pertanyaan-pertanyaan panjang, yang sebenarnya mengandung banyak pertanyaan khusus. Pertanyaan panjang sebaiknya dipecah-pecah kedalam bagian-bagian dan ditanyakan secara bertahap;
3. Peneliti sebaiknya membuat pertanyaan sekongkret mungkin dengan penunjuk waktu dan lokasi yang kongkret;
4. Sebaiknya seorang peneliti mengajukan pertanyaan dalam rangka pengalaman kongkret dari si responden (baca: informan);
5. Peneliti sebaiknya menyebut semua alternatif yang dapat diberikan oleh responden (baca: informan) atas partanyaanya, atau sebaliknya jangan menyebut yang alternatif sama sekali;
6. Dalam wawancara mengenai pokok-pokok yang dapat membuat informan atau responden malu, canggung, atau kagok, maka peneliti sebaiknya mempergunakan istilah yang dapat menghaluskan konsep atau membuatnya netral (euphemisme);
7. Dalam wawancara mengenai pokok seperti sub 6, gaya pertanyaan sebaiknya dinetralkan dengan kata-kata yang seolah-olah mengalihkan kesalahanya kepada keadaan informan;
8. Dalam wawancara mengenai pokok seperti tersebut dalam bab 6, seseorang peneliti sebaiknya juga mempergunakan gaya bertanya yang tidak menyangkutkan informan atau responden dengan masalahnya;
9. Dalam wawancara mengenai pook-pokok seperti yang tersebut dalam sub 6 dan 7, maka peneliti sebaiknya mengajukan pertanyaan yang terpaksa dijawab secara positif atau kalau diingkari juga diingkari secara tegas;