• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA SUMBANGAN PADA ACARA PERNIKAHAN MASA KINI (Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKNA SUMBANGAN PADA ACARA PERNIKAHAN MASA KINI (Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen)"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

MAKNA SUMBANGAN

PADA ACARA PERNIKAHAN MASA KINI

(Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang,

Kabupaten Sragen)

Skripsi oleh :

HIMBASU MADOKO NIM. K8405001

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

MAKNA SUMBANGAN

PADA ACARA PERNIKAHAN MASA KINI

(Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang,

Kabupaten Sragen)

oleh :

HIMBASU MADOKO NIM. K8405001

Skripsi

Ditulis dan Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi Jurusan

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(3)

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini Telah Disetujui untuk Dipertahankan di Hadapan Tim Penguji

Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Surakarta, Juli 2009

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I

Drs. Suparno, M.Si NIP. 19481210 197903 1 002

Pembimbing II

(4)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima

untuk memenuhi persyaratan mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan.

Pada hari : Jum’at

Tanggal : 17 Juli 2009

Tim Penguji Skripsi:

Nama Terang Tanda tangan

Ketua : Drs. H. MH. Sukarno, M.Pd ...

Sekretaris : Dra. Hj. Siti Rochani .CH, M.Pd ...

Anggota I : Drs. Suparno, M.Si ………

Anggota II : Siany Indria. L, S.Ant., M.Hum ………

Disahkan oleh

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret

Dekan,

Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd

(5)

ABSTRAK

Himbasu Madoko, MAKNA SUMBANGAN PADA ACARA PERNIKAHAN MASA KINI (Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen). Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009.

Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui dan memahami mengapa sumbangan dalam acara perkawinan menjadi sesuatu yang penting di dalam kehidupan masyarakat, (2) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana masyarakat memaknai sumbangan pada acara pernikahan dalam konteks masa kini.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif diskriptif. Sumber data dalam penelitian ini yaitu; (1) Informan atau narasumber, yaitu warga masyarakat dilokasi penelitian serta pihak-pihak yang sedang atau pernah mengadakan acara pernikahan, (2) Sumber data dari peristiwa atau aktivitas, yaitu ketika acara pernikahan dan sistem sumbangan ini dilaksanakan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara mendalam (in depth interviewing) dan observasi secara langsung. Teknik pengembangan validitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah trianggulasi data (trianggulasi sumber), trianggulasi metode dan review informan. Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif yang meliputi empat komponen yaitu pengumpulan data, reduksi data (reduction), sajian data (display) dan penarikan kesimpulan serta verifikasinya.

(6)

ABSTRACT

Himbasu Madoko, THE MEANING OF CONTRIBUTION IN THE PRESENT WEDDING CEREMONY EVENT (A Case Study in Village Jati, Sub district Sumberlawang, Regency Sragen). Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty. Surakarta Sebelas Maret University, 2009.

The objective of research is (1) to find out and to understand why the contribution in wedding ceremony event becomes something important in the society life, (2) to find out and to understand how the society means the contribution in wedding ceremony event in the present context.

This research used a descriptive qualitative method. The data source in this study includes: (1) informant or resource, that is, the residents of research location and the people who are conducting or has ever conducted the wedding ceremony event, (2) data source from the event or activity, that is, the wedding ceremony or the contribution system conducted. Techniques of collecting data employed in this study were in depth interview and direct observation. Technique of validating data used was data (source), method triangulations and informant review. Technique of analysing data used was an interactive analysis model encompassing four components: data collection, reduction, display and conclusion drawing as well as verification.

(7)

MOTTO

“Orang yang murah hati dan jujur mengalami masa terbaik dalam hidup

mereka dan tidak pernah dibebani oleh kesukaran-kesukaran. Tetapi orang yang

penakut selalu curiga dan gelisah terhadap segala sesuatu, dan seseorang yang kikir

selalu mengeluh atas hadiah-hadiah yang diberikannya kepada orang lain” ( Havamal

dalam Marcel Mauss. 1992: xvii).

“Saling memberi hadiahlah kalian, maka kalian akan saling mencintai”

(8)

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan

Kepada:

Bapak dan ibu tercinta

Adikku

Teman-teman Sos-Ant ’05

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan untuk memenuhi

sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian

penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya

kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuannya,

disampaikan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd, selaku Dekan Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta;

2. Bapak Drs. H. Syaiful Bachri, M. Pd selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu

Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret

Surakarta;

3. Bapak Drs. H. MH Sukarno, M. Pd selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Sosiologi-Antropologi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Universitas Sebelas Maret Surakarta;

4. Bapak Drs. Suparno, M.Si selaku Pembimbing I yang telah memberikan

pengarahan dan bimbingannya;

5. Ibu Siany Indria. L. S.Ant., M.Hum selaku Pembimbing II yang telah

memberikan pengarahan dan bimbingan demi penyempurnaan penulisan

skripsi;

6. Ibu Atik Catur Budiati, S. Sos, M.A selaku Pembimbing Akademik terima

kasih atas kesabaran dan petunjuk yang diberikan selama peneliti menempuh

studi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta;

7. Segenap Bapak/Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi

(10)

8. Bapak kepala Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen atas izin yang

diberikan;

9. Para informan yang telah memberikan pengalaman hidup dan berbagai

informasi yang dibutuhkan peneliti;

10.Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan imbalan dari Tuhan Yang

Maha Esa.

Walaupun disadari dalam skripsi ini masih ada kekurangan, namun

diharapkan skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Surakarta, 2009

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGAJUAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN ABSTRAK ... v

HALAMAN MOTTO ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II LANDASAN TEORI... 7

A. Tinjauan Pustaka ... 7

1. Definisi dan Bentuk Sumbangan………. 7

2. Konsep Sumbangan dalam Fungsionalisme……… 8

3. Resiprositas dalam Sistem Sumbangan………... 15

4. Kekerasan Simbolik dalam Sistem Sumbangan……….. 20

(12)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 25

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 25

B. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 26

C. Sumber Data ... 27

D. Teknik Cuplikan ... 28

E. Teknik Pengumpulan Data ... 29

F. Validitas Data ... 31

G. Analisis Data ... 32

H. Prosedur Penelitian... 33

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN ………... 35

A. Deskripsi Lokasi Penelitian... 35

B. Temuan Hasil Penelitian yang Dihubungkan dengan Kajian Teori ... 38

1.Waktu Pelaksanaan Pernikahan di Desa Jati ... 38

2.Bentuk Sumbangan pada Acara Pernikahan di Desa Jati... 40

3. Arti Penting Sumbangan dalam Acara Pernikahan bagi Kehidupan Masyarakat Desa Jati... 44

4. Pemaknaan Sumbangan pada Acara Pernikahan dalam Konteks Masa Kini... 65

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN... 81

A. Simpulan ... 81

B. Implikasi ... 83

C. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 86

(13)

Daftar Tabel

(14)

DAFTAR GAMBAR

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupannya manusia tidak akan dapat lepas antara yang satu

dengan lainnya. Mereka saling berinteraksi untuk membangun pergaulan hidup

bersama karena itu terbentuklah masyarakat. Pertemuan antar manusia secara

badaniah saja tidak akan dapat menghasilkan pergaulan hidup. Pergaulan hidup

akan dapat tercapai jika mereka saling berkomunikasi, bekerja sama, bahkan saling

bersaing dan bertikai. Sehubungan dengan hal ini Kimball Young dan Raymond

dalam Soerjono Soekanto (2004:61) mengemukakan bahwa, ”interaksi sosial adalah

kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial tidak akan

mungkin ada kehidupan bersama”.

Aktifitas saling tolong-menolong/kerja sama merupakan salah satu bentuk

interaksi sosial. Gillin dan Gillin dalam Soerjono Soekanto (2004:71)

menggolongkan aktifitas ini sebagai interaksi sosial yang mengarah pada bentuk

penyatuan (assosiasif). Perasaan saling membutuhkan yang tersalurkan melalui

interaksi sosial akan terwujud dalam aktivitas saling tolong-menolong. Bentuk

tolong-menolong antar sesama manusia dapat mempererat persaudaraan (hubungan

batin), yang akan membentuk perasaan bersatu dan bersolidaritas. Perasaan saling

membutuhkan ini menimbulkan sistem tukar menukar kewajiban untuk memberi

dan menerima bantuan kepada sesamanya. Masyarakat kemudian saling membantu

satu sama lain dalam berbagai hal.

Kegiatan saling tolong-menolong dalam masyarakat salah satunya dapat

dilihat dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat. Hampir masyarakat di seluruh

(16)

itu memang universal, dan ada hampir dalam semua kebudayaan di seluruh dunia,

hanya saja tidak semua saat peralihan dianggap sama pentingnya dalam semua

kebudayaan”. Masyarakat Jawa juga mengenal siklus kehidupan ini yang meliputi

kelahiran, perkembangan, dan kematian. Dalam hal ini mereka sangat

mengindahkan kegiatan saling tolong menolong terutama dalam pelaksanaan acara

adatnya.

Pertolongan/bantuan yang diberikan seseorang dalam kegiatan adat

bentuknya bermacam-macam. Bantuan tersebut dapat berupa tenaga, pikiran, benda

materi, biaya, dan sebagainya. Seseorang dalam kehidupan masyarakat dapat

memberikan salah satu bentuk pertolongan/bantuan saja seperti misalnya tenaga,

pikiran, benda materi, biaya, atau bantuan yang lainnya, namun seseorang juga

dapat memberikan berbagai bantuan dalam suatu acara. Seseorang mungkin dalam

suatu acara dapat memberikan bantuan tenaga dalam pelaksanaanya, disamping itu

juga sering memberikan bantuan biaya, pikiran benda materi, maupun

bantuan-bantuan yang lainnya.

Salah satu bentuk tolong menolong adalah sumbangan. Di dalam

masyarakat kita sumbangan memiliki dua arti. Pertama, sumbangan dalam arti

umum yang mencakup semua pertolongan baik yang berupa tenaga, pikiran, benda

materi, biaya, dan sebagainya. Kedua, sumbangan dalam arti yang lebih sempit,

yaitu sebagai istilah pertolongan (sokongan) yang berupa bantuan material (benda

ataupun biaya) untuk membantu seseorang yang sedang memiliki hajat. Arti

sumbangan yang kedua ini dalam bukunya Clifford Geertz (1983:88) dituliskan

dengan istilah “buwuh”. Sumbangan dalam arti “buwuh” inilah yang akan menjadi fokus dalam pembahasan ini.

Berkaitan dengan upacara dalam siklus kehidupan yang dikenal

masyarakat Jawa, sumbangan biasanya diberikan pada saat adanya kelahiran,

sunatan, perkawinan, kematian ataupun aktifitas-aktifitas yang lainnya seperti

(17)

sebagainya. Sumbangan yang diberikan pada pesta perayaan perkawinan dan

sunatan merupakan sumbangan yang sedikit berbeda dibandingkan dengan

sumbangan pada kematian, kelahiran, dan aktifitas yang lainnya, karena diberikan

kepada seseorang/keluarga yang notabene adalah mereka yang mampu

menyelenggarakan pesta dan mengundang para tamu yang akan memberikan

sumbangan tersebut.

Dewasa ini sumbangan, sering dinilai secara sinis sebagai sumber

keuntungan dan banyak orang yang menyelenggarakan hajat hanya untuk

mengharapkan keuntungan dari sumbangan para tamu saja. Seperti kutipan dari

informan yang diteliti oleh Clifford Geertz dalam bukunya Abangan, Santri Priyayi

Dalam Masyarakat Jawa (1983:88), berikut ini :

... Ia mengatakan bahwa buwuh yang dahulu merupakan soal rukun, terutama

ketika buwuh itu tidak berupa uang tetapi berupa barang seperti barang

makanan dan sebagainya telah merosot menjadi pasal cari uang biasa di mata

seorang yang sedang gawe duwe. Kerap kali yang yang masuk lebih banyak

dari uang yang keluar, karena itu tuan rumah memperoleh laba, karena itu

jugalah sekarang ini orang suka menyelenggarakan pesta sekedar untuk

memperoleh keuntungan. Kata orang siallah kita kalau tidak punya anak untuk

disunatkan atau dikawinkan dengan suatu pesta, sebab ini berarti hilanglah

kesempatan untuk memperoleh keuntungan... .

Sudarmono dalam Opini; Nuansa Kondangan http://www.lampungspost.

com/cetak/berita.php?id=2007010900565359, Selasa 9Januari2007, menjelas-kan,

(18)

merasuk pada niatnya”. Kenyataannya pada umumnya masyarakat apabila

menerima undangan suatu acara pernikahan atau sunatan yang merupakan kabar

gembira dari saudara atau temannya justru sering menjadi bahan keluhan.

Masyarakat kini memandang jika menghadiri undangan suatu upacara

pernikahan/sunatan yang dipikirkan pertama kali adalah harus menyediakan

sejumlah uang yang dianggap pantas sebagai sumbangan. Pandangan ini telah

menggeser niat utama dalam menghadiri suatu undangan. Masyarakat seakan-akan

menjadi kurang ikhlas dengan keluhan-keluhan mereka.

Fenomena menyumbang/sumbangan telah menjadi budaya yang tidak sehat

lagi dalam kehidupan masyarakat. Sangat jarang sekali seseorang/keluarga yang

menyelenggarakan suatu pesta pernikahan ataupun khitanan tanpa mengharapkan

sumbangan dari para tamu undangannya, dan sangat banyak sekali masyarakat yang

kini menjadi sering mengeluh karena sumbangan ini. Di dalam surat undangan

suatu acara pesta perkawinan atau khitanan sering kita lihat tulisan yang pada

intinya menyatakan seseorang/keluarga yang menyelenggarakan pesta tanpa

mengurangi rasa hormat tidak menerima sumbangan yang berupa cinderamata atau

karangan bunga. Sangat jarang sekali bahkan hanya ada beberapa orang saja yang

berani menuliskan di dalam surat undangannya jika mereka (penyelenggara pesta)

tidak menerima sumbangan dalam bentuk apapun.

Sistem sumbangan pada khususnya dalam upacara khitanan dan

pernikahan, di dalamnya terdapat berbagai fenomena sosial. Sumbangan

memberikan banyak cerita dan interpretasi di baliknya, mulai dari sistem aturan

timbal balik yang mengikat, pergeseran makna dan tujuan dari sistem sumbangan,

konflik yang mungkin terdapat di dalamnya, beratnya biaya sosial,dan sebagainya,

meskipun secara tampilan luar teratur dan sudah menjadi kewajiban yang dilakukan

masyarakat. Berhubungan dengan hal ini, peneliti tertarik melakukan penelitian

tentang sistem sumbangan pada upacara perkawinan dan upacara khitanan, karena

(19)

arti penting dalam penelitian ini. Pertama, pengetahuan serta pemahaman akan arti

penting sistem sumbangan pada acara pernikahan dalam kehidupan masyarakat.

Kedua, penganalisaan berbagai fenomena yang terjadi pada masa kini terkait

dengan sistem sumbangan pada acara pernikahan, serta pengetahuan dan pemahan

akan makna sistem sumbangan ini dalam konteks masa kini. Untuk memperoleh

kajian yang lebih terfokus sehingga akan dapat memperoleh kajian yang sempit

serta mendalam cakupannya, penelitian ini akan difokuskan pada sumbangan

pernikahan. Maka penelitian ini akan diberi judul “Makna Sumbangan pada Acara

Pernikahan Masa Kini” (Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang,

Kabupaten Sragen).

B. Rumusan Masalah

Masalah pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:

a. Mengapa sumbangan dalam acara pernikahan menjadi sesuatu yang penting

di dalam kehidupan masyarakat?

b. Bagaimana masyarakat memaknai sumbangan pada acara pernikahan dalam

konteks masa kini?

C. Tujuan penelitian

Dari uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan dari

penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui dan memahami mengapa sumbangan dalam acara

pernikahan menjadi sesuatu yang penting di dalam kehidupan masyarakat.

b. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana masyarakat memaknai

(20)

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain:

1. Manfaat Teoritis

a. Menambah pengetahuan yang lebih mendalam mengenai berbagai

hal yang berkaitan dengan sistem sumbangan pada acara pernikahan

masa kini.

b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan sosiologi

dan antropologi pada khususnya, serta ilmu pengetahuan sosial pada

umumnya .

c. Dapat dijadikan sebagai penelitian awal yang mendasari penelitian

yang lebih luas cakupannya dan lebih mendalam kajiannya.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat digunakan sebagai wacana reflektif bagi masyarakat dalam

kehidupan sosial.

b. Dapat digunakan sebagai masukan bagi masyarakat dalam rangka

(21)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Definisi dan Bentuk Sumbangan

Sumbangan berasal dari kata sumbang, dimana dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (1990) sumbang/menyumbang memiliki arti, “memberi sesuatu kepada

orang yang sedang pesta, dan sebagainya sebagai sokongan”, sedangkan sumbangan

sendiri artinya adalah “pemberian sebagai bantuan (pada pesta perkawinan, dsb)”.

Secara umum menyumbang termasuk aktivitas sosial manusia yang disebut gotong

royong. Koentjaraningrat (1992:171) menjelaskan menjelaskan konsep gotong

royong sebagai “rasa saling tolong menolong atau rasa saling bantu-membantu

dalam jiwa masyarakat”.

Koentjaraningrat (1983:59-60) membedakan kegiatan tolong-menolong

dalam masyarakat menjadi empat, yaitu 1) tolong menolong dalam produksi

pertanian, 2) aktivitas tolong menolong antar tetangga yang tinggal berdekatan,

untuk pekerjaan-pekerjaan kecil sekitar rumah dan pekarangan, 3) aktivitas tolong

menolong antara kaum kerabat (dan kadang-kadang beberapa tetangga yang paling

dekat) untuk menyelenggarakan pesta sunat, perkawinan atau upacara-upacara lain

sekitar titik peralihan pada lingkaran hidup individu, 4) aktivitas spontan tanpa

permintaan dan tanpa pamrih untuk membantu secara spontan pada waktu

seseorang penduduk Desa mengalami kematian atau bencana. Dalam hal ini,

menyumbang atau memberikan sumbangan merupakan tolong menolong pada

aktivitas ketiga yaitu, pada persiapan dan penyelenggaraan pesta atau upacara adat.

Novita Purnamasari (2005:55) dalam penelitian mandirinya telah

menganalisis bahwa sumbangan dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu “1)

(22)

dengan buwuh ini Clifford Geertz (1983:87) secara lebih terperinci menjelaskan bahwa,

buwuh adalah sejenis sumbangan yang khas dari para tamu kepada tuan rumah atas hidangan dan pelayanan yang telah mereka terima. Kebiasaan yang umum dalam memberikannya adalah dengan menempelkan pada telapak tangan secara diam-diam ketika bersalaman dengan tuan rumah untuk berpamitan, pada saat mana tuan rumah akan memberikan sebungkus jajan kepada istri tamunya sebagai lambang sumbangannya kepada sang tamu yang berupa hidangan dan hiburan pada malam pertemuan ini. Lagi-lagi sumbangan timbal balik terlibat dalam hal ini.

Ketiga bentuk sumbangan tersebut merupakan suatu pemberian. Pemberian dari

para tamu undangan untuk seseorang atau keluarga yang sedang merayakan acara

pernikahan. Dalam Kamus Inggris-Indonesia (1986:269), kado, hadiah, dan

pemberian memiliki istilah dalam bahasa inggris yang sama, yaitu ”gift”.

Menurut kebiasaan di beberapa daerah, misalnya di daerah Surakarta, yang

datang dan menyumbang ialah kaum ibu, kemudian pulangnya memperoleh angsul-angsul atau bentelan.1 Di daerah Semarang, Purwodadi kaum laki-laki yang hadir. Mereka juga menyumbang dengan istilah salam templek, yaitu pada waktu pulang sambil bersalaman memberikan uang sumbangan (Anonim. 1982: 86).

Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa

sumbangan adalah aktifitas sosial untuk membantu meringankan orang yang sedang

punya hajat, berkaitan dengan berbagai hajat termasuk acara pesta perkawinan

yang bentuknya dapat berupa tenaga, barang (kado atau bahan hidangan,

perlengkapan upacara pernikahan, dan sebagainya), serta uang.

2. Konsep Sumbangan dalam Fungsionalisme

Pelaksanaan sistem sumbangan terdiri dari hubungan timbal balik antara

pemberi dan penerima yang membentuk suatu sistem. Hubungan timbal balik antara

1Angsul-angsul atau bentelan

(23)

pemberi dan penerima ini bersifat fungsional yang akan membentuk kehidupan

bermasyarakat. Seperti yang dikemukakan Aafke .E. Komter (2005: 195) yang

menjelaskan, ”the principle of reciprocity underlying gift exchange proved to be fundament of human society” (prinsip dari hubungan timbal balik mendasari pertukaran pemberian yang dibuktikan menjadi dasar masyarakat manusia).

Sumbangan yang merupakan suatu sistem salah satunya dapat dijelaskan melalui

teori fungsionalsme.

Aguste Comte dalam Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini (1988:20)

mencoba untuk merumuskan cara menganalisis masyarakat dengan menyajikan

metode penafsiran organis terhadap masyarakat. Bagi Comte masyarakat

dikonseptualisasikan sebagai suatu tipe organis dan harus ditelaah melalui prisma

konsepsi-konsepsi biologis mengenai struktur dan fungsi. Comte dalam Saifuddin

(2005:142) mengemukakan bahwasanya,

manusia secara intrinsik adalah makhluk sosial, dan hubungan-hubungan yang mereka bangun jauh dari kontrak-kontrak antara individu-individu yang bebas. Masyarakat memiliki organ-organ seperti halnya tubuh seekor binatang, dimana memiliki fungsi dari suatu bagian ditentukan oleh tempatnya dalam keseluruhan tubuh. Konsep individu adalah konstruksi sosial, yang berasal dari peranan yang dikenakan oleh masyarakat kepada tindakan individu. Cara berpikir ini dikenal sebagai ‘analogi organik’.

Comte juga sadar akan perbedaan antara organisme biologis dan

masyarakat. Organisme sosial atau masyarakat tidak berwujud fisik seperti halnya

organisme biologis, tetapi organisme sosial terdiri atas ikatan-ikatan batin. Sejalan

dengan Comte, Herbert Spencer juga memandang masyarakat seperti halnya suatu

organisme. Herbert Spencer dalam Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini

(1988:20-21) menyusun suatu sistematik mengenai cara-cara berpikir yang

menganggap masyarakat merupakan analogi suatu organisme, sebagai berikut:

(24)

dibedakan dari masalah organik, untuk tumbuh dan berkembang

keduannya).

2. in both society and organisms an increase in size means an increase in complexity an differentiation (pada keduannya masyarakat dan organisme peningkatan ukuran berarti peningkatan kompleksitas sebuah perbedaan).

3. in both, a progressive differentiation in structure is accompanied by a differentiation in function (pada keduanya, sebuah perbedaan dalam struktur progresif disertai oleh perbedaan dalam fungsi).

4. in both, parts of the shale are independent with a change in one part affecting other parts (pada keduanya, bagian dari pecahan yang bebas dengan suatu perubahan mempengaruhi bagian-bagian lainnya).

5. in both, each part of the whole is also a micro society or organisms in and of itself (pada kedua, setiap bagian dari keseluruhan adalah juga suatu masyarakat kecil atau organisme dalam dan dari keseluruhan itu sendiri).

6. and in both organisms and societies, the life of the whole can be destroyed but the parts will live on for a while (dan pada kedua organisme dan masyarakat, kehidupan seluruh dapat dimusnahkan tetapi

bagian-bangiannya akan hidup untuk sementara waktu).

Pemikiran Emile Durkheim dalam Soerjono Soekanto dan Ratih Lestarini

(1988:22-23), juga mencerminkan asumsi dalam organisme, sebagai berikut:

1) Masyarakat harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang dapat dibedakan dari bagian-bagiannya, namun tidak dapat dipisah darinya. Dengan menganggap masyarakat sebagai suatu relatis, maka Durkheim memberikan prioritas dalam analisis menyeluruh.

2) Durkheim beranggapan bahwa bagian-bagian dari suatu sistem berfungsi untuk memenuhi kepentingan sistem secara menyeluruh.

(25)

4) Dengan memandang sistem secara normal, patologi dan fungsional, maka ada taraf atau titik tertentu dimana harmoni tercapai, sehingga fungsionalisasi secara normal berproses disekitar titik tersebut.

Pemikiran tiga tokoh sosiologi awal abad 19 tentang fungsionalisme yaitu

Aguste Comte, Herbert Spencer, dan Emile Durkheim tersebut menghasilkan tiga

asumsi yang mengawali fungsionalisme sosiologis, seperti yang dijelaskan Soerjono

Soekanto dan Ratih Lestarini (1989:21), sebagai berikut:

1) Relitas sosial dianggap sebagai suatu sistem.

2) Proses-proses suatu sistem hanya dapat dimengerti dalam kerangka hubungan timbal balik antara bagian-bagiannya.

3) Sebagai halnya dengan suatu organisme maka struktur suatu sistem sifatnya terikat yang disertai adanya proses-proses untuk mempertahankan integritas dan batas-batasnya.

Berkaitan dengan sistem, Duncan Mitchell (1984:53) menerangkan jika

”setiap sistem mempunyai beberapa sifat yang sama, terutama bagian-bagiannya

yang begitu erat hubungannya satu sama lain dari segi struktur hingga perubahan

dalam satu bagian akan mengakibatkan perubahan di bagian yang lain”. Sementara

itu Dahrendorf dalam Kamanto Sunarto (2000:228) mengemukakan mengenai

pokok teori fungsionalisme sebagai berikut:

1). Setiap masyarakat merupakan suatu struktur unsur yang relatif gigih dan stabil.

2). Mempunyai struktur unsur yang terintegrasi dengan baik.

3). Setiap unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, memberikan sumbangan pada terpeliharanya masyarakat sebagai suatu sistem.

4). Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada konsensus mengenai nilai dikalangan para anggotanya.

”Organisme Comte, Spencer dan Durkheim mempengaruhi

fungsionalis-fungsionalis antropologi yang pertama seperti Malinowski dan Radcliffe Brown,

yang kemudian membantu pembentukan perspektif fungsional” (Soerjono

Soekanto. 1986:17). Malinowski dalam Saifudin (2005: 167) berpandangan bahwa,

(26)

Manners (2000:79), memperkenalkan, konsep fungsi yang dibedakan antara fungsi

manifes dan fungsi laten (fungsi tampak dan fungsi terselubung), dalam suatu

tindak atau unsur budaya. ”Fungsi manifes ialah konsekuensi obyektif yang

memberikan sumbangan pada penyesuaian atau adaptasi sistem yang dikehendaki

dan didasari oleh pertisipan sistem tersebut. Sebaliknya, fungsi laten adalah

konsekuensi objektif dari suatu ihwal budaya yang tidak dikehendaki maupun

disadari oleh warga masyarakat”.

Malinowski dalam Koenjtaranigrat (1987:167) membedakan antara fungsi

sosial dalam tiga tingkatan abstraksi, yaitu:

1) Fungsi sosial dari suatu adat , pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial dalam masyarakat.

2) Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan suatu adat.

3) Fungsi sosial dari suatu adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.

Radcliffe Brown yang juga tokoh fungsionalisme dalam antropologi lebih

suka pada penggunaan strukturalisme dari pada fungsionalisme. Radcliffe Brown

dalam Soerjono Soekanto (1986: 11) mengakui bahwa, “the concept of function applied to human societies is based on an analogy between social life and organic life… the first systematic formulation of the concept as applying to the strictly scientific study of society was performed by Durkheim…”. Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa konsep fungsi diterapkan pada masyarakat manusia

didasarkan pada analogi antara kehidupan sosial dan kehidupan organik. Perumusan

konsep sistematis pertama seperti yang diterapkan untuk kajian ilmiah sosial yang

ketat telah dilakukan oleh Durkheim.

Struktur masyarakat adalah susunan yang bagian-bagiannya memberi

(27)

suatu organisme. Radcliffe Brown dalam Duncan Mitchell (1984:51) menerangkan

bahwa “unsur-unsur struktur sosial ialah manusia, tetapi lebih tepat jika dianggap

sebagai kedudukan yang diduduki oleh orang-orang”. Brown dalam Soerjono

Soekanto dan Ratih Lestarini (1988:26) berpendapat bahwa analisis struktural

(=fungsional) haruslah bertitik tolak pada asumsi;

1) Suatu kondisi bagi ketahanan suatu masyarakat adalah adanya taraf integrasi minimal dari bagian-bagiannya.

2) Istilah fungsi mengacu pada proses-proses yang memelihara taraf integrasi atau solidaritas tersebut.

3) Dalam setiap masyarakat cirri-ciri struktural dapat diidentifikasikan manfaatnya bagi pemeliharaan solidaritas.

Berdasarkan pemikiran para fungsionalis di atas maka dapat disimpulkan

bahwa pertukaran sumbangan pada acara pernikahan sebagai suatu realitas sosial

juga dapat dipahami sebagai suatu sistem layaknya suatu organisme. Jika dilihat

secara lebih luas dalam cakupan masyarakat maka sistem sumbangan dalam acara

pernikahan ini dapat dikatakan sebagai suatu sub sistem diantara sistem-sistem yang

lainnya sebagai pembentuk adanya kehidupan bermasyarakat. Seperti yang telah

dikemukakan para tokoh fungsionalis di atas bahwa proses-proses suatu sistem

hanya dapat dimengerti dalam kerangka hubungan timbal balik antara

bagian-bagiannya, maka dalam sistem sumbangan juga berlaku seperti ini. Sistem

sumbangan hanya akan dapat berjalan apabila unsur-unsur di dalamnya berjalan

dalam hubungan timbal balik secara fungsional. Apabila salah satu unsur tidak

dapat berjalan sebagaimana mestinya maka sistem pertukaran dalam sumbangan ini

tentunya akan mengalami gangguan. Unsur-unsur tersebut diantaranya adalah

pemberi dan penerima yang saling melakukan pertukaran sumbangan yang saling

terkait diantara yang satu dengan yang lainnya secara luas. Sistem sumbangan ini

juga bersifat mengikat bagi masyarakat sehingga akan selalu mempertahankan

integritasnya sebagai suatu sistem. Menurut penjelasan Malinowski di atas, sistem

(28)

memiliki fungsi yaitu memberikan pengaruh atau efeknya terhadap adat, tingkah

laku manusia dan pranata sosial dalam masyarakat, pengaruh atau efeknya terhadap

kebutuhan suatu adat, dan pengaruh atau efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk

berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.

Novita Purnamasari (2000:91-99) dalam penelitian mandirinya

menjelaskan bahwa,

bagi masyarakat Yogyakarta yang memiliki mobilitas tinggi diadakannya suatu upacara perkawinan merupakan sarana untuk bertemu dengan saudara, tetangga dan teman. Sebagai suatu aktifitas sosial nyumbang mempertemukan anggota-anggota masyarakat. Sebagai orang jawa memenuhi undangan perkawinan dan memberikan sumbangan adalah salah satu kewajiban sosial.

Hal ini menunjukkan bahwa sistem sumbangan berfungsi untuk mempertemukan

anggota-anggota masyarakat, dimana setiap individu/keluarga merupakan bagian

dari sistem yang terjalin secara fungsional sehingga akan membentuk dan

memperkuat keberadaan masyarakat.

Pembahasan tentang masyarakat yang terintegrasi sebagai suatu sistem

secara fungsional dapat pula ditinjau dalam penelitian etnografi Malinowski tentang

sistem tukar menukar kalung kerang atau yang disebut sulava dan gelang-gelang kerang yang disebut mwali di masyarakat kepulauan Trobriand. Kalung kerang

(sulava) beredar ke satu arah mengikuti arah jarum jam yang peredaranya meliputi kepulauan Tobrian atau Boyowa, Kepulauan Amphlett, Kepulauan D’entrecasteaux

atau Dobu, pulau st. Aignau atau Misima, kepulauan Laughlan atau Nada dan

kepulauan Woodlark atau Murua, yang semuanya terletak di sebelah timur Papua

Nugini Tenggara. Sementara itu gelang-gelang kerang (mwali) beredar kearah yang berlawanan. Sistem tukar menukar ini disebut dengan sistem Kula

(Koenjaraningrat. 1987:164-165). Dalam hal ini pada intinya Malinowski

bermaksud untuk menjelaskan bahwa melalui pertukaran yang disebut dengan

(29)

(mwali) dan kalung-kalung kerang (sulava) memiliki peran masing-masing yang saling terikat secara fungsional sehingga membentuk serta memperkuat keberadaan

masyarakat kepulauan Trobiand.

3. Resiprositas dalam Sistem Sumbangan

Prinsip moral tentang resiprositas ada dalam kehidupan sosial. Gouldner

dalam James Scott (1981:255) mengemukakan prinsip tentang resiprositas dan

perimbangan pertukaran adalah prinsip yang didasarkan pada gagasan yang

sederhana saja yakni bahwa orang harus membantu mereka yang pernah

membantunya atau setidak-tidaknya jangan merugikannya. Lebih khusus lagi

prinsip itu mengandung arti bahwa suatu hadiah atau jasa yang diterima

menciptakan bagi si penerima suatu kewajiban timbal balik untuk membalas dengan

hadiah/jasa dengan nilai yang setiadak-tidaknya sebanding dikemudian hari.

Gouldner dalam Susana Narotzky dan Paz Moreno (2002:285) menjelaskan

tentang konsep resiprositas sebagai, “a mutually contingent exchange of benefits between two or more units in his view, reciprocity constituted a general principle of mutual dependence and recognition of a shared moral norm: You should give benefits to those who give you benefits”. Pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa resiprositas adalah suatu kesatuan hubungan pertukaran tibal balik yang bermanfaat

antara dua unit atau lebih. Resiprositas mendasari suatu prinsip umum saling

ketergantungan dan pengakuan suatu norma moral bersama: Anda harus memberikan

manfaat kepada mereka yang memberikan manfaat.

Menurut Durkheim, faham pertukaran yang sepadan ini merupakan suatu

prinsip moral umum yang terdapat pada semua kebudayaan. Di Asia Tenggara

prinsip resiprositas terdapat dalam banyak kegiatan. Bentuk-bentuk saling

(30)

sangat teratur. Resiprositas juga merupakan prinsip moral yang pokok yang

mendasari kegiatan sosial desa-desa di Muangthai, baik dilingkungan keluarga

maupun antar keluarga. Di Filipina, pola persekutuan diantara manusia yang satu

dengan manusia yang lain pada umumnya ditafsirkan sebagai resiprositas, bahwa

“setiap jasa yang diterima, diminta atau tidak, harus dibalas,” rasa malu (hiya) dan rasa berhutang budi (utang na loob) merupakan daya penggerak resiprositas (Scott. 1981:255-256).

Terkait dengan sistem sumbangan dalam penelitian Novita Purnamasari

(2000:98-99) dijelaskan bahwa bagi pemangku hajat, sumbangan yang diterima

pada suatu hari nanti harus dikembalikan dengan mengidealkan bentuk dan jumlah

yang sepadan dengan yang diterimanya, sekurang-kurangnya sama dengan jumlah

yang diterimanya. Pengambalian sumbangan harus disesuaikan dengan

perkembangan nilai tukar uang, karena kesempatan untuk memberikan sumbangan

terutama pada kesempatan yang sama tidak terjadi pada tahun yang sama. Pada

masyarakat Jawa sumbangan dilihat sebagai bantuan penyelenggaraan upacara

perkawinan yang merupakan suatu balas jasa atas segala bentuk bantuan yang telah

diberikan pada masa sebelumnya. Oleh karena itu pendapatan dari sumbangan dapat

diperhitungkan dalam rencana pembiayaan upacara perkawinan. Meskipun

demikian, dalam masyarakat terdapat suatu pandangan bahwa sumbangan

dipandang sebagai tanda kasih yang harus diingat dengan baik agar suatu hari nanti

dapat terbalas dengan sepadan dan tidak memperhitungkannya dalam rencana

pembiayaan upacara perkawinan

Sistem hubungan timbal balik pemberian bukanlah sesuatu yang gratis

tanpa pengembalian, dan tanpa pamrih. Dalam teori, pemberian-pemberian hadiah

seperti itu sebenarnya dilakukan secara suka rela, tetapi dalam kenyataan

kesemuannya itu diberikan dan dibayar kembali dalam suatu kerangka kewajiban

yang harus dipenuhi oleh para pelakunya (Marcel Mauss. 1992:1). Marcel Mauss

(31)

prestasi-prestasi yang dalam teori bersifat sukarela tanpa pakasaan, tanpa pamrih dan sopan, tetapi dalam kenyataannya bersifat mengharuskan atau mewajibkan dan bersikap pamrih. Bentuk yang biasanya digunakan ialah pemberian hadiah yang secara murah hati disajikan; tetapi kelakuan yang menyertai pemberian itu resmi dengan kepura-puraan dan penipuan sosial, sementara transaksi itu sendiri dilandasi oleh kewajiban dan kepentingan ekonomi diri sendiri dari para pelakunya.

Blau dalam Margaret .M. Poloma (1994:82) menjelaskan bahwa ”dalam menjawab

pertanyaan apakah yang menarik individu kedalam assosiasi? Jawaban Blau ialah

mereka tertarik pada pertukaran karena mengharapkan ganjaran yang intrinsik

maupun ekstrinsik”.

Novita Purnamasari (2000:91-92) dalam penelitian mandirinya

menjelaskan jika keaktifan seseorang dalam menyumbang dan memenuhi undangan

perkawinan menunjukkan sebagai orang yang gemati (penuh perhatian) dan

entengan (suka menolong), sebagai balasanya orang yang menyumbang tersebut mudah mendapatkan balasan dan diperhatikan pula oleh lingkungan sosialnya

sehingga pada saat membutuhkan pertolongan akan segera mendapat bantuan bila

dibandingkan dengan mereka yang kurang aktif dalam aktifitas sosialnya.

Status, kedudukan, dan pangkat dalam sistem hubungan timbal balik yang

bersifat pamrih ini akan mempengaruhi jumlah banyak sedikitnya rekan dalam

melaksanakan hubungan pertukaran pemberian. Malinowski (1992:91)

menjelaskan, “the number of partner a man has varies with his rank and importance…a man would naturally know to what number of partners he was entitled by his rank and position” (jumlah rekan setiap orang berbeda-beda dengan pangkat dan kepentingan mereka…setiap orang secara alamiah akan tahu berapa

jumlah rekan yang telah mereka dapat dengan pangkat dan posisi mereka).

Sistem hubungan timbal balik dalam pemberian ini telah menjadi suatu

pranata yang kuat, serta membentuk suatu prosedur yang rumit. Marcel Mauss

(32)

memberi, kewajiban menerima, dan membayar kembali. Marcel Mauss (2005: 59)

mengatakan :

…Pada prinsipnya pemberian-pemberian selalu diterima dan selalu disukuri. Anda harus mengatakan rasa sukur anda atas makanan yang telah dipersiapkan untuk anda. Tetapi pada saat yang sama, anda menerima sebuah tantangan. Anda menerima pemberian “dari punggung”. Anda menerima makanan yang diberikan kepada anda karena anda bermaksud untuk menerima tantangan untuk membuktikan bahwa anda bukanlah seseorang yang tidak ada harganya... .

Dalam konteks sumbangan pada acara pernikahan, pernyataan tersebut dapat

dipahami bahwa para tamu undangan harus selalu bersyukur atas hidangan pesta

yang dipersiapkan untuk mereka. Akan tetapi hal ini sebenarnya merupakan suatu

tantangan bagi para tamu undangan untuk membalasnya yaitu dengan memberikan

sumbangan kepada pihak yang mengadakan hajat, serta mengadakan pesta pada saat

giliran mereka mempunyai hajat agar tidak dikatakan sebagai orang yang tidak

berharga atau orang yang rendah martabatnya. Kegagalan untuk memberi atau

menerima sama dengan kegagalan untuk membalas pemberian, yang sama artinya

dengan kehilangan rasa harga diri dan kehormatan, lebih lanjut Mauss (2005:

59-60) mengemukakan bahwa ”orang yang tidak dapat membayar hutang atau

pothlach, kehilangan kedudukannya dalam jenjang sosial dan bahkan kedudukannya sebagai orang bebas”. Marcel Mauss (1992: 16) juga mengatakan:

(33)

Ikatan sosial yang dihasilkan dari sistem timbal balik dalam pemberian dan

penerimaan juga dijelaskan oleh Aafke .E. Komter (2005:116-117), yang

menjelaskan bahwa, ”social ties are created, sustained and strengthened by means of gift. Acts of gift exchange are at the basis of humansolidarity”, (hubungan sosial diciptakan, ditopang dan diperkuat oleh pemberian. Aktifitas tukar menukar

pemberian adalah dasar dari solidaritas manusia). Labih lanjut Komter (2005: 195)

menjelaskan; “the principle of reciprocity underlying gift exchange proved to be the fundament of human society. It contains to moral basis for the development of social ties and solidarity because it’s implicit assumption is the recognition of the other person as a potentially” (prinsip dari hubungan timbal balik mendasari pertukaran pemberaian yang dibuktikan menjadi dasar masyarakat manusia. Ini

berisi dasar moral dari perkembangan ikatan sosial dan solidaritas karena ini adalah

asumsi yang harus dipatuhi dari pengkuan orang lain sebagai suatu penggabungan).

Tidak dapat dipungkiri jika dalam sistem sumbangan yang menjadi suatu

pranata yang kuat dan penuh makna ini, di dalamnya juga terdapat konflik. Konflik

terjadi karena ketidak konsisitenan dari pada pelaksanaan aturan timbal baliknya.

Aafke .E. Komter (2005:30-31) menjelaskan,

different between people’s attitudes to wards things may be the source of disagreeable misunderstandings and serious disputes. Conflicts may arise between people when things represent a different value to them or embody different sets of expectations and different course of action that need to be undertaken

Dari pernyataan di atas dapat dipahami jika perbedaan diantara orang terhadap

barang mungkin menjadi sumber dari ketidak setujuan salah paham dan perselisihan

yang serius. Konflik mungkin timbul diantara orang saat benda menunjukkan suatu

perbedaan nilai untuk mereka atau aturan yang menjadi perbedaan dari harapan dan

perbedaan jalan dari aktivitas yang dibutuhkan untuk dilakukan.

Katherine Jellison (2007:408) dalam menanggapi analisis Louise Pubrick

(34)

on who gives it, who receives it and the circumstances of its exchange, but she also proves that the absence of a gift likewise communicates a message social disapproval”, (Purbrick menunjukkan bahwa makna dari sebuah pernikahan hadiah tergantung yang memberikan, yang menerimanya dan keadaan dari pertukaran, tetapi

dia juga membuktikan bahwa tidak adanya hadiah juga mengkomunikasikan pesan

penolakan sosial).

Margaret .M. Poloma (1994:69-70) dalam analisinya terhadap pemikiran

Homans menjelaskan bahwa “berbagai hubungan serta perjenjangan dalam

masyarakat harus sesuai dengan apa yang disebut Homans sebagai distribusi

keadilan (distributive justice)”. Ketika sedang berinteraksi orang mengharapkan ganjaran mereka harus seimbang dengan biayanya. Bilamana ganjaran-ganjaran

tersebut kelak tidak sesuai lagi dengan distribusi keadilan itu, maka kita akan

berada dalam situasi ketidak adilan atau ketimpangan dalam distribusi ganjarang.

Kuatnya sistem pranata dari hubungan timbal balik pemberian dan

penerimaan serta sistem yang telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan

masyarakat, menjadikan sistem ini akan terus berlangsung. Marcel Mauss (1992:

16-17) menjelaskan, ”dalam saling menerima dan memberi hadiah-hadiah yang

berlangsung tetap dan terus menerus, dan dapat kita namakan sebagai masalah

spiritual yang meliputi orang-orang, benda-benda, dan unsur-unsur ini beredar dan

beredar kembali diantara klen-klen dan individu-individu, pangkat-pangkat, jenis

kelamin dan generasi-generasi”. Lebih lanjut Marcel Mauss (1992:136)

mengemukakan bahwa,

(35)

kita menghormati mereka itu pada peristiwa-peristiwa tertentu dan pada waktu-waktu tertentu dalam setiap tahunnya.

4. Kekerasan Simbolik dalam Sistem Sumbangan

Smith dalam Saifuddin (2005:142) mencatat bahwa ”tukar menukar adalah

sifat alamiah manusia, karena tak seorang pun pernah menyaksikan dua ekor anjing

saling mempertukarkan tulang, namun manusialah makhluk yang saling bertukar

dengan aneka ragam cara”. Akan tetapi bagi mereka yang tidak memiliki modal

dalam pelaksanaan sistem pertukaran ini menimbulkan suatu konsekuensi

tersendiri. Kuatnya sistem hubungan timbal balik dalam kebiasaan sumbangan

menimbulkan komitmen bagi warga masyarakat untuk tetap melaksanakan dengan

berbagai cara. Koentjaraningrat (1992:172) mengemukakan bahwa, ”orang desa

menyumbang dan membantu sesamanya itu karena ia terpaksa atas jasa yang pernah

diberikan kepadanya dan ia menyumbang untuk mendapatkan pertolongannya lagi

dikemudian hari”. Marcel Mauss (2005:137) juga mendiskripsikan pengalamannya

tentang sebuah keluarga dalam masa kanak-kanaknya di Lorraine, yang terpaksa

harus hidup dalam keadaan serba kekurangan, masih berani menghadapi

kehancuran diri mereka sendiri demi kepentingan para tamunya pada hari-hari suci,

perkawinan, komuni pertama dan upacara penguburan.

Hal ini sering menjadi keadaan seperti apa yang disebutkan Bourdieu

sebagai kekerasan simbolis. Kekerasan simbolis menurut Bourdieu dalam Richard

Jenkins (2004:157) adalah ”pemaksaan sistem simbolisme dan makna (misalnya

kebudayaan) terhadap kelompok atau kelas sedemikian rupa sehingga hal ini

dialami sebagai sesuatu yang sah”. Atau dengan kata lain kekerasan simbolis adalah

kekerasan yang secara paksa mendapatkan kepatuhan yang tidak dirasakan sebagai

paksaan dengan bersandar pada harapan-harapan kolektif dari

kepercayaan-kepercayaan yang sudah tertanam secara sosial (Haryatmoko. 2003:38). Kekerasan

(36)

tetapi sebagai sesuatu yang alamiah dan wajar. Bourdieu dalam Haryatmoko

(2003:18-19) menjelaskan bahwa,

pada dasarnya kekerasan simbolis berlangsung karena ketidak tahuan dari yang ditindas. Jadi, sebetulnya logika dominasi ini bisa berjalan karena prinsip simbolis yang diketahui dan diterima baik oleh yang menguasai maupun yang dikuasai. Prinsip simbolis itu berupa bahasa, gaya hidup, cara berpikir, cara bertindak dan kepemilikan yang khas pada kelompok tertentu atas dasar ciri kebutuhan.

Seperti halnya ilmu gaib, teori kekerasan simbolik berdasarkan pada teori

produksi kepercayaan, yang didapat dari proses sosialisasi yang diperlukan untuk

meproduksi pelaku-pelaku sosial yang dilengkapi dengan skema persepsi dan

apresiasi yang memungkinkan mereka mampu menerima perintah-perintah yang

diberikan dalam suatu situasi atau suatu wacana untuk mematuhinya. Kekerasan

simbolik bekerja dengan mekanisme meconnaissance –mekanisme penyembunyian kekerasan yang dimiliki-menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang

seharusnya demikian”. “Yang memang seharusnya demikian” inilah yang oleh

Bourdieu disebut dengan doxa. Dunia sosial manusia penuh dengan doxa. Bourdieu menjelaskan doxa adalah wacana yang kita terima begitu saja sebagai kebenaran dan tidak pernah lagi kita pertanyakan sebab-sebabnya apalagi kebenarannya.

Keberadaan doxa hanya dapat diperoleh melalui proses inkalkulasi, atau proses penanaman yang berlangsung terus menerus (Bourdieu dalam Suma Riella

Rusdiarti. 2003:38).

Pelaku sosial menerima kekerasan simbolik sebagai sesuatu yang wajar

karena kekerasan simbolik sudah dipahami dan sudah menjadi kebiasaan yang telah

dimiliki oleh pelaku sosial sejak lahir. Mekanisme kekerasan simbolik berjalan

dengan dua cara, yaitu eufemisasi dan sensorisasi. Eufemisasi biasanya membuat

kekerasan simbolik tidak tampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan

dipilah secara “tak sadar”. Bentuknya dapat berupa kepercayaan, kewajiban,

(37)

mekanisme sensorisasi menjadikan kekerasan simbolik tampak sebagai bentuk nilai

yang dianggap sebagai “moral kehormatan”, seperti kesantunan, kesucian,

kedermawanan, dan sebagainya yang biasanya dipertentangkan dengan “moral

rendah”, seperti kekerasan, kriminal, ketidakpantasan, asusila, kerakusan, dan

sebagainya (Bourdieu dalam Suma Riella Rusdiarti. 2003:38-39).

Adanya standarisasi berkaitan dengan jumlah sumbangan yang akan

diberikan dalam masyarakat juga sering menambah adanya kekerasan simbolik bagi

mereka yang kurang memiliki modal. Dalam penelitian Novita Purnamasari

(2000:94-95) dijelaskan bahwa sumbangan yang akan diberikan akan

dipertimbangkan secara rasional oleh masyarakat Yogyakarta. Pemberian

sumbangan uang akan disesuaikan dengan pesta perkawinan yang diadakan

pengundang, selain dengan melihat kedekatan hubungan, penyumbang akan

menghitung sendiri jumlah yang pantas diberikan pada pengundang berdasarkan

tempat dimana acara akan dilakukan. Seseorang akan menyumbang lebih jika

diundang di pesta perkawinan karena acara tersebut terkesan lebih mewah dan lebih

bergengsi, kemudian komponen pesta yang lain seperti tempat dan makanan yang

disuguhkan akan menjadi pertimbangan lain.

Masyarakat memiliki kekuasaan penuh dalam hal ini, Rousseau dalam

Saifudin (2005:141-142) menjelaskan bahwa,

masyarakat bukanlah sebagai gejala alam, melainkan penjumlahan kekuatan-kekuatan yang hanya dapat muncul apabila beberapa orang berhimpun bersama. Setiap orang harus menyerahkan diri, tunduk, tidak kepada kekuasaan seseorang melainkan kepada kolektivitas atau asosiasi dengan cara mematuhi arahan tertinggi dari kehendak umum.

Margaret Poloma (1994:89) mangemukakan bahwa, ”wewenang

berdasarkan atas norma-norma atau aturan-aturan bersama menggariskan perilaku

dalam suatu kolektifitas. Norma-norma itu memaksakan individu mematuhi aturan

(38)

kelompok dan dipaksakan kepada mereka”. Blau dalam Margaret Poloma (1994:89)

juga berpendapat bahwa,

ukuran-ukuran normatif yang mendasari wewenang yang terlembaga tidak lahir dalam proses interaksi sosial antara mereka yang berada di lapisan atas dan bawah dan diantara sesama mereka yang berada dilapisan bawah, tetapi dalam proses sosialisasi dimana setiap orang secara terpisah mengakui kebudayaan bersama.

Dengan kata lain, kita belajar menerima struktur wewenang sebab kita disosialisir

kedalam kebudayaan kita sendiri.

B. Kerangka Berpikir

Sumbangan dalam acara pernikahan memiliki arti penting dalam

kehidupan masyarakat. Pada dasarnya sistem sumbangan ini merupakan suatu

bentuk aktifitas tolong menolong dari masyarakat yang berupa bantuan baik berupa

benda maupun biaya (uang) untuk pihak yang sedang mengadakan suatu hajat.

Sesuai dengan teori fungsionalisme yang menganalogikan masyarakat layaknya

seperti organisme hidup dimana memiliki bagian-bagian yang terikat secara

fungsional untuk mencapai suatu tujuan bersama, sumbangan sebagai suatu sistem

juga dapat dianalogikan layaknya seperti itu. Dalam sumbangan terdiri dari

berbagai unsur seperti pemberi, penerima, benda yang diberikan atau diterima, dan

sebagainya sehingga membentuk suatu sistem yang sangat kuat dengan berbagai

konsekuensi kewajiban yang harus dilaksanakan. Sumbangan yang merupakan

suatu bentuk pemberian menjadi salah satu sistem yang dapat membentuk serta

memperkuat keberadaan masyarakat.

Sebagai suatu sistem yang sangat kuat yang menimbulkan tiga kewajiban

seperti yang dikemukakan Marcel Mauss yaitu kewajiban memberi, kewajiban

menerima dan kewajiban membayar kembali, kewajiban sumbangan dalam acara

pernikahan seperti halnya mata rantai yang saling menyambung dan tidak terputus.

(39)

terinternalisasi oleh setiap warga masayarakat semenjak mereka masih kecil.

Akibatnya masyarakat yang merupakan unsur pelaku sistem tersebut menjadi

terikat dan tidak dapat keluar dari sistem. Hal ini menimbulkan konsekuensi

dimana mereka harus selalu melaksanakan sistem dengan berbagai cara dan upaya.

Bagi mereka yang tidak memiliki modal hal ini tentunya akan menimbulkan suatu

bentuk kekerasan simbolik dimana masyarakat memiliki kekuatan kekuasaan

penuh. Setiap individu sebagai warga masyarakat akan tunduk dan patuh terhadap

kekuasaan bersama dalam masyarakat sebagai kehendak umum. Kekerasan

simbolik yang dialami individu-individu yang tidak memiliki modal tidak dapat

terlihat secara jelas karena sistem sumbangan sudah membudaya dalam kehidupan

masyarakat dan juga menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat. Sebagai

akibatnya sistem ini akan bergeser atau berubah menjadi sistem lain yang berbeda

jenisnya atau terjadi pergeseran makna dan arti penting yang akan terjadi dalam

(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian tentang makna sumbangan dalam acara pernikahan masa kini ini

dilaksanakan di Kabupaten Sragen, yaitu di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang.

Pengambilan lokasi ini didasarkan pada masih terlaksananya sistem sumbangan

dengan lengkap, dimana sumbangan yang diberikan pada pihak yang sedang

mengadakan pesta pernikahan di daerah ini masih berbentuk barang (hasil bumi),

uang, kado (cindera mata) dan yang lainnya. Di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang,

Kabupaten Sragen sistem sumbangan juga masih terlaksana dengan baik. Sistem

sumbangan di daerah ini masih menjadi adat kebiasaan yang berjalan dengan kuat.

disajikan dalam tabel perincian waktu pelaksanaan penelitian sebagai berikut:

(41)

Tabel 1: Perincian waktu pelaksanaan penelitian

B. Bentuk dan Strategi Penelitian

Bentuk penelitian ini adalah penelitian kualitatif diskriptif, dimana dalam

penelitian kualitatif diskriptif akan mampu menangkap berbagai informasi kualitatif

dengan diskripsi yang teliti dan penuh nuansa. Dalam hal ini, peneliti akan

menangkap berbagai fenomena dan informasi yang berkaitan dengan objek penelitian

di lapangan, kemudian direkonstruksi secara tidak bebas nilai. Penelitian ini

menggunakan desain penelitian yang bersifat lentur dan terbuka, disesuaikan dengan

kondisi dan fakta yang ada di lapangan. Maka setiap saat data dapat berubah sesuai

dengan pengetahuan baru yang ditemukan. Berdasarkan lokasi atau tempat dimana

penelitian dilakukan, penelitian ini termasuk penelitian kancah (field research). Y. Slamet (2006:9) menjelaskan, ”penelitian kancah (field research) adalah penelitian yang dilakukan disuatu daerah geografis tertentu dimana peneliti terjun ke

masyarakat secara langsung melihat apa yang terjadi”. Peneliti berinteraksi dengan

informan-informan sampai data-data yang diperlukan betul-betul lengkap dan tepat,

serta peneliti benar-benar puas dalam mengambil informasi. Penelitian ini bersifat

penelitian dasar (basic research). Sedangkan strategi penelitian yang digunakan yaitu studi kasus. Seperti yang dikemukakan Abdul Azis SR. dalam Burhan Bungin

(2003:23) dengan studi kasus akan dapat mengisaratkan beberapa keunggulan sebagai

berikut:

1. Studi kasus dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan antar variabel serta proses-proses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas.

2. Studi kasus memberikan kesempatan untuk memperoleh wawasan mengenai konsep-konsep dasar perilaku manusia.

(42)

Disamping tiga keunggulan di atas, studi kasus dapat memiliki keunggulan spesifik

lainnya, seperti yang dikemukakan Black dan Champion dalam Burhan Bungin

(2003:23), yakni:

1. Bersifat luwes berkenaan dengan metode pengumpulan data yang digunakan.

2. Keluwesan studi kasus menjangkau dimensi yang sesungguhnya dari topik yang diselidiki.

3. Dapat dilaksanakan secara praktis di dalam banyak lingkungan sosial. 4. Studi kasus menawarkan kesempatan menguji teori.

5. Studi kasus bisa sangat murah, tergantung pada jangkauan penyelidikan dan tipe teknik pengumpulan data yang digunakan.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus

tunggal terpancang. HB. Sutopo (2002:112) menjelaskan, ”suatu penelitian disebut

sebagai bentuk studi kasus tunggal bilamana penelitian tersebut terarah pada satu

karakteristik”. Artinya penelitian tersebut hanya dilakukan pada satu sasaran (satu

lokasi atau satu subjek). Jumlah sasaran (lokasi studi) tidak menentukan suatu

penelitian berupa studi kasus tunggal ataupun ganda, meskipun penelitian dilakukan

di beberapa lokasi (beberapa kelompok atau sejumlah pribadi), kalau sasaran studi

tersebut memiliki karakteristik yang sama atau seragam maka penelitian tersebut

tetap merupakan studi kasus tunggal. Begitu juga dengan penelitian tentang Makna

Sumbangan pada Acara Pernikahan Masa Kini ini yang hanya dilakukan pada satu

sasaran, yaitu sistem sumbangan di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Sragen

yang memiliki suatu karakteristik. Penelitian ini juga termasuk penelitian terpancang

karena peneliti telah memilih dan menentukan masalah-masalah yang menjadi fokus

utamannya sebelum memasuki lapangan studinya.

C. Sumber Data

Data yang dikaji dan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif.

Ada dua sumber data penting yang akan dijadikan sasaran dalam pencarian informasi

(43)

a. Informan atau narasumber, yaitu warga masyarakat di lokasi penelitian

serta pihak-pihak yang sedang atau pernah mengadakan acara pernikahan.

b. Sumber data dari peristiwa atau aktivitas, yaitu ketika acara pernikahan

dan sistem sumbangan ini dilaksanakan.

D. Teknik Cuplikan (Sampling)

Teknik cuplikan (sampling) yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik

purposive sampling. H.B. Sutopo (2002:56) menjelaskan bahwa dalam teknik

purposive sampling peneliti memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data

yang mantab. Berkaitan dengan pemilihan informan yang baik, peneliti dalam hal ini

mempertimbangkan analisis Spradley (2007: 68-77) yang telah menganalisis lima

persyaratan minimal untuk memilih informan yang baik, yaitu:

1. Enkulturasi penuh (informan yang mengetahui budayanya dengan baik secara alami).

2. Keterlibatan langsung (keterlibatan secara langsung yang dialami oleh calon informan).

3. Suasana budaya yang tidak dikenal oleh peneliti (informan yang bukan daerah seasal dengan peneliti).

4. Waktu yang cukup (memilih informan yang tidak terlalu sibuk dan mudah diteliti).

5. Non-analitis (informan yang tidak menganalisis kebudayaannya sendiri dari perspektif orang luar, tetapi dari masyarakatnya sendiri).

Dalam penelitian ini, peneliti juga memilih informan kunci. Suwardi

Endraswara (2006:119) menyebutkan bahwa, ”informan kunci adalah seseorang yang

memiliki informasi relatif lengkap terhadap budaya yang diteliti”. Peneliti juga akan

mempertimbangkan tentang penentuan siapa yang akan menjadi informan kunci

seperti yang dikemukakan Suwardi Endraswara (2006:119) sebagai berikut:

1. Orang yang bersangkutan memiliki pengalaman pribadi sesuai dengan permasalahan yang diteliti;

2. Usia orang yang bersangkutan telah dewasa;

3. Orang yang bersangkutan sehat jasmani dan rohani;

(44)

5. Orang yang bersangkutan tokoh masyarakat;

6. Orang yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang luas mengenai permasalahan yang diteliti, dan lain-lain.

Informan dalam penelitian ini yaitu Warto (bukan nama sebenarnya) yang

merupakan mantan kepala Desa Jati yang telah menjabat selama 22 tahun 8 bulan,

Pardi (bukan nama sebenarnya) sekretaris Desa Jati, Yono (bukan nama sebenarnya)

salah satu bayan dukuh di Desa Jati, Brama (bukan nama sebenarnya) salah satu

pemuda warga Desa Jati yang juga merupakan seorang mahasiswa, Endang serta

Ratmi (bukan nama sebenarnya) yang juga warga Desa Jati. Informan-informan ini

dirasa sesuai dengan pertimbangan Spradley dan Endraswara di atas dalam

menentukan dan memilih informan penelitian.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

wawancara dan observasi.

a. Wawancara mendalam (in depth interviewing)

Dalam penelitian ini teknik wawancara yang digunakan adalah

teknik wawancara tidak terstruktur (wawancara mendalam / in-depth interviewing). Wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang bersifat “open-ended” dan mengarah pada kedalaman informasi, serta dilakukan dengan cara yang tidak secara formal terstruktur, guna menggali

pandangan subyek yang diteliti tentang banyak hal yang sangat

bermanfaat untuk menjadi dasar bagi penggalian informasi secara lebih

jauh dan mendalam. Seperti yang dikemukakan Suwardi Endraswara

(2006:151) tujuan wawancara antara lain adalah,

(a) Untuk menggali pemikiran konstruktif seseorang informan, yang menyangkut peristiwa, organisasi, perasaan, perhatian, dan sebagainya yang terkait dengan aktivitas budaya.

(45)

(c) Untuk mengungkapkan proyeksi pemikiran informan tentang kemungkinan budaya miliknya dimasa mendatang.

Sesuai dengan fokus dalam penelitian ini, berbagai tujuan tersebut akan

diarahkan pada makna sumbangan pada acara pernikahan masa kini.

Dalam melakukan wawancara peneliti juga memperhatikan dan

menerapkan beberapa syarat-syarat kode etik penting dalam wawancara

yang dikemukakan Payne dalam Suwardi Endraswara (2006:152) sebagai

berikut:

1. Peneliti sebaiknya menghindari kata-kata yang mempunyai dua makna atau banyak arti;

2. Peneliti sebaiknya menghindari pertanyaan-pertanyaan panjang, yang sebenarnya mengandung banyak pertanyaan khusus. Pertanyaan panjang sebaiknya dipecah-pecah kedalam bagian-bagian dan ditanyakan secara bertahap;

3. Peneliti sebaiknya membuat pertanyaan sekongkret mungkin dengan penunjuk waktu dan lokasi yang kongkret;

4. Sebaiknya seorang peneliti mengajukan pertanyaan dalam rangka pengalaman kongkret dari si responden (baca: informan);

5. Peneliti sebaiknya menyebut semua alternatif yang dapat diberikan oleh responden (baca: informan) atas partanyaanya, atau sebaliknya jangan menyebut yang alternatif sama sekali;

6. Dalam wawancara mengenai pokok-pokok yang dapat membuat informan atau responden malu, canggung, atau kagok, maka peneliti sebaiknya mempergunakan istilah yang dapat menghaluskan konsep atau membuatnya netral (euphemisme);

7. Dalam wawancara mengenai pokok seperti sub 6, gaya pertanyaan sebaiknya dinetralkan dengan kata-kata yang seolah-olah mengalihkan kesalahanya kepada keadaan informan;

8. Dalam wawancara mengenai pokok seperti tersebut dalam bab 6, seseorang peneliti sebaiknya juga mempergunakan gaya bertanya yang tidak menyangkutkan informan atau responden dengan masalahnya;

9. Dalam wawancara mengenai pook-pokok seperti yang tersebut dalam sub 6 dan 7, maka peneliti sebaiknya mengajukan pertanyaan yang terpaksa dijawab secara positif atau kalau diingkari juga diingkari secara tegas;

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini dapat memberi informasi dan masukan yang berguna tentang penanaman karakter tanggung jawab dan kerja keras melalui usaha kewirausahaan pada Industri

Sebagai suatu karya ilmiah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada khususnya maupun bagi masyarakat

Sebagai suatu karya ilmiah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada khususnya, maupun masyarakat pada umunya

Sebagai suatu karya ilmiah maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada khususnya, maupun bagi masyarakat luas

Sebagai suatu akad, jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus di penuhi sehingga jual beli itu dapat dilakukan sah oleh syara’. Oleh karena perjanjian

Sikap adalah perilaku seseorang yang dapat diartikan sebagai penampilan dari tingkah laku seseorang yang cenderung ke arah penilaian dari masyarakat berdasarkan

Dapat diketahui juga bahwa masyarakat Desa Girirejo belum sepenuhnya dapat memenuhi hak dan kewajibannya sebagai suami istri secara penuh sehingga pasangan pelaku nikah usia