• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna Sumbang (Mbolo Weki) pada Acara Pernikahan Masa Kini (Studi Kasus) di Desa Monggo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makna Sumbang (Mbolo Weki) pada Acara Pernikahan Masa Kini (Studi Kasus) di Desa Monggo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Makna Sumbang (Mbolo Weki) pada Acara Pernikahan Masa Kini (Studi Kasus) di

Desa Monggo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima

Tati Haryati1,a,*, A. Gafar Hidayat1,b

1STKIP Taman Siswa Bima

atatiharyati031@gmail.com, bgafarhidayat@gmail.com

*Coresponding Author

Artikel Info Abstrak

Tanggal Publikasi 2019-09-23 Kata Kunci Makna Sumbang Mbolo Weki Pernikahan

Tujuan penelitian ini yaitu; untuk mengetahui makna sumbang (mbolo weki) pada acara pernikahan masa kini yang dilakukan di Desa Monggo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, sumber data terdiri dari sumber data sekunder dan sumber data primer. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam, juga dokumentasi. Uraian yang tertuang di dalamnya berdasarkan fenomena rill di lapangan yang ditemui oleh peneliti. Berdasarkan hasil penelitian, mengenai makna sumbang (mbolo weki) yaitu; (1) Makna sumbang (mbolo weki) yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat desa Monggo saat ini, sudah mengalami perubahan makna yaitu adanya keinginan untuk mendapatkan keuntungan bagi yang menyelenggarakan acara tersebut; (2) Perubahan makna dalam sistem sumbang masyarakat desa Monggo saat ini, tentu menjadi masalah baru dalam kehidupan bermasyarakat, karena adanya rasa ketergantungan masyarakat terhadap hasil yang diperoleh dalam acara sumbang (mbolo weki); (3) Dampak dari mbolo weki saat ini dapat memicu konflik non fisik di tengah-tengah masyarakat desa Monggo, tidak hanya menyangkut ketidak konsisten dalam jumlah nominal sumbangan, tetapi juga adanya kegiatan sumbangan yang dirasa hanya untuk mencari keuntungan semata, dan perbedaan perlakuan terhadap yang menyelenggarakan acara sumbang (mbolo weki); dan (4) Masyarakat desa Monggo menilai mbolo weki, sudah ada sejak mereka lahir, hal itu menjadi kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat, namun mereka juga sering mengeluh jika mendapatkan undangan, tapi mereka tetep hadir pada acara tersebut

1. PENDAHULUAN

Pertolongan/bantuan yang diberikan seseorang dalam kegiatan adat bentuknya bermacam-macam. Bantuan tersebut dapat berupa tenaga, pikiran, benda materi, biaya, dan sebagainya. Seseorang dalam kehidupan masyarakat dapat memberikan salah satu bentuk pertolongan/bantuan saja seperti misalnya tenaga, pikiran, benda materi, biaya, atau bantuan yang lainnya, namun seseorang juga dapat memberikan berbagai bantuan dalam suatu acara. Seseorang mungkin dalam suatu acara dapat memberikan bantuan tenaga dalam pelaksanaanya, disamping itu juga sering memberikan bantuan biaya, pikiran, benda materi, maupun bantuan-bantuan yang lainnya.

Salah satu bentuk tolong menolong adalah sumbangan. Di dalam masyarakat kita sumbangan memiliki dua arti. Pertama, sumbangan dalam arti umum yang mencakup semua pertolongan baik yang berupa tenaga, pikiran, benda materi, biaya, dan sebagainya. Kedua, sumbangan dalam arti yang lebih sempit, yaitu sebagai istilah pertolongan (sokongan) yang berupa bantuan material (benda ataupun biaya) untuk membantu seseorang yang sedang memiliki hajat. Arti sumbangan yang kedua ini dalam bukunya Geertz (1983:88) dituliskan dengan istilah

(2)

”buwuh” . Buwuh merupakan tradisi atau kebiasaan masyarakat Jawa dalam meberikan sumbangan

berupa barang atau jasa kepada anggota masyarakat yang sedang melaksanakan hajatan dengan sistim pengembalian melalui tindakan yang sama.

Berkaitan dengan upacara dalam siklus kehidupan yang dikenal masyarakat Bima, sumbangan biasanya diberikan pada saat adanya kelahiran, sunatan, perkawinan, kematian ataupun aktifitas-aktifitas yang lainnya seperti menjenguk orang yang sedang sakit, membangun rumah, perayaan ulang tahun, dan sebagainya. Sumbangan yang diberikan pada pesta perayaan perkawinan dan sunatan merupakan sumbangan yang sedikit berbeda dibandingkan dengan sumbangan pada kematian, kelahiran, dan aktifitas yang lainnya, karena diberikan kepada seseorang/keluarga yang notabene adalah mereka yang mampu menyelenggarakan pesta dan mengundang para tamu yang akan memberikan sumbangan tersebut.

Menurut Geertz (1983:88) dalam bukunya ”Abangan Santri” sumbangan/buwuh yang dahulu merupakan soal rukun, terutama ketika buwuh itu tidak berupa uang tetapi berupa barang seperti barang makanan dan sebagainya telah merosot menjadi pasal cari uang biasa di mata seorang yang sedang gawe duwe. Kerap kali yang yang masuk lebih banyak dari uang yang keluar, karena itu tuan rumah memperoleh laba, karena itu jugalah sekarang ini orang suka menyelenggarakan pesta sekedar untuk memperoleh keuntungan. Kata orang siallah kita kalau tidak punya anak untuk disunatkan atau dikawinkan dengan suatu pesta, sebab ini berarti hilanglah kesempatan untuk memperoleh keuntungan.

Dewasa ini sumbangan, sering dinilai secara sinis sebagai sumber keuntungan dan banyak orang yang menyelenggarakan hajat hanya untuk mengharapkan keuntungan dari sumbangan para tamu saja. Masyarakat kini memandang jika menghadiri undangan suatu upacara pernikahan/sunatan yang dipikirkan pertama kali adalah harus menyediakan sejumlah uang yang dianggap pantas sebagai sumbangan. Pandangan ini telah menggeser niat utama dalam menghadiri suatu undangan. Masyarakat seakan-akan menjadi kurang ikhlas dengan keluhan-keluhan mereka.

Fenomena menyumbang/sumbangan telah menjadi budaya yang tidak sehat lagi dalam kehidupan masyarakat. Sangat jarang sekali seseorang/keluarga yang menyelenggarakan suatu pesta pernikahan ataupun khitanan tanpa mengharapkan sumbangan dari para tamu undangannya, dan sangat banyak sekali masyarakat yang kini menjadi sering mengeluh karena sumbangan ini.

Di dalam surat undangan suatu acara pesta perkawinan atau khitanan sering kita lihat tulisan yang pada intinya menyatakan seseorang/keluarga yang menyelenggarakan pesta tanpa mengurangi rasa hormat tidak menerima sumbangan yang berupa cinderamata atau karangan bunga. Sangat jarang sekali bahkan hanya ada beberapa orang saja yang berani menuliskan di dalam surat undangannya jika mereka (penyelenggara pesta) tidak menerima sumbangan dalam bentuk apapun. Sistim sumbangan pada khususnya dalam upacara khitanan dan pernikahan, didalamnya terdapat berbagai fenomena sosial. Sumbangan memberikan banyak cerita dan interpretasi dibaliknya, mulai dari sistem aturan timbal balik yang mengikat, pergeseran makna dan tujuan dari sistem sumbangan, konflik yang mungkin terdapat di dalamnya, beratnya biaya sosial, dan sebagainya, meskipun secara tampilan luar teratur dan sudah menjadi kewajiban yang dilakukan masyarakat.

Berdasarkan observasi awal yang dilakukan oleh peneliti di Desa Monggo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima, pelaksanaan tradisi sumbang biasanya lebih dikenal dengan istilah

mbolo weki. Tradisi seperti ini biasanya diberikan kepada seseorang anggota masyarakat baik di dalam

maupun di luar desa yang sedang memiliki hajatan atau acara tertentu, misalnya acara persiapan pernikahan, khitanan dan sebagainya. Pada umumnya masyarakat Bima secara keseluruhan mengenal istilah mbolo weki dan sudah menjadi tradisi sebagai warisan leluhur yang mendarah daging.

(3)

Pelaksanaan mbolo weki yang dilakukan oleh masyarakat dewasa ini, selain mengukuhkan wahana kekerabatan atau kekeluargaan, juga dapat dijadikan momentum bersilaturahmi, mengingat kesibukan masing-masing individu yang jarang sekali bertemu dan diundang dalam satu tempat yang sama untuk menghadiri acara mbolo weki baik diacara pernikahan maupun khitanan. Pemberian sumbangan yang terlihat saat ini mendatangkan keuntungan tersendiri bagi yang memiliki hajatan, yang dimana biaya yang terkumpul dalam acara mbolo weki dapat digunakan untuk kelangsungan hajatan yang direncanakan sebelumnya. Biasanya setiap masyarakat yang datang pada acara mbolo weki dengan memasukan sejumlah uang kemudian nama dan besar angka nominal yang diserahkan dicatat oleh petugas khusus yang sudah di sediakan oleh pemilik acara, supaya orang yang datang memberikan sumbangan tersebut, apabila mengadakan acara yang sama, maka akan disumbang lagi sesuai uang yang diterima dan bahkan memberikan lebih.

Berhubungan dengan hal ini, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang sistem sumbangan pada upacara perkawinan dan upacara khitanan, karena sumbangan merupakan topik yang menarik untuk diteliti. Setidaknya terdapat dua arti penting dalam penelitian ini. Pertama, pengetahuan serta pemahaman akan arti penting sistem sumbangan pada acara pernikahan dalam kehidupan masyarakat. Kedua, penganalisaan berbagai fenomena yang terjadi pada masa kini terkait dengan sistem sumbangan pada acara pernikahan, serta pengetahuan dan pemahaman akan makna sistem sumbangan dalam konteks masa kini.

Tradisi sumbangan yang diistilahkan dengan mbolo weki oleh masyarakat Bima pada umumnya, khususnya masyarakat yang ada di Desa Monggo, sudah menjadi kebiasaan secara turun-temurun dari generasi ke generai, dengan adanya hal semacam ini membuktikan bahwa masyarakat Bima ditengah pengaruh globalisasi dan kemajuan ilmu pengetauan saat ini, masih menjaga nilai kebersamaan untuk membatu seseorang yang memiliki hajatan guna memperlancar pelaksanaan acara yang dimaksud. Melihat kondisi masyarakat Desa Monggo yang selalu menjaga keutuhan tradisi sumbang bagi setiap anggota masyarakat yang memiliki hajatan menarik minat peneliti untuk melakukan penelitian tentang ”Makna Sumbang (Mbolo Weki) Pada Acara Pernikahan Masa Kini (Studi Kasus) Di Desa Monggo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima”. Penelitian ini untuk mengetahui makna dibalik sumbangan yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang yang sedang memiliki hajatan supaya kita bisa mencermati dan memahami bahwa budaya dan nilai tradisi sumbang dalam masyarakat agar selalu terjaga kelestariannya.

Istilah sumbangan berasal dari kata sumbang, dimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) sumbang/menyumbang memiliki arti, ”memberi sesuatu kepada orang yang sedang pesta, dan sebagainya sebagai sokongan”, sedangkan sumbangan sendiri artinya adalah “pemberian sebagai bantuan (pada pesta perkawinan, dan sebagainya)”. Secara umum menyumbang termasuk aktivitas sosial manusia yang disebut gotong royong. Koentjaraningrat (1992:171) menjelaskan menjelaskan konsep gotong royong sebagai rasa saling tolong menolong atau rasa saling bantu-membantu dalam jiwa masyarakat.

Dalam pandangan Koentjaraningrat (1983:59-60) membedakan kegiatan tolong-menolong dalam masyarakat menjadi empat, yaitu (1) tolong menolong dalam produksi pertanian, ( 2) aktivitas tolong menolong antar tetangga yang tinggal berdekatan, untuk pekerjaan-pekerjaan kecil sekitar rumah dan pekarangan, (3) aktivitas tolong menolong antara kaum kerabat (kadang-kadang beberapa tetangga yang paling dekat) untuk menyelenggarakan pesta sunat, perkawinan atau upacara-upacara lain sekitar titik peralihan pada lingkaran hidup individu, ( 4) aktivitas spontan tanpa permintaan dan tanpa pamrih untuk membantu secara spontan pada waktu seseorang penduduk Desa mengalami kematian atau bencana. Dalam hal ini, menyumbang atau memberikan sumbangan merupakan tolong menolong pada aktivitas ketiga yaitu, pada persiapan dan penyelenggaraan pesta atau upacara adat.

(4)

Purnamasari (2005:55) dalam penelitian mandirinya telah menganalisis bahwa sumbangan dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu ( 1) tenaga (rewang), (2) barang seperti kado, dan bukan kado (bahan hidangan, perlengkapan upacara perkawinan, bunga), serta ( 3) uang (buwuh)”. Berkaitan dengan buwuh ini Geertz (1983:87) secara lebih terperinci menjelaskan bahwa, buwuh adalah sejenis sumbangan yang khas dari para tamu kepada tuan rumah atas hidangan dan pelayanan yang telah mereka terima.

Kebiasaan yang umum dalam memberikannya adalah dengan menempelkan pada telapak tangan secara diam-diam ketika bersalaman dengan tuan rumah untuk berpamitan, pada saat mana tuan rumah akan memberikan sebungkus jajan kepada istri tamunya sebagai lambang sumbangannya kepada sang tamu yang berupa hidangan dan hiburan pada malam pertemuan ini. Lagi-lagi sumbangan timbal balik terlibat dalam hal ini.

Ketiga bentuk sumbangan diatas merupakan suatu pemberian. Pemberian dari para tamu undangan untuk seseorang atau keluarga yang sedang merayakan acara pernikahan. Dalam Kamus Inggris-Indonesia (1986:269), kado, hadiah, dan pemberian memiliki istilah dalam bahasa inggris yang sama, yaitu ”gift”

Berdasarkan beberapa uraian tentang pengertian sumbangan di atas, maka dapat dipahami bahwa sumbangan merupakan bentuk kepedulian dan kesadaran sosial sesorang individu terhadap individu lainnya dalam suatu kelompok masyarakat yang diberikan berupa uang, barang, atau jasa kepada seseorang yang sedang memiliki hajatan. Sumbangan atau bantun yang diberikan oleh anggota masyarakat kepada salah seorang yang memiliki hajatan itu digunakan serta merta untuk kelangsungan acara yang di maksud. Dengan adanya sumbangan yang diberikan kepada angota masyarakat yang memiliki hajatan merupakan kebiasaan yang sudah mendarah daging sebagai warisan leluhur, selain itu juga sebagai bentuk kepedulian sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan penelitian ini yaitu; untuk mengetahui makna sumbang (mbolo weki) pada acara pernikahan masa kini yang dilakukan di Desa Monggo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima

2. METODE PENELITIAN

Mengacu pada judul penelitian yaitu ”Makna Sumbang (Mbolo Weki) Pada Acara Pernikahan Masa Kini (Studi Kasus) Di Desa Monggo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima” maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Menurut Sugiyono (2006:15) bahwa metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berdasarkan pada filsafat post Positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dan peneliti sebagai instumen kunci (key

instrument).

Teknik Pengumpulan Data

Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Dalam hal ini yang akan peneliti observasi adalah keadaan georafis Desa Monggo, keadaan penduduk dan penyelenggara acara persiapan pernikahan yang dilakukan sebagai informasi awal dalam penelitian ini guna memperoleh data yang akurat sesuai dengan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Tujuan dilaksanakan observasi yaitu untuk mengetahui dan melihat dari dekat terhadap pelaksanaan acara sumbang mbolo weki, supaya dapat mengetahui gambaran awal tentang Data penelitian ini.

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Tokoh masyarakat seperti Kepala Desa, ketua RT, ketua RW, tokoh agama, dan tokoh pemuda di Desa Monggo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima. Penyelenggara acara sumbang mbolo weki pada saat penelitian maupun 1 bulan yang lalu, yang ada di Desa Monggo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima.

(5)

Dokumentasi adalah mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum, dan lain-lain. Hal ini, digunakan untuk memperoleh data dokumen atau gambar-gambar foto hasil penelitian yang tampak di lapangan dengan pemilik acar hajatan dan masyarakat.

Teknik Analisis Data

Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara tertentu sehingga simpulan akhir dapat ditarik (Milles dan Michael Hubberman, 1992:188). Pada tahap reduksi data ini, data yang telah diklasifikasikan kemudian diseleksi untuk memilih data yang berlimpah kemudian dipilah dalam rangka menemukan fokus penelitian.

Penyajian adalah menampilkan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Data-data yang telah tersusun kemudian disajikan dalam bentuk analisis sehingga akan tergambar permasalahan yang menjadi objek kajian.

Teknik penarikan simpulan adalah langkah yang esensial dalam proses penelitian. Penarikan simpulan ini didasarkan atas pengorganisasian informasi yang diperoleh dalam analisis data. Penarikan simpulan dalam penelitian ini menggunakan teknik induktif, yaitu teknik penarikan simpulan dari data-data yang bersifat khusus menuju simpulan yang bersifat umum (Milles dan Michael Hubberman, 1992:181-182).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Makna sumbang (mbolo weki) yang berkembang di desa Monggo saat ini, terlihat seperti halnya dibeberapa daerah lain yang ada di kabupaten Bima, pada umumnya masih serumpun sistem pelaksanaanya hanya saja ada hal-hal tertentu yang berkaitan dengan tradisi, kebiasaan atau adat setempat yang mempengaruhinya, sehingga terlihat begitu menarik dan perlu diperbincangkan secara khusus. Pelaksanaan sistem sumbang (mbolo weki) dewasa ini, merupakan sebuah kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi untuk menciptakan hegemoni kekeluargaan sebagai bagian dari anggota masyarakat, yang memiliki rasa senasip dan sepenanggungan serta hidup bersama dalam anggota kelompok masyarakat tertentu.

Kebiasaan memberikan sumbangan pada seseorang anggota masyarakat yang memiliki hajatan

mbolo weki di desa Monggo, tentu bukan hal baru lagi karena hal itu sudah dilakukan sejak dulu

oleh para leluhur dalam mengukuhkan wahana kekeluargaan, apalagi budaya saling tolong menolong sudah berkembang dengan dengan sangat baik seiring dengan kemajuan zaman, akan tetapi seiring berjalannya waktu dan kemajuan ilmu pengetahuan saat ini, sistem sumbang yang berkembang dalam masyarakat desa Monggo saat ini sudah mengalami pengalihan makna, karena seseorang yang memberikan sumbang pada yang memiliki hajatan acara mbolo weki, juga mengharapkan hal yang sama ketika mereka memiliki hajatan nantinya, jadi sudah tidak ada lagi nilai keikhlasan sebagai wujud kebersaan untuk meringankan beban sesama.

Perubahan makna dalam sistem sumbang masyarakat desa Monggo saat ini, tentu menjadi masalah baru dalam kehidupan bermasyarakat, karena adanya rasa ketergantungan masyarakat terhadap hasil yang diperoleh dalam acara sumbang (mbolo weki). Saat ini setiap orang yang selalu terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan, tentu acara sumbang dijadikan indikator sebagai peraut keuntungan, hal ini tentu sudah tidak wajar lagi, seiring dengan kemajuan zaman budaya gotong royong dan nilai-nilai kebersamaan mulai memudar, bahkan ada beberapa pihak yang sengaja melaksanakan acara sumbang tersebut dibawa pada ranah ekonomi yaitu perhitungan untung dan rugi.

(6)

Dampak dari pelaksanaan sistem sumbang (mbolo weki) dalam masyarakat desa Monggo membawa dampak yang begitu besar bagi kehidupan masyarakat desa tersebut. dimana pelaksanaan

mbolo weki sudah menjadi tradisi secara turun temurun dari generasi sebelumnya dan dikembang

oleh generasi yang ada saat ini, bahkan ke depannya akan tetep berkelanjutan sebagai wujud hidup secara berkelompok yang memiliki ketergantunagan antara yang satu dengan yang lainnya dan rasa ketergantungan tersebut bisa dikatakan sebagai simbiosis mulualisme.

Dampak dari mbolo weki saat ini dapat memicu konflik non fisik di tengah-tengah masyarakat desa Monggo, tidak hanya menyangkut ketidak konsisten dalam jumlah nominal sumbangan, tetapi juga adanya kegiatan sumbangan yang dirasa hanya untuk mencari keuntungan semata. Dalam hati kecil sesorang yang punya hajat, pasti ada niat bisnis (ingin untung), dengan perhitungan khusus, pengeluaran berapa, pemasukan, yang diundang, meskipun perhitungan ini sering meleset, namun tidak semuanya seperti itu. Kuatnya sistem hubungan timbal balik dalam kebiasaan sumbangan menimbulkan komitmen bagi warga masyarakat untuk tetap melaksanakan dengan berbagai cara. Tidak adanya anggaran khusus untuk kegiatan sumbang menyumbang semacam ini padahal jika sedang musim hajatan pernikahan warga masyarakat juga melaksanakan kegiatan sumbangan menyumbang ini dengan intensitas yang cukup sering.

Tanggapan masyarakat terhadap acara sumbang (mbolo weki) yang berkembang dalam tatanan kehidupan masyarkat desa Monggo saat ini, tradisi menyumbang dalam acara persiapan pernikahan yang diberikan kepada anggota masyarakat yang memiliki hajatan menuai pro kontra, karena hal tersebut dapat menimbulkan berbagai kesenjangan dalam kehidupan masyarakat. Pada awalnya warga masyarakat desa Monggo menganggap hal ini sebagai sesuatu yang wajar dan memang harus dilaksanakan seperti yang telah berjalan sebelumnya. Meskipun ada warga masyarakat yang merasa keberatan, namun di sisi lain ada masyarakat yang tidak merasa keberatan dengan sistem sumbangan ini. Bagi mereka yang kurang memiliki modal atau saat tidak memiliki modal tentunya akan merasa berat. Sewalaupan ada warga yang tidak merasa keberatan akan tetapi para warga mengakui mereka sering mengeluh saat mendapatkan undangan yang menumpuk. Perasaan berat dan sering mengeluh saat mendapatkan undangan adalah efek dari kekerasan simbolis bagi mereka yang tidak memiliki modal. Hal ini terutama dirasakan oleh ibu-ibu rumah tangga yang pasti mengeluh karena mereka yang memegang uang dan mengatur kebutuhan.

Tanggapan masyarakat tentang acara sumbang (mbolo weki) dalam acara persiapan pernikahan memiliki keunikan tersendiri sewalaupun masyarakat mengeluh karena terlalu sering mengeluarkan biaya untuk ikut berkontibusi bagi anggota masyarakat yang melangsungkan persiapan acara pernikahan, namun hal itu tetap berjalan dan sudah mendarah daging dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Mereka menganggap sistem sumbangan memang sudah ada sejak mereka lahir, hal ini merupakan suatu kebiasaan yang ada dalam kehidupan masyarakat, namun mereka juga sering mengeluh jika mendapatkan undangan acara hajatan dimana mereka harus menyumbang saat menghadirinya. Dengan keluhan-keluhan tersebut seakan-akan mereka kurang ikhlas dengan sumbangan yang telah diberikan, pada dasarnya sumbangan merupakan suatu pemberian sebagai bantuan yang seharusnya diberikan dengan ikhlas.

Sumbangan dalam acara pernikahan memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat. Pada dasarnya sistem sumbangan ini merupakan suatu bentuk aktifitas tolong menolong dari masyarakat yang berupa bantuan baik berupa benda maupun biaya (uang) untuk pihak yang sedang mengadakan suatu hajat. Sesuai dengan teori fungsionalisme yang menganalogikan masyarakat layaknya seperti organisme hidup dimana memiliki bagian-bagian yang terikat secar fungsional untuk mencapai suatu tujuan bersama, sumbangan sebagai suatu sistem juga dapat dianalogikan layaknya seperti itu. Dalam sumbangan terdiri dari berbagai unsur seperti pemberi, penerima, benda yang diberikan atau diterima, dan sebagainya sehingga membentuk suatu sistem yang sangat kuat dengan berbagai

(7)

konsekuensi kewajiban yang harus dilaksanakan. Sumbangan yang merupakan suatu bentuk pemberian menjadi salah satu sistem yang dapat membentuk serta memperkuat keberadaan masyarakat.

Sebagai suatu sistem yang sangat kuat yang menimbulkan tiga kewajiban yaitu kewajiban memberi, kewajiban menerima dan kewajiban membayar kembali, kewajiban sumbangan dalam acara pernikahan seperti halnya mata rantai yang saling menyambung dan tidak terputus. Sistem sumbangan menjadi suatu adat kebiasaan serta kewajiban yang terinternalisasi oleh setiap warga masayarakat semenjak mereka masih kecil. Akibatnya masyarakat yang merupakan unsur pelaku sistem tersebut menjadi terikat dan tidak dapat keluar dari sistem. Hal ini menimbulkan konsekuensi dimana mereka harus selalu melaksanakan sistem dengan berbagai cara dan upaya. Bagi mereka yang tidak memiliki modal hal ini tentunya akan menimbulkan suatu bentuk kekerasan simbolik dimana masyarakat memiliki kekuatan kekuasaan penuh. Setiap individu sebagai warga masyarakat akan tunduk dan patuh terhadap kekuasaan bersama dalam masyarakat sebagai kehendak umum. Kekerasan simbolik yang dialami individu-individu yang tidak memiliki modal tidak dapat terlihat secara jelas karena sistem sumbangan sudah membudaya dalam kehidupan masyarakat dan juga menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat. Sebagai akibatnya sistem ini akan bergeser atau berubah menjadi sistem lain yang berbeda jenisnya atau terjadi pergeseran makna dan arti penting yang akan terjadi dalam sistem sumbangan.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Makna sumbang (mbolo weki) yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat desa Monggo saat ini, sudah mengalami perubahan makna yaitu adanya keinginan untuk mendapatkan keuntungan bagi yang menyelenggarakan acara tersebut; 2) Perubahan makna dalam sistem sumbang masyarakat desa Monggo saat ini, tentu menjadi masalah baru dalam kehidupan bermasyarakat, karena adanya rasa ketergantungan masyarakat terhadap hasil yang diperoleh dalam acara sumbang (mbolo weki); 3) Tanggapan masyarakat tentang acara sumbang (mbolo weki) dalam acara persiapan pernikahan memiliki keunikan tersendiri sewalaupun masyarakat mengeluh karena terlalu sering mengeluarkan biaya, hal itu tetap berjalan dan sudah mendarah daging serta tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat desa Monggo; 4) Masyarakat desa Monggo menilai mbolo weki, sudah ada sejak mereka lahir, hal itu menjadi kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat, namun mereka juga sering mengeluh jika mendapatkan undangan, tapi mereka tetep hadir pada acara tersebut.

Daftar Pustaka

Arikunto. 2002. Metode Penelitia Kualitatif. Jakarta: Erlangga.

Ayyub. 2004. Hukum Pernikahan Dalam Agama. Yokyakarta: Erlangga Media Efendi. 2004. Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar garfika.

Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jawa.

Haryatmoko. 2003. Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa; Landasan Teoritis Gerakan Sosial

Menurut Pierre Bourdieu dalam BASIS No. 11-12 Tahun Ke-52. Yogyakarta: Kanisius.

Himbasu Madoko. 2009. Skripsi; Perspektif Masyarakat Terhadap Pemberian Sumbangan Pada Acara

Pernikahan Keluarga Kurang Mampu (Studi Kasus di Desa Jati, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen). Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

(8)

Jenkins, Richard. 2004. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

Koentjaraningrat.1983. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. Komter, Aafke. E. 2005. Social Solidarity and the Gift. New York: Cambridge University Press. Martiman. 2002. Keluarga Idaman Harapan Masa. Jakarta: Rineka Cipta.

Mauss, Marcel. 1992. Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Miles, Matthew B dan Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.

Moleong, Lexy. 2002. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Purnamasari, Novita. 2000. Upacara Tradisi Perkawinan Jawa dan Perubahan Bentuk Sumbangan di

Yogyakarta (Studi Kasus pada Upacara Perkawinan Keluarga Alm. Moelyono dan Keluarga Bambang Sutrisno). Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM Yogyakarta.

Rachman. 1999. Prosedur Penyelenggaraan Penelitian Kualitatif (Handout Mata Kuliah Metode Penelitian

Kualitatif. Surabaya: UNTAG

Rachman. 2006. Tinjauan Tentang Pernikahan Berdasarkan Pada Hukum Islam. Surabaya: Swadaya Citra. Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai

Paradigma. Jakarta: Kencana.

Scott, James C. 1981. Moral Ekonomi Petani. Jakarta: LP3ES.

Soekanto, Soerjono, Ratih Lestarini. 2004. Fungsionalism dan Teori Konflik dalam Perkembangan

Sosiologi. Jakarta: Sinar Grafika.

Soekanto, Soerjono. 1986. Talcott Parson, Fungsionalisme Imperatif. Jakarta: CV. Rajawali.

Soekanto, Soerjono. 2004. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Subekti. 1987. Peraturan Tentang Perkawinan Campuran. Dikes (sebuah studi kasus tentang perkawinan campuran): Jakarta.

Sugiyono. 2006. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Jakarta: Erlangga.

Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Wantjik. 1976. Pluralisme Dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Erlangga Cipta.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian hasil analisis mengenai kualitas pelayanan publik di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surabaya khususnya pada pembuatan KTP-el yang sudah

Pemberian parit pada areal tidak meningkatkan berat biji per hektar dibandingkan tanpa parit namun pemberian bahan organik di dalam parit meningkatkan berat biji per

Dengan tujuan menghasilkan potensi gas Landfill yang dihasilkan dari penguraian limbah organik Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang Kabupaten Bekasi sebagai

KÓROKI MUTÁCIÓK AZONOSÍTÁSA ÉS FENOTÍPUS-GENOTÍPUS ÖSSZEFÜGGÉSEK VIZSGÁLATA HYPERTROPHIÁS CARDIOMYOPATHIÁBAN A 45 vizsgált HCM-es betegben 6 (13%) különböző kóroki

Nyeri akut berhubungan dengan trauma atau distensi jaringan, definisi : pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui parasitisasi dan kapasitas reproduksi Cotesia flavipes (Hymenoptera: Braconidae) pada n beberapa n jumlah dan ukuran larva

Berdasarkan hasil penelitian gambaran gigi karies serta kebiasaan makan makanan kariogenik pada siswa kelas IV dan V SDN 5 Abiansemal tahun 2018 dapat disimpulkan bahwa

Apakah pelanggan perusahaan memiliki informasi yang lengkap atas perusahaan ?.. Pembeli produk atau jasa Ad-N Health pada umumnya tidak memiliki informasi yang lengkap tentang