i
EKSTRAK DAUN PAHITAN (
Tithonia diversifolia
Grey) DAN BORAKS
UNTUK PENGENDALIAN AKAR GADA PADA KUBIS
SKRIPSI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian
di Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret
Program Studi Agronomi
Oleh
TRIANA RAHMANTI N
H0106028
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
ii
EKSTRAK DAUN PAHITAN (
Tithonia diversifolia
Grey) DAN BORAKS
UNTUK PENGENDALIAN AKAR GADA PADA KUBIS
yang dipersiapkan dan disusun oleh
Triana Rahmanti N
H0106028
telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
pada tanggal : 29 Juli 2010
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Tim Penguji
Ketua
Anggota I
Anggota II
Prof. Dr. Ir. Sholahuddin, MS Dr. Ir. Hadiwiyono, MSi
Dr. Ir. MTh. Sri Budiastuti, MSi
NIP. 195610081980031003 NIP. 196201161990021001 NIP.195912051985032001
Surakarta,
Mengetahui
Universitas Sebelas Maret
Fakultas Pertanian
Dekan
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat, karunia, dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Ekstrak Daun Pahitan (Tithonia Diversifolia Grey) dan Boraks
untuk Pengendalian Akar Gada pada Kubis”. Skripsi ini disusun sebagai salah
satu syarat guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian UNS.
2.
Ir. Wartoyo SP. selaku Ketua Jurusan Program Studi Agronomi.
3.
Ir. Toeranto S selaku Pembimbing Akademik atas waktu dan bimbingan yang
diberikan.
4.
Prof. Dr. Ir. Sholahuddin, MS selaku Pembimbing Utama atas dorongan,
semangat, waktu, ilmu, dan bimbingan yang diberikan.
5.
Dr. Ir. Hadiwiyono, MSi selaku Pembimbing Pendamping atas dorongan,
semangat, waktu, ilmu, dan bimbingan yang diberikan.
6.
Dr. Ir. MTh. Sri Budiastuti, MSi selaku Dosen Penguji, atas kritik, saran dan
bimbingan.
7.
Bapak dan Ibu tercinta yang selalu memberi dukungan moral dan materil
selama ini. Terima kasih atas kasih sayang yang tulus dari bapak dan ibu yang
mungkin tak akan bisa terbalaskan.
8.
Junjung, Endang, Leny, dan Yoga sebagai rekan proyek yang telah bekerja
sama dengan baik, semangat, dan kebersamaan selama ini.
9.
Rekan-rekan IMAGO 06 atas partisipasi, dukungan, dan bantuan.
iv
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Segala kritik dan
saran sangat penulis harapkan demi perbaikan skripsi ini.
Surakarta, Juli 2010
vi
C.
Berat Krop ...
20
D.
Diameter Krop ...
22
E.
Kepadatan Krop ...
24
F.
Populasi Mikrob pada Rizhosfer Kubis ...
25
G.
Pembahasan Umum ...
27
V.
KESIMPULAN DAN SARAN...
28
A.
Kesimpulan ...
28
B.
Saran ...
28
vii
DAFTAR TABEL
Tabel
halaman
1. Keparahan penyakit dan efektivitas boraks, flusulfamide dan
kombinasi dengan ekstrak daun pahitan dalam mengendalikan
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar
halaman
1.
Diagram batang nilai AUDPC dari pengamatan minggu pertama
sampai dengan minggu ke-5 ...
15
2.
Diagram batang bobot akar sehat pada kubis setelah sepuluh
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
halaman
1.
...
Tabel
data hasil pengamatan nilai AUDPC, keparahan penyakit,
dan berat akar lateral sehat ...
32
2.
...
Tabel
data hasil pengamatan berat, diameter, kepadatan dan hasil
krop ...
33
3.
...
Tabel
data hasil pengamatan populasi mikrob (spk/g tanah) ...
35
4.
...
Tabel
hasil uji T data AUDPC, keparahan penyakit, dan berat akar
lateral sehat ...
36
5.
...
Tabel
hasil uji T data berat, hasil, diameter, dan kepadatan krop ...
37
6.
...
Tabel
hasil uji T data populasi mikrob ...
38
7.
...
Gejala
akar gada di atas dan di bawah tanah ...
39
8.
...
Gambar
x
RINGKASAN
EKSTRAK DAUN PAHITAN (
Tithonia diversifolia
Grey) DAN BORAKS
UNTUK PENGENDALIAN AKAR GADA PADA KUBIS
Triana Rahmanti N
H0106028
Salah satu penyakit utama kubis adalah akar gada yang disebabkan oleh
Plasmodiophora brassicae Wor. Upaya pengendalian akar gada pada lahan
terkontaminasi berat telah dilakukan, namun belum efektif memecahkan
permasalahan. Boraks merupakan bahan kimia yang fungisidal dan banyak
digunakan untuk mengendalikan akar gada di luar negeri, namun belum
digunakan untuk pengendalian di Indonesia. Penggunaan fungisida nabati ekstrak
daun pahitan (Tithonia diversifolia Grey) diperlukan dalam upaya pembatasan
penggunaan fungisida kimia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi
efektifitas ekstrak daun pahitan (T. diversifolia) dan boraks untuk mengendalikan
akar gada kubis pada lahan endemi.
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2009 sampai Maret 2010 di
Desa Pancot Kecamatan Tawangmangu dan di Laboratorium Hama dan Penyakit
Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Survei
dilaksanakan pada enam plot perlakuan. Perlakuan terdiri dari kontrol, boraks 30
kg/ha dan pahitan, boraks 0,3 g/200 ml dan pahitan, boraks 0,3 g/200 ml,
flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan, dan flusulfamide 0,012 g (4 g
formulasi). Variabel pengamatan meliputi insidens penyakit, keparahan penyakit,
nilai efektivitas penurunan akar gada, berat akar lateral sehat, berat krop, hasil
krop/ha, peningkatan hasil krop, diameter krop, kepadatan krop, dan populasi
mikrob pada rizhosfer kubis. Data hasil pengamatan yang diperoleh dianalisis
secara deskriptif dengan uji T.
xi
dapat meningkatkan hasil krop masing-masing 6,4 % dan 17,5 % dari perlakuan
boraks dan flusulfamide.
SUMMARY
“PAHITAN” LEAF EXTRACT (Tithonia diversifolia Grey) AND BORAX
FOR CONTROL CLUB ROOT OF CABBAGE
Triana Rahmanti N
H0106028
One of the major diseases of cabbage is club root caused by
Plasmodiophora brassicae Wor. Club root control efforts on heavy contaminated
lands has been carried out, but they have not effectively solved the problems yet.
Borax is fungisidal chemicals and widely used to control the club root abroad, but
has not been used for control in Indonesia.
The use of fungicidal pahitan leaf
extract (Tithonia diversifolia Grey) is required in order restrictions on the use of
chemical fungicides. This research aimed to evaluate the effectiveness leaf extract
of pahitan (T. diversifolia) and borax to control club root of cabbage in the
endemic land.
The experiment was conducted from August 2009 to March 2010 in Pancot
Tawangmangu and in the Laboratory of Plant Pests and Diseases Faculty of
Agriculture, Sebelas Maret University Surakarta. The survey was conducted at six
plots treatment. The treatment consisted of control, borax 30 kg / ha and pahitan,
borax 0.3 g/200 ml and pahitan, borax 0.3 g / 200 ml, flusulfamide 0.012 g (4 g of
formulation) and pahitan, and flusulfamide 0.012 g (4 g of formulation). Observed
variables include disease incidence, disease severity, the effectiveness decrease of
club root, healthy weight of lateral roots, heavy of crop, the yield of crop/ha,
increase the yield of crop, diameter of crop, crop solidity, and microbial
populations on cabbage rizhosfer. The data are analyzed descriptively by using
the T test.
xii
ABSTRAKSalah satu penyakit utama kubis adalah akar gada yang disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae Wor. Upaya pengendalian akar gada pada lahan terkontaminasi berat telah dilakukan, namun belum efektif memecahkan permasalahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas ekstrak daun pahitan (Tithonia diversifolia Grey) dan boraks untuk mengendalikan akar gada kubis pada lahan endemi. Penelitian dengan metode survei dilaksanakan pada enam plot perlakuan meliputi kontrol, boraks 30 kg/ha dan pahitan, boraks 0,3 g/200 ml dan pahitan, boraks 0,3 g/200 ml, flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan, dan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi). Variabel pengamatan meliputi insidens penyakit, keparahan penyakit, nilai efektivitas penurunan akar gada, berat akar lateral sehat, berat krop, hasil krop/ha, peningkatan hasil krop, diameter krop, kepadatan krop, dan populasi mikrob pada rizhosfer kubis. Data hasil pengamatan yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan uji T.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa boraks, flusulfamide, dan kombinasinya dengan pahitan efektif menurunkan tingkat keparahan penyakit sebesar 30-46 % dan meningkatkan hasil krop 71-148 %. Penambahan pahitan dapat meningkatkan hasil krop masing-masing 6,4 % dan 17,5 % dari perlakuan boraks dan flusulfamide.
Kata kunci : kubis, akar gada, Tihonia diversifolia Grey , boraks
1)
Peneliti adalah mahasiswa Jurusan/Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta
2)
Pembimbing Utama
3)
Pembimbing Pendamping
EKSTRAK DAUN PAHITAN (Tithonia diversifolia Grey) DAN BORAKS UNTUK PENGENDALIAN AKAR
GADA PADA KUBIS
Triana Rahmanti N1)
xiii
ABSTRACTOne of the major diseases of cabbage is club root caused by Plasmodiophora brassicae Wor. Club root control efforts on heavy contaminated lands has been carried out, but they have not effectively solved the problems yet. This research aimed to evaluate the effectiveness leaf extract of pahitan (Tithoniadiversifolia
Grey) and borax to control club root of cabagge in the endemic land. The survey was conducted with six plots of treatment. The treatment consisted of control, borax 30 kg / ha and pahitan, borax 0.3 g/200 ml and pahitan, borax 0.3 g / 200 ml, flusulfamide 0.012 g (4 g formulation) and pahitan, and flusulfamide 0.012 g (4 g of formulation). Observed variables include disease incidence, disease severity, the effectiveness decrease of club root, healthy weight of lateral roots, heavy of crop, the yield of crop/ha, increase the yield of crop, diameter of crop, crop solidity, and microbial populations on cabbage rizhosfer. The data are analyzed descriptively by using the T test.
The results showed that borax, flusulfamide, and combinations with pahitan effectively reduced the disease severity about 30-46 % and increase the yield of crop about 71-148 %. Pahitan can increase the yield of crop 6.4 % and 17.5 % on borax and flusulfamide treatment respectively.
Key word : cabbage, club root, Tihonia diversifolia Grey , borax
4)
Peneliti adalah mahasiswa Jurusan/Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta
5)
Pembimbing Utama 6)
Pembimbing Pendamping
“PAHITAN” LEAF EXTRACT (Tithonia diversifolia Grey)
AND BORAX FOR CONTROL CLUB ROOT OF CABBAGE
Triana Rahmanti N1)
xiv
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan kebutukan bahan makanan menjadi semakin meningkat. Salah satu
kebutuhan pangan tersebut yaitu sayuran yang mengandung vitamin dan mineral yang penting bagi tubuh manusia. Kubis
merupakan salah satu jenis sayuran utama di dataran tinggi dan merupakan sayuran penting di Indonesia. Kubis
merupakan salah satu jenis sayuran daun yang berasal dari daerah subtropis yang telah lama dikenal dan dibudidayakan
di Indonesia. Produksi kubis tersebut selain untuk memenuhi keperluan dalam negeri, juga merupakan komoditas ekspor.
Kubis termasuk kelompok enam besar sayur segar yang diekspor yaitu bersama-sama dengan kentang, tomat, lombok,
dan bawang merah (Rukmana, 1994).
Pengembangan budidaya kubis telah meluas di wilayah nusantara, tetapi rata-rata hasil nasional masih rendah.
Faktor yang sampai sekarang belum dapat diatasi adalah serangan penyebab penyakit pada kubis. Salah satu penyakit
utama kubis adalah akar gada yang disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae Wor. Gejala penyakit ini berupa
pembengkakan pada jaringan akar, yang dapat mengganggu fungsi akar seperti translokasi zat hara dan air dari dalam
tanah ke daun. Keadaan ini menyebabkan tanaman menjadi layu, kerdil, kering, dan akhirnya mati. Penyakit ini pertama
kali dilaporkan di Amerika Serikat pada 1852. Pada akhir abad ke-19, akar gada menyebabkan kehancuran besar proporsi
tanaman kubis di St Petersburg, Rusia (Michelle, 2009). Di Tawangmangu, serangan patogen akar gada dapat
menimbulkan kerusakan hingga 100 % atau gagal panen (Hadiwiyono & Supriyadi, 1997). Penyakit ini juga merupakan
penyakit penting di daerah sentra kubis-kubisan lain seperti di Jawa dan Sumatra.
P. brassicae termasuk cendawan tanah yang bersifat endoparasit obligat, dan jika tidak ada tanaman inang, di
lapangan dapat bertahan lama hingga 10 tahun dalam tanah dengan membentuk spora rehat. Cicu (2006)
mengemukakan bahwa jika tanah telah terinfestasi oleh P. brassicae, maka patogen tersebut akan selalu menjadi faktor
pembatas dalam budidaya tanaman famili Brassicaceae karena patogen ini mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap
perubahan lingkungan dalam tanah.
Upaya pengendalian akar gada pada lahan terkontaminasi berat telah dilakukan, namun belum efektif
memecahkan permasalahan. Sampai sekarang para petani masih tetap mengandalkan pestisida kimia, tetapi fungisida
kimia untuk akar gada kurang tersedia. Boraks merupakan bahan kimia yang fungisidal dan banyak digunakan untuk
mengendalikan akar gada di luar negeri, namun belum digunakan untuk pengendalian di Indonesia. Boraks
(Na2B4O7.10H2O) merupakan kristal lunak yang mengandung unsur boron, berwarna dan mudah larut dalam air (Oliveoile,
2008). Aplikasi boron pada tanah dapat digunakan untuk pengelolaan akar gada. Penelitian menunjukkan bahwa aplikasi
tersebut dapat mengurangi serangan akar gada secara signifikan dengan penambahan boraks 20 kg/ha (Porth et al.,
2009).
Penggunaan fungisida kimia dapat menimbulkan masalah baru yaitu pencemaran lingkungan, resistensi, dan
berkurangnya mikroorganisme yang menguntungkan. Oleh karena itu, pembatasan penggunaan fungisida kimia perlu
dilakukan, misalnya mengganti dengan fungisida nabati seperti ekstrak daun pahitan (Tithonia diversifolia Grey) (Owolade
et al., 2004).
B. Perumusan Masalah
Akar gada merupakan salah satu kendala utama pada budidaya kubis. Apabila suatu lahan telah terkontaminasi
oleh patogen ini, maka untuk waktu kurang lebih 10 tahun penyakit ini akan bertahan di lokasi tersebut dalam bentuk
spora, walaupun tidak ditanami kubis-kubisan selama kurun waktu tersebut (Djatnika, 1993). Pengendalian secara kimia
masih menjadi teknik yang menarik bagi petani karena efektivitasnya yang lebih tampak. Boraks merupakan bahan kimia
xv
klasik yang bersifat fungisidal dan banyak digunakan untuk mengendalikan akar gada di luar negeri, namun bahan ini
dapat menimbulkan dampak negatif pada lingkungan, sehingga penggunaannya perlu dibatasi.
Pestisida nabati menarik untuk digunakan karena dampak negatif yang relatif kecil, tetapi pestisida ini tidak
seefektif pestisida sintetik. Secara umum pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal
dari tumbuhan, yang relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas. Oleh karena terbuat dari
bahan alami, pestisida nabati tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena
residu mudah hilang (Novizan, 2002). Salah satu pestisida nabati tersebut yaitu ekstrak daun pahitan. Ekstrak daun
pahitan telah dilaporkan dapat menekan intensitas akar gada pada tingkat rumah kaca dan juga nematisidal terhadap
Meloidogyne spp. Permasalahan yang dirumuskan adalah sejauh mana efektivitas ekstrak daun pahitan dan boraks dalam
mengendalikan akar gada kubis di lahan endemi?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas ekstrak daun pahitan (T. diversifolia) dan boraks untuk
mengendalikan akar gada kubis pada lahan endemi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kubis
Kubis merupakan tanaman asli daerah pesisir sungai sekitar mediteran, kemudian tersebar luas ke daerah tropis seperti India, Nepal, Filipina, dan Indonesia. Klasifikasi kubis dalam Arief (1990) adalah sebagai berikut
Divisio : Spermatophyta
xvi
menyirip, pinggir daun rata dan ada yang bergelombang. Warna daun hijau kelam (Sunarjono, 2004).
Bunga kubis tersusun majemuk. Setiap kuntum memiliki empat mahkota bunga berwarna kuning. Benang sari berjumlah enam, tersusun dalam dua lingkaran. Putik tunggal agak rendah sehingga penyerbukan sendiri sangat dimungkinkan. Buah bertipe siliqua atau disebut polong, karena mirip dengan tipe polong atau legum dari Fabaceae (suku polong-polongan) berbentuk langsing memanjang dengan dua ruang. Satu polong memiliki sejumlah biji sekitar belasan hingga 20-an. Biji berukuran kecil (diameter 1 mm) berbentuk bulatan dan terbungkus oleh cangkang berwarna hitam dengan permukaan yang tidak rata. Biji ini tahan disimpan bertahun-tahun (Wikipedia, 2010).
Kubis baik ditanam di dataran tinggi dengan ketinggian 1.000 – 3.000 m dpl. Akan tetapi, ada varietas kubis yang dapat ditanam di dataran rendah seperti K-Y cross dan K-K cross. Kubis dapat tumbuh pada tanah dengan pH 6-7. Kubis tumbuh dengan baik pada tanah gembur jenis tanah liat berpasir, mengandung bahan organik, serta suhu udara rendah dan lembab. Kubis yang ditanam di dataran rendah dan bersuhu tinggi, akan sulit membentuk krop dan berbunga (Sunarjono, 2004).
B. Akar Gada
Patogen tular tanah Plasmodiophora brassicae menyebabkan penyakit akar gada (club root) pada tanaman Brassicae. Patogen ini dapat membentuk spora rehat yang dapat bertahan hidup dalam tanah atau pada sisa-sisa tanaman dalam jangka waktu lama. Patogen dapat menular melalui berbagai perantara seperti perlengkapan usaha tani, bibit, hasil panen, pupuk kandang, air permukaan, dan melalui angin (Cicu, 2006).
P. brassicae merupakan jamur lendir, pembentukan puru atau distorsi
terjadi pada akar laten dan memberikan bentuk sebuah klub atau gelendong. Ini adalah penyakit penting, yang mempengaruhi sekitar 10 % dari total wilayah budidaya di seluruh dunia (Wikipedia, 2009).
xvii
Djatnika (1993) mengemukakan bahwa kelengasan tanah yang tinggi baik untuk perkembangan spora rehat dan mengadakan infeksi pada inang. Pada kelengasan tanah 45 % di bawah kapasitas lapang, infeksi P. brassicae pada inang rendah. P. brassicae pada tanah masam berkembang sangat baik, tetapi pada tanah alkalin (±pH 8) terhambat.
Siklus penyakit dimulai dengan perkecambahan satu zoospora primer dari satu zoospora rehat haploid dalam tanah. Zoospora primer ini mempenetrasi rambut akar dan masuk kedalam sel inang. Perkecambahan spora terjadi pada pH 5,5-7,5 dan tidak berkecambah pada pH 8. Kisaran suhu bagi perkembangan patogen adalah 17-25 0C dengan suhu minimum 12 0C (Khakim, 2009).
Gejala tanaman kubis yang terserang oleh P. brassicae jelas terlihat pada keadaan cuaca panas atau siang hari yang terik yang ditandai daun-daun layu seperti kekurangan air. Apabila serangan patogen berlanjut menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat sehingga tanaman menjadi kerdil. Pada stadium serangan lanjut kubis tidak dapat membentuk krop yang akhirnya mati. Bagian akar yang terinfeksi akar gada terjadi pembesaran sel (bengkak), sehingga akar membesar dengan ukuran tergantung dari lama infeksi (Djatnika, 1993).
C. Pahitan (Tithonia diversifolia)
Pestisida nabati adalah bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang dapat digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Pestisida nabati dapat berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul), pembunuh dan bentuk lainnya. Pestisida nabati secara umum berbahan dasar dari tumbuhan, yang relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan alami atau nabati maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan, dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena residu mudah hilang (Dinas Pertanian dan Kehutanan, 2009).
xviii
Jenis : Tithonia diversifolia Grey
T. diversifolia adalah tanaman perdu yang tumbuh dengan tinggi 1-3 meter,
bunga berwarna kuning, berbunga pada akhir musim hujan dan produksi biomassa daun cukup banyak serta tahan kekeringan, kandungan N tanaman berkisar antara 3,1-5,5 %, K sebesar 2,5 - 5,5 %, dan P sebesar 0,2 – 0,55%. Produksi biomassa sebesar 16,4 ton per hektar per tahun dapat dihasilkan oleh T. diversifolia, kerena tanaman ini cepat tumbuh, dan mampu membentuk semak setiap tiga bulan (Barrios et al., 2005).
Hasil penelitian Bintoro (2008) menunjukkan bahwa T. divesifolia
mengandung senyawa fenol yang dapat bersifat toksik terhadap patogen tanaman. Daun pahitan mengandung senyawa aktif flavonoid yang termasuk dalam senyawa fenol. Flavonoid memiliki efek penghambatan pertumbuhan dan sporulasi jamur. Kandungan senyawa tersebut pada pahitan dapat dimanfaatkan sebagai fungisida nabati untuk mengendalikan jamur patogen pada tanaman.
T. diversifolia atau Mirasolia diversifolia dikenal sebagai bunga matahari Meksiko dan di Afrika Barat dikenal sebagai tanaman hias. Tithonia termasuk dalam famili Asteraceae, gulma tahunan yang dapat tumbuh tinggi mencapai 2,5 m dan dapat beradaptasi pada berbagai jenis tanah. Berdasarkan pengamatan di Nigeria, tanaman ini tersebar secara luas dan tumbuh di sepanjang tepi sungai dan di lahan pertanian yang dibudidayakan. Penelitian mengenai kandungan Tithonia terus dilakukan karena tanaman ini memiliki biomassa dengan nutrisi yang tinggi. (Olabode et al.,2007).
D. Boraks
xix
herbisida nonselektif. Pada tingkat yang lebih rendah, boraks digunakan sebagai pupuk tanaman. Boron diambil dari tanah sebanding dengan jumlah boron dalam tanah dan terakumulasi dalam tanaman (Varak, 2005).
Selama lebih dari 50 tahun, boron dikenal mampu mempengaruhi P.
brassicae pada tanaman inang. Konfirmasi dari bukti yang diperoleh bahwa
percobaan-percobaan yang dilakukan di lingkungan yang terkendali dan di lapangan menunjukkan penghambatan boron terhadap perubahan morfogenik plasmodium ke sporangium di rambut akar atau sel epidermis (Dixon, 2009).
Penelitian di Skotlandia menunjukkan bahwa menambahkan 15-20 ppm boron (seperti boraks) menjadi cairan starter di awal pemupukan dan bertujuan untuk mengurangi infeksi penyakit. Bahan kimia ini dapat menghambat perkembangan infeksi P. brassicae pada rambut akar (Dixon, 2008).
Saat ini, ada bukti yang muncul bahwa boron dapat memberikan peranan penting dalam mengurangi efek serangan. Selama lima belas tahun serangkaian percobaan yang dilakukan oleh tim Strathclyde telah meyakinkan dan menunjukkan bahwa penerapan boron dengan konsentrasi tertentu untuk penanaman bibit dapat mengurangi gejala club root dan karena aplikasi tersebut dapat melindungi hasil panen ke tingkat yang signifikan (Anonim, 1999).
E. Hipotesis
xx
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan Maret 2010 yang bertempat di Desa
Pancot Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, ketinggian 1200 m di atas permukaan laut dengan pH tanah
6,65, dan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lahan endemis patogen akar gada, bibit kubis varietas New
Summit, dolomit, ekstrak daun pahitan, boraks, flusulfamide (Nebijin 0,3 DP), Rose Bengal Agar (RBA) Chloramphenicol,
Tripsic Soy Agar (TSA), dan Starch-Casein Nitrate Agar (SCNA).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan, blender, penggaris, kamera digital, mikroskop, tabung
reaksi, petridish steril, pipet, beaker glass.
C. Cara Kerja Penelitian
1. Cara Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan survei pada enam plot perlakuan, sebagai berikut :
Paket Perlakuan Deskripsi
A Kontrol (perlakuan petani)
B Boraks 30 kg/ha dan pahitan
C Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam dan pahitan
D Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam
E Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam dan pahitan
F Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam
2. Pelaksanaan Penelitian a. Persemaian
Persemaian benih kubis dilakukan dalam rumah plastik persemaian. Tanah yang akan digunakan untuk persemaian disterilkan dengan uap panas selama 5 jam dikukus dalam alat kukus drum. Media persemaian terdiri dari tanah yang telah steril ditambah dengan kompos dengan perbandingan 2:1. Pengecambahan di atas tanah steril kemudian ditutup dengan daun pisang. Setelah 2-3 hari dibuka dan dibiarkan selama 1 minggu kemudian dipindahkan dalam kantong plastik persemaian.
b. Pengolahan Lahan
xxi
Pengolahan lahan dilakukan satu minggu sebelum tanam. Tanah diolah dengan kedalaman 20-30 cm dengan cangkul agar tanah terbalik sehingga diperoleh kondisi tanah yang memiliki aerasi dan drainase yang baik. Kemudian dilakukan pengapuran dengan pemberian dolomit dengan dosis 1,5 kg/10 m2. Pemupukan dasar dengan pemberian pupuk organik serta NPK. Dosis pupuk organik yang diberikan 2,5 kg/10 m2, pupuk NPK (Ponska) 200 kg/ha, dan pupuk urea 100 kg/ha.
Pembuatan bedengan dengan ukuran 12 x 1,5 m2, kemudian pemberian tanah dengan boraks dan fungisida sesuai dengan perlakuan. Masing-masing plot perlakuan terdiri dari dua bedengan. Perlakuan boraks 30 kg/ha disesuaikan dengan luas bedengan yang telah dibuat, boraks 0,3 g/200 ml dan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam.
c. Penanaman
Penanaman dapat dilakukan setelah boraks dan fungisida diplikasikan satu minggu sebelum tanam. Penanaman dilakukan pada pagi hari. Bibit kubis dapat ditanam setelah berumur 2-3 minggu, dengan jarak tanam 50x50 cm.
d. Pembuatan Ekstrak Daun Pahitan
Ekstrak daun pahitan dibuat dengan cara menghaluskan daun pahitan 50 g yang masih segar dengan menggunakan blender, kemudian mencampur daun pahitan yang telah dihaluskan ke dalam 1000 ml air sehingga diperoleh ekstrak daun pahitan 5%. Penyiraman ekstrak daun pahitan tiap tanaman sebanyak 200 ml dan dilakukan dua mingguan sejak tanam.
e. Pemeliharaan
Pemeliharaan meliputi pengairan, pengendalian gulma, dan pemupukkan susulan. Pengairan dengan menggunakan air irigasi. Pemupukan susulan pertama dilakukan pada umur 3 mingu setelah tanam dengan pupuk NPK (Ponska) dosis 5 g/tanaman, dan pemupukan susulan kedua pada umur 7 minggu setelah tanam dengan dosis 5 g/tanaman. Pengendalian gulma kubis dapat dilakukan saat tanaman mulai ditumbuhi gulma.
f. Panen
Pemanenan kubis dilakukan pada umur 70 hari setelah pindah tanam.
xxii
1. Nilai Area of under the disease progress curve (AUDPC)
Nilai AUDPC diperoleh dari hasil pengamatan insidens penyakit. Perhitungan AUDPC untuk mengetahui jumlah penyakit dalam suatu populasi yang merupakan area di bawah kurva perkembangan penyakit.
i
dengan : x = insidens penyakit, dan t = waktu pengamatan (hari ke-0,7,14,21,28,35).
Pengamatan insidens penyakit dilakukan terhadap 100 tanaman sampel yang berposisi di tengah petak perlakuan, yang direncanakan untuk dilaksanakan seminggu sekali dengan cara melihat secara visual kelayuan tanaman pada siang hari (pukul 10.00-12.00 WIB).
Pengamatan keparahan penyakit dilakukan terhadap 30 tanaman sampel yang ditentukan secara sistematik dengan pola X. Pengukuran dilakukan dengan metode penyekoran kerusakan akar menggunakan skala 0 sampai 5 yang dilakukan dengan cara mencabut tanaman pada saat panen.
Penjabaran skoring sebagai berikut: 0 = tidak ada serangan, 1 = kerusakan akar 1-20 %, 2 = kerusakan akar 21-40 %, 3 = kerusakan akar 41-60 %, 4 = kerusakan akar 61-80 %, 5 = kerusakan akar lebih dari 80 % (Hadiwiyono, 1997).
xxiii
Nilai efektivitas merupakan persentase penurunan keparahan penyakit setiap perlakuan yang dibandingkan dengan kontrol.
dengan : NE = Nilai Efektivitas, a = keparahan kontrol, dan b = keparahan perlakuan. 3. Berat Akar Lateral Sehat
Pengamatan berat akar lateral sehat dilakukan dengan cara mencabut tanaman pada saat panen. Akar dipisahkan dari tanaman kubis dan dibersihkan. Akar lateral sehat ditimbang setelah dipisahkan dari akar yang sakit.
4. Berat Krop
Pengamatan berat krop dilakukan pada saat panen. Krop ditimbang setelah dipisahkan dari tanaman kubis.
5. Peningkatan Hasil Krop
Perhitungan peningkatan hasil krop dapat dhitung setelah mengkonversikan hasil krop per ha. Cara menghitung hasil krop per ha yaitu dengan menghitung jumlah berat krop dalam luasan 1,5 x 3 m2 pada setiap perlakuan, setelah diperoleh jumlah berat krop tersebut maka dikonversikan menjadi hasil/ha. Kemudian dapat menghitung peningkatan hasil krop dengan rumus sebagai berikut.
Peningkatan hasil krop =
6. Diameter Krop
Pengamatan berat krop dilakukan pada saat panen. Diameter krop diukur dengan menggunakan penggaris setelah krop dipisahkan dari tanaman.
7. Kepadatan Krop
Pengamatan kepadatan krop dengan cara menghitung berat krop/ volume krop (g/cm3). Perhitungan volume krop dengan menggunakan rumus volume elips
yaitu V = , dengan r = jari-jari krop.
8. Populasi Mikrob pada Rizhosfer Kubis
xxiv
Tanah dikeringanginkan selama dua hari sebelum dilakukan pengenceran. Pengenceran tanah 10-1 dilakukan dengan cara menimbang tanah 10 g dimasukan dalam erlenmeyer kemudian ditambah aquades 90 ml. Pengenceran 10-2 diambil dari pengenceran 10-1 sebanyak 1 ml dimasukan dalam tabung reaksi dan ditambah aquades 9 ml. Pengenceran dilakukan sampai dengan pengenceran 10-12.
Pengamatan populasi mikrob dengan menggunakan media selektif Rose Bengal Agar (RBA) + 100 µg/L Chloramphenicol pH 6,0 untuk jamur, Tripsic Soy Agar (TSA) pH 7,0 untuk bakteri, Starch-Casein Nitrate Agar (SCNA) pH 7,2 untuk actinomycetes. Pengamatan jamur pada pengenceran 10-2 dan 10-3, bakteri pada pengenceran 10-9 sampai 10-12, dan actinomycetes pengenceran 10-3 dan 10-4. Mengambil 0,1 ml filtrat hasil pengenceran dengan pipet dan diteteskan ke dalam petridish, kemudian menuangkan media dan diratakan dengan cara menggerakkan petridish sejajar permukaan hingga sampel tersebar merata dalam media.
Populasi jamur dihitung setelah 4 hari inkubasi, sedangkan populasi bakteri diamati satu hari setelah inkubasi. Populasi actinomycetes dihitung setelah diinkubasi selama 7 hari pada suhu 40 oC.
E. Analisis Data
Data hasil pengamatan yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan uji T
xxv
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Intensitas Penyakit
Intensitas penyakit dinyatakan menjadi dua yaitu insidens dan keparahan penyakit. Intensitas penyakit dinyatakan dengan insidens apabila penyakit bersifat sistemik dengan serangan patogen cepat atau lambat akan menyebabkan kematian atau tidak berproduksi. Penyakit dengan gejala dan akibat yang bervariasi, maka intensitas penyakit dinyatakan dengan keparahan penyakit.
1. Nilai AUDPC
Gejala penyakit akar gada mulai nampak pada umur kubis 21 HST. Hasil perhitungan nilai AUDPC disajikan pada gambar di bawah ini.
Gambar 1. Diagram batang nilai AUDPC dari pengamatan minggu pertama sampai dengan minggu ke-5
Keterangan : A : Kontrol (perlakuan petani) B : Boraks 30 kg/ha dan pahitan
C : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam dan pahitan D : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam
xxvi
Rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji T
pada taraf 5 %
Hasil perhitungan nilai AUDPC (Gambar 1) diperoleh nilai tertinggi pada kontrol yaitu 1.572,67. Nilai terendah pada perlakuan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan yaitu 583,33. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua perlakuan baik pada perlakuan boraks dan flusulfamide dapat menekan insidens penyakit secara signifikan.
Hasil penelitian Dixon (1985 cit. Dixon, 2009), bahwa natrium tetraborat (boraks) yang diterapkan telah mencapai hasil penurunan yang signifikan pada indeks penyakit dalam tiga tahun berturut-turut dari studi lapangan. Kajian yang lebih mutakhir dari Webster & Dixon (1991) telah menunjukkan bahwa dalam lingkungan dengan konsentrasi boron ditinggikan terdapat efek yang signifikan baik dalam fase rambut akar dan fase kortikal dari P. brassicae.
Perlakuan kombinasi flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan dapat menurunkan insidens penyakit paling tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan hasil nilai AUDPC yang terendah. Tanaka et al. (1999) melaporkan bahwa flusulfamide mempengaruhi tahap awal dalam siklus hidup P. brassicae. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ketika kubis Cina tumbuh pertama di tanah yang mengandung flusulfamide, club root benar-benar ditekan, hal ini menunjukkan flusulfamide bertindak langsung pada spora rehat. Flusulfamide diduga dapat menghambat perkecambahan spora rehat atau menurunkan viabilitas spora-spora primer yang terlepas dari spora rehat.
Perlakuan pemberian boraks dan flusulfamide yang dikombinasikan dengan pahitan juga dapat menurunkan insidens penyakit. Penggunaan pahitan Tithonia
dapat menyumbangkan senyawa-senyawa yang dapat berfungsi sebagai fungisida alami. Owolade et al. (2004) melaporkan bahwa ekstrak segar Tithonia secara signifikan mengurangi insidens dan tingkat keparahan penyakit, bercak coklat pada kacang tunggak.
xxvii
2. Keparahan Penyakit
Pengukuran keparahan dilakukan dengan metode penyekoran kerusakan akar. Keparahan akar gada tertinggi pada kontrol yaitu rata-rata sebesar 80 %. Sebagian besar sampel pada kontrol berada pada skor yang tinggi (4 dan 5) dan tidak ada skor 0. Rata-rata keparahan penyakit terendah pada perlakuan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan yaitu 42,67 %. Hasil pengamatan keparahan penyakit disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Keparahan penyakit dan efektivitas boraks, flusulfamide dan kombinasinya dengan ekstrak daun pahitan dalam mengendalikan akar gada kubis
Perlakuan Keparahan
E : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap
lubang tanam dan pahitan 42,67 ± 0,03 d 46,67
F: Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap
lubang tanam 50,67 ± 0,02 bc 36,67
Keterangan : Rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji
T pada taraf 5 %
xxviii
diolah. Selain itu, perlakuan terhadap tanaman dengan metode penyiraman menunjukkan adanya infeksi, atau pembengkakan umumnya di ujung sistem akar, tetapi akar utama bebas penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa penyiraman tanah dengan fungisida hanya cukup untuk melindungi sistem akar utama tetapi tidak melindungi akar yang tumbuh di daerah luar penyiraman fungisida.
Penelitian ini berbeda dengan hasil tersebut karena fungisida yang diaplikasikan berbeda. Perlakuan boraks 0,3 g/200 ml (boraks siram) telah mampu melindungi akar baik pada akar utama maupun pada akar lateral. Dengan demikian pemberian boraks baik dengan penyiraman maupun olah dapat menurunkan tingkat keparahan penyakit. Perlakuan boraks dan flusulfamide yang dikombinasikan dengan pahitan dibandingkan dengan perlakuan boraks dan flusulfamide tanpa pahitan secara signifikan dapat menurunkan keparahan penyakit.
Hasil perhitungan nilai efektivitas (Tabel 1) menunjukkan nilai efektivitas masing-masing perlakuan yang dibandingkan dengan kontrol. Nilai efektivitas tertinggi yaitu 46,67 % pada perlakuan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan dan nilai terendah yaitu 30,83 % pada perlakuan boraks 30 kg/ha dan pahitan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian boraks, flusulfamide, dan kombinasinya dengan pahitan mampu menurunkan keparahan penyakit sebesar 30-46%.
B. Berat Akar Lateral Sehat
Berat akar lateral sehat merupakan bagian akar yang menunjukkan bahwa akar terhindar dari infeksi penyakit. Berat akar lateral sehat ini berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit. Apabila volume akar yang terserang akar gada semakin besar, maka berat akar lateral sehat menjadi lebih sedikit.
xxix
Gambar 2. Diagram batang bobot akar sehat pada kubis setelah sepuluh minggu perlakuan
Keterangan : A : Kontrol (perlakuan petani) B : Boraks 30 kg/ha dan pahitan
C : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam dan pahitan D : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam
E : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam dan pahitan F : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam
Rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji T
pada taraf 5 %
Boraks telah lama dikenal memiliki kemampuan dalam mengontrol penyakit dan telah diterapkan pada tanah yang terkontaminasi P. brassicae. Boraks yang mengandung unsur boron, dengan pemeliharaan konsentarsi boron pada rizhosfer akan membatasi kemampuan zoospora P. brassicae untuk menembus dan menginfeksi akar rambut sehingga dapat mengurangi timbulnya gejala. Dixon (1991) menemukan bahwa boron mempengaruhi perkembangan P. brassicae
xxx
menghambat pembengkakan. Bohnsack & Albert (1977 cit. Donald & Porter, 2009) mengemukakan bahwa boron berfungsi sebagai aktivator hormon auksin dalam pembelahan dan pembesaran sel. Melalui regulasi aktivitas auksin, boron dapat mempertebal dinding sel sehingga mengganggu gerakan P. brassicae dalam tanaman inang dan tanaman akan lebih tahan terhadap serangan penyakit. Infeksi terhadap rambut akar dapat ditekan sehingga dapat meningkatkan berat akar lateral sehat.
Perlakuan tanah dengan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan menunjukkan nilai tertinggi berat akar lateral sehat. Hal ini juga gayut dengan intensitas penyakit yang menunjukkan nilai paling rendah. Hasil penelitian Tanaka
et al. (1999) menunjukkan bahwa flusulfamide secara langsung bertindak melawan
spora rehat. Perlakuan yang tidak diaplikasikan flusulfamide menunjukkan bahwa spora rehat berkecambah pada frekuensi tinggi, sementara spora rehat yang diperlakukan flusulfamide sangat sedikit yang berkecambah. Hal ini mempengaruhi penekanan terhadap infeksi patogen terhadap akar dan berat akar lateral sehat menjadi lebih tinggi.
Perlakuan boraks 0,3 g/200 ml dan pahitan menunjukkan berat akar lateral sehat lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan boraks 0,3 g/200 ml. Hasil yang sama pada perlakuan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan menunjukkan berat akar lateral sehat lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi). Hal ini menunjukkan bahwa pahitan memberikan pengaruh dalam meningkatkan berat akar lateral sehat.
C. Berat Krop
Infeksi P. brassicae pada akar tanaman mengakibatkan penyerapan air dan unsur hara dari tanah menuju ke seluruh bagian tanaman menjadi terganggu. Apabila penyerapan air dan unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman terganggu, maka akan membatasi pertumbuhan terutama pertumbuhan berat krop.
xxxi
bahwa semua perlakuan boraks, flusulfamide, dan kombinasinya dengan pahitan mampu meningkatan berat krop.
Gambar 3. Diagram batang berat krop setelah sepuluh minggu perlakuan
Keterangan : A : Kontrol (perlakuan petani) B : Boraks 30 kg/ha dan pahitan
C : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam dan pahitan D : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam
E : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam dan pahitan F : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam
Rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji T
pada taraf 5 %
Tabel 2. Hasil krop dalam ton/ha
Perlakuan Hasil krop
(ton/ha)
Peningkatan Hasil Krop
(%)
A : Kontrol (perlakuan petani) 18,74 ± 2,92 a -
B : Boraks 30 kg/ha dan pahitan 32,07 ± 3,01 b 71,13 C : Boraks 0,3 g/200 ml dan pahitan 37,52 ± 3,05 c 100,21
xxxii
E : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiaplubang tanam dan pahitan 46,52 ± 0,82 d 148,24
F: Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap
lubang tanam 39,59 ± 1,99 c 111,26
Keterangan : Rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji
T pada taraf 5 %
Perhitungan hasil krop pada Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai terendah 18,74 ton/ha pada kontrol. Nilai tertinggi pada perlakuan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan yaitu 46,52 ton/ha. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan boraks, flusulfamide dan kombinasinya dengan pahitan dapat meningkatan hasil krop. Semua perlakuan memberikan hasil yang memuaskan terhadap peningkatan hasil krop, dengan peningkatan hasil mencapai 71 - 148 %.
Perlakuan boraks 0,3 g/200 ml dan pahitan secara deskriptif menunjukkan hasil krop lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan boraks 0,3 g/200 ml. Hasil yang sama dengan perlakuan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan menunjukkan hasil krop lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi). Hal ini menunjukkan bahwa dengan pemberian pahitan dapat meningkatkan hasil krop. Penambahan pahitan dapat meningkatkan hasil krop masing-masing 6,4 % dan 17,5 % dari perlakuan boraks dan fungisida. Olabode
et al. (2007) menyatakan bahwa Tithonia dengan status nutrisi yang tinggi
berpotensial dalam memperbaiki tanah untuk peningkatan produktivitas. Sulistijowati & Gunawan (1997 cit. Gusnidar & Prasetyo, 2008) melaporkan bahwa dalam ekstrak daun Tithonia terdapat 12 senyawa terpenoid, 14 senyawa flavonoid dan gula. Semua komponen yang terdapat dalam daun Tithonia, berpengaruh terhadap pertumbuhan padi. Pemberian Tithonia pada dosis 5 ton/ha mampu memperbaiki parameter pertumbuhan padi (Gusnidar & Prasetyo, 2008).
D. Diameter Krop
xxxiii
maksimum dapat menghasilkan diameter krop yang tinggi dan diikuti berat krop yang tinggi pula. Diameter krop pada Gambar 4 menunjukkan bahwa diameter terendah pada kontrol 12,42 cm, sedangkan diameter krop tertinggi pada perlakuan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan 17,97 cm. Namun demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa semua perlakuan mampu meningkatkan diameter krop.
Gambar 4. Diagram batang diameter krop setelah sepuluh minggu perlakuan
Keterangan : A : Kontrol (perlakuan petani) B : Boraks 30 kg/ha dan pahitan
C : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam dan pahitan D : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam
E : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam dan pahitan F : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam
Rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji T
pada taraf 5 %
xxxiv
E. Kepadatan Krop
Gambar 5 menunjukkan bahwa kepadatan krop tertinggi pada kontrol yaitu 0,64 g/cm3, sedangkan nilai terendah yaitu 0,37 g/cm3 pada perlakuan boraks 30 kg/ha dan pahitan. Hasil ini menunjukkan bahwa krop yang paling padat adalah pada kontrol sedangkan kepadatan yang paling rendah adalah perlakuan boraks 30 kg/ha dan pahitan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua perlakuan kurang dapat meningkatkan kepadatan krop.
Gambar 5. Diagram batang kepadatan krop setelah sepuluh minggu perlakuan
Keterangan : A : Kontrol (perlakuan petani) B : Boraks 30 kg/ha dan pahitan
C : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam dan pahitan D : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam
E : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam dan pahitan F : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam
Rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji T
xxxv
Kepadatan krop yang semakin tinggi dipengaruhi banyak jumlah daun yang membentuk krop. Hal ini berarti bahwa selama pertumbuhan krop terus bertambah padat dan semakin berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua perlakuan menghasilkan kepadatan krop yang rendah dibandingkan dengan kontrol.Hal ini karena semua perlakuan memiliki rata-rata volume krop yang tinggi dan diikuti peningkatan rata-rata berat krop, tetapi berat krop yang dihasilkan tidak dapat menyeimbangkan untuk meningkatkan kepadatan krop yang dibandingkan dengan kontrol.
F. Populasi Mikrob pada Rizhosfer Kubis
Mikroorganisme memainkan peran penting dalam proses tanah, antara lain : merupakan daur ulang penting nutrisi tanaman, pembentukan humus, dan detoksifikasi pestisida. Penggunaan fungisida menjadi perhatian utama karena dimungkinkan akan memberikan efek berbahaya pada mikrob tanah, yang berkontribusi untuk kesuburan tanah.
xxxvi
Keterangan : A : Kontrol (perlakuan petani)B : Boraks 30 kg/ha dan pahitan
C : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam dan pahitan D : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam
E : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam dan pahitan F : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam
spk = satuan pembentukan koloni
Rata-rata populasi jamur, bakteri, atau actinomycetes yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji T pada taraf 5 %
Gambar 6 menunjukkan bahwa populasi jamur terendah pada perlakuan boraks 0,3 g/200 ml yaitu 3,68 spk/g tanah. Populasi tertinggi jamur pada perlakuan boraks 30 kg/ha dan pahitan yaitu 4,17 spk/g tanah. Pengamatan populasi bakteri, nilai terendah pada perlakuan boraks 0,3 g/200 ml yaitu 11,94 spk/g tanah. Nilai tertinggi populasi bakteri yaitu 13,74 spk/g tanah pada kontrol. Hasil yang sama juga pada perhitungan populasi actinomycetes, nilai terendah pada perlakuan boraks 0,3 g/200 ml yaitu 3,90 spk/g tanah. Populasi actinomycetes tertinggi pada kontrol yaitu 5,00 spk/g tanah.
Berdasarkan hasil tersebut, perlakuan boraks 0,3 g/200 ml memberikan pengaruh dalam menurunkan populasi mikrob baik jamur, bakteri, dan actinomycetes. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan boraks yang tidak dikombinasikan dengan pahitan dapat menurunkan populasi mikrob pada rizhosfer kubis. Pengaruh tersebut dapat berakibat pada aktivitas mikrob, sehingga dapat mengurangi keseimbangan biologi tanah yang dapat menurunkan kesuburan tanah. Dengan demikian, perlu dilakukan kombinasi perlakuan dengan pahitan yang merupakan fungisida nabati yang tidak menimbulkan efek negatif. Selain sebagai fungisida nabati, pahitan juga dapat memberikan bahan organik bagi tanah, sehingga dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh pengaruh aplikasi boraks.
xxxvii
Pengendalian penyakit dengan pemberian fungisida secara umum dapat memberikan pengurangan akar gada yang signifikan dengan pemberian tingkat tinggi dari fungisida. Pemberian fungisida tingkat rendah dapat memberikan hasil yang signifikan ketika infeksi tidak parah (Cheah et al., 1998).
Penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan boraks dan fungisida mempunyai potensi dalam mengendalikan akar gada. Perlakuan boraks, flusulfamide, dan kombinasinya dengan pahitan dibandingkan dengan kontrol dapat menurunkan insidens dan keparahan penyakit, sehingga mampu meningkatkan berat akar lateral sehat, hasil krop, dan diameter krop. Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian dengan pemberian borax, flusulfamide dan kombinasinya dengan pahitan efektif menurunkan intensitas penyakit dan meningkatkan hasil.
Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa boraks menekan insidens penyakit lebih rendah dibandingkan dengan flusulfamide. Hal ini menyebabkan berat akar lateral sehat dan hasil krop pada perlakuan boraks juga lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan flusulfamide. Dixon (1991) menemukan bahwa boron mempengaruhi perkembangan P.brassicae dengan memperlambat laju pematangan spora. Hasil penelitian Tanaka et al. (1999) menunjukkan bahwa flusulfamide secara langsung bertindak melawan spora rehat. Dengan demikian, perlakuan flusulfamide dapat lebih efektif menekan perkembangan patogen dibandingkan dengan boraks karena flusulfamide mempengaruhi tahap awal dalam siklus hidup P. brassicae dengan menghambat perkecambahan spora rehat.
Perlakuan yang memberikan hasil terbaik pada penelitian ini adalah flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan dalam menurunkan intensitas penyakit dan meningkatkan hasil. Keparahan penyakit dapat ditekan dengan efektivitas 46,67 % dan peningkatan hasil krop 148,24 %. Shimotori et al. (1996 cit.
xxxviii
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Perlakuan boraks, flusulfamide, dan kombinasinya dengan pahitan efektif menurunkan intensitas penyakit akar gada, sehingga meningkatan berat akar lateral sehat, hasil krop, dan diameter krop.
2. Pemberian boraks, flusulfamide, dan kombinasinya dengan pahitan mampu menurunkan tingkat keparahan penyakit sebesar 30-46 %, sehingga dapat meningkatkan hasil krop 71-148 %.
3. Penambahan pahitan dapat meningkatkan hasil krop masing-masing 6,4 % dan 17,5 % dari perlakuan boraks dan flusulfamide.
B. Saran
Tithonia sebagai fungisida nabati perlu dikembangkan dengan cara
pemberian per tanaman menggunakan konsentrasi dan waktu aplikasi yang lebih beragam yaitu dengan membuat konsentrasi pahitan menjadi lebih pekat dan waktu aplikasi yang lebih intensif.
xxxix
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1999. Of cabbages and things. www.earthclinic.com/Remedies/html. Internet Version. Diakses: 20 Oktober 2009.
Arief, A. 1990. Hortikultura. Andi Offset. Yogyakarta.
Barrios, E, JG Cobo, IM Rao, RJ Thomas, E Amezquita, JJ Jimenez, & MA Rondon. 2005. Fallow management for soil fertility recovery in tropical andean agroecosystems in Columbia. J. Agee. 110: 29-42.( Abstr.)
Bintoro, M.H. 2008. Pestisida Organik pada Tanaman Lada. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. (skripsi).
Cheah, LH, BBC Page, & JP Koolaard. 1998. Soil-incorporation of fungicides for control of club root of vegetable brassicas. In: Proc. 51st N.Z. Plant Protection Conf. P. 130-133.
Cicu. 2006. Penyakit akar gada (Plasmodiophora brassicae Wor.) pada kubis-kubisan dan upaya pengendaliannya. J. Litbang Pertan. 25(1): 16-21.
Dinas Pertanian dan Kehutanan. 2009. Pestisida nabati. www.jakarta.go.id/html. Internet Version. Diakses: 24 September 2009.
Dixon, GR. 1991. Primary and secondary stages of Plasmodiophora brassicae (club root) as affected by metallic cations and pH. In: Beemster AB, GJ Bollen, M Gwerlagh, MA Ruissen, B Schippers, A Tempel (eds). Biotic interactions and soil-borne
diseases, no. 23. Developments in Agricultural and Managed Forestry Ecology.
Elsevier Amsterdam. P. 381–386.
---. 2008. Integrated control of clubroot.
www.hortweek.com/news/../Integrated-control-clubroot. Horticulture Week. Internet Version. Accessed: 24 Sept. 2009.
xl
---. 2009. Repression of the morphogenesis of Plasmodiophora brassicae Wor. by boron. www.actahort.org/members/showpdf. International Society for Horticultural Science. Internet Version. Accessed: 22 Oct. 2009.
Djatnika. 1993. Penyakit-Penyakit tanaman kubis dan cara pengendalian. Dalam: Permadi A.H., dan S. Sastrosiswojo (eds). Kubis. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Penelitian Hortikultura. Lembang. P. 51-59.
Donald, C & I Porter. 2009. Integrated control of club root. J. Plant Growth Regul. 28:289–303.
Gusnidar & T.B. Prasetyo. 2008. Pemanfaatan Tithonia diversifolia pada tanah sawah yang dipupuk P secara starter terhadap produksi serta serapan hara N, P, dan K tanaman padi. J. Tanah Trop. 13 (3) : 209-216.
Hadiwiyono. 1997. Evaluasi beberapa taktik pengendalian akar gada (Plasmodiophora
brassicae Wor.) Dalam: Prosiding Konggres XVI dan Seminar Ilmiah PFI di
Palembang. Fakultas pertanian UNSRI. P.445-447.
--- & Surpiyadi. 1997. Penyakit “menthol” sebagai penganggu baru tanaman kubis-kubisan di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Caraka Tani. 13(2):16-23.
Herbarium Bandungense. 2009. Klasifikasi tumbuhan Tithonia diversifolia.
www.sith.itb.ac.id/herbarium/index.php. Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati.
Internet Version. Diakses: 24 September 2009.
Khakim. 2009. Penyakit akar gada (Plasmodiophora brassicae Wor.) pada kubis-kubisan dan pengendalian.
tanduranijo.blogspot.com/.../penyakita-akar-gada-plasmodiophora.html. Internet Version. Diakses: 20 Oktober 2009.
Michelle. 2009. Plasmodiophora brassicae. www.cals.ncsu.edu/course/pp728/. Department of Plant Pathology. Internet Version. Accessed : 20 Oct 2009.
xli
Olabode, OS, O Sola, WB Akanbi, GO Adesina, & PA Babajide. 2007. Evaluation of
Tithonia diversifolia (Hemsl.) a gray for soil improvement. World J. Agric. Sci. 3 (4): 503-507.
Oliveoile. 2008. Formalin dan boraks. oliveoile.wordpress.com. Internet Version. Accessed: 11 August 2009.
Owolade, OF, BS Alabi, YOK Osikanlu, & OO Odeyemi. 2004. On-farm evaluation of some plant extracts as biofungicide and bioinsecticide on cowpea in Southwest Nigeria.
J. Food. Agric Environ. 2 (2): 237-240. (Abstr.)
Porth, G, F Mangan, R Wick, & W Autio. 2009. Evaluation of management strategies for
club root disease of Brassica crops.
www.umassvegetable.org/...crop.../evaluation_of_management_strategies_for_c
lubroot_disease_of_brassica_crops.pdf. University of Massachusetts. Internet
Version. Diakses: 20 Oktober 2009.
Rukmana, R. 1994. Bertanam Kubis. Kanisius. Yogyakarta.
Sunarjono, H. 2004. Bertanam 30 Jenis Sayuran. Penebar Swadaya. Jakarta.
Tanaka, S, S Kochi, H Kunita, S Ito, & MK Iwaki. 1999. Biological mode of action of the fungicide, flusulfamide, agains Plasmodiophora brassicae (club root). Europ. J.
Plant Pathol. 105: 577-584.
Varak, C. 2005. Evaluation of human and ecological risk for boraks stump treatments
Horse Heli Project Scott River Ranger District.
www.fs.fed.us/r5/projects/projects/horseheli/07/boraks-report.pdf. Internet
Version. Accessed: 24 Sept. 2009.
Webster, MA & GR Dixon. 1991. Boron, pH and inoculum concentration as factors limiting root hair colonization by Plasmodiophora brassicae Wor. Mycol Res. 95:74–79. (Abstr.).