• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekstrak daun pahitan (tithonia diversifolia grey) dan boraks Untuk pengendalian akar gada pada kubis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ekstrak daun pahitan (tithonia diversifolia grey) dan boraks Untuk pengendalian akar gada pada kubis"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

i

EKSTRAK DAUN PAHITAN (

Tithonia diversifolia

Grey) DAN BORAKS

UNTUK PENGENDALIAN AKAR GADA PADA KUBIS

SKRIPSI

Untuk memenuhi sebagian persyaratan

guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian

di Fakultas Pertanian

Universitas Sebelas Maret

Program Studi Agronomi

Oleh

TRIANA RAHMANTI N

H0106028

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

ii

EKSTRAK DAUN PAHITAN (

Tithonia diversifolia

Grey) DAN BORAKS

UNTUK PENGENDALIAN AKAR GADA PADA KUBIS

yang dipersiapkan dan disusun oleh

Triana Rahmanti N

H0106028

telah dipertahankan di depan Dewan Penguji

pada tanggal : 29 Juli 2010

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Tim Penguji

Ketua

Anggota I

Anggota II

Prof. Dr. Ir. Sholahuddin, MS Dr. Ir. Hadiwiyono, MSi

Dr. Ir. MTh. Sri Budiastuti, MSi

NIP. 195610081980031003 NIP. 196201161990021001 NIP.195912051985032001

Surakarta,

Mengetahui

Universitas Sebelas Maret

Fakultas Pertanian

Dekan

(3)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan

rahmat, karunia, dan kasih sayang-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul “Ekstrak Daun Pahitan (Tithonia Diversifolia Grey) dan Boraks

untuk Pengendalian Akar Gada pada Kubis”. Skripsi ini disusun sebagai salah

satu syarat guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan

berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1.

Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian UNS.

2.

Ir. Wartoyo SP. selaku Ketua Jurusan Program Studi Agronomi.

3.

Ir. Toeranto S selaku Pembimbing Akademik atas waktu dan bimbingan yang

diberikan.

4.

Prof. Dr. Ir. Sholahuddin, MS selaku Pembimbing Utama atas dorongan,

semangat, waktu, ilmu, dan bimbingan yang diberikan.

5.

Dr. Ir. Hadiwiyono, MSi selaku Pembimbing Pendamping atas dorongan,

semangat, waktu, ilmu, dan bimbingan yang diberikan.

6.

Dr. Ir. MTh. Sri Budiastuti, MSi selaku Dosen Penguji, atas kritik, saran dan

bimbingan.

7.

Bapak dan Ibu tercinta yang selalu memberi dukungan moral dan materil

selama ini. Terima kasih atas kasih sayang yang tulus dari bapak dan ibu yang

mungkin tak akan bisa terbalaskan.

8.

Junjung, Endang, Leny, dan Yoga sebagai rekan proyek yang telah bekerja

sama dengan baik, semangat, dan kebersamaan selama ini.

9.

Rekan-rekan IMAGO 06 atas partisipasi, dukungan, dan bantuan.

(4)

iv

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Segala kritik dan

saran sangat penulis harapkan demi perbaikan skripsi ini.

Surakarta, Juli 2010

(5)
(6)

vi

C.

Berat Krop ...

20

D.

Diameter Krop ...

22

E.

Kepadatan Krop ...

24

F.

Populasi Mikrob pada Rizhosfer Kubis ...

25

G.

Pembahasan Umum ...

27

V.

KESIMPULAN DAN SARAN...

28

A.

Kesimpulan ...

28

B.

Saran ...

28

(7)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel

halaman

1. Keparahan penyakit dan efektivitas boraks, flusulfamide dan

kombinasi dengan ekstrak daun pahitan dalam mengendalikan

(8)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar

halaman

1.

Diagram batang nilai AUDPC dari pengamatan minggu pertama

sampai dengan minggu ke-5 ...

15

2.

Diagram batang bobot akar sehat pada kubis setelah sepuluh

(9)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

halaman

1.

...

Tabel

data hasil pengamatan nilai AUDPC, keparahan penyakit,

dan berat akar lateral sehat ...

32

2.

...

Tabel

data hasil pengamatan berat, diameter, kepadatan dan hasil

krop ...

33

3.

...

Tabel

data hasil pengamatan populasi mikrob (spk/g tanah) ...

35

4.

...

Tabel

hasil uji T data AUDPC, keparahan penyakit, dan berat akar

lateral sehat ...

36

5.

...

Tabel

hasil uji T data berat, hasil, diameter, dan kepadatan krop ...

37

6.

...

Tabel

hasil uji T data populasi mikrob ...

38

7.

...

Gejala

akar gada di atas dan di bawah tanah ...

39

8.

...

Gambar

(10)

x

RINGKASAN

EKSTRAK DAUN PAHITAN (

Tithonia diversifolia

Grey) DAN BORAKS

UNTUK PENGENDALIAN AKAR GADA PADA KUBIS

Triana Rahmanti N

H0106028

Salah satu penyakit utama kubis adalah akar gada yang disebabkan oleh

Plasmodiophora brassicae Wor. Upaya pengendalian akar gada pada lahan

terkontaminasi berat telah dilakukan, namun belum efektif memecahkan

permasalahan. Boraks merupakan bahan kimia yang fungisidal dan banyak

digunakan untuk mengendalikan akar gada di luar negeri, namun belum

digunakan untuk pengendalian di Indonesia. Penggunaan fungisida nabati ekstrak

daun pahitan (Tithonia diversifolia Grey) diperlukan dalam upaya pembatasan

penggunaan fungisida kimia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi

efektifitas ekstrak daun pahitan (T. diversifolia) dan boraks untuk mengendalikan

akar gada kubis pada lahan endemi.

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2009 sampai Maret 2010 di

Desa Pancot Kecamatan Tawangmangu dan di Laboratorium Hama dan Penyakit

Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Survei

dilaksanakan pada enam plot perlakuan. Perlakuan terdiri dari kontrol, boraks 30

kg/ha dan pahitan, boraks 0,3 g/200 ml dan pahitan, boraks 0,3 g/200 ml,

flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan, dan flusulfamide 0,012 g (4 g

formulasi). Variabel pengamatan meliputi insidens penyakit, keparahan penyakit,

nilai efektivitas penurunan akar gada, berat akar lateral sehat, berat krop, hasil

krop/ha, peningkatan hasil krop, diameter krop, kepadatan krop, dan populasi

mikrob pada rizhosfer kubis. Data hasil pengamatan yang diperoleh dianalisis

secara deskriptif dengan uji T.

(11)

xi

dapat meningkatkan hasil krop masing-masing 6,4 % dan 17,5 % dari perlakuan

boraks dan flusulfamide.

SUMMARY

“PAHITAN” LEAF EXTRACT (Tithonia diversifolia Grey) AND BORAX

FOR CONTROL CLUB ROOT OF CABBAGE

Triana Rahmanti N

H0106028

One of the major diseases of cabbage is club root caused by

Plasmodiophora brassicae Wor. Club root control efforts on heavy contaminated

lands has been carried out, but they have not effectively solved the problems yet.

Borax is fungisidal chemicals and widely used to control the club root abroad, but

has not been used for control in Indonesia.

The use of fungicidal pahitan leaf

extract (Tithonia diversifolia Grey) is required in order restrictions on the use of

chemical fungicides. This research aimed to evaluate the effectiveness leaf extract

of pahitan (T. diversifolia) and borax to control club root of cabbage in the

endemic land.

The experiment was conducted from August 2009 to March 2010 in Pancot

Tawangmangu and in the Laboratory of Plant Pests and Diseases Faculty of

Agriculture, Sebelas Maret University Surakarta. The survey was conducted at six

plots treatment. The treatment consisted of control, borax 30 kg / ha and pahitan,

borax 0.3 g/200 ml and pahitan, borax 0.3 g / 200 ml, flusulfamide 0.012 g (4 g of

formulation) and pahitan, and flusulfamide 0.012 g (4 g of formulation). Observed

variables include disease incidence, disease severity, the effectiveness decrease of

club root, healthy weight of lateral roots, heavy of crop, the yield of crop/ha,

increase the yield of crop, diameter of crop, crop solidity, and microbial

populations on cabbage rizhosfer. The data are analyzed descriptively by using

the T test.

(12)

xii

ABSTRAK

Salah satu penyakit utama kubis adalah akar gada yang disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae Wor. Upaya pengendalian akar gada pada lahan terkontaminasi berat telah dilakukan, namun belum efektif memecahkan permasalahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas ekstrak daun pahitan (Tithonia diversifolia Grey) dan boraks untuk mengendalikan akar gada kubis pada lahan endemi. Penelitian dengan metode survei dilaksanakan pada enam plot perlakuan meliputi kontrol, boraks 30 kg/ha dan pahitan, boraks 0,3 g/200 ml dan pahitan, boraks 0,3 g/200 ml, flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan, dan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi). Variabel pengamatan meliputi insidens penyakit, keparahan penyakit, nilai efektivitas penurunan akar gada, berat akar lateral sehat, berat krop, hasil krop/ha, peningkatan hasil krop, diameter krop, kepadatan krop, dan populasi mikrob pada rizhosfer kubis. Data hasil pengamatan yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan uji T.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa boraks, flusulfamide, dan kombinasinya dengan pahitan efektif menurunkan tingkat keparahan penyakit sebesar 30-46 % dan meningkatkan hasil krop 71-148 %. Penambahan pahitan dapat meningkatkan hasil krop masing-masing 6,4 % dan 17,5 % dari perlakuan boraks dan flusulfamide.

Kata kunci : kubis, akar gada, Tihonia diversifolia Grey , boraks

1)

Peneliti adalah mahasiswa Jurusan/Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta

2)

Pembimbing Utama

3)

Pembimbing Pendamping

EKSTRAK DAUN PAHITAN (Tithonia diversifolia Grey) DAN BORAKS UNTUK PENGENDALIAN AKAR

GADA PADA KUBIS

Triana Rahmanti N1)

(13)

xiii

ABSTRACT

One of the major diseases of cabbage is club root caused by Plasmodiophora brassicae Wor. Club root control efforts on heavy contaminated lands has been carried out, but they have not effectively solved the problems yet. This research aimed to evaluate the effectiveness leaf extract of pahitan (Tithoniadiversifolia

Grey) and borax to control club root of cabagge in the endemic land. The survey was conducted with six plots of treatment. The treatment consisted of control, borax 30 kg / ha and pahitan, borax 0.3 g/200 ml and pahitan, borax 0.3 g / 200 ml, flusulfamide 0.012 g (4 g formulation) and pahitan, and flusulfamide 0.012 g (4 g of formulation). Observed variables include disease incidence, disease severity, the effectiveness decrease of club root, healthy weight of lateral roots, heavy of crop, the yield of crop/ha, increase the yield of crop, diameter of crop, crop solidity, and microbial populations on cabbage rizhosfer. The data are analyzed descriptively by using the T test.

The results showed that borax, flusulfamide, and combinations with pahitan effectively reduced the disease severity about 30-46 % and increase the yield of crop about 71-148 %. Pahitan can increase the yield of crop 6.4 % and 17.5 % on borax and flusulfamide treatment respectively.

Key word : cabbage, club root, Tihonia diversifolia Grey , borax

4)

Peneliti adalah mahasiswa Jurusan/Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta

5)

Pembimbing Utama 6)

Pembimbing Pendamping

“PAHITAN” LEAF EXTRACT (Tithonia diversifolia Grey)

AND BORAX FOR CONTROL CLUB ROOT OF CABBAGE

Triana Rahmanti N1)

(14)

xiv

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan kebutukan bahan makanan menjadi semakin meningkat. Salah satu

kebutuhan pangan tersebut yaitu sayuran yang mengandung vitamin dan mineral yang penting bagi tubuh manusia. Kubis

merupakan salah satu jenis sayuran utama di dataran tinggi dan merupakan sayuran penting di Indonesia. Kubis

merupakan salah satu jenis sayuran daun yang berasal dari daerah subtropis yang telah lama dikenal dan dibudidayakan

di Indonesia. Produksi kubis tersebut selain untuk memenuhi keperluan dalam negeri, juga merupakan komoditas ekspor.

Kubis termasuk kelompok enam besar sayur segar yang diekspor yaitu bersama-sama dengan kentang, tomat, lombok,

dan bawang merah (Rukmana, 1994).

Pengembangan budidaya kubis telah meluas di wilayah nusantara, tetapi rata-rata hasil nasional masih rendah.

Faktor yang sampai sekarang belum dapat diatasi adalah serangan penyebab penyakit pada kubis. Salah satu penyakit

utama kubis adalah akar gada yang disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae Wor. Gejala penyakit ini berupa

pembengkakan pada jaringan akar, yang dapat mengganggu fungsi akar seperti translokasi zat hara dan air dari dalam

tanah ke daun. Keadaan ini menyebabkan tanaman menjadi layu, kerdil, kering, dan akhirnya mati. Penyakit ini pertama

kali dilaporkan di Amerika Serikat pada 1852. Pada akhir abad ke-19, akar gada menyebabkan kehancuran besar proporsi

tanaman kubis di St Petersburg, Rusia (Michelle, 2009). Di Tawangmangu, serangan patogen akar gada dapat

menimbulkan kerusakan hingga 100 % atau gagal panen (Hadiwiyono & Supriyadi, 1997). Penyakit ini juga merupakan

penyakit penting di daerah sentra kubis-kubisan lain seperti di Jawa dan Sumatra.

P. brassicae termasuk cendawan tanah yang bersifat endoparasit obligat, dan jika tidak ada tanaman inang, di

lapangan dapat bertahan lama hingga 10 tahun dalam tanah dengan membentuk spora rehat. Cicu (2006)

mengemukakan bahwa jika tanah telah terinfestasi oleh P. brassicae, maka patogen tersebut akan selalu menjadi faktor

pembatas dalam budidaya tanaman famili Brassicaceae karena patogen ini mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap

perubahan lingkungan dalam tanah.

Upaya pengendalian akar gada pada lahan terkontaminasi berat telah dilakukan, namun belum efektif

memecahkan permasalahan. Sampai sekarang para petani masih tetap mengandalkan pestisida kimia, tetapi fungisida

kimia untuk akar gada kurang tersedia. Boraks merupakan bahan kimia yang fungisidal dan banyak digunakan untuk

mengendalikan akar gada di luar negeri, namun belum digunakan untuk pengendalian di Indonesia. Boraks

(Na2B4O7.10H2O) merupakan kristal lunak yang mengandung unsur boron, berwarna dan mudah larut dalam air (Oliveoile,

2008). Aplikasi boron pada tanah dapat digunakan untuk pengelolaan akar gada. Penelitian menunjukkan bahwa aplikasi

tersebut dapat mengurangi serangan akar gada secara signifikan dengan penambahan boraks 20 kg/ha (Porth et al.,

2009).

Penggunaan fungisida kimia dapat menimbulkan masalah baru yaitu pencemaran lingkungan, resistensi, dan

berkurangnya mikroorganisme yang menguntungkan. Oleh karena itu, pembatasan penggunaan fungisida kimia perlu

dilakukan, misalnya mengganti dengan fungisida nabati seperti ekstrak daun pahitan (Tithonia diversifolia Grey) (Owolade

et al., 2004).

B. Perumusan Masalah

Akar gada merupakan salah satu kendala utama pada budidaya kubis. Apabila suatu lahan telah terkontaminasi

oleh patogen ini, maka untuk waktu kurang lebih 10 tahun penyakit ini akan bertahan di lokasi tersebut dalam bentuk

spora, walaupun tidak ditanami kubis-kubisan selama kurun waktu tersebut (Djatnika, 1993). Pengendalian secara kimia

masih menjadi teknik yang menarik bagi petani karena efektivitasnya yang lebih tampak. Boraks merupakan bahan kimia

(15)

xv

klasik yang bersifat fungisidal dan banyak digunakan untuk mengendalikan akar gada di luar negeri, namun bahan ini

dapat menimbulkan dampak negatif pada lingkungan, sehingga penggunaannya perlu dibatasi.

Pestisida nabati menarik untuk digunakan karena dampak negatif yang relatif kecil, tetapi pestisida ini tidak

seefektif pestisida sintetik. Secara umum pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal

dari tumbuhan, yang relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas. Oleh karena terbuat dari

bahan alami, pestisida nabati tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena

residu mudah hilang (Novizan, 2002). Salah satu pestisida nabati tersebut yaitu ekstrak daun pahitan. Ekstrak daun

pahitan telah dilaporkan dapat menekan intensitas akar gada pada tingkat rumah kaca dan juga nematisidal terhadap

Meloidogyne spp. Permasalahan yang dirumuskan adalah sejauh mana efektivitas ekstrak daun pahitan dan boraks dalam

mengendalikan akar gada kubis di lahan endemi?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas ekstrak daun pahitan (T. diversifolia) dan boraks untuk

mengendalikan akar gada kubis pada lahan endemi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kubis

Kubis merupakan tanaman asli daerah pesisir sungai sekitar mediteran, kemudian tersebar luas ke daerah tropis seperti India, Nepal, Filipina, dan Indonesia. Klasifikasi kubis dalam Arief (1990) adalah sebagai berikut

Divisio : Spermatophyta

(16)

xvi

menyirip, pinggir daun rata dan ada yang bergelombang. Warna daun hijau kelam (Sunarjono, 2004).

Bunga kubis tersusun majemuk. Setiap kuntum memiliki empat mahkota bunga berwarna kuning. Benang sari berjumlah enam, tersusun dalam dua lingkaran. Putik tunggal agak rendah sehingga penyerbukan sendiri sangat dimungkinkan. Buah bertipe siliqua atau disebut polong, karena mirip dengan tipe polong atau legum dari Fabaceae (suku polong-polongan) berbentuk langsing memanjang dengan dua ruang. Satu polong memiliki sejumlah biji sekitar belasan hingga 20-an. Biji berukuran kecil (diameter 1 mm) berbentuk bulatan dan terbungkus oleh cangkang berwarna hitam dengan permukaan yang tidak rata. Biji ini tahan disimpan bertahun-tahun (Wikipedia, 2010).

Kubis baik ditanam di dataran tinggi dengan ketinggian 1.000 – 3.000 m dpl. Akan tetapi, ada varietas kubis yang dapat ditanam di dataran rendah seperti K-Y cross dan K-K cross. Kubis dapat tumbuh pada tanah dengan pH 6-7. Kubis tumbuh dengan baik pada tanah gembur jenis tanah liat berpasir, mengandung bahan organik, serta suhu udara rendah dan lembab. Kubis yang ditanam di dataran rendah dan bersuhu tinggi, akan sulit membentuk krop dan berbunga (Sunarjono, 2004).

B. Akar Gada

Patogen tular tanah Plasmodiophora brassicae menyebabkan penyakit akar gada (club root) pada tanaman Brassicae. Patogen ini dapat membentuk spora rehat yang dapat bertahan hidup dalam tanah atau pada sisa-sisa tanaman dalam jangka waktu lama. Patogen dapat menular melalui berbagai perantara seperti perlengkapan usaha tani, bibit, hasil panen, pupuk kandang, air permukaan, dan melalui angin (Cicu, 2006).

P. brassicae merupakan jamur lendir, pembentukan puru atau distorsi

terjadi pada akar laten dan memberikan bentuk sebuah klub atau gelendong. Ini adalah penyakit penting, yang mempengaruhi sekitar 10 % dari total wilayah budidaya di seluruh dunia (Wikipedia, 2009).

(17)

xvii

Djatnika (1993) mengemukakan bahwa kelengasan tanah yang tinggi baik untuk perkembangan spora rehat dan mengadakan infeksi pada inang. Pada kelengasan tanah 45 % di bawah kapasitas lapang, infeksi P. brassicae pada inang rendah. P. brassicae pada tanah masam berkembang sangat baik, tetapi pada tanah alkalin (±pH 8) terhambat.

Siklus penyakit dimulai dengan perkecambahan satu zoospora primer dari satu zoospora rehat haploid dalam tanah. Zoospora primer ini mempenetrasi rambut akar dan masuk kedalam sel inang. Perkecambahan spora terjadi pada pH 5,5-7,5 dan tidak berkecambah pada pH 8. Kisaran suhu bagi perkembangan patogen adalah 17-25 0C dengan suhu minimum 12 0C (Khakim, 2009).

Gejala tanaman kubis yang terserang oleh P. brassicae jelas terlihat pada keadaan cuaca panas atau siang hari yang terik yang ditandai daun-daun layu seperti kekurangan air. Apabila serangan patogen berlanjut menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat sehingga tanaman menjadi kerdil. Pada stadium serangan lanjut kubis tidak dapat membentuk krop yang akhirnya mati. Bagian akar yang terinfeksi akar gada terjadi pembesaran sel (bengkak), sehingga akar membesar dengan ukuran tergantung dari lama infeksi (Djatnika, 1993).

C. Pahitan (Tithonia diversifolia)

Pestisida nabati adalah bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang dapat digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Pestisida nabati dapat berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul), pembunuh dan bentuk lainnya. Pestisida nabati secara umum berbahan dasar dari tumbuhan, yang relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan alami atau nabati maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan, dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan karena residu mudah hilang (Dinas Pertanian dan Kehutanan, 2009).

(18)

xviii

Jenis : Tithonia diversifolia Grey

T. diversifolia adalah tanaman perdu yang tumbuh dengan tinggi 1-3 meter,

bunga berwarna kuning, berbunga pada akhir musim hujan dan produksi biomassa daun cukup banyak serta tahan kekeringan, kandungan N tanaman berkisar antara 3,1-5,5 %, K sebesar 2,5 - 5,5 %, dan P sebesar 0,2 – 0,55%. Produksi biomassa sebesar 16,4 ton per hektar per tahun dapat dihasilkan oleh T. diversifolia, kerena tanaman ini cepat tumbuh, dan mampu membentuk semak setiap tiga bulan (Barrios et al., 2005).

Hasil penelitian Bintoro (2008) menunjukkan bahwa T. divesifolia

mengandung senyawa fenol yang dapat bersifat toksik terhadap patogen tanaman. Daun pahitan mengandung senyawa aktif flavonoid yang termasuk dalam senyawa fenol. Flavonoid memiliki efek penghambatan pertumbuhan dan sporulasi jamur. Kandungan senyawa tersebut pada pahitan dapat dimanfaatkan sebagai fungisida nabati untuk mengendalikan jamur patogen pada tanaman.

T. diversifolia atau Mirasolia diversifolia dikenal sebagai bunga matahari Meksiko dan di Afrika Barat dikenal sebagai tanaman hias. Tithonia termasuk dalam famili Asteraceae, gulma tahunan yang dapat tumbuh tinggi mencapai 2,5 m dan dapat beradaptasi pada berbagai jenis tanah. Berdasarkan pengamatan di Nigeria, tanaman ini tersebar secara luas dan tumbuh di sepanjang tepi sungai dan di lahan pertanian yang dibudidayakan. Penelitian mengenai kandungan Tithonia terus dilakukan karena tanaman ini memiliki biomassa dengan nutrisi yang tinggi. (Olabode et al.,2007).

D. Boraks

(19)

xix

herbisida nonselektif. Pada tingkat yang lebih rendah, boraks digunakan sebagai pupuk tanaman. Boron diambil dari tanah sebanding dengan jumlah boron dalam tanah dan terakumulasi dalam tanaman (Varak, 2005).

Selama lebih dari 50 tahun, boron dikenal mampu mempengaruhi P.

brassicae pada tanaman inang. Konfirmasi dari bukti yang diperoleh bahwa

percobaan-percobaan yang dilakukan di lingkungan yang terkendali dan di lapangan menunjukkan penghambatan boron terhadap perubahan morfogenik plasmodium ke sporangium di rambut akar atau sel epidermis (Dixon, 2009).

Penelitian di Skotlandia menunjukkan bahwa menambahkan 15-20 ppm boron (seperti boraks) menjadi cairan starter di awal pemupukan dan bertujuan untuk mengurangi infeksi penyakit. Bahan kimia ini dapat menghambat perkembangan infeksi P. brassicae pada rambut akar (Dixon, 2008).

Saat ini, ada bukti yang muncul bahwa boron dapat memberikan peranan penting dalam mengurangi efek serangan. Selama lima belas tahun serangkaian percobaan yang dilakukan oleh tim Strathclyde telah meyakinkan dan menunjukkan bahwa penerapan boron dengan konsentrasi tertentu untuk penanaman bibit dapat mengurangi gejala club root dan karena aplikasi tersebut dapat melindungi hasil panen ke tingkat yang signifikan (Anonim, 1999).

E. Hipotesis

(20)

xx

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan Maret 2010 yang bertempat di Desa

Pancot Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, ketinggian 1200 m di atas permukaan laut dengan pH tanah

6,65, dan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lahan endemis patogen akar gada, bibit kubis varietas New

Summit, dolomit, ekstrak daun pahitan, boraks, flusulfamide (Nebijin 0,3 DP), Rose Bengal Agar (RBA) Chloramphenicol,

Tripsic Soy Agar (TSA), dan Starch-Casein Nitrate Agar (SCNA).

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan, blender, penggaris, kamera digital, mikroskop, tabung

reaksi, petridish steril, pipet, beaker glass.

C. Cara Kerja Penelitian

1. Cara Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan survei pada enam plot perlakuan, sebagai berikut :

Paket Perlakuan Deskripsi

A Kontrol (perlakuan petani)

B Boraks 30 kg/ha dan pahitan

C Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam dan pahitan

D Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam

E Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam dan pahitan

F Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam

2. Pelaksanaan Penelitian a. Persemaian

Persemaian benih kubis dilakukan dalam rumah plastik persemaian. Tanah yang akan digunakan untuk persemaian disterilkan dengan uap panas selama 5 jam dikukus dalam alat kukus drum. Media persemaian terdiri dari tanah yang telah steril ditambah dengan kompos dengan perbandingan 2:1. Pengecambahan di atas tanah steril kemudian ditutup dengan daun pisang. Setelah 2-3 hari dibuka dan dibiarkan selama 1 minggu kemudian dipindahkan dalam kantong plastik persemaian.

b. Pengolahan Lahan

(21)

xxi

Pengolahan lahan dilakukan satu minggu sebelum tanam. Tanah diolah dengan kedalaman 20-30 cm dengan cangkul agar tanah terbalik sehingga diperoleh kondisi tanah yang memiliki aerasi dan drainase yang baik. Kemudian dilakukan pengapuran dengan pemberian dolomit dengan dosis 1,5 kg/10 m2. Pemupukan dasar dengan pemberian pupuk organik serta NPK. Dosis pupuk organik yang diberikan 2,5 kg/10 m2, pupuk NPK (Ponska) 200 kg/ha, dan pupuk urea 100 kg/ha.

Pembuatan bedengan dengan ukuran 12 x 1,5 m2, kemudian pemberian tanah dengan boraks dan fungisida sesuai dengan perlakuan. Masing-masing plot perlakuan terdiri dari dua bedengan. Perlakuan boraks 30 kg/ha disesuaikan dengan luas bedengan yang telah dibuat, boraks 0,3 g/200 ml dan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam.

c. Penanaman

Penanaman dapat dilakukan setelah boraks dan fungisida diplikasikan satu minggu sebelum tanam. Penanaman dilakukan pada pagi hari. Bibit kubis dapat ditanam setelah berumur 2-3 minggu, dengan jarak tanam 50x50 cm.

d. Pembuatan Ekstrak Daun Pahitan

Ekstrak daun pahitan dibuat dengan cara menghaluskan daun pahitan 50 g yang masih segar dengan menggunakan blender, kemudian mencampur daun pahitan yang telah dihaluskan ke dalam 1000 ml air sehingga diperoleh ekstrak daun pahitan 5%. Penyiraman ekstrak daun pahitan tiap tanaman sebanyak 200 ml dan dilakukan dua mingguan sejak tanam.

e. Pemeliharaan

Pemeliharaan meliputi pengairan, pengendalian gulma, dan pemupukkan susulan. Pengairan dengan menggunakan air irigasi. Pemupukan susulan pertama dilakukan pada umur 3 mingu setelah tanam dengan pupuk NPK (Ponska) dosis 5 g/tanaman, dan pemupukan susulan kedua pada umur 7 minggu setelah tanam dengan dosis 5 g/tanaman. Pengendalian gulma kubis dapat dilakukan saat tanaman mulai ditumbuhi gulma.

f. Panen

Pemanenan kubis dilakukan pada umur 70 hari setelah pindah tanam.

(22)

xxii

1. Nilai Area of under the disease progress curve (AUDPC)

Nilai AUDPC diperoleh dari hasil pengamatan insidens penyakit. Perhitungan AUDPC untuk mengetahui jumlah penyakit dalam suatu populasi yang merupakan area di bawah kurva perkembangan penyakit.

i

dengan : x = insidens penyakit, dan t = waktu pengamatan (hari ke-0,7,14,21,28,35).

Pengamatan insidens penyakit dilakukan terhadap 100 tanaman sampel yang berposisi di tengah petak perlakuan, yang direncanakan untuk dilaksanakan seminggu sekali dengan cara melihat secara visual kelayuan tanaman pada siang hari (pukul 10.00-12.00 WIB).

Pengamatan keparahan penyakit dilakukan terhadap 30 tanaman sampel yang ditentukan secara sistematik dengan pola X. Pengukuran dilakukan dengan metode penyekoran kerusakan akar menggunakan skala 0 sampai 5 yang dilakukan dengan cara mencabut tanaman pada saat panen.

Penjabaran skoring sebagai berikut: 0 = tidak ada serangan, 1 = kerusakan akar 1-20 %, 2 = kerusakan akar 21-40 %, 3 = kerusakan akar 41-60 %, 4 = kerusakan akar 61-80 %, 5 = kerusakan akar lebih dari 80 % (Hadiwiyono, 1997).

(23)

xxiii

Nilai efektivitas merupakan persentase penurunan keparahan penyakit setiap perlakuan yang dibandingkan dengan kontrol.

dengan : NE = Nilai Efektivitas, a = keparahan kontrol, dan b = keparahan perlakuan. 3. Berat Akar Lateral Sehat

Pengamatan berat akar lateral sehat dilakukan dengan cara mencabut tanaman pada saat panen. Akar dipisahkan dari tanaman kubis dan dibersihkan. Akar lateral sehat ditimbang setelah dipisahkan dari akar yang sakit.

4. Berat Krop

Pengamatan berat krop dilakukan pada saat panen. Krop ditimbang setelah dipisahkan dari tanaman kubis.

5. Peningkatan Hasil Krop

Perhitungan peningkatan hasil krop dapat dhitung setelah mengkonversikan hasil krop per ha. Cara menghitung hasil krop per ha yaitu dengan menghitung jumlah berat krop dalam luasan 1,5 x 3 m2 pada setiap perlakuan, setelah diperoleh jumlah berat krop tersebut maka dikonversikan menjadi hasil/ha. Kemudian dapat menghitung peningkatan hasil krop dengan rumus sebagai berikut.

Peningkatan hasil krop =

6. Diameter Krop

Pengamatan berat krop dilakukan pada saat panen. Diameter krop diukur dengan menggunakan penggaris setelah krop dipisahkan dari tanaman.

7. Kepadatan Krop

Pengamatan kepadatan krop dengan cara menghitung berat krop/ volume krop (g/cm3). Perhitungan volume krop dengan menggunakan rumus volume elips

yaitu V = , dengan r = jari-jari krop.

8. Populasi Mikrob pada Rizhosfer Kubis

(24)

xxiv

Tanah dikeringanginkan selama dua hari sebelum dilakukan pengenceran. Pengenceran tanah 10-1 dilakukan dengan cara menimbang tanah 10 g dimasukan dalam erlenmeyer kemudian ditambah aquades 90 ml. Pengenceran 10-2 diambil dari pengenceran 10-1 sebanyak 1 ml dimasukan dalam tabung reaksi dan ditambah aquades 9 ml. Pengenceran dilakukan sampai dengan pengenceran 10-12.

Pengamatan populasi mikrob dengan menggunakan media selektif Rose Bengal Agar (RBA) + 100 µg/L Chloramphenicol pH 6,0 untuk jamur, Tripsic Soy Agar (TSA) pH 7,0 untuk bakteri, Starch-Casein Nitrate Agar (SCNA) pH 7,2 untuk actinomycetes. Pengamatan jamur pada pengenceran 10-2 dan 10-3, bakteri pada pengenceran 10-9 sampai 10-12, dan actinomycetes pengenceran 10-3 dan 10-4. Mengambil 0,1 ml filtrat hasil pengenceran dengan pipet dan diteteskan ke dalam petridish, kemudian menuangkan media dan diratakan dengan cara menggerakkan petridish sejajar permukaan hingga sampel tersebar merata dalam media.

Populasi jamur dihitung setelah 4 hari inkubasi, sedangkan populasi bakteri diamati satu hari setelah inkubasi. Populasi actinomycetes dihitung setelah diinkubasi selama 7 hari pada suhu 40 oC.

E. Analisis Data

Data hasil pengamatan yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan uji T

(25)

xxv

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Intensitas Penyakit

Intensitas penyakit dinyatakan menjadi dua yaitu insidens dan keparahan penyakit. Intensitas penyakit dinyatakan dengan insidens apabila penyakit bersifat sistemik dengan serangan patogen cepat atau lambat akan menyebabkan kematian atau tidak berproduksi. Penyakit dengan gejala dan akibat yang bervariasi, maka intensitas penyakit dinyatakan dengan keparahan penyakit.

1. Nilai AUDPC

Gejala penyakit akar gada mulai nampak pada umur kubis 21 HST. Hasil perhitungan nilai AUDPC disajikan pada gambar di bawah ini.

Gambar 1. Diagram batang nilai AUDPC dari pengamatan minggu pertama sampai dengan minggu ke-5

Keterangan : A : Kontrol (perlakuan petani) B : Boraks 30 kg/ha dan pahitan

C : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam dan pahitan D : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam

(26)

xxvi

Rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji T

pada taraf 5 %

Hasil perhitungan nilai AUDPC (Gambar 1) diperoleh nilai tertinggi pada kontrol yaitu 1.572,67. Nilai terendah pada perlakuan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan yaitu 583,33. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua perlakuan baik pada perlakuan boraks dan flusulfamide dapat menekan insidens penyakit secara signifikan.

Hasil penelitian Dixon (1985 cit. Dixon, 2009), bahwa natrium tetraborat (boraks) yang diterapkan telah mencapai hasil penurunan yang signifikan pada indeks penyakit dalam tiga tahun berturut-turut dari studi lapangan. Kajian yang lebih mutakhir dari Webster & Dixon (1991) telah menunjukkan bahwa dalam lingkungan dengan konsentrasi boron ditinggikan terdapat efek yang signifikan baik dalam fase rambut akar dan fase kortikal dari P. brassicae.

Perlakuan kombinasi flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan dapat menurunkan insidens penyakit paling tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan hasil nilai AUDPC yang terendah. Tanaka et al. (1999) melaporkan bahwa flusulfamide mempengaruhi tahap awal dalam siklus hidup P. brassicae. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ketika kubis Cina tumbuh pertama di tanah yang mengandung flusulfamide, club root benar-benar ditekan, hal ini menunjukkan flusulfamide bertindak langsung pada spora rehat. Flusulfamide diduga dapat menghambat perkecambahan spora rehat atau menurunkan viabilitas spora-spora primer yang terlepas dari spora rehat.

Perlakuan pemberian boraks dan flusulfamide yang dikombinasikan dengan pahitan juga dapat menurunkan insidens penyakit. Penggunaan pahitan Tithonia

dapat menyumbangkan senyawa-senyawa yang dapat berfungsi sebagai fungisida alami. Owolade et al. (2004) melaporkan bahwa ekstrak segar Tithonia secara signifikan mengurangi insidens dan tingkat keparahan penyakit, bercak coklat pada kacang tunggak.

(27)

xxvii

2. Keparahan Penyakit

Pengukuran keparahan dilakukan dengan metode penyekoran kerusakan akar. Keparahan akar gada tertinggi pada kontrol yaitu rata-rata sebesar 80 %. Sebagian besar sampel pada kontrol berada pada skor yang tinggi (4 dan 5) dan tidak ada skor 0. Rata-rata keparahan penyakit terendah pada perlakuan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan yaitu 42,67 %. Hasil pengamatan keparahan penyakit disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Keparahan penyakit dan efektivitas boraks, flusulfamide dan kombinasinya dengan ekstrak daun pahitan dalam mengendalikan akar gada kubis

Perlakuan Keparahan

E : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap

lubang tanam dan pahitan 42,67 ± 0,03 d 46,67

F: Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap

lubang tanam 50,67 ± 0,02 bc 36,67

Keterangan : Rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji

T pada taraf 5 %

(28)

xxviii

diolah. Selain itu, perlakuan terhadap tanaman dengan metode penyiraman menunjukkan adanya infeksi, atau pembengkakan umumnya di ujung sistem akar, tetapi akar utama bebas penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa penyiraman tanah dengan fungisida hanya cukup untuk melindungi sistem akar utama tetapi tidak melindungi akar yang tumbuh di daerah luar penyiraman fungisida.

Penelitian ini berbeda dengan hasil tersebut karena fungisida yang diaplikasikan berbeda. Perlakuan boraks 0,3 g/200 ml (boraks siram) telah mampu melindungi akar baik pada akar utama maupun pada akar lateral. Dengan demikian pemberian boraks baik dengan penyiraman maupun olah dapat menurunkan tingkat keparahan penyakit. Perlakuan boraks dan flusulfamide yang dikombinasikan dengan pahitan dibandingkan dengan perlakuan boraks dan flusulfamide tanpa pahitan secara signifikan dapat menurunkan keparahan penyakit.

Hasil perhitungan nilai efektivitas (Tabel 1) menunjukkan nilai efektivitas masing-masing perlakuan yang dibandingkan dengan kontrol. Nilai efektivitas tertinggi yaitu 46,67 % pada perlakuan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan dan nilai terendah yaitu 30,83 % pada perlakuan boraks 30 kg/ha dan pahitan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian boraks, flusulfamide, dan kombinasinya dengan pahitan mampu menurunkan keparahan penyakit sebesar 30-46%.

B. Berat Akar Lateral Sehat

Berat akar lateral sehat merupakan bagian akar yang menunjukkan bahwa akar terhindar dari infeksi penyakit. Berat akar lateral sehat ini berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit. Apabila volume akar yang terserang akar gada semakin besar, maka berat akar lateral sehat menjadi lebih sedikit.

(29)

xxix

Gambar 2. Diagram batang bobot akar sehat pada kubis setelah sepuluh minggu perlakuan

Keterangan : A : Kontrol (perlakuan petani) B : Boraks 30 kg/ha dan pahitan

C : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam dan pahitan D : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam

E : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam dan pahitan F : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam

Rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji T

pada taraf 5 %

Boraks telah lama dikenal memiliki kemampuan dalam mengontrol penyakit dan telah diterapkan pada tanah yang terkontaminasi P. brassicae. Boraks yang mengandung unsur boron, dengan pemeliharaan konsentarsi boron pada rizhosfer akan membatasi kemampuan zoospora P. brassicae untuk menembus dan menginfeksi akar rambut sehingga dapat mengurangi timbulnya gejala. Dixon (1991) menemukan bahwa boron mempengaruhi perkembangan P. brassicae

(30)

xxx

menghambat pembengkakan. Bohnsack & Albert (1977 cit. Donald & Porter, 2009) mengemukakan bahwa boron berfungsi sebagai aktivator hormon auksin dalam pembelahan dan pembesaran sel. Melalui regulasi aktivitas auksin, boron dapat mempertebal dinding sel sehingga mengganggu gerakan P. brassicae dalam tanaman inang dan tanaman akan lebih tahan terhadap serangan penyakit. Infeksi terhadap rambut akar dapat ditekan sehingga dapat meningkatkan berat akar lateral sehat.

Perlakuan tanah dengan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan menunjukkan nilai tertinggi berat akar lateral sehat. Hal ini juga gayut dengan intensitas penyakit yang menunjukkan nilai paling rendah. Hasil penelitian Tanaka

et al. (1999) menunjukkan bahwa flusulfamide secara langsung bertindak melawan

spora rehat. Perlakuan yang tidak diaplikasikan flusulfamide menunjukkan bahwa spora rehat berkecambah pada frekuensi tinggi, sementara spora rehat yang diperlakukan flusulfamide sangat sedikit yang berkecambah. Hal ini mempengaruhi penekanan terhadap infeksi patogen terhadap akar dan berat akar lateral sehat menjadi lebih tinggi.

Perlakuan boraks 0,3 g/200 ml dan pahitan menunjukkan berat akar lateral sehat lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan boraks 0,3 g/200 ml. Hasil yang sama pada perlakuan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan menunjukkan berat akar lateral sehat lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi). Hal ini menunjukkan bahwa pahitan memberikan pengaruh dalam meningkatkan berat akar lateral sehat.

C. Berat Krop

Infeksi P. brassicae pada akar tanaman mengakibatkan penyerapan air dan unsur hara dari tanah menuju ke seluruh bagian tanaman menjadi terganggu. Apabila penyerapan air dan unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman terganggu, maka akan membatasi pertumbuhan terutama pertumbuhan berat krop.

(31)

xxxi

bahwa semua perlakuan boraks, flusulfamide, dan kombinasinya dengan pahitan mampu meningkatan berat krop.

Gambar 3. Diagram batang berat krop setelah sepuluh minggu perlakuan

Keterangan : A : Kontrol (perlakuan petani) B : Boraks 30 kg/ha dan pahitan

C : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam dan pahitan D : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam

E : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam dan pahitan F : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam

Rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji T

pada taraf 5 %

Tabel 2. Hasil krop dalam ton/ha

Perlakuan Hasil krop

(ton/ha)

Peningkatan Hasil Krop

(%)

A : Kontrol (perlakuan petani) 18,74 ± 2,92 a -

B : Boraks 30 kg/ha dan pahitan 32,07 ± 3,01 b 71,13 C : Boraks 0,3 g/200 ml dan pahitan 37,52 ± 3,05 c 100,21

(32)

xxxii

E : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap

lubang tanam dan pahitan 46,52 ± 0,82 d 148,24

F: Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap

lubang tanam 39,59 ± 1,99 c 111,26

Keterangan : Rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji

T pada taraf 5 %

Perhitungan hasil krop pada Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai terendah 18,74 ton/ha pada kontrol. Nilai tertinggi pada perlakuan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan yaitu 46,52 ton/ha. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan boraks, flusulfamide dan kombinasinya dengan pahitan dapat meningkatan hasil krop. Semua perlakuan memberikan hasil yang memuaskan terhadap peningkatan hasil krop, dengan peningkatan hasil mencapai 71 - 148 %.

Perlakuan boraks 0,3 g/200 ml dan pahitan secara deskriptif menunjukkan hasil krop lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan boraks 0,3 g/200 ml. Hasil yang sama dengan perlakuan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan menunjukkan hasil krop lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi). Hal ini menunjukkan bahwa dengan pemberian pahitan dapat meningkatkan hasil krop. Penambahan pahitan dapat meningkatkan hasil krop masing-masing 6,4 % dan 17,5 % dari perlakuan boraks dan fungisida. Olabode

et al. (2007) menyatakan bahwa Tithonia dengan status nutrisi yang tinggi

berpotensial dalam memperbaiki tanah untuk peningkatan produktivitas. Sulistijowati & Gunawan (1997 cit. Gusnidar & Prasetyo, 2008) melaporkan bahwa dalam ekstrak daun Tithonia terdapat 12 senyawa terpenoid, 14 senyawa flavonoid dan gula. Semua komponen yang terdapat dalam daun Tithonia, berpengaruh terhadap pertumbuhan padi. Pemberian Tithonia pada dosis 5 ton/ha mampu memperbaiki parameter pertumbuhan padi (Gusnidar & Prasetyo, 2008).

D. Diameter Krop

(33)

xxxiii

maksimum dapat menghasilkan diameter krop yang tinggi dan diikuti berat krop yang tinggi pula. Diameter krop pada Gambar 4 menunjukkan bahwa diameter terendah pada kontrol 12,42 cm, sedangkan diameter krop tertinggi pada perlakuan flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan 17,97 cm. Namun demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa semua perlakuan mampu meningkatkan diameter krop.

Gambar 4. Diagram batang diameter krop setelah sepuluh minggu perlakuan

Keterangan : A : Kontrol (perlakuan petani) B : Boraks 30 kg/ha dan pahitan

C : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam dan pahitan D : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam

E : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam dan pahitan F : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam

Rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji T

pada taraf 5 %

(34)

xxxiv

E. Kepadatan Krop

Gambar 5 menunjukkan bahwa kepadatan krop tertinggi pada kontrol yaitu 0,64 g/cm3, sedangkan nilai terendah yaitu 0,37 g/cm3 pada perlakuan boraks 30 kg/ha dan pahitan. Hasil ini menunjukkan bahwa krop yang paling padat adalah pada kontrol sedangkan kepadatan yang paling rendah adalah perlakuan boraks 30 kg/ha dan pahitan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua perlakuan kurang dapat meningkatkan kepadatan krop.

Gambar 5. Diagram batang kepadatan krop setelah sepuluh minggu perlakuan

Keterangan : A : Kontrol (perlakuan petani) B : Boraks 30 kg/ha dan pahitan

C : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam dan pahitan D : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam

E : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam dan pahitan F : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam

Rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji T

(35)

xxxv

Kepadatan krop yang semakin tinggi dipengaruhi banyak jumlah daun yang membentuk krop. Hal ini berarti bahwa selama pertumbuhan krop terus bertambah padat dan semakin berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua perlakuan menghasilkan kepadatan krop yang rendah dibandingkan dengan kontrol.Hal ini karena semua perlakuan memiliki rata-rata volume krop yang tinggi dan diikuti peningkatan rata-rata berat krop, tetapi berat krop yang dihasilkan tidak dapat menyeimbangkan untuk meningkatkan kepadatan krop yang dibandingkan dengan kontrol.

F. Populasi Mikrob pada Rizhosfer Kubis

Mikroorganisme memainkan peran penting dalam proses tanah, antara lain : merupakan daur ulang penting nutrisi tanaman, pembentukan humus, dan detoksifikasi pestisida. Penggunaan fungisida menjadi perhatian utama karena dimungkinkan akan memberikan efek berbahaya pada mikrob tanah, yang berkontribusi untuk kesuburan tanah.

(36)

xxxvi

Keterangan : A : Kontrol (perlakuan petani)

B : Boraks 30 kg/ha dan pahitan

C : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam dan pahitan D : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam

E : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam dan pahitan F : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam

spk = satuan pembentukan koloni

Rata-rata populasi jamur, bakteri, atau actinomycetes yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji T pada taraf 5 %

Gambar 6 menunjukkan bahwa populasi jamur terendah pada perlakuan boraks 0,3 g/200 ml yaitu 3,68 spk/g tanah. Populasi tertinggi jamur pada perlakuan boraks 30 kg/ha dan pahitan yaitu 4,17 spk/g tanah. Pengamatan populasi bakteri, nilai terendah pada perlakuan boraks 0,3 g/200 ml yaitu 11,94 spk/g tanah. Nilai tertinggi populasi bakteri yaitu 13,74 spk/g tanah pada kontrol. Hasil yang sama juga pada perhitungan populasi actinomycetes, nilai terendah pada perlakuan boraks 0,3 g/200 ml yaitu 3,90 spk/g tanah. Populasi actinomycetes tertinggi pada kontrol yaitu 5,00 spk/g tanah.

Berdasarkan hasil tersebut, perlakuan boraks 0,3 g/200 ml memberikan pengaruh dalam menurunkan populasi mikrob baik jamur, bakteri, dan actinomycetes. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan boraks yang tidak dikombinasikan dengan pahitan dapat menurunkan populasi mikrob pada rizhosfer kubis. Pengaruh tersebut dapat berakibat pada aktivitas mikrob, sehingga dapat mengurangi keseimbangan biologi tanah yang dapat menurunkan kesuburan tanah. Dengan demikian, perlu dilakukan kombinasi perlakuan dengan pahitan yang merupakan fungisida nabati yang tidak menimbulkan efek negatif. Selain sebagai fungisida nabati, pahitan juga dapat memberikan bahan organik bagi tanah, sehingga dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh pengaruh aplikasi boraks.

(37)

xxxvii

Pengendalian penyakit dengan pemberian fungisida secara umum dapat memberikan pengurangan akar gada yang signifikan dengan pemberian tingkat tinggi dari fungisida. Pemberian fungisida tingkat rendah dapat memberikan hasil yang signifikan ketika infeksi tidak parah (Cheah et al., 1998).

Penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan boraks dan fungisida mempunyai potensi dalam mengendalikan akar gada. Perlakuan boraks, flusulfamide, dan kombinasinya dengan pahitan dibandingkan dengan kontrol dapat menurunkan insidens dan keparahan penyakit, sehingga mampu meningkatkan berat akar lateral sehat, hasil krop, dan diameter krop. Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian dengan pemberian borax, flusulfamide dan kombinasinya dengan pahitan efektif menurunkan intensitas penyakit dan meningkatkan hasil.

Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa boraks menekan insidens penyakit lebih rendah dibandingkan dengan flusulfamide. Hal ini menyebabkan berat akar lateral sehat dan hasil krop pada perlakuan boraks juga lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan flusulfamide. Dixon (1991) menemukan bahwa boron mempengaruhi perkembangan P.brassicae dengan memperlambat laju pematangan spora. Hasil penelitian Tanaka et al. (1999) menunjukkan bahwa flusulfamide secara langsung bertindak melawan spora rehat. Dengan demikian, perlakuan flusulfamide dapat lebih efektif menekan perkembangan patogen dibandingkan dengan boraks karena flusulfamide mempengaruhi tahap awal dalam siklus hidup P. brassicae dengan menghambat perkecambahan spora rehat.

Perlakuan yang memberikan hasil terbaik pada penelitian ini adalah flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan dalam menurunkan intensitas penyakit dan meningkatkan hasil. Keparahan penyakit dapat ditekan dengan efektivitas 46,67 % dan peningkatan hasil krop 148,24 %. Shimotori et al. (1996 cit.

(38)

xxxviii

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Perlakuan boraks, flusulfamide, dan kombinasinya dengan pahitan efektif menurunkan intensitas penyakit akar gada, sehingga meningkatan berat akar lateral sehat, hasil krop, dan diameter krop.

2. Pemberian boraks, flusulfamide, dan kombinasinya dengan pahitan mampu menurunkan tingkat keparahan penyakit sebesar 30-46 %, sehingga dapat meningkatkan hasil krop 71-148 %.

3. Penambahan pahitan dapat meningkatkan hasil krop masing-masing 6,4 % dan 17,5 % dari perlakuan boraks dan flusulfamide.

B. Saran

Tithonia sebagai fungisida nabati perlu dikembangkan dengan cara

pemberian per tanaman menggunakan konsentrasi dan waktu aplikasi yang lebih beragam yaitu dengan membuat konsentrasi pahitan menjadi lebih pekat dan waktu aplikasi yang lebih intensif.

(39)

xxxix

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1999. Of cabbages and things. www.earthclinic.com/Remedies/html. Internet Version. Diakses: 20 Oktober 2009.

Arief, A. 1990. Hortikultura. Andi Offset. Yogyakarta.

Barrios, E, JG Cobo, IM Rao, RJ Thomas, E Amezquita, JJ Jimenez, & MA Rondon. 2005. Fallow management for soil fertility recovery in tropical andean agroecosystems in Columbia. J. Agee. 110: 29-42.( Abstr.)

Bintoro, M.H. 2008. Pestisida Organik pada Tanaman Lada. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. (skripsi).

Cheah, LH, BBC Page, & JP Koolaard. 1998. Soil-incorporation of fungicides for control of club root of vegetable brassicas. In: Proc. 51st N.Z. Plant Protection Conf. P. 130-133.

Cicu. 2006. Penyakit akar gada (Plasmodiophora brassicae Wor.) pada kubis-kubisan dan upaya pengendaliannya. J. Litbang Pertan. 25(1): 16-21.

Dinas Pertanian dan Kehutanan. 2009. Pestisida nabati. www.jakarta.go.id/html. Internet Version. Diakses: 24 September 2009.

Dixon, GR. 1991. Primary and secondary stages of Plasmodiophora brassicae (club root) as affected by metallic cations and pH. In: Beemster AB, GJ Bollen, M Gwerlagh, MA Ruissen, B Schippers, A Tempel (eds). Biotic interactions and soil-borne

diseases, no. 23. Developments in Agricultural and Managed Forestry Ecology.

Elsevier Amsterdam. P. 381–386.

---. 2008. Integrated control of clubroot.

www.hortweek.com/news/../Integrated-control-clubroot. Horticulture Week. Internet Version. Accessed: 24 Sept. 2009.

(40)

xl

---. 2009. Repression of the morphogenesis of Plasmodiophora brassicae Wor. by boron. www.actahort.org/members/showpdf. International Society for Horticultural Science. Internet Version. Accessed: 22 Oct. 2009.

Djatnika. 1993. Penyakit-Penyakit tanaman kubis dan cara pengendalian. Dalam: Permadi A.H., dan S. Sastrosiswojo (eds). Kubis. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Penelitian Hortikultura. Lembang. P. 51-59.

Donald, C & I Porter. 2009. Integrated control of club root. J. Plant Growth Regul. 28:289–303.

Gusnidar & T.B. Prasetyo. 2008. Pemanfaatan Tithonia diversifolia pada tanah sawah yang dipupuk P secara starter terhadap produksi serta serapan hara N, P, dan K tanaman padi. J. Tanah Trop. 13 (3) : 209-216.

Hadiwiyono. 1997. Evaluasi beberapa taktik pengendalian akar gada (Plasmodiophora

brassicae Wor.) Dalam: Prosiding Konggres XVI dan Seminar Ilmiah PFI di

Palembang. Fakultas pertanian UNSRI. P.445-447.

--- & Surpiyadi. 1997. Penyakit “menthol” sebagai penganggu baru tanaman kubis-kubisan di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Caraka Tani. 13(2):16-23.

Herbarium Bandungense. 2009. Klasifikasi tumbuhan Tithonia diversifolia.

www.sith.itb.ac.id/herbarium/index.php. Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati.

Internet Version. Diakses: 24 September 2009.

Khakim. 2009. Penyakit akar gada (Plasmodiophora brassicae Wor.) pada kubis-kubisan dan pengendalian.

tanduranijo.blogspot.com/.../penyakita-akar-gada-plasmodiophora.html. Internet Version. Diakses: 20 Oktober 2009.

Michelle. 2009. Plasmodiophora brassicae. www.cals.ncsu.edu/course/pp728/. Department of Plant Pathology. Internet Version. Accessed : 20 Oct 2009.

(41)

xli

Olabode, OS, O Sola, WB Akanbi, GO Adesina, & PA Babajide. 2007. Evaluation of

Tithonia diversifolia (Hemsl.) a gray for soil improvement. World J. Agric. Sci. 3 (4): 503-507.

Oliveoile. 2008. Formalin dan boraks. oliveoile.wordpress.com. Internet Version. Accessed: 11 August 2009.

Owolade, OF, BS Alabi, YOK Osikanlu, & OO Odeyemi. 2004. On-farm evaluation of some plant extracts as biofungicide and bioinsecticide on cowpea in Southwest Nigeria.

J. Food. Agric Environ. 2 (2): 237-240. (Abstr.)

Porth, G, F Mangan, R Wick, & W Autio. 2009. Evaluation of management strategies for

club root disease of Brassica crops.

www.umassvegetable.org/...crop.../evaluation_of_management_strategies_for_c

lubroot_disease_of_brassica_crops.pdf. University of Massachusetts. Internet

Version. Diakses: 20 Oktober 2009.

Rukmana, R. 1994. Bertanam Kubis. Kanisius. Yogyakarta.

Sunarjono, H. 2004. Bertanam 30 Jenis Sayuran. Penebar Swadaya. Jakarta.

Tanaka, S, S Kochi, H Kunita, S Ito, & MK Iwaki. 1999. Biological mode of action of the fungicide, flusulfamide, agains Plasmodiophora brassicae (club root). Europ. J.

Plant Pathol. 105: 577-584.

Varak, C. 2005. Evaluation of human and ecological risk for boraks stump treatments

Horse Heli Project Scott River Ranger District.

www.fs.fed.us/r5/projects/projects/horseheli/07/boraks-report.pdf. Internet

Version. Accessed: 24 Sept. 2009.

Webster, MA & GR Dixon. 1991. Boron, pH and inoculum concentration as factors limiting root hair colonization by Plasmodiophora brassicae Wor. Mycol Res. 95:74–79. (Abstr.).

(42)

xlii

Gambar

Gambar 1. Diagram batang nilai AUDPC dari pengamatan minggu pertama sampai
Tabel 1. Keparahan penyakit dan efektivitas boraks, flusulfamide dan kombinasinya
Gambar 2.  Diagram batang bobot akar sehat pada kubis setelah sepuluh minggu perlakuan
Tabel 2. Hasil krop dalam ton/ha
+4

Referensi

Dokumen terkait

Maka balk derajat maupun kemudaannya, kedudukan atau harta bendanya, keberanian atau kekuatannya, semua itu tidak mampu untuk menghalangi Abdullah bin Zubeir untuk menjadi

ANALISIS TINGKAT PENDAPATAN PETANI (KOPI SAGARA) DALAM PENGELOLAAN KEBUN KOPI DI DESA MARENTE KECAMATAN ALAS.. KABUPATEN

Berdasarkan nilai indeks pada Tabel 3, diketahui bahwa nilai indeks dominansi yang terbesar adalah mata air Citaman dengan nilai indeks dominansi 0,94, sedangkan nilai

Dengan melihat hadits yang diriwayatkan Abdullâh bin ‘Umar dan beberapa riwayat lain serta melihat proses turunnya syariat yang tanpa diawali sebab-sebab tertentu serta beberapa

Untuk mengatasi persaingan yang semakin ketat tersebut guna meningkatkan penjualan, maka penulis merancang dan membuat sebuah desain dan bentuk website ECommerce dengan menggunakan

Pada jenjang Magister (S2), seorang mahasiswa harus menyelesaikan beban studi sekurang-kurangnya 36 (tiga puluh enam) SKS dan sebanyak-banyaknya 50 (lima puluh) SKS yang

Perusahaan Pertambangan karena untuk membiayai operasionalnya membutuhkan dana besar untuk itu salah satu pemenuhanya menggunakan hutang yang besar pula, tetapi

untuk menyelesaikan tugas skripsi dengan judul "Perbedaan lntensitas Mengalami Kekerasan Dalam Pacaran Pada Remaja Putri Ditinjau Dari Peran Seksual" di lingkungan