• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Pola Dermatoglifi Tangan Pada Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (Les) Dengan Tangan Orang Normal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perbedaan Pola Dermatoglifi Tangan Pada Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (Les) Dengan Tangan Orang Normal"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

PERBEDAAN POLA DERMATOGLIFI TANGAN PADA PASIEN

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (LES) DENGAN TANGAN

ORANG NORMAL

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Sofi Wardati

G0009203

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta

(2)

commit to user

ii

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul: Perbedaan Pola Dermatoglifi Tangan pada Pasien

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dengan Tangan Orang Normal

Sofi Wardati, NIM: G0009203, Tahun: 2013

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Pada Hari Senin, Tanggal 7 Januari 2013

Pembimbing Utama

Nama : Selfi Handayani, dr., M.Kes

NIP : 19670214 199702 2 001 (...)

Pembimbing Pendamping

Nama : Dr. H. Endang Sutisna S, dr., M.Kes

NIP : 19560320 198312 1 002 (...)

Penguji Utama

Nama : Sri Indratni, dr., M.Or

NIP : 19480530 197609 2 001 (...)

Anggota Penguji

Nama : Sumardiyono, SKM, M.Kes

NIP : 19650706 198803 1 002 (...)

Surakarta,

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM

(3)

commit to user

iii

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 3 Januari 2013

(4)

commit to user

iv

ABSTRAK

Sofi Wardati, G0009203, 2013. Perbedaan Pola Dermatoglifi Tangan pada Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dengan Tangan Orang Normal. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Latar Belakang : Lupus eritematosus sistemik (LES) memiliki etiopatogenesis yang bersifat multifaktorial dengan faktor genetik yang berperan paling penting. Di sisi lain, proses pembentukan dermatoglifi ditentukan secara genetik dan dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah terdapat gambaran pola dermatoglifi tangan pasien lupus yang berbeda jika dibandingkan dengan responden normal.

Metode : Penelitian ini bersifat observasional dengan pendekatan cross sectional. Terdapat dua kelompok sampel dalam penelitian ini yaitu kelompok pasien LES sejumlah 30 orang dari komunitas lupus Solo dan Jogjakarta dan kelompok kontrol yang merupakan responden normal sebanyak 30 orang. Parameter dermatoglifi yang diteliti adalah pola sidik jari (arch, ulnar dan radial loop,whorl), jumlah total guratan/ Total Ridge Count (TRC), frekuensi triradius total/ Pattern Intensity Index (PII) dan besar sudut atd pada telapak tangan. Metode yang digunakan untuk pengambilan cetakan sidik jari menggunakan tinta. Hasil dari dua kelompok dinilai secara deskriptif dan dianalisis secara statistik menggunakan uji Chi-Square dan uji Kolmogorov-Smirnov untuk pola sidik jari dan uji t tidak berpasangan untuk TRC, PII dan sudut atd.

Hasil : Hasil penelitian secara deskriptif didapatkan frekuensi tipe pola sidik jari pasien LES terdiri dari ulnar loop (54.00%), whorl (43.67%), radial loop (1.67%) dan arch (0.67%). Sedangkan pada kelompok responden normal frekuensi pola sidik jari terdiri dari ulnar loop (62.33%), whorl (34.00%), arch (2.33%) dan radial loop (1.33%). Rerata TRC pasien LES adalah 154.10 dan pada responden normal 143.13. Rerata PII pasien LES adalah 14.30 dan pada responden normal 13.17. Besar sudut atd dibedakan antara telapak tangan kanan dan tangan kiri. Rerata sudut atd kanan pasien LES adalah 41.33 dan pada responden normal adalah 41.40. Sedangkan rerata sudut atd kiri pasien LES adalah 41.52 dan pada responden normal 41.77. Analisis secara statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan frekuensi pola sidik jari pada digit I dexter (p = 0.035) dimana pola whorl mengalami peningkatan frekuensi pada pasien LES. Tidak terdapat perbedaan signifikan pada parameter dermatoglifi lainnya.

Simpulan : Terdapat perbedaan pola dermatoglifi tangan digit I dexter pasien LES dengan tangan orang normal yang mana frekuensi pola whorl mengalami peningkatan pada pasien LES.

(5)

commit to user

v

ABSTRACT

Sofi Wardati, G0009203, 2013. The Differences of Hand Dermatoglyphics between Patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE ) and Normal People. Mini Thesis. Faculty of Medicine Sebelas Maret University Surakarta.

Background: The ethiopathogenesis of SLE probably involves multifactorial interaction where genetic aspect is the most important factor. Meanwhile, the development of dermatoglyphics is based on genetic factor though environment could also influence the process. The aim of this study was to examine the differences of dermatoglyphics between patients with SLE compared to normal respondents.

Methods: This study was an observational research with cross-sectional approach. This study was conducted on 30 clinically confirmed SLE patients and an equal number of controls. Different qualitative dermatoglyphic patterns (arch, ulnar and radial loop, whorl) and quantitative dermatoglyphic measures such as Total Ridge Count (TRC), Pattern Intensity Index (PII) and atd angle were studied on SLE patients and controls. Dermatoglyphic patterns were observed by ink method printing The results of this two-sample-groups measurement were descriptively analyzed and compared by using Chi-Square and Kolmogorov-Smirnov tests for digital pattern type and also employs t-test for analyzing TRC, PII, and atd angle.

Results: The digital pattern frequencies of SLE patients include ulnar loop (54.00%), whorl (43.67%), radial loop (1.67%), and arch (0.67%). Meanwhile the digital pattern frequencies of normal respondents are ulnar loop (62.33%), whorl (34.00%), arch (2.33%) and radial loop (1.33%). The TRC average of patients with SLE is 154.10 while the TRC average of normal respondents is 143.31. The PII average of patients with SLE is 14.30 while the PII average of normal respondents is 13.17. The atd angle is different between right and left hand, as shown in the findings that the average of atd angles for patients with SLE are 41.33 and 41.52 for right and left hand respectively, whereas in the normal respondents the average of atd angles for both hands are 41.40 and 41.77. Analytical measurement leads to a significant difference of digital pattern on the I digit dexter (p = 0.035) where whorl type shows the increasing frequency in patients with SLE. The remaining features analysed resembled the control values or showed non-significant differences.

Conclusion: There was a significant difference on hand dermatoglyphics between SLE patients and normal people in which the frequency of whorl in digit I dexter is increasing significantly in patients with SLE.

(6)

commit to user

vi

PRAKATA

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan kekuatan, kesabaran, dan kemudahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan laporan penelitian dengan judul “Perbedaan Pola Dermatoglifi Tangan pada Pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dengan Tangan Orang Normal”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kendala dalam penyusunan skripsi ini dapat teratasi atas pertolongan Allah SWT melalui bimbingan dan dukungan banyak pihak. Untuk itu, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku ketua tim skripsi.

3. Selfi Handayani, dr., M.Kes selaku Pembimbing Utama yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan motivasi, bimbingan, dan nasihat bagi penulis.

4. Dr. H. Endang Sutisna S, dr., M.Kes, selaku Pembimbing Pendamping yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan nasihat. 5. Sri Indratni, dr., M.Or, selaku Penguji Utama yang telah memberikan banyak

masukan dalam penyusunan skripsi ini.

6. Sumardiyono, SKM, M.Kes, selaku Anggota Penguji yang telah memberikan banyak masukan dalam penyusunan skripsi ini.

7. Tim skripsi FK UNS, Mb Sri Eni Narbiatty, SH, MH dan Bp. Sunardi yang telah banyak membantu.

8. Komunitas Lupus Griya Kupu Surakarta dan Komunitas Lupus Omah Kupu Jogjakarta, atas segala bantuan dan keterbukaannya dalam menerima penulis. 9. Syamsidhuha Foundation Bandung, selaku pemberi research sponsorship. 10.Aba, Uma, Kak Kiki, Mbak Hayu, Kak Lala dan Kak Suma terimakasih untuk

semua doa, semangat, motivasi, yang tak pernah berhenti tercurahkan.

11.Dezca, Zahra, Sekar, Sabila, Nita, sahabat seperjuangan yang luar biasa, semoga kita bisa sukses bersama.

12.Keluarga Besar Anatomi 2009 (Hanif, Ami, Galih, Anindhito, Syahmi, Ibnu, Banjar, Bagus, Vasa).

13.Sembilan belas sahabat yang selalu bisa jadi rumah pelepas lelah meskipun terpisah jarak, Inggrid, Agietia, Anind, Wina, Icha, Tria, Annisa, Wulan, Tisa, Rissa, Dinda, Alenia, Ajeng, Resty, Auditerry, Meity, Niken, Irene, Adityo. 14.Semua pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yang tidak dapat

penulis sebutkan satu persatu.

Meskipun tulisan ini masih jauh dari sempurna, penulis berharap skripsi ini bisa bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

(7)

commit to user

vii

DAFTAR ISI

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. LANDASAN TEORI ... 5

A. Tinjauan Pustaka ... 5

1. Dermatoglifi ... 5

2. Lupus Eritematosus Sistemik (LES) ... 16

3. Kaitan antara Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dengan Dermatoglifi Tangan... 28

(8)

commit to user

viii

C. Hipotesis ... 35

BAB III. METODE PENELITIAN ... 36

A. Jenis Penelitian ... 36

B. Lokasi Penelitian ... 36

C. Subjek Penelitian ... 36

D. Rancangan Penelitian ... 39

E. Identifikasi Variabel Penelitian ... 39

F. Definisi Operasional, Alat Ukur dan Skala Pengukuran Variabel Penelitian ... 40

G. Alat dan Bahan Penelitian ... 41

H. Cara Kerja ... 42

I. Teknik Analisis Data ... 42

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 45

A. Karakteristik Sampel ... 45

B. Gambaran Pola Sidik Jari ... 47

C. Analisis Statistik ... 51

BAB V. PEMBAHASAN ... 60

BAB VI. PENUTUP ... 70

A. Simpulan... 70

(9)

commit to user

ix

DAFTAR PUSTAKA ... 71

(10)

commit to user

x

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Kelompok Penelitian dan Jenis

Kelamin ... 45

Tabel 4.2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Klasifikasi Usia ... 46

Tabel 4.3 Distribusi Pola Sidik Jari pada Kelompok Pasien LES ... 47

Tabel 4.4 Distribusi Pola Sidik Jari pada Kelompok Responden Normal ... 48

Tabel 4.5 Karakteristik Jumlah Guratan Total (TRC) pada Dua Kelompok Penelitian ... 51

Tabel 4.6 Karakteristik Indeks Intensitas Pola (PII) pada Dua Kelompok Penelitian ... 52

Tabel 4.7 Karakteristik Besar Sudut atd Telapak Tangan Kanan pada Dua Kelompok Penelitian ... 52

Tabel 4. 8 Karakteristik Besar Sudut atd Telapak Tangan Kiri pada Dua Kelompok Penelitian ... 53

Tabel 4. 9 Hasil Uji Normalitas dengan Uji Kolmogorov-Smirnov... 54

Tabel 4.10 Nilai p dari Uji t Tidak Berpasangan untuk TRC, PII, dan Sudut atd ... 55

Tabel 4.11 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Digiti Dexter I ... 56

Tabel 4.12 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Digiti Dexter II... 56

Tabel 4.13 Hasil Uji Chi Square DigitiDexter III ... 57

Tabel 4.14 Hasil Uji Chi Square DigitiDexter IV ... 57

Tabel 4.15 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov Digiti Dexter V ... 57

Tabel 4.16 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov DigitiSinister I... 57

(11)

commit to user

xi

Tabel 4.18 Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov DigitiSinister III ... 58

Tabel 4.19 Hasil Uji Chi Square DigitiSinister IV ... 58

Tabel 4.20 Hasil Uji Chi Square DigitiSinister V ... 58

Tabel 4.21 Hasil Uji Kolmogorv-Smirnov Pola Dermatoglifi 10 Jari ... 59

(12)

commit to user

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Pattern Area……….……….……….……… 9

Gambar 2.2. Tipe Pola Sidik Jari……… 11

Gambar 2.3. Pattern Area pada Dermatoglifi Palmar……… 15

Gambar 2.4.Principal Line pada Telapak Tangan ……… 15

Gambar 2.5 Skema Kerangka Pemikiran ……… 34

(13)

commit to user

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Hasil Penelitian Dermatoglifi Tangan pada Pasien LES di Komunitas Lupus Griya Kupu Surakarta dan Komunitas Lupus Omah Kupu Jogjakarta

Lampiran 2. Data Hasil Penelitian Dermatoglifi pada Responden Normal

Lampiran 3. Hasil Analisis Uji Normalitas dengan Uji Kolmogorov-Smirnov

Lampiran 4. Hasil Analisis Uji t Tidak Berpasangan untuk Nilai TRC, PII, dan Sudut atd antara Kelompok Pasien LES dan Responden Normal Lampiran 5. Hasil Analisis Uji Chi Square untuk Tipe Pola Dermatoglifi

Masing-Masing Jari

Lampiran 6. Hasil Analisis Uji Kolmogorov-Smirnovuntuk Tipe Pola

Dermatoglifi Jari I, II, V Dexter dan I, II, III Sinister

Lampiran 7. Hasil Analisis Uji Chi Square untuk Tipe Pola Dermatoglifi pada 10 Jari

Lampiran 8. Hasil Analisis Uji Kolmogorov-Smirnov untuk Tipe Pola

Dermatoglifi pada 10 Jari Lampiran 9. Contoh Cetakan Sidik Jari

(14)

commit to user 1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan suatu penyakit autoimun kronis yang hingga saat ini belum diketahui secara pasti etiopatogenesisnya. Penyebab dari LES bersifat multifaktorial, meliputi faktor genetik, lingkungan dan hormonal (Isbagio et al, 2007). Faktor genetik merupakan faktor yang berperan penting dalam patogenesis LES. Hahn (2004) mengatakan apabila seseorang memiliki gen yang rentan terhadap LES, kemudian berinteraksi dengan faktor lingkungan yang mendukung dapat menyebabkan penyimpangan sistem imun. Penyimpangan inilah yang mendasari terjadinya LES. LES dapat menyebabkan peradangan pada setiap organ tubuh, yaitu kulit, persendian, ginjal, paru-paru, dan sistem saraf. Oleh karena LES bersifat sistemik dan hingga saat ini belum ditemukan pengobatan yang bersifat kausatif, maka diagnosis secara dini sangat dibutuhkan agar penatalaksanaan yang tepat dapat diberikan.

(15)

commit to user

namun kelainan atau gangguan pada pertumbuhan fetus selama periode pembentukan dermatoglifi, sekitar trimester pertama, baik yang dikarenakan faktor herediter maupun faktor lingkungan, dapat merubah atau mempengaruhi formasi dari pola dermatoglifi. (Verbov, 1970; David, 1977; Ramani et al, 2011).

Sejumlah penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa seseorang dengan sindrom aberasi kromosom memiliki keganjilan pada pola dermatoglifi (Vormittag et al, 1981). Sindrom tersebut antara lain sindrom Down, sindrom Turner dan sindrom Klinefelter (Elsaadany, 2010). Bahkan saat ini pola dermatoglifi tangan dapat digunakan sebagai alat diagnostik terhadap penyakit skizofrenia, leukemia dan berbagai kelainan kongenital yang memiliki nilai akurasi cukup tinggi untuk meramalkan prognosis. (Ramani et al, 2011).

(16)

commit to user

mengalami kerentanan terhadap LES. Hal inilah yang menjadi alasan peneliti mengangkat tema pola dermatoglifi tangan pada pasien LES.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian di atas maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

Apakah terdapat perbedaan pola dermatoglifi tangan pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dengan tangan orang normal?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus sebagai berikut :

1. Tujuan Umum :

Mengetahui perbedaan pola dermatoglifi tangan pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dengan tangan orang normal.

2. Tujuan Khusus :

a. Mendeskripsikan perbedaan pola dermatoglifi tangan pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dengan tangan orang normal.

b. Menganalisis perbedaan pola dermatoglifi tangan pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dengan tangan orang normal.

(17)

commit to user

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian meliputi manfaat teoritis dan manfaat aplikatif sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai gambaran pola dermatoglifi yang khas pada tangan pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES).

2. Manfaat Aplikatif

(18)

commit to user

5 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Dermatoglifi

Istilah dermatoglifi (dari dua kata Yunani- Derma = Kulit, Glyphe = guratan) pertama kali diperkenalkan oleh Cummins dan Midlo pada tahun 1926 yang memiliki arti suatu studi mengenai gambaran guratan-guratan dermal (epidermal ridge) yang paralel pada jari-jari tangan (fingerprint) dan kaki, serta telapak tangan (palmarprint), dan telapak kaki (Ramani et al., 2011). Pola sidik jari tidak ada yang sama antara satu orang dengan yang lainnya (Raden, 2006). Herschel (1858, dalam Ramani et al. 2011) menyatakan bahwa sidik jari tidak akan berubah sepanjang waktu dan oleh karenanya dapat digunakan sebagai suatu alat identifikasi diri yang reliabel. Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan pola dermatoglifi tidak terbaca yaitu luka, terbakar, ketiadaan ekstremitas atas, penyakit dan usia tua. Menurut Rafiah (1990) guratan epidermis pada perempuan

bersifat lebih halus dibandingkan pada pria dan makin lanjut usia dapat menyebabkan makin kendurnya tegangan dermis sehingga terkadang guratan tidak nampak jelas.

(19)

commit to user

kehamilan (Ramani et al., 2011; Raden, 2006). Schaumann dan Alter (1976, dalam Ramani et al., 2011 dan Verbov, 1970) menyatakan bahwa proses pembentukan dermatoglifi ditentukan oleh sifat-sifat genetik, namun segala kelainan atau gangguan baik yang berasal dari lingkungan ataupun herediter dapat mempengaruhi pola dermatoglifi tersebut. Naffah (1977) mendapatkan adanya faktor genetika yang mempengaruhi pembentukan pola guratan pada kulit ujung jari yang diturunkan secara poligenik. Sifat poligenik tersebut menyebabkan terjadinya variasi fenotip pola guratan, karena adanya interaksi dari sejumlah gen. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian pada anak kembar identik, terdapat korelasi kuat pada jumlah guratan dan tipe pola dermatoglifi kedua anak tersebut. Dermatoglifi terbentuk pada bantalan atau tonjolan kulit telapak tangan (volar pad), telapak kaki, jari tangan, dan jari kaki (Raden, 2006).

Informasi mengenai lokus bagian mana yang mempengaruhi dermatoglifi belum dapat dipastikan, namun berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa kromosom 21 terlibat dalam penentuan total jumlah guratan dan posisi triradius axial. Kromosom lain yang diduga berpengaruh terhadap dermatoglifi adalah kromosom X dan kromosom 18 (Alter, 1970).

(20)

commit to user

lipatan-lipatan, kemudian akan menjadi guratan epidermis. Volar pad yang tinggi akan membentuk pola whorl, sementara volar pad yang rendah akan membentuk pola arch dan volar pad yang menengah dan mengarah ke satu sisi dari jari akan membentuk pola loop. Periode kritis pembentukan guratan epidermis ini terjadi pada kehamilan berumur tiga bulan. Proses pembentukan dermatoglifi pada kaki terjadi dua sampai tiga minggu setelah proses pembentukan dermatoglifi pada tangan dimulai.

Menurut Penrose konfigurasi yang abnormal dari guratan epidermis dapat terjadi apabila terjadi perubahan keseimbangan cairan pada tingkatan awal embriogenik (Ramani et al., 2011). Sebelum kehamilan dua belas minggu faktor lingkungan dapat mempengaruhi dermatoglifi. Hal inilah yang menyebabkan banyak ahli yang menduga setiap gangguan lingkungan sebelum usia dua belas minggu kehamilan dapat mempengaruhi perkembangan embrio dan juga dapat mempengaruhi garis tangan dan sidik jari (Sufitni, 2007).

(21)

commit to user

Tahun 1892 Galton mengklasifikasikan tipe pola guratan ujung jari tangan (sidik jari) menjadi tiga tipe pola, yaitu arch (garis melengkung), loop (garis melingkar) dan whorl (pusaran). Meskipun banyak subklasifikasi lain yang ada, klasifikasi ini adalah klasifikasi paling mudah dan paling sering digunakan (Ramani et al., 2011; Verbov, 1970; Raden, 2006). Pengklasifikasian tersebut didasari atas banyaknya jumlah triradius. Triradius adalah suatu titik pertemuan tiga sistem guratan yang setiap elemennya membentang dengan arah berbeda dan bertemu pada satu titik tersebut (Ramani et al., 2011; Verbov, 1970). Sudut yang dibentuk antara tiga guratan pada triradius adalah kurang lebih 120 derajat (Ramani et al., 2011).

(22)

commit to user

whorl dan loop, pattern area akan dikelilingi oleh type line dan di dalam pattern area akan ditemukan inti (core), triradius, dan guratan-guratan. Pada gambar dapat dilihat bahwa garis A dan B adalah type line (Hoover, 2006).

Gambar 2.1

Pattern Area (Hoover, 2006)

(23)

commit to user

sehingga tidak didapatkan adanya triradius (Ramani et al., 2011; Verbov, 1970; Raden, 2006).

Tipe pola yang paling sering muncul pada sidik jari adalah tipe loop. Loop muncul kurang lebih pada 70% dari seluruh jari pada orang Inggris (Verbov, 1970). Guratan-guratan pada tipe loop berjalan paralel masuk ke pattern area pada satu sisi dari jari, lalu membelok 180 derajat dan meninggalkan pattern area pada sisi yang sama dimana guratan itu masuk. Apabila guratan terbuka ke arah tulang ulnar maka dinamakan tipe ulnar loop, sedangkan apabila terbuka ke arah tulang radial maka dinamakan tipe radialloop. Tipe pola loop memiliki satu triradius yang biasanya terletak di bagian lateral ujung jari dan selalu di sisi dimana loop tertutup (Ramani et al., 2011; Verbov, 1970; Raden, 2006).

(24)

commit to user

dengan arah yang berlawanan. Central pocket whorl/ loop adalah pola berisi loop dengan whorl yang lebih kecil terletak di dalamnya. Apabila terdapat pola yang kompleks dan tidak dapat diklasifikasikan ke dalam sub tipe di atas maka pola tersebut termasuk accidental (Ramani et al., 2011; Raden, 2006; Hoover, 2006). Tipe pola whorl dapat ditemukan pada 25% dari seluruh jari pada orang Inggris (Verbov, 1970).

Gambar 2.2 Kiri-Kanan: Tipe pola sidik jari plain arch, tented arch, ulnar loop, radial loop, plain whorl, double whorl, central pocket

loop, dan accidental (Hoover, 2006)

(25)

commit to user

paling sering muncul pada ibu jari (digit I) dan jari manis (digit IV), sementara radial loop dan arch paling sering hanya ditemukan di jari telunjuk (digit II). Jari kelingking memiliki frekuensi tertinggi untuk ulnar loop dan frekuensi terendah untuk tipe pola lainnya. Whorl dan radial loop lebih sering ditemukan pada tangan kanan. Selain itu guratan-guratan pada laki-laki cenderung terpisah lebih lebar dibandingkan pada wanita. Insidensi tipe pola arch lebih tinggi pada wanita yang menyebabkan insidensi tipe pola whorl menjadi lebih rendah (Verbov, 1970).

(26)

commit to user

total. TRC dihitung dengan cara menghitung jumlah total guratan kesepuluh jari. (Ramani et al., 2011; Verbov, 1970; Raden, 2006).

TRC untuk laki-laki memiliki nilai rata-rata 145 dan pada wanita nilai rata-ratanya adalah 127. Pengukuran TRC merupakan pengukuran yang paling konsisten dan reliabel untuk penyelidikan familial dan merupakan pewarisan karakter dimana gen adiktif sangat berperan dibandingkan pengaruh dari lingkungan yang memiliki sedikit peran. (Verbov, 1970). Selain itu terdapat yang dinamakan Pattern Intensity Index (PII) atau indeks intensitas pola. Indeks ini mengacu kepada seberapa kompleks konfigurasi guratan pada jari dan telapak tangan. PII jari diperoleh dengan cara menghitung total triradius dari sepuluh jari. Setiap satu jari dapat memiliki nilai pattern intensity 0-3. Pada plain arch nilainya adalah 0 karena arch tidak memiliki triradius. Sedangkan pada tented arch dan loop nilainya adalah 1, dan pada whorl dapat memiliki nilai 2 atau 3 (Zhou, 2001).

(27)

commit to user

digital triradius yang diberi kode dengan a, b, c, dan d. Pada beberapa telapak tangan satu digital triradius sering tidak ditemukan dan biasanya itu adalah digital triradius c. Selain digital triradius terdapat satu triradius yang terletak pada basis telapak tangan (dekat basis metacarpal IV) dan dinamakan axial triradius (t). Posisi dari axial triradius ditentukan secara genetik. Adakalanya ditemukan dua atau bahkan lebih triradius. Apabila triradius ditemukan di tengah-tengah telapak tangan maka itu dinamakan t’’, sementara apabila triradius tersebut terletak diantara t dan t” maka itu dinamakan t’.

(28)

commit to user

Pada telapak tangan terdapat yang dinamakan garis utama (principal line). Garis-garis tersebut diberi penamaan dengan menggunakan huruf besar, yaitu A, B, C, D, dan T. Setiap garis utama berpangkal pada triradiusnya (a,b,c,d,t), berjalan melengkung dan biasanya berakhir pada bagian perifer dari telapak tangan. Untuk menunjukkan posisi dari jalan keluar garis utama, batas-batas telapak tangan dibagi menjadi 13 regio, dinomori dari nomor 1 sampai 13. Pada telapak tangan kanan penomoran dimulai dari basis ibu jari lalu berputar sesuai arah jarum jam (Gambar 4). Terdapat daerah dimana tidak ditemukan pola pada telapak tangan yang dinamakan “open fields” atau bidang terbuka (Verbov, 1970).

Gambar 2.3Pattern

area pada dermatoglifi palmar (Zhou,et al.,

2002)

Gambar 2.4Principal

line pada telapak tangan (Olivier, 1969)

(29)

commit to user

keadaan yang jelas dan bersih. Metode yang biasa digunakan adalah dengan menggunakan tinta, tanpa tinta, dan elektronik print (German, 2009). Menurut Olivier (1969), teknik ideal yang bisa digunakan untuk mengambil cetakan sidik jari dan telapak tangan adalah dengan membuat pulasan pada jari dan telapak tangan dengan tinta lalu mencetaknya pada kertas. Sedangkan menurut German (2009) teknik pengambilan sidik jari tanpa menggunakan tinta dapat memberikan hasil yang lebih bagus dibandingkan menggunakan tinta atau dengan elektronik print. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dengan menggunakan tinta. Alat dan bahan yang digunakan adalah kertas stiker HVS, plastik mika, dan tinta stensil. Cetakan dermatoglifi didapat dengan melumasi ujung jari bagian distal dan telapak tangan dengan tinta stensil, lalu dicetak pada kertas stiker HVS. Setelah itu kertas sticker HVS berisi cetakan dermatoglifi ditutup dengan plastik mika.

2. Lupus Eritematosus Sistemik (LES)

(30)

commit to user

sehingga dapat mengenai seluruh organ di tubuh (Lupus Foundation of America, 2012). Oleh karena itu lupus tipe ini merupakan lupus dengan komplikasi yang paling berat sehingga penulis cenderung memilih lupus dengan tipe LES sebagai variabel dalam penelitian ini.

Cutaneus lupus adalah bentuk lain dari lupus yang terbatas menyerang organ kulit. Meskipun terdapat banyak tipe ruam dan lesi dari cutaneus lupus, ruam yang paling sering muncul adalah ruam berwarna merah, bersisik dan dengan tepi yang meninggi namun tidak terasa gatal. Ruam seperti itu dikenal dengan sebutan ruam diskoid karena bentuknya yang berupa lingkaran menyerupai lempengan disc. Contoh lain dari cutaneus lupus adalah ruam berwarna merah di daerah malar yang disebut ruam kupu-kupu. Ruam dan lesi dapat muncul di daerah wajah, leher, dan kulit kepala (daerah yang paling sering terpapar sinar matahari), atau di daerah sekitar mulut, hidung dan vagina. Perubahan warna pigmen baik di kulit maupun rambut dan kerontokan rambut juga merupakan gejala lain yang menyertai penyakit ini. Sekitar 10% dari penderita cutaneus lupus dapat berkembang menjadi LES. Akan tetapi biasanya penderita tersebut adalah penderita LES dengan gejala utama berupa ruam pada kulit (Lupus Foundation of America, 2012).

(31)

commit to user

penggunaan obat dihentikan. Sedangkan neonatal lupus adalah lupus yang menyerang neonatus dari seorang ibu yang menderita lupus ataupun penyakit kelainan sistem imun lainnya. Namun ini sangat jarang ditemukan karena bayi yang baru lahir dari seorang ibu dengan lupus didapatkan dalam keadaan yang sepenuhnya sehat (Lupus Foundation of America, 2012).

Meskipun terminologi lupus eritematosus telah dikenal sejak abad ke 19 untuk menggambarkan lesi pada kulit, namun membutuhkan waktu hampir 100 tahun untuk menyadari bahwa penyakit ini dapat bersifat sistemik, menyerang seluruh organ, dan diakibatkan oleh kelainan pada respon autoimun (Tsokos, 2011). Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan suatu penyakit peradangan kronis akibat autoimun yang dapat menyerang seluruh organ dan sistem organ tubuh seperti kulit, persendian, ginjal, paru-paru, dan sistem saraf. Penyakit autoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh tidak dapat mengenali jaringan dari tubuhnya sendiri sebagai bagian dari dirinya sehingga menyebabkan antibodi menyerang jaringannya sendiri layaknya dirinya menyerang organisme asing (Manson dan Rahman, 2005; Ginzler dan Tayar, 2008).

(32)

commit to user

Suryana, 2007). Gejala yang biasanya ditemukan pada pasien adalah ruam pada kulit, artritis, kelelahan dan demam. Manifestasi dan perjalanan LES sangat bervariasi dari yang paling ringan, hingga berat, bahkan fatal. Perjalanan penyakit ini sulit diramalkan karena bersifat episodik, memiliki masa remisi dan eksaserbasi (Ginzler dan Tayar, 2008; Hayalett dan Hardin, 1983).

Seperti yang dikatakan di atas, LES dapat menyerang seluruh organ dan sistem organ tubuh. Ini menyebabkan manifestasi klinis dari penyakit ini pada satu orang dengan orang lainnya sangat bervariasi. Gejala LES juga sangat bervariasi dan seringkali menyerupai penyakit lain seperti artritis reumatoid, multipel sklerosis dan bahkan demam berdarah. Itulah mengapa LES sering disebut sebagai penyakit 1000 wajah atau “great imitator” (Hughes, 2011; Ginzler dan Tayar, 2008). Hal inilah yang menyebabkan timbulnya kesulitan dalam penegakkan diagnosis LES. Padahal, diagnosis dini dibutuhkan untuk mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas dari penyakit ini karena hingga saat ini belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan LES (Ginzler dan Tayar, 2008).

(33)

commit to user

leukopenia, trombositopenia), paru-paru (batuk, sesak nafas), dan sistem saraf (kejang, psikosa). Manifestasi klinis keterlibatan sendi atau muskuloskeletal dijumpai pada 90% kasus lupus, walaupun artritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55% kasus (Isbagio et al., 2007).

Terdapat gejala-gejala lain yang meskipun tidak spesifik namun sering ditemukan pada pasien LES. Kelelahan merupakan gejala yang paling sering muncul. Penurunan dan peningkatan berat badan juga menjadi salah satu gejala LES. Biasanya peningkatan berat badan terjadi akibat pembengkakan pada kedua tungkai atau pembesaran perut akibat organ ginjal yang terkena. Apabila LES sedang dalam masa eksaserbasi biasanya ditandai dengan demam/ peningkatan suhu tubuh. Demam akibat LES biasanya tidak diikuti dengan rasa menggigil (Lupus UK, 2011; Isbagio et al., 2007)

Etiologi yang pasti dari LES belum diketahui dengan jelas, namun berdasarkan bukti-bukti yang ada dikatakan bahwa penyebabnya bersifat multifaktorial dan ini mencakup pengaruh faktor genetik, lingkungan dan hormonal terhadap respon imun (Isbagio et al., 2007). Namun sampai saat ini masih menjadi perdebatan faktor mana yang menjadi penyebab utama sehingga masih perlu menjadi fokus utama penelitian.

(34)

3-commit to user

10% risiko menderita penyakit tidak terbatas hanya LES, tapi juga penyakit autoimun lainnya seperti artritis reumatoid dan Sjorgen’s Syndrome. Pada kembar identik, risiko LES meningkat menjadi 25% pada saudara kembar dari pasien yang menyandang LES (Venables, 2011; Schur, 1995). Menurut Isbagio et al. (2007) sekitar 10-20% pasien LES mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang juga menderita LES. Belum ada gen tunggal yang dianggap sebagai penyebab dari penyakit LES, tetapi multipel gen diduga mempengaruhi perkembangan penyakit ini ketika dipicu oleh faktor lingkungan (Marten, 2009). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan, terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan haplotip MHC tertentu terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, serta dengan komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi ikatan komplemen (C1q, C1r, C1s, C2,

C4) telah terbukti turut berperan dalam patogenesis LES. Gen-gen lain

yang mulai terlihat ikut berperan ialah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin (Isbagio et al., 2007).

(35)

commit to user

LES pada populasi Indonesia adalah HLA-DR2 yang ternyata sama dengan yang dilaporkan pada Cina (ras Mongoloid) dan Afro-Amerika (ras Negroid). Telah diketahui bahwa harapan hidup ras Kaukasoid dengan alel kerentanan HLA-DR3 lebih baik daripada ras Mongoloid dan Negroid. Dalam kaitan dengan LES, orang-orang dengan alel HLA-DR2 diduga mempunyai respon imun yang lebih patogenik dibandingkan orang dengan alel HLA-DR3. Apakah hal ini bahwa secara genetik pasien lebih rentan terhadap LES, masih perlu penelitian lebih lanjut (Nasution dan Sumariyono, 2007). Penelitian mengenai familial lupus eritematosus sistemik telah dilakukan di Finlandia dan didapatkan hasil bahwa familial sistemik lupus eritematosus dan sporadik lupus bukanlah suatu penyakit yang berbeda. Itu artinya analisis genetik dapat diramalkan dari multipleks familial lupus atau keluarga dengan penderita lupus lebih dari satu orang dengan seluruh pasien lupus eritematosus sistemik (Koskenmies et al., 2001). Selain itu tidak didapatkan adanya perbedaan manifestasi klinik antara familial lupus dan sporadik lupus (Zhen et al., 2009).

(36)

commit to user

disebabkan oleh faktor hormonal. Estrogen terbukti sebagai hormon yang mempengaruhi aktifnya LES dalam penelitian hewan baik secara in vitro maupun in vivo (Venables, 2011). Kromosom X, tidak bergantung pada hormon, diduga berkontribusi pada patogenesis LES. Riset menunjukkan pada mencit jantan dan betina yang dikebiri dan dimanipulasi secara genetik sehingga memiliki kombinasi kromosom XX, XO (betina), XY, XXY (jantan), keberadaan dua kromosom X meningkatkan tingkat keparahan dari penyakit LES. Selain itu, di antara gen yang diketahui berperan dalam patogenesis lupus adalah CD40, dimana gen itu terletak pada kromosom X (Tsokos, 2011).

(37)

commit to user

Gross menemukan frekuensi yang tinggi dari sel B yang terinfeksi EBV pada pasien LES dibandingkan pada koresponden normal dan pasien dengan LES yang aktif memiliki sel yang terinfeksi lebih banyak dibandingkan dengan pasien yang mengalami remisi, namun Gross tidak langsung menyimpulkan bahwa EBV adalah etiologi dari lupus. Ditambah dengan kenyataan bahwa hampir 90% orang dewasa terinfeksi oleh EBV tetapi prevalensi dari LES tetaplah rendah. Ini menekankan bahwa penyebab penyakit ini bersifat multifaktorial (Cruz et al., 2007).

(38)

commit to user

Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan Autoantigen membentuk kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan. Akibatnya akan terjadi aktivasi komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut. Autoantigen yang terbentuk merupakan bagian dari sel yang mengalami nekrosis dan apoptosis (Cruz et al., 2007). Pembersihan (clearance) dari kompleks imun oleh sistem fagosit-makrofag juga mengalami gangguan pada LES sehingga akan menghambat eliminasi kompleks imun dari sirkulasi dan jaringan (Yuriawantini dan Suryana, 2007).

Hingga saat ini, penegakkan diagnosis untuk LES memerlukan suatu konsensus. Untuk membantu membedakan LES dari penyakit lainnya, dokter dari American College of Rheumatology (ACR) telah menentukan 11 kriteria gejala sebagai berikut:

a. Ruam malar : ruam merah berbatas tegas di daerah pipi cenderung menyebar ke lipatan nasolabial b. Bercak diskoid : bercak merah bersisikdi kulit dan

penyumbatan folikel rambut

c. Fotosensitif : ruam kulit kemerahan setelah terpapar sinar matahari

(39)

commit to user

jantung, dan dinding perut

f. Artritis : artritis non erosif pada dua atau lebih persendian non perifer, merupakan manifestasi yang paling sering timbul g. Gangguan ginjal : Proteinuria persisten > 0,5 gr/ hr atau +3

Cellular cast: eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran

h. Gangguan Saraf :kejang atau psikosis yang tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik

i. Gangguan Darah : Anemia hemolitik à dengan retikulosis Leukopenia < 4000/ mm3 (≥1 pemeriksaan) Limfopenia < 1500/ mm3 (≥2 pemeriksaan) Trombositopenia < 100.000/ mm3

j. Gangguan Imun : Anti-dsDNA di atas titer normal

anti-Sm (Smith) dan antibodi fosfolipid (+) k. ANA test : Anti-Nuclear Antibody, sebagai pertanda

aktifnya lupus bila ditemukan dalam darah pasien

(40)

commit to user

Pemeriksaan penunjang digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain 1) membantu penegakkan diagnosis; 2) mengikuti perkembangan penyakit (melihat apakah ada eksaserbasi atau kerusakan organ); 3) identifikasi efek merugikan dari terapi (Hahn, 2004). Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium rutin (FBC, urea dan elektrolit, urinalisis, tes fungsi hati, CRP, dan sipilis serologi) dan pemeriksaan autoantibodi (ANA-test, Anti-dsDNA, Antiphospholipid antibodi, Anti Smith (Sm) antibodies, Rheumatoid factor (Rh f), Lupus anticoagulants, Anti-Histone antibodies, Complement levels (total hemolytic complement [CH50], C3, and C4), Anti-C1q antibodies. Mengingat banyaknya pemeriksaan yang dilakukan, bila tidak terdapat berbagai macam komplikasi atau karena pertimbangan biaya maka maka dapat dilakukan permeriksaan awal yang penting seperti darah lengkap dan hitung jenis, trombosit, LED, ANA, urinalisis, sel LE dan antibodi anti-ds DNA (Kleinn dan Miller, 2003)

(41)

commit to user

terhadap penyakit. Manson (2005) menyebutkan banwa penyakit ini 10 kali lebih sering ditemukan pada wanita dibandingkan pada lelaki.

Belum ditemukan angka prevalensi yang pasti dari LES di Indonesia, namun terdapat beberapa data yang diperoleh dari pasien yang dirawat di rumah sakit. Dilakukan penelitian dengan periode yang berbeda di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus lupus; antara tahun 1972-1976 ditemukan insidensi sebesar 15 per 10.000 perawatan; antara tahun 1988 – 1990 (3 tahun) ditemukan bahwa insidensi rata-rata ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan. Dapat dilihat bahwa terdapat peningkatan insidensi dari tahun ke tahun. Ini menunjukkan bahwa pasien penyakit ini cukup banyak dan semakin meningkat (Isbagio et al., 2007). Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta, didapatkan 1,4% kasus lupus dari total kunjungan pasien di poliklinik reumatologi. Belum terdapat data epidemiologi yang mencakup semua wilayah Indonesia namun insidensi lupus dilaporkan cukup tinggi di Palembang (Nasution dan Sumariyono, 2007).

.

3. Kaitan antara Lupus Eritematosus Sistemik dengan Dermatoglifi

Tangan

(42)

commit to user

mengakibatkan banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui sifat keturunan dari dermatoglifi, kaitan antara dermatoglifi jari dan telapak tangan dengan penyakit genetik menjadi menarik untuk dipelajari. Dasar dari asumsi tersebut adalah karena banyak gen yang berpengaruh terhadap proses pembentukan dermatoglifi, terdapat kemungkinan ada gen yang membawa predisposisi penyakit genetik yang juga mempengaruhi pola guratan (bersifat pleiotropi) sehingga pola tertentu khas untuk penyakit genetik tertentu.

Pada tahun 1976 Schaumann dan Alter’s menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Dermatoglyphics in medical disorders” dan berisi ringkasan mengenai penemuan-penemuan pola dermatoglifi pada kondisi berbagai macam penyakit. Sedangkan saat ini pola dermatoglifi tangan bahkan dapat digunakan sebagai suatu alat diagnostik terhadap penyakit tertentu dan memiliki nilai akurasi yang cukup tinggi untuk meramalkan suatu prognosis. Tahun 2001, di Jerman, seorang dokter bernama dr. Alexander Rodewald berhasil mendiagnosis banyak kelainan kongenital berdasarkan gambaran tangan dengan tingkat akurasi mencapai 90%. Selain itu dr. Stowens pada tahun 2003 juga dapat melakukan hal yang sama untuk mendiagnosis skizofrenia dan leukimia (Ramani et al., 2011).

(43)

commit to user

thalidomide atau terinfeksi virus rubella maka pola normal dari dermatoglifi dapat terganggu. Selain itu pola dermatoglifi juga mengalami perubahan pada pasien dengan sindrom aberasi kromosom seperti sindrom Down (trisomi 21) dan trisomi 18.

Contoh terbaik untuk menunjukkan gangguan prenatal pada formasi dermatoglifi adalah pada penyakit sindrom Down (Trisomi 21). Sepuluh ulnar loop muncul pada sekitar 35% pasien sindrom Down dan hanya sekitar 4% pada orang normal (Verbov, 1970). Eliza (2002) menemukan bahwa pola hipotenar pada sindrom Down sangat sering berupa tipe ulnar loop sedangkan responden normal dengan tipe whorl dan ukuran sudut atd pada telapak tangan penderita sindrom Down adalah 76 – 80 sedangkan responden normal 45-49.

(44)

commit to user

kontroversi terjadi ketika ditemukannya kelainan pola dermatoglifi pada pasien skizofrenia (Penrose, 1968).

Penelitian terbaru juga menemukan adanya perbedaan signifikan beberapa parameter dermatoglifi pada pasien dengan penyakit autoimun artritis reumatoid dibandingkan responden normal. Dari hasil penemuan tersebut maka disarankan pemeriksaan dermatoglifi dapat digunakan sebagai diagnostik penyaring untuk populasi dengan risiko tinggi penyakit reumatoid artritis (Elsaadany et al., 2010).

Kelainan aberasi kromosom sering menunjukkan pola dermatoglifi yang abnormal jika dibandingkan orang sehat (Vormittag, 1981). Sedangkan pada penyakit yang diakibatkan oleh kelainan gen tunggal abnormalitas dari pola dermatoglifi jarang ditemukan (Loesch, 1983). Terdapat lebih dari 25 gen diketahui berkontribusi dalam predisposisi seseorang terhadap LES (Moser, 2009). Oleh karena itu pola dermatoglifi yang abnormal dapat ditemukan pada pasien LES karena adanya kelainan pada berbagai gen tersebut.

(45)

commit to user

simpulan yang hampir sama, yaitu meskipun ditemukan perbedaan yang signifikan pada beberapa komponen dermatoglifi tangan namun dermatoglifi tidak dapat dijadikan sebagai investigasi lebih lanjut untuk diagnosis penapisan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Schur (1990), secara signifikan ditemukan adanya perbedaan pola dermatoglifi di palmar tangan kanan, triradius medial tangan kanan, dan triradius lateral tangan kiri pada pasien LES, kerabat dekat LES, dan responden normal. Tidak ditemukan perbedaan secara imunologi dan marker genetik lainnya. Menurut penelitian tersebut, penilaian dermatoglifi, meskipun menarik, tidak dapat memberikan petunjuk untuk investigasi lebih lanjut mengenai LES.

Penelitian mengenai dermatoglifi dan LES juga dilakukan di Austria. Penelitian tersebut memberikan simpulan bahwa terdapat beberapa parameter dari dermatoglifi telapak tangan yang berbeda secara signifikan jika dibandingkan dengan responden normal. Selain itu, berdasar penelitian tersebut dikatakan bahwa pola dermatoglifi tidak memiliki keterkaitan dengan antigen HLA (Vormittag et al., 1981).

(46)

commit to user

belakang genetik. Selain itu junlah sampel yang tepat juga akan mempengaruhi hasil penelitian karena apabila sampel kurang representatif maka hasil penelitian masih perlu dipertanyakan (Vormittag et al., 1981)

.

B. Kerangka Pemikiran

(47)

commit to user

Keterangan : : menyatakan hubungan

: menyatakan pengaruh (variabel yang diteliti) : menyatakan pengaruh (variabel yang tidak diteliti)

Gambar 2.5 Skema Kerangka Pemikiran

Faktor Genetik

Lupus Eritematosus Sistemik Faktor Hormonal

Dermatoglifi prenatal

Dermatoglifi postnatal Trimester 1

kehamilan

Segala hal yang dapat menyebabkan pola dermatoglifi tidak

terbaca (Luka, terbakar, ketiadaan ekstremitas atas,

penyakit, usia tua)

Tidak Terbaca Dapat Terbaca

Faktor Lingkungan

Intrauterin

Faktor Lingkungan (Sinar matahari, infeksi, zat kimia

(48)

commit to user C. Hipotesis

(49)

commit to user 36 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah observasional analitik. Metode yang digunakan adalah metode cross sectional.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) untuk dermatoglifi tangan responden normal. Sedangkan untuk pasien LES penelitian dilakukan di Komunitas Lupus Griya Kupu Solo dan di Komunitas Lupus Omah Kupu Jogjakarta.

C. Subjek Penelitian

1. Populasi

(50)

commit to user

2. Sampel dan Teknik Sampling

Penentuan besar sampel pada analisis bivariat yang melibatkan satu variabel dependen dan satu variabel independen diambil berdasarkan teori “rule of thumb” menggunakan ukuran sampel sebesar 30 subjek penelitian (Murti, 2010). Sampel penelitian ini berjumlah 60 orang terdiri dari 30 pasien LES dari Komunitas Lupus Griya Kupu Surakarta dan Komunitas Lupus Omah Kupu Yogyakarta dan 30 responden normal dari Mahasiswa FK UNS Surakarta. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Sampel penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu :

a. Kelompok Pasien LES

Subjek penelitian yang digunakan adalah pasien LES sebanyak 30 orang dengan kriteria sebagai berikut:

1) Kriteria Inklusi

a) Pasien LES yang telah didiagnosis sesuai dengan kriteria American College of Rheumatology (ACR) oleh dokter ahli penyakit dalam

b) Anggota Komunitas Lupus Griya Kupu Surakarta atau Omah Kupu Yogyakarta

c) Semua umur

(51)

commit to user 2) Kriteria Eksklusi

a) Terdapat deformitas pada salah satu jari atau lebih yang dapat merusak pola dermatoglifi

b) Tidak memiliki anggota gerak atas sehingga tidak dapat dinilai pola dermatoglifinya

c) Menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian. b. Kelompok Kontrol

Subjek kontrol yang digunakan adalah responden normal sebanyak 30 orang dengan kriteria sebagai berikut:

1) Kriteria Inklusi

a) Mahasiswa FK UNS yang tidak menderita penyakit LES dan tidak memiliki riwayat keluarga dengan penyakit LES

b) Semua umur

c) Mahasiswa laki-laki dan perempuan d) Menandatangani informed consent 2) Kriteria Eksklusi

a) Terdapat deformitas pada salah satu jari atau lebih yang dapat merusak pola dermatoglifi

b) Tidak memiliki anggota gerak atas sehingga tidak dapat dinilai pola dermatoglifinya

(52)

commit to user

D. Rancangan Penelitian

Berikut adalah skema rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini :

Gambar 2.6 Skema Rancangan Penelitian

E. Identifikasi Variabel Peneitian

Variabel penelitian terdiri atas variabel bebas, variabel terikat dan variabel pengganggu.

1. Variabel Bebas : Lupus Eritematosus Sistemik (LES) 2. Variabel Terikat : Pola dermatoglifi tangan

3. Variabel Pengganggu : Segala hal yang menyebabkan tidak

30 pasien LES 30 orang responden normal

Pengambilan sidik jari dan telapak tangan pada ke dua

tangan

Memeriksan dan menilai pola sidik jari dan telapak tangan

pada ke dua kelompok

Uji statistik untuk membedakan kelompok pasien

(53)

commit to user

terbacanya pola sidik jari pada sampel penelitian baik karena penyakit atau akibat luka, terbakar dan lain-lain.

F. Definisi Operasional, Alat Ukur dan Skala Pengukuran Variabel

Penelitian

1. Pasien Lupus Eritematosus Sistemik

Definisi: Pasien yang telah didiagnosis menderita penyakit lupus eritematosus sistemik oleh dokter ahli penyakit dalam berdasarkan kriteria American College of Rheumatology (ACR) dan tergabung dalam Komunitas Lupus Griya Kupu Solo atau Komunitas Lupus Omah Kupu Jogjakarta. Lupus eritematosus sistemik merupakan penyakit autoimun kronis yang dapat menyebabkan peradangan pada seluruh organ dan sistem organ pada tubuh seperti kulit, persendian, ginjal, paru-paru, dan sistem saraf.

Alat ukur : Diagnosis pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) ditegakkan apabila memenuhi minimal 4 kriteria dari 11 kriteria ACR (American College of Rheumatology) dan ditegakkan oleh dokter ahli penyakit dalam.

Skala pengukuran : kategorik nominal 2. Pola dermatoglifi tangan

(54)

commit to user

telapak tangan, dan telapak kaki. Parameter yang akan diperiksa pada penelitian ini adalah pola dermatoglifi ujung jari (whorl, ulnar loop, radial loop, arch), jumlah guratan total atau Total Ridge Count (TRC), indeks intensitas pola atau Pattern Intensity Index (PII) dan besar sudut atd pada telapak tangan. Selain itu juga diperhitungkan letaknya pada area telapak tangan kanan atau kiri.

Alat ukur : observasi hasil pola dermatoglifi telapak tangan dan jari subjek penelitian dengan cara menggunakan sticker HVS dan tinta stensil.

Skala pengukuran :

a. Pola sidik jari : kategorik nominal

b. TRC : numerik

c. PII : numerik

d. Sudut atd : numerik

G. Alat dan Bahan Penelitian

(55)

commit to user

H. Cara Kerja

Cara kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mencari 30 orang pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) di

semua umur yang tergabung dalam Komunitas Lupus Griya Kupu Solo dan Komunitas Lupus Omah Kupu Jogjakarta.

2. Mencari 30 orang responden normal, semua umur, tidak memiliki riwayat keluarga dengan penyakit LES dan tidak menderita lupus di Fakultas Kedokteran UNS.

3. Mengambil cetakan sidik jari dan telapak tangan dengan cara menempelkan jari dan telapak tangan yang sudah dilumasi tinta stensil ke sticker HVS.

4. Mengidentifikasi pola sidik jari, menghitung jumlah guratan total (TRC), Pattern Intensity Index (PII), dan nilai sudut atd pada pasien LES dan responden normal.

5. Uji statistik menggunakan uji hipotesis komparatif variabel kategori tidak berpasangan (skala kategorik) dan uji hipotesis komparatif variabel numerik dua kelompok tidak berpasangan (skala numerik) untuk membedakan kelompok pasien LES dan responden normal.

I. Teknik Analisis Data

(56)

commit to user

perbedaan antara kelompok LES dan kelompok normal dilakukan uji beda dengan analisis statistik

Analisis statistik digunakan untuk menguji perbedaan proporsi atau perbedaan rerata antara dua variabel. Untuk skala kategorik digunakan uji hipotesis komparatif variabel kategori tidak berpasangan. Sedangkan uji statistik yang tepat untuk mengkaji perbedaan rerata dari dua populasi adalah uji hipotesis komparatif variabel numerik dua kelompok tidak berpasangan yaitu uji t tidak berpasangan (t test).

Uji hipotesis komparatif pada variabel kategori tidak berpasangan ada tiga, yaitu uji Chi Square, uji Fisher dan uji Kolmogorov Smirnov. Syarat uji Chi Square yang harus dipenuhi adalah sel yang mempunyai nilai expected kurang dari 5, maksimal berjumlah 20% dari jumlah sel. Apabila syarat ini tidak terpenuhi, alternatif selanjutnya adalah uji Fisher. Jika tidak memenuhi juga maka memakai uji nonparametrik Kolmogorov Smirnov.

Adapun untuk masalah skala numerik digunakan uji hipotesis komparatif numerik tidak berpasangan dua kelompok, yaitu uji t tidak berpasangan (t test). Apabila didapatkan distribusi data tidak normal maka dilakukan transformasi data. Uji alternatif untuk uji t tidak berpasangan adalah uji Mann Whitney. Data diolah dengan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 16 for Windows dengan derajat kemaknaan 0,05.

(57)

commit to user Keterangan:

Ho: Tidak terdapat perbedaan signifikan pola dermatoglifi tangan pada pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dengan tangan orang nomal.

(58)

commit to user 45 BAB IV

HASIL PENELITIAN

Telah dilakukan penelitian tentang perbedaan pola dermatoglifi tangan pada pasien LES dan responden normal selama lima bulan sejak bulan Juni – Oktober 2012. Pengambilan sampel pasien LES dilakukan di Komunitas Lupus Griya Kupu Surakarta dan Komunitas Lupus Omah Kupu Jogjakarta sebanyak 35 orang, sedangkan responden normal diambil dari Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNS sebanyak 30 orang. Hasil penelitian disajikan sebagai berikut:

A. Karakteristik Sampel

1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Kelompok Penelitian dan Jenis Kelamin Karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin dan kelompok penelitian yang terdiri dari kelompok pasien LES dan kelompok responden normal sebagaimana dipaparkan pada tabel 4.1 di bawah ini

Tabel 4.1 Karakteristik Sampel Berdasarkan Kelompok Penelitian dan Jenis Kelamin

responden normal laki-laki 4 13.3

responden normal perempuan 26 86.7

Jumlah 30 100

(59)

commit to user

Tabel di atas memperlihatkan subjek penelitian terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok pertama adalah pasien LES sejumlah 35 orang dengan pasien laki-laki sebanyak 2 orang (5.7%) dan pasien LES perempuan sebanyak 33 orang (94.3%). Sedangkan kelompok kedua adalah responden normal berjumlah 30 orang dengan responden normal laki-laki sebanyak 4 orang (13.3%) dan responden normal perempuan sebanyak 26 orang (86.7%). Dengan demikian dapat dilihat bahwa pasien LES sebagian besar adalah perempuan.

Setelah dilakukan pemeriksaan terdapat lima orang pasien LES dengan sidik jari yang sulit dibaca karena mengalami kerusakan sehingga dikeluarkan dari subjek penelitian. Jumlah sampel pasien LES yang dapat dibaca menjadi 30 orang dengan pasien LES perempuan sebanyak 28 orang (93.3%) dan pasien LES laki-laki sebanyak 2 orang (6.7%).

2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Klasifikasi Usia

Adapun karakteristik sampel berdasarkan klasifikasi usia pada masing-masing kelompok disajikan pada tabel 4.2 berikut :

Tabel 4.2 Karakteristik Sampel Berdasarkan Klasifikasi Usia

Umur Pasien LES Responden Normal

(60)

commit to user

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa usia sampel pasien LES sebagian besar di antara 21-50 tahun (90%). Sedangkan pada kelompok responden normal seluruhnya berusia di bawah 30 tahun (100%).

B. Gambaran Pola Sidik Jari

Pola sidik jari dibedakan menjadi empat kategori, yaitu arch, ulnar loop, radial loop, dan whorl. Distribusi pola sidik jari pada kelompok pasien LES disajikan dalam tabel 4.3 berikut :

Tabel 4.3 Distribusi Pola Sidik Jari pada Kelompok Pasien LES

(Data primer , 2012)

Tabel 4.3 menyajikan distribusi tipe pola sidik jari tangan meliputi empat pola yaitu arch, ulnar loop, radial loop, dan whorl. Pada kelompok pasien LES, frekuensi tipe pola yang paling sering muncul adalah ulnar loop (54.00%), lalu yang kedua adalah whorl (43.67%), dilanjutkan dengan radial loop (1.67%) dan arch (0.67%).

Adapun distribusi pola sidik jari pada kelompok responden normal disajikan dalam tabel 4.4 berikut :

DigitiDexter Digini Dexter

Jumlah %

I II III IV V I II III IV V

Arch 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 2 0.67%

Ulnar Loop 15 12 23 14 20 13 12 20 11 22 162 54.00%

Radial Loop 0 3 0 0 0 0 2 0 0 0 5 1.67%

(61)

commit to user

Tabel 4.4 Distribusi Pola Sidik Jari pada Kelompok Responden Normal Digiti Dexter Digini Dexter

Pada kelompok responden normal juga didapatkan frekuensi tipe pola yang tertinggi adalah ulnar loop (62.33%) disusul dengan tipe pola whorl (34.00%), arch (2.33%) dan yang terakhir adalah radial loop (1.33%). Data lengkap mengenai gambaran pola sidik jari pada pasien LES dan responden normal disajikan dalam lampiran 1 dan 2.

Pada pasien LES pola arch adalah pola yang paling jarang ditemukan. Hanya dua pasien LES yang memiliki pola tersebut dan masing-masing memiliki satu pola arch di antara kesepuluh jarinya. Hal berbeda ditemukan pada kelompok responden normal. Terdapat tiga responden normal yang memiliki pola arch. Ditemukan masing-masing satu pola arch pada satu responden normal, dua pola arch pada satu responden normal lainnya, dan empat pola arch pada responden normal yang lain.

(62)

commit to user

pasien LES dan dua pola radial loop pada satu pasien LES lainnya. Meskipun jumlah responden yang memiliki pola radial loop antara kedua kelompok sama, namun jumlah total pola radial loop pada kelompok pasien LES lebih banyak sehingga persentase pola radial loop pada pasien LES lebih besar dibandingkan responden normal.

Terdapat beberapa responden yang di antara kesepuluh jarinya memiliki pola yang sama. Ditemukan satu pasien LES dengan pola ulnar loop pada kesepuluh jarinya dan dua pasien LES dengan pola whorl pada kesepuluh jarinya. Sedangkan pada kelompok responden normal ditemukan hal yang berbeda. Terdapat dua responden normal dengan pola ulnar loop pada kesepuluh jarinya dan satu responden normal dengan pola whorl pada kesepuluh jarinya.

Meskipun pola ulnar loop memiliki frekuensi kemunculan yang paling sering, namun pola tersebut tidak selalu mendominasi apabila dilihat pada masing-masing individu. Yang dimaksud dengan mendominasi di sini adalah pola dengan jumlah terbanyak di antara 10 jari. Pada pasien LES terdapat sepuluh orang dengan pola whorl yang mendominasi atau dapat dikatakan sepertiga dari kelompok pasien LES memiliki ≥ 6 pola whorl. Sedangkan dua pasien LES memiliki jumlah pola whorl dan ulnar loop yang sama (5:5). Sedangkan 18 sisanya memiliki pola sidik jari yang didominasi oleh ulnar loop.

(63)

commit to user

mendominasi atau dapat dikatakan seperlima dari kelompok pasien LES memiliki ≥ 6 pola whorl. Sedangkan tiga responden normal memiliki jumlah pola whorl dan ulnar loop yang sama (5:5). Terdapat lebih dari dua pertiga (21 orang) responden normal yang pola sidik jarinya didominasi oleh pola ulnar loop.

Pada pasien LES, pola whorl memiliki frekuensi kemunculan paling tinggi pada jari IV, I, II, V, dan III secara berurutan. Sedangkan pada kelompok responden normal frekuensi pola whorl dari yang paling tinggi hingga ke paling rendah adalah pada jari IV, II, V, I, III.

Pola ulnar loop pada pasien LES memiliki frekuensi kemunculan paling tinggi pada jari III, V, I, IV, dan II secara berurutan. Sedangkan pada kelompok responden normal frekuensi pola ulnar loop dari yang paling tinggi hingga ke paling rendah adalah pada jari III, I, V, II, dan IV. Frekuensi pola ulnar loop pada jari dan I dan V responden normal adalah sama.

Pada pasien LES, pola radial loop hanya ditemukan pada jari II. Sedangkan pada kelompok responden normal pola radial loop hanya ditemukan pada jari II dan V.

(64)

commit to user C. Analisis Statistik

Sebelum melakukan analisis statistik maka perlu dilihat karakteristik dari tiap parameter yang diuji. Berikut adalah karakteristik nilai TRC, PII, dan sudut atd telapak tangan kanan dan kiri pada kelompok pasien LES dan kelompok responden normal yang disajikan dalam bentuk tabulasi.

1. Nilai Jumlah Guratan Total (TRC) Sampel pada Dua Kelompok Penelitian Tabel 4.5 berikut ini menyajikan karakteristik jumlah total guratan (TRC) pada dua kelompok penelitian

Tabel 4.5 Karakteristik Jumlah Guratan Total (TRC) pada Dua Kelompok

Penelitian

Berdasarkan tabel 4.5 di atas, rerata jumlah TRC pada kelompok pasien LES adalah 154.10 dengan nilai terendah 77 dan nilai tertinggi 217. Sedangkan pada kelompok responden normal didapatkan reratanya adalah 143.13 dengan nilai terendah 77 dan nilai tertinggi 236. Dengan demikian terdapat perbedaan rerata di mana kelompok pasien lupus memiliki nilai TRC lebih tinggi dibandingkan kelompok responden normal.

(65)

commit to user

Tabel 4.6 Karakteristik Indeks Intensitas Pola (PII) pada Dua Kelompok Penelitian 13.17 dengan rentang nilai antara 8 hingga 20. Terdapat perbedaan rerata di mana kelompok pasien LES memiliki nilai PII lebih tinggi dibandingkan kelompok responden normal.

3. Besar Sudut atd Telapak Tangan Sampel pada Dua Kelompok Penelitian Tabel 4.7 di bawah ini menyajikan karakteristik besar sudut atd pada telapak tangan kanan dua kelompok penelitian.

Tabel 4.7 Karakteristik Besar Sudut atd Telapak Tangan Kanan pada

(66)

commit to user

Tabel 4.8 Karakteristik Besar Sudut atd Telapak Tangan Kiri pada Dua Kelompok Penelitian responden normal reratanya adalah 41.400 dengan rentang nilai antara 330 hingga 500. Sedangkan untuk besar rerata sudut atd pada telapak tangan kiri kelompok pasien lupus adalah 41.520 dengan rentang nilai 350 hingga 530, dan untuk kelompok responden normal reratanya adalah 41.770 dengan rentang nilai antara 330 hingga 47.500.

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji non parametrik (tipe pola sidik jari) dan uji parametrik (TRC, PII, sudut atd). Uji parametrik menggunakan uji t tidak berpasangan. Bila tidak memenuhi ketentuan maka dilakukan uji alternatifnya. Sedangkan uji non parametrik yang digunakan adalah uji Chi square atau uji alternatifnya ( Uji Kolmogorov-Smirnov) jika tidak memenuhi ketentuan.

(67)

commit to user

pasien LES dengan tangan orang normal. Analisis statistik diolah menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 16 for Windows.

Untuk mengetahui normalitas data pada penelitian ini, digunakan uji Kolmogorov-Smirnov (α = 0.05) karena jumlah sampel yang digunakan adalah 60 orang (> 50). Hasil uji normalitas data dengan Smirnov dapat dilihat pada lampiran 3. Nilai p dari hasil uji Kolmogorov-Smirnov disajikan pada tabel di bawah ini :

Tabel 4.9 Hasil Uji Normalitas dengan Uji Kolmogorov-Smirnov

TRC PII Sudut atd Dexter Sudut atd dexter

Lupus Normal Lupus Normal Lupus Normal Lupus Normal

p 0.173 0.2 0.149 0.066 0.089 0.2 0.047 0.2

(68)

commit to user

Oleh karena semua ketentuan telah terpenuhi maka uji t tidak berpasangan bisa dilakukan. Apabila ketentuannya tidak terpenuhi maka uji hipotesis alternatif yang dilakukan berupa uji Mann-Whitney.

Hasil uji t tidak berpasangan untuk TRC, PII, besar sudut atd telapak tangan kanan dan kiri dapat dilihat pada lampiran 4. Nilai p dari hasil uji t tidak berpasangan disajikan dalam tabel di bawah ini :

Tabel 4. 10 Nilai p dari Uji t Tidak Berpasangan untuk TRC, PII, dan sudut atd.

Variabel t p

TRC 1.175 0.245

PII 1.397 0.163

Sudut atd dexter -0.052 0.959

Sudut atd sunistra 0.771 0.771

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai p pada TRC, PII, Sudut atd dexter, dan sudut atd dexter lebih besar dari 0.05 sehingga Ha ditolak dan Ho diterima. Ini artinya tidak terdapat perbedaan rerata yang signifikan antara besar jumlah total guratan ( TRC), Pattern Intensity Index (PII), dan besar sudut atd baik pada telapak tangan kanan maupun tangan kiri pada kelompok pasien LES dengan responden normal .

Gambar

Tabel 4.22 Frekuensi Tipe Pola Sidik Jari pada Beberapa Penelitian .................  61
Gambar 2.3.  Pattern Area pada Dermatoglifi Palmar…………………………  15
PGambar 2.1 attern Area (Hoover, 2006)
Gambar 2.2 Kiri-Kanan: Tipe pola sidik jari plain arch, tented arch, ulnar loop, radial loop,  plain whorl, double whorl, central pocket loop, dan accidental (Hoover, 2006)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mengetahui gambaran pola dermatoglifi pada ujung jari tangan penderita penyakit hipertensi esensial di Kota Padang pada tahun 2014. Mengetahui gambaran tipe pola sidik

Pada penelitian ini, terlihat di sini bahwa gambaran status kesehatan pada pasien LES yang memiliki aktivitas penyakit LES ringan, sedang, dan berat

Tujuan penelftian in1 adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan jumlah sel Treg pada pasien LES dengan status vitamin D yang berbeda (hlpovitmnln D dan

Kesimpulan : Sebagian besar pasien LES (67%) memiliki tingkat aktivitas penyakit sedang, pasien LES yang mengalami depresi dalam jumlah kecil (23,3%) serta terdapat

Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa Individu yang memiliki penyakit kronis dan tidak dapat disembuhkan seperti penyakit Lupus ini, seringkali merasa

dengan kejadian skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Digiti I Sinistra p= 0.998 Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pola sidik jari pada jari

Analisis dilakukan dengan analisis uji statistik non parametrik chi-square untuk menganalisis perbedaan distribusi pola sidik jari masing-masing tangan pada penderita Sindrom Down

Indeks intensitas pola yaitu rata-rata jumlah triradii ujung jari tangan pada sampel populasi non sarjana lebih rendah dari pada sarjana, dan doktor.. Ada perbedaan frekuensi