• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III RUMPUN ETNIK MBAHAM MATTA: KONTEKS GEOGRAFIS DAN HISTORIS - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB III RUMPUN ETNIK MBAHAM MATTA: KONTEKS GEOGRAFIS DAN HISTORIS - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi: "

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

87

RUMPUN ETNIK MBAHAM MATTA:

KONTEKS GEOGRAFIS DAN HISTORIS

1

Pada bagian ini penulis akan memperkenalkan Fakfak sebagai konteks keberadaan Etnik Mbaham Matta secara ringkas dari segi geografi dan sejarah. Pengenalan geografis menunjuk kepada ruang kehidupan dan eksistensi etnik Mbaham Matta. Pengenalan sejarah terkait dengan kedatangan dan kehadiran para tamu, yakni kekuatan politik-ekonomi serta agama-agama dunia ke Fakfak. Pada bagian ini disampaikan pula pengenalan wilayah utama penelitian, yakni Distrik Teluk Patipi yang bermula dari Kampung Tetar dan Kampung Offie.

A. Konteks Geografis2

Kabupaten Fakfak adalah salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat dengan luas 14.320 km2 terletak pada 1310 30’ – 130040’ BT dan 2025’ – 4000’ LS. Wilayah Fakfak

bertopografi gunung-gunung, lembah, dan pesisir. Karakterristik topografis ini ditunjukkan melalui elevasi (ketinggian dari permukaan laut) dataran dengan keluasan wilayah: 0 m – 10 m (58,1%); 101 m – 500 m (15,9%); 501 m – 1000 m (13,8%); dan lebih dari 1.001 m (12,2%).Kekhasan

1Geografis dan Historis adalah dua istilah penting dalam teorisasi

etnisitas yang Penulis elaborasi dari Giddens. Georgafi menunjuk kepada ruang atau lingkungan fisik dan dinamika interaksi sosial mikro maupun makro. Historis menunjuk kepada aspek waktu (time), yakni rentangan dan bentangan sejarah perjalanan suatu komunitas. Pada bagian ini Penulis memamparkan data-data atau informasi yang relevan saja dalam alur narasi.

2Data untuk bagian ini didasarkan pada Biro Pusat Statistik

(2)

topografis ini ditunjuk pula oleh luas wilayah Kabupaten Fakfak menurut Kelas Lereng/Kemiringan: 0 – 150 (1.434.636

Ha), 15 – 400 (57.5000 Ha), lebih dari 400 (2.054.600 Ha).

Wilayah Kabupaten Fakfak didominasi oleh pegunungan berbatu cadas dan bersungai-sungai pula. Inilah wilayah keberadaan dan domisili masyarakat etnik Mbaham Matta. Kampung-kampung membentang sepanjang pesisir pantai yang sempit dan terjal serta menyebar di lembah-lembah dan punggung-punggung pegunungan. Sampai dengan akhir 1990-an tingkat keterisolasi1990-an cukup tinggi d1990-an hubung1990-an 1990-antar wilayah masih sangat sulit hanya bisa melalui laut dan jalan kaki. Sejak 2000-an pembangunan jalan penghubung terus dibangun dan memudahkan hubungan serta transportasi antar pusat kabupaten dengan wilayah-wilayah distrik secara signifikan.

(3)

serta lembaga-lembaga dakwah lainnya. Ridwan al-Makssary3

menunjukkan bahwa di Tanah Papua telah hadir pula kelompok-kelompok Islam transnasional seperti Salafy/ Wahaby, Ikhwanul Muslimun, Jemaah tabligh, Hizbut Tahrir, dsb. Menurut al-Makassary sebagian kelompok ini menyokong panji Islamisme dalam bentuk idealisasi negara islam (khilafah) dan jalan martir untuk agama yang dalam tingakatan tertentu menghalakan jalan kekerasan dan yang menempuh jalan damai atau non kekeraras. Fenomena sedemikian telah tampak pula di kabupaten Fakfak sejak awal tahun 2000 sebagai produk kampanye penularan kerusuhan Maluku. Menurut Ketua MUI Fakfak sinyalemen ini ada benarnya tetapi terkait dengan pribadi-pribadi atau keompok kecil tertentu. Keadaan mana telah juga diindikasikan oleh Saidin Ernas dalam disertasinya bahwa gerakan-gerakan salafi ini melakukan kampanye melalui dakwah khobtah maupun dakwah sosial.4

Umat Kristen terhimpun dalam tiga organisasi gereja utama, yakni Gereja Protestan Indonesia di Papua (GPI Papua), Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua (GKI TP) dan Gereja Katolik. Juga sejak tahun 1970-an telah hadir Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI), Gereja Adven Hari Ketujuh, Gereja Baptis, dan kelompok-kelompok Kharismatik.

Dari sisi persebaran domisili, 64,84 persen penduduk tinggal di wilayah perkotaan dan sekitarnya sedangkan 31,16 persen penduduk hidup di wilayah pedesaan/kampung. Ini menunjukkan dominasi masyarakat perkotaan yang tinggi di berbagai bidang kehidupan masyarakat dan daerah Fakfak.

3 Lihat: Ridwan al-Makassary, Dialog dan Radikalisme Agama di

Tanah Papua (Jayapura: FKUB Papua, 2016).

4Saidin Ernas. “Integrasi Sosial Masyarakat Papua: Studi tentang

(4)

Pekerjaan utama masyarakat lokal di kampung-kampung adalah petani dan nelayan. Tanaman Pala (Myristica argantea)5 dominan membentuk perkebunan. Setiap rumah

tangga secara turun temurun menanam dan mengusahakan. Pala sebagai mata pencaharian dan sumber ekonomi utama. Mereka dengan bangga mengatakan bahwa Pala adalah

‘tanaman rumah’ yang telah menjadi bagian penting dari sejarah keberadaan mereka.6 Dalam survey pemetaan

kemiskinan Kabupaten Fakfak yang dilakukan pada tahun 20157 ditetapkan garis kemiskinan sebesar Rp. 465.565,-

per-kapita. Berdasarkan tetapan garis kemiskinan ini jumlah rumah tangga miskin Kabupaten Fakfak pada tahun 2015 sebanyak 13.579 rumah tangga atau 28,7 persen dari total penduduk Kabupaten Fakfak. Prosentase ini tidak bisa menutup kenyataan bahwa kemisikinan masih menjadi fenomena aktual di kampung-kampung. Kondisi faktual ini jelas bila kita perhatikan data Distribusi Tingkat Kesejahteraan menurut Distrik di Kabupaten Fakfak Tahun 2015. Data ini menunjukkan bahwa 80 persen Distrik penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan dengan tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di atas rata-rata prosentase rumah tangga miskin Kabupaten Fakfak. Tetapi disimpulkan oleh Tim bahwa kemiskinan di Kabupaten Fakfak ini bukanlah merupakan kondisi ketidakberdayaan penduduk memenuhi kebutuhan dasar yaitu pangan, sandang dan papan. Kemiskinan ini disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat memenuhi kebutuhan sekunder, yaitu pendidikan, kesehatan,

5 Pala Fakfak memiliki karakter yang berbeda dari Pala Banda

(Myristica Fragrance). Fakfak dikenal sebagai Kota Pala.

6 Penanaman, pemeliharaan, dan panen Pala diawali dengan ritus

adat khusus Meri Totora (Putri Pala). Ritus ini berinti pada permohonan agar tanaman Pala diberkati, dilindungi dan diberi kesuburan.

7Lihat: “Ringakasan Eksekutif Pemetaan Kemiskinan di Kabupaten

(5)

dan sosial. Kondisi dipengaruhi oleh rendahnya aksesibiltas atau ketersediaan sarana dan prasaranan transportasi. Tim juga mengatakan bahwa kondisi kemiskinan ini disebabkan oleh faktor budaya yang terkait besaran jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tangga dan biaya ekonomi tinggi untuk menanggung kegiatan-kegiatan kekerabatan, seperti peminangan dan pesta perkawinan.

Peta Wilayah Adat Domberai

(6)

Kabupaten Fakfak secara turun-temurun. Kesembilan suku asli Fakfak adalah Mbaham, Iha, Onim, Karas, Buruai, Bedoana, Sekar, Maninggo dan Kembarano. Menurut Peta Suku bangsa di Tanah Papua8 kesembilan suku ini bersama dengan delapan

suku di Kabupaten Kaimana dikelompokkan dalam Wilayah Adat Domberay.

Pada tahun 1990-an timbul suatu kesadaran baru di antara sembilan suku lokal Fakfak yang mendorong penyebutan kolektivitas mereka dengan sebutan khas Mbaham Matta. Sebutan ini merupakan istilah kolektif yang memayungi suku-suku asli Fakfak ini. Kemunculan istilah pemayung ini berlatarbelakangkan beberapa bentuk fenomena reaktif politik yang menggangu ketentraman hidup persaudaraan mereka. Keberadaan suku-suku ini dapat dibedakan dari penggunaan bahasa lokal mereka masing-masing.

Identifikasi diri sebagai aliansi lintas etnik Mbaham Matta tersebut menegaskan bahwa mereka berasal-usul satu atau bersama dan hidup dalam interaksi kekerabatan yang kental, yang tidak bisa diganggu.9 Pusat identifikasi aliansi

atau federasi ini adalah gunung Mbaham yang dituturkan

8Lihat: Peta Suku Bangsa Di Tanah Papua, yang disusun oleh D.

Rumbewas, Masmur Asso, et.al. (Jayapura, Papua, Indonesia: Dinas Kebudayaan Pemerintah Provinsi Papua, 2009). Di Tanah Papua terdapat sekitar 248 suku yang dikelompokan dalam tujuh wilayah adat, yaitu Mamta (87 suku), Sairei (31 suku), Bomberai (19 suku), Domberai (52 suku), Ha-Anim (29 suku), La-Pago (19 suku) dan Mi-Pago (11 suku).

9 Penulis teringat pada pernyataan tegas pimpinan gereja kami

(7)

sebagai daerah asal-usul para leluhur mereka. Melalui sejarah perpindahan dan persebaran mereka mencapai wilayah pesisir, di mana terjadi perjumpaan dengan para pedatang dari luar baik dalam konteks perdagangan, politik, agama dan budaya. Wilayah pesisir ini yang disebut sebagai Matta. Pemahaman diri aliansi ini menunjuk lebih dalam lagi kepada karaktersosial-kultural suku-suku lokal Fakfak, yakni keramahan dan keterbukaan serta inklusifisibilitas. Karakter dasar ini mewarnai dan mengerakkan kehidupan sehari-hari mereka: orang atau pihak lain yang datang di sambut dan dirangkul ke dalam kehidupan sosial-kultural- religi mereka.

B. Konteks Historis

Sejarah perjumpaan etnik Mbaham Matta dengan agama Islam, Protestan, dan Katolik. Perjumpaan etnik Mbaham Matta dengan ketiga agama telah berlangsung sejak abad XVI SM10 mengikuti dinamika pergeseran politik dan

perdagangan Kesulatanan Tidore dengan Belanda. Islam

10Rujukan awal bagi paparan sejarah perjumpaan ini, antara lain,

adalah Holger Warnk, “The Coming of Islam and Moluccan-Malay Culture to the New Guinea ca.1500-1920” Indonesia and Malay World Vol.38, No.110 March 2010, pp.109-134; Leonard Y. Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in The Early Period (Honolulu: University of Hawai Press, 1993); J. Van Baal, K.W.Galis, R.M. Koentjaraningrat, West Irian: A Bibliography

(Dordrecht-Holland/Cinnaminson-USA: Fori Publications, 1984); Muridan Widjojo, Pemberontakan Nuku: Persekutuan Lintas Budaya di Maluku – Papua Sekitar 1780-1810 (Depok: Komunitas Bambu, 2013); Rosmaida Sinaga.

Masa Kuasa Belanda di Papua 1898-1962 (Jakarta: Kounitas Bambu,2013); Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT RadjaGrafindo Persada, 2011); Dessy Pola Usmany, Siberia, dan Rosmaida Sinaga, Kerajaan Fatagar Dalam Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Fakfak Papua Barat (Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaab, 2014); J. F. Onim, “Islam & Kristen Di Tanah Papua: Meniti Jalan Bersama Hubungan Islam -Kristen Dalam Sejarah Penyebaran dan Perjumpaannya di Wilayah Semenanjung Onon Fakfak” [Tesis, STT Jakarta, 2003]. Namun eksistensi daerah Fakfak sendiri telah terendus jauh dalam lingkup sejarah Majapahit. Ini ditandai dengan adanya nama Wwanin dalam buku Nagaraktagama. Kata

(8)

masuk ke Tanah Papua mengikuti dua jalur perdagangan, yakni Maluku Utara dan Maluku Tengah. Jalur pertama melibatkan Kepulauan Raja Ampat Pantai Utara Semenanjung Kepala Burung, Teluk Cenderawasih dan Pulau Biak dalam relasi politik dan perdagangan dengan Kesultanan Tidore. Jalur kedua melibatkan wilayah pantai selatan Kepala Burung, yakni Teluk MacCluer dan Semenajung Bomberai, yakni Fakfak, Onin dan Teluk Arguni yang memiliki relasi-relasi

perdagangan dan kultural dengan “the central Moluccan chifdoms, domains and states, predominantly the Ceram Laut (Geser) Islands and the Gorom Islands.” Kedua jalur relasi ini membentuk simpul perjumpaan penting di wilayah pesisir selatan Kepala Burung. Produk-produk yang diekspor dari Papua adalah kulit kayu masohi, pala hutan, bulu burung cenderawasih, sagu, batok penyu, ambar dan hasil-hasil hutan-laut lainnya. Di samping itu dalam kerangka penguatan ekonomi dan politik Kesultanan Tidore dan Belanda kegiatan

penting dalam rangka “ekspor upeti” dari Tanah Papua adalah

perburuan dan perdagangan budak yang berlangsung sejak abad XVII-XIX.11

VOC memperkuat cengkeraman kekuasaan politik dan ekonominya atas Tidore melalui berbagai perjanjian pada tahun 1660 dan 1667. Rosmadia Sinaga menjelaskan strategi VOC itu demikian:

Perjanjian tahun 1660 mengatur hak monopoli perdagangan dan hak Tidore atas penduduk dan wilayah Papua dan semua pulau di sekitarnya. Perjanjian ini kemudian dituangkan dalam kontrak pada 1667. VOC mulai menempatkan semua orang Papua di bawah kekuasaan Tidore tanpa perlu mengeluarkan biaya. Pengakuan itu membuat negara-negara Eropa lainnya tidak ke NNG [Nederlands Nieuw Guinea] dan mendirikan pangkalan untuk bersaing dalam

11Ketika Sultan Saifudin memutuskan untuk menolak Spanyol dan

(9)

perdagangan rempah-rempah.itu Belanda merasa cukup menanamkan pengaruhnya atas NNG melalui Sultan Tidore, karena wilayah NNG dianggap tidak dapat memberikan keuntungan komersil bagi Belanda.12

Dalam perjanjian khusus tahun 1677 Tidore dipaksa menerima VOC sebagai protectornya. Perjanjian ini merupakan pengambilalihan kekuasaan perdagangan rempah-rempah di Maluku Utara oleh pihak Belanda. Perjanjian ini berisi taktik politik dagang monopoli Belanda yang dikenal sebagai the spice eradication policy (kebijakan pemberantasan rempah-rempah). Sebagai protector, Belanda mengambil berbagai keuntungan ekonomi dan politik. Kesultanan Tidore memikul kewajiban membayar upeti khusus kepada Belanda dalam bentuk uang, budak, dan rempah-rempah. Kesultanan Tidore bertanggungjawab atas keamanan jalur-jalur-jalur pelayaran dan perdagangan terkait dengan acaman dan serangan perompak (bajak laut) yang dilakukan oleh penguasa-penguasa asli Papua. Dengan itu, Kesulatanan Tidore mendapatkan hak eksklusif perdagangan dengan wilayah-wilayah di Tanah Papua. Untuk menanggulangi kehilangan pendapatan dari rempah-rempah, yang telah dimonopoli oleh VOC, Kesultanan Tidore memperluas dan memperbesar

perdagangan ‘upeti’ atas wilayah-wilayah Kepulauan Raja Ampat dan pesisir Tanah Papua, yang sebelumnya tidak dipandang penting.13

Pencarian keuntungan ekonomi inilah yang mendorong Kesultanan Tidore menanam kekuasaan dan memperluas sosok kehadiran politiknya di Tanah Papua. Klem otoritas atas wilayah-wilayah pesisir di Tanah Papua ini

12Usmany, et.al., Masa Kuasa Belanda di Papua 1898-1962, 3. 13Andaya, The World of Maluku, 99-ff. menjelaskan bahwa sebelum

(10)

dilakukan oleh Kesultanan Tidore, yang bertindak sebagai pemegang suzerainty, melalui politik pemberian atau penganugerahan gelar-gelar istana seperti raja (king/vassal), sengaji (district chief), orang kaya (nobleman), jugugu (minister) dan korano/kolano (ruler).14 Andaya

menginfor-masikan bahwa penganugerahan gelar-gelar tersebut dilakukan melalui sebuah proses dan ritual khusus. Ritual ini

menunjukkan bahwa “the acquisition of spiritual powers, either through association with sultan or through the taking of heads, for the well-being of the community.”15 Praktik ritual politik ini

disemangati oleh keyakinan pada pengalihan “the sacred power of the Tidore ruler” yang membawa perlindungan atas para penerimanya. Gelar-gelar ini diwariskan kepada keturunan selanjutnya.

Di Semenanjung Onin (Fakfak) pada mulanya telah berdiri tiga kerajaan tradisional, yakni Rumbati, Fatagar, dan Ati-ati.16 Kemudian muncul kerajaan-kerajaan lain: Patipi,

Sekar, Wertuar dan Arguni. Pemberian gelar-gelar oleh Sultan Tidore sebagai bagian dari strategi Sultan menjalin dan membangun relasi dagang dengan orang-orang yang dipandang menonjol di wilayah tersebut. Sebagai penerima gelar raja, para raja di Semenajung Onin hanyalah agen dagang dan aparat pemungut pajak Kesultanan Tidore. Jadi para raja berperan sebagai makelar dagang antara penduduk setempat

14Setelah Belanda mengambil kekuasaan atas wilayah Papua dari

Tidore, mereka memanfaatkan warisan model penanaman kekuasaan Tidore ini. Belanda menambahkan pemberian gelar-gelar seperti mayor, kapitan, dan kapitan laut. Belanda melakukan itu untuk menata pemerintahan lokal di Papua. Gelar-gelar ini masih digunakan sampai saat ini.

15Andaya, The World of Maluku, 107 juga memberi catatan tentang

fungsi gelar-gelar tersebut demikian “the adoption of foreign titles did not indicate a shift to a more centralized hierarchial structure, but rather a way of distingushing the major chiefs of a particular islands or the most important leaders within one community.”

16Terkait kerajaan-kerajaan ini lihat, antara lain Usmany, et.al.,

(11)

dan Kesultanan Tidore. Lokasi kedudukan para raja ini biasanya di muara-muara sungai untuk memudahkan pengawasan dan persinggahan. Sultan Tidore secara berkala mengirim utusan-utusan untuk mengingatkan para raja akan kewajiban pengumpulan upeti atau pajak. Karena masyarakat di Semenanjung Onin wajib membayar upeti kepada Sultan Tidore. Setiap tahun para raja mengantar upeti kepada Sultan. Upeti yang diserahkan kepada Sultan Tidore berupa burung cenderwasih, gong, meriam, budak, dan barang-barang berharga lainnya. Kesanggupan ini telah ditandai sejak awal bahwa pihak yang diberi gelar raja adalah mereka yang datang ke Tidore dan sanggup membayar upeti khusus kepada Sultan. Para raja ini diangkat dari kalangan bangsawan lokal.

Sebagian besar para raja ini adalah keturunan campuran buah perkawinan dengan perempuan dari Seram, Buton, atau yang berdarah campuran. Narasi-narasi lokal tentang pengangkatan raja ini sangat menarik, karena mereka bukan penduduk asli – paling tidak berdarah campuran. James

J. Fox menjelaskan fenomena ini sebagai “installing the outsider inside.”17 Fenomena ini terkait dengan narasi-narasi lokal dari

berbagai kelompok masyarakat atau etnik yang berbahasa Austronesia di mana ketika menceritakan keberasalan masyarakat mereka akan disebutkan tentang kedatangan dan intervensi tokoh atau kelompok dari luar yang sangat menentukan. Fenomena ini merupakan inkorporasi pihak luar ke dalam sistim dan struktur sosial mereka. Proses ini berlangsung dalam sejarah perjumpaan masyarakat lokal dengan orang atau kelompok dari luar. Intervensi melibatkan kehadiran orang luar ini merubah struktur masyarakat dan memperkenalkan dimensi-dimensi politik dan keagamaan baru. Karakter inkorporatif masyarakat etnik Mbaham Matta

17 Lihat James J. Fox, “Installing The ‘Outsider’ Inside: The

(12)

ini sangat kental dalam sejarah sosial-budaya mereka sebagaimana yang menjadi fokus studi ini.

Narasi-narasi lokal tentang pengangkatan atau

penunjukkan raja dari “orang luar” ini didasarkan pada

kepentingan komunikasi dagang kelompok etnik setempat yang masih sulit berbahasa melayu atau Belanda. Kelompok

etnik lokal membutuhkan “juru bahasa” yang dapat

menghubungkan mereka dengan pihak-pihak luar dalam

perdagangan. Untuk itu mereka memilih “orang luar” yang

memiliki kemampuan berbahasa dan komunikasi serta berjejaring dagang. Dalam ungkapan metaforik, salah satu

nara sumber menyampaikan demikian: “moyang kami telah

serahkan pena kepada mereka, tetapi penutup pena tetap kami

pegang.” Ungkapan ini hendak menegaskan bahwa asal-usul kekuasaan atau pemangku-asli kekuasaan itu adalah kelompok etnik lokal, yakni marga-marga utama (pendiri atau perintis kampung) dan hal ini harus selalu diingat oleh para raja. Memang dalam praktik pemerintahan hal ini tidak bisa dilupakan atau diabaikan oleh para raja dan keturunan. Dalam fase-fase tertentu, semisal rapat atau sidang untuk mengambil keputusan-keputusan akan terlihat komposisi pengampu kekuasaan asal, yakni marga-marga utama (ningrat atau kepala adat) lokal sangat berperan. Raja harus memangggil dan mendengar serta mempertimbangkan secara serius nasihat atau usul mereka. Dalam penetapan pengalihan gelar raja ini, peran para pemangku asli kekuasaan lokal sangat menentukan. Para pemangku-asli kekuasaan lokal ini mengingat secara rinci dan fasih menunturkan sejarah bagaimana sampai mereka pergi mencari dan mengangkat raja dalam lingkup masyarakat mereka.

(13)

pemerintah kolonial Belanda hanya memanfaatkan lebih lanjut struktur politik-dagang yang sudah dibangun oleh Kesulatanan Tidore. Ketika Belanda mengambilalih penuh otoritas atas Papua, berakhir pula keuasaan Kesultanan Tidore atas wilayah Papua ini. Kini institusi kerajaan tersisa sebagai simbol sosial yang lebih bergerak dalam lingkup adat.

Relasi perdagangan dan politik dengan Tidore jelas membawa pengaruh sosial, budaya dan khususnya agama Islam di wilayah pesisir Tanah Papua. Para penerima gelar-gelar tersebut memiliki dan menjalani kontak-kontak utama dengan para pedagang dan pejabat muslim dari Tidore. Dalam kontak-kontak inilah mereka dipengaruhi dan menerima Islam.18 Proses Islamisasi atas penduduk pesisir asli Tanah

Papua berlangsung dalam pola yang sama dengan di Maluku Utara sebagai fenomena masyarakat pesisir. Fokus penyebaran Islam lebih kepada lingkup para penguasa dan pemuka masyarakat. Dan sejarah penyebaran agama Islam terkait erat dengan penyatuan motivasi politik-ekonomi dan spiritual. Pola tersebut dijelaskan oleh Andaya demikian:

[D]utch description of the Muslim Papuans of the early eighteenth century resembles in many details the Portuguese account of the Muslims in the North Malukan states in the early sixteenth century. Islam in the North Maluku then was very much a coastal phenomenon and confined to the circles of the rulers or chiefs. Even among the Muslim there was a strong belief in local gods and little adherence to religious food taboos. Although the Islamization of the Papuan inslanders took place some two centuries after the

18Pola ini terkonfirmasi oleh tuturan Bapak Syamsudin Pattiran

(14)

introduction of Islam to the north Maluku, the process was very similar. Islam was brought first to the leading members of the community and only later spread to the rest of populace... The Papua case is especially instructive because it provides an explanation for merging of political and spiritual motivations for conversion, which was very much in keeping with local perceptions of proper functioning of relationships in Maluku. To enter into the a beneficial relationship with an overlord required a total commitment to his world, which was demonstrated in the transformation of the subject in name, dress, and spiritual beliefs.19

Kita perlu memberikan perhatian juga pada pola Islamisasi atas Kesultan Tidore terkait dengan inkorporasi Islam dalam struktur politik kesultanan. Model Islamisasi kesulatanan Tidore mengikuti pola yang terjadi di Kesultanan Ternate. Islamisasi mengikuti rute perniagaan Nusantara dari bagian Barat ke Timur. Pada tahap-tahap awal dimulai dikota-kota pelabuhan yang adalah pusat-pusat perdagangan yang berada di pulau-pulau dan wilayah pesisir. Para pedagang besar atau saudagar dan para penyiar agama Islam terutama kaum Sufi merupakan kelompok penting dalam jaringan perdagangan internasional ini. Para saudagar dan sufi secara perlahan memperkenalkan agama Islam. Barulah pada akhir abad ke-14 Islam menjadi agama negara,20 setelah Kolano

Ciriliyati masuk agama Islam berkat dakwah Sykeh Mansyur, seorang saudagar Arab. Syekh Mansur adalah guru spiritual Kolano Ciliyati. Kemudian Kolano Ciliyati mendapat gelar Sultan dengan nama Djamaludin. Konversi Kolano Ciriliyati ini telah dijalani sebelumnya oleh Raja Ternate Zainal Abidin (1468-1500) yang masuk Islam di bawah bimbingan guru

19 Andaya, The World of Maluku, 118.

20 Kerajaan Tidore berdiri pada tahun 1081 dengan Kolano

(15)

spiritualnya Datu Maula Hussein, seorang pedagang dan mubaligh asal Jawa. Zainal Abidin berhak menggunakan gelar Sultan sebagai pengganti gelar Kolano. Sultan Zainal Abidin kemudian ke jawa dan memperdalam agama Islam di bawah bimbingan Sunan Giri. Dari sinilah ulama-ulama asal Jawa diboyong oleh Sultan ke Ternate dalam rangka mengembangkan dan menyebarkan Islam yang telah menjadi agama resmi kesultanan.

Integrasi struktur keagamaan Islam ini membawa perubahan struktur politik dan administrasi pemerintahan Kesultanan Ternate. Sultan membentuk institusi baru, yakni Jolebe yang diisi oleh para Ulama asal Giri. Restrukturisasi lembaga-lembaga kerajaan dan badan-badan kekuasaanya tertata dari pusat sampai ke daerah-daerah dilanjutkan dan dipertegas oleh pengganti Sultan Zainal Abidin, yakni Sultan Bayanullah (1500-1522). Struktur mana kemudian diikuti oleh kerajaan-kerajaan tetangga: Tidore dan Bacan. Berbagai peraturan yang bernafaskan islam dibentuk. Berbagai konvensi yang mengaitkan eksistensi dan aktivitas kesultanan dengan penyebaran agama Islam dibuat. Pengangkatan seluruh pejabat pusat sampai ke daerah-daerah taklukkan didasarkan pada syarat mutlak beridentitas Muslim. Terkait dengan perubahan struktur kesultanan ini dijelaskan demikian:

(16)

Penerapan Islam dalam lembaga-lembaga kerajaan dilakukan dengan pembentukan institusi kerajaan baru yang disebut bobato akherat atau jolebe di samping bobato dunia... Institusi jolebe berpuncak pada sultan yang didampingi dan dibantu oleh seorang kalem atau qadhi. Kalem dibantu empat imam, dan setiap imam dibantu dua khatib serta empat moding. Di daerah-daerah terdapat seorang imam yang dibantu empat khatib dan delapan moding pada setiap distrik. Di setiap komunitas Muslim semisal di kampung atau desa terdapat seorang khatib yang dibantu dua moding.21

Struktur dan fungsi-fungsi kelembagaan ini, khusus bidang keagamaan Islam, tampak masih berlaku di daerah-daerah bekas vassal Kesultanan Tidore, termasuk sampai ke kampung-kampung Islam di Kabupaten Fakfak.

Karakteristik Islam yang di bawa ke Asia Tenggara ini terkait erat dengan sufisme. Marthin van Burinessen22

memberi catatan awal bahwa kemungkinan sekali para pedagang dan pewarta Islam telah hadir di Nusantara beberapa abad sebelumnya, tetapi barulah pada akhir abad ke-13 baru Islam diterima. Jadi Islamisasi Nusantara bukanlah peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba dan mengikuti proses yang sama: Islamisasi membutuhkan waktu yang cukup panjang. Perihal terjadinya konversi ke agama Islam ini masih

21 M. Adnan Kamal, Kepulauan Rempah-Rempah, 243-244.

Disampaikan juga tugas lembaga Jolebe sebagai berikut (1) terkait dengan ritual-ritual keagamaan untuk menjaga dan memelihara kehidupan spiritualitas rakyat seperti shalat, pengurusan jenazah dan pemakaman, kenduri, tahlilan, sholat idul fitri dan idhul adha, tarawih, dll.; (2) menetapkan awal dan akhir ramadhan, menjadi amil dalam pengumpulan zakat dan sedekah serta tugas lain seperti sunat, akikah, dll.; (3) tugas-tugas yudisial sebagai hakim syara. Di pusat, Kalem bertanggungjawab memberikan fatwa atas permintaan sultan maupun rakyat terkait soal-soal syariat dan fiqih Islam. Kalem adalah peradilan banding untuk keputusan hakim syara. Keputusan Kalem adalah keputusan akhir.

22 Lihat secara khusus, Marthin van Burinessen, Kitab Kuning,

(17)

penuh perdebatan. Tetapi yang pasti menurutnya ada beberapa faktor utama yang berperan dalam proses Islamisasi dan konversi menjadi penganut agama Islam, yaitu perdagangan dan aliansi politik antara para pedagang dan raja-raja setempat, perkawinan antara para pedagang Muslim yang kaya dengan para putri bangsawan setempat, dan teologi atau ajaran agama Islam yang dibawa yakni tassawuf (sufisme) dan tarekat. Anthony H. Johns23 juga menekankan

secara khusus teologi tasawuf (sufisme) sebagai katalisator utama Islamisasi Asia Tenggara. Johns menjelaskan keutamaan teologi dan praktik tassawuf ini dalam topangan kompleks beberapa faktor integral penting, yakni sistem dan jaringan perdagangan Samudera Hindia, serikat-serikat pekerja, komunitas-komunitas muslim yang bertumbuh di kota-kota pelabuhan dan pusat-pusat perdagangan yang terkait dengan wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan lokal, kehadiran dan peran para ulama serta tarekat. Kompleks faktor-faktor yang digerakkan oleh para pedagang dan ulama pengembara sufistik ini kemudian memeperkuat syiar Islam sampai ke istana kerajaan-kerajaan lokal dan berlanjut pada konversi para raja lokal. Konversi ini mendudukan dan memperkuat posisi dinasti para raja lokal yang menempatkan diri sebagai sultan dalam komunitas politik dan ekonomi/perdangangan internasional Islam serta berbasis kuat pada jejaring ulama dengan kompleks tarekat internasional. Johns secara khusus berargumentasi bahwa terdapat hubungan yang erat antara serikat-serikat pekerja di kota-kota pelabuhan dan pusat-pusat perdagangan, tarekat-tarekat sufi dan para penyebar sufisme (para ulama dan saudagar) yang menjadi pendorong utama Islamisasi di Asia Tenggara.24

23 Lihat: Anthony H. Johns, “Islamization in Southeast Asia:

Reflections and Reconsiderations with Special Reference to the Role of Sufism”. Southeast Asian Studies, Vol. 31, No. 1, June 1993.

24 Martin van Burinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat

(18)

Terkait hal ini Thomas Gibson menjelaskan dengan pola pemikiran yang hampir sama bertolak dari konteks jejaring perdagangan dan penyiaran serta para ulama pengembara agama Islam internasional (kosmopolitan) pada abad ke-16 dan ke-17. Menurut Gibson

Rulers [di negara-negara kota sepanjang Laut Arabia] depended on the goodwill of long-distance traders who moved in and out of their ports. They derived both their economic and religious authority from their reputation for enforcing the universal norms of the shariah law as interpreted by a cosmopolitan group of ulama. The model of kingship taught by the ulama assigned a relatively humble role to local political rulers. They were expected to establish their religious legitimacy not by claiming superior legal and mystical konowledge for themselves, but by patronizing charismatic scholars and mystics who traveled far and wide through the Islamic world accumulating universal knowledge.25

Penjelasan Gibson ini menegaskan bahwa para ulama pengembara serta saudagar Arab sangat berperan sebagai broker teologi dan etika Islam dalam Islamisasi bertahap dan mendalam di Asia Tenggara. Dari perspektif ini kita bisa memahami konversi raja-raja lokal di Asia Tenggara menjadi pemeluk agama Islam dan menerima atau menggunakan gelar Sultan dengan semua keutamaan yang melekat padanya.

Johns ini. Bruinessen menyebut argumentasi atau hipotesis Johns sebagai spekulasi. Menurutnya sangat diragukan bahwa perdagangan Muslim di Asia Tenggara pada masa itu sudah teroganisir menyerupai serikat pekerja dan sumber-sumber paling awal menyebut tarekat-tarekat berasal dari akhir abad ke-16. Menurut penulis hipotesis Johns ini penting untuk memahami model dan dinamika Islamisasi Asia Tenggara sampai ke Sulawesi Selatan dan Maluku Utara. Tentu akan ada jejaring penguatnya sebagaimana disebutkan oleh Johns terutama untuk pengalaman Islamisasi di Sulawesi Selatan sebagaimana ditunjukan oleh Thomas Gibson dan Maluku Utara (Kesulatanan Ternate dan Tidore).

25Thomas Gibson, Islamic Narrative and Authority in Southeast Asia

(19)

Menurut Johns26 kota-kota pelabuhan yang berada di bawah

seorang Sultan dengan orientasi keagamaan dan perdagangan mereka yang melintas Samudera Hindia menyediakan mekanisme politik dan ekonomi bagi ekspansi Islam selanjutnya. Insititusi kesultanan ini juga menyediakan jalur bagi relasi-relasi yang lebih dekat dengan warga Muslim yang lain, dan menciptakan pula kesempatan-kesempatan dalam struktur kesultanan bagi pengembangan sekolah-sekolah agama serta partispasi dalam pengajaran dari ulama-ulama asing dan lokal serta pembangunan perpustakaan-perpustakaan.

Gibson lebih jauh berargumentasi bahwa karakteritik Islam yang dibawa melalui jejaring perdagangan dunia oleh para ulama dan saudagar Islam kosmopolit masa itu ke Asia Tenggara dan Sulawesi Selatan adalah neo-sufisme atau mistisime popular. Para syaikh memainkan peranan sentral melalui tarekat masing-masing. Menurut Gibson para shaik tarekatlah yang combined a rigourous trainning in the mysthical tariqa with an equally rigourous study of the hadith. Immersion in the hadith tend to replace devotion to one’s sufi master with devotion to the prophet Muhammad. This was expressed through the collective recitation of devotional texts such as the Maulid al-nabi of Jaffar al-Barzanji, or Barasanji. The Barasanji presents a distinctively populist image of Muhammad as a poor orphan whose charismatic power was acknowledge by all the kings of his age.27

Gibson menjelaskan bahwa gerakan neo-sufisme atau mistisisme popular ini telah mulai jauh sebelum abad ke-18. Menurutnya gerakan baru ini bermula dari perjumpaan para shaikh India dan ulama Afrika Utara. Selama abad ke-16

26Lihat: Johns, “Islamization in Southeast Asia: Reflections and

Reconsiderations with Special Reference to the Role of Sufism”, ibid., 49-52

27Lihat: Gibson, Islamic Narrative and Authority in Southeast Asia

(20)

terjadi gelombang pelarian atau pengungsian para shaikh India ke Mekah dan Medina (Haramain), karena mereka menolak doktrin-doktrin mistik ke-raja-an (kingship) dalam Istana Akbar di India. Di Haramain mereka berjumpa dengan ulama-ulama Timur Tengah yang mengajarkan empat aliran ortodoks hukum Islam. Berkembanglah suatu sintesis baru studi hukum dan mistik. Para santri kini memberikan perhatian yang sama baik kepada pedalaman hadit maupun praktik mistik. Menyelam ke dalam teknik-teknik ritual suatu tarekat Sufi dan ke dalam pembelajaran serta tafsir hadith ini cenderung mengubah orientasi imajinatif kehidupan para santri dari tokoh utama pengembang tarekat (sang Sufi) kepada teladan Nabi Muhammad, Sang Pembangun sunna, jalan yang harus dikuti oleh setiap manusia untuk mencapai keselamatan. Ini kemudian ditandai dengan menyebarluasnya Kitab Pemujaan Nabi Muhammad, yakni Kitab Barzanji.28 Kitab

ini berisi narasi tentang kehidupan nabi Muhhamad (mulai dari pra kelahiran, kelahiran, sampai kematiannya) yang biasa dibacakan atau dilafalkan pada hari raya peringatan kelahiran

28Selanjutnya Gibson, ibid., 161-182 menjelaskan bahwa

(21)

nabi Muhammad. Kitab Barzanji ditulis oleh Jaffar bin Hasan

bin ‘Abd al-Karim al-Barzanji (1690-1776 M/1103-1180 H).29

Konsep neo-sufisme ini dijelaskan oleh Azyumardi Azra mengikuti pikiran penggagas konsep ini, Fazlur Rahman, sebagai:

tasawuf yang telah diperbaharui, yang terutama dilucuti dari ciri dan kandungan estactic dan metafisiknya, dan digantikan dengan kandungan yang tidak lain dari dalil-dalil ortodoks Islam. Tasawuf model baru ini menekankan dan memperbaharui faktor-faktor moral asli dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf dengan mengorbankan ciri-ciri berlebihan dari tasawuf populer yang menyimpang (unorthodox sufism). Pusat perhatian neo-sufisme adalah rekonstruksi sosio-moral dari masyarakat Muslim. Ini berbeda dengan tasawuf sebelumnya, yang terutama menekankan individu dan bukan masyarakat.

Akibatnya, Rahman menyimpulkan karakter

keseluruhan neo-sufisme tak pelak lagi adalah puritan dan aktivis.30

Islam juga masuk ke Tanah Papua mengikuti jalur relasi dengan Geser-Gorom di Pulau Seram. Dari peta terlihat jelas bahwa letak geografis Semenanjung Onin (Fakfak) dan Pulau Seram bagian Timur sangat dekat. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antar ke dua wilayah ini pun sangat dekat di bandingkan dengan Tidore. Agaknya pengaruh Seram Timur terhadap Semenajung Onin sangat kuat di bidang sosial, budaya, ekonomi, dan agama. Terlebih bila kita perhatikan

29Lebih jauh tentang perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad ini

lihat, antara lain: Marion Holmes Katz, The Birth of Prophet Muhamad: Devotional Piety in Sunni Islam (London and New York: Routledge, 2007).

30 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

(22)

catatan telusuran kepustakaan yang dilakukan oleh Widjojo31

bahwa sebenarnya Tidore tidak memiliki pengaruh nyata di Onin. Orang-orang Tidore melakukan ekspedisi ke wilayah Onin hanya untuk menjarah pemukiman dan mengambil budak. Memang pengaruh struktural institusi keagamaan Islam yang melekat pada struktur politik Tidore dalam konteks kerajaan-kerajaan (petuanan) di Semenanjung Onin sangat kuat. Tetapi yang mengajarkan dan menanamkan Islam kepada penduduk pesisir Semenanjung Onin adalah orang-orang dari Seram Timur.

Hubungan perdagangan antara masyarakat di Seram Timur (Seram Laut, Gorom dan Geser) telah terbangun sejak lama. Hal itu ditandai dengan berkembangnya sistem jaringan perdagangan khusus antara Seram Timur dengan orang Papua di Semenanjung Onin. Sistem ini disebut sosolot, yakni pembuatan pemukiman-pemukiman dagang yang dibangun di berbagai tempat strategis sebagai pos-pos pertukaran (barter).32 Dinyatakan pula bahwa dalam konteks

perdagangan ini Orangkaya Onin nyaris mengendalikan semua hal. Para pedagang Seram Timur bertindak sebagai pembeli, penerjemah, dan penghubung bisnis yang handal.

Pada abad ke-17, Onin merupakan pusat perdagangan budak,33 di mana budak-budak dikumpulkan dari

daerah-daerah tetangganya. Kemudian Orangkaya Onin menjual mereka kepada para pedagang Seram Timur yang membayar dengan kain dan barang-barang yang terbuat dari besi seperti

31Widjojo, Pemeberontakan Nuku, 71-72

32 Tentang sosolot, lihat: Thomas E. Goodman, “The Sosolot: An

Eightenth Century East Indonesian Trade Network” (Ph.D. Thesis, University of Hawaii, 2006).

33Widjojo, Pemeberontakan Nuku, 168; Arend H. Huussen, Jr., “The

(23)

kapak, parang Tobuku dan pedang. Dinyatakan pula bahwa penduduk Semenanjung Onin selalu terlibat saling perang di antara mereka. Mereka membentuk kelompok-kelompok atau pasukan-pasukan penyerang dan penjarah yang bertugas menyerang kelompok suku lainnya untuk dijadikan budak dan merampok perahu-perahu dagang. Para perompak Onin menyerang sampai ke wilayah Maluku.

Pada pertengahan abad XIX penduduk Geser-Gorom dan pesisir Seram telah menjadi penganut agama Islam yang mapan. Di kampung-kampung mereka menetap beberapa imam lokal yang melek huruf dan mengajarkan bahasa Melayu dalam abjad jawi. Komunitas-komunitas inilah yang melaksanakan perdagangan dengan hampir semua bagian Maluku dan wilayah-wilayah pesisir Papua terdekat. Mereka juga bekerja sebagai penterjemah bagi para peneliti dan pejabat Belanda. Dan orang-orang dari Papua berkunjung ke Seram untuk mengikuti pendidikan bahasa-bahasa lokal dan agama. Para pimpinan dan pemuka lokal serta komunitas pendatang dari Maluku Tengah (Seram) memiliki kebiasaan dan kewajiban memperkenalkan Islam di manapun mereka tinggal. Dilaporkan bahwa pada pada 1820-an para pemimpin wilayah pesisir semenanjung Onin (Fakfak) telah memeluk agama Islam walaupun dengan pemahaman keagamaan yang masih dangkal, belum ada Mesjid atau rumah-rumah ibadah. Mereka juga belum menjalankan puasa, tetapi mampu melafalkan Sura pertama Al Quran, menguburkan orang mati menurut adat Islam, dan tidak makan Babi atau Penyu.

Sementara Kekristenan masuk ke Tanah Papua bermula pada paroh kedua abad XIX ketika Pemerintah Belanda memulai kampanye politik memperkuat otoritas mereka atas Tanah Papua.34 Pemerintah Belanda memulai

34 Pada abad XIX, Belanda makin memberi perhatian ke NNG untuk

(24)

berbagai kampanye kunjungan pejabat dan ekspedisi riset ke wilayah timur jauh kepulauan Indonesia, termasuk Papua. Rangkaian kunjungan dan ekspedisi tersebut melahirkan kebijakan strategis yaitu pembangunan pos-pos pemerintahan yang kemudian berkembang cepat menjadi pusat-pusat perdagangan dan transportasi laut. Selain motivasi pelindungan kepentingan perdagangan dan ekonomi, klem otoritas Belanda atas Papua didorong oleh beberapa motivasi dasar lain, yakni penataan pemerintahan sampai ke kampung-kampung dan pelaksanaan Politik Etis serta mendukung pelaksanaan pekabaran Injil.

Kampanye dan kebijakan politik Belanda ini di awali dengan pembangunan sebuah benteng, Fort du Bus, di Teluk Triton Kaimana pada 24 Agustus 1828. Tetapi Benteng ini ditinggalkan pada tahun 1836 serangan ganas penyakit Malaria. Pada tahun 1898 Pemerintah Belanda membuka pos pemerintahan di Manokwari dan Fakfak. Langkah ini diikuti dengan pembangunan pos pemerintahan di Merauke (1902), di Biak (1916), Raja Ampat (1921), Teluk Arguni (1924),Tanah Merah/Boven Digul (1926) dan Hollandia/Jayapura (1936). Fakfak sendiri hanya dalam rentang 12 tahun telah berkembang menjadi pelabuhan dan pusat perdagangan yang sibuk dan ramai pada zaman itu.

(25)

antar kelompok atau suku (hongi). Di mulailah pengembangan tata pemerintahan modern di atas Tanah Papua dengan pembagian wilayah pemerintahan (afdeeling): AfdeelingNieuw Guinea Utara dan Afdeeling Nieuw Guinea Barat-Selatan di bawah Keresidenan Ternate pada tahun 1898. Secara khusus dalam rangka penegakkan keamana dan ketertiban patroli-patroli polisi dan militer dikirim ke wilayah pedalaman dan dibuka juga pos-pos pemerintahan baru di sana. Di samping itu untuk memudahkan pengawasan dan pelayanan kepada penduduk, dilaksanakan program pemusatan domisli penduduk, melalui pembangunan kampung-kampung dan pemindahan penduduk. Sesuai tata adat masyarakat setempat pemerintah mengangkat kepala-kepala kampung. Sejak itu Pemerintah Belanda membangun berbagai fasilitas kesehatan dengan aparatnya, pendidikan, pengembangan pertanian, dll.

(26)

pengakuan terhadap kontribusi penting Badan-badan misi Kristen: dibangun dan diselenggarakanlah sekolah-sekolah berasrama. Misi Kristen telah merintis dan mengembangkan secara baik institusi-institusi pendidikan formal di Tanah Papua. Di wilayah Fakfak pimpinan masyarakat kampung yang beragama Islam pun bergabung bersama umat Kristen meminta agar pendidikan formal di buka di wilayah mereka.

Misi Protestan telah mulai secara intensif di Fakfak pada awal abad ke-20. Pada tahun 1912 telah dilaksanakan pembaptisan atas seorang Ibu (Hanna Horik) di pesisir jasirah Fakfak, yakni di Kampung Air Besar. Sesudah itu karya misi UZV diambil alih oleh Zending der Netherlands Herevormde Kerk (ZNHK) sampai tahun 1928. Fakfak dijadikan pos pusat pekabaran Injil yang menjangkau ke arah barat dan selatan. Untuk ditempatkan dua orang Pendeta, yaitu Bout dan Wetstein.35 Selain mengunjungi daerah-daerah pekabaran Injil,

mereka berdua juga bertanggungjawab mendidik dan mempersiapkan para bakal calon guru. Karya misi tersebut diteruskan oleh Indische Kerk. Pada tahun 1935 Indische Kerk menyerahkan karya misi dan pembangunan jemaat-jemaat di Papua bagian selatan (Sorong, Teluk Bintuni, Fakfak, Kaimana dan Merauke) kepada Gereja Protestan Maluku. Pada tahun 1970 Gereja Kristen Injili di Tanah Papua menjadikan Fakfak sebagai salah satu Klasis atau Wilayah pelayanannya melalui peristiwa skisma sebagai besar umat dari GPM. Tahun 1985 GPM memandirikan wilayah pelayanannya di selatan Papua dengan lahirnya Gereja Protestan Indonesia di Papua (GPI Papua). Sejak 1970 mulai hadir gereja-gereja Pentakostal, Baptis, dan Kharismatik.

35Uraian ringkas tentang pekabaran Injil dan gereja di wilayah ini,

(27)

Misi Protestan di wilayah pesisir Semenanjung Onin tidaklah mudah, karena penduduknya telah memeluk Islam.36

Komunitas-komunitas muslim lokal dilindungi oleh kekuatan struktural politik Tidore yang diwakili oleh para Raja dan para aparatur keagamaan Islam. Raja dalam kondisi tertentu dan terutama aparatus keagamaan tidak mudah mengijinkan masuk misi Protestan maupun Katolik di wilayah yang sudah menganut agama Islam. Misi Protestan selain di kota Fakfak sebagai pusat bergerak ke arah Timur dan membangun pos misi di Kampung Air Besar di mana penyelenggaraan sekolah bisa berjalan baik menjelang tahun 1920-an. Bout sangat

menekankan pentingnya peranan sekolah untuk

membebaskan penduduk lokal dari pengaruh-pengaruh negatif perdagangan yang dikuasai oleh para pendatang. Air Besar harus dipertahankan untuk perluasan Misi di Fakfak. Misi Protestan melihat bahwa masyarakat banyak dididik seacara salah dan diperlakukan tidak adil oleh para pedagang dan penguasa-penguasa lokal. Sistim ijon diberlakukan untuk mengikat penduduk. Setelah mereka mendapat uang dari penjualan hasil-hasil, para pedagang menjual barang-barang dengan harga tinggi, sehingga para penduduk membeli dengan harga mahal lagi. Menurut misionaris Protestan usaha mereka membuka sekolah mendapat sambutan dari tokoh-tokoh masyarakat lokal yang beragama Islam, tetapi sering mendapat tantangan dari lingkaran raja tertentu. Hingga kini masih berdiri beberapa sekolah yang diselengarakan oleh Yayasan Pendidikan Kristen di beberapa Kampung Islam (Danaweria37 dan Karas) yang tetap dipertahankan oleh

36Lihat: P. Muskita, “Diktat Kuliah Sejarah Pekabaran Injil di Tanah

Kapaur 1918-1930” (1987) untuk Sekolah Teologia Menengah GPI Papua Fakfak, yang merupakan terjemahan dari tulisan F.Slump sepanjang 1933-1935, “De Zending op West-Nieuw-Guinea”, MNZG 77:86-100, 206-17; 78:101-25, 340-55; 79:184-204.

37 Wawancara pada 23 Maret 2017 dengan Bapak Andarias

(28)

masyarakat setempat. Sekolah-sekolah yang dibuka di kampung-kampung Kristen (seperti Werba, Kapaurtuting, dan Sakartemin) menjadi pilihan bagi murid-murid yang beragama Islam dari kampung-kampung sekitar – mereka bersekolah membaur dengan murid-murid Kristen dan mengikuti juga pelajaran agama Kristen.

Pada masa pendudukan Jepang 1941-1945,38 karya

misi Protestan yang diselenggarakan di dalam dan melalui Gereja Protestan Maluku (GPM) di wilayah Fakfak mendapat hantaman keras. Penguasa militer Jepang menangkap dan membunuh secara kejam para penginjil atau guru jemaat GPM di beberapa jemaat dalam wilayah Teluk Patipi, Kokas, dan Kayuni.39 Karena para para Penginjil atau Guru Jemaat

dianggap sebagai kolaborator pihak Belanda. Para Penginjil atau Guru jemaat GPM beserta istri dan anak-anak dibunuh atau dibantai secara kejam, dengan disuruh terlebih dulu menggali lubang sendiri, kemudian ditutupi mata, dan dipancung oleh tentara Jepang. Jenasah mereka dikubur begitu saja dalam lubang yang sudah mereka gali. Dikisahkan pula bagaimana anak-anak mereka dipukulkan ke pohon hingga meninggal. Tugu untuk memperingati para martir ini dibangun di sudur Tanjung Osir di Teluk Patipi, Fakfak. Pada tahun 1952 rangka para martir ini digali dan dibawa ke Kampung Adora dan selanjutnya dibawa dan dimakamkan di Kokas.

perjalanannya 1954 dipindahkan ke rumah Imamn Nur Merapi, Fakfak. Selama beberapa tahun SD YPK melaksanakan pendidikan di rumah Imam.

38 Lihat:Florence Peea, “Sejarah Pembantaian Inlands Leeraar,

Utusan Injil dan Guru Jemaat di Fakfak Pada Jaman Jepang 1942-1945” (Tesis, STT Cipanas, 2017).

39 Lihat juga J. F. Onim, Islam dan Kristen di Tanah Papua: Meniti

(29)

Terkait dengan peristiwa kejam ini, sempat beredar isu bahwa ada pihak-pihak tertentu yang telah melaporkan keberadaan para Penginjil atau Guru Jemaat sebagai mata-mata Belanda kepada Tentara Jepang. Isu ini bernuansa sentimen keagamaan. Pada tahun 1956 diadakan pertemuan beberapa raja, tokoh masyarakat dan tokoh agama serta umat untuk mendudukan persoalan ini. Di sampaikan bahwa isu tersebut tidak benar, karena bukan saja masyarakat beragama Kristen yang menjadi korban, tetapi juga masyarakat beragama Islam.40 Mereka semua bersepakat bahwa landasan

kehidupan kekerabatan lintas agama harus dijaga. Bermodalkan prinsip hidup agama keluarga inilah masyarakat dapat mengatasi masalah ini dengan baik.

Di wilayah Fakfak misi Katolik bermula dengan kedatangan sosok dinamis dan penuh kasih Pater Cornelis LeCocq d’Armandville di Sekru menumpang sebuah kapal pada 23 Mei 1894.41 Sekru adalah sebuah kampung tempat berlabuh

kapal-kapal dagang serta pergudangan pala, sekitar 8 km ke arah Barat kota Fakfak. Pater LeCocq sebelumnya menjalankan misi yang sangat berhasil dan sangat dicintai umat di Sikka (Flores) tahun 1884-1891. Kemudian Pater LeCocq pindah memulai misi baru di Bomfia Pulau Seram (1892-1895). Bomfia adalah sebuah kampung di kaki bukit bagian Timur Seram. Lokasi yang lebih ke pedalaman ini dipilih untuk menghindar dari penduduk Muslim yang berdiam di wilayah pesisir. Juga di buka lokasi misi baru di Watubela Kepulauan

40 Dikisahkan kembali oleh Raja Patipi, Bapa Ahmad Iba, yang pada

masa Jepang masih kecil dan mengalami hidup yang berpindah-pindah lokasi di wilayah gunung untuk menghindar dari Tentara Jepang. Mereka pada masa itu tidak boleh secara sembarang membakar atau berkatifitas yang menggunakan api, yang sangat mudah menjadi penunjuk keberadaan mereka yang berada dalam pengawasan Tentara Jepang.

41Lihat: Karel Steenbrink, Orang-Orang Katolik di Indonesia

1808-1942: Jlid 2 Pertumbuhan yang spektakuler dari Minoritas yang percaya diri 1903-1942 (Maumere: Penerbit Ledalero, 2006), 389-436; G. Vriens S.J.,

(30)

Kesui. Tetapi misi di Pulau Seram bagian Timur ini diwarnai permusuhan penduduk Muslim terhadap kehadiran para

misionaris. Dicatat bahwa “dari pada berselisih agama dengan

Islam di pulau-pulau kecil itu”, LeCocq melihat ke seberang, yakni wilayah pantai Papua. LeCocq menaruh pandangannya untuk melakukan misi ke wilayah ini. Harapan inilah yang membawanya berlayar ke Fakfak.

Di Sekru, LeCocq diterima dengan baik oleh masyarakat kampung Sekru yang sudah memeluk agama Islam. Masyarakat yang telah memeluk agama Islam ini mengantar Pater LeCocq mewartakan Injil bagi kerabat mereka yang tinggal di daerah gunung. Dalam pewartaan Injil pertama ini (22 Mei – 1 Juni 1894) dibaptislah 73 anak. Salah satu marga utama yang menerima Injil adalah Homba-homba yang menjadi cikal bakal berdirinya umat Katolik di Kampung ini. Dalam karya misinya, LeCocq dibantu oleh seorang Guru Protestan asal Ambon Kristenus Pelletimu yang bertugas mengelola sekolah dan Bruder Zinken yang menjadi kepala dan pembimbing asrama bagi para murid sekolah. Kemudian Pater LeCocq mengarahkan pandangan untuk mencari wilayah baru yang potensial bagi pengembangan pusat misi Katolik.

Baginya di Kapaur tidak ada daerah yang masih ‘perawan’

secara agama. Maka Pater LeCocq sekali lagi melakukan ekspedisi ke arah timur Papua dengan sebuah Sekunar (Perahu) yang disewa dari seorang saudagar Arab Abdullah Baadillah. Baadillah sudah dikenal oleh Pater LeCocq ketika Baadillah menjalani penyembuhan di satu keluarga Protestan di Banda. Perjalanan ekspedisi ini membawa Pater LeCocq ke pantai Mimika dan di sanalah ketika hendak kembali terjadi musibah karena gelombang laut yang hebat: Pater LeCocq meninggal dunia.

(31)

peristiwa-peristiwa sejarah awal kekristenan tersebut dengan melibatkan kehadiran dan peran proaktif serta inklusif warga masyarakat beragama Islam. Kehadiran dan partisipasi saudara-saudara Muslim ini mengalir tanpa kecanggungan sosial-relijius. Sebaliknya perayaan-perayaan keagamaan Islam formal-institusional maupun pribadi-kekeluargaan melibatkan pula secara aktif kerabat-kerabat yang beragama Kristen sesuai relasi-relasi keturunan dan perkawinan.

Harus diakui bahwa berlangsung perlombaan dan persaingan antara misi Protestan dan Katolik di Tanah Papua.42 Dalam sejarah lanjutnya sering terjadi perselisihan

antara “guru Key” dan “guru Ambon” tidak hanya terkait

dengan kleim wilayah, tetapi juga ajaran. Untuk mengatasi kondisi ini, atas dasar pasal 123 Konstitusi Hindia Belanda,43

pada tahun 1912 Gubernur Jenderal menetapkan bahwa Tanah Papua dibagi menjadi dua wilayah misi dengan menetap garis meridian di mana misi katolik tidak boleh melewati titik

4*30’ garis bujur selatan ke arah Utara, ke wilayah Kepala Burung. Secara kasar wilayah misi Katolik lebih ke arah tenggara Tanag Papua (Mimika dan Merauke). Misi Katolik memandang keputusan tersebut tidak adil. Misi Katolik tetap mengkleim waialayh fakfak dan sebagai Kepala Burung dengan berdasar pada kunjungan dan misi singkat Pater LeCocq pada tahun 1894 dan 1896. Pada taun 1925 misi Katolik meminta izin dari Gubernur Maluku untuk membangun kembali pusat Misi di Fakfak atas dasar pemintaan umat Katolik di kampung Sakartemin. Dalam konperensi antara UZV dan Misi Roma Katolik, akhirnya pemerintah mengizinkan pembukaan pusat misi Katolik di Fakfak namun tetap melarang misi Katolik

42 Lihat: Jan Sihar Aritonang and Karel Adrian Steenbrink (eds.), A

History of Chrisitianity in Indonesia (Leiden & Boston: Brill, 2008), 355-358.

43Pasal ini menegaskan kebijakan Pemerintah Hindia Belanda

terkait penyiaran agama Protestan dan Katolik. Pemerintah berkuasa menetapkan wilayah-wilayah yang khusus bagi para misonaris Katolik dan

(32)

masuk ke wilayah Kepala Burung, Waropen dan wilayah sekitar Jayapura demi keamanan. Delegasi misi Protestan yang hadir dalam konperensi itu menyatakan bahwa bila misi Katolik sudah dizinkan memasuki wilayah misi Protestan, maka misi Protestan berhak juga memasuki wilayah misi Katolik di wilayah Selatan Papua. Kondisi ini mendorong terjadinya pembatalan ketetapan terkait dengan garis pemisah wilayah misi tahun 1912. Dengan begitu kedua pihak misi bebas melakukan misi di atas tanah Papua, walaupun masih di bawah pengawasan Pemerintah – karena masih sering timbul

perselisihan antara “guru Key/misi Katolik” dan “guru Ambon/misi Protestan.”44 Tahun 1936 Misi Katolik dizinkan

oleh Gubernur Jenderal untuk menjalankan misi di mana saja di Tanah Papua. Gereja Protestan Maluku yang menerima mandat melanjutkan karya misi UZV di sekitar wilayah Fakfak, Kaimana dan Teluk Arguni, juga boleh tetap melanjutkan karya misi dan pembangunan jemaat-jemaatnya di wilayah Selatan (Merauke).

Sejak dulu telah terjadi pula perlombaan dan persaingan antara Islam dengan Protestan dan Katolik. Pola yang bisa ditunjukkan di sini adalah adanya dua level atau lingkup penganutan keagamaan. Pada level atas institusi dan kelompok ulama selalu muncul mekanisme pertahanan diri, dalam rangka melindungi umat dan wilayah serta agama, berupa penolakan dan perselisihan atau pembatasan. Tetapi pada level atau lingkup masyarakat/umat setempat keterbukaan dan insklusifitas mendorong masyarakat/umat Islam lokal di wilayah pesisir membuka jalan dan mengantar para misonaris untuk berjumpa dan menginjili saudara-saudara atau kerabat-kerabat mereka yang masih tinggal di gunung atau di rumah-rumah kebun.

44 Ada kisah menarik terkait pertikaian Misi Katolik dan Gereja

Referensi

Dokumen terkait

Limit switch adalah salah satu sensor yang akan bekerja jika pada bagian actuator nya tertekan suatu benda, baik dari samping kiri ataupun kanan, mempunyai micro switch

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi defisiensi keselamatan pada zona penelitian ini antara lain adalah: (i) penegasan kembali marka tepi pada jalur

Dengan memahami petunjuk, siswa dapat menjelaskan aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari di rumah tentang menjaga kebersihan di lingkungan rumah dengan tepat.

penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul ” Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Corporate Social Responsibility Disclosure Pada Perusahaan Manufaktur

Deskripsi Mata Kuliah: Dalam mata kuliah ini, mahasiswa dapat memahami, mendiskusikan pokok-pokok iman dan kepercayaan masing-masing dan khususnya Agama Kristen

Eddy (2005) menyatakan bahwa salah satu argumen dalam hubungan antara profitabilitas dan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial adalah bahwa ketika perusahaan

Dengan bimbingan dan arahan guru, siswa mempertanyakan antara lain perbedaan antara berbagai ungkapan menyatakan dan menanyakan tentang niat melakukan sesuatu dalam bahasa