i
ANALISIS INTERVENSI BANK INDONESIA
TERHADAP KURS INDONESIA 2008.1
–
2015.12: PENDEKATAN ARIMA GARCH
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1)
pada Program Sarjana Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro
Disusun oleh :
ARISKI PRIYANTO NIM. 12020112130020
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
ii
PERSETUJUAN SKRIPSI
Nama Penyusun : Ariski Priyanto
Nomor Induk Mahasiswa : 12020112130020
Fakultas/Jurusan : Ekonomika dan Bisnis/IESP
Judul Skripsi : ANALISIS INTERVENSI BANK
INDONESIA TERHADAP KURS
INDONESIA 2008.1 – 2015.12:
PENDEKATAN ARIMA GARCH
Dosen Pembimbing : Firmansyah, S.E., M.Si., Ph.D.
Semarang, 2 Desember 2016
Dosen Pembimbing
(Firmansyah, S.E., M.Si., Ph.D.)
iii
PENGESAHAN KELULUSAN UJIAN
Nama Penyusun : Ariski Priyanto
Nomor Induk Mahasiswa : 12020112130020
Fakultas/Jurusan : Ekonomika dan Bisnis/IESP
Judul Skripsi : ANALISIS INTERVENSI BANK INDONESIA
TERHADAP KURS INDONESIA 2008.1 – 2015.12: PENDEKATAN ARIMA GARCH
Telah dinyatakan lulus ujian pada tanggal 20 Desember 2016
Tim Penguji:
1. Firmansyah, S.E., M.Si., Ph.D. (……….)
2. Banatul Hayati, S.E., M.Si. (……….)
3. Jaka Aminata, S.E., MA., Ph.D (……….)
Mengetahui,
Pembantu Dekan I,
Anis Chariri, SE., M.Com., Ph.D., Akt.
iv
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Ariski Priyanto, menyatakan bahwa
skripsi dengan Judul: Analisis Intervensi Bank Indonesia Terhadap Kurs
Indonesia 2008.1 – 2015.12: Pendekatan ARIMA GARCH, adalah hasil tulisan saya sendiri. Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dalam
skripsi ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan orang lain yang saya
ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau
simbol yang menunjukkan gagasan atau pendapat atau pemikiran dari penulis lain,
yang saya akui seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri, dan/atau tidak terdapat
bagian atau keseluruhan tulisan yang saya salin itu, atau yang saya ambil dari
tulisan orang lain tanpa memberikan pengakuan penulis aslinya.
Apabila saya melakukan tindakan yang bertentangan dengan hal tersebut
di atas, baik disengaja maupun tidak, dengan ini saya menyatakan menarik skripsi
yang saya ajukan sebagai hasil tulisan saya sendiri ini. Bila kemudian terbukti
bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain
seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, berarti gelar dan ijasah yang telah diberikan
oleh universitas batal saya terima.
Semarang, 2 Desember 2016
Yang membuat pernyataan,
(Ariski Priyanto)
v
“
Saya meminta kekuatan, dan Allah memberi saya kesulitan
untuk membuat saya kuat
”
– Salahuddin Al-Ayyubi.“
Tidak mungkin adalah kosakata yang hanya ditemukan di
kamus orang bodoh
”
– Napoleon Bonaparte.Skripsi ini ku persembahkan untuk papa dan mama, serta kedua kakak ku tercinta,
Terkhusus untuk kakak ku almarhum Ariantyono S.Hum.,
Terimakasih atas segala yang telah kau berikan dan kau perjuangkan,
Maaf untuk sementara hanya tumpukan coretas kertas ini yang dapat ku berikan.
vi
ABSTRACT
Since Indonesia applies the regime of the free floating exchange rate and free foreign exchange system, the occurrence is a coincidence with the rising of integrated economic activities as in international relation. In other words, economy of Indonesia has got more integrated with economy of the world. The open-small economic characteristic of economy of Indonesia implies a vulnerability regarding external financial shock as either crisis of trading partner or strengthening currency of its trading partner. The possible effect might come as pressure on exchange rate Rp/USD, even worse when it comes to fluctua ting pressure without proper anticipation, volatility might distort market. As the matter of fact, Bank Indonesia has issued policy of sterilized intervention.
This research aims to analyze the effect of intervention on the volatility of the exchange rate Rp/USD. Furthermore, this research try to explain Bank Indonesia’s sterilization policies in order to stabilize internal condition due to correction and external equilibrium, descriptively. We are using Generalized Autoregeressive Conditional Heterokedasticity (GARCH) model to estimate the volatility of the exchange rate Rp/USD. We are also use GARCH model to explain the effect of Bank Indonesia’s interventions on the volatility of the exchange rate Rp/USD between January 2008 and December 2015.
We are using changes of exchange rate, and reserve requirements as proxies of Bank Indonesia’s interventions. We also extend the analysis to find the effects of net export and difference interest rate to volatility of the exchange rate. The paper finds, Bank Indonesia’s interventions have small impact on volatility of the exchange rate systematically. Although sterilization still can help to keep inflation stability. Monetary contraction policies, such as increasing interest rate can effectively keep exchange rate stable. On the other hand, net exports performances are not enough to keep exchange rate stability.
vii
ABSTRAK
Semenjak Indonesia menerapkan sistem kurs mengambang bebas dan sistem devisa bebas, Indonesia kini dihadapkan dengan aktivitas perekonomian yang selalu berhubungan dan tidak lepas dari fenomena hubungan internasional, dengan kata lain semakin terintegrasinya perekonomian domestik terhadap perekonomian dunia. Perekonomian Indonesia yang semakin terbuka, rentan dengan external financial shock baik itu dampak krisis yang terjadi pada negara mitra dagangnya, ataupun penguatan mata uang negara mitra dagang. Bila terjadi external financial shock efek yang ditimbulkan adalah tekanan yang terjadi pada kurs Rp/USD, dan bila tekanan fluktuatif yang terjadi tidak diantisipasi dengan baik, maka akan memicu volatilitas yang ekstrim dan timbul ketidakpastian pada pasar. Untuk menyikapi tekanan tersebut Bank Indonesia (BI) mengeluarkan beberapa kebijakan, salah satu kebijakannya adalah intervensi sterilisasi.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh intervensi BI terhadap stabilitas kurs Rp/USD yang mengandung volatilitas. Disamping itu, secara deskriptif penelitian ini juga menjelaskan kebijakan sterilisasi yang diterapkan BI guna mengantisipasi stabilitas internal, akibat koreksi dari keseimbangan eksternal. Model Generalized Autoregeressive Conditional Heterokedasticity (GARCH) digunakan untuk mengetahui eksistensi volatilitas pada kurs Rp/USD. Selain itu, model GARCH juga digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi BI terhadap kurs Rp/USD yang mengandung volatilitas. Data yang dianalisis adalah data time series bulanan periode 2008.1 – 2015.12.
Penelitian ini menggunakan variabel perubahan kurs, dan perubahan cadangan devisa sebagai proksi dari intervensi BI. Kami juga mengembangkan analisis kami untuk mengetahui pengaruh net ekspor dan selisih suku bunga terhadap volatilitas Rp/USD. Hasil penelitian menunjukkan intervensi BI ternyata tidak memiliki efek yang berarti. Namun, sterilisasi yang diterapkan ternyata mampu menjaga stabilitas inflasi. Kebijakan kontraksi moneter dengan pengetatan suku bunga ternyata cukup efektif dalam menjaga stabilitas kurs. Disisi lain, kinerja net ekspor belum cukup mampu menjaga stabilitas kurs.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas
limpahan rahmat, hidayah serta inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Analisis Intervensi Bank Indonesia Terhadap Kurs
Indonesia 2008.1 – 2015.12: Pendekatan ARIMA GARCH”. Penulisan skripsi ini
merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Sarjana Strata 1
Universitas Diponegoro Semarang.
Penulis menyadari bahwa selama penyusunan skripsi ini banyak
mengalami hambatan. Namun, berkat doa, bimbingan, dukungan, dan bantuan
dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk itu
secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :
1. Kedua orang tua ku tercinta, Ayahanda Drs. Priyo Suryanto dan Ibunda Hj.
Ani Ratnawati S.H., yang selalu memberikan semua dukungan moril maupun
materiil, serta memberikan curahan kasih sayang, doa-doa, dan motivasi yang
tak ternilai bagi penulis.
2. Kedua kakak ku tercinta, Aryo Prasetyo S.E. dan Ariantyono S.Hum., yang
selalu mendukung dan percaya kepada penulis hingga akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
3. Ariska Nurfajar Rini yang selalu mendukung penulis, memberikan motivasi,
saran dan bantuan untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. Suharnomo, S.E., M.Si. selaku Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis
ix
5. Akhmad Syakir Kurnia, S.E., M.Si, Ph.D. selaku Kepala Jurusan Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Diponegoro.
6. Firmansyah, S.E., M.Si., Ph.D. selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktunya untuk berdiskusi, memotivasi, memberikan masukan
dan saran yang sangat berguna bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Dr. Nugroho SBM., MSP. selaku dosen wali yang telah memberikan
bimbingan, dan pengarahan, selama penulis menjalani studi di Fakultas
Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro.
8. Seluruh dosen dan staff Fakultas Ekonomika dan Bisnis, khususnya pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Diponegoro
yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
9. Keluarga Besar Wignyosuprapto Jogja, yang selalu memberikan dukungan,
doa-doa, serta motivasi kepada penulis.
10. Om Adhi dan keluarga untuk seluruh dukungan yang telah diberikan kepada
penulis
11. Amar, Ami, Andre, Anih, Dzakir, Ilham, Intan, Jati, Linggar, Silo, Tio,
Yanda untuk semua suka-duka, diskusi, motivasi, persahabatan dan kenangan
selama kuliah.
12. Hami M. Furkon, Nurul Qolbi, Ratna Hartiningtyas, dan Sandy J. Maulana
yang telah meluangkan waktunya untuk berdiskusi, memberikan masukan,
x
13. Teman-teman dari Lembaga Pers Mahasiswa Edents yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk belajar banyak mengenai tata cara
penulisan, membantu penulis menjadi pribadi yang lebih baik, dan untuk
seluruh pengalaman yang telah diberikan kepada penulis.
14. Semua teman IESP 2012 untuk semua pengalaman yang tidak akan
terlupakan.
15. TIM KKN TEMATIK yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas
kebersamaanya dan selalu kompak, sukses selalu kawan .
16. Seluruh penghuni Kost Sapto, terimakasih untuk semua kenangannya.
17. Semua pihak yang telah membantu dan teman-teman penulis lainnya yang
tidak dapat diucapkan satu persatu.
Penulis sangat menyadari skripsi ini masih ada kekurangan karena
keterbatasan ilmu yang dimiliki. Namun penulis berharap, skripsi ini dapat
memberikan manfaat untuk berbagai pihak.
Semarang, 2 Desember 2016
Penulis,
Ariski Priyanto
xi
1.4 Kegunaan Penelitian ... 24
1.5 Sistematika Penulisan ... 25
BAB II TELAAH PUSTAKA ... 27
2.1 Landasan Teori ... 27
2.1.1 Teori Kurs ... 27
2.1.2 Paritas Tingkat Bunga ... 30
2.1.3 Determinan Valas dalam Pembentukan Kurs ... 33
2.1.4 Volatilitas Kurs ... 41
2.1.4.1 Pengukuran Volatilitas Kurs... 43
2.1.5 Kinerja Ekspor-Impor Terhadap Kurs ... 44
2.1.6 Intervensi Sterilisasi dan Non-Sterilisasi dalam Mengendalikan Kurs ………. 45
2.1.6.1 Teori Signalling Channel ... 53
2.1.6.2 Teori Portfolio Channel ... 56
2.2 Penelitian Terdahulu ... 59
xii
2.4 Hipotesis Penelitian ... 69
BAB III METODE PENELITIAN... 70
3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 70
3.2 Jenis dan Sumber Data ... 72
3.3 Metode Pengumpulan Data ... 73
3.4 Metode Analisis Data ... 73
3.4.1 Spesifikasi Model ... 74
3.4.1.1 Metode Box-Jenkins (B-J) ... 76
3.4.1.2 Model ARCH... 80
3.4.1.3 Model GARCH ... 81
3.5 Uji Alat Analisis Penelitian ... 82
3.5.1 Uji Akar Unit –Augmented Dickey Fuller (ADF) ... 82
3.5.2 Uji Correlogram (ACF dan PACF) ... 82
3.5.3 Uji Statistik Q ... 83
3.5.4 Pemilihan Model Terbaik (Akaike) ... 84
3.5.5 Uji ARCH-LM ... 85
3.5.6 Pengujian Normalitas Data ... 86
3.5.7 Uji Signifikansi ... 87
3.6 Metode Deskriptif Perhitungan Sterilisasi... 89
BAB IV PEMBAHASAN ... 91
4.1 Deskripsi Objek Penelitian ... 91
4.1.1 Gejolak Fluktuasi Kurs dan Keterkaitan Net Ekspor Indonesia ... 91
4.1.2 Cadangan Devisa dan Kebijakan Intervensi BI ... 96
4.1.3 Perkembangan Suku Bunga ... 99
4.2 Hasil Estimasi Penelitian ... 102
4.2.1 Pengujian Stasioneritas Data ... 102
4.2.2 Identifikasi Model Box-Jenkis ... 106
4.2.3 Estimasi Model ARIMA ... 107
4.2.4 Pemilihan Model ARIMA Terbaik ... 111
4.2.5 Estimasi Model GARCH... 112
xiii
4.2.7 Uji Normalitas ... 115
4.2.8 Uji Signifikansi ... 115
4.3 Interpretasi Hasil dan Pembahasan ... 118
4.4 Penerapan Kebijakan Sterilisasi ... 122
BAB V PENUTUP ... 124
5.1 Simpulan ... 124
5.2 Keterbatasan dan Saran Penelitian ... 126
5.2.1 Keterbatasan Penelitian ... 126
5.2.2 Saran ... 126
DAFTAR PUSTAKA ... 128
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Kebijakan Stabilitas Kurs Rupiah Periode 2008/09 ... 10
Tabel 1.2 Penguatan Dolar AS Terhadap Mata Uang Lain (Maret 2015) ... 14
Tabel 2.1 Gambaran Neraca Keuangan Bank Sentral ... 47
Tabel 2.2 Sinyal Intervensi Yang Betujuan Untuk Mengurangi Volatilitas Kurs 55 Tabel 2.3 Ringkasan Penelitian Terdahulu ... 62
Tabel 3.1 Deskripsi Variabel... 72
Tabel 3.2 Teknik Analisis Penelitian ... 76
Tabel 3.3 Model Analisis Time Series ... 77
Tabel 3.4 Rasio Sterilisasi ... 90
Tabel 4.1 Uji ADF Tingkat Level ... 104
Tabel 4.2 Uji ADF Tingkat First Difference ... 105
Tabel 4.3 Korelogram Perubahan Kurs ... 106
Tabel 4.4 Estimasi Model Tentatif ARIMA ... 108
Tabel 4.5 Estimasi Model ARI(1,2,12) ... 112
Tabel 4.6 Estimasi Model GARCH(1,1) ... 113
Tabel 4.7 Uji ARCH-LM ... 114
Tabel 4.8 Uji Normalitas ... 115
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kurs Indonesia dan Paket Kebijakan Stabilisasi Kurs Januari 2008 –
Desember 2015... 9
Gambar 1.2 Cadangan Devisa Indonesia Januari 2008 – Desember 2015 ... 13
Gambar 1.3 Transaksi Berjalan Indonesia Q1 2008 – Q3 2015 ... 16
Gambar 2.1 Keseimbangan Umum di Pasar Uang Dan Pasar Valas ... 39
Gambar 2.2 Kebijakan Intervensi Sterilisasi ... 51
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 68
Gambar 4.1 Pergerakan Kurs Indonesia Januari 2008 – Desember 2015 ... 92
Gambar 4.2 Net Ekspor Indonesia Januari 2008 - Desember 2015 ... 94
Gambar 4.3 Ekspor-Impor Indonesia ... 95
Gambar 4.4 Pergerakan Cadangan Devisa Indonesia Januari 2008 - Desember 2015 ... 97
Gambar 4.5 Pergerakan BI Rate dan Suku Bunga Deposito Indonesia Januari 2008 - Desember 2015 ... 100
Gambar 4.6 Pergerakan Suku Bunga Deposito Indonesia dan US Prime Rate Januari 2008 - Desember 2015 ... 101
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia secara resmi mulai menerapkan rezim free floating sejak 14
Agustus 1997. Pergeseran rezim yang dialami oleh Indonesia sudah terjadi
semenjak tahun 1978, yang kala itu Indonesia masih menerapkan sistem fix dan
managed folating. Adanya pergeseran rezim ini dilatar belakangi oleh berbagai
hal, seperti halnya rezim fix yang kala itu mengacu pada sistem standar emas
(gold standard system). Hal ini terjadi dikarenakan meletusnya perang dunia I dan
II yang membuat runtuhnya sistem standar emas dan rezim fix pun ditinggalkan.
Selanjutnya, Indonesia mulai mengadopsi rezim manage floating, pada sistem ini
kurs diambangkan terhadap mata uang mitra dagang Indonesia. Seperti halnya
yang diungkapkan oleh Goeltom dan Zulferdi (1998), dalam rezim ini otoritas
moneter membiarkan kurs bergerak bebas dipasar dengan spread tertentu yang
sudah ditetapkan. Secara langsung mengartikan bahwa, otoritas moneter dapat
melakukan intervensi apabila kurs mengalami tekanan melebihi batas dari spread
yang telah ditetapkan.
Pada 14 Agustus 1997, Indonesia melakukan perubahan rezim kurs untuk
yang ke dua kalinya, yaitu perubahan dari managed floating menjadi free floating.
Hal ini didorong oleh kurs rupiah yang semakin melemah dan terus mengalami
tekanan terhadap dolar Amerika (USD), terlebih disebabkan oleh krisis tahun
2
keseluruh kawasan ASEAN termasuk Indonesia. Krisis tersebut membuat kurs
Indonesia berfluktuasi dan rupiah mengalami volatilitas yang cukup tinggi
(Hasyyati, 2013). Untuk menahan gejolak pada kurs rupiah, otoritas moneter yang
dalam hal ini adalah Bank Indonesia (BI), melakukan intervensi untuk
menstabilkan kurs rupiah. Fakta yang terjadi, intervensi yang dilakukan hanya
membuat cadangan devisa Indonesia terus berkurang dan rupiah sulit untuk
dikendalikan.
Goeltom dan Zulferdi (1998) menjelaskan, tekanan yang terjadi pada
Rupiah saat terjadinya krisis sudah dapat diredam oleh Bank Indonesia dengan
melakukan intervensi secara spot maupun forward. Namun, hal itu hanya bersifat
temporer (sementara), sebab tekanan yang dihadapi Rupiah terus mengalami
peningkatan, khususnya pada awal Agustus 1997, yang saat itu Rupiah tertekan
hingga Rp2.650 per 1 USD. Hal itu yang mendorong otoritas moneter untuk
mengembangkan Rupiah (free floating), guna mengamankan cadangan devisa
Indonesia dan menghindari resiko tekanan pada kurs Rupiah yang lebih dalam.
Pada dasarnya penentuan dari sistem kurs yang dianut oleh suatu negara
menurut Yuliadi (2008: 86) dapat ditinjau dari tiga aspek yang mendasarinya,
yaitu (1) karakteristik struktur perekonomian yang ditentukan oleh titik optimal
melalui sistem kurs untuk menyeimbangkan antara keseimbangan eksternal dan
internal, yang dalam karakteristik inilah pemilihan sistem kurs dapat ditentukan,
(2) sumber gejolak (source of shock), baik dari sektor moneter atau sektor riil dan
(3) kredibilitas pengambil kebijakan (policy maker) baik secara politik maupun
3
Sejak diterapkannya sistem kurs mengambang bebas di Indonesia, saat ini
Indonesia dihadapkan pada perekonomian yang terbuka (small open economy),
berimplikasi bahwa perekonomian Indonesia akan semakin terintegrasi dengan
perekonomian dunia, yang dalam aktivitasnya selalu berhubungan dan tidak lepas
dari fenomena hubungan internasional, baik itu menyangkut kegiatan
perekonomian seperti, perdagangan ataupun sosial-politik (Asmanto dan
Suryandari, 2008). Implikasi lainnya, pergerakan kurs dipasar menjadi rentan oleh
pengaruh keadaan dunia dan pemerintah pun tidak dapat lagi mengintervensi
secara langsung kurs pada pasar uang, maupun pasar valas bila terjadi tekanan
ataupun gejolak pada kurs Rupiah.
Chou 2000 (dalam Mellyastannia dan Syafri 2014) menjelaskan, bahwa
tekanan yang terjadi pada negara yang menerapkan sistem kurs mengambang
bebas (free floating) biasanya disebabkan dari gejolak yang ada di pasar uang dan
pasar valas, baik itu dampak krisis yang terjadi pada negara mitra dagangnya,
ataupun penguatan mata uang negara mitra dagang. Jika kurs dibiarkan terus
mengalami tekanan dan sulit untuk menguat, hal ini akan menyebabkan volatilitas
pada mata uang tersebut. Kurs yang terlalu volatile akan menimbulkan
ketidakpastian di pasar, serta memicu ekspektasi depresiasi lebih lanjut.
Depresiasi kurs bisa menyebabkan kenaikan harga impor yang pada akhirnya
memicu inflasi dalam negeri. Menurut (Bonser-Neal, 1996), volatilitas yang
terlalu ekstrim dapat mengganggu jalannya perekonomian suatu negara
4
luar negeri berkurang, kebijakan yang diterapkan menjadi tidak efektif, market
fundamental berupa income, tingkat bunga, dan money supply tidak stabil.
Tercermin pada kondisi pasar yang tidak stabil, disebabkan oleh kurs yang
selalu berubah-ubah, baik itu mengalami undervalued ataupun overvalued. Bila
Rupiah terus mengalami tekanan dan dibiarkan terus terjadi (undervalued), hal ini
akan membuat perekonomian mengalami fluktuasi output dan menimbulkan
speculative attack. Kondisi ini yang memaksa otoritas moneter untuk melakukan
intervensi di pasar, ditunjukkan untuk menjaga kurs Rupiah agar tidak keluar dari
intervalnya, menjaga kondisi pasar agar tetap stabil, menjaga likuiditas
perekonomian dan untuk meredam aksi para speculative attack melalui penguatan
operasi moneter (OM), yang berfokus pada pasar uang Rupiah dan pasar valas
(stabilitas supply dan demand). Selayaknya pernyataan Samiun (1998),
menurutnya intervensi merupakan sinyal bahwa kurs sudah terlalu jauh dari
fundamentalnya, oleh karena itu intervensi dilakukan. Namun yang perlu
ditekankan, intervensi yang dilakukan oleh otoritas moneter sebagai sebuah upaya
pengendalian kurs agar bergerak secara teratur dan tidak berfluktuasi tajam,
dengan kata lain menjaga kurs dalam range yang konstan ditengah keadaan pasar
yang tidak pasti atau dapat dikatakan kurs tidak mengalami volatilitas yang tinggi.
Laporan BI (2015) menunjukkan, bahwa intervensi yang dilakukan oleh
BI terjadi hanya saat Rupiah bergejolak secara berlebih dan tidak dapat diserap
oleh pasar. Intervensi dilakukan melalui penjualan atau pembelian valas dan
secara langsung berpengaruh terhadap jumlah uang beredar (likuiditas). Oleh
5
dapat menggunakan instrumen operasi moneter, antara lain lelang sertifikat
deposito bank Indonesia (SDBI) dan reverse repo SBN. Langkah lainnya adalah
pengaturan transaksi valas dan arus modal. Pada prisipnya, tujuan dari pengaturan
transaksi valas adalah meminimalkan transaksi valas yang tidak didasari oleh
kegiatan ekonomi. Sementara itu, pengaturan arus modal bertujuan untuk
meminimalkan dampak dari arus modal jangka pendek yang mudah keluar masuk.
Intervensi yang dilakukan oleh otoritas moneter ternyata dipercayai oleh
sebagian kelompok dapat menjaga stabilitas kurs dan menghentikan speculative
attack. Namun, beberapa kelompok lain meyakini intervensi yang dilakukan bank
sentral hanya akan meningkatkan volatilitas pada kurs yang pada selanjutnya
berkontribusi menyebabkan pasar yang tidak pasti (uncertainty), dan
meningkatkan speculative attack.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bonser-Neal (1996) dalam
menganalisis volatilitas yang terjadi pada Deutsche Mark (DM)/USD dan
Yen/USD terhadap intervensi pemerintah menunjukkan bahwa intervensi bank
sentral umumnya tidak mengurangi volatilitas kurs, sebaliknya intervensi yang
dilakukan memberikan efek pada volatilitas kurs dan dalam beberapa kasus
bahkan meningkatkan volatilitas. Sedangkan, penelitian oleh Guimaraes dan
Karacadag (2004) yang membahas mengenai intervensi pada volatilitas kurs di
Meksiko dan Turki menunjukkan hasil bahwa intervensi memiliki efek yang
lemah pada volatilitas kurs. Dalam kasus Meksiko, intervensi yang dilakukan
dapat membuat volatilitas semakin meningkat dengan adanya penjualan valuta
6
berpengaruh kecil terhadap volatilitas dan dapat meningkatkan volatilitas dalam
jangka panjang. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kesalahan dalam
spesifikasi model dan juga kegagalan dalam mengendalikan faktor politik dan
ekonomi.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Aguilar dan Nydahl (1998), dalam
menganalisis intervensi yang dilakukan oleh Riskbank (Bank Sentral Swedia)
terhadap volatilitas kurs SEK/USD dan SEK/DM pada periode 1993-1996,
ditemukan bukti yang lemah dari intervensi yang dilakukan oleh Riskbank dalam
pengaruhnya terhadap volatilitas kurs. Sebaliknya, analisis yang dilakukan dari
beberapa periode menunjukkan efek yang negatif dan signifikan terhadap
intervensi yang dilakukan pada SEK/USD dan terjadinya volatilitas untuk tahun
1994 dan 1995, tetapi efek positif juga ditunjukkan pada tahun 1993.
Hasil lainnya yang ditunjukkan oleh Dominguez (1998), dalam
penelitiannya mengenai pengujian kebijakan intervensi pada volatilitas kurs
Dollar-Mark dan Dollar-Yen periode 1977-1994, menunjukkan adanya indikasi
bahwa operasi intervensi yang dilakukan akan meningkatkan volatilitas kurs. Hal
ini terutama berlaku dari intervensi yang sifatnya rahasia tanpa adanya
pemberitahuan kepada publik mengenai intervensi yang dijalankan. Hasil yang
ditunjukkan pada 1980, intervensi yang berjalan ternyata mampu mengurangi
volatilitas pada kurs, namun secara keseluruhan pada periode 1977-1994,
7
Berbagai penelitian yang menjelaskan mengenai hubungan intervensi
terhadap volatilitas kurs nyatanya berpengaruh signifikan tapi dalam ukuran yang
sangat lemah secara statistik, dan biasanya terjadi pada kurun waktu jangka
pendek. Ukuran dari efektivitas suatu operasi intervensi faktanya sangat
ditentukan oleh beberapa faktor, seperti kemampuan menilai titik keseimbangan
kurs yang mencerminkan kondisi fundamental ekonomi, Faktor lainnya adalah
kemampuan menilai sentimen pasar (faktor psikologis) yang sedang terjadi
diantara pelaku pasar.
Berhasil tidaknya suatu intervensi dimotori oleh dua faktor yang berbeda
yaitu, faktor internal dan ekternal. Faktor eksternal seperti, keakuratan informasi
ekspektasi pasar, likuiditas perbankan (GWM), kondisi ekonomi dan
non-ekonomi. Sedangkan untuk faktor internal, seperti kecukupan cadangan devisa
dan ketepatan dalam pengambilan keputusan, serta koordinasi terpadu dengan
satuan kerja terkait. (Samiun, 1998). Sejalan dengan hal itu, menurut Galati dan
Disyatat (2007), menyimpulkan bahwa intervensi lebih mungkin untuk menjadi
efektif dalam periode dimana otoritas moneter membuat pernyataan yang kredibel
dalam melakukan tindakan kebijakan yang tegas, untuk mempengaruhi kurs
(sinyal pemberlakuan dan transparansi intervensi).
Pada dasarnya intervensi tergolong menjadi dua macam, yaitu intervensi
sterilisasi dan intervensi non-sterilisasi. Perbedaan mendasar dari kedua intervensi
tersebut adalah ada atau tidaknya perubahan pada basis moneter, dengan kata lain
sterilisasi diterapkan untuk menjaga keseimbangan internal akibat koreksi dari
8
seharusnya otoritas moneter sudah memahami apa motif dan tujuan dari intervensi
tersebut, agar intervensi yang dilakukan tidak mengganggu jalannya
perekonomian domestik dan kegiatan perdagangan internasional atau perdagangan
dengan mitra dagang.
Pada kasus di Indonesia, tujuan dari kebijakan moneter yang dilakukan
oleh BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, dan tercantum
dalam UU No.3 Tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia. Dalam situs resmi
BI dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain
adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada
inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia
menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama
kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem kurs
yang mengambang (free floating). Peran kestabilan kurs sangat penting dalam
mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, BI juga
menjalankan kebijakan stabilitas kurs untuk mengurangi volatilitas kurs yang
berlebihan, bukan untuk mengarahkan kurs pada level tertentu. Dalam hal ini
mengartikan kurs tetap berada pada fundamentalnya, yaitu pada range yang
konstan sehingga menghindari pasar dari kondisi ketidakpastian.
Semenjak terjadinya krisis ekonomi global yang berawal di Amerika pada
tahun 2007, ternyata berdampak pada negara-negara lain diseluruh dunia termasuk
di Indonesia. Krisis yang bermula dari Amerika tersebut dikenal dengan krisis
subprime mortage, yaitu adanya pemberian kredit perumahan yang masif kepada
9
tersebut, mulai dirasakan Indonesia pada akhir tahun 2008. Indonesia mengalami
perlambatan ekonomi yang tercermin oleh kinerja ekspor yang terus mengalami
penurunan. Data statistik BI menunjukkan, disisi eksternal neraca pembayaran
Indonesia mengalami peningkatan defisit dan kurs rupiah mengalami pelemahan
signifikan. Pada pasar keuangan, selisih resiko dan surat-surat berharga Indonesia
mengalami peningkatan yang cukup signifikan yang mendorong arus modal
keluar dari investasi asing di bursa saham, seperti halnya Surat Utang Negara
(SUN) dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Gambar 1.1
Kurs Indonesia dan Paket Kebijakan Stabilisasi Kurs Januari 2008 – Desember 2015
Sumber: BI (2015), diolah
Gambar 1.1 menunjukkan fluktuasi kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika,
serta berbagai kebijakan yang ditempuh BI guna menjaga stabilitas kurs. Imbas
krisis global yang dihadapi Rupiah pada akhir tahun 2008 membuat Rupiah
mengalami tekanan yang cukup dalam, hingga menembus Rp12.000/USD. Hal itu
0
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
R
valas (underlying) Pembelian Wesel Ekspor Berjangka, pengaturan transaksi valas dan larangan
transaksi structured product
Penurunan rasio GMW untuk bank umum. Pencabutan pasal 4 PBI No. 7/1/PBI/2005, perpanjangan tenor foreign
exchange swap, penyediaan pasokan valas untuk perusahaan domestik
Intervensi di pasar valas, pembelian SBN di pasar sekunder, Operasi Pasar Terbuka, lelang Foreign Exchange (FX)
10
dipicu oleh adanya pencairan aset-aset finansial oleh investor asing di pasar uang
Rupiah, disertai pula oleh meningkatnya perilaku investor asing yang menghindari
resiko, dan berakibat pada meningkatnya tekanan di pasar keuangan. Sedangkan,
disisi pasar valas, pasokan valas menurun tajam karena adanya capital out flow
dari modal asing, berkurangnya minat investasi asing, dan menurunnya devisa
hasil ekspor. Sementara itu, tingginya harga komoditas, khususnya minyak dan
ekspansi ekonomi domestik mengakibatkan peningkatan permintaan valas
domestik. Akibatnya pasokan valas menjadi terbatas dan rupiah mengalami
tekanan depresiatif yang cukup tinggi (Laporan Tahunan BI Tahun 2008-2009).
Kurs rupiah yang melemah mendorong harga barang impor menjadi mahal
sehingga turut memicu kenaikan harga barang dalam negeri, selain itu kurs yang
melemah menyebabkan jumlah kewajiban pembayaran utang luar negeri
meningkat. Pada akhirnya BI menerbitkan paket kebijakan yang ditunjukkan pada
tabel 1.1, guna menjaga stabilitas kurs rupiah, agar rupiah tidak tertekan terlalu
tajam dan kurs rupiah tidak mengalami volatilitas yang tinggi.
Tabel 1.1
Kebijakan Stabilitas Kurs Rupiah Periode 2008/09
No Kebijakan Tujuan Tanggal Efektif
Berlaku
Pencabutan ketentuan pasal 4 PBI No.
11
swap dari paling lama 7 hari menjadi
sampai 1 bulan
Untuk menambah
pasokan valas yang
bersifat temporer
15 Oktober 2008
4 Penyediaan pasokan valuta asing bagi perusahaan dometik melalui perbankan
asing terhadap rupiah oleh nasabah atau
Pihak Asing kepada Bank diatas
USD100.000 (seratus ribu US Dollar)
per bulan per Nasabah atau per Pihak
Asing hanya dapat dilakukan dengan
6 Pembelian Wesel Ekspor Berjangka oleh Bank Indonesia
ternyata belum mampu menahan tekanan-tekanan yang disebabkan oleh krisis
ekonomi global. Menyadari hal itu, BI mulai mengambil langkah kembali dengan
12
bulan dan kebijakan di pasar valas, yaitu membuka instrumen repurchase
agreement (repo) valas dengan menggunakan Global Bond pemerintah Republik
Indonesia (RI) sebagai jaminan dalam transaksi tersebut. Adanya kebijakan
tersebut, membuat bank domestik dapat melakukan repo Global Bond pemerintah
RI yang dimilikinya ke Bank Indonesia untuk mendapatkan likuiditas valas.
Data statistik BI menunjukkan, tercatat pada Maret 2009 sentimen positif
dari pasar keuangan global mulai terasa, sehingga membawa aliran modal asing
masuk kembali ke emerging market termasuk Indonesia dan mengurangi tekanan
terhadap kurs. Sedangkan pada akhir Maret 2009, Rupiah mencatat pelemahan
sebesar 5,7% mencapai level Rp11.555 per dolar AS dengan volatlitas 1,0%.
Pelemahan kurs tersebut lebih rendah dibandingkan dengan triwulan akhir tahun
2008 yang tercatat sebesar 13,8% dengan volatlitas 2,4%. Perkembangan kurs
rupiah tersebut juga masih selaras dengan kondisi di negara kawasan. Selain itu,
perbaikan juga terjadi di pasar valas domestik, sehingga mendukung apresiasi
rupiah sebesar 14.6% pada pertengahan tahun 2009, dan ditutup pada level
Rp10.080 per dolar AS. (Laporan Tahunan BI Tahun 2008-2009).
Hasil dari kebijakan dan intervensi BI untuk menstabilkan kurs ternyata
berpengaruh juga terhadap cadangan devisa Indonesia. Dapat dilihat pada gambar
1.2 kurun waktu 2008/09 cadangan devisa Indonesia tergerus dan mengalami
penurunan. Hal ini terjadi karena Indonesia cenderung masih mengacu pada
cadangan devisa yang digunakan sebagai penstabil kurs untuk menghindari
depresiasi kurs dari gejolak ataupun krisis yang melanda (penggunaan intervensi).
13
USD, posisi ini merupakan yang terendah setelah posisi per akhir Mei 2007 yang
mencapai 50.113 miliar USD. Hal ini disebabkan oleh adanya capital outflow
yang terjadi begitu masif dan juga merupakan efek dari intervensi yang
diberlakukan oleh otoritas moneter di pasar valas guna menjaga stabilitas Rupiah.
Hingga pertengahan tahun 2009 cadangan devisa Indonesia mulai kembali baik
hingga menembus 66 miliar USD, yang disebabkan oleh perbaikan ekonomi
global.
Gambar 1.2
Cadangan Devisa Indonesia Januari 2008 – Desember 2015
Sumber: BI (2015), diolah
Pada dasarnya cadangan devisa berfungsi sebagai buffer stock untuk
mengantisipasi keadaan pasar yang tidak pasti dimasa yang akan datang.
Sehingga, bila terjadi tekanan depresiasi pada kurs akibat memburuknya term of
14
Tekanan kurs Rupiah ternyata mulai dirasakan kembali pada pertengahan
tahun 2013 hingga akhir tahun 2015. Penyebabnya dilatarbelakangi oleh
perbaikan ekonomi Amerika Serikat pasca krisis keuangan global dan
berpengaruh terhadap likuiditas global (arus pergerakan dolar di pasar). Ternyata
dampak langsung yang diberikan dari perbaikan ekonomi Amerika bukan hanya
menimpa Indonesia saja, hampir sebagian besar kurs mata uang di negara-negara
maju dan berkembang juga mengalami depresiasi yang cukup dalam terhadap
dolar Amerika.
Tabel 1.2
Penguatan Dolar AS Terhadap Mata Uang Lain (Maret 2015)
Sumber: BI (2015), diolah
Pada tabel 1.2 dapat dilihat, penguatan dolar Amerika berdampak
langsung terhadap mata uang negara-negara lain, seperti halnya EURO Uni Eropa,
Yen Jepang, Ringgit Malaysia, bahkan yang terdalam adalah Real Brazil.
Penguatan USD yang terjadi tidak semata-mata terjadi begitu saja, melainkan juga
didukung oleh kebijakan strategis yang dijalankan oleh The Fed, yaitu kebijakan
40.60%
15
pemberian stimulus (Quantitative Easing/QE) pasca krisis ekonomi global
(subrime mortage) pada tahun 2008, dan kebijakan penarikan stimulus (Tapering
Off/TO).
Kebijakan QE merupakan kebijakan pemberian stimulus melalui
pembelian aset oleh The Fed, dan tujuannya untuk memberikan stimulus dana
bagi perusahaan untuk berproduksi yang ditunjukkan untuk menggerakan
ekonomi Amerika. Setelah dirasa pemberian dana stimulus telah cukup, maka The
Fed akan memotong pemberian dana stimulus tersebut, atau secara tidak langsung
menjalankan kebijakan TO. Hal ini berguna juga untuk menjaga nilai dolar dan
mengantisipasi inflasi yang berlebih. Selanjutnya, The Fed akan melakukan
normalisasi suku bunga dengan meningkatkan suku bunga, dan berdampak
terjadinya relokasi investasi dari Indonesia ke Amerika (Capital Outflow).
Disisi lain, ternyata faktor penyebab penguatan dolar Amerika terhadap
Rupiah juga dipengaruhi oleh faktor domestik. Natasha (dalam Laporan BI 2015),
menjelaskan selain faktor eksternal seperti, ekspektasi kenaikan suku bunga The
Fed (FFR), faktor-faktor domestik turut juga mendorong pelemahan kurs rupiah.
Utamanya seperti, faktor kekhawatiran perlambatan pertumbuhan ekonomi, defisit
transaksi berjalan dan keterbatan likuiditas dalam mengakses valuta asing. Selain
itu, faktor lainnya adalah perlambatan ekonomi global dan turunnya harga-harga
16
Gambar 1.3
Transaksi Berjalan Indonesia Q1 2008 – Q3 2015
Sumber: BI (2015), diolah
Pada gambar 1.3, dapat dilihat bahwa perkembangan transaksi berjalan
Indonesia semenjak tahun 2011 Q4 mengalami defisit sebesar -2.3 miliar USD.
Selanjutnya, secara berturut-turut pada tahun 2012, 2013, dan 2014 transaksi
berjalan mengalami tren yang negatif bahkan defisit transaksi berjalan kian
mendalam, masing-masing sebesar 24.4 miliar USD, 29.1 miliar USD dan 26.2
miliar USD. Defisit terdalam transaksi berjalan Indonesia tercatat pada tahun
2013 Q2, sebesar 10.1 miliar USD. Kondisi ini memperlihatkan bahwa sejak
tahun 2012, kebutuhan penduduk Indonesia atas dolar meningkat sehingga
memperlemah kurs rupiah terhadap dolar.
Laporan BI (2015) menunjukkan, sejak dua tahun terakhir angka defisit
transaksi berjalan masih sekitar 3%. Jika angka defisit transaksi berjalan tidak
mengecil, kemungkinan yang terjadi adalah ketidakmampuan perekonomian
untuk membiayai aktivitas ekonomi, hal ini akan sangat mempengaruhi investor.
-12
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
17
Selain itu, pasar keuangan yang belum dapat bekerja dengan baik juga
menyebabkan arus modal mudah keluar (capital inflow) dari Indonesia jika
mengalami tekanan atau sentimen global.
Menanggapai hal ini, BI secara komperhensif memberlakukan beberapa
kebijakan dan intervensi sepanjang tahun 2013 hingga akhir tahun 2015 untuk
menjaga kurs Indonesia yang terus tertekan akibat perbaikan ekonomi Amerika
dan mendorong adanya capital inflow. Kebijakan yang diberlakukan sepanjang
tahun 2013 seperti halnya, menaikkan suku bunga deposit facility (DF),
memperkuat operasi moneter terbuka (OPT), hingga menaikan BI rate menjadi
7.5% pada akhir tahun.
Selain itu, BI juga menjalankan intervensi di pasar valas guna menjaga
stabilitas kurs rupiah dengan menjalankan strategi dual intervention, yaitu
intervensi di pasar valas yang disertai dengan pengembalian SBN di pasar
sekunder. Strategi ini merupakan solusi yang diharapkan dapat mendukung
kestabilan kurs di satu sisi dan kestabilan harga SBN di sisi lain. Intervensi yang
di lakukan di pasar valas diarahkan untuk menutupi kesenjangan permintaan dan
penawaran di tengah struktur pasar yang belum dalam. Sementara intervensi di
pasar SBN, disamping mengatasi sumber tekanan depresiasi rupiah yang berasal
dari pelepasan SBN dari investor asing, juga dimaksudkan untuk menjaga
ketersediaan pasokan likuiditas rupiah yang berkurang akibat intervensi valas
tersebut. Langkah ini sekaligus menambah kepemilikan SBN BI yang akan
digunakan sebagai underlying instrumen RR SBN (Laporan Tahunan BI, 2013).
18
mendapat respon positif bagi stabilitas kurs, walaupun masih dalam
kecenderungan yang negatif (Gambar 1.1 Pergerakan Rupiah Terhadap Dolar
Januari 2008 – Desember 2015).
Pada tahun 2014, BI juga tetap menjalankan strategi dual intervention
demi keberlangsungan stabilitas kurs domestik dan juga beberapa kebijakan lain
seperti, peningkatan pendalaman pasar valas domestik khususnya untuk lebih
meningkatkan transaksi lindung nilai (hedging). Juga peningkatan suku bunga
acuan BI rate pada Oktober tahun 2014 sebesar 25 bps menjadi 7.75%, langkah
ini ditunjukkan untuk memitigasi dampak lanjutan kenaikan harga BBM pada
tekanan inflasi kedepan. Namun, strategi kebijakan yang dijalankan ternyata tidak
terlalu berpengaruh terhadap stabilitas kurs domestik. Faktanya, kurs Indonesia
sepanjang tahun 2014 makin melemah, bahkan terdepresiasi cukup dalam. Rupiah
hanya mampu menguat tertinggi pada bulan Maret sebesar Rp11.360/USD dan
bulan Juli sebesar Rp11.580/USD. Sedangkan, untuk bulan-bulan selanjutnya
Rupiah terus mengalami kecenderungan depresiatif (lihat gambar 1.1).
Pada tahun 2015, kurs rupiah ternyata belum dapat membaik, bahkan
cenderung terus mengalami depresiasi yang cukup dalam. Momen yang paling
buruk dirasakan pada bulan September 2015, tercatat Rupiah menembus hingga
Rp14,653/USD (lihat gambar 1.1). Hal ini dipicu oleh isu normalisasi suku bunga
The Fed dan devaluasi mata uang Yuan, Tiongkok. Akibatnya, terjadi capital
outflow yang cukup tinggi, pasokan devisa pasar valas akhirnya mengalami
penurunan. Namun disisi lain, permintaan akan valas tinggi yang pada akhirnya
19
tajam. BI merespon pelemahan Rupiah tesebut dengan mengeluarkan beberapa
paket kebijakan stabilitas kurs Rupiah, yaitu (1) Memperkuat pengelolaan
likuiditas Rupiah, dan (2) Memperkuat pengelolaan, penawaran dan permintaan
valas.
Hasil dari kebijakan dan intervensi BI untuk menstabilkan kurs ternyata
berpengaruh juga terhadap cadangan devisa Indonesia, seperti halnya yang terjadi
pada tahun 2008/09 saat menghadapi krisis subprime mortage. Dapat dilihat pada
gambar 1.2, cadangan devisa Indonesia pada juni 2013, yaitu sebesar 92.7 miliar,
dari posisi akhir Mei yang masih sebesar 105.1 miliar USD tergerus cukup dalam,
yang diakibatkan oleh intervensi BI demi menjaga stabilitas Rupiah, selain itu
juga adanya capital outflow yang masif karena wacana penarikan kebijakan QE
oleh The Fed. Selanjutnya, pada bulan Desember 2014 cadangan devisa Indonesia
tercatat sebesar 111.9 miliar USD naik sebesar 0.7% dibandingkan bulan
sebelumnya, yaitu 111.1 miliar USD (lihat gambar 1.2). Selain itu, cadangan
devisa Indonesia juga naik sebesar 12.5 miliar dibandingkan tahun 2013 yang
sebesar 99.4 miliar USD. Hal ini dipicu oleh penerimaan devisa hasil ekspor
migas, penarikan pinjaman luar negeri pemerintah dan penerimaan pemerintah
lainnya dalam valas yang melebihi pengeluaran untuk pembayaran utang luar
negeri dan kebutuhan dalam rangka stabilisasi kurs. Hingga pada tahun 2015,
cadangan devisa Indonesia pada tanggal 31 Desember 2015, yaitu sebesar 105,931
miliar USD atau turun sebesar 5.3% dibandingkan dengan akhir bulan Desember
20
1.2 Rumusan Masalah
Negara yang menganut sistem devisa bebas dan kurs mengambang bebas
seperti Indonesia, nilai mata uangnya berfluktuasi sesuai dengan perkembangan
ekonomi domestik relatif terhadap ekonomi global. Hal ini dipicu oleh
perekonomian Indonesia yang semakin terintegrasi dengan perekonomian dunia,
juga dalam aktivitasnya selalu berhubungan dan tidak lepas dari fenomena
hubungan internasional. Oleh karenanya, fluktuasi kurs berfungsi sebagai shock
absorber yang akan mendorong penyesuaian ekonomi. Namun, fluktuasi kurs
tersebut tetap perlu dijaga untuk meminimalkan dampak negatifnya terhadap
stabilitas perekonomian. Terlebih sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan
kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan
moneter (Inflation Targeting Framework/ITF). Peran kestabilan kurs sangat
penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan.
Chou 2000 (dalam Mellyastannia dan Syafri 2014) menjelaskan, bahwa
tekanan yang terjadi pada negara yang menerapkan free floating biasanya
disebabkan dari gejolak yang ada di pasar uang dan pasar valas, baik itu dampak
krisis yang terjadi pada negara mitra dagangnya, ataupun penguatan mata uang
negara mitra dagang. Jika kurs dibiarkan terus mengalami tekanan dan sulit untuk
menguat, hal ini akan menyebabkan volatilitas pada mata uang tersebut. Kurs
yang terlalu volatile akan menimbulkan ketidakpastian di pasar, serta memicu
ekspektasi depresiasi lebih lanjut. Selain itu, kurs rupiah yang terus menerus
21
turut memicu kenaikan harga barang dalam negeri, dan menyebabkan jumlah
kewajiban pembayaran utang luar negeri meningkat.
Stabilitas kondisi pasar selayaknya juga perlu diperhatikan lebih dalam,
khususnya pada pasar uang domestik dan pasar uang valas, yang dalam hal ini
sangat berperan dalam menentukan gejolak fluktuasi kurs. Jika kondisi pasar tidak
stabil, akan menyebabkan kurs selalu berubah-ubah, baik itu mengalami
undervalued ataupun overvalued. Bila rupiah terus mengalami tekanan dan
dibiarkan terus terjadi (undervalued), hal ini akan membuat perekonomian
mengalami fluktuasi output dan menimbulkan speculative attack. Kondisi ini yang
memaksa otoritas moneter untuk melakukan intervensi di pasar, ditunjukkan
untuk menjaga kurs rupiah agar tidak keluar dari intervalnya, menjaga kondisi
pasar agar tetap stabil, menjaga likuiditas perekonomian dan untuk meredam aksi
para speculative attack melalui penguatan operasi moneter (OM), yang berfokus
pada pasar uang Rupiah dan pasar valas (stabilitas supply dan demand).
Terkait persoalan mengenai kebijakan intervensi, seharusnya otoritas
moneter sudah memahami apa motif dan tujuan dari intervensi tersebut, agar
intervensi yang dilakukan tidak mengganggu jalannya perekonomian domestik
dan kegiatan perdagangan internasional atau perdagangan dengan mitra dagang.
Selayaknya yang dijelaskan oleh Samiun (1998), berhasil tidaknya suatu
intervensi dimotori oleh dua faktor yang berbeda yaitu, faktor internal dan
ekternal. Faktor eksternal seperti, keakuratan informasi ekspektasi pasar,
22
untuk faktor internal, seperti kecukupan cadangan devisa dan ketepatan dalam
pengambilan keputusan, serta koordinasi terpadu dengan satuan kerja.
Berbagai penelitian yang menjelaskan mengenai hubungan intervensi
terhadap volatilitas nyatanya berpengaruh signifikan, tapi dalam ukuran yang
sangat lemah secara statistik, dan biasanya terjadi pada kurung waktu jangka
pendek. Dalam hal ini, ukuran dari efektivitas suatu operasi intervensi faktanya
sangat ditentukan oleh beberapa faktor, seperti kemampuan menilai titik
keseimbangan kurs yang mencerminkan kondisi fundamental ekonomi, Faktor
lainnya adalah kemampuan menilai sentimen pasar (faktor psikologis) yang
sedang terjadi diantara pelaku pasar.
Pada kasus Indonesia, gejolak fluktuasi kurs mulai dirasakan kembali pada
tahun 2008/09, yaitu krisis subprime mortage, dan pada tahun 2013 hingga
penghujung tahun 2015, yang hal ini disebabkan oleh beberapa faktor terkait,
seperti faktor eksternal, yaitu perbaikan ekonomi Amerika, perlambatan ekonomi
global, dan juga faktor internal, yaitu transaksi berjalan yang terus mengalami
defisit selama 3 tahun terakhir. Imbas krisis global yang dihadapi Rupiah pada
akhir tahun 2008 membuat Rupiah mengalami tekanan yang cukup dalam, hingga
menembus Rp12.000/USD. Sedangkan, momen yang paling buruk dirasakan pada
bulan September 2015, tercatat Rupiah menembus hingga Rp14.653/USD.
BI yang dalam hal ini mempunyai kapasitas sebagai otoritas moneter dan
memiliki peran untuk menjaga stabilitas kurs Rupiah, tentu mengeluarkan
23
dan menjauhkan Rupiah dari volatilitas dan depresiasi yang terlalu dalam. Tetapi
fakta dilapangan menunjukkan, intervensi yang dilakukan BI sulit untuk menjaga
stabilitas Rupiah, penguatan Rupiah yang terjadi lebih dipengaruhi oleh
faktor-faktor eksternal. Oleh karena itu, yang perlu ditekankan dalam hal ini apakah
intervensi ternyata memiliki kapasitas yang cukup untuk menjaga stabilitas kurs,
ataukah hanya berdampak buruk pada kurs dan menguras cadangan devisa.
Berdasarkan latar belakang permasalahan penelitian yang telah dijelaskan,
maka pertanyaan penelitian yang dapat diajukan ialah:
1. Apakah terdapat eksistensi volatilitas pada kurs Rupiah Indonesia
periode Januari 2008 - Desember 2015?
2. Apakah intervensi yang dilakukan oleh BI memiliki pengaruh dalam
menjaga stabilitas kurs Rp/USD periode Januari 2008 - Desember
2015, terlebih bila volatilitas terdapat pada kurs?
3. Apakah faktor makroekonomi lain seperti, net ekspor dan suku bunga
Indonesia turut berpengaruh dalam menjaga stabilitas kurs Rp/USD
periode Januari 2008 - Desember 2015, terlebih bila volatilitas terdapat
pada kurs?
4. Periode kapan saja BI menjalankan kebijakan sterilisasi dalam
mengantisipasi dampak intervensi dan bagaimana dampaknya pada
24
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditunjukkan, maka tujuan
penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui eksistensi volatilitas pada kurs Rupiah Indonesia
periode Januari 2008 - Desember 2015.
2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh intervensi yang dilakukan
oleh BI dalam menjaga stabilitas kurs Rp/USD periode Januari 2008 -
Desember 2015, terlebih bila volatilitas terdapat pada kurs.
3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh faktor makroekonomi lain
seperti, net ekspor dan suku bunga Indonesia dalam menjaga stabilitas
kurs Rp/USD periode Januari 2008 – Desember 2015, terlebih bila
volatilitas terdapat pada kurs.
4. Untuk mengetahui periode kapan saja BI menjalankan kebijakan
sterilisasi dalam mengantisipasi dampak intervensi dan implikasinya
pada stabilitas internal yang diukur melalui stabilitas inflasi.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat, baik bagi
pemerintah, akademik dan penelitian lainnya. Manfaat pada penelitian ini,
diterangkan sebagai berikut:
1. Bagi penulis, diharapkan hasil keseluruhan penelitian ini dapat
meningkatkan pengetahuan yang lebih dalam mengenai aktivitas
intervensi bank sentral, serta pemahamannya dalam mempengaruhi
25
membantu perkembangan penelitian mengenai kegiatan intervensi bank
sentral.
2. Bagi akademisi, hasil penelitian ini diharapkan mampu memperkaya
kajian ekonomi moneter dan mampu memberikan referensi yang dapat
dijadikan sebagai landasan berpikir mengenai aktivitas intervensi bank
sentral dalam pengaruhnya terhadap volatilitas kurs.
3. Bagi pemerintah, diharapkan hasil keseluruhan penelitian ini dapat
dijadikan masukan yang dapat dipertimbangkan dalam merumuskan
kebijakan-kebijakan, khususnya kebijakan intervensi guna menjaga
stabillitas kurs.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada penelitian ini terdiri dari: (1) Pendahuluan, (2)
Tinjauan Pustaka, (3) Metode Penelitian, (4) Pembahasan dan (5) Penutup. Secara
lebih rinci sistematika penulisan ditunjukkan sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi mengenai uraian yang menjelaskan tentang
latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
serta sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka berisi mengenai uraian yang menjelaskan
tentang landasan teori, penelitian terdahulu, kerangka pemikiran
teoritis dan hipotesis penelitian. Landasan teori menjelaskan
26
valas dalam pembentukan kurs, (4) Volatilitas kurs, (5)
Pengukuran volatilitas kurs, (6) Kinerja ekspor-impor terhadap
perubahan kurs, (7) Intervensi sterilisasi dan non-sterilisasi dalam
mengendalikan kurs, yang didalamnya mencakup teori signaling
channel dan teori portfolio channel.
BAB III : METODE PENELITIAN
Metode Penelitian berisi mengenai uraian yang menjelaskan
tentang variabel penelitian dan definisi operasional, jenis dan
sumber data, metode pengumpulan data, metode analisis data,
serta uji alat analisis penelitian, dan metode deskriptif
perhitungan sterilisasi. Pada bab ini dibahas mengenai perumusan
hasil melalui model GARCH. Pada bab ini juga dilakukan
perumusan perhitungan deskriptif untuk mengetahui sterilisasi.
BAB IV : PEMBAHASAN
Pembahasan berisi mengenai uraian yang menjelaskan tentang
deskripsi objek penelitian, dan hasil estimasi penelitian, serta
pembahasan mengenai model GARCH, juga perhitungan
deskriptif sterilisasi.
BAB V : PENUTUP
Penutup berisi mengenai uraian yang menjelaskan tentang
kesimpulan, keterbatasan dan saran penetilian, serta implikasi