• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 18

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sendiri, hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 18"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Aceh merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan kemudian dikuatkan dengan lahirnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh yang semakin memperkuat kekhasan daerah Aceh terutama Gampong sebagai ujung tombak pemerintahan. Lahirnya Undang-undang tersebut semakin menegaskan pergeseran sistem dari era sentralisasi pusat menuju era desentralisasi atau otonomi daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat c menyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Didalam desentralisasi desa atau gampong, dimungkinkan adanya pembagian kewenangan serta keuangan kepada desa / gampong untuk membuaat desa / gampong bermakna sebagai local-self government. Jika desentralisasi ditujukan untuk penataan kelembagaan model baru yang menggabungkan antara desa (local-self

government) dan adat (self-governing community) maka hasilnya adalah : (1)

penataan kelembagaan desa yang sesuai dengan adat dan kebijakan Negara; (2) model local-self government desa tetap menekankan pada prinsip self-governing

(2)

batas-batas wilayah dan hak ulayat desa secara jelas; (4) pemulihan identitas lokal dan modal sosial; dan (5) pengalihan kewenangan dan keuangan kepada desa baru (Afadlal dkk,2008:35).

Gunawan Sumodiningrat (1999:34) mengemukakan tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam proses pembangunan daerah yaitu:

1. Bentuk kontribusi riil dari daerah yang diharapkan oleh pemerintah pusat dalam proses pembangunan dasar;

2. Aspirasi masyarakat daerah itu sendiri terutama yang terefleksi pada prioritas pembangunan daerah;

3. Keterkaitan antara daerah dalam tata perekonomian makro dan politik.

Pada masa Orde Baru penyelenggaraan pemerintahan berlangsung sentralistik, yang diikuti dengan politik hukum univikasi untuk seluruh daerah di wilayah Indonesia. Sehingga, dengan paradigma seperti ini, sistem pemerintahan di daerah diupayakan berlangsung secara seragam se Indonesia. Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan desa, yang mengatur tentang pemerintahan desa (Pasal 3) termasuk cara pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian Kepala daerah (Pasal 4, 5, dan pasal 9) maka semua keputusan dan instruksi-instruksi yang pernah dikeluarkan sebelumnya oleh pemerintah daerah tentang hal itu, dengan sendirinya harus disesuaikan atau bahkan tidak berlaku lagi. Dan hal yang berhubungan dengan pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian kepala-kepala Desa/Kampung untuk seluruh daerah dalam wilayah Indonesia harus didasarkan pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tersebut.

(3)

Seiring dengan berjalannya proses reformasi sistem pemerintahan di Indonesia, pemerintah memberlakukan Undang-Undang nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah dan telah diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini memberikan semangat baru untuk menghidupkan kembali system adat dan kelembagaan pada tingkat Gampong di Aceh. Untuk Aceh sendiri yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945.

Dalam rangka penyelesaian konflik, khusus bagi Aceh, Pemerintah memberlakukan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Penyelenggaraan keistimewaan tersebut menurut Pasal 3 Ayat (2) meliputi:

a) Penyelenggaraan kehidupan beragama, b) Penyelenggaraan kehidupan adat, c) Penyelenggaraan pendidikan, dan

d) Peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah

Dalam undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan mengenai struktur masyarakat Gampong perlu difungsikan kembali seperti sebelum adanya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979. Pelaksanaan undang-undang baru harus diterapkan sesuai dengan situasi masyarakat Aceh yang memiliki keunikan tersendiri. Dengan demikian, harapan

(4)

untuk memperbaiki kembali struktur masyarakat Gampong di Aceh dapat tercapai.

Pada tahun 2001 lahir Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dimana kemudian pasca penandatanganan Nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka lahirlah Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA). Salah satu bentuk lembaga pemerintah yang mendapat perhatian khusus yakni pemerintahan terendah yang di Aceh dikenal dengan sebutan Gampong, sehingga semakin memperkuat kekhasan pemerintahan desa (gampong) di Aceh. Saat sebelum adanya ketentuan ketentuan seperti peraturan perundang undangan tentang Pemerintahan Desa diatur dalam undang-undang yang berlaku sama seperti desa-desa lainnya di Indonesia, yang mengatur tentang pelaksanaan pemerintahan desa.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh merupakan Undang-undang yang selain memberikan keuntungan yang cukup luas kepada Pemerintah Aceh dalam hal mengurus dan membangun daerah yang sesuai dengan aspirasi dan sumber daya yang ada. Undang-undang ini juga memberikan kesempatan kepada Pemerintah Aceh untuk menghidupkan dan memajukan lembaga adat yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Aceh.

Dalam Pasal I angka 20 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 disebutkan,

(5)

“ Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah Mukim dan dipimpin oleh Geuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri”

Ketentuan yang mengatur Gampong dan perangkatnya dalam undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 diatur dalam Pasal-pasal 115, 116, dan 117.

Dalam melaksanakan ketentuan Pasal 117 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka diaturlah tentang Pemerintahan Kampung dalam kabupaten Aceh Tamiang yang diwujudkan dalam qanun kabupaten Aceh Tamiang Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pemerintahan Kampung.

Desa di Kabupaten Aceh tamiang disebut Kampung, sedangkan pemerintahannya disebut dengan Pemerintahan Kampung yang dipimpin oleh seorang Datok Penghulu. Pemerintahan kampung diselenggarakan oleh Pemerintah Kampung dan MDSK (Majelis Duduk Setikar Kampung).

Pemerintahan Kampung adalah penyelenggara pemerintahan yang dilaksanakan oleh Datok Penghulu, Tok Imam dan Perangkat Kampung, Perangkat Kampung sendiri terdiri dari Sekretaris Kampung dan Perangkat Kampung lainnya, Perangkat kampung lainnya sebagaimana tersebut terdiri atas: 1. Sekretariat kampung

2. Unsur Pelaksana Teknis; dan 3. Unsur Kewilayahan

Dalam menyelenggarakan pemerintahan kampung sebagaimana yang tertuang pada Qanun Nomor 19 kabupaten Aceh Tamiang, Bab IV Pasal 19 bagian ke (2) Pemerintah Kampung mempunyai kewajiban :

(6)

b. Meningkatkan pelayanan dasar kepada masyarakat

c. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum bagi masyarakat

d. Mengembangkan sumber daya produktif dengan mendayagunakan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat

e. Melaksanakan qanun Kampung dan peraturan yang lebih tinggi sesuai dengan kewenangannya

f. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya g. Menjaga kelestarian lingkungan hidup

h. Mengelola administrasi Kampung

i. Melestarikan nilai sosial budaya yang berkembang dimasyarakat j. Mengembangkan kehidupan ekonomi masyarakat

k. Menampung aspirasi masyarakat

l. Membuat laporan pelaksanaan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku

m. Menjaga dan memelihara adat istiadat

n. Kewajiban lain yang diatur dalam perundang-undangan.

Dalam pelaksanaan otonomi Kampung pasca pemberlakuan UUPA dan turunannya yaitu Qanun Kabupaten Aceh Tamiang Nomor 19 Tahun 2009, pemerintah dan masyarakat Kampung dituntut untuk lebih mandiri dalam mengatur dan mengurus rumah tangga Kampung, termasuk dalam mengatur dan mengelola sumber dana yang berasal dari pemerintah dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Kampung, dan juga Pendapatan Asli Kampung (PAK), sebagai salah satu sumber anggaran penerimaan atau pendapatan Kampung yang memainkan peran penting dalam pembangunan Kampung.

(7)

Terlepas dari dana besar yang dikucurkan pemerintah bagi pelaksanaan otonomi Kampung, Pendapatan Asli Kampung merupakan salah satu sumber anggaran yang memainkan peran penting dalam pembangunan Kampung dimana tidak semua pembangunan yang dilakukan dapat diserap dari dana bantuan pemerintah.

Hal tersebut merupakan sebagian dari permasalahan yang dihadapi pemerintah dan masyarakat di Aceh terkait dengan pendapatan asli kampung dalam kerangka otonomi Kampung. Dalam hal ini salah satunya adalah pemerintah dan masyarakat Kampung Tualang Baro, Kecamatan Manyak Payed, Kabupaten Aceh Tamiang. Banyak potensi sumber daya yang dimiliki oleh Kampung Tualang Baro, Kecamatan Manyak Payed, namun potensi-potensi tersebut belum digunakan dan dikembangkan secara maksimal untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Kampung. Kondisi ini sangat disayangkan mengingat pelaksanaan otonomi Kampung menuntut kreatifitas dan kemandirian Kampung untuk mengatur rumah tangganya sendiri termasuk dalam hal pengaturan keuangan dan kelembagaan Kampung. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat Tualang Baro, Kecamatan Manyak Payed untuk menggali dan mengembangkan potensi-potensi dan sumber keuangan salah satunya adalah dengan membuat strategi bagi penguatan kelembagaan pemerintah Kampung dalam peningkatan pendapatan asli Kampung dalam pelaksanaan otonomi Kampung.

Berangkat dari hal-hal di atas, mendorong penulis melakukan penelitian dengan judul : “Penguatan Kelembagaan Pemerintah Kampung Dalam Rangka

(8)

Menunjang Pelaksanaan Otonomi Kampung” (Studi Pada Kampung Tualang Baro, Kecamatan Manyak Payed, Kabupaten Aceh Tamiang).

1.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah sangat dibutuhkan dalam suatu penelitian agar penelitian tersebut dapat terfokus dan terencana. Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan yang diteliti sebagai berikut :

1. Bagaimana penguatan kelembagaan pemerintah yang ada di Kampung Tualang Baro, Kecamatan Manyak Payed, Kabupaten Aceh Tamiang pasca terbitnya Qanun Kabupaten Aceh Tamiang Nomor 19 tahun 2009 Tentang Pemerintahan Kampung?

2. Apa saja dampak pelaksanaan Qanun Kabupaten Aceh Tamiang Nomor 19 tahun 2009 Tentang Pemerintahan Kampung, terhadap kelembagaan pemerintah Kampung Tualang Baro, Kecamatan Manyak Payed, Kabupaten Aceh Tamiang?

1.3. Tujuan Penelitian

Bertititk tolak dari perumusan masalah yang diajukan diatas, tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisis penguatan kelembagaan pemerintah di Kampung Tualang Baro, Kecamatan Manyak Payed, Kabupaten Aceh Tamiang, pasca lahirnya Qanun Kabupaten Aceh Tamiang Nomor 19 tahun 2009 Tentang Pemerintahan Kampung, antara lain dilihat dari :

(9)

a. Stuktur dan Mekanisme kerja lembaga Kampung, serta hubungan antara lembaga Kampung dalam memperkuat otonomi Kampung.

b. Aspek-aspek kelembagaan Kampung yang dipersiapkan/diperbaiki dalam rangka otonomi Kampung.

c. Kemampuan pembiayaan Kampung serta mekanismenya.

2. Untuk menganalisis dampak pelaksanaan Qanun Kabupaten Aceh Tamiang Nomor 19 tahun 2009 Tentang Pemerintahan Kampung, terhadap kelembagaan pemerintah Kampung Tualang Baro, Kecamatan Manyak Payed, Kabupaten Aceh Tamiang.

1.4. Manfaaat Penelitian

Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berperan untuk pengembangan keilmuan kedepan khususnya dalam hal Penguatan Kelembagaan Pemerintahan Kampung Dalam Menunjang Pelaksanaan Otonomi Kampung, kemudian juga diharapkan dapat memberikan data dan informasi untuk penelitian berikutnya.

Secara praktis hasil penelitian ini dapat berguna bagi :

a. Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang agar dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan arah kebijakan dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Kampung.

b. Kampung sebagai bahan analisis dan kajian dalam memperkuat posisi Kampung serta Kelembagaan Kampung dalam pelaksanaan Otonomi

(10)

c. Masyarakat dapat digunakan sebagai bahan informasi, khususnya dalam masalah – masalah yang akan dihadapi Kampung dalam pelaksanaan Otonomi Kampung.

Referensi

Dokumen terkait

Izin Mendirikan Bangunan, yang selanjutnya disingkat IMB adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada pemilik bangunan untuk membangun baru, merubah,

Bahan-bahan yang perlu dipersiapkan dan diperlihatkan kepada Pokja pada saat klarifikasi dan Pembuktian Kualifikasi adalah sebagai berikut :.. - Dokumen Penawaran (lengkap) - Izin

Nilai suatu jenis rotan untuk keperluan mebel, barang kerajinan dan peralatan rumah tangga sangat ditentukan oleh keawetannya, Keawetan rotan adalah daya tahan suatu jenis

Tidak ada kurikulum terpadu dan sistematis di dunia pendidikan Indonesia yang mendukung kecenderungan dan perkembangan dunia usaha yang mengarah pada kinerja ekonomi Islam..

a) Efek Kognitif, pesan komunikasi massa menimbulkan perubahan dalam hal pengetahuan , pandangan, dan pendapat terhadap sesuatu yang diperoleh khalayak. efek ini berkaitan

Penelitian ini berjudul “Penerapan model Problem Based Learning (PBL) untuk meningkatkan kebiasaan menerapkan pengetahuan masa lalu dengan situasi baru pada konsep

Banyak notaris dalam praktiknya yang membuat akta lebih dari 20 (dua.. puluh) dalam satu harinya.Akhir-akhir ini banyak dijumpai adanya Notaris yang membuat akta

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembelajaran Bahasa Indonesia dengan menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Make a Match pada siklus