• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara anatomi, sendi glenohumeral dibentuk oleh fossa glenoidalis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara anatomi, sendi glenohumeral dibentuk oleh fossa glenoidalis"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fungsional

Secara anatomi, sendi glenohumeral dibentuk oleh fossa glenoidalis scapulae dan caput humeri. Fossa glenoidalis scapulae berperan sebagai mangkuk sendi glenohumeral yang terletak di anterosuperior angulus scapulae yaitu pertengahan antara acromion dan processus cocacoideus (Porterfield & De rosa, 2004). Sedangkan caput humeri berperan sebagai kepala sendi yang berbentuk bola dengan diameter 3 cm dan menghadap ke superior, medial, dan posterior. Berdasarkan bentuk permukaan tulang pembentuknya, sendi glenohumeral termasuk dalam tipe ball and socket joint. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.1 berikut ini.

Gambar 2.1

(2)

Sudut bulatan caput humeri 180°, sedangkan sudut cekungan fossa glenoidalis scapulae hanya 160°, sehingga 2/3 permukaan caput humeri tidak dilingkupi oleh fossa glenoidalis scapulae. Hal ini mengakibatkan sendi glenohumeral tidak stabil. Oleh karena itu, stabilitasnya dipertahankan oleh stabilisator yang berupa ligamen, otot, dan kapsul (Porterfield & De rosa, 2004). Ligamen pada sendi glenohumeral antara lain ligament coracohumeral dan ligament glenohumeral. Ligament coracohumeral terbagi menjadi 2, berjalan dari processus coracoideus samapai tuberculum mayor humeri dan tuberculum minor humeri. Sedangkan ligament glenohumeral terbagi menjadi 3 yaitu : (1) superior band yang berjalan dari tepi atas fossa glenoidalis scapulae sampai caput humeri, (2) middle band yang berjalan dari tepi atas fossa glenoidalis scapulae sampai ke depan humeri, (3) inferior band yang berjalan menyilang dari tepi depan fossa glenoidalis scapulae sampai bawah caput humeri (Porterfield & De rosa, 2004).

Gambar 2.2

(3)

Kapsul sendi merupakan pembungkus sendi yang berasal dari fossa glenoidalis scapulae sampai collum anatomicum humeri. Kapsul sendi dibagi menjadi dua lapisan yaitu : kapsul synovial dan kapsul fibrosa (Neumann, 2002).

1. Kapsul synovial (lapisan dalam)

Kapsul synovial mempunyai jaringan fibrocolagen agak lunak dan tidak memiliki saraf reseptor dan pembuluh darah. Fungsinya menghasilkan cairan synovial dan sebagai transformator makanan ke tulang rawan sendi (Suharto, 1999). Cairan synovial normalnya bening, tidak berwarna, dan jumlahnya ada pada tiap-tiap sendi antar 1 sampai 3 ml (Price & Wilson, 1994).

2. Kapsul fibrosa (lapisan luar)

Kapsul fibrosa berupa jaringan fibrous keras yang memiliki saraf reseptor dan pembuluh darah. Fungsinya memelihara posisi dan stabilitas sendi regenerasi kapsul sendi (Neumann, 2002).

Otot-otot pembungkus sendi glenohumeral terdiri dari m. supraspinatus, m. infraspinatus, m. teres minor dan m.subscapularis (Snell, 2000).

a. m. Supraspinatus

m. supraspinatus berorigo di fossa supraspinatus scapulae, berinsertio di bagian atas tuberculum mayor humeri dan capsula articulation humeri dan disarafi oleh n. suprascapularis. Fungsi otot ini adalah membantu m.deltoideus melakukan abduksi bahu dengan memfiksasi caput humeri pada fossa glenoidalis scapulae.

(4)

b. m. Infraspinatus

m. infraspinatus berorigo di fossa infraspinata scapulae, berinsertio di bagian tengah tuberculum mayor humeri dan capsula articulation humeri dan disarafi oleh n. suprascapularis. Fungsi otot ini adalah melakukan eksorotasi bahu dan menstabilkan articulation.

c. m. Teres minor

m. Teres minor berorigo di 2/3 bawah pinggir lateral scapulae berinsertio di bagian bawah tuberculum mayor humeri dan capsula articulation humeri dan disarafi oleh cabang n. axillais. Otot ini berfungsi melakukan eksorotasi bahu dan menstabilakan articulation humeri.

d. m. Subscapularis

m. subscapularis berorigo di fossa subscapularis pada permukaan anterior scapula dan berinsersio di tuberculum minor humeri yang disarafi oleh n. subscapularis superior dan inferior serta cabang fasciculus posterior plexus brachialis. Fungsi otot ini adalah melakukan endorotasi bahu dan membantu menstabilkan sendi yang dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut ini.

(5)

Gambar 2.3

Otot Penggerak Sendi Bahu (Pubz, 2002)

Sendi glenohumeral memiliki beberapa karakteristik, antara lain : (1) perbandingan antara mangkok sendi dan kepala sendi tidak sebanding, (2) kapsul sendinya relatif lemah, (3) otot-otot pembungkus sendi relatif lemah, (4) gerakanya paling luas, (5) stabilitas sendi relatif kurang stabil (Suharto, 1999). Gerakan yang dapat dilakukan oleh sendi glenohumeral antara lain fleksi, ekstensi, abduksi, eksorotasi, endorotasi, dan sirkumduksi (Snell, 2000).

2.2 Frozen Shoulder 2.2.1 Definisi

Frozen shoulder adalah kekakuan sendi glenohumeral yang diakibatkan oleh elemen jaringan non-kontraktil atau gabungan antara jaringan non-kontraktil dan kontraktil yang mengalami fibroplasia. Baik gerakan pasif maupun aktif terbatas

(6)

dan nyeri. Pada gerakan pasif, mobilitas terbatas pada pola kapsular yaitu rotasi eksternal paling terbatas, diikuti dengan abduksi dan rotasi internal (Hand et al., 2007; Uhthoff & Boileau, 2007).

Frozen shoulder adalah semua gangguan pada sendi bahu yang menimbulkan nyeri dan keterbatasan luas gerak sendi (Kuntono, 2004).

Dari definisi frozen shoulder yang dijelaskan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa frozen shoulder adalah gangguan pada sendi bahu yang dapat menimbulkan nyeri di sekitar sendi bahu dan selalu menimbulkan keterbatasan gerak sendi ke semua arah gerakan sehingga akan menimbulkan terjadinya permasalahan baik permasalahan fisik maupun penurunan aktivitas fungsional.

2.2.2 Etiologi

Frozen shoulder merupakan sindroma yang ditandai dengan adanya keterbatasan gerak idiopatik pada bahu yang biasanya menimbulkan rasa nyeri pada fase awal. Sebab-sebab sekunder meliputi perubahan stuktur pendukung dari dan sekitar sendi bahu dan penyakit endokrin atau penyakit sistemik yang lain (Siegel,et al, 2005).

Faktor etiologi frozen shoulder antara lain : a. Usia dan Jenis kelamin

Frozen shoulder paling sering terjadi pada orang berusia 40-60 tahun dan biasanya wanita lebih banyak terkena dari pada pria.

(7)

b. Gangguan endokrin

Penderita diabetes mellitus beresiko tinggi terkena, gangguan endokrin yang lain misalnya masalah thyroid dapat pula mencetuskan kondisi ini (Donatelli, 2004).

c. Trauma sendi

Pasien yang memiliki riwayat pernah mengalami cedera pada sendi bahu atau menjalani operasi bahu (seperti tendinitis bicipitalis, inflamasi rotator cuff, fraktur) dan disertai imobilisasi sendi bahu dalam waktu yang lama akan beresiko tinggi mengalami frozen shoulder (Donatelli, 2004)

d. Kondisi sistemik

Beberapa kondisi sistemik seperti penyakit jantung dan Parkinson dapat meningkatkan resiko terjadinya frozen shoulder (Donatelli, 2004).

e. Aktivitas

Beberapa kegiatan umum termasuk latihan beban, olahraga aerobik, menari, golf, renang, permainan raket seperti tenis dan badminton, dan olahraga melempar, bahkan panjat tebing telah diminati banyak orang. Orang lainnya ada juga yang meluangkan waktu untuk belajar dan bermain alat musik. Semua kegiatan ini dapat menuntut kerja yang luar biasa pada otot dan jaringan ikat pada sendi bahu. Demikian pula, diperlukan berbagai lingkup gerak sendi dan penggunaan otot tubuh bagian atas dan bahu yang sangat spesifik dan tepat untuk setiap kegiatan. Akibat dari peningkatan jumlah individu dari segala usia terlibat dalam berbagai kegiatan tersebut, gangguan sendi bahu seperti frozen shoulder sekarang muncul dengan frekuensi yang lebih besar (Porterfield & De rosa, 2004).

(8)

2.2.3 Patologi

Perubahan patologi yang merupakan respon terhadap rusaknya jaringan lokal berupa inflamasi pada membran synovial, menyebabkan perlengketan pada kapsul sendi dan terjadi peningkatan viskositas cairan synovial sendi glenohumeral dan selanjutnya kapsul sendi glenohumeral menyempit.

Frozen shoulder atau sering juga disebut capsulitis adhesive umumnya akan melewati proses yang terdiri dari beberapa fase yaitu, Fase nyeri (Painful): Berlangsung antara 0-3 bulan. Pasien mengalami nyeri spontan yang seringkali parah dan mengganggu tidur. Pasien takut menggerakkan bahunya sehingga menambah kekakuan. Pada akhir fase ini, volume kapsul glenohumeral secara signifikan berkurang.

Fase kaku (Freezing): Berlangsung antara 4-12 bulan. Fase ini ditandai dengan hyperplasia sinovial disertai proliferasi fibroblastik pada kapsul sendi glenohumeralis. Rasa sakit seringkali diikuti dengan fase kaku.

Fase beku (frozen): Berlangsung antara 9-15 bulan. Di fase ini patofisiologi sinovial mulai mereda/membaik tetapi adesi terjadi dalam kapsul diikuti penurunan volume intra-articular dan kapsul sendi. Pasien mengalami keterbatasan lingkup gerak sendi dalam pola kapsuler yaitu rotasi eksternal paling terbatas, diikuti dengan abduksi dan rotasi internal.

Fase mencair (Thawing Phase): Fase ini berlangsung antara 15-24 bulan. Fase akhir ini digambarkan sebagai mencair ditandai dengan kembalinya ROM secara berangsur-angsur (Hannafin & Chiaia, 2000).

(9)

Cedera teringan terjadinya frozen shoulder adalah jenis gesekan yang dapat menyebabkan reaksi radang lokal maupun tendinitis. Penyakit ini biasanya sembuh dengan sendirinya, tetapi bila disertai dengan impairment yang lebih lama dan terutama pada orang tua dapat terjadi kerobekan kecil, ini dapat diikuti dengan pembentukan jaringan parut, metaplasia, fibrikartilaginosa maupun pengapuran tendon. Penyembuhan disertai dengan reaksi vaskuler dan kongesti lokal yang menyebabkan rasa nyeri dan menyebabkan kelainan lebih lanjut (Apley, 1993).

Rasa sakit dari daerah bahu sering menghambat pasien frozen shoulder dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari (ADL) dan ini adalah salah satu alasan penurunan kekuatan dan ketahanan otot bahu ( Sandor & Brone, 2000). Karena stabilitas glenohumeral sebagian besar oleh sistem muscolotendinogen, maka gangguan pada otot-otot bahu tersebut akan menyebabkan nyeri dan menurunya mobilitas sendi sehingga mengakibatkan keterbatasan luas gerak sendi yang berakibat pada penurunan aktivitas fungsional (Donatelli, 2004).

2.2.4 Klasifikasi

Frozen shoulder dibagi menjadi dua tipe berdasarkan patologinya yaitu: primer atau idiopatik frozen shoulder dan sekunder frozen shoulder (Siegel et al., 1999). Primer atau idiopatik frozen shoulder yaitu frozen shoulder yang tidak diketahui penyababnya. Frozen shoulder lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria terutama pada usia lebih dari 45 tahun. Frozen shoulder biasanya terjadi pada lengan yang tidak dominan dan lebih sering terjadi pada orang yang bekerja dengan gerakan bahu yang sama secara berulang-ulang. Sekunder frozen

(10)

shoulder yaitu frozen shoulder yang terjadi setelah trauma berarti pada bahu misalnya fraktur, dislokasi, dan luka bakar yang berat. Meskipun trauma terjadi beberapa tahun sebelumnya (Siegel et al., 1999).

Frozen shoulder sekunder dibagi menjadi 3 subkategori berdasarkan hubungannya dengan penyakit lain : Intrinsik, ekstrinsik dan sistemik (Jurgel et al., 2005; Kelley et al., 2009). Intrinsik, merupakan keterbatasan gerak aktif maupun pasif ROM yang disebabkan oleh gangguan pada otot-otot rotator cuff (seperti tendinitis, ruptur parsial atau penuh), tendonitis otot-otot biceps, atau kalsifikasi tendinitis (pada kasus kalsifikasi tendonitis, temuan radiografi yang diterima termasuk deposit kalsifikasi di dalam ruang subacromial/tendon-tendon rotator cuff).

Ekstrinsik, merupakan keterbatasan gerak aktif maupun pasif lingkup gerak sendi yang diketahui disebabkan oleh faktor yang berada di luar bahu yang mempengaruhi gerakan bahu, sebagai contoh: keterbatasan gerak bahu sehubungan dengan post operasi kanker payudara ipsilateral, cervical radikulopati, tumor thorax, akibat kecelakaan cerebrovascular , atau factor ekstrinsik yang lebih lokal seperti: fraktur shaft humeri, abnormalitas sendi scapulothoracal, arthritis sendi acromioclavicular dan fraktur clavicula.

Sistemik, merupakan keterbatasan gerak yang disebabkan gangguan sistemik, tetapi tidak terbatas pada diabetes mellitus, juga hyper/hypothyroidism, hypoadrenalism, atau kondisi-kondisi lain yang mempunyai hubungan dengan perkembangan frozen shoulder (Brotzman & Manske, 2011; Zuckerman & Rokito, 2011).

(11)

2.2.5 Tanda dan Gejala

Frozen shoulder ditandai dengan adanya keterbatasan LGS glenohumeral yang nyata, baik gerakan aktif maupun gerakan pasif. Nyeri dirasakan pada daerah m. Deltoideus. Bila terjadi pada malam hari sering sampai menggangu tidur. Sifat keterbatasan meliputi pola kapsuler yaitu keterbataan gerak sendi yang spesifik mengikuti struktur kapsul sendi. Sendi bahu mengikuti keterbatasan yang paling terbatas yaitu eksoritasi, endorotasi, dan abduksi (Kuntono, 2004). Tanda dan gejala frozen shoulder adalah nyeri terutama ketika meraih ke belakang dan elevasi bahu dan rasa tidak nyaman biasanya dirasakan pada daerah anterolateral bahu dan lengan (Sheon et al., 1996).

Tanda dan gejala lainnya frozen shoulder biasanya tidak terlihat kecuali sedikit pengecilan otot dan mungkin juga terdapat rasa nyeri, tetapi gerakan selalu terbatas. Pada kasus yang berat bahu sangat kaku (Apley & Solomon, 1995).

Pada kasus ini, nyeri yang terletak di anterolateral sendi dan menyebar ke bagian anterior lengan atas, kadang-kadang juga ke bagian fleksor lengan bawah. Rasa tidak nyaman memburuk pada malam hari dan biasanya mengganggu tidur. Tenderness terjadi di sekitar caput humeri dan sulcus bicipitalis. Gerakan pasif maupun aktif terbatas pada semua arah gerakan, nyeri muncul pada gerak ekstrim. Pada stadium akut, spasme otot terlihat pada semua otot di sekitar bahu (Turek, 1997).

Dari gejala dan tanda tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa gejala dan tanda yang khas dari frozen shoulder adalah nyeri, kekakuan, keterbatasan pada luas gerak sendi bahu. Kadang-kadang disertai dengan penurunan kekuatan otot

(12)

sekitar bahu dan penurunan kemampuan aktivitas fungsional karena tidak digunakan (Kenny, 2006).

2.2.6 Activities limitation

Masalah aktivitas yang sering ditemukan pada penderita frozen shoulder adalah tidak mampu menyisir rambut; kesulitan dalam berpakaian; kesulitan memakai breastholder (BH) bagi wanita; mengambil dan memasukkan dompet di saku belakang; gerakan-gerakan lainnya yang melibatkan sendi bahu (Jurgel et al., 2005; Kelley et al., 2009; Hsu et al., 2011). Karena stabilitas glenohumeral sebagian besar oleh sistem muscolotendinogen, maka gangguan pada otot-otot bahu tersebut akan menyebabkan nyeri dan menurunnya mobilitas sendi sehingga mengakibatkan keterbatasan luas gerak sendi yang berakibat pada penurunan aktivitas fungsional (Donatelli, 2004) seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.4 berikut.

Gambar 2.4

(13)

2.3 Terapi Manipulasi

Terapi manipulasi merupakan teknik terapi yang digunakan pada gangguan sendi dan jaringan lunak terkait dan salah satu metode penanganan yang utama adalah mobilisasi meliputi mobilisasi sendi dan jaringan lunak yang dalam praktek kedua tehnik ini selalu digabungkan (Kaltenborn, 2011). Mobilisasi sendi bahu di sini akan dibahas tentang mobilisasi artikuler yang berkaitan dengan mekanisme joint play movement yaitu roll gliding dan traksi serta kompresi. Roll gliding adalah kombinasi antara gerakan rolling dan gliding yang hanya bisa terjadi pada permukaan sendi lengkung yang tidak kongruen. Rolling adalah gerakan permukaan sendi bilamana perubahan jarak titik kontak pada satu permukaan sendi sama besarnya dengan perubahan jarak titik kontak pada permukaan sendi lawannya. Sedangkan gliding adalah gerakan permukaan sendi dimana hanya ada satu titik kontak pada satu permukaan sendi yang selalu kontak dengan titik-titik kontak yang baru (selalu berubah) (Syatibi, 2002).

(14)

Gambar 2.5

Rolling dan Gliding sendi glenohumereal tampak superior (Chai, 2004) Traksi adalah gerakan translasi tulang yang arahnya tegak lurus dan menjauhi bidang terapi. Sedangkan kompresi adalah gerakan translasi tegak lurus terhadap arah bidang terapi, dan kedua permukaan sendi saling mendekat atau menekan (Syatibi, 2002).

1. Arah gliding dan traksi

Arah gerakan gliding dapat disimpulkan menggunakan hukum konkaf-konvek. Jika permukaan konkaf bergerak, arah gliding searah dengan gerakan tulang,. Jika permukaan sendi konvek bergerak, maka gliding dan gerakan tulang berlawanan arah (Kaltenborn, 2011).

Sendi glenohumeral secara anatomi dan secara mekanik merupakan sendi dengan tiga aksis. Permukaan konvek dimiliki oleh caput humeri dari articulation

(15)

humeri dan permukaan konkaf dimiliki oleh scapula (cavitas glenoidalis) (Kaltenborn, 1989). Sesuai dengan hukum konkaf-konvek maka arah gliding pada sendi bahu yaitu : (1) ke arah kaudal, untuk memperbaiki gerakan abduksi, (2) arah postero lateral, untuk memperbaiki endorotasi, (3) arah antero medial, untuk memperbaiki eksorotasi (Syatibi, 2002).

2. Indikasi traksi dan gliding

Pemeriksaan yang teliti pada setiap pasien perlu dilakukan untuk mengetahui sumber dari tanda dan gejala yang dialami pasien dalam aktivitas fungsionalnya. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan gerakan osteokinematika dan artrokinematika untuk menentukan problem yang tepat dari jaringan spesifik. Hal ini untuk menyusun strategi dan dosis terapi. Maitland mengembangkan empat Grade (Grade I, II, III, IV) mobilisasi sendi dan Grade V disebut thrust manipulations. Grade berdasarkan pembagian Maitland teridiri dari: Grade 1, slow amplitude kecil, permulaan gerakan; Grade II slow, amplitudo lebih besar-kapsul mengalami regangan tapi belum limit; Grade III slow, amplitudo lebih besar, kapsul mengalami tegang dan pada batas limit; Grade IV slow, amplitude lebih kecil, kapsul mengalami teregang dan batas limit; Grade V amplitudo kecil thrust. Grade I dan II disebut Low Grade berfungsi untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan lubrikasi pada sendi. Grade III dan IV disebut juga High Grade terutama berfungsi untuk peregangan peri articular tissue (Edmond, 2006).

(16)

3. Untuk gerakan terapi manipulasi sendi bahu adalah : a. Traksi latero-ventro-cranial

Pasien diposisikan tidur telentang dan terapis berdiri di sisi bagian yang diterapi. Scapula difiksasi oleh berat tubuh pasien. Apabila memungkinkan dapat difiksasi menggunakan sabuk. Kedua tangan terapis memegang humeri sedekat mungkin dengan sendi, kemudian melakukan traksi ke arah latero-ventro-cranial. Lengan bawah pasien relaks disangga lengan bawah terapis. Lengan bawah terapis yang berlainan sisi mengarahkan gerakan (Syatibi, 2002). Traksi dipertahankan selam tujuh detik, diulangi sebanyak delapan kali dengan Grade III dan IV.

b. Gliding ke caudal untuk memperbaiki gerak abduksi sendi bahu

Pasien diposisikan tidur telentang, terapis berdiri di sisi bagian yang diterapi. Gelang bahu terfiksasi oleh posisi depresi. Tangan yang berlainan sisi diletakkan pada humeri dari lateral dan sedekat mungkin dengan sendi dan selanjutnya mendorong caput humeri ke arah caudal menggunakan berat badan. Terapis menempelkan lengannya pada tubuh (Syatibi, 2002). Gliding diulangi delapan kali sebanyak lima kali pengulangan Grade III dan IV.

c. Gliding ke dorsal untuk memperbaiki gerak endorotasi sendi bahu Pasien diposisikan tidur telentang sedikit miring ke sisi yang sakit, terapis berdiri di sebelah medial dari lengan yang diterapi. Scapula terfiksasi oleh sisi tempat tidur. Tangan sesisi diletakkan pada lengan atas bagian ventral, sedekat mungkin dengan sendi dan selanjutnya melakukan gerakan gliding ke arah dorsal sedikit lateral. Lengan pasien disangga oleh tangan terapis yang lain (Syatibi,

(17)

2002). Gliding diulangi delapan kali sebanyak lima kali pengulangan dengan Grade III dan IV.

Gambar 2.6

Gliding sendi bahu ke arah dorsal, untuk memperbaiki endorotasi sendi bahu (Manske, 2010).

d. Gliding ke ventral untuk memperbaiki gerak eksorotasi sendi bahu Posisi awal pasien tidur miring ke sisi sehat, terapis berdiri disamping pasien di sisi yang akan diterapi. Tangan fisioterapi yang sesisi diletakkan di sebelah dorsal bahu kanan dengan pegangan sedekat mungkin dengan ruang sendi bahu, selanjutnya melakukan gerakan gliding ke arah ventral sedikit medial. Gliding diulangi delapan kali sebanyak lima kali Grade III dan IV.

4. Kontra Indikasi

Kontra indikasi pemberian terapi manipulasi yaitu : (1) hipermobilitas sendi, (2) efusi sendi, (3) radang (Kisner, 2007).

(18)

5. Tujuan Mobilisasi

Tujuan mobilisasi sendi adalah untuk mengembalikan fungsi sendi normal dengan tanpa nyeri. Secara mekanis tujuannya adalah untuk memperbaiki joint play, dengan demikian akan memperbaiki roll-gliding yang terjadi selama gerakan aktif. Terapi harus diakhiri apabila sendi sudah mencapai LGS maksimal tanpa nyeri dan pasien dapat melakukan gerakan aktif dengan normal (Syatibi, 2002). 2.4 Pelatihan Hold Relax dan Contract relax

Hold relax adalah suatu teknik yang menggunakan kontraksi isometrik yang optimal dari kelompok otot antagonis yang memendek, dilanjutkan dengan relaksasi otot tersebut (prinsip reciprocal inhibition) (Kisner, 2007).

Hold Relax adalah suatu teknik yang menggunakan kontraksi optimal secara isometrik (tanpa terjadi gerakan pada sendi) pada kelompok otot agonis, yang dilanjutkan dengan relaksasi kelompok otot tersebut (prinsip reciprocal inhibition). Pemberian Hold Relax agonist contraction akan mengakibatkan penurunan spasme akibat aktivasi golgi tendon organ, dimana terjadi pelepasan perlengketan fasia intermiofibril dan pumping action pada sisa cairan limfe dan venosus, sehingga (venous return dan limph drainage meningkat yang kemudian akan meningkatkan vaskularisasi jaringan sehingga elastisitas jaringan meningkat berpengaruh terhadap penurunan nyeri (Wahyono, 2002).

Hold relax dan contract relax merupakan teknik dalam propioceptor neuromusculair fascilitation (PNF). PNF memiliki prinsip dasar yaitu (1) optimum resistance, (2) manual contact, (3) verbal stimulation, (4) visual feed-back, (5) body-position and body-mechanic, (6) traction and approximation, (7)

(19)

irradiation (overflow), (8) reinforcement, (9) Pola gerak. Pola gerak pada PNF yaitu (1) gerakan meliputi komponen spiral (eksorotasi-endorotasi), komponen diagonal (fleksi-ekstensi dan abduksi-adduksi), (2) arah gerak meliputi menjauhi tubuh (ekstensi, abduksi dan eksorotasi), mendekatka tubuh (fleksi, adduksi, dan endorotasi), (3) Sendi di tengah (siku dan lutut) dapat bergerak kearah diam, fleksi, atau ekstensi.

Gambar 2.7

Posisi saat melakukan hold relax atau contract relax pada otot-otot ekstensor dan adduktor bahu (Adler, 2008)

Tujuan pemberian hold relax dan contract relax adalah perbaikan relaksasi pola antagonis, perbaikan mobilisasi dan untuk menurunkan nyeri lebih baik menggunakan hold relax (Beckers & Buck, 2001).

Teknik contract relax menggunakan perubahan ketegangan di otot dengan cara kontraksi isotonik untuk memfasilitasi relaksasi sehingga mengulurkan otot. Dengan memfasilitasi relaksasi otot kita dapat meningkatkan sirkulasi dan meningkatkan perpanjangan jaringan myofascial. Untuk mencapai hal ini otot

(20)

ditempatkan pada posisi maksimal memanjang dan diberikan tahanan untuk kontraksi otot-otot yang akan mengalami penguluran (kontraksi langsung) atau otot antagonis (relaksasi timbal balik). Gerakan akan terjadi selama kontraksi ini. Setelah kontraksi ini anggota tubuh santai dan setelah relaksasi secara aktif maupun pasif bisa dilakukan penguluran lebih lanjut (Beckers & Buck, 2001).

Pelaksanaan hold relax dan contract relax, dibedakan oleh gerakan yang terjadi saat melakukan contract relax sebagai tujuan penguluran sehingga otot bekerja secara isotonik dan memungkinkan ada gerakan rotasi pada sendi bahu. Gerakannya yaitu (1) gerakan pasif atau aktif pada pola gerak agonis hingga batas keterbatasan gerak atau hingga LGS dimana nyeri mulai timbul, (2) terapis member tahanan meningkat secara perlahan pada pola antagonisnya, pasien mesti melawan tahanan tersebut tanpa disertai adanya gerakkan (dengan aba-aba, “Pertahankan disini!” untuk latihan hold relax, dan “tetap dorong tangan saya!” pada latihan contract relax), (3) diikuti relaksasi dari pola antagonis tersebut, tunggu hingga benar-benar relaks, (4) gerakkan secara aktif atau pasif ke arah pola agonis, (5) ulangi prosedur tersebut di atas, (6) penguatan pola gerak agonis dengan cara menambah LGS-nya, (7) selama fase relaksasi, manual kontak tetap dipertahankan untuk mendeteksi bahwa pasien mampu benar-benar relaks (Beckers & Buck, 2001).

Untuk pemberian tahanan pada hold relax, terapis meminta kontraksi isometrik dari otot yang memendek atau pola (antagonis) dengan penekanan pada rotasi,dimana kontraksi harus dipertahankan setidaknya 5-8 detik. Pada pemberian tahanana saat melakukan contract relax, terapis meminta pasien untuk kontraksi

(21)

yang kuat pada otot yang memendek atau pola (antagonis) dimana kontraksi harus diadakan setidaknya 5-8 detik (Adler, 2008)

Pelaksanaan hold relax dan contract relax pada kasus frozen shoulder yaitu :

a. Pola gerak fleksi-abduksi-eksorotasi untuk menambah LGS abduksi dan eksorotasi

Posisi awal pasien adalah terlentang dengan bahu extensi, adduksi, dan endorotasi, siku lurus, lengan bawah pronasi dan tangan palmar fleksi. Terapis berdiri di sisi yang kan diterapi, tepat pada bidang gerak, dengan satu tungkai di depan dan kedua kedua lutut sedikit fleksi. Tangan terapis yang sesisi memegang bagian distal lengan bawah pasien dan tangan satunya memegang bagian ibu jari, metacarpal II dan metacarpal V. terapis memposisikan bahu elongated kemudian terapis memberikan stretch pada pergelanagan tangan dan meminta pasien untuk membuka tangan, putar keluar dan kemudian mendorong tangan terapis. Saat berada di LGS, di mana nyeri mulai timbul, terapis memberikan tahanan meningkat secara perlahan pada pola antagonisnya, pasien harus melawan tahanan tersebut tanpa disertai adanya gerakan, lalu diberi aba-aba “pertahankan di sini !” untuk latihan hold relax, dan “tetap dorong tangan saya!” pada latihan contract relax. Selanjutnya diikuti relaksasi dari pola antagonis tersebut. Saat benar-benar relaks, terapis menggerakan secara aktif maupun pasif ke arah pola agonis. Selama fase relaksasi manual kontak tetap dipertahankan untuk mendeteksi bahwa pasien benar-benar relaks.

(22)

b. Pola gerak ekstensi-abduksi-endorotasi

Posisi awal pasien adalah terlentang dengan bahu fleksi, adduksi, dan eksorotasi. Terapis berdiri di sisi yang kan diterapi, tepat pada bidang gerak, dengan satu tungkai di depan dan kedua kedua lutut sedikit fleksi. Tangan terapis yang sesisi memegang bagian distal lengan bawah pasien dan tangan satunya memegang bagian ibu jari, metacarpal II dan metacarpal V. Pasien diminta untuk membuka tangan, putar ke dalam dan kemudian mendorong tangan terapis. Saat berada di LGS, di mana nyeri mulai timbul, terapis memberikan tahanan meningkat secara perlahan pada pola antagonisnya, pasien harus melawan tahanan tersebut tanpa disertai adanya gerakan, lalu diberi aba-aba “pertahankan di sin!” untuk hold relax. Pada latihan contract relax, terapis memberikan tahanan meningkat secara perlahan pada pola antagonisnya, pasien harus melawan tahanan tersebut disertai adanya gerakan, lalu diberi aba-aba “tetap dorong tangan saya!” Diikuti relaksasi dari pola antagonis tersebut. Saat benar-benar relaks, terapis menggerakan secara aktif maupun pasif ke arah pola agonis. Selama fase relaksasi manual kontak tetap dipertahankan untuk mendeteksi bahwa pasien benar-benar relaks.

Referensi

Dokumen terkait

Perencanaan system monitoring kwh dengan metode symptom management dan aplikasi IoT, seperti gambar 9, dengan nama “Utility Energi Visualization” (UEV). Obyek penelitian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara parsial dari keempat variabel yang digunakan terdapat tiga variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap audit delay

Tes kemampuan awal bertujuan untuk mengetahui kesulitan siswa tentang konsep kedudukan titik, garis, dan bidang pada ruang dimensi tiga yang sudah dipelajari dengan guru

Berdasarkan issu yang dipaparkan diatas maka penulis ingin melakukan penelitian tentang “Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Menggunakan Pendekatan RGEC ( Risk Profile,

usaha lammang terhadap pendapatan rumah tangga di Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto diperoleh kesimpulan pendapatan Usaha Lammang memiliki pengaruh yang positif dan

Hal ini bersesuaian dengan data dilapangan berupa hasil wawancara dengan guru kelas bahwa nara sumber adalah anak yang dapat menahan diri dalam menghadapi

Pembelajaran yang berlangsung pada kelas XI IPS MAN Yogyakarta III masih terdapat beberapa siswa yang cenderung santai dan lebih senang mengajak temannya

[r]