• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Perbankan Konvensional: Fractional Reserve Banking

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sistem Perbankan Konvensional: Fractional Reserve Banking"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Sumber: Yusuf Wibisono, 2020 – PEBS FE UI

Kuliah 8 – Sistem Perbankan Berbasis Bunga Intermediasi dan Sistem Keuangan

• Peran utama sistem keuangan adalah menciptakan insentif untuk alokasi sumber daya keuangan dan riil yang efisien ke seluruh sektor perekonomian lintas waktu dan lokasi. • Sistem finansial yang berfungsi baik akan mempromosikan investasi dengan

mengidentifikasi dan membiayai proyek dengan rates of return tertinggi, memobilisasi tabungan, mengizinkan diversifikasi dan mitigasi resiko, dan memfasilitasi pertukaran barang dan jasa.

• Fungsi yang dijalankan sistem finansial ini akan membawa pada alokasi sumber daya yang efisien, akumulasi modal fisik dan kualitas manusia yang cepat, technological progress yang lebih cepat, yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.

Sistem Keuangan Konvensional: Bunga

• Productivity theory : adalah adil jika pemilik uang yang memberi pinjaman barang produktif (uang) menerima bagian dari tambahan kekayaan yang dihasilkan dari uang pinjaman tersebut.

• Use theory : bunga adalah harga yang dikenakan atas penggunaan uang yang dipinjam. • Abstinence theory : dengan menyediakan uang untuk dipinjamkan maka pemilik modal

tertahan untuk terlibat dalam aktivitas investasi atau konsumsi, sehingga ia berhak mendapat bunga atas pengorbanannya tersebut.

• Agio theory : kita menghargai barang hari ini lebih tinggi dari barang di masa depan, sehingga uang yang dipinjam dan dikembalikan di masa depan harus ditambah dengan bunga.

• Return for risk theory : bunga adalah pungutan yang dibenarkan atas peminjam karena resiko yang ditanggung pemilik uang dengan memberi pinjaman.

Sistem Perbankan Konvensional: Fractional Reserve Banking

• Ketika bank menahan semua deposito sebagai cadangan (reserve), dan tidak melakukan aktivitas kredit, maka bank tidak memberi pengaruh pada jumlah uang beredar (100- percent-reserve banking).

• Namun jika bank menahan hanya sebagian dari deposito dalam cadangan, tidak sejumlah 100%, maka bank menciptakan uang beredar melalui kredit yang diciptakannya (fractional-reserve banking).

• Sisi kewajiban neraca bank hanya dapat berkembang jika sisi aset juga berkembang. Bank meningkatkan aset mereka dengan membuat kredit. Ekspansi kredit adalah masif karena hanya sekedar membutuhkan pencatatan simultan di sisi kewajiban (utang deposit) dan aset (kredit bank). Uang tercipta sebagai hasil dari perluasan kredit ini.

(3)

• Sistem fractional-reserve banking sangat menguntungkan bank. Dalam sistem ini, bank dapat menciptakan uang (kredit) nyaris tanpa biaya apapun: hanya dengan memindah- bukukan dana simpanan milik nasabah penabung yang dititipkan ke mereka ke nasabah penerima kredit, dengan nasabah penabung tetap merasa uang mereka aman di bank, dan bank mendapat keuntungan dengan mengenakan bunga atas setiap kredit yang mereka ciptakan.

• Bank muncul sebagai industri dimana produk-nya adalah uang (tabungan dan kredit) dengan harganya adalah tingkat suku bunga. Keuntungan bank adalah selisih antara harga pembelian uang (tingkat suku bunga simpanan) dan harga penjualan uang (tingkat suku bunga kredit).

Model Bisnis Perbankan Berbasis Bunga

Perbankan Berbasis Bunga

• Dengan instrumen bunga, perbankan dengan fractional • reserve melakukan beberapa fungsi keuangan, yaitu:

– (i) size transformation: transformasi besaran kapasitas pemilik modal, yang umumnya kecil, dengan kebutuhan peminjam, yang umumnya besar;

– (ii) maturity transformation: transformasi preferensi jatuh tempo pemilik modal, yang umumnya jangka pendek, dengan preferensi jatuh tempo peminjam, yang umumnya jangka panjang; dan

– (iii) risk transformation: transformasi dana pihak ketiga yang bebas resiko menjadi pinjaman ke kreditor yang memiliki resiko.

• Dalam pembiayaan berbasis utang, tingkat yang dikenakan adalah independen terhadap kinerja riil si peminjam.

– Dalam sistem ini, bunga dipandang sebagai instrument risksharing yang efisien dalam menghadapi informasi yang asimetris dan ketika biaya verifikasi rate of return dariproyek riil adalah besar dibandingkan hasil potensial proyek.

– Dengan pengenaan bunga terhadap utang, biaya pengawasan (monitoring cost) juga menjadi minimal karena bank tidak memiliki kepentingan terhadap tingkat keberhasilan proyek si peminjam sepanjang ia tidak memiliki potensi default.

• Secara keseluruhan, dengan kontrak utang berbasis bunga, biaya transaksi (transaction cost) menjadi lebih murah.

Dampak Bunga

• Penerimaan bunga secara luas, telah memberi legitimasi bagi pemilik modal finansial, untuk menarik surplus ekonomi yang dihasilkan oleh penerima pinjaman, tanpa ikut menanggung resiko sama sekali.

(4)

• Dengan produksi barang dan jasa di sektor riil yang dihadapkan pada berbagai resiko serta keterbatasan teknologi, fisik lingkungan dan kapasitas sumber daya manusia, tekanan utang telah mendorong penerapan pajak tinggi serta eksploitasi sumber daya alam dan buruh untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang.

Bunga dan Uang Fiat

• Ketiadaan disiplin yang inheren dalam pembiayaan berbasis bunga, membuat birokrasi pemerintah yang inefisien dan korup mampu terus menjalankan defisit anggaran dengan mengandalkan utang.

• Dan ketika beban utang tak lagi tertanggungkan dan kreditor tidak lagi bersedia memberi pinjaman, pemerintah yang terdesak akan menggunakan pilihan terakhir yang dimilikinya: mencetak uang kertas.

Perbankan Berbasis Bunga

• Kebijakan moneter berbasis bunga tidak efektif mengendalikan jumlah uang beredar dan inflasi, dan justru berimplikasi ekspansi jumlah uang beredar.

• Tingkat suku bunga tidak mempengaruhi kemampuan sistem perbankan untuk menciptakan uang.

• Perbankan konvensional hidup dari interest spread, mendapatkan pendapatan bunga yang lebih tinggi dari kewajiban bunga dana pihak ketiga yang mereka himpun.

• Maka, di tingkat suku bunga berapapun, perbankan akan berusaha meningkatkan laba dengan cara meminjamkan uang lebih banyak baik ke sektor riil maupun sektor finansial, atau meningkatkan size of the spread.

• Maka, ekspansi uang beredar dari sektor perbankan bisa terus berlanjut meskipun ketika suku bunga tinggi.

• Mengendalikan inflasi dengan suku bunga tinggi tidak menyelesaikan akar masalah. – Ketika bank sentral melakukan operasi pasar terbuka untuk menurunkan uang beredar,

bank sentral menjual surat berharga ke publik tanpa membelanjakan kembali dana yang ditarik tersebut.

– Hal ini membuat uang beredar mengalami kontraksi. Namun hal ini hanya terjadi dalam jangka pendek, karena bank sentral harus membayar dana yang dihimpunnya ditambah bunga saat jatuh tempo.

– Kebijakan suku bunga tinggi by default akan selalu berakhir dengan jumlah uang beredar yang lebih banyak. Jika pada saat yang sama tidak ada penambahan dalam kapasitas produksi perekonomian, dipastikan masalah inflasi akan berulang dalam derajat yang semakin parah.

Pencapaian Tujuan Normatif Perekonomian

• Sistem perbankan berbasis bunga membawa dampak buruk pada pencapaian tujuan normatif perekonomian.

– Kriteria utama penyaluran kredit perbankan bunga adalah kemampuan peminjam untuk menjamin pengembalian pokok dan bunga pinjaman. Penggunaan akhir dari kredit tidak terlalu mendapat perhatian.

(5)

– Dalam sistem seperti ini, kredit akan mengalir ke orang kaya dan sektor pemerintah, dua kelompok yang dipastikan mampu menjamin pinjaman.

– Pengeluaran kelompok ini tidak selalu efisien dan produktif, dan seringkali sesuai dengan kepentingan masyarakat dan peradaban.

– Hal ini mendorong inefisiensi modal finansial dan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar sebagian besar masyarakat terlepas dari berlimpahnya sumber daya finansial dalam perekonomian.

Kesenjangan Pendapatan

• Sistem bunga juga membuat kesenjangan pendapatan semakin memburuk akibat distribusi modal finansial yang sangat tidak merata.

– Perbankan konvensional sangat bergantung pada jaminan aset dalam penyaluran kredit.

– Sehingga, meskipun dana yang dihimpun perbankan berasal dari seluruh kelompok masyarakat, namun manfaat dana hanya mengalir ke kelompok kaya yang mampu menjamin kredit.

Kredit dan Konsumerisme

• Sistem keuangan berbasis bunga secara agresif juga mendorong masyarakat dan bahkan pemerintah untuk menjadi konsumtif.

– Dengan ketiadaan sistem nilai yang tersosialisasi secara baik, keberadaan kredit secara mudah oleh perbankan telah mendorong kenaikan konsumsi secara berlebihan, dan mendorong turunnya tingkat tabungan.

Kuliah 9 – Sistem Perbankan Islam Sistem Keuangan Islam

• Karakter utama sistem keuangan Islam adalah pelarangan riba, yang secara esensial bermakna pelarangan “trading in credit”.

• Trading in credit bermakna pemutusan waktu dari transaksi riil.

– Ketika waktu dipisahkan dari transaksi riil melalui pinjaman berbasis bunga, hal ini membuat tingkat utang meningkat sehingga cost of financing lebih besar melalui cost of debt services yang lebih tinggi.

– Bunga yang terakumulasi membuat utang terus tumbuh dan menjauhkan sektor keuangan dari sektor riil. Biaya bunga yang berlipat ganda telah membebani perekonomian jauh lebih besar dari biaya pembiayaan riil sebenarnya.

Pelarangan Ribâ al-Nasî’ah

• Ribâ al-nasî’ah terjadi ketika pemberi pinjaman mempersyaratkan pengembalian pinjaman disertai tambahan hanya karena berjalannya waktu, tanpa ada imbalan yang setara (’iwad). • Dalam Islam, keuntungan (profit) hanya dapat dibenarkan ketika faktor produksi bersedia

menanggung resiko kerugian (alghunm bi al-ghurm) dan hasil usaha (return) dibenarkan ketika faktor produksi menanggung beban atau biaya (al-kharâj bi aldhamân).

(6)

• Dengan demikian, tidak ada bagi hasil (profit-sharing) tanpa pembagian resiko (risk- sharing). Keuntungan dilegitimasi dengan keterlibatan dalam aktivitas ekonomi riil. Return atas suatu aset hanya untuk pihak yang mengelola dan bertanggung jawab atas aset tersebut, dan pihak lain yang tidak menanggung kewajiban tersebut tidak berhak atas return tersebut.

• Uang sebagai modal finansial karenanya tidak dibenarkan mengklaim fixed pre- determined return. Untuk mendapatkan profit atau return, seseorang dapat menginvestasikan uang-nya pada perusahaan pribadi, mendirikan kemitraan (al-syirkah) bersama mitra usaha, atau menyerahkan pengelolaan uang sepenuhnya pada mitra pengusaha dalam al-mudhârabah.

Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil

• Islam menawarkan sistem pembiayaan berbasis bagi hasil sebagai bentuk risk-sharing yang berkeadilan sekaligus memberikan stabilitas bagi perekonomian.

• Dalam Islam, modal finansial dilarang menerima fixed pre- determined return. Karena itu skema pembiayaan berbasis bagi hasil (profit and loss sharing) dimana modal finansial terlibat langsung dalam usaha produktif di sektor riil, dan karenanya menghadapi resiko kegagalan usaha, dipandang sebagai bentuk pembiayaan yang paling sesuai dengan semangat syarî’ah Islam.

Pembiayaan Bagi Hasil Klasik

• Di masa sebelum dan awal Islam, mudhârabah adalah kontrak finansial antara dua pihak secara langsung (peer to peer financing), yaitu pengusaha (mudhârib) dan pemilik modal (rabb al-mâl).

• Mudhârabah telah dipraktekkan di sepanjang masa dan terbukti mampu menggerakkan bisnis secara mengesankan.

• Kemitraan bisnis yang mirip telah ada jauh sebelum Islam, ‘isqa dalam tradisi Yahudi dan chreokoinonia dalam hukum Romawi.

• Kemitraan yang sangat mirip adalah commenda di Eropa, muncul pertama kali pada abad ke-10 atau ke-11 di Italia. Unilateral commenda, yaitu investor mempercayakan modal- nya ke pengusaha, yang kemudian mengembalikan pokok modal ke investor ditambah bagi hasil keuntungan yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian dari bisnis akan ditanggung sepenuhnya oleh investor, sedangkan pengusaha menanggung kerugian dari usaha dan waktunya yang hilang tanpa mendapat imbalan.

Model Perbankan Islam Kontemporer

• Sejak pertengahan 1950-an, mudhârabah dibangun menjadi teknik pembiayaan baru, sebagai alternatif terhadap ribâ, dalam perbankan modern.

• Model dasar perbankan Islam kontemporer adalah twotier mudhârabah model.

• Dalam model ini, hubungan antara rabb al-mâl dan mudhârib tercipta melalui kontrak tripartit dimana nasabah penyimpan dana memberikan otoritas kepada bank untuk menggunakan dana-nya dengan basis bagi hasil (first-tier mudhârabah) dan bank kemudian bertindak sebagai agen nasabah penyimpan dana untuk masuk ke

(7)

• kontrak dengan pihak lain untuk menjalankan mudhârabah aktual dimana bank bertindak sebagai investor dan pihak lain sebagai pengusaha (second-tier mudhârabah).

Two-Tier Mudharabah Model

• Dengan mudhârabah dua tingkat, bank menjalankan fungsi intermediasi keuangan tanpa instrument bunga sama sekali.

• Pendapatan kotor berasal dari bagian bank dalam keuntungan pengusaha berdasarkan rasio bagi hasil yang disepakati diawal.

• Setelah dikurangi biaya operasional bank, pendapatan ini dibagi antara bank dan penabung berdasarkan rasio bagi hasil yang disepakati diawal.

• Dalam model ini, deposito penabung bukanlah kewajiban bank, yaitu dana pihak ketiga tidak dijamin dan dapat hilang jika kredit bank mengalami kegagalan, melainkan bentuk penyertaan modal secara terbatas di bank, tanpa hak suara.

• Dalam model ini, bank Islam tetap menerima giro dan tabungan yang setiap saat dapat diambil, tidak memberikan return, dikenakan biaya dan diperlakukan sebagai kewajiban. • Keunggulan utama model ini adalah bunga sepenuhnya digantikan oleh bagi hasil baik di

sisi kewajiban maupun di sisi aset, sehingga meminimalkan kebutuhan untuk manajemen aset-kewajiban secara aktif, dan karenanya memberikan stabilitas terhadap guncangan ekonomi, serta tidak membutuhkan reserve requirement.

• Secara makro, model ini menghasilkan berbagai dampak positif terhadap efisiensi, pemerataan dan stabilitas sistem perbankan.

Model “Two Windows”

• Dalam model two-tier mudharabah ini maka neraca bank akan terbagi ke dalam “two windows”, yaitu:

– [i] neraca giro dan tabungan (demand deposit) yang diperlakukan sebagai titipan dan didukung cadangan 100%; dan,

– [ii] neraca investasi (investment account) dimana pokok dana tidak dijamin dan karenanya tidak membutuhkan cadangan.

Implikasi Perbankan Islam

• Sistem Perbankan Islam mendorong intermediasi keuangan bebas bunga yang secara langsung menghubungkan return sumber daya finansial dengan hasil dari proyek di sektor riil.

(8)

– Selain meminimalkan potensi decoupling, mengkaitkan sektor moneter dan sektor riil secara langsung juga akan meminimalkan potensi permintaan uang untuk kegiatan yang mubazir, tidak produktif dan sia-sia, baik di sektor publik maupun sektor privat. – Dalam jangka panjang, hal ini secara substansial akan meningkatkan tingkat tabungan dan investasi, menurunkan defisit anggaran dan ketidakseimbangan makroekonomi serta mendorong pemerataan pendapatan.

• Alokasi kredit dalam Islam harus berorientasi pada pencapaian maqashid. Alokasi kredit yang tidak sejalan dengan maqashid harus dipandang sebagai inefisiensi dan kesia-siaan. • Penggunaan akhir dari kredit adalah penting. Kredit harus mengalir ke pihak yang paling

produktif dan sekaligus sesuai dengan kepentingan masyarakat dan peradaban. • Hal ini mendorong efisiensi modal finansial dan terpenuhinya tujuan normatif

perekonomian.

Produksi: what, how and for whom?

Struktur Perekonomian Islam

• Pada saat yang sama, pengenaan zakat terhadap sumber daya finansial yang menganggur, secara efektif akan memaksa pemilik sumber daya finansial untuk mencari peluang- peluang investasi yang prospektif di sektor riil agar terhindar dari penurunan tingkat kesejahteraan.

• Dalam sistem dimana bunga dilarang dan zakat diterapkan, ide-ide bisnis segar akan berkembang dan menjadi gelombang inovasi (creative destruction) yang mendorong

(9)

dinamika perekonomian riil. Hal yang mirip dengan apa yang kini dilakukan oleh venture capital.

• Lebih jauh lagi, equity-based financial intermediation juga lebih stabil karena permintaan uang untuk kegiatan produktif dan tingkat return sektor riil adalah relatif stabil.

One-Tier Mudhârabah Model

• Dalam model ini kontrak mudhârabah diterapkan antara nasabah penabung dan bank namun penyaluran dana oleh bank ke nasabah peminjam dilakukan melalui berbagai kontrak investasi, yaitu tidak terbatas pada kontrak mudhârabah saja namun juga menggunakan kontrak musyârakah, diminishing musyârakah, murâbahah, istishnâ, salam dan ijârah.

• Model ini muncul sebagai akibat kesulitan yang dihadapi perbankan syariah dalam menyalurkan dana melalui kontrak mudhârabah saja.

Jual Beli Tidak Sama Dengan Ribâ

• Al-Qur’ân 2: 275 menegaskan bahwa jual beli adalah halâl sedangkan ribâ adalah harâm. • Ketika al-Qur’ân melarang ribâ, para pelaku ribâ awalnya menolak ketentuan ini.

• Mereka menganggap bahwa jual beli dan ribâ adalah sama, dengan alasan bahwa tambahan dari harga tunai dalam jual beli secara tangguh adalah serupa dengan tambahan dari pokok pinjaman, yaitu adanya tambahan keuntungan dari harga awal karena adanya penangguhan waktu.

Perbedaan Jual Beli dan Ribâ

• Transaksi jual-beli tidak mengandung pembiayaan langsung dan pinjaman, yaitu transaksi pembelian, penjualan atau sewa yang mengandung barang dan jasa riil. Syarî’ah menerapkan sejumlah kondisi untuk validitas transaksi-transaksi ini untuk menjamin bahwa penjual (financier) juga berbagi resiko dan untuk menjamin bahwa transaksi ini tidak berubah menjadi transaksi pembiayaan dan pinjaman berbasis bunga, seperti adanya ketentuan bahwa penjual harus memiliki dan menguasai barang yang dijual. Dengan demikian pembiayaan melalui akad jual beli hanya bisa mengalami ekspansi seiring dengan kenaikan kapasitas perekonomian riil.

• Yang ditetapkan diawal adalah harga dari barang dan jasa yang dijual, bukan tingkat bunga. Sekali harga telah ditetapkan, maka hal tersebut tidak bisa dirubah meskipun terdapat keterlambatan pembayaran terkait hal-hal yang tidak diperkirakan.

Model Wakâlah

• Dalam kontrak wakâlah (perwakilan), principal menyewa seseorang untuk bertindak atas nama dirinya (sebagai wakîl) untuk melakukan tugas tertentu.

• Wakîl berhak menerima fixedpredetermined fee terlepas dari keberhasilan tugas dan kepuasan principal sepanjang wakîl telah bertindak secara jujur.

• Wakîl dapat dikenakan penalti hanya jika ia terbukti melanggar ketentuan kontrak atau bertindak tidak jujur.

• Berdasarkan prinsip wakâlah ini, bank Islam bertindak sebagai manajer investasi dari pemilik dana.

(10)

• Bank kemudian menetapkan fixed-predetermined fee atas jasa manajerial-nya tersebut. • Keseluruhan keuntungan atau kerugian sepenuhnya menjadi hak pemilik dana.

• Kontrak ini digunakan sebagian bank Islam untuk mengelola dana off-balance sheet. Kuliah 10 – Stabilitas Sistem Perbankan Islam

Sistem Perbankan Konvensional: Fractional Reserve Banking

• Sisi kewajiban neraca bank hanya dapat berkembang jika sisi aset juga berkembang. Bank meningkatkan aset mereka dengan membuat kredit.

• Ekspansi kredit adalah masif karena hanya sekedar membutuhkan pencatatan simultan di sisi kewajiban (utang deposit) dan aset (kredit bank). Uang tercipta sebagai hasil dari perluasan kredit ini.

Fractional Reserve Banking

Kredit dalam Fractional- Reserve Banking

• Dalam sistem fractional-reserve banking, bank memiliki kemampuan menciptakan uang melalui aktivitas kredit. Dalam dunia modern, hampir seluruh uang beredar mengambil bentuk uang bank yang diciptakan oleh aktivitas penciptaan kredit ini, bukan oleh pemerintah.

• Namun kemampuan bank menciptakan uang beredar ini hampir seluruhnya didapat dari pinjaman nasabah penabung. Semakin besar kredit yang diciptakan dari sejumlah tabungan tertentu, semakin besar keuntungan, namun semakin besar pula ”leverage” dan resiko yang dihadapi bank.

(11)

• Leverage mencerminkan upaya melipatgandakan keuntungan, dan sekaligus resiko, dengan menggunakan sumber daya milik pihak lain, yaitu melalui cara berhutang atau menggunakan derivatif.

• Fractional-reserve banking mengizinkan leverage, semakin besar (kecil) reserve requirement semakin kecil (besar) leverage. Semakin besar leverage, semakin besar return on equity, sekaligus semakin besar derajat resiko.

Leverage dan Resiko Perbankan

• Ketentuan capital adequacy ratio (CAR) mencerminkan upaya membatasi leverage bank. – CAR 8%, yang ditetapkan Basel I pada 1988, bermakna bahwa leverage bank dibatasi

pada tingkat 1: 0,08 atau 12,5: 1. Pada tingkat leverage ini, setiap 1% return on asset merupakan 12,5% return on equity, sekaligus pada saat yang sama bermakna bahwa modal bank akanhabis tergerus ketika nilai aset menurun hingga 8%. Tingkat ini dianggap tingkat leverage maksimum yang aman bagi bank.

Kerawanan Perbankan Berbasis Bunga

• Fractional-reserve banking mengizinkan bank meminjam dana penabung untuk meraih keuntungan dengan cara menciptakan kredit. Perusahaan atau individu yang mendapat kredit dari bank seringkali juga melakukan leverage. Kegagalan nasabah peminjam (kredit macet) yang signifikan akan memicu bank mengalami gagal bayar ke penabung.

• Dengan transaksi keuangan yang saling terkoneksi, kegagalan satu bank akan membawa dampak ikutan ke bank lain. Dalam situasi krisis, hal ini akan memicu penarikan dana besar-besaran oleh penabung (bank run), sehingga sektor perbankan akan runtuh dalam sekejap, sekaligus menghancurkan kredit yang mereka ciptakan.

Kredit, Uang dan Perekonomian

• Karena kredit merupakan bagian dari uang beredar, maka kredit macet yang diikuti kebangkrutan bank akan menimbulkan kontraksi moneter. Jumlah uang beredar akan terkontraksi secara signifikan, dan segera menurunkan ekspektasi dan aktivitas ekonomi dengan segala dampak ikutannya di sektor riil.

• Instabilitas sektor perbankan, dari aktivitas menciptakan kredit yang terlalu banyak dan kemudian hancur secara cepat karena kredit macet, karenanya berpengaruh besar pada jumlah uang beredar dan stabilitas moneter.

Bank, Bank Run dan Bailout

• Untuk mencegah bank run, pemerintah umumnya memberi jaminan kepada publik atas dana yang disimpan di bank. Keberadaan lembaga penjamin simpanan kini telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari sistem fractional-reserve banking.

• Sedangkan untuk mencegah kehancuran sistem perbankan akibat kegagalan sebuah bank, pemerintah umumnya melakukan bailout dengan mengambilalih bank gagal.

(12)

• Kemampuan perbankan untuk melipatgandakan uang beredar melalui penciptaan kredit dan mengkontraksi uang beredar melalui kredit macet dan bank run, merupakan sumber dari siklus bisnis yang tajam.

– Penciptaan kredit yang masif, karena bank adalah pelaku ekonomi yang mengejar keuntungan, menciptakan leverage dan booms, dan kehancuran kredit menciptakan deleverage dan depressions.

– Fluktuasi pada produksi, perdagangan, investasi dan kesempatan kerja, menjadi fenomena yang lazim ditemui dalam sistem fractional-reserve banking.

Bunga dan Bubbles

• Bunga, leverage dan spekulasi bertanggungjawab atas gelembung perekonomian.

– Pinjaman yang didapat berdasarkan agunan seringkali digunakan untuk membeli aset, yang kemudian, aset tersebut dapat digunakan lagi untuk proses peminjaman berikutnya.

– Ketika suatu jenis aset menjadi fokus dari piramida proses penjaminan dan peminjaman dana, harga aset tersebut cenderung meningkat sehingga membuat nilai jaminan meningkat dan karenanya menimbulkan kepercayaan peminjam untuk meminjamkan dana lebih besar lagi.

– Dalam skala yang luas, praktek ini dengan sangat cepat akan berkembang menjadi sebuah “gelembung ekonomi spekulatif”.

• Kegiatan ekonomi berbasis efek leverage yang spekulatif ini sering berakhir dengan kerugian.

– Kenaikan harga aset akan mendorong otoritas moneter menaikkan suku bunga, sehingga sebagian peminjam akan gagal bayar, kredit ke kegiatan spekulatif ini dihentikan, pembeli baru menurun dan kenaikan harga aset berakhir.

Full-Reserve Banking

• Solusi non-mainstream terpopuler yang ditawarkan untuk menghapus keburukan sistem fractional-reserve banking adalah sistem 100 percent-reserve banking.

• Dampak esensial dari penerapan 100 percent-reserve banking adalah untuk memisahkan fungsi peminjaman (lending) perbankan dari penciptaan uang (money creation), sehingga akan secara efektif mengkontrol jumlah uang beredar dan membuatnya menjadi fungsi pemerintah semata-mata. Dengan kata lain, hak perbankan swasta untuk menciptakan uang dihilangkan, dan negara mengambil alih fungsi ini secara penuh.

• Merubah fractional-reserve banking dengan cadangan yang setara kewajiban bank, akan menghapus kemampuan bank untuk menciptakan uang. Demand deposit akan sepenuhnya konvertibel menjadi mata uang dengan keseluruhan jumlah uang beredar sepenuhnya dibawah kontrol pemerintah.

100 Percent-Reserve Banking

• Dalam proposal 100 percent-reserve banking ini struktur perbankan akan terdiri dari: – rekening koran yang tidak berbunga dengan cadangan 100%; dan

(13)

• Karena cadangan 100% disimpan di rekening koran bank sentral, maka tidak dimungkinkan bagi bank untuk menciptakan uang giral.

• Sedangkan kredit akan meningkat seiring peningkatan tabungan di rekening investasi. Stabilitas Perbankan Islam

• Berbagai solusi sistemik terhadap krisis perbankan dan finansial, membawa kita pada pentingnya peran equity financing, bukan debt financing.

– Dalam dunia yang ideal, pembiayaan ekuitas dan investasi langsung seharusnya memainkan peranan yang lebih besar. Dengan keseimbangan yang lebih baik antara utang dan ekuitas, risk-sharing akan meningkat secara luar biasa dan krisis finansial akan reda seketika.

• Fitur utama sistem perbankan Islam adalah equitybased banking system.

– Intermediasi keuangan berbasis profit-and-loss sharing akan membuat pemilik modal berbagi resiko dan juga keuntungan dari bisnis, sehingga mendorong disiplin finansial yang lebih tinggi.

• Return kepada nasabah didasarkan pada laba/rugi bank dan nilai nominal dana nasabah tidak dijamin.

• Hal ini akan menghapus kemungkinan mismatch antara aset dan kewajiban karena return dari kewajiban terkait secara langsung dengan return aset yang berbasis pada aktivitas investasi di sektor riil.

• Konsekuensinya, sistem perbankan Islam akan lebih kondusif bagi stabilitas finansial karena dana nasabah dapat menyerap kerugian yang ditimbulkan oleh guncangan riil. • Hal ini sekaligus meniadakan kebutuhan jaminan simpanan dan lender of last resort, dan

lebih berkeadilan karena menurunkan probabilitas pembayar pajak menanggung beban biaya rekapitalisasi bank.

• Semakin banyak penggunaan ekuitas dalam bank Islam, maka semakin sedikit kebutuhan cadangan. Hal ini menjelaskan fakta bahwa rekening investasi di bank Islam menarik cadangan menuju zero reserve requirement.

Kuliah 11 –Model Pembiayaan Bagi Hasil Karakteristik Pembiayaan Bagi Hasil: Risk - Return

• Skema bunga dicirikan dengan kepastian besaran return bagi pemilik dana. Resiko yang dihadapi terbatas pada default risk.

• Skema bagi hasil dicirikan dengan ketidakpastian return bagi pemilik dana, karena biaya kredit yang ditanggung pengusaha bersifat tidak tetap. Resiko yang dihadapi berdimensi lebih luas, tidak hanya default risk, namun juga resiko rendahnya return yang diterima karena masalah moral hazard.

Karakteristik Pembiayaan Bagi Hasil: Uncertainty

• Pada skema bunga, ketidakpastian dihadapi pengusaha terkait besaran return dari kredit yang diperolehnya.

(14)

– Selisih tingkat return usaha yang fluktuatif dan beban bunga yang tetap, menjadi hak bagi pengusaha. Selisih positif akan meningkatkan utilitas pengusaha, dan selisih negatif akan menurunkannya.

– Dengan ketidakpastian tingkat utilitas, skema bunga akan dipilih pengusaha jika memiliki prospek usaha yang baik.

• Pada skema bagi hasil, ketidakpastian dihadapi pemilik modal dan pengusaha.

– Tingkat utilitas pengusaha dan pemilik dana akan meningkat seiring kenaikan tingkat laba, dan akan menurun seiring penurunan tingkat laba.

– Dengan ketidakpastian tingkat utilitas, skema bagi hasil akan dipilih pengusaha jika memiliki prospek usaha yang kurang baik.

Pembiayaan dengan Skema Bunga

Pembiayaan dengan Skema Bagi Hasil

Risk-Sharing dalam Pembiayaan Bagi Hasil

• Dalam pembiayaan bagi hasil, tingkat utilitas pemilik dana dan pengusaha bergerak searah: meningkat ketika return naik dan menurun ketika return jatuh.

• Dengan skema bagi hasil, pemilik modal menanggung sebagian resiko dari usaha, yang tercermin dari pendapatan bagi hasil yang diterimanya yang bersifat tidak tetap, termasuk bernilai positif atau negatif.

• Pada skema bunga, resiko dari usaha sepenuhnya ditanggung pengusaha.

• Namun demikian, skema bagi hasil akan memberikan hasil lebih baik pada saat kondisi usaha sedang bagus atau pada kasus pengusaha yang berkinerja tinggi.

(15)

Karakteristik Pembiayaan Bagi Hasil: Willingness to Pay

Permasalahan Skema Bagi Hasil

• Skema bagi hasil menghadapi masalah asymmetric information yang intensif: pemilik modal tidak memiliki cukup informasi tentang karakteristik pengusaha serta karakteristik dan prospek usaha-nya, karena sifat informasi yang privat, maupun karena diperlukan biaya besar untuk mendapatkan informasi tersebut sehingga menjadi tidak efisien bagi pemilik dana untuk berusaha mendapatkannya.

• Pengusaha memiliki motif dan insentif untuk mengeksploitasi keunggulan informasi privat yang dimilikinya.

• Masalah adverse selection muncul ex-ante saat pemilik dana mengidentifikasi dan memilih pengusaha yang akan diberikan kredit tanpa mengetahui secara pasti karakteristik pengusaha.

• Kontrak bagi hasil rentan juga terhadap permasalahan principal-agent: pengusaha memiliki disinsentif dalam melakukan upaya terbaiknya dan memiliki insentif untuk melaporkan laba lebih rendah, dibandingkan jika membiayai sendiri usahanya (moral hazard).

• Pengusaha yang terlibat dalam usaha, akan terdisinsentif jika di-kompensasi lebih rendah dari kontribusi marjinal-nya.

• Implikasi dari asymmetric information adalah upaya monitoring dan verifikasi atas return dari usaha, yang akan menentukan pendapatan bagi hasil, harus dilakukan secara intensif. Biaya monitoring dan verifikasi atas laba usaha menjadi mahal.

Asymmetric Information dan Kontrak yang Optimal

• Dengan tingginya permasalahan moral hazard dalam equity financing, debt financing dipandang lebih optimal dimana pihak-pihak yang berkontrak akan memperoleh utilitas yang lebih tinggi.

• Kontrak dengan biaya tetap (fixed return scheme), seperti debt financing, akan berimplikasi pada rendahnya moral hazard serta rendahnya biaya monitoring dan verifikasi.

• Pengusaha berusaha melakukan upaya terbaik dalam mencapai laba tertinggi karena selisih laba diatas beban bunga akan menjadi hak-nya. Dan pemilik modal akan menawarkan dana-nya atas dasar opportunity cost.

(16)

• Dalam perekonomian yang dicirikan dengan intens-nya permasalahan agency, para pelaku usaha akan cenderung menggunakan debt financing.

Informasi Privat

• Pengusaha memiliki informasi privat tentang dirinya dan usahanya, seperti karakteristik dirinya, bisnisnya dan tingkat utilitas yang diinginkannya, yang membedakan dirinya dengan pengusaha lainnya.

• Informasi privat pengusaha yang penting antara lain produktivitasnya dalam menghasilkan laba, preferensinya terhadap tingkat upayanya (cenderung berusaha keras atau tidak), dan besarnya disutilitas atas upayanya (sebagai implikasi dari besarnya tingkat pengorbanan dalam upaya meraih laba).

• Informasi privat ini sangat dibutuhkan dalam identifikasi penerima kredit dan dalam mendesain skema bagi hasil yang optimal.

Adverse Selection

• Pada umumnya, hanya pengusaha dengan expected return yang relatif rendah yang menjual usaha atau proyeknya (meminta kredit/pembiayaan).

• Dalam hal pengusaha memiliki distribusi laba ex-post yang lebih baik, kontrak ekuilibrium adalah debt financing.

• Permasalahan adverse selection akan lebih besar pada skema bagi hasil dibandingkan pada skema bunga.

• Pada skema bunga, kesalahan pemilihan pengusaha tidak akan berdampak besar sepanjang tidak terjadi default.

• Pada skema bagi hasil, terdapat kecenderungan membesar-besarkan karakteristik pengusaha karena pengusaha tidak sekedar ingin mendapatkan kredit namun juga agar rasio bagi hasil untuk dirinya lebih tinggi.

• Pada kontrak bagi hasil, yang ditetapkan dimuka hanya rasio bagi hasil, namun tidak ada kewajiban bagi pengusaha untuk mencapai suatu jumlah laba tertentu.

• Pemilik modal akan memilih dan menawarkan rasio bagi hasil yang lebih tinggi kepada pengusaha dengan karakteristik yang baik.

– Dengan rasio bagi hasil yang tinggi, diharapkan pengusaha akan tertarik untuk mengambil pembiayaan dari pemilik modal.

– Meski rasio bagi hasil untuk pengusaha tinggi, namun dengan besarnya expected profit pengusaha, pemilik modal tetap akan memperoleh pendapatan bagi hasil yang besar.

• Kepada pengusaha dengan karakteristik yang tidak baik, pemilik modal akan menawarkan rasio bagi hasil yang lebih rendah, sehingga pengusaha tidak tertarik.

• Rasio bagi hasil yang ditawarkan merupakan alat seleksi.

• Pengusaha akan berusaha meyakinkan pemilik modal bahwa dirinya merupakan pengusaha dengan karakteristik yang baik.

• Dengan ketiadaan informasi yang valid, terdapat peluang besar pemilik modal melakukan kesalahan dalam memilih pengusaha yang tepat untuk menerima kredit.

• Dalam lingkungan dimana equity financing dan debt financing berkompetisi secara langsung, permasalahan adverse selection lebih kuat.

(17)

• Pengusaha dengan expected return tinggi akan cenderung memilih fixed return scheme, sedangkan pengusaha dengan expected return rendah akan cenderung memilih variable return scheme.

Moral Hazard

• Moral hazard, yaitu pengusaha menggunakan kredit yang diterimanya tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, bersumber dari fakta bahwa tindakan agent tidak dapat diobservasi. Observasi secara penuh atas tindakan agent membutuhkan biaya besar.

• Pada skema bagi hasil, moral hazard signifikan dan berdampak langsung pada besaran bagi hasil. Pada skema bunga, moral hazard ditoleransi sepanjang tidak berimplikasi pada default.

• Moral hazard pada skema bagi hasil berimplikasi dibutuhkannya monitoring dan verifikasi atas upaya pengusaha, yang karena sifatnya yang intensif maka membutuhkan biaya yang besar.

• Moral hazard muncul karena principal tidak dapat mengobservasi upaya agent. Di sisi lain, selain ditentukan oleh level upaya pengusaha, terdapat pula faktor stokastik atas laba yang diperoleh agent, seperti kondisi persaingan usaha dan kondisi makro perekonomian. • Faktor stokastik menambah dalam permasalahan moral hazard dimana pemilik dana tidak

dapat menyimpulkan berapa tinggi level upaya pengusaha hanya berdasarkan besaran return yang dilaporkan.

• Tingkat laba yang tinggi tidak selalu berkorelasi dengan level upaya yang tinggi, dan sebaliknya.

• Informasi tentang level upaya pengusaha hanya diketahui oleh pengusaha yang bersangkutan.

• Bagi hasil didasarkan pada realisasi laba, bukan pada level upaya pengusaha karena ia memang sulit diobservasi.

• Di sisi lain, faktor stokastik dapat membuat laba rendah meski level upaya pengusaha sangat tinggi.

• Maka dapat terjadi disinsentif pada pengusaha, level upaya pengusaha cenderung rendah (moral hazard tipe 1).

– Pengusaha yang bersifat risk-averse akan cenderung menghindari resiko dan memilih level upaya yang sekedar memenuhi reservation utility-nya saja. Karena level upaya tidak dapat diobservasi, terbuka besar peluang pengusaha tidak mengerahkan upaya terbaiknya.

• Permasalahan disinsentif ini juga dapat terjadi karena kurangnya insentif, bukan karena tidak dapat diobervasinya upaya pengusaha, yaitu jika rasio bagi hasil yang ditetapkan terlalu rendah.

• Pengusaha juga dapat melakukan tindakan falsifikasi (moral hazard tipe 2), yaitu dengan melaporkan besaran laba yang tidak benar, yaitu lebih rendah dari seharusnya.

• Masalah falsifikasi ini dapat terjadi baik pada fungsi laba yang bersifat deterministik maupun stokastik.

• Pada moral hazard tipe 2 ini, yang disembunyikan dari pemilik modal bukanlah level upaya pengusaha, melainkan besaran laba yang dihasilkan, dengan tujuan agar biaya bagi hasil lebih rendah.

(18)

Kuliah 12 – Incentive-Compatible Constraints dan Skema Bagi Hasil yang Optimal Efisiensi Skema Bagi Hasil

• Dibawah skema bagi hasil, terdapat premium untuk menjadi inefisien karena agent dapat membebankan inefisiensi ke principal (bank). Tidak terdapat tekanan yang memadai bagi agent untuk beroperasi se-efisien mungkin sebagaimana di pembiayaan utang dimana agent diharuskan mengembalikan pokok dengan bunga utang.

• Pada gilirannya, bank Islam akan meneruskan kerugian pada deposan, sehingga alih-alih menerima expected profit, deposan justru mendapatkan pokok dana-nya tergerus.

• Untuk mengetahui sumber inefisiensi, dibutuhkan biaya verifikasi yang mahal dan rawan memunculkan dispute, yang akan membebani bisnis dan perekonomian dengan biaya yang tidak penting.

Asymmetric Information pada Skema Bagi Hasil

Adverse Selection dan Pengusaha Pilihan

• Pemilik dana (bank) dapat memperkecil kesenjangan Bank informasi dengan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang relevan, seperti umur dan ukuran perusahaan (track record) dan panjangnya pengalaman pengusaha dengan Bank (dengan akad murabahah).

• Meski dengan proposal bisnis yang baik (expected profit tinggi dan kebutuhan investasi/pembiayaan yang rendah), perusahaan baru yang tidak memiliki informasi masa lalu akan sulit mendapat pembiayaan.

• Pemerintah dapat berperan disini dengan mendirikan institusi yang membedakan perusahaan berdasarkan kriteria resiko pembiayaan (credit-rating).

– Credit scoring untuk subprime mortgage, FICO system = 300 s.d. 850, treshold 620 Information Revelation dan Information Rent

• Informasi sesungguhnya tentang pengusaha dapat diperoleh dengan mendorong information revelation dari pengusaha melalui pemberian information rent dalam skema bagi hasil jika pengusaha menyatakan dengan benar karakteristik dirinya.

(19)

• Pengungkapan informasi privat dari pengusaha ke pemilik dana (information revelation) hanya terjadi jika information rent mampu membuat utilitas pengusaha lebih tinggi dibandingkan jika keeping information and leaving it in the dark, dengan peluang mendapat pembiayaan dan rasio bagi hasil yang lebih baik.

– Jika informasi benar, maka pengusaha akan mendapatrasio bagi hasil (yang benar) plus information rent.

– Jika informasi tidak benar, maka pengusaha akan mendapat rasio bagi hasil (yang salah) minus information rent.

Kontrak Bagi Hasil yang Optimal

• Pemilik dana dan pengusaha berusaha memaksimalkan expected utility masing-masing, yang ditentukan oleh harga (rasio bagi hasil) dan kuantitas (profit yang dihasilkan). Semakin besar porsi bagi hasil untuk satu pihak, semakin rendah expected utility pihak lain.

• Namun ke-2 pihak memiliki kepentingan yang sama, agar laba yang dihasilkan dari bisnis yang dijalankan adalah sebesar mungkin sehingga ke-2 pihak memperoleh pendapatan bagi hasil yang lebih besar.

• Maksimisasi profit oleh pengusaha akan mengoptimalkan utilitas pihak-pihak yang berkontrak. Agar profit maksimum, maka pengusaha harus mendapat insentif yang memadai dalam kontrak bagi hasil.

• Pada umumnya pengusaha mengharapkan harga pembiayaan yang rendah, dan pemilik modal sebaliknya mengharapkan harga yang tinggi.

• Namun tingginya harga pembiayaan akan berimplikasi pada rendahnya insentif bagi pengusaha dalam menghasilkan profit. Menjadi krusial untuk menentukan rasio bagi hasil yang optimal sesuai WTP pengusaha dan sekaligus memenuhi reservation utility pemilik dana.

• Pengusaha memiliki kontrol atas rasio bagi hasil karena pengusaha yang membuat pembukuan dan pelaporan, karenanya tingkat profit aktual, sehingga dapat menentukan berapa rasio bagi hasil implisit yang ingin diterimanya.

(20)

Incentive-Compatible Constraints

• Untuk menekan resiko yang bersumber dari asymmetric information, Bank Islam sebagai pemilik modal (rabb almâl) dapat menerapkan batasan-batasan yang secara sistematis akan “memaksa” pengusaha (mudhârib) untuk berperilaku memaksimalkan keuntungan bagi kedua belah pihak (incentive-compatible constraints).

Higher Stake in Net Worth

• Ketika pengusaha mempertaruhkan lebih besar kekayaannya, insentif tidak jujur akan berkurang signifikan karena berpotensi besar merugikan dirinya.

– Bank dapat menetapkan syarat agar porsi modal dari pihak mudhârib lebih besar; – Bank dapat mengenakan jaminan seperti penetapan nilai maksimal rasio utang

terhadap modal, penetapan agunan berupa fixed asset, penggunaan pihak penjamin (kafâlah), dan penggunaan pihak pengambil alih utang (hawâlah)

Low Operating Risk

• Perusahaan dengan resiko operasional yang tinggi, menggunakan utang lebih banyak, memiliki leverage yang lebih tinggi. Utang yang lebih tinggi berasosiasi dengan tingkat profit yang lebih rendah.

• Agency-cost akan ditanggung oleh pemilik saham, sehingga perusahaan yang dikelola oleh direksi yang bukan pemilik, akan menghadapi agency-cost lebih tinggi.

• Bank dapat menetapkan syarat agar mudhârib melakukan bisnis yang resiko operasinya lebih rendah, seperti:

– penetapan rasio maksimal fixed asset terhadap total asset, dan

– penetapan rasio maksimal biaya operasional terhadap pendapatan operasional; Lower Fraction of Unobservable Cash Flow

• Bisnis dengan arus kas yang lebih tinggi, memberikan ruang yang lebih luas bagi pengusaha untuk mengecilkan nilai profit yang sesungguhnya. Jika arus kas sebagian besar tidak dapat di-observasi, maka menjadi sulit bagi bank untuk memverifikasi tingkat profit yang sesungguhnya.

• Bank dapat menetapkan syarat agar mudhârib melakukan bisnis dengan arus kas yang transparan, seperti:

– Monitoring secara acak untuk bisnis skala kecil danbisnis musiman atau jangka pendek, – Monitoring secara periodik untuk bisnis skala besardan bisnis jangka panjang,

– Laporan keuangan yang diaudit,

– Biaya monitoring dan verifikasi menjadi faktor pengurang pendapatan usaha sebelum dibagihasilkan atau pendapatan bagi hasil yang diterimapengusaha.

Lower Fraction of Non-Controllable Cost

• Setiap bisnis memiliki biaya tidak terduga. Non-controllable cost akan menurunkan keuntungan pengusaha dan bagian bagi hasil untuk bank.

• Bank dapat menetapkan syarat agar mudhârib melakukan bisnis yang biaya tidak terkontrol-nya rendah,seperti:

(21)

– Seluruh biaya ditanggung oleh mudhârib atau yang dibagi hasilkan adalah pendapatan (revenue sharing),

– Penetapan minimum profit margin dari setiap barang dan jasa yang dijual oleh mudhârib yang dibiayai dari modal rabb al-mâl

Fiqh Mudharabah dan Incentive-Compatible Constraints

• Secara umum kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudhârib, tanpa campur tangan penyedia dana. Rabb al-mâl tidak boleh mempersempit tindakan mudhârib yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudhârabah yaitu keuntungan. Penyedia dana hanya mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.

• Namun demikian, diperbolehkan adanya jaminan dalam pembiayaan mudhârabah dimana jaminan hanya dapat dieksekusi bila mudhârib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.

– Fatwa DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000tentang Pembiayaan Mudhârabah (Qirâdh).

Incentive-Compatible Constraints dan Praktek Mudharabah • Profit Sharing

– Dasar perhitungan bagi hasil adalah profit yang diperoleh.

– Ketidakpastian berasal dari pendapatan usaha, biaya produksi dan biaya lain (biaya penjualan, biaya umum, biaya administrasi)

• Gross Profit Sharing

– Dasar perhitungan bagi hasil adalah gross profit yang diperoleh. – Ketidakpastian berasal dari pendapatan usaha dan biaya produksi • Revenue Sharing

– Dasar perhitungan bagi hasil adalah revenue(pendapatan usaha). – Ketidakpastian hanya berasal dari pendapatan usaha

Kuliah 13 – Praktek Perbankan Islam Kontemporer: Antara Idealitas dan Realitas Pola Pengembangan

• Pengembangan perbankan Islam kontemporer sejak 1970-an, mengambil 2 pola:

– Merestrukturisasi sistem perbankan secara keseluruhan sesuai dengan syariat Islam (full fledged Islamic financial system) seperti Sudan dan Pakistan, namun mengalami kegagalan.

– Mendirikan bank Islam berdampingan dengan bank konvensional (dual banking system) seperti Malaysia, Turki, Bahrain, Bangladesh, Indonesia dan kini Pakistan dan Sudan.

Kegagalan Full Fledged Islamic Financial System

• Kegagalan lebih dari 25 tahun upaya Islamisasi sistem keuangan di Pakistan, sejak awal 1980-an, disebabkan beberapa faktor:

(22)

– (i) politisi dan birokrasi menunggangi gerakan Islamisasi untuk mencapai tujuannya sendiri;

– (ii) bank sentral lamban mengimplementasikan kerangka konseptual Islamisasi; – (iii) lemahnya dukungan institusi keuangan dan perbankan karena moral hazard,

masalah akuntansi, dan kelemahan sistem hukum;

– (iv) masyarakat resisten terhadap Islamisasi sistem keuangan karena perilaku risk- averse yang sangat tinggi dan lemahnya kepercayaan terhadap lembaga keuangan; dan – (v) instabilitas makroekonomi dan krisis pemerintahan yang sering melanda.

Kompetisi Bank Islam dan Bank Konvensional

• Baik pada full-fledged Islamic financial system dan terlebih dual banking system, eksperimen perbankan Islam secara umum langsung dihadapkan pada persaingan dengan perbankan konvensional yang telah lama mapan.

• Hal ini menimbulkan implikasi dan tantangan yang serius bagi perkembangan perbankan Islam. Pengalaman terkini di berbagai negara menunjukkan adanya kesenjangan yang lebar antara idealitas dengan realitas perbankan Islam.

Sisi Pembiayaan

• Pembiayaan bagi hasil, dengan eksistensi informasi asimetris dan masalah agency yang marak, adalah sulit dan terbatas.

• Diskresi yang luas dalam ketentuan jaminan, termasuk dalam pembiayaan bagi hasil. • Pembiayaan non bagi hasil, yaitu pembiayaan murabahah dengan fixed pre-determined

return, adalah dominan.

• Penggunaan suku bunga secara luas sebagai benchmarking dalam penentuan return pembiayaan bank Islam, termasuk pembiayaan bagi hasil.

• Pengembangan produk dengan pendekatan mirroring terhadap produk konvensional, penggunaan hiyal secara ekstensif, dan pricing produk yang lebih mahal.

Terbatasnya Pembiayaan Bagi Hasil • Masalah Adverse Selection

– Pengusaha dengan expected profit yang tinggi, akan memilih pembiayaan utang karena biaya tetap berupa bunga lebih murah dibandingkan expected return.

– Pengusaha yang risk-averse dan atau dengan expected return yang rendah, akan memilih pembiayaan bagi hasil.

• Masalah Moral Hazard

– Pembiayaan utang lebih mudah dikelola, resiko minimal dan efisien, minim biaya monitoring dan verifikasi

– Pembiayaan bagi-hasil lebih sulit dikelola, resiko jauh lebih tinggi dan mahal biaya monitoring dan verifikasi

Diskresi yang Luas dalam Ketentuan Agunan

• Pembiayaan utang dengan bunga sangat bergantung pada ketersediaan agunan oleh nasabah, meski bank konvensional telah menerapkan project appraisal, risk assesment dan keputusan pemberian kredit yang ketat.

(23)

• Pembiayaan bagi hasil berfokus pada proyek yang menguntungkan, tanpa meminta agunan. Namun, pembiayaan bagi hasil menghadapi masalah moral hazard yang intensif, karena itu membutuhkan incentive-compatible constraints antara lain pengenaan agunan. Dengan meminta agunan, bank Islam telah bertindak sebagai lenders, bukan partners. • Pembiayaan non bagi hasil lebih intensif dalam ketentuan agunan, seperti pembiayaan

murabahah yang umum menjadikan underlying assets sebagai agunan pembiayaan. Penentuan Tingkat Bagi Hasil

• Tingkat bagi hasil secara ideal ditentukan oleh expected profit bisnis di sektor riil. Hingga kini, tidak ada tingkat bagi hasil pasar yang dapat dijadikan referensi.

• Terdapat peluang bank mengeksploitasi nasabah dengan menerapkan tingkat bagi hasil yang terlalu tinggi bagi dirinya, tanpa ada pihak yang dapat meregulasi aktivitasnya tersebut.

• Tanpa regulasi, bank Islam dapat mengambil “excessive profit” yang tidak dapat dibenarkan. Menjadi penting bagi bank Islam untuk menerapkan “marking to market”. • Tingkat return pembiayaan non bagi hasil, yang banyak mengacu pada tingkat bunga bank

konvensional, umum digunakan sebagai benchmark untuk tingkat bagi hasil. Prasyarat Pendorong Pembiayaan Bagi Hasil

• [i] kemampuan memahami bisnis mudharib dan cara mengawasinya, yang membuat bank dapat terlibat dalam keputusan bisnis mudharib;

• [ii] transparansi usaha mudharib, yang membuat bank mendapat akses yang memadai tentang semua informasi terkait tingkat keuntungan mudharib;

• [iii] perlindungan hukum yang cepat dan kuat ketika terjadi dispute;

• [iv] ketersediaan data rate of return dari setiap sektor usaha untuk penetapan rasio bagi hasil yang fair;

• [v] keuntungan usaha tidak dikenakan pajak pendapatan;

• [vi] ketersediaan dana jangka panjang yang siap untuk berbagi resiko dalam investasi di sektor riil.

Dominasi Pembiayaan Non Bagi Hasil

• Dengan kesulitan pembiayaan bagi hasil, bank Islam berpaling ke pembiayaan non bagi hasil yang mirip utang, yaitu murabahah dengan fixed and predermined return, yang resikonya rendah dan jauh lebih mudah dikelola.

• Aslinya, murabahah adalah transaksi jual beli yang secara umum tunai, bukan kontrak pembiayaan sama sekali.

• Murabahah yang dipraktekkan bank Islam adalah kombinasi murabahah dan bay’ mu’ajjal, dan hanya paper transaction: nasabah membeli barang atas nama dan dengan uang bank, dan bank segera menjual kembali ke nasabah secara tangguh dengan menambahkan marjin keuntungan pada harga barang.

• Hasil akhirnya, nasabah mendapat dana tunai dan setuju mengembalikan dana dengan mark-up di masa depan.

• Selain itu, bank melakukan penilaian creditworthiness nasabah, menjadikan underlying asset sebagai agunan dan hubungan yang terbentuk adalah debitur-kreditur.

(24)

• Bank juga melakukan berbagai cara untuk menjamin bahwa semua resiko jual beli di transfer ke nasabah, seperti perpindahan kepemilikan barang yang sangat cepat, biaya asuransi barang dibebankan ke nasabah, barang cacat dikembalikan ke supplier, bank hanya menanggung resiko kredit, sama seperti bank konvensional.

• Bank memindahkan seluruh resiko komersial ke nasabah namun mengambil keuntungan yang pasti. Murabahah pada prakteknya telah menjadi tidak berbeda dengan meminjamkan uang berbasis bunga.

Benchmarking yang Luas ke Tingkat Bunga

• Rate of return pembiayaan bank Islam harusnya mengacu pada expected return di sektor riil.

• Namun hingga kini, industri keuangan Islam belum memiliki mekanisme untuk menentukan rate of return yang memuaskan investor, relatif risk-free dan sesuai syari’ah. • Telah menjadi pengetahuan umum bahwa bank dan lembaga keuangan Islam selalu

menggunakan tingkat bunga pasar, seperti London interbank offered rate (LIBOR), sebagai benchmark untuk menetapkan rasio pembiayaan bagi hasil, marjin keuntungan murabahah, termasuk dalam penerbitan sukuk.

Three-Tier Mudharabah Model

• Secara konseptual, bank Islam tidak menyediakan uang namun menyediakan barang dan jasa. Namun, menyediakan barang dan jasa, dengan basis apapun, akan mendorong bank Islam masuk ke sektor riil dimana mereka tidak memiliki kapasitas dan keahlian.

• Three-tier mudharabah model membentuk hubungan 3 tingkat, yaitu: (i) kontrak mudharabah deposan dan bank, (ii) kontrak mudharabah bank dan specialized companies, dan (iii) kontrak mudharabah, murabahah, salam, istishna dan ijarah antara specialized companies dan pengusaha.

• Dalam model ini, bank Islam murni menjadi intermediasi keuangan dan tugas menyediakan barang dan jasa dilakukan specialized companies. Namun model ini akan berakhir dengan harga yang lebih tinggi.

Pengembangan Produk dan Hiyal

• Produk adalah cara untuk memuaskan konsumen, realitas menentukan cara.

• Strategi yang umum dilakukan Bank Islam adalah imitasi produk-produk konvensional (reverse engineering), misal replikasi pinjaman berbunga dengan tawarruq dan time deposits dengan reverse tawarruq.

• Pada dasarnya semua transaksi diperboleh-kan, kecuali yang dilarang oleh syariah. • Namun strategi mirroring atau imitasi ini, selain membawa bank Islam menjadi follower

industry, juga umumnya lebih mengedepankan formalitas bentuk diatas substansi (hiyal). – Hal ini banyak didorong oleh kebutuhan konsumen, seperti pembiayaan jangka

pendek, yang tidak mampu dipenuhi kontrak pembiayaan Islam. Penggunaan Hiyal: Bay al-’Inah dan Tawarruq

(25)

– Seseorang membeli barang secara tidak tunai, dengan kesepakatan akan menjual kembali (tawathu’) barang tersebut kepada penjual dengan harga lebih rendah secara tunai

– Kebutuhan si pembeli bukan barang, namun uang, kepentingan si penjual bukan marjin keuntungan (penjualan barang), namun tambahan /bunga (uang)

• Tawarruq

– Seseorang membeli barang secara tidak tunai, kemudian menjualnya kembali secara tunai kepada pihak lain (selain penjual), tanpa diperjanjikan dan tanpa disyaratkan. – Dalam praktek kontemporer, tawarruq didesain menjadi serupa dengan bay al-’inah

dengan tawathu’ namun dengan 3 pihak (tawarruq munadzam) Pricing Produk yang Lebih Mahal

• Bank Islam harus menanggung tambahan biaya bila dibandingkan dengan bank konvensional, yaitu:

– Biaya kepatuhan syariah, yang umumnya dilakukan dengan merekrut Dewan Pengawas Syariah, yang cukup signifikan karena ketidakseimbangan demand-supply. – Di hampir semua jenis pembiayaan, bank Islam harus menyiapkan lebih dari satu kontrak untuk mendapatkan justifikasi dari sisi syariah Islam, terlebih kasus hiyal. Kontrak yang kompleks telah meningkatkan legal cost dan documentation cost. – Pembiayaan bagi hasil memiliki biaya monitoring dan verifikasi yang lebih mahal.

Pembiayaan murabahah terkena pajak ganda.

• Bank Islam dan nasabahnya harus membayar lebih mahal untuk kepatuhan mereka terhadap syariah.

– Dilihat dari sudut pandang eksploitasi terhadap konsumen, pricing bank Islam ini lebih buruk dari bank konvensional.

Sisi Pendanaan

• Seluruh dana nasabah di bank Islam secara implisit dan eksplisit dijamin tidak akan hilang atau berkurang, termasuk dana di rekening investasi.

• Nasabah deposan tidak diperlakukan sebagai shareholders bank Islam.

• Dana nasabah di bank Islam seluruhnya dihimpun ke dalam satu pool of fund. • Dana nasabah mendapatkan arus pendapatan tetap yang ditetapkan di awal.

• Tingkat return yang diterima nasabah mengacu pada tingkat bunga bank konvensional. • Penggunaan hiyal untuk menarik dana deposan dan manajemen likuiditas.

Penjaminan Dana

• Dalam persaingan head to head dengan bank konvensional, nasabah penyimpan dana telah lama terbiasa dengan pola risk-free deposits dari perbankan konvensional berbasis bunga, dimana seluruh dana di perbankan dijamin.

• Penjaminan dana nasabah akan membuat bank Islam kompetitif dengan bank konvensional. Namun penjaminan ini secara jelas bertentangan dengan prinsip risk- sharing dalam pembiayaan bagi hasil.

(26)

• Dalam dual banking system, bank Islam juga diwajibkan pemerintah mengikuti program penjaminan simpanan dengan membayar premi yang dikaitkan dengan jumlah dana simpanan yang mereka himpun.

Deposan Sebagai Temporary Shareholders

• Deposan bank Islam dengan kontrak bagi hasil, seharusnya diperlakukan sebagai temporary shareholders yang terlibat dalam keputusan bank. Hal ini karena deposan berbagi resiko dengan bank.

• Dalam prakteknya, nasabah tidak memiliki kesempatan untuk memonitor keputusan bank. • Nasabah deposan bahkan tidak berminat untuk mengetahui keputusan bank, concern

mereka hanya dana mereka aman dan produktif.

• Deposan pada umumnya tidak memiliki waktu dan kapasitas untuk terlibat dalam keputusan bank, dan bank sendiri juga tidak mengizinkan hal ini.

Pengelompokkan Deposito Mudharabah

• Secara konseptual, deposan berbagi resiko keuntungan dan kerugian dari dana milik mereka sendiri.

• Dengan demikian, dana mudharabah yang diterima bank Islam seharusnya tidak dihimpun dalam satu pool of funds, namun dapat dikelompokkan untuk investasi di berbagai jenis bisnis.

• Bank Islam seharusnya dapat menjalankan berbagai pool of investment funds yang berbedabeda, seperti pool of funds untuk investasi real estate, pool of funds untuk investasi pertanian dan lain-lain.

• Bank Islam harus mempertahankan rekening yang berbeda untuk setiap pool of funds. Deposito dengan Arus Pendapatan yang Stabil

• Dana di rekening investasi dengan kontrak bagi hasil seharusnya mendapatkan return sesuai dengan return usaha di sektor riil, yang secara natural tidak pasti dan berfluktuasi. • Namun dengan sebagian besar pembiayaan bank Islam di pembiayaan yang memberikan

pendapatan tetap, seperti murabahah dan ijarah, bank dapat menjanjikan pendapatan yang stabil dan reguler ke deposan.

• Lebih jauh lagi, bank Islam juga menciptakan profit equalization reserve untuk menstabilkan pendapatan di periode baik dan di periode buruk sehingga mampu memberikan pendapatan sesuai kontrak.

• Hasil akhirnya, deposan bank Islam mendapat pendapatan reguler yang tetap, serupa dengan deposan bank konvensional.

Benchmarking Tingkat Bunga dan Migrasi Dana

• Bank Islam seharusnya menetapkan tingkat bagi hasil ke pemilik dana sesuai dengan kinerja pembiayaan usaha di sektor riil.

• Pada kenyataannya, penentuan nisbah bagi hasil umumnya ditentukan oleh tingkat suku bunga pasar dari bank konvensional, dan juga target perolehan dana nasabah dan referensi tingkat keuntungan yang diinginkan bank.

(27)

• Return yang diterima deposan menjadi faktor signifikan bagi penghimpunan dana oleh bank Islam, sehingga bank Islam selalu berupaya menjaga tingkat bagi hasil setara dengan tingkat bunga pasar.

• Ketika tingkat bagi hasil bank Islam lebih tinggi dari tingkat bunga, terjadi arus masuk dana. Dan sebaliknya, jika tingkat bagi hasil lebih rendah dari tingkat bunga, terjadi arus keluar dana dari bank Islam.

Evaluasi Tujuan Bank Islam

• Bank Islam secara ideal dicita-citakan untuk mewujudkan tujuan sosial-ekonomi Islam, yaitu maqashid.

• Pada prakteknya, bank Islam lebih banyak dimotivasi oleh profit maximization dengan peran mewujudkan maqashid yang sangat minim, seperti berfokus pada nasabah kaya, pembiayaan yang minim ke kelompok miskin, dan ketiadaan upaya menyediakan qardh alhasan.

• Bank Islam terkonsentrasi di negara muslim kaya, berfokus di seputar teknis-prosedural fiqh dengan abai pada isu-isu pembangunan masyarakat muslim, terlebih pemenuhan kebutuhan masyarakat di negara miskin.

• Bank Islam telah menjadi alat baru pengumpul kekayaan untuk kelompok kaya dan tidak menawarkan harapan apapun ke kelompok miskin.

Evaluasi Praktek Bank Islam

• Evolusi bank Islam menunjukkan bahwa bank Islam bergerak ke arah konvergensi dengan bank konvensional.

• Bank Islam mengambil jalan mudah untuk bertahan dengan melakukan imitasi ke bank konvensional, baik di sisi pendanaan maupun pembiayaan. Bank Islam berevolusi menjadi subset dari bank konvensional. Bank Islam lebih menjadi pelengkap dibandingkan pesaing bank konvensional.

• Bank Islam pada substansi-nya telah menjadi sangat serupa dengan bank konvensional, menawarkan produk dan jasa yang serupa, dan mengejar tujuan yang sama.

• Tanpa pemikiran ulang dan restrukturisasi yang signifikan, bank Islam akan kehilangan tujuan awalnya dilahirkan.

(28)

Indonesia kontemporer masih terus menghadapi masalah kesenjangan dan kemiskinan yang persisten dan masif

Kemiskinan dan kesenjangan yang masif dan persisten berakar dari permasalahan struktural: ketiadaan aset produktif

Kuliah 14 – Perbankan Indonesia: Antara Perbankan Konvensional dan Perbankan Syariah

(29)

Sumber daya kapital dikuasai segelintir elit secara sangat tidak proporsional: Missing

the Middle

Akses pada sumber daya kapital produktif semakin tidak merata: kegagalan inklusi keuangan

(30)

Kesenjangan kepemilikan sumber daya kapital dilestarikan oleh sistem

Akses rakyat pada sumber daya kapital dihambat secara struktural oleh sistem keuangan

(31)

Ekonomi rakyat produktif di sektor riil, tercekik beban tinggi sektor keuangan

Ditengah belitan biaya tinggi utang, daya tahan usaha dan kepatuhan mengembalikan utang dari ekonomi rakyat sangat tinggi

(32)

Perbankan Syariah: One-Stop Services untuk menumbuhkan wirausahawan dan kelas menengah Muslim dengan Stages Financing

Setelah 25 tahun sejak kelahirannya, pangsa perbankan syariah baru 6,16% dari perbankan konvensional

(33)

Kinerja Rendah Perbankan Syariah? Melemahnya fungsi intermediasi

(34)

Fungsi intermediasi bank syariah semakin melemah, namun kinerja pembiayaan membaik secara signifikan

(35)
(36)

Menjadi mainstream, bukan lagi alternatif: Membesarkan size perbankan syariah untuk mencapai critical mass

Meningkatkan daya saing perbankan syariah: Tembok tebal cost of fund dan efisiensi operasional

(37)

Mirroring ke perbankan konvensional: Hilangnya diferensiasi dan orisinalitas

perbankan syariah

Referensi

Dokumen terkait