• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Bekatul

Pada proses penggilingan padi (Oryza sativa L.), diperoleh hasil samping berupa sekam sebesar 15-20 %, dedak/bekatul 8-12 %, dan menir sebesar 5 % (Widowati, 2001). Bekatul merupakan lapisan terluar berwarna kecoklatan dari beras pecah kulit yang dipisahkan pada saat proses penyosohan untuk menghasikan beras putih (Hargrove, 1994). Bekatul berbentuk butiran halus seperti halnya tepung dan terdiri dari pericarp, testa/lapisan selubung biji, aleurone, germ/lembaga dan sebagian kecil butiran halus endosperm berpati (Samli et al. 2006). Morfologi bagian-bagian tersebut pada biji padi atau gabah secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Morfologi biji padi berserta bagian-bagiannya (Bond, 2004).

Bekatul memiliki kandungan nutrisi yang tinggi. Wilkinson dan Champagne (2004) menyebutkan, bekatul kaya akan protein, lemak, serat, mineral vitamin B kompleks dan tokoferol (vitamin E). Variasi komposisi kimia pada bekatul sangat dipengaruhi oleh faktor agronomis padi, varietas padi, derajat penggilingan dan kontaminasi sekam pada proses penggilingan (Orthoefer dan Eastman, 2004 ; Damayanthi et al., 2007). Komposisi kimia bekatul dapat dilihat pada Tabel 1.

(2)

5 Tabel 1. Komposisi kimia bekatul pada kadar air 14 %.

Komponen Jumlah Protein (%) 12,0-15,6 Lemak (%) 15,0-19,7 Serat kasar (%) 7,0-11,4 Karbohidrat (%) 34,1-52,3 Abu (%) 6,6-9,9 Kalsium (mg/g) 0,3-1,2 Magnesium (mg/g) 5,0-13,0 Fosfor (mg/g) 11,0-25,0 Silika (mg/g) 5,0-11,0 Seng (μg/g) 43,0-258,0 Tiamin (μg/g) 12,0-24,0 Riboflavin/B2 (μg/g) 1,8-4,0 Tokoferol/E (μg/g) 149-154

Sumber : Luh et al. (1991)

Karbohidrat yang terdapat pada bekatul teridentifikasi sebagai selulosa, hemiselulosa dan pati. Kandungan pati yang terdapat pada bekatul diperoleh dari bagian endosperm yang terbawa pada proses penyosohan (Hargrove, 1994). Damayanthi et al. (2007) menambahkan, kandungan pati tersebut akan meningkat kadarnya dengan semakin banyaknya tahap penyosohan yang dilakukan.

Sebagian besar nitrogen yang terdapat pada bekatul adalah nitrogen protein dalam bentuk asam amino bebas. Asam amino bebas utama yang ditemukan, diantaranya berupa asam glutamat (7-31 %), alanin (11-16 %), dan serin (5-15 %) (Barber dan Barber, 1980). Dibandingkan protein, kandungan lemak pada bekatul sedikit lebih tinggi. Asam palmitat, oleat, dam linoleat merupakan komponen asam lemak utama yang terdapat pada minyak bekatul (Godber dan Juliano, 2004).

Seperti halnya protein dan lemak, sebagian besar vitamin yang ada dalam padi terdapat pada bagian aleuron dan lembaga. Hal ini menjadikan bekatul sebagai bahan yang kaya akan kandungan vitamin. Grup vitamin B dan tokoferol (vitamin E) banyak ditemukan di dalam bekatul, sedangkan vitamin A dan C hanya sedikit jumlahnya (Barber dan Barber, 1980). Vitamin B yang

(3)

6 terdapat didalam bekatul, diantaranya meliputi tiamin (vitamin B1), riboflavin (vitamin B2), niasin/asam nikotinat, dan piridoksin (vitamin B6) (Houston, 1972).

Di samping zat gizi, pada bekatul juga ditemukan komponen bioaktif, yakni zat yang di dalam tubuh bekerja di luar fungsi karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral, melainkan untuk kesehatan. Komponen tersebut, diantaranya berupa tokoferol (vitamin E) tokotrienol, oryzanol, dan asam pangamat (Kahlon et al., 1994). Tokoferol berfungsi sebagai antioksidan, sedangkan komponen oryzanol merupakan fitosterol suatu ester senyawa asam verulat yang dapat menurunkan kolestrol serum pada manusia (Wilkinson dan Champagne, 2004). Asam pangamat berfungsi sebagai antioksidan, membantu menurunkan kadar kolestrol darah dan sintesis protein (Damayanthi et al., 2007).

Damardjati et al. (1987) menyebutkan, pada bekatul juga ditemukan senyawa anti gizi yang dapat menghambat pertumbuhan. Senyawa tersebut, diantaranya adalah tripsin inhibitor, pepsin inhibitor, hemaglutinin, dan anti tiamin. Namun demikian, menurut Hargrove (1994), aktivitas senyawa anti gizi tersebut relatif rendah dan dapat diinaktivasi menggunakan proses pemanasan.

B. Kerusakan Bekatul

Faktor utama yang menjadikan hambatan dalam pengembangan bekatul sebagai bahan pangan adalah sifatnya yang mudah rusak. Hal ini disebabkan oleh kerusakan hidrolitik dan oksidatif yang terjadi pada minyak bekatul sehingga bekataul berbau tengik (Damayanthi et al., 2007).

Enzim lipase, baik yang berasal dari bekatul secara endogenous maupun mikroba, mengawali kerusakan hidrolisis lipolitik minyak bekatul. Di dalam biji padi yang utuh, lipase bersifat dorman karena lipase dan minyak bekatul tidak tercampur. Pada kondisi ini bekatul dan lipase terpisah. Bekatul terdapat di dalam testa/lapisan selubung biji, sedangkan minyak terdapat di dalam aleuron dan lembaga (Champagne, 2004). Barber dan Barber (1980), menyatakan proses penggilingan akan menyebabkan kerusakan pada biji padi dan menyebabkan lipase dan minyak bercampur. Pada saat ini, trigliserol

(4)

7 minyak akan terurai menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Proses ini selanjutnya disebut ketengikan hidorolitik/kerusakan hidrolitik (Houston, 1972). Skema reaksi penguraian trigliseda oleh lipase menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Reaksi penguraian trigliserida oleh lipase menjadi asam lemak bebas dan gliserol (Hamilton, 1983).

Aktivitas lipase sangat dipengaruhi oleh suhu penyimpanan dan kelembaban. Ketika bekatul disimpan pada kondisi ruangan yang panas dan lembab, kandungan asam lemak bebas akan meningkat sebesar 5-10 % per hari dan dapat mencapai 70 % dalam sebulan. Suhu optimal aktivitas lipase berada pada kisaran suhu 35-40 oC. Aktivitas lipase tidak terjadi pada suhu penyimpanan beku (Orthoefer dan Eastman, 2004).

Pada bekatul juga terkandung enzim lipoksigenase dan peroksidase. Keduanya menyebabkan kerusakan lebih lanjut melalui proses oksidasi enzimatis. Aktivitas kedua enzim ini berdampak pada peningkatan bilangan peroksida, penurunan bilangan iod, dan peningkatan bilangan asam tiobarbiturat (thiobarbituric acid/TBA). Baik lipoksigenase dan peroksidase dapat diinaktivasi bersamaan dengan inaktivasi lipase (Orthoefer dan Eastman, 2004).

Laju pembentukan asam lemak bebas sangat kecil pengaruhnya pada cita rasa bekatul. Cita rasa dan bau tengik tersebut berhubungan dengan kerusakan oksidatif yang terjadi pada minyak bekatul. Kerusakan oksidatif dapat terjadi secara enzimatis dan nonezimatis. Diagram mekanisme kerusakan hidrolitik dan oksidatif pada minyak bekatul dapat dililihat pada Gambar 3.

Oksidasi enzimatis pada bekatul terutama sekali disebabkan oleh enzim lipoksigenase yang terdapat pada lembaga. Lipoksigenase akan mengkatalis asam lemak tak jenuh bebas menjadi hidroperoksida yang selanjutnya berubah menjadi senyawa karbon rantai pendek seperti aldehid, keton, dan alkohol yang

CH2OCOR’

CH2OCOR’’ + 3H2O CHOH + R’CO2H + R’’ CO2H + R’’’ CO2H

CH2OCOR’’’

CH2OH

CH2OH

lipase

(5)

8 menyebabkan cita rasa dan bau tengik pada bekatul (Champagne, 1994). Menurut Hamilton (1983), hidroperoksida dapat terurai menjadi senyawa aldehid, keton, dan alkohol karena sifatnya yang sangat tidak stabil.

Gambar 3. Mekanisme kerusakan hidrolitik dan oksidatif pada minyak bekatul (Champagne, 1994).

Tingkat oksidasi minyak dalam bekatul akaibat aktivitas lipoksigenase dikaitkan dengan asam lemak bebas yang terbentuk akibat aktivitas enzim lipase. Hal ini dikarenakan asam lemak tak jenuh bebas berperan sebagai substrat yang bekerja pada kerusakan oksidasi enzimatis (Damayanthi et al., 2007).

Proses oksidasi nonenzimatis dikatalisasi oleh adanya ion logam yang secara alami terdapat pada bekatul maupun akibat kontaminasi dari peralatan penggilingan. Cahaya, radiasi energi yang tinggi, maupun panas juga berfungsi sebagai katalis. Oksidasi nonenzimatis dapat terjadi akibat adanya radikal bebas (autooksidasi) dan fotooksidasi. Tokoferol sebagai antioksidan alami pada bekatul dapat menghambat terjadinya proses oksidasi nonenzimatis yang berlangsung secara lambat pada biji padi (Champagne, 1994).

Mekanisme radikal bebas dipengaruhi oleh radikal bebas hasil interaksi antara molekul lemak dengan oksigen yang berfungsi sebagai katalis. Hasil reaksi awal pada mekanisme ini adalah hidroperoksida. Pada tahap reaksi selanjutnya, kecepatan minyak mengalami autooksidasi akan semakin meningkat dengan semakin tingginya derajat ketidakjenuhan rantai lemak yang dimiliki. Pada mekanisme fotooksidasi, molekul sensitif cahaya seperti

Minyak bekatul Asam lemak bebas

Hidroperoksida

Produk oksidasi sekunder aldehid, keton, alkohol, dsb.

(6)

9 riboflavin, dan ion logam berat, akan dikonversi ke dalam bentuk aktif dengan menyerap cahaya. Molekul aktif tersebut kemudian bereaksi baik secara langsung maupun tak langsung dengan oksigen, menghasilkan oksigen tunggal yang bereaksi dengan asam lemak membentuk peroksida (Champagne, 1994).

C. Stabilisasi Bekatul

Terkait proses hidrolisis enzimatis yang berlangsung setelah proses penggilingan, proses stabilisasi yang tepat pada bekatul harus dilakukan beberapa menit setelah penggilingan dilakukan. Tujuan utama dilakukannya stabilisasi adalah mensterilkan mikroba dan merusak enzim lipase yang terdapat pada bekatul untuk mencegah terurainya komponen minyak menjadi asam lemak bebas (Hargrove, 1994).

Menurut Barber dan Barber (1980), untuk memproses bakatul menjadi produk yang bersifat food grade dengan mutu simpan yang baik dan memiliki nilai industri yang tinggi, seluruh komponen penyebab kerusakan harus dihilangkan atau dihambat. Berkaitan dengan hal ini, inaktivasi enzim penyebab kerusakan haruslah lengkap dan tidak dapat balik. Pada saat bersamaan, komponen-komponen berharga di dalam bekatul harus dipertahankan.

Prinsip stabilisasi bekatul dilakukan dengan menginaktivasi lipase yang berperan dalam reaksi hidrolisa lemak. Menurut Champagne (1994), proses tersebut dilakukan melalui tiga cara, yakni dengan pemanasan basah atau kering untuk mendenaturasi enzim lipase, ekstraksi dengan pelarut organik untuk menghilangkan lemak sebagai substrat enzim lipase, dan denaturasi etanolik lipase bekatul. Dari ketiga cara tersebut, inaktivasi lipase dengan cara pemanasan merupakan cara yang paling efektif dan aman untuk diterapkan pada bekatul yang akan digunakan sebagai bahan pangan (Barber dan Barber, 1980).

Stabilisasi bekatul dengan metode pemanasan kering dapat dilakukan dengan menggunakan proses penyangraian pada suhu 100-110 oC (Sayre et al., 1982). Proses ini relatif sederhana, mudah, dan murah, namun membutuhkan waktu yang cukup lama (20-30 menit), pemanasan yang terjadi

(7)

10 tidak merata, di samping kemungkinan kerusakan bahan, mikroba dan serangga tidak terbasmi semuanya, serta tidak menginaktifkan enzim lipase secara total. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan kembali aktivitas hidrolisa minyak apabila kadar air bekatul lebih besar dari 7 % atau meningkat selama penyimpanan (Juliano, 1985).

Stabilisasi bekatul dengan menggunakan metode pemanasan basah lebih efektif dibandingkan pemanasan kering. Proses pemanasan basah umumnya dilakukan dengan mengukus bekatul selama 1-30 menit dan dilanjutkan dengan pengeringan bekatul hingga kadar airnya berkisar antara 3-12 % serta pendinginan. Peralatan yang digunakan pada metode ini, diantaranya autoklaf, steam cooker, blansir, dan ekstruder berulir yang diinjeksi dengan uap panas dan air (Barber dan Barber, 1980). Sayre et al. (1982) melaporkan, enzim lipase dapat diinaktivasi menggunakan pemanasan basah pada suhu 100 oC selama 3 menit. Penggunaan autoklaf pada proses pemanasan basah beras pecah kulit selama 3-20 menit, dapat menginaktifkan lipase secara sempurna (Orthoefer dan Eastman, 2004).

Kelamahan penggunaan panas pada proses stabilisasi bekatul, dapat mengakibatkan peningkatan reaksi oksidasi enzimatis. Pengunaan panas menyebabkan penyebaran kembali minyak, penghancuran antioksidan alami di dalam bekatul, dan meningkatkan luas permukaan minyak yang kontak dengan oksigen (Champagne, 1994). Namun demikian, Luh et al. (1991) menambahkan, kerusakan oksidasi enzimatis dan nonenzimatis dapat diperlambat dengan menjaga kadar oksigen tetap rendah melalui pengemasan yang optimum selama penyimpanan.

D. Drum Dryer

Pengering drum (drum dryer) merupakan alat pengering tipe kontinyu dengan sistem pemanasan tak langsung (Wirakartakusumah et al., 1989). Pemanasan dilakukan secara konduksi, dimana panas ditransfer ke bahan yang akan dikeringkan melalui permukaan drum yang berputar (Brennan, 2006). Alat ini terdiri dari satu atau dua buah drum yang berputar pada bidang datar secara perlahan dan diterapkan untuk mengeringkan bahan berupa adonan,

(8)

11 pasta ataupun larutan. Pada prinsipnya bahan yang akan dikeringkan tersebut disebarkan/dituang di atas permukaan drum yang dipanaskan menggunakan uap panas. Uap panas tersebut akan mentransfer panas melalui dinding metal drum yang selanjutnya akan mengeringkan bahan yang melekat pada permukaan drum (Okos et al., 2007). Setelah tiga per empat putaran dari titik awal penuangan bahan (Tang et al., 2003), lapisan bahan yang telah kering tersebut dikikis dan dikumpulkan dalam bentuk kerak atau lembaran (Majumdar, 1995). Brennan (2006) menyatakan, pengikisan tersebut dilakukan dengan menggunakan pisau yang menempel pada sisi permukaan drum.

Menurut Maroulis dan Saravacos (2003), penggunaan alat pengering drum lebih efisien secara termal dibandingkan pengering udara secara konveksi dan dapat dioperasikan baik pada kondisi tekanan atmosfir maupun vakum. Di samping itu alat pengering drum merupakan alat pengering yang sangat efisien energi dan efektif untuk mengeringkan larutan dan sup yang kental (Tang et al., 2003). Kelebihan lainnya adalah waktu pengeringan relatif singkat yakni berkisar antara 2-30 detik (Brennan, 2006).

Tang et al. (2003) secara spesifik menyebutkan beberapa keunggulan pengering drum, diantaranya:

 Dapat digunakan untuk mengeringkan produk dengan kekentalan tinggi, seperti pasta dan pati terglatinisasi, yang tidak dapat dikeringkan dengan mudah menggunakan metode pengeringan lainnya.

 Memiliki efisiensi yang tinggi.  Higienis dan mudah dibersihkan.  Mudah dioperasikan dan dirawat.

 Fleksibel dan sesuai untuk produksi dalam skala kecil.

Empat peubah kunci yang dapat mempengaruhi tampilan produk hasil pengering drum adalah: (a) tekanan uap-panas atau suhu media pemanasan, (b) kecepatan putaran drum, (c) ketebalan film, dan (d) sifat umpan, yaitu konsentrasi padatan, reologi, dan suhu (Majumdar, 1995). Di samping mempengaruhi tampilan produk yang dihasilkan, ke empat faktor tersebut juga mempengaruhi laju pengeringan dan kelembaban produk akhir hasil pengeringan (Brennan, 2006).

(9)

12 Salah satu varian dari alat pengering drum adalah pengering drum ganda. Pada varian ini, umpan bahan yang akan dikeringkan, dituang pada celah yang terbentuk diantara kedua drum. Jarak antara kedua tersebut dapat diatur sehingga dapat digunakan untuk mengatur ketebalan produk yang dikeringkan (Brennan, 2006). Okos et al. (2007) menambahkan, suhu pengeringan pada permukaan drum dapat diatur dengan mengatur tekanan uap panas. Sedangkan untuk mengatur lamanya waktu kontak pengeringan, dapat dilakukan dengan mengatur kecepatan putaran drum.

Brennan (2006) melaporkan, pengering drum ganda memiliki diameter yang berkisar antara 0,15-1,5 m dengan panjang berkisar antara 0,2-3 m. Kecepatan putaran berkisar antara 3-20 rpm dengan suhu permukaan 110-165 o

C. Untuk produk makanan, umumnya drum terbuat dari bahan stainless steel atau besi berlapis krom.

Penggunaan pengering jenis drum ganda sangat menguntungkan karena memiliki kapasitas produksi yang tinggi. Karakteristik bahan baku larutan encer hingga pasta kental dapat dikeringkan secara efektif menggunakan pengering drum ganda. Produk yang dikeringkan dengan alat ini berupa tepung atau remahan yang sensitif terhadap larutan atau cairan panas dan mudah untuk direhidrasi kembali (Okos et al., 2007).

E. Perubahan Mutu Selama Penyimpanan

Kebanyakan makanan sangat mudah mengalami perubahan selama penyimpanan. Perubahan tersebut menyebabkan makanan menjadi kurang menarik dan lezat bahkan tidak dapat dikonsumsi lagi (Ellis, 1999). Menurut Arpah (2001), kondisi proses dan penyimpanan sangat berpengaruh terhadap kualitas bahan pangan. Penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya disebut deteriorasi. Produk pangan mengalami deteriorasi segera setelah diproduksi. Tingkat deteriorasi produk dipengaruhi olah lamanya penyimpanan, sedangkan laju deteriorasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.

Selama penyimpanan dan distribusi, faktor-faktor lingkungan, seperti suhu, kelembaban, oksigen, dan cahaya, memicu beberapa mekanisme reaksi kimia. Reaksi-reaksi tersebut dapat menyebabkan perubahan produk berupa

(10)

13 perubahan tekstur, flavor, warna, penampakan fisik, nilai gizi, dan mikrobiologis (Arpah, 2001). Hal ini menyebabkan penurunan mutu pada suatu produk makanan sehingga pada titik tertentu mengakibatkan makanan tidak dapat lagi atau berbahaya jika dikonsumsi oleh konsumen (Singh, 1999).

Untuk menganalisa penurunan mutu, diperlukan beberapa pengamatan terhadap parameter mutu yang dapat diukur secara kualitatif dan mencerminkan keadaan mutu bahan. Parameter tersebut dapat berupa hasil pengukuran fisik, kimiawi, mikrobiologis, maupun uji organoleptik, seperti tekstur, warna, bilangan TBA, kadar vitamin C, skor uji cita rasa, total mikroba dan sebagainya (Syarief dan Halid, 1993).

Syarief dan Halid (1993) menyatakan, suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu makanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan semakin cepat. Oleh karena itu, dalam menduga kecepatan penurunan mutu selama penyimpanan, faktor suhu harus selalu dipertimbangkan.

Gambar

Gambar 1. Morfologi biji padi berserta bagian-bagiannya (Bond, 2004).
Gambar  2.  Reaksi  penguraian  trigliserida  oleh  lipase  menjadi  asam  lemak  bebas dan gliserol (Hamilton, 1983)

Referensi

Dokumen terkait

Memberikan wadah edukasi bagi masyarakat baik tua maupun muda yang menginterpretasikan pada efektfitas ruang dengan pendekatan sustainable building yang

Proses pengukuran rasio tingkat kantuk dilakukan terhadap kegiatan mengemudi ke-2 untuk melihat waktu beristirahat selama 10 menit, 15 menit, atau 20 menit yang dapat menghasilkan

Dengan teknologi VoIP menggunakan Asterisk yaitu server VoIP (Voice Over Internet Protocol) yang dapat digunakan untuk komunikasi suara, maka bisa melakukan komunikasi

Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau

Pada tahapan seleksi Nasional pelaksanaan dilakukan di Jakarta, dihadapan Dewan Juri dalam bentuk audio-video (VCD) yang dikirimkan dari dan atau sebagai juara pada

Setelah data terkumpul, kemudian akan dilanjutkan dengan analisis data hasil terjemahan, yaitu dengan mengklasifikasi hasil terjemahan mahasiswa

(6) Apabila Pemeriksaan atas keterangan lain berupa data konkret dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a jangka waktu Pembahasan

Kepada Ompu Oknes Sipahutar selaku infroman dan pemimpin Grup Musik Nunut penulis ucapkan banyak terimakasih karena telah menyambut penulis dengan akrab dan juga kepada Ama