• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi pengelolaan keuangan negara di Indonesia yang ditandai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Reformasi pengelolaan keuangan negara di Indonesia yang ditandai"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

1 1.1. Latar Belakang Masalah

Reformasi pengelolaan keuangan negara di Indonesia yang ditandai dengan lahirnya paket perundang-undangan di bidang keuangan negara telah mengamanatkan agar pengelolaan keuangan negara dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003). Pelaksanaan reformasi tersebut dilakukan mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan hingga pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan negara. Hal ini juga dilakukan dalam kegiatan pengadaan barang/jasa.

Kegiatan pengadaan barang/jasa merupakan salah satu pendukung utama pelaksanaan pembangunan suatu negara. Kegiatan pengadaan tidak hanya terkait pengadaan infrastruktur, tapi juga pengadaan keperluan sehari-hari perkantoran seperti kertas, komputer, kendaraan operasional dan lain sebagainya. Hasil dari pengadaan akan membantu instansi pemerintah dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.

Pengadaan barang/jasa pemerintah memiliki peran sentral dalam menggerakkan aktivitas perekonomian. Di samping melibatkan jumlah uang yang besar, pengadaan juga melibatkan sektor swasta dan unsur birokrat. Karena itu, pengadaan barang/jasa dapat digunakan sebagai sarana untuk merevitalisasi

(3)

peran birokrat dan dunia usaha secara menyeluruh, terutama sebagai sarana perbaikan penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

Dari sisi anggaran, pengadaan barang/jasa termasuk memiliki porsi terbesar yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan seiring peningkatan besarnya APBN. Besarnya dana APBN yang dialokasikan untuk pengadaan barang/jasa mengakibatkan besar pula pengaruhnya bagi perekonomian. Beberapa tahun belakangan ini, alokasi untuk pengadaan barang/jasa pemerintah berkisar 30% dari total APBN (Ramli, 2011). Oleh karena itu, sudah semestinya pengadaan perlu dikelola dengan baik.

Namun ironisnya, peran sentral dari pengadaan tersebut sampai saat ini ditengarai masih ada penyelewengan. Pemborosan yang terjadi akibat pengadaan barang/jasa yang terlalu mahal, mark-up harga secara besar-besaran, kontrak pengadaan yang tidak sesuai ketentuan, proses lelang yang tidak benar, kongkalikong antara panitia pengadaan dan calon penyedia, dan berbagai kasus penyelewengan lainnya. Bentuk-bentuk penyelewengan ini berakibat terjadinya pemborosan anggaran.

Menurut Maslani dan Siswanto (2011), penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah bermuara pada transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran negara. Demikian pula dengan proses pengadaan barang/jasa sebagai bentuk pelaksanaan anggaran. Penentuan dan pemastian kualitas, spesifikasi dan harga barang/jasa dituntut untuk transparan, efektif, efisien dan akuntabel.

Transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah seharusnya dilakukan sejak awal, sehingga proses pengambilan keputusan yang panjang dapat terus

(4)

dipantau. Transparansi harus diterapkan dalam seluruh tahapan dalam pengadaan barang dan jasa, dari tahap penentuan kebutuhan tentang pembelanjaan baru atau investasi hingga seluruh proses persiapan keuangan dan teknik sebuah proyek, pemilihan konsultan dan penyedia atau kontraktor, pemenang tender dan pelaksanaan tender hingga pemeriksaan laporan keuangan akhir.

Oleh karena itu, untuk mendorong transparansi tersebut, pemerintah berupaya mengimplementasikan sistem pengadaaan barang/jasa secara elektronik (e-procurement). Upaya untuk melaksanakan e-procurement ini telah dimulai sejak tahun 2003 dengan terbitnya Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang kemudian disempurnakan dengan terbitnya Perpres No. 54 Tahun 2010. Selanjutnya guna mendorong implementasi e-procurement ini, Presiden Republik Indonesia menerbitkan Inpres No. 17 Tahun 2011 yang mewajibkan bahwa mulai tahun anggaran 2012 sebanyak minimal 75% paket pengadaan instansi vertikal dilakukan melaui e-procurement dan 40% paket pengadaan instansi pemerintah daerah dilakukan melalui e-procurement. Selanjutnya, Inpres ini diperbaruhi dengan Inpres No. 1 Tahun 2013 yang mewajibkan 100% instansi pemerintah pusat maupun daerah untuk menerapkan e-procurement.

Namun, hal yang mendorong organisasi pemerintah dalam menerapkan e-procurement dalam proses pengadaan barang/jasa perlu dilakukan pengkajian. Apakah didorong oleh adanya profesionalisme aparatur pemerintah yang melahirkan kesadaran akan pentingnya transparansi, ataukah hanya meniru organisasi sejenis, atau bahkan hanya karena adanya tekanan dari luar. Oleh

(5)

karena organisasi sektor publik tidak dihadapkan pada persaingan pasar untuk tetap eksis sebagaimana yang terjadi pada sektor swasta, maka teori institusional khususnya institutional isomorphism lebih tepat untuk diterapkan pada sektor publik, termasuk dalam hal penerapan e-procurement pemerintah.

Penelitian ini mencoba menguji secara empiris berlakunya teori institutional isomorphism dalam penerapan e-procurement pemerintah. Sampel yang digunakan adalah instansi pemerintah yang berada di wilayah Kabupaten Trenggalek.

1.2. Rumusan Permasalahan

Pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah di Indonesia mengalami perubahan yang drastis dengan diperkenalkannya sistem pengadaan secara elektronik (e-procurement) sejak tahun 2008 oleh LKPP. Kebijakan ini kemudian diperjelas dalam Perpres 54/2010 dan berbagai peraturan Kepala LKPP yang mengatur mengenai pelaksanaan e-procurement tersebut.

Pada awalnya masih sedikit instansi pemerintah yang mengadopsi sistem baru (e-procurement) ini. Namun, dengan terbitnya Inpres Nomor 17 tahun 2011 yang kemudian dipertegas dengan Inpres Nomor 1 tahun 2013 yang mewajibkan semua instansi pemerintah menerapkan e-procurement dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dari APBN/APBD, semakin banyak yang mengadopsi e-procurement.

Perkembangan jumlah instansi yang menerapkan e-procurement terus mengalami peningkatan yang signifikan terutama pada tahun 2011 dan 2012. Hal inilah yang oleh DiMaggio dan Powell (1983) dinamakan sebagai homogenisasi

(6)

organisasi dalam menghadapi lingkungannya (isomorphism). Karena homogenisasi ini terjadi pada organisasi publik yang tidak dihadapkan pada persaingan pasar, tapi lebih pada legitimasi kelembagaan, maka dinamakan dengan institutional isomorphism.

Dalam teori institutional isomorphism, terdapat tiga cara bagaimana organisasi menjadi homogen dalam menghadapi kondisi lingkungannya. Pertama, coercive isomorphism timbul ketika homogenisasi didorong oleh tekanan eksternal baik formal maupun informal. Kedua, mimetic isomorphism timbul ketika homogenisasi dipengaruhi faktor ketidakpastian lingkungan, sehingga ia cenderung meniru organisasi sejenis yang dianggap berhasil. Ketiga, normative isomorphism timbul ketika homogenisasi didorong oleh faktor profesionalisasi.

Penerapan e-procurement dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun eksternal, mulai dari kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM), ketidakpastian lingkungan, serta adanya tekanan eksternal baik dari regulasi, masyarakat, dunia usaha, maupun pihak lainnya.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Dari rumusan permasalahan tersebut, maka pertanyaan penelitian ini adalah:

1) Apakah tekanan eksternal berpengaruh positif pada penerapan e-procurement pemerintah?

(7)

2) Apakah ketidakpastian lingkungan berpengaruh positif pada penerapan e-procurement pemerintah?

3) Apakah kompetensi SDM berpengaruh positif pada penerapan e-procurement pemerintah?

1.4. Tujuan Penelitian

Sepanjang penelusuran peneliti, saat ini penelitian empiris mengenai penerapan e-procurement dalam proses pengadaan barang/jasa di Indonesia masih jarang dan bersifat terbatas pada perspektif kesuksesan implementasi teknologi (misalnya: penelitian Putera, M.D., 2009; Skripsiansyah, F.D., 2011;. Nasir, M., 2011; Hadinata, S., 2012; dan sebagainya). Oleh karena itu, peneliti termotivasi untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan e-procurement pengadaan barang/jasa pemerintah, khususnya di Kabupaten Trenggalek. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi instansi pemerintah dalam penerapan e-procurement. Di samping itu, penelitian ini juga berusaha menginterpretasikan dan menjelaskan bukti empiris tersebut dari sudut pandang teori institutional, khususnya terkait institutional isomorphism.

1.5. Kontribusi Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi baik bagi pengembangan teori, khususnya teori institusional, maupun bagi kepentingan praktis di bidang kebijakan pengadaan barang/jasa. Pertama, dalam konteks teori institusional, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengembangan teori dalam bidang akuntansi sektor publik, terutama mengenai

(8)

keterkaitan antara institutional isomorphism dan penerapan e-procurement pemerintah. Kedua, secara praktis, penelitian ini berusaha menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan e-procurement di instansi pemerintah. Hal ini tentunya akan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam merumuskan kebijakan di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah di masa mendatang.

1.6. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam mengkomunikasikan hasil penelitian, laporan penelitian ini akan dibagi menjadi beberapa bab. Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. BAB I: Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, serta kontribusi penelitian.

2. BAB II: Kajian Teori dan Pengembangan Hipotesis

Bab ini menjelaskan berbagai landasan teori yang digunakan dan pengembangan hipotesis yang terkait. Selain itu bab ini juga menjabarkan penelitian terdahulu yang menjadi acuan penelitian ini.

3. BAB III: Metode Penelitian

Bab ini menguraikan penjelasan tentang instrumen metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini meliputi sampel, populasi, metode pengumpulan data, definisi variabel, dan alat analisis.

(9)

Bab ini menguraikan penjelasan tentang analisis data, pembahasan hasil pengolahan data dan analisis hasil pengujian hipotesis.

5. BAB V: Kesimpulan dan Saran

Bab ini menguraikan kesimpulan hasil penelitian dan menyajikan saran untuk pengembangan penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

Sosial- politik Secara keilmiahan/ lainnya Tingkatan Kontemplasi (Pengetahuan) 1) Ancaman (pada manusia dan Merpati) disebabkan oleh binatang pengerat 1) Pengetahuan

Sejak ditetapkannya Univesitas Andalas menjadi Pengelolaan Keuangan Badan Layan Umum (PK-BLU) pada awal tahun 2010 berdasarkan Surat Keputusan Menteri

Dalam hal peningkatan stabilitas kapal cepat penggunaan skeg pada buritan kapal disamping mempunyai efek posistif juga mempunyai efek negatif yang berhubungan

Independensi dan skeptis dapat terlihat dari adanya kejujuran dalam pengungkapan kesalahan yang dilakukan objek pemeriksaan dan dikaji kembali bukti-bukti terkait

bahwa dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut Pemerintah Negara Republik Indonesia aktif mengambil bagian dalam usaha yang dilakukan masyarakat interna sional bagi

Untuk mengestimasi parameter model pada teknik Regresi Linier Berganda tersebut, metode Ordinary Least Square (OLS) adalah salah satu metode yang dapat digunakan

Analisis dilakukan pada seluruh lempengan pegas menggunakan simulasi perangkat lunak Solidwork, dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa perbedaan=dimensi pegas daun

Oleh karena itu, maka perlu dilakukan penelitian tentang dosis dan waktu pengkayaan yang optimum yang dapat menghasilkan kandungan vitamin C maksimum dalam tubuh