• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN

DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

(Potency Analysis of Feeders Beef Cattle at Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta)

SUMADI,WARTOMO HARDJOSUBROTO danNONO NGADIYONO

Fakultas Peternakan,Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta

ABSTRACT

This Reaserch was conducted to potency analysis af feeders beef cattle of Daerah Istimewa Yogyakarta. This research using survey method, in four destricts (Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul, and Sleman), including 313 farmers as respondents. This research was done from June to September 2003. The variables observed were composition, reproduction and mortality of the animals. The results showed that composition of calfs 27,16 ± 3,40%: youngs 20,42 ± 7,76 % and adults 52,42 ± 9,27%. The average age at first mating of heifers and first calving were 22,67 ± 0,76% and 32,94 ± 1,29 months. The weaning age, period of first mating after calving and calving interval were 5,96 ± 0,68; 4,80 ± 0,45 and 15,17 ± 0,70 months. S/C were 2,06 ± 0,15. The calving rate was 61,98 ± 13,60 % from adult females or 26,20 ± 5,16% from total population. Sex ratio was 52,53 ± 12,80% and 47,47 ± 12,80%. The dams were kept up to 9,46 ± 1,6 years or until 6,47 ± 0,47 time calvings. The mortality rate population 0,80 ± 0,93%. Natural increase 25,41 ± 51,93%; Net replacemant rate 197,19 ± 91,29% and composition of feeders beef cattle 12,62% (7,32% males and 5,305 females) and adult cattles (culling) 12,63% (6,17% males and 4,46 females) with out put total 25,25% from population.

Key words: Beef cattle feeders, DIY

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi sapi potong bakalan di wilayah Propinsi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang akan dihitung melalui teori pemuliaan ternak. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei, meliputi empat kabupaten (Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul dan Sleman), mencakup 313 peternak sebagai responden. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni–September 2003. Variabel yang diamati meliputi komposisi, reproduksi dan kematian sapi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa komposisi sapi potong pedet 27,16 ± 3,40%; muda 20,42 ± 7,76% dan dewasa 52,42 ± 9,27%. Umur sapi betina pertama dikawinkan dan induk pertama adalah 22,67 ± 0,76 bulan dan 32,94 ± 1,29 bulan. Rata-rata umur penyapihan , perkawinan setelah beranak dan jarak beranak adalah 5,96 ± 0,68 bulan; 4,80 ± 0,45 bulan dan 15,71 ± 0,70 bulan. S/C sebesar 2,06 ± 0,15. Tingkat kelahiran adalah 61,98 ± 13,60% dari populasi. Perbandingan pedet jantan dan betina sebesar 52,53 ± 12,80% dan 47,47 ± 12,80%. Induk dipelihara sampi umur 9,46 ± 1,6 tahun atau sampai beranak 6,47 ± 0,47 kali. Kematian terhadap populasi sebesar 0,80 ± 0,93%. Natural Increase 25,41 ± 51,93%, Net Replacemen rate 197,19 ± 91,29% dan komposisi potensi sapi potong,sapi muda 12,62 % dan sapi tua afkir 12,63% dari populasi. Potensi sapi potong bakalan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2003, sapi muda 12,62 % (7,32% jantan dan 5,30% betina) dan sapi tua fakir 12,63 %(6,17% jantan dan 6,46 betina) dengan total keluran 25,25% dari populasi.

Kata kunci: Sapi potong bakalan, DIY

PENDAHULUAN

Sapi potong merupakan ternak ruminansia

besar yang menjadi salah satu aset nasional di

wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang

cukup besar potensinya untuk dikembangkan.

Disamping itu sapi potong mempunyai fungsi

sosial yang penting di masyarakat dan sebagai

penghasil daging peringkat tertinggi sehingga

merupakan potensi yang sangat penting untuk

dikembangkan.

(2)

Potensi atau out put dari masing-masing

wilayah penghasil sapi potong di Indonesia, itu

penting karena dapat diketahui kemampuan riel

dalam menyediakan sapi potong sesuai

kebutuhan pasar. Disamping itu juga dapat

dibuat peta potensi wilayah sapi potong di

Indonesia dan dapat digunakan sebagai dasar

peningkatan produktivitasnya. Produktivitas

seekor ternak merupakan gabungan sifat

produksi dan reproduksi dari ternak tersebut

dalam kurun waktu tertentu, serta dipengaruhi

oleh genetik, lingkungan dan interaksi genetik

dan lingkungan (L

ASELY

, 1978 dan

H

ARDJOSUBROTO

, 1994). T

AMASZERWSKA

et

al. (1998) menyatakan bahwa aspek produksi

seekor ternak tidak dapat dipisahkan dari

reproduksi ternak yang bersangkutan, dan

tanpa berlangsungnya reproduksi tidak akan

terjadi produksi.

Sifat-sifat reproduksi pada sapi potong

yang mempunyai nilai ekonomi penting antara

lain: umur pubertas dan perkawinan pertama,

siklus estrus, S/C, jarak beranak, perkawinan

pertama setelah beranak, lama digunakan

dalam breeding dan umur penyapihan pedet

(L

ASLEY

, 1981; H

ARDJOSUBROTO

, 1994).

T

RIKESEWO

et al. (1993) menyatakan bahwa

yang termasuk dalam komponen produktivitas

sapi potong adalah jumlah kebuntingan,

kelahiran, kematian, panen pedet (calf crop),

boboy setahunan (yearling), bobot potong dan

pertambahan bobot badan. Produktivitas sapi

potong dari suatu wilayah dapat dinyatakan

sebagai output atau potensi suatu wilayah yang

terdiri atas jantan dan betina afkir ditmbah

jantan dan betina muda sisa pengganti.

Potensi wilayah dalam menghasilkan sapi

potong dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari

segi ternaknya dan ketersediaan pakannya.

Berdasakan ternaknya yang terpenting adalah

sifat reproduksinya. Disamping itu tinjauan

potensi wilayah dari segi pemuliaan yang

utama adalah berapa lama sapi potong

digunakan dalam pembiakan. Hal ini menjadi

penting Karena fakta tersebut secara langsung

mempengaruhi jumlah ternak pengganti

(Replacemant Stock) yang dibutuhakan untuk

mengganti populasi ternak yang dikeluarkan

dan kelebihan ternak pengganti tersebut dapat

digunakan sebagai bakalan untuk bibit maupun

digemukan. Sapi tua (afkir) yang dikeluarkan

dari breeding dapat juga digemukkan tetapi

kwalitasnya tidak sebaik sapi muda. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengestimasi

potensi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam

menghasilkan sapi potong, baik berupa ternak

potong bibit, bakalan maupun sapi afkir yang

dihitung melalui pendekatan teori pemuliaan

(breeding teori). Dengan pengamatan ini

diharapkan: (1) Dapat digunakan sebagai dasar

untuk membuat program peningkatan

produktivitas, khususnya potensi sapi potong

bakalan di Daerah Istimewa Yogyakarta; (2)

sebagai dasar pengendalian pengeluaran sapi

potong di Daearah Istimewa Yogyakarta; dan

(3) sebagai indikator untuk melihat

perkembangan populasi sapi potong di Daerah

Istimewa Yogyakarta.

MATERI DAN METODE

Lokasi dan waktu

Penelitian dilakukan di 4 kabupaten yakni

Kabupaten Gunung Kidul, Kulon Progo,

Bantul dan Sleman di Propinsi DIY. Penelitian

dilaksanakan pada bulan Juni–September 2003,

terhadap peternak yang memiliki sapi potong

sebagai responden beserta ternaknya. Data

sekunder dari instansi terkait.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode survei

dengan dibantu kuesioner dan observasi. Setiap

kabupaten sampel diplih kecamatan dan desa

yang sesuai dengan kegiatan penelitian, dengan

total responden sebanyak 313 orang (dipilih

secara quota sampling). Pengamatan meliputi

identitas ternak dan peternaknya. Data yang

diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara

deskriptif, kualitatif dan kuantitatif. Pola

pemuliaan sapi potong digunakan untuk

mengestimasi kebutuhan ternak pengganti

(replacement stock) dan komposisi ternak

disurvei. Natural Increase (NI) dihitung dari

selisih jumlah kelahiran dan kematian sapi per

tahun dan hasil pengurangan NI dengan

kebutuhan ternak pengganti merupakan potensi

wilayah atau keluaran (out put) berupa sapi

hidup yang terdiri atas sapi jantan tua, betina

tua dan sisa pengganti yang dapat digunakan

sebagai bakalan (jantan dan betina).

(3)

Identitas responden

Identitas responden pada tahun 2003 dari

empat kabupaten di Daerah Istimewa

Yogyakarta dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan Tabel 1, bahwa rata-rata umur

peternak masih dalam kisaran umur produktif

(51,69 ± 1,94 tahun) dan pengalaman beternak

cukup lama (19,28 ± 2,83 tahun). Tingkat

pendidikan peternak masih relatif rendah yaitu

tidak sekolah (7,67 ± 1,58%) dan SD (56,78 ±

5,52%). Pekerjaan utama peternak umumnya

petani (65,22 ± 11,57%) dan tujuan utama

pemeliharaan untuk menghasilkan keturunan

70,52

± 23,59% dan untuk tabungan 25,78 ±

23,13%.

Komposisi sapi potong

Komposisi sapi potong di Daerah Istimewa

Yogyakarta pada tahun 2003 dapat dilihat pada

Tabel 2. Pada Tabel 2 menunjukan bahwa

jumlah pedet 27,16 ± 3,40%, sapi muda 20,42

Tabel 1. Identitas responden

Kabupaten Peubah

Gunung Kidul Kulon Progo Bantul Sleman x ± s

Umur peternak (th) 49,02 53,62 52,31 51,79 51,69 ± 1,94 Pengalaman beternak (th) 22,27 21,03 16,27 17,55 19,28 ± 2,83 Pendidikan (%): Tidak sekolah SD SLTP SMU PT 6,66 55 21,67 15 1,67 - 53,33 21,10 18,90 6,67 8 65 9 16 2 16,03 53,80 16,17 11 3 7,67 ± 6,58 56,78 ± 5,52 16,98 ± 5,84 15,23 ± 3,27 3,34 ± 2,29 Pekerjaan utama (%): Petani Wiraswasta PNS Pensiunan Buruh TNI/POLRI 71,67 20 5 3,33 - - 72,22 6,67 6,67 - 12,22 2,22 48 10 4 - 37 1 69 4 10,5 1,5 15 - 65,22 ± 11,57 10,17 ± 7,30 6,54 ± 2,86 1,22 ± 1,58 16,06 ± 15,41 0,81 ± 1,05 Tujuan utama pemeliharaan

(%): Keturunan (breeding) Tabungan Penggemukan Pupuk Tenaga kerja 100 - - - - 42,22 55,56 2,22 - - 70 19 9 - - 69,84 28,57 1,59 - - 70,52 ± 23,59 25,78 ± 23,13 3,2 ± 3,98 - - Luas lahan (m2): Tegalan Pekarangan Sawah

Lahan hijauan yang ditanami rumput 8469,64 1555 - - 736,49 - 1227,69 608,77 1110 - 2185 469,69 - - 2040,50 272,50 2579,03 ± 3954,06 388,75 ± 775,30 1363,30 ± 1001,79 337,70 ± 264,08

(4)

± 7,76% dan sapi dewasa 52,42 ± 9,27%.

Perbandingan sapi jantan dan betina sebesar

30,37

± 3,65% dan 69,63 ± 3,65%. Populasi

betina dewasa cukup tinggi (45,12 ± 5,7%), hal

ini sesuai dengan tujuan pemeliharaan untuk

menghasilkan keturunan. Jumlah jantan

dewasa relatif rendah, sebab sapi jantan yang

dipelihara untuk digemukkan bukan untuk sapi

pejantan, karena perkawinan sapi sebagian

besar menggunakan Inseminasi Buatan (IB).

Kabupaten Sleman dan Gunung Kidul total

jantan relatif tinggi dibanding kabupaten lain,

hal ini diduga disebabkan banyaknya

penggemukan sapi rakyat.

Rata-rata kepemilikan sapi potong

Rata–rata kepemilikan sapi potong per

responden di wilayah Daerah Istimewa

Yogyakarta pada tahun 2003, dapat dilihat

pada Tabel 3.

Pada Tabel 3 menunjukan pemilikan sapi

potong per peternak di Daerah Istimewa

Yogyakarta rata-rata 2,90 ± 0,96 ekor atau 2,09

± 0,61 UT. Hal ini artinya peternak memiliki

sapi potong setara 2 ekor dewasa. Jumlah yang

relatif kecil ini diduga disebabkan terbatasnya

lahan untuk mencari rumput (pakan),

terbatasnya tenaga kerja keluarga disamping

keterbatasan modal. Rata-rata pemilikan per

responden di Kabupaten Sleman dan

Kulonprogo relatif tinggi dibanding kabupaten

lainnya, hal ini diduga disebabkan daya

dukung lahan, modal dan sosial ekonomi

masyarakat yang berbeda.

Pengelolaan dan biologi reproduksi

Pengelolaan dan biologi reproduksi sapi

potong di Daerah Istimewa Yogyakarta pada

tahun 2003 dapat dilihat pada Tabel 4. Pada

Tabel 4 menunjukan bahwa para peternak

mengawinkan sapi pertama kali pada jantan

dan betina pada umur 28,82 ± 0,18 bulan dan

22,67

± 0,76 bulan. Cara kawin sebesar 79,45

± 19,70% dengan IB, dan pengenalan

tanda-tanda birahi sebesar 62,67 ± 21,44% baik

sekali. Batas umur pemeliharaan pada sapi

jantan 4,34 ± 1,10 tahun dan betina 9,46 ± 1,60

tahun dan selama dipelihara betina (induk)

rata-rata beranak 6,47 ± 0,47 kali serta rata-rata

umur sapih 5,96 ± 0,68 bulan. Pada kabupaten

Sleman 100% IB, hal ini disebabkan sarana

dan prasarana yang memadai dan kesadaran

masyarakat yang tinggi tentang IB.

Tabel 2. Komposisi sapi potong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2003

Kabupaten Komposisi

Gunung Kidul Kulon Progo Bantul Sleman x ± s

Pedet (%) Jantan Betina Jumlah 13,14 15,33 28,47 14,73 7,53 22,26 15,23 14,84 30,07 12,03 12,82 27,85 13,78 ± 1,47 13,38 ± 3,92 27,16 ± 3,40 Muda (%) Jantan Betina Jumlah 18,25 13,13 31,38 2,40 15,07 17,47 9,37 10,15 19,52 6,96 6,33 13,29 9,25 ± 6,66 11,17 ± 3,81 20,24 ± 7,76 Dewasa (%) Jantan Betina Jumlah 2,20 37,95 40,15 8,22 52,05 60,27 5,46 44,92 50,38 13,29 45,47 58,86 7,29 ± 4,69 45,12 ± 5,76 52,42 ± 9,27 Total (%) Jantan Betina 33,59 66,41 25,35 74,65 30,06 69,94 32,47 67,53 30,37 ± 3,65 69,93 ± 3,65 Pedet 0−10 bulan; Muda >10−24; Dewasa >24 bulan atau sudah kawin dan beranak

(5)

Tabel 3. Kepemilikan sapi potong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2003

Kabupaten Komposisi

Gunung Kidul Kulon Progo Bantul Sleman Jumlah x ± s

Pedet Jantan: (ek) (UT) Betina: (ek) (UT) 18 4,5 12 3 43 10,75 22 5,5 39 9,75 38 9,5 28 7 37 9,25 128 32 109 27,25 32,00 ± 11,28 8,00 ± 2,82 27,25 ± 12,53 6,81 ± 3,13 Muda Jantan: (ek) (UT) Betina: (ek) (UT) 25 15 18 6 7 4,2 44 26,4 24 14,4 26 15,6 16 9,6 15 9 72 43,2 103 57 18,0 ± 8,37 10,8 ± 5,02 25,75 ± 13, 02 14,25 ± 9,04 Dewasa Jantan: (ek) (UT) Betina: (ek) (UT) 3 3 52 52 24 24 152 152 14 14 115 115 31 31 105 105 72 72 424 424 18,0 ± 12,19 18,0 ± 12,19 106,1 ± 41,29 106,0 ± 41,29 Jumlah Jantan: (ek) (UT) Betina: (ek) (UT) 46 22,5 82 61 74 38,95 218 183,85 77 38,15 179 140,1 75 47,6 156 123,25 272 147,20 635 508,25 108,0 ± 14,72 36,8 ± 10,45 158,75 ± 57,21 127,06 ± 50,29 Total: (ek) (UT) 128 83,5 292 222,85 256 178,25 231 170,85 907 655,45 226,75 ± 70,43 163,86 ± 58,29 Jumlah Responden 60 90 100 63 313 2,90 ± 0, 69 Kepemilikan ternak/responden (ek) (UT) 2,13 1,39 3,24 1,78 2,56 1,78 3,67 2,71 11,60 8,36 2,90 ± 0,69 2,09 ± 0,61 Pedet = 0,25 UT Muda = 0,6 UT Dewasa = 1 UT

Umur induk beranak pertama 32,94 ± 1,29

bulan, perkawinan pertama setelah beranak

4,80 ± 0,45 bulan dan S/C sebesar 2,06. Lama

induk digunakan sebagai bibit 7,19 ± 1,66

tahun dan jarak beranak 15,71 ± 0,70 bulan,

tingkat kelahiran terhadap jumlah induk dan

jumlah populasi sebesar 61,98 ± 13,60% dan

26,20

± 5,16% dan perbandingan kelahiran

pedet jantan dan betina sebesar 52,53 ±

12,80% dan 47,47 ± 12,80%. Secara umum

pengelola dan biologi reproduksi sapi potong

di DIY relatif baik serta pada semua kabupaten

relatif sama.

(6)

Tabel 4. Pengelolan dan biologi reproduksi sapi potong di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2003

Kabupaten Peubah

Gunung Kidul Kulon Progo Bantul Sleman x ± s

Pengelolaan reproduksi:

Umur pertama kali dikawinkan (bulan): Jantan Betina 28,60 22,21 28,82 23,81 28,82 22,37 29,04 22,30 28,82 ± 0,18 22,67 ± 0,76 Cara kawin (%): IB Alami Campuran 85 - 15 52,8 23,6 23,6 80 3,2 16,8 100 - - 79,45 ± 19,70 6,70 ± 11,37 13,85 ± 9,94 Pengenalan tanda birahi (%):

Kurang Sedang Baik Baik sekali 3,33 6,67 11,67 78,33 - 6,67 52,22 42,11 - 7 46 47 3,18 4,48 7,73 84,25 1,63 ± 1,88 6,30 ± 0,98 29,40 ± 2,95 62,67 ± 21,44 Batas umur pemeliharaan

(tahun): Jantan Betina

Frekuensi beranak (kali)

4,04 9,70 7,08 4,34 10,48 6,22 5,81 10,53 6,56 4,18 7,13 6,00 4,59 ± 0,82 9,46 ± 1,60 6,47 ± 0,47

Umur penyapihan (bulan) 6,58 5,36 6,32 5,57 5,96 ± 0,68

Biologi reproduksi:

Umur induk beranak pertama

(bulan) 31,80 34,69 33,12 32,15 32,94 ± 1,29

Perkawinan pertama setelah beranak (bulan)

4,22 5,10 4,68 5,20 4,80 ± 0,45

S/C 2,06 2,02 2,27 1,90 2,06 ± 0,15

Jarak beranak (bulan) 15,71 15,65 14,88 16,60 15,71 ± 0,70

Lama induk digunakan sebagai bibit (tahun)

7,85 8,08 8,13 4,71 7,19 ± 1,66

Tingkat kelahiran (%): Terhadap jumlah induk sampel

Terhadap jumlah populasi sampel 56,00 23,86 55,41 25,97 82,35 33,45 54,17 21,53 61,98 ± 13,60 26,20 ± 5,16 Kelahiran pedet (%): Jantan Betina 40,48 59,52 70,11 29,89 53,06 53,52 46,48 53,52 52,53 ± 12,80 47,47 ± 12,80

Mutasi sapi potong

Mutasi sapi potong diwilayah Daerah

Istimewa Yogyakarta pada tahun 2003 dapat

dilihat pada Tabel 5. Pada Tabel 5 menunjukan

bahwa rata-rata jumlah sapi yang masuk

terhadap sampel populasi 5,59 ± 5,56% dan

yang keluar 26,70 ± 13,10%. Alasan

pengeluaran sapi tersebut sebesar 79,33 ±

11,93% adalah dijual. Berdasarkan hal ini di

wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta banyak

sapi yang keluar daripada masuk, dengan

(7)

selisih 21,11%. Sapi yang keluar di Kabupaten

Gunung Kidul 42,34% dan Sleman 33,33%,

hal ini relatif tinggi dibandingkan kabupaten

lainnya dan diduga disebabkan relatif tinggi

kegiatan bisnis sapi potong di dua kabupaten

tersebut.

Pemeliharaan sapi potong

Sistem pemeliharaan sapi potong di

wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dapat

dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan

bahwa sistem pemeliharaan, kebersihan ternak

dan penggunaan pupuk kandang, relatif sudah

baik dan bervariasi pada setiap kabupaten

sesuai dengan kondisi lahan, sistem usahatani

dan sosial ekonomi masyarakat.

Natural increase (NI) dan net replacement

rate (NRR)

Perhitungan NI dan NRR di wilayah

Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2003

dapat dilihat pada Tabel 7. Pada Tabel 7

menunjukkan bahwa rata-rata NI sebesar 25,41

± 5,93% yang berasal dari persentase kelahiran

terhadap sampel populasi dikurangi persentase

kematian ternak terhadap sampel populasi.

Selanjutnya berdasarkan nilai NI dan dengan

menggunakan teori pemuliaan diperoleh NRR

sebesar 197,19 ± 91,29%. Hal ini berarti pada

tahun 2003, di DIY tersedia ternak pengganti

sebesar 197,19% dari kebutuhan. NRR pada 4

kabupaten bervariasi, hal ini tergantung jumlah

kelahiran, kematian dan perbandingan jantan

dan betina pedet yang lahir.

Tabel 5. Mutasi sapi potong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2003

Kabupaten Keterangan

Gunung Kidul Kulon Progo Bantul Sleman x ± s Masuk (ekor): Pedet : Jantan Betina 4 2 3 - 1 - - - 2,00 ± 1,83 0,50 ± 1,00 Muda : Jantan Betina 4 3 - 3 3 1 - - 1,75 ± 1,50 1,50 ± 3,00 Dewasa: Jantan Betina 6 - - - - 4 - 4 1,50 ± 3,00 2,00 ± 2,30 Jumlah 19 6 4 4 9,50 ± 6,66

Jumlah sapi masuk terhadap

sampel populasi (%) 13,87 2,05 3,52 2,90 5,59 ± 5,56 Keluar (ekor): Pedet : Jantan Betina 8 10 21 4 14 8 13 9 14,00 ± 5,35 7,75 ± 2,63 Muda : Jantan Betina 8 3 4 2 3 7 6 5 5,25 ± 2,22 4,25 ± 2,22 Dewasa: Jantan Betina 14 15 7 5 6 8 5 8 8,00 ± 4,08 9,00 ± 4,24 Jumlah 58 43 45 46 48,00 ± 6,78

Jumlah sapi masuk terhadap

sample populasi (%) 42,34 14,73 17,58 33,33 26,70 ± 13,10 Alasan (%) Mati Jual Beli Potong Digaduhkan Adat 1,82 63,64 27,27 - 7,27 - - 83,67 6,13 - 8,16 2,40 - 78 19 - 3 - 8 92 - - - - 2,46 ± 3,80 79,33 ± 11,93 13,10 ± 12,33 - 4,61 ± 3,81 0,51 ± 1,02

(8)

Tabel 6. Pemeliharaan sapi potong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2003

Kabupaten Keterangan

Gunung Kidul Kulon Progo Bantul Sleman x ± s Sistem pemeliharaan sapi (%)

Dikandang saja Dikandang dan dilepas

88,33 11,67 35,56 64,44 19 81 52,50 47,50 48,58 51,15 Frekuensi pemberian pakan

(kali/hari) Pedet Muda Dewasa 2,20 1,87 1,87 1,93 1,93 1,93 1,93 1,93 1,93 2,06 2,06 2,06 2,03 ± 0,13 1,95 ± 0,08 1,95 ± 0,08 Frekuensi pemberian minum

(kali/hari) Pedet Muda Dewasa 1,94 1,94 1,94 1,20 1,20 1,20 1,20 1,20 1,20 1,26 1,26 1,26 1,40 ± 0,36 1,40 ± 0,36 1,40 ± 0,36 Kebersihan ternak (kali/hari)

Memandikan ternak Kebersihan kandang 1,00 1,00 1,00 1,03 1,00 1,03 0,33 0,14 0,83 ± 0,34 0,80 ± 0,44 Penanganan kotoran (%) Diolah Tidak diolah 100 - 10 90 12 88 81,5 18,5 50,88 ± 46,67 49,12 ± 46,67 Penggunaan pupuk (%) Digunakan sendiri Dijual Campuran 100 - - 96,67 1,11 2,22 59 15 26 60,32 25,34 14,34 79,00 ± 22,38 10,36 ± 12,09 10,64 ± 12,02 Jenis pakan yang diberikan terdiri dari: rumput potong, rumput lapangan, leugeuminosa, limbah pertanian (jerami padi, bekatul, dedak) dan limbah industri (ampas tahu)

Tabel 7. Perhitungan NI dan NRR di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2003

Kabupaten Keterangan

Gunung Kidul Kulon Progo Bantul Sleman x ± s

Jumlah sampel (ekor) 137 292 256 231 892

Betina dewasa (%) 37,95 52,05 44,92 45,57 45,12 ± 5,76 Kelahiran pedet (%) Terhadap induk Terhadap sampel 56 23,86 55,41 25,97 82,35 33,45 54,17 21,53 61,98 ± 13,60 26,20 ± 5,16 Kematian ternak (%) 1,46 0 0 1,73 0,80 ± 0,93 NI umur 1 tahun (%) 22,40 25,97 33,45 19,80 25,41 ± 5,93

Ramalan anak betina hidup umur 2 tahun (%)

13,14 7,76 15,70 10,62 11,76 ± 3,43

Betina tua yang dikeluarkan dari breeding per tahun (%)

4,83 6,44 5,53 8,82 6,41 ± 1,74

Kebutuhan sapi betina pengganti per tahun/umur 2 tahun)

4,90 6,44 5,53 8,97 6,46 ± 1,79

(9)

Tabel 8. Perhitungan komposisi potensi sapi potong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta

Kabupaten Keterangan

Gunung Kidul Kulon Progo Bantul Sleman DIY Jumlah

Natural increase umur 2 tahun (%) Jantan Betina 8,94 1,33 18,20 7,76 17,75 15,70 9,05 10,42 13,49 ± 5,19 11,76 ± 3,43 25,25 Kebutuhan ternak pengganti (%) Jantan Betina 1,33 4,90 4,24 6,44 16,0 5,53 7,55 8,97 3,67 ± 7,89 6,46 ± 1,79 10,14 Sisa sapi muda (%)

Jantan Betina 7,61 13,76 ,32 13,96 6,15 10,17 1,50 1,45 9,81 ± 6,62 5,30 ± 4,58 15,11 Komposisi potensi sapi potong (%) Sapi muda: Jantan Betina 7,61 8,24 13,96 1,32 16,15 10,17 1,50 14,5 9,81 ± 6,62 5,30 ± 4,58 15,11 Sapi dewasa/tua (afkir) Jantan Betina 1,33 4,90 4,24 6,44 16,15 1,60 7,55 8,97 1,68 ± 2,89 6,46 ± 1,79 10,14 Jumlah Jantan Betina 8,94 13,14 18,20 7,76 17,75 15,70 9,05 10,42 13,49 ± 5,19 11,76 ± 3,43 25,25 Total 22,08 25,96 33,45 19,47 25,25

Komposisi potensi sapi potong

Estimasi komposisi potensi sapi potong di

Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2003,

dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8

menunjukkan bahwa potensi atau output sapi

potong di wilayah Daerah Istimewa

Yogyakarta sebesar 25,25% dari populasi yang

terdiri dari sapi muda sisa pengganti umur 2

tahun sebesar 9,81% jantan dan 5,30% betina,

serta sapi tua (afkir) jantan 3,68% dan betina

6,46%. Potensi berdasarkan kabupaten, adalah

Kabupaten Bantul 33,45%; Kulonprogo

25,96%; Gunung Kidul 22,08% dan Sleman

19,47%. Perbedaan potensi ini diduga

disebabkan perbedaan ketersediaan pakan,

tatalaksana pemeliharaan, iklim dan sosial

ekonomi masyarakatnya. Disamping itu

Kabupaten Gunung Kidul dan Sleman

merupakan daerah penggemukan sapi potong

rakyat.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka

dapat disimpulkan bahwa wilayah Daerah

Istimewa Yogyakarta dapat menghasilkan sapi

muda (umur 2 tahun), jantan 9,81% dari

populasi yang dapat digunakan sebagai bakalan

untuk digunakan, sapi muda (umur 2 tahun)

betina 5,30% dari populasi yang dapat

digunakan sebagai bibit, sapi dewasa (4,18

tahun) jantan 3,68% dari populasi untuk

dipotong dan sapi betina tua (afkir) 6,46% dari

populasi untuk dipotong. Total output (potensi)

sapi potong di wilayah DIY sebesar 25,25%

dari populasi.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

HARDJOSUBROTO,W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan

Ternak di Lapangan. PT Gramedia Widiasarana

Indonesia, Jakarta.

LASLEY,J.F. 1981. Beef Cattle Production.

Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, N.J. 07632.

TRIKESOWO, N., SUMADI dan SUYADI. 1993.

Kebijakan riset di bidang pengembangan dan perbaikan mutu sapi potong dengan teknik ladang ternak dan feedlot. Forum Komunikasi Hasil Penelitian Bidang Peternakan, Yogyakarta.

Gambar

Tabel 1. Identitas responden
Tabel 2. Komposisi sapi potong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2003  Kabupaten
Tabel 3. Kepemilikan sapi potong di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2003  Kabupaten
Tabel 4. Pengelolan dan biologi reproduksi sapi potong di Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2003  Kabupaten
+4

Referensi

Dokumen terkait

Lingkup dari penelitian adalah wilayah Kabupaten Kulon Progo Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, penggunaan lahan sebelum dan setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32

Kendala yang Dihadapi Polda Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Penanggulangan Perkelahian Antar Kelompok

Analisis Potensi Sektor Ekonomi dan Kesempatan Kerja di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.. Skripsi ini penulis sajikan sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk

Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 90 tahun 2001 tentang Uraian Tugas dan Tatakerja Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah

Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji perbedaan pendapatan peternak antara skala usaha 2-3 ekor dan 4-6 ekor pada peternak sapi potong dan sapi bakalan karapan di Pulau

menghasilkan limbah 3.266,22 ton dan jumlah populasi ternak sapi potong 333 ekor. - Potensi yang di lihat dari populasi ternak, bahwa Kecamatan Selupu Rejang merupakan

Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa variabel PDRB berpengaruh positif dan signifikan terhadap Keuangan Inklusif di Daerah Istimewa Yogyakarta, sementara itu

Dokumen ini membahas tentang analisis potensi jenis longsor berdasarkan karakteristik geomekanika batuan di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa