1
LAPORAN AKHIR TAHUN
PENELITIAN DASAR UNGGULAN PERGURUAN TINGGI (PDUPT)
PENGEMBANGAN KONSEP DAN METODE PEMETAAN
SUMBERDAYA ALAM PADANG LAMUN MENGGUNAKAN
TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH
Tahun ke 2 dari rencana 3 tahun
Dr. Pramaditya Wicaksono, M.Sc. (0006078701)
Muhammad Kamal, M.GIS., Ph.D. (0009057902)
Prof. Dr. Hartono, DEA., DESS (0005015606)
DIBIAYAI OLEH:
Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat
Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Sesuai Dengan Perjanjian Pendanaan Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat
Tahun Anggaran 2018
UNIVERSITAS GADJAH MADA
November 2018
2
HALAMAN PENGESAHAN
Judul
: Pengembangan Konsep dan Metode Pemetaan
Sumberdaya Alam Padang Lamun Menggunakan
Teknologi Penginderaan Jauh
Peneliti
Nama Lengkap
: Dr. Pramaditya Wicaksono, M.Sc.
NIDN
: 0006078701
Jabatan Fungsional
: Lektor
Program Studi
: Kartografi dan Penginderaan Jauh
Nomor HP
: 081391179917
Alamat surel (e-mail)
: prama.wicaksono@ugm.ac.id
Anggota Peneliti (1)
Nama Lengkap
: Muhammad Kamal, MGIS., Ph.D.
NIDN
: 0009057902
Perguruan Tinggi
: Universitas Gadjah Mada
Anggota Peneliti (2)
Nama Lengkap
: Prof. Dr. Hartono, DEA., DESS
NIDN
: 0005015606
Perguruan Tinggi
: Universitas Gadjah Mada
Institusi Mitra (jika ada)
Nama Institusi Mitra
: -
Alamat
: -
Penanggungjawab
: -
Tahun Pelaksanaan
: Tahun ke 2 dari rencana 3 tahun
Biaya Tahun Berjalan
: Rp. 66.500.000
Biaya Keseluruhan
: Rp. 284.086.000
Yogyakarta, 12-09-2018
Mengetahui,
Wakil Rektor Bidang P2M UGM
Ketua Peneliti,
drg. Ika Dewi Ana, Ph.D.
Dr. Pramaditya Wicaksono, M.Sc.
NIP. 19680916199403200
NIP. 198707062014041002
3
RINGKASAN
Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi (PDUPT) pada ini bertujuan untuk
mengembangkan metode pemetaan sumberdaya alam padang lamun menggunakan
pendekatan penginderaan jauh. Sumberdaya alam padang lamun yang dipilih
adalah keanekaragaman hayati spesies lamun. Penelitian ini mencakup proses
pembuatan spectral library (pustaka spektral) spesies lamun, penyusunan skema
klasifikasi pemetaan spesies lamun, dan prosedur pengolahan citra digital untuk
pemetaan spesies lamun. Indonesia merupakan salah satu negara dengan keragaman
hayati padang lamun tertinggi di dunia. Untuk jangka panjang, hasil dari penelitian
ini dapat mendukung program pemerintah terkait program One Map Policy,
terutama terkait peta tematik sumberdaya alam padang lamun di Indonesia.
Kedepan, dengan adanya metode pemetaan ini, spesies lamun di seluruh Indonesia
dapat dipetakan. Selain itu, hasil penelitian ini bertujuan untuk mempersiapkan
pemerintah dengan metode pemetaan sumberdaya alam padang lamun pada saat
sistem satelit sumberdaya nasional menjadi operasional dalam proses akuisisi data
penginderaan jauh. Target khususnya adalah 1) metode yang dikembangkan pada
penelitian ini dapat dijadikan rujukan dalam proses review, revisi dan updating SNI
(Standar Nasional Indonesia) untuk Pemetaan Habitat Perairan Laut Dangkal, 2)
meningkatkan jumlah publikasi tim peneliti pada jurnal internasional, dan 3)
menjadi ahli penginderaan jauh untuk padang lamun pada level nasional maupun
internasional. Penelitian ini sejalan dengan rencana strategis penelitian UGM,
dimana UGM akan menghasilkan produk penelitian yang menjadi rujukan nasional
yang berwawasan lingkungan dan responsif terhadap permasalahan masyarakat,
bangsa, dan negara yang berbasis pada nilai-nilai keunggulan lokal. Penelitian
dilakukan selama tiga tahun (2017-2019), dimana masing-masing tahun
mempunyai target yang harus dicapai untuk mencapai tujuan utama penelitian ini.
Pada tahun pertama yang lalu, penelitian difokuskan untuk membangun spectral
library spesies lamun, baik dalam kondisi sehat maupun rusak. Pada tahun kedua
ini, penelitian dilakukan untuk membangun skema klasifikasi spesies lamun
berdasarkan respon spektralnya maupun berdasarkan resolusi spektral dari citra
satelit. Citra satelit yang digunakan adalah citra multispektral yang umum
digunakan dan banyak tersedia di Indonesia, serta mewakili tingkatan resolusi
spasial dan spektral yang berbeda, antara lain Worldview-2, Sentinel-2, dan Landsat
8 OLI. Pembuatan skema ini penting untuk mengetahui sejauh mana citra satelit
yang digunakan mampu membedakan spesies lamun berdasarkan respon
spektralnya, sehingga dapat secara efektif digunakan untuk pemetaan spesies
lamun. Skema ini digunakan sebagai acuan dalam mengkelaskan sampel lapangan
maupun data spectral library sebelum diintegrasikan dengan data penginderaan
jauh atau sebagai input dalam menghasilkan image fraction of seagrass species.
Hasil penelitian pada tahun kedua ini telah dipublikasikan pada International
Journal of Remote Sensing dan naskah yang lain telah di submit ke International
Journal of Applied Earth Observations and Geoinformation.
4
PRAKATA
Laporan akhir tahun kedua skema Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi
(PDUPT) dengan judul “Pengembangan Konsep dan Metode Pemetaan
Sumberdaya Alam Padang Lamun Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh”
ini berisi hasil penelitian hingga awal November 2018. Proses survei lapangan
untuk perolehan data tambahan terkait spesies lamun telah dilakukan dan analisis
dendrogram pada respon spektal spesies lamun hasil pengukuran spektrometer dan
hasil resampling citra multispektral telah dilakukan. Satu naskah telah
dipublikasikan pada International Journal of Remote Sensing. Satu naskah lagi
telah siap untuk di submit ke International Journal of Applied Earth Observations
and Geoinformation. Hasil penelitian pada tahun pertama dan tahun kedua ini
dijadikan dasar dalam proses pengembangan dan evaluasi metode pemetaan spesies
lamun pada tahun ketiga.
Yogyakarta, 7 November 2018
Ketua Penelitian,
Dr. Pramaditya Wicaksono, M.Sc.
5
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ... 2
RINGKASAN ... 3
PRAKATA ... 4
DAFTAR ISI ... 5
DAFTAR TABEL ... 6
DAFTAR GAMBAR ... 7
DAFTAR LAMPIRAN ... 8
BAB 1. PENDAHULUAN ... 9
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 13
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 16
BAB 4. METODE PENELITIAN... 18
4.1 Survei lapangan ... 18
4.2 Skema klasifikasi berbasis pengukuran spektrometer ... 18
4.3 Skema klasifikasi berbasis resolusi spektral citra ... 18
BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI ... 20
5.1 Survei lapangan ... 20
5.1 Skema klasifikasi dari hasil pengukuran spektrometer ... 21
5.2 Skema klasifikasi untuk Citra WorldView-2 ... 21
5.3 Skema klasifikasi untuk Citra Sentinel-2 ... 21
5.4 Skema klasifikasi untuk Citra Landsat 8 OLI ... 22
5.5 Hasil implementasi ... 23
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ... 24
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN ... 26
7.1 Kesimpulan ... 26
7.2 Saran ... 26
DAFTAR PUSTAKA ... 27
LAMPIRAN ... 29
6
DAFTAR TABEL
Tabel 1. 1 Rencana target capaian tahunan. ... 11
Tabel 2. 1 Karakteristik citra penginderaan jauh yang digunakan untuk mewakili
skema klasifikasi citra multispektral. ... 14
Tabel 5. 1 Rekapitulasi jumlah sampel hasil survei lapangan di Pulau Parang. *Detil
dari variasi spesies lamun yang ditemukan ditampilkan pada Tabel 5.2.
... 20
Tabel 5. 2 Variasi sampel spesies lamun yang ditemukan di Pulau Parang. ... 20
Tabel 5. 3 Skema klasifikasi spesies lamun. Ea- E. acoroides, Ho – H. ovalis, Ea-e
7
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Road map penelitian pemetaan padang lamun menggunakan konsep
dan teknologi penginderaan jauh. Roadmap ini sejalan dengan renstra
penelitian UGM 2017 – 2022 terkait inovasi ilmu pengetahuan dan
teknologi yang bermanfaat bagi kepentingan bangsa, negara dan
kemanusiaan berbasis kearifan budaya. ... 15
8
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Publikasi pada International Journal of Remote Sensing ... 33
Lampiran 2 Bukti submit pada jurnal internasional ... 34
9
BAB 1. PENDAHULUAN
Negara Indonesia kaya akan sumberdaya alam pesisir dan laut, dimana salah
satunya adalah sumberdaya alam padang lamun (Green dan Short, 2003). Padang
lamun menyediakan berbagai macam fungsi ekonomis dan ekologis penting bagi
kehidupan pembangunan nasional pada umumnya, dan di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil pada khususnya. Beberapa fungsi penting padang lamun adalah
sebagai perangkap sedimen dan penstabil substrat, perlindungan pantai terhadap
ombak, menjernihkan air, filter polusi yang masuk ke perairan, tempat berlindung,
berpijah, habitat berbagai biota laut, mendukung keberlangsungan stok perikanan,
pusat keragaman hayati, sumber bahan makanan, sumber bahan industri farmasi,
material untuk pupuk, pensuplai oksigen di perairan, dan blue carbon sink
(Lafffoley & Grimsditch 2009; Nelleman et al. 2009; Nordlund et al. 2016).
Apabila fungsi-fungsi penting tersebut dikonversikan, maka nilai padang
lamun secara ekonomis akan mencapai 19004 USD per hektar per tahun, dan jauh
melebihi hutan mangrove (9990 USD per hektar per tahun) dan terumbu karang
(6075 USD per hektar per tahun) (Costanza et al. 1997). Padang lamun jika dikelola
dengan optimal akan dapat secara efektif mendukung pembangunan nasional
memajukan kesejahteraan rakyat maupun cita-cita nasional sebagai Poros Maritim
Dunia.
Meskipun mempunyai banyak fungsi penting, tidak banyak yang
memahami pentingnya padang lamun, yang ditunjukkan dengan semakin
meningkatnya kerusakan padang lamun oleh aktivitas manusia (Waycott et al.
2009). Di Indonesia, belum banyak peran pemerintah dalam melindungi dan
mensosialisasikan peran padang lamun. Agar kerusakan dapat dikurangi dan fungsi
penting padang lamun dapat dioptimalkan untuk pembangunan nasional, maka
perlu pengelolaan yang tepat. Langkah awal dan fundamental untuk mengelola
padang lamun adalah dengan memahami informasi distribusi spasial dan temporal
dari sumberdaya alam padang lamun. Informasi tersebut dapat disajikan secara
efektif melalui peta.
Permasalahan utama di Indonesia adalah peta sumberdaya alam padang
lamun belum tersedia. Meskipun SNI Pemetaan Habitat Perairan Laut Dangkal
10
(SNI 7716: 2011) telah dibuat, namun belum pernah diimplementasikan, dan dalam
waktu dekat kemungkinan akan direview dan direvisi, terutama terkait skema
klasifikasi yang digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode
pemetaan sumberdaya alam padang lamun, yaitu keanekaragaman hayati spesies
lamun, menggunakan pendekatan penginderaan jauh, yang mencakup proses
pembuatan spectral library (pustaka spektral) spesies lamun, penyusunan skema
klasifikasi untuk pemetaan spesies lamun, dan prosedur pengolahan citra digital
untuk pemetaan spesies lamun. Dengan dilakukannya penelitian ini, hasilnya dapat
digunakan sebagai acuan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) dalam
meningkatkan kualitas SNI 7716:2011 pada saat proses revisi. Penelitian ini sejalan
dengan tujuan UGM dalam renstra dan peta jalan penelitian UGM, dimana UGM
mempunyai tujuan untuk menghasilkan produk penelitian yang menjadi rujukan
nasional yang berwawasan lingkungan dan responsif terhadap permasalahan
masyarakat, bangsa, dan negara yang berbasis pada nilai-nilai keunggulan lokal.
Tersedianya peta sumberdaya alam padang lamun nasional sangat
bermanfaat untuk:
1) National data inventory
2) Perlindungan, recovery dan rehabilitasi ekosistem dan habitat padang lamun
3) Sebagai dasar yang kuat dalam menyusun rencana zonasi dan tata ruang laut
4) Membantu proses perhitungan neraca sumberdaya alam padang lamun
5) Menjadi baseline kondisi sumberdaya alam padang lamun
6) Sarana untuk monitoring dan mengevaluasi dampak pengelolaan wilayah
7) Sarana untuk menjelaskan dan memahami hubungan antara proses dan
dinamika kondisi padang lamun dengan lingkungan serta
perubahan-perubahannnya
Sementara itu, dalam konteks pemetaan padang lamun menggunakan
penginderaan jauh, masih banyak sekali gaps of knowledge yang perlu dikaji,
diantaranya:
1) Teori dan konsep pemetaan padang lamun
2) Logika berpikir dibalik kemampuan data penginderaan jauh dalam
memetakan padang lamun
11
3) Sangat terbatasnya informasi respon spektral spesies lamun di wilayah tropis,
terlebih lagi spectral library nya
4) Kemampuan masing-masing citra satelit dalam memetakan spesies lamun
5) Metode dan prosedur yang dilengkapi dengan rentang akurasi yang
diharapakan
6) Skema klasifikasi spesies lamun yang cocok untuk diintegrasikan dengan
data penginderaan jauh berdasarkan respon spektralnya
Temuan dan inovasi yang ditargetkan melalui penelitian ini adalah: 1)
konsep dan logika berpikir tentang bagaimana sumberdaya alam spesies lamun
dapat diidentifikasi dan dipetakan melalui penginderaan jauh, dan 2) metode
pemetaan sumberdaya alam spesies lamun menggunakan teknologi penginderaan
jauh, yang mencakup spectral library, skema klasifikasi, dan prosedur pengolahan
citra digital. Temuan utama pada penelitian tahun kedua ini adalah skema
klasifikasi spesies lamun berbasis spektral yang dapat digunakan untuk pemetaan
menggunakan data penginderaan jauh. Spectral library, skema klasifikasi, dan
metode pemetaan sumberdaya alam padang lamun hasil penelitian ini akan
dipublikasikan pada jurnal internasional dan buku. Temuan dan inovasi ini akan
berpengaruh signifikan terhadap pengembangan keilmuan penginderaan jauh di
UGM karena ahli dan produk penginderaan jauh untuk aplikasi pesisir, terutama
terkait keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam biotik masih sangat terbatas.
Target capaian tahunan penelitian disajikan pada Tabel 1.1.
Tabel 1. 1 Rencana target capaian tahunan.
No Jenis Luaran Indikator Capaian
TS TS+1 TS+2
1 Publikasi ilmiah Internasional Submitted, reviewed Submitted, reviewed, accepted, published Submitted, reviewed, accepted, published Nasional terakreditasi Tidak ada Tidak ada Tidak ada 2 Pemakalah dalam
temu ilmiah
Internasional Sudah dilaksanakan
Tidak ada Sudah dilaksanakan Nasional Tidak ada Tidak ada Tidak ada 3 Invited speaker
dalam temu ilmiah
Internasional Tidak ada Tidak ada Tidak ada Nasional Tidak ada Tidak ada Tidak ada 4 Visiting Lecturer Internasional Tidak ada Tidak ada Tidak ada 5 Hak Kekayaan
Intelektual (HKI)
Paten Tidak ada Tidak ada Tidak ada Paten sederhana Tidak ada Tidak ada Tidak ada Hak cipta Tidak ada Tidak ada Tidak ada Merek dagang Tidak ada Tidak ada Tidak ada Rahasia dagang Tidak ada Tidak ada Tidak ada
12
Desain produk industri
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Indikasi geografis Tidak ada Tidak ada Tidak ada Perlindungan varietas
tanaman
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Perlindungan
topografi sirkuit terpadu
Tidak ada Tidak ada Tidak ada
6 Teknologi Tepat Guna Tidak ada Tidak ada Tidak ada 7 Model/Purwarupa/Desain/Karya
seni/Rekayasa Sosial
Tidak ada Tidak ada Tidak ada 8 Buku Ajar (ISBN) Tidak ada Draf Draf 9 Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) 2 3 3
13
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Pemetaan padang lamun di dunia telah cukup lama dilakukan menggunakan
pendekatan penginderaan jauh, antara lain pemetaan Percent Cover (Lyons et al.
2012; Roelfsema et al. 2014), Leaf Area Index/LAI (Wicaksono dan Hafizt, 2013),
Standing Crop/SC (Phinn et al. 2008), dan komposisi spesies (Phinn et al. 2008;
Wicaksono et al. 2017; Wicaksono and Lazuardi, 2018). Saat ini pemetaan padang
lamun telah dilakukan menggunakan data multispektral dan hiperspektral dan
dengan berbagai pendekatan, baik pemodelan empiris, semi empiris maupun
klasifikasi multispektral berbasis piksel dan berbasis objek (Hossain et al. 2015).
Pengukuran respon spektral spesies lamun juga telah dilakukan untuk spesies
Zostera capricorni, Posidonia australis, and Halophila ovalis (Fyfe, 2003) dan
Thalassia testudinum, Halodule wrightii, Syringodium filiforme (Thorhaug et al.
2007). Diantara spesies tersebut, hanya Halophila ovalis yang umum ditemukan di
Indonesia, sedangkan 11 spesies lain yang ditemukan di Indonesia belum pernah
dilakukan pengukuran respon spektralnya.
Skema klasifikasi khusus untuk pemetaan spesies lamun belum pernah
disusun di dunia, terutama terkait skema klasifikasi berbasis respon spektral. Sejauh
ini, skema klasifikasi untuk padang lamun digabungkan dengan skema klasifikasi
habitat bentik (Mumby dan Harborne, 1999; Wicaksono et al. 2013) dan tidak
dibangun berdasarkan respon spektral namun berdasarkan kondisi komposisi
habitat bentik insitu.
Meskipun demikian, implementasi pemetaan padang lamun di Indonesia
masih sangat minim. Hal ini ditunjukkan dengan sangat minimnya publikasi terkait
pemetaan padang lamun di Indonesia (Wicaksono dan Hafizt, 2013; Wicaksono dan
Kamal, 2017; Wicaksono et al. 2017; Wicaksono dan Lazuardi, 2018) dan belum
tersedianya peta sumberdaya alam padang lamun di Indonesia. Adanya SNI 7716:
2011 dan Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial No.8/2014 tentang
Pedoman Teknis Pengumpulan dan Pengolahan Data Geospasial Habitat Dasar
Perairan Laut Dangkal belum dapat secara efektif dan operasional menjawab
kebutuhan informasi spasial dan temporal padang lamun di Indonesia. Dengan
sangat bervariasinya pendekatan pemetaan padang lamun dan skema klasifikasi
14
yang tersedia, sangat penting untuk bisa memformulasikan metode yang paling
efektif dan efisiesn untuk diterapkan di Indonesia, dengan menyesuaikan kondisi
padang lamun dan ketersediaan sumberdaya pemetaan di Indonesia.
Hasil penelitian pada tahun pertama terkait spectral library spesies lamun
dijadikan dasar untuk membangun skema klasifikasi spesies lamun untuk data
penginderaan jauh, yang merupakan luaran utama penelitian tahun kedua. Hasil
penelitian tahun pertama menunjukkan bahwa spesies lamun dalam kondisi sehat
mempunyai respon spektral yang mirip, namun berbeda antara spesies lamun yang
sehat dan rusak (Wicaksono dan Kamal, 2017). Berdasarkan hasil penelitian
tersebut, beberapa citra satelit penginderaan jauh dengan resolusi spektral yang
berbeda dipilih untuk mewakili semua citra yang saat ini tersedia, yaitu citra
WorldView-2, Sentinel-2, dan Landsat 8 OLI. Citra WorldView-2 digunakan untuk
mewakili citra resolusi spasial tinggi dengan enam band multispektal saluran
tampak, Sentinel-2 digunakan untuk mewakili citra resolusi spasial menengah
dengan tiga band multispektal saluran tampak, Landsat 8 OLI digunakan untuk
mewakili citra resolusi spasial menengah dengan empat band multispektal saluran
tampak. Spesifikasi masing-masing citra tersebut ditampilkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2. 1 Karakteristik citra penginderaan jauh yang digunakan untuk mewakili skema klasifikasi citra multispektral.
WorldView-2 (2,4 m) Sentinel-2 (10 m) Landsat 8 OLI (30 m) Rentang (nm) Center (nm) Rentang (nm) Center (nm) Rentang (nm) Center (nm) 396-458 427 457,5 – 522,5 490 434,97 – 450,95 442,96 442-515 478 542,5 – 577,5 560 452,02 – 512,06 482,04 506-586 546 650,0 – 680,0 665 532,74 – 590,07 561,41 584-632 608 784,5 – 899,5 842 635,85 – 673,32 654,59 624-694 659 850,54 – 878,79 864,67 699-749 724 1566,50 – 1651,22 1608,86 765-901 833 2107,40 – 2294,06 2200,73 856-1043 949
Kegiatan pada tahun ketiga nantinya adalah melakukan formulasi metode
pemetaan dan evaluasi, yang rencananya akan dilakukan di beberapa Pulau kecil di
Indonesia apabila dana memungkinkan. Roadmap penelitian ini ditampilkan pada
Gambar 2.1.
15
Gambar 2. 1 Road map penelitian pemetaan sumberdaya alam padang lamun menggunakan konsep dan teknologi penginderaan jauh. Roadmap ini sejalan dengan renstra penelitian UGM 2017 – 2022 terkait inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang
16
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan dari penelitian skema PDUPT ini adalah mengembangkan metode
pemetaan sumberdaya alam padang lamun menggunakan pendekatan penginderaan
jauh, yang mencakup proses pembuatan spectral library (pustaka spektral) spesies
lamun, penyusunan skema klasifikasi pemetaan spesies lamun, dan prosedur
pengolahan citra digital untuk pemetaan spesies lamun.
Luaran penelitian ini sesuai dengan renstra, tujuan, prioritas serta tema
strategis riset UGM, dimana metode pemetaan sumberdaya alam spesies lamun ini
dapat menjadi rujukan nasional ketika digunakan sebagai masukan dalam SNI
pemetaan habitat perairan laut dangkal. Dalam renstra UGM, tujuan terkait bidang
penelitian adalah menjadikan UGM sebagai perguruan tinggi terbaik di Indonesia
dengan reputasi internasional melalui produk penelitian yang menjadi rujukan
nasional yang berwawasan lingkungan dan responsif terhadap permasalahan
masyarakat, bangsa, dan negara yang berbasis pada nilai-nilai keunggulan lokal. Ini
sejalan dengan visi riset UGM, yaitu terciptanya riset berkualitas dan berstandar
internasional yang mampu mengatasi permasalahan dan meningkatkan
kemandirian bangsa dan negara. Ini salah satunya dapat dicapai melalui penentuan
prioritas riset dan tema-tema strategis riset UGM. Penelitian ini menjawab
tantangan salah satu prioritas riset UGM yaitu terkait penyelamatan lingkungan
kritis dan tema strategis UGM terkait Kemaritiman.
Penelitian terkait tema Kemaritiman yang menjadi salah satu tema strategis
UGM saat ini masih sangat terbatas di UGM, sehingga penelitian ini sangat
signifikan dalam menjalankan dan menghidupkan tema strategis riset UGM.
Padang lamun yang menjadi objek kajian utama penelitian ini merupakan ekosistem
yang membutuhkan perhatian khusus karena luasannya semakin menurun dan
banyak sekali knowledge dan charisma gaps terkait ekosistem ini, sehingga perlu
perhatian khusus. Pengambilan tema padang lamun ini sejalan dengan prioritas riset
UGM terkait penyelamatan lingkungan kritis.
Kontribusi mendasar pada ilmu pengetahuan adalah sebuah konsep
pemetaan spesies lamun menggunakan penginderaan jauh, yang didalamnya berisi
penjelasan dan logika berpikir bagaimana sistem penginderaan jauh yang tanpa
17
melakukan kontak langsung dengan objek lamun mampu mengidentifikasi variasi
jenis spesiesnya. Pengembangan metode pemetaan spesies lamun ini diharapkan
dapat berkontribusi signifikan dalam updating SNI Pemetaan Habitat Perairan Laut
Dangkal untuk mendukung program pemerintah One Map Policy.
18
BAB 4. METODE PENELITIAN
Pengembangan skema klasifikasi spesies lamun untuk pemetaan
menggunakan penginderaan jauh merupakan tujuan dan luaran utama dari
penelitian pada tahun kedua. Survei lapangan dilakukan untuk mencari tambahan
spesies yang belum ditemukan saat survei tahun pertama serta menambah data
validasi untuk formulasi dan evaluasi metode pemetaan yang akan dilakukan pada
tahun ke-3.
4.1 Survei lapangan
Survei lapangan pada tahun kedua ini dilakukan di Pulau Parang, Kepulauan
Karimunjawa. Metode survei yang digunakan adalah 1) photo-quadrat untuk
mendapatkan informasi komposisi spesies lamun serta persentase tutupannya dan
2) photo-transect untuk mendapatkan informasi variasi habitat bentik secara umum,
yang nantinya digunakan sebagai input klasifikasi multispektral untuk
mendapatkan data masking padang lamun.
4.2 Skema klasifikasi berbasis pengukuran spektrometer
Pembuatan skema klasifikasi berbasis spektral murni dilakukan
menggunakan input dari spectral library yang dibangun pada penelitian tahun
pertama. Skema klasifikasi perlu dibangun agar dapat diketahui spesies lamun mana
yang dapat dibedakan secara spektral, dan apakah lamun sehat dapat dibedakan dari
lamun yang rusak. Analisis dendrogram diterapkan pada semua respon spektral
lamun tersebut. Skema klasifikasi berbasis spektral murni akan dibangun dari
respon spektral masing-masing spesies lamun. Output dari tahap ini adalah skema
klasifikasi ini ditujukan untuk citra hiperspektral.
4.3 Skema klasifikasi berbasis resolusi spektral citra
Saat ini, sumber data utama dalam pemetaan sumberdaya alam padang
lamun adalah citra penginderaan jauh multispektral. Keunggulan citra multispektral
dibanding citra hiperspektral adalah cakupan wilayah luas, harga relatif murah dan
mudah diperoleh, dan resolusi temporal lebih tinggi. Kelemahannya adalah,
19
resolusi spektralnya lebih rendah dibanding citra hiperspektral, sehingga skema
klasifikasi juga perlu dibangun secara khusus untuk citra multispektral. Proses ini
diawali dengan melakukan spectral downsampling (resampling) pada data spectral
library spesies lamun dengan menyesuaikan resolusi spektral masing-masing citra
multispektral, menggunakan filter function dari masing-masing citra multispektral.
Citra multispektral yang dipilih adalah Worldview-2, Sentinel-2, dan Landsat 8
OLI. Citra tersebut mampu mewakili berbagai citra penginderaan jauh
multispektral pada beberapa tingkatan resolusi spektral, serta berbagai tingkat
kedetilan informasi dan skala pemetaan. Analisis dendrogram dilakukan pada
respon spektral hasil resampling tersebut untuk memperoleh skema klasifikasi
spesies lamun bagi masing-masing citra multispektral.
20
BAB 5. HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
5.1 Survei lapangan
Hasil survei lapangan di Pulau Parang, Kepulauan Karimunjawa
menunjukkan bahwa tidak ada spesies baru yang ditemukan di wilayah tersebut.
Padang lamun di Pulau Parang di dominasi oleh spesies C. rotundata dan T.
hemprichii. Total sampel yang diperoleh adalah 1.604, dengan rincian seperti pada
Tabel 5.1. Sampel ini nantinya akan digunakan pada tahun ketiga bersama dengan
data hasil survei lapangan tahun ketiga untuk melakukan formulasi dan evaluasi
metode pemetaan sumberdaya alam padang lamun.
Tabel 5. 1 Rekapitulasi jumlah sampel hasil survei lapangan di Pulau Parang. *Detil dari variasi spesies lamun yang ditemukan ditampilkan pada Tabel 5.2.
Kelas habitat bentik Jumlah sampel klasifikasi
Jumlah sampel uji akurasi
Terumbu karang 461 337
Lamun* 195 194
Makro alga 68 45
Substrat terbuka (pasir, rubble,
batu) 176
156
Total 876 728
Detil variasi spesies lamun yang ditemukan saat survei lapangan di Pulau
Parang dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Tabel 5. 2 Variasi sampel spesies lamun yang ditemukan di Pulau Parang.
Spesies Jumlah sampel
klasifikasi
Jumlah sampel uji akurasi C. rotundata-Cr 78 89 C. serrulata-Cs 1 0 E. acoroides-Ea 11 7 Ea/Cr 8 9 H. ovalis-Ho 1 1 S. isoetifoleum-Si 1 1 Si/Cr 8 6 T. hemprichii-Th 44 40 Ea/Th 0 2 Ea/Th/Si 0 1 Ea/Cr/Si 0 1 Si/Th 2 1
21
Th/Cr 38 36
Th/Cr/Si 3 1
Total 195 194
5.1 Skema klasifikasi dari hasil pengukuran spektrometer
Skema klasifikasi yang dibangun berdasarkan hasil pengukuran
spektrometer disusun berdasarkan hasil analisis dendrogram yang dilakukan pada
penelitian tahun pertama. Hasilnya adalah dua level hierarki skema klasifikasi
spesies lamun. Pada level 1, hanya ada dua kelas yaitu 1) E. acoroides dan H. ovalis
dan 2) campuran spesies lainnya. Pada level 2, ada tiga kelas yaitu 1) E. acoroides
dan H. ovalis, 2) E. acoroides tertutup epifit dan T. hemprichii, dan 3) sisanya
masuk kelas campuran lainnya. Hasil ini menunjukkan bahwa pada level
hiperspektral sekalipun, mayoritas spesies lamun sulit dibedakan berdasarkan
respon spektralnya.
5.2 Skema klasifikasi untuk Citra WorldView-2
Skema klasifikasi untuk citra WorldView-2 dibangun dari analisis
dendrogram respon spektral spesies lamun hasil resampling ke resolusi spektral
WorldView-2. Hasilnya mirip dengan skema spesies lamun hasil pengukuran
spektrometer, yaitu dua level hierarki skema klasifikasi spesies lamun.
Perbedaannya adalah pada skema level 2, spesies C. rotundata masuk ke dalam
kelas bersama E. acoroides tertutup epifit dan T. hemprichii. Pada skema hasil
pengukuran spektrometer, kelas C. rotundata masuk ke dalam kelas campuran
lainnya.
5.3 Skema klasifikasi untuk Citra Sentinel-2
Skema klasifikasi spesies lamun untuk citra Sentinel-2 juga mempunyai dua
level hierarki, dan hasilnya pada kedua level sama dengan skema klasifikasi hasil
pengukuran spektrometer sebagai berikut: 1) kelas E. acoroides tergabung dengan
H. ovalis, 2) E. acoroides tertutup epifit tergabung dengan T. hemprichii, dan 3)
sisanya masuk kelas campuran Lainnya.
22
5.4 Skema klasifikasi untuk Citra Landsat 8 OLI
Skema klasifikasi spesies lamun untuk citra Landsat 8 OLI juga mempunyai
dua level hierarki dan komposisi spesies pada skema klasifikasinya sama dengan
skema klasifikasi hasil pengukuran spektrometer dan citra Sentinel-2.
Rekapitulasi skema klasifikasi spesies lamun hasil analisis dendrogram
pada pengukuran hasil spektrometer dan hasil resampling sesuai resolusi spektral
masing-masing citra multispektral dapat dilihat pada Tabel 5.3. Jika dibandingkan
dengan penelitian kami sebelumnya (Wicaksono dan Hafizt, 2013), skema
klasifikasi berbasis respon spektral yang dikembangkan pada penelitian ini cukup
mirip. Pada penelitian sebelumnya tersebut, skema klasifikasi dibangun
berdasarkan life-form dari spesies lamun yang diasumsikan berpengaruh terhadap
proses interaksi energi yang masuk ke kolom air dan berinteraksi dengan spesies
lamun. Hasilnya adalah skema klasifikasi dengan tiga kelas life-form yaitu 1) E.
acoroides (Ea), 2) E. acoroides bercampur dengan spesies yang tumbuh secara
horizontal seperti T. hemprichii, C. rotundata dan spesies lainnya yang tergabung
dalam kelas campuran lainnya (EaThCr), dan 3) Spesies yang tumbuh secara
horizontal atau kelas campuran lainnya (ThCr). Meskipun pendekatan yang
digunakan untuk mengembangkan skema klasifikasinya berbeda, secara tidak
langsung hasil penelitian ini juga mengkonfirmasi hasil penelitian sebelumnya
terkait skema klasifikasi spesies lamun yang dapat ideal untuk penginderaan jauh.
Tabel 5. 3 Skema klasifikasi spesies lamun. Ea- E. acoroides, Ho – H. ovalis, Ea-e – E. acoroides tertutup epifit, Th – T. hemprichii, Cr – C. rotundata.
Spektrometer WorldView-2 Sentinel-2A Landsat 8 OLI Level 1 Level 2 Level 1 Level 2 Level 1 Level 2 Level 1 Level 2
Ea/Ho Ea/Ho Ea/Ho Ea/Ho Ea/Ho Ea/Ho Ea/Ho Ea/Ho
Lainnya Ea-e/Th Lainnya
Ea-e/Th/Cr Others Ea-e/Th Lainnya Ea-e/Th
23
5.5 Hasil implementasi
Pada tahun kedua ini kami berhasil mempublikasikan salah satu hasil
implementasi pengukuran respon spektral dan spectral library spesies lamun yang
telah dikembangkan, untuk pemetaan spesies lamun menggunakan citra
penginderaan jauh, pada jurnal internasional Q1. Citra yang digunakan adalah citra
PlanetScope, dan spectral library spesies lamun digunakan sebagai pure
endmember dalam mendapatkan image fraction of seagrass species melalui proses
Linear Spectral Unmixing (LSU). Image fraction tersebut digunakan sebagai input
klasifikasi multispektral untuk pemetaan spesies lamun dan menghasilkan akurasi
paling tinggi dibandingkan dengan input lainnya seperti surface reflectance band,
Minimum Noise Fraction (MNF) band, dan Principle Component (PC) band. Detil
jurnal internasional tersebut adalah sebagai berikut:
Pramaditya Wicaksono, Wahyu Lazuardi. 2018. Assessment of PlanetScope
images for benthic habitat and seagrass species mapping in a complex optically
shallow water environment. International Journal of Remote Sensing, 39(17):
5739-5765. Special Issue: Fine Resolution Remote Sensing of Species in Terrestrial
and Coastal Ecosystems. https://doi.org/10.1080/01431161.2018.1506951
Naskah lain dengan judul “Analysis of reflectance spectra of tropical
seagrass species and their value for mapping using multispectral satellite images”
saat ini telah di submit pada International Journal of Applied Earth Observations
and Geoinformation.
24
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Rencana penelitian untuk tahun ketiga adalah:
1. Melakukan analisis dendrogram kembali dengan melibatkan spesies T.
ciliatum yang ditemukan di Pulau Nusa Lembongan. Pelibatan spesies T.
ciliatum pada analisis dendrogram untuk penyusunan skema klasifikasi
mungkin akan sedikit mengubah skema klasifikasi yang telah diperoleh saat
ini. Meskipun demikian, analisis respon spektral dan hasil resampling
spesies T. ciliatum tidak menunjukkan perbedaan signifikan dengan spesies
lain yang telah dianalisis sebelumnya.
2. Mempresentasikan hasil PDUPT tahun ke-1 dan ke-2 ini pada HyperMLPA
2019, pada 14 Juni 2019 di Belanda. Judul tentatif “Variations of seagrass
species reflectance spectra as the function of chlorophyll concentration
changes” Naskah yang akan dipresentasikan akan dipublikasikan pada
ISPRS Annals of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial
Information Sciences (ISI Thomson, Scopus).
3. Menunggu hasil review naskah jurnal dengan judul “Analysis of reflectance
spectra of tropical seagrass species and their value for mapping using
multispectral satellite images” yang saat telah di submit pada International
Journal of Applied Earth Observations and Geoinformation. Skema
klasifikasi untuk ketiga citra multispektral tersebut berada dalam dan akan
dipublikasikan melalui naskah tersebut.
4. Melakukan survei lapangan untuk mencari kemungkinan spesies lamun lain
yang belum ditemukan di Indonesia.
5. Uji coba metode pemetaan spesies lamun menggunakan penginderaan jauh
dengan studi area beberapa lokasi yang telah di survei pada penelitian tahun
ke-1, tahun ke-2 dan tahun ke-3.
6. Melakukan evaluasi metode yang dikembangkan dan dibandingkan dengan
metode konvensional yang selama ini digunakan.
7. Memformulasikan metode pemetaan spesies lamun menggunakan
penginderaan jauh.
25
8. Meneruskan draf buku pemetaan sumberdaya alam padang lamun
26
BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian tahun kedua ini adalah:
1. Meskipun secara spektral memiliki perbedaan, perbedaan utama dari respon
spektral spesies lamun ada pada intensitas pantulan spektralnya bukan pada
bentuk kurva spektralnya. Sehingga mayoritas spesies lamun sulit
dibedakan berdasarkan respon spektralnya.
2. Skema klasifikasi spesies lamun berdasarkan respon spektralnya adalah
pada level 1, hanya ada dua kelas yaitu 1) E. acoroides dan H. ovalis dan 2)
campuran lainnya. Pada level 2, ada tiga kelas yaitu 1) E. acoroides dan H.
ovalis, 2) E. acoroides tertutup epifit dan T. hemprichii, dan 3) sisanya
masuk kelas campuran Lainnya.
3. Skema klasifikasi hierarki spesies lamun yang diperoleh pada level
pengukuran spektrometer maupun pada level citra multispektral mirip.
Hanya skema klasifikasi level 2 pada citra WorldView-2 yang memiliki
perbedaan komposisi spesies dibandingkan hasil pengukuran spektrometer
maupun citra Sentinel-2 dan Landsat 8 OLI. Spesies C. rotundata masuk ke
dalam kelas E. acoroides tertutup epifit dan T. hemprichii.
4. Hasil implementasi awal menunjukkan bahwa penggunaan spectral library
spesies lamun untuk pemetaan spesies lamun menggunakan penginderaan
jauh menghasilkan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan input lain
yang selama ini sering digunakan.
7.2 Saran
1. Apabila dana dapat disetujui sesuai usulan, memungkinkan peneliti untuk
menjangkau wilayah padang lamun di bagian timur Indonesia, dimana
peluang untuk penemuan spesies lain cukup tinggi.
27
DAFTAR PUSTAKA
BIG. (2014). Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial No.8/2014 tentang
Pedoman Teknis Pengumpulan dan Pengolahan Data Geospasial Habitat
Dasar Perairan Laut Dangkal. Cibinong, Bogor: Badan Informasi
Geospasial.
BSN. (2011). SNI 7716:2011 Pemetaan Habitat Perairan Laut Dangkal. Jakarta:
BSN.
Costanza, R. R., d'Arge, R., de Groot, R., Farber, S., Grasso, M., Hannon, B., . . .
van den Belt, M. (1997). The value of the world’s ecosystem services and
natural capital. Nature, 387, 253-260.
Fyfe, S. K., & Dekker, A. G. (2001). Seagrass species: are they spectrally distinct?
Proceedings IEEE 2001 International Geoscience and Remote Sensing,
2746, pp. 2740-2742. Piscataway, NJ.
Goodman, J. A., Purkis, S. J., & Phinn, S. R. (2013). Coral Reef Remote Sensing A
Guide for Mapping, Monitoring and Management. (S. R. Phinn, Ed.)
Springer.
Green, E. P., & Short, F. T. (Eds.). (2003). World Atlas of Seagrasses. Los Angeles:
University of California Press.
Hossain, M. S., Bujang, J. S., Zakaria, M. H., & Hashim, M. (2015). The application
of remote sensing to seagrass ecosystems: an overview and future research
prospects. International Journal of Remote Sensing, 36(1), 61-113.
Laffoley, D., & Grimsditch, G. (2009). The management of natural coastal carbon
sinks. (G. Grimsditch, Ed.) Gland, Switzerland: IUCN.
Lyons, M. B., Phinn, S. R., & Roelfsema, C. M. (2012). Long term land cover and
seagrass mapping using Landsat and object-based image analysis from 1972
to 2010 in the coastal environment of South East Queensland, Australia.
ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing, 71, 34-46.
Mumby, P. J., & Harborne, A. R. (1999). Development of a systematic
classification scheme of marine habitats to facilitate regional management
and mapping of Caribbean coral reefs. Biology Conservation, 88, 155-163.
Nellemann, C., Corcoran, E., Duarte, C. M., Valdes, L., De Young, C., Fonseca, L.,
& Grimsditch, G. (2009). Blue Carbon. A Rapid Response Assessment. (G.
Grimsditch, Ed.) Birkeland, Norway: United Nations Environment
Programme, GRID-Arendal.
Nordlund, L. M., Koch, E. W., Barbier, E. B., & Creed, J. C. (2016). Seagrass
Ecosystem Services and Their Variability across Genera and Geographical
Regions. PLoS ONE, 11(10), e0163091. doi:10.1371/journal.pone.0163091
Phinn, S. R., Roelfsema, C. M., Brando, V., & Anstee, J. (2008). Mapping seagrass
species, cover and biomass in shallow waters: An assessment of satellite
multi-spectral and airborne hyper-spectral imaging systems in Moreton Bay
(Australia). Remote Sensing of Environment, 112, 3413–3425.
Roelfsema, C. M., Lyons, M., Kovacs, E. M., Maxwell, P., Saunders, M. I.,
Samper-Villarreal, J., & Phinn, S. R. (2014). Multi-temporal mapping of seagrass
cover, species and biomass: A semi-automated object based image analysis
approach. Remote Sensing of Environment, 150, 172–187.
28
Thorhaug, A., Richardson, A. D., & Berlyn, G. P. (2007). Spectral reflectance of
the seagrasses: Thalassia testudinum,Halodule wrightii, Syringodium
filiforme and five marine algae. International Journal of Remote Sensing,
28(7), 1487 - 1501.
Waycott, M., Duarte, C. M., Carruthers, T. J., Orth, R. J., Dennison, W. C.,
Olyarnik, S., . . . Williams, S. L. (2009). Accelerating loss of seagrasses
across the globe threatens coastal ecosystems. Proc Natl Acad Sci U S A
(pp. 12377-81). PNAS.
Wicaksono, P., & Hafizt, M. (2013). Mapping seagrass from space: Addressing the
complexity of seagrass LAI mapping. European Journal of Remote Sensing,
46, 18-39.
Wicaksono, P., & Kamal, M. (2017). Spectral response of healthy and damaged
leaves of tropical seagrass Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, and
Cymodocea rotundata. Proc. SPIE 10421, Remote Sensing for Agriculture,
Ecosystems, and Hydrology XIX, 104210L . Warsaw: SPIE.
Wicaksono, P., & Lazuardi, W. (2018). Assessment of PlanetScope Images for
Benthic Habitat and Seagrass Species Mapping in a Complex
Optically-Shallow Water Environment. International Journal of Remote Sensing,
39(17), 5739-5765. doi:https://doi.org/10.1080/01431161.2018.1506951
Wicaksono, P., Hafizt, M., & Ardiyanto, R. (2013). nitial Results of Remote
Sensing-based Benthic Habitat Classification Scheme Development of
Karimunjawa Islands. Prosiding Simposium Nasional Sains Geoinformasi
~ III 2013 (pp. 233-239). Yogyakarta: PUSPICS Fakultas Geografi UGM.
Wicaksono, P., Kumara, I. S., Kamal, M., Fauzan, M. A., Zhafarina, Z.,
Nurswantoro, D. A., & Yogyantoro, R. N. (2017). Multispectral
Resampling of Seagrass Species Spectra: WorldView-2, Quickbird,
Sentinel-2A, ASTER VNIR, and Landsat 8 OLI. IOP Conference Series:
Earth and Environmental Science. 98 (2017) 012039. Bristol, UK: IOP
Publishing. doi:10.1088/1755-1315/98/1/012039
29
LAMPIRAN
30
FORMULIR EVALUASI ATAS CAPAIAN LUARAN KEGIATAN
Ketua
: Dr. Pramaditya Wicaksono, M.Sc.
Perguruan Tinggi
: Universitas Gadjah Mada
Judul
: Pengembangan Konsep Dan Metode Pemetaan
Sumberdaya Alam Padang Lamun Menggunakan
Teknologi Penginderaan Jauh
Waktu Kegiatan
: tahun ke-2 dari rencana 3 tahun
Luaran yang direncanakan dan capaian tertulis untuk penelitian tahun kedua:
No
Luaran yang direncanakan
Capaian
1
Jurnal internasional 1 naskah
(submitted, reviewed, accepted,
published)
1 naskah berhasil published, dan 1
naskah berhasil submit. Total 2 naskah
dari target 1 naskah.
2
Pemakalah dalam temu ilmiah
internasional 1 kali
Tidak terlaksana karena waktu yang
tidak memungkinkan dan lebih fokus
pada penulisan naskah jurnal sehingga
bisa menyelesaikan 2 naskah jurnal.
Rencananya naskah baru akan di
presentasikan pada 14 Juni 2019 pada
HyperMLPA di Belanda.
3
Buku ajar ISBN (draf)
Draf
1. PUBLIKASI ILMIAH
Keterangan
ARTIKEL JURNAL KE-1
Nama jurnal yang dituju
International Journal of Remote sensing
Klasifikasi jurnal
Jurnal Nasional Terakreditasi/Jurnal
Internasional
Impact factor jurnal
1.7 (Q1)
Judul artikel
Assessment of PlanetScope images for benthic
habitat and seagrass species mapping in a
complex optically shallow water environment.
https://doi.org/10.1080/01431161.2018.1506951
Status naskah (diberi tanda √)
- Draf artikel
- Sudah dikirim ke jurnal
- Sedang ditelaah
- Sedang direvisi
- Revisi sudah dikirim ulang
- Sudah diterima
- Sudah terbit
√
Keterangan
31
Nama jurnal yang dituju
International Journal of Applied Earth
Observations and Geoinformation
Klasifikasi jurnal
Jurnal Nasional Terakreditasi/Jurnal
Internasional
Impact factor jurnal
4.2 (Q1)
Judul artikel
Analysis of reflectance spectra of tropical
seagrass species and their value for mapping
using multispectral satellite images
Status naskah (diberi tanda √)
- Draf artikel
- Sudah dikirim ke jurnal
√
- Sedang ditelaah
- Sedang direvisi
- Revisi sudah dikirim ulang
- Sudah diterima
- Sudah terbit
2. BUKU AJAR
Buku ke-1
Judul
: Pemetaan Spesies Lamun Menggunakan Penginderaan Jauh
Penulis
: Dr. Pramaditya Wicaksono, M.Sc.
Penerbit
: Status masih draf awal
3. PEMBICARA PADA PERTEMUAN ILMIAH (SEMINAR/SIMPOSIUM)
Ke-1
Nasional
Internasional
Judul Makalah
Variations of seagrass species
reflectance spectra as the function of
chlorophyll concentration changes
Nama Pertemuan Ilmiah
HyperMLPA
Tempat Pelaksanaan
Enschede, Belanda
Waktu Pelaksanaan
14 Juni 2019
- Draf makalah
√ (pembukaan submission Desember
2018)
- Sudah dikirim
- Sedang direview
- Sudah dilaksanakan
4. SEBAGAI PEMBICARA KUNCI (KEYNOTE SPEAKER)
Nasional
Internasional
- Bukti undangan dari Panitia -
-
- Judul Makalah
-
-
- Penulis
-
-
- Penyelenggara
-
-
- Waktu Pelaksanaan
-
-
32
- Draf makalah
-
-
- Sudah dikirim
-
-
- Sedang direview
-
-
- Sudah dilaksanakan
-
-
5. UNDANGAN SEBAGAI VISITING SCIENTIST PADA PERGURUAN
TINGGI LAIN
Nasional Internasional
- Bukti undangan
-
-
- Perguruan tinggi pengundang
-
-
- Lama kegiatan
-
-
- Kegiatan penting yang dilakukan -
-
6. CAPAIAN LUARAN LAINNYA
HKI
-
TEKNOLOGI TEPAT GUNA
-
REKAYASA SOSIAL
-
JEJARING KERJA SAMA
-
PENGHARGAAN
-
LAINNYA
-
Jika luaran yang direncanakan tidak tercapai, uraikan alasannya:
Luaran yang direncanakan relatif tercapai semuanya. Bahkan, berhasil
menyelesaikan dua naskah untuk jurnal internasional dimana salah satunya telah
berhasil terbit, yaitu pada International Journal of Remote Sensing (Q1). Naskah
lain telah di submit pada jurnal internasional bereputasi International Journal of
Applied Earth Observations and Geoinformation (Q1). Draf buku masih sangat
awal karena kami fokus dalam penulisan naskah jurnal internasional. Luaran
tambahan sebagai pemakalah pada seminar internasional pada tahun kedua ini tidak
kami lakukan karena kami fokus dalam menyelesaikan dua naskah jurnal
internasional. Rencananya hasil penelitian tahun kedua ini akan kita presentasikan
pada HyperMLPA di Enschede, Belanda pada 14 Juni 2019.
Yogyakarta, 7 November 2018
Ketua,
Full Terms & Conditions of access and use can be found at
http://www.tandfonline.com/action/journalInformation?journalCode=tres20
International Journal of Remote Sensing
ISSN: 0143-1161 (Print) 1366-5901 (Online) Journal homepage: http://www.tandfonline.com/loi/tres20
Assessment of PlanetScope images for benthic
habitat and seagrass species mapping in a
complex optically shallow water environment
Pramaditya Wicaksono & Wahyu Lazuardi
To cite this article: Pramaditya Wicaksono & Wahyu Lazuardi (2018) Assessment of
PlanetScope images for benthic habitat and seagrass species mapping in a complex optically shallow water environment, International Journal of Remote Sensing, 39:17, 5739-5765, DOI: 10.1080/01431161.2018.1506951
To link to this article: https://doi.org/10.1080/01431161.2018.1506951
Published online: 31 Aug 2018.
Submit your article to this journal
View Crossmark data
Assessment of PlanetScope images for benthic habitat and
seagrass species mapping in a complex optically shallow
water environment
Pramaditya Wicaksonoaand Wahyu Lazuardib
aRemote Sensing Laboratory, Department of Geographic Information Science, Faculty of Geography,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia;bCartography and Remote Sensing, Department of
Geographic Information Science, Faculty of Geography, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
ABSTRACT
This paper presents the first assessment of PlanetScope image for benthic habitat and seagrass species mapping in optically shallow water. PlanetScope image is equipped with ideal resolutions for benthic habitat and seagrass mapping including high-spatial resolu-tion (3 m), high radiometric resoluresolu-tion (12-bit), sufficient water pene-tration bands (Visible-Near-infrared) and very high temporal resolution (almost daily), which distinguishes it from other high spatial resolution images. It is necessary to assess the accuracy of this ideal system in a real-world benthic habitat and seagrass species mapping application. The optically shallow water of Karimunjawa Islands was selected as the study area. Two PlanetScope images acquired on 17 May 2017 and 15 August 2017 were tested as a control for the consistency of PlanetScope image accuracy. Several treatments were applied to both PlanetScope images including atmospheric correction, sunglint correction, Principle Component Analysis (PCA), Minimum Noise Fraction (MNF) and Linear Spectral Unmixing (LSU). Per-pixel classi fica-tion algorithms (including Maximum Likelihood– ML, Support Vector Machine– SVM, and Classification Tree Analysis – CTA) and Object-based Image Analysis (OBIA) were used to perform benthic habitat and seagrass species classification. Spectra-based classifications were also applied to classify seagrass species using seagrass species spectra as input endmember. The results indicated that PlanetScope images produced 47.13–50.00% overall accuracy (OA) for benthic habitat mapping consist of five classes (coral reefs, macroalgae, seagrass, bare substratum, dead coral) and 74.03–74.31% OA for seagrass spe-cies mapping consist offive seagrass species classes. The accuracy of PlanetScope images for benthic habitat and seagrass species mapping was comparable to other high spatial resolution images. The perfor-mance of PlanetScope images was also consistent, shown by the similar accuracy obtained from May and August image. The concern regarding PlanetScope image was the low Signal-to-Noise Ratio (SNR) over homogeneous areas such as optically deep water, which led to the failure of performing sunglint correction and obtaining higher accuracy. To conclude, with the very high temporal resolution, PlanetScope image is promising for monitoring the dynamics and changes of benthic habitat and seagrass species composition, and rapid assessment of extreme events impacts, especially in coastal areas with limited accessibility.
ARTICLE HISTORY
Received 28 December 2017 Accepted 27 July 2018
CONTACTPramaditya Wicaksono prama.wicaksono@ugm.ac.id
INTERNATIONAL JOURNAL OF REMOTE SENSING 2018, VOL. 39, NO. 17, 5739–5765
https://doi.org/10.1080/01431161.2018.1506951
1. Introduction
PlanetScope, as the newest high spatial resolution satellite imaging, is capable of recording earth’s surface area of 150 million km2 per day. According to Planet (2017), each PlanetScope satellite is a CubeSat 3U form factor (10 × 10 × 30 cm). The complete PlanetScope constellation is approximately 120 satellites. They will be able to produce satellite images of Earth surface everyday. PlanetScope satellite has a Sun-Synchronous orbit and an International Space Station (ISS) orbit with four visible bands (Red, Green, Blue, Near-infrared (NIR)), 3 m spatial resolution, 12-bit radiometric resolution, as well as having higher temporal resolution than other governmental or commercial satellites (approxi-mately 1 day) (Planet2017). With these characteristics, utilizing PlanetScope images for mapping applications has many advantages, especially in providing real-time information for understanding impacts in case of extreme weather and disaster event occurred. Based on its spatial resolution (3 m), it is capable of generating detailed information for large area, and from its very high temporal resolution, it is possible to obtain an image with the same recording date as thefield survey and high temporal monitoring effort.
Despite the specifications, assessment of PlanetScope image capability to map natural resources is still limited, primarily related to mapping underwater coastal resources such as benthic habitat including coral reefs and seagrass. Benthic habitat mapping is always a challenging application due to the limitation of remote-sensing sensors and benthic habitat environmental complexities (Hedley et al.2012). Seagrass species mapping using remote-sensing is also a challenging task because reflectance recorded by remote-sensing is not only from the seagrass but also from the sunglint, water column, and atmospheric disturbance. Hence, the variation of seagrass reflectance is not only due to the variation of seagrass object in thefield, i.e., species, biomass, but also due to the variation of atmo-spheric condition, sunglint and water column condition. It was shown by the variety of results and accuracies of previous works (Phinn et al.2008; Lyons, Phinn, and Roelfsema 2011; Roelfsema et al. 2014; Hedley et al. 2017). There are various image processing methods applied to perform benthic habitat mapping including the application of image radiometric corrections (atmospheric, sunglint, water-column), image transforma-tion (Principle Component Analysis – PCA, Minimum Noise Fraction – MNF), and image classifications (Object-based Image Analysis – OBIA, per-pixel classification algorithms) (Green et al. 2000; Lyons, Phinn, and Roelfsema 2011; Phinn, Roelfsema, and Mumby 2012; Goodman, Purkis, and Phinn 2013). The variations of these image processing approach to perform benthic habitat and seagrass species mapping lead to the variation of the obtained accuracy. For instance, Phinn et al. (2008) reported a very low accuracy of seagrass species mapping (7 classes, <30%) when using per-pixel classification, mean-while, Roelfsema et al. (2014) produced much higher accuracy of seagrass species map using OBIA (5 class, >60%) although the accuracy difference is partially affected by the difference in the seagrass species classification scheme. The variety of classification scheme used by different researchers also determines the accuracy of the result. Also, seagrass habitat complexity of the study area and the suitability of remote-sensing image used to capture the variation of benthic habitat and seagrass species in situ also control the accuracy. Thus, it is necessary to seek understanding whether PlanetScope image can follow the success of its predecessors such as WorldView-2, IKONOS, and Quickbird (Phinn, Roelfsema, and Mumby2012; Roelfsema et al.2014).
PlanetScope image needs to be evaluated for benthic habitat and seagrass species mapping because its specification may address several issues encountered when using the existing satellite images, i.e., the delay between image acquisition andfield survey, high temporal resolution images for monitoring routines and for rapid assessment during extreme events. The successful use of PlanetScope image for benthic habitat and seagrass species mapping will have a positive impact, since its high temporal resolution will be very beneficial for monitoring the dynamics and changes of benthic habitat and seagrass, and rapid assessment of extreme events, especially in coastal areas with limited accessibility. This work is part of the Planet Education and Research program (PlanetTeam2017).
This paper presents the first assessment of PlanetScope multi-temporal images for mapping benthic habitat and seagrass species in complex optically shallow water of Karimunjawa Islands, Indonesia. Benthic habitats provide various ecosystem services which are ecologically and economically important (Kritzer et al. 2016). Benthic habitat map is strongly required for rapid assessment of habitat health and responses to stress, conservation and management of coral reefs ecosystem, and habitat types inventory and their dynamics (Zhang et al. 2013). Management and monitoring of seagrass species biodiversity require spatial information on a detailed-scale (Bell, Fonseca, and Stafford 2006; Kenworthy et al.2006). Seagrass species have an important role in the preservation of the biodiversity of coastal ecosystems (Larkum, Orth, and Duarte2006), as they provide various ecosystem services as reviewed by Duffy (2006) and Nordlund et al. (2016). They found out that Enhalus acoroides beds provide habitat for fish and marine invertebrate, nursery ground, food for human, carbon sequestration, sediment stabilization, and coastal protection. Meanwhile, Thalassia hemprichii and Cymodocea rotundata can also be used as compost fertilizer in addition to providing the function similar to Enhalus acoroides. Therefore, seagrass species mapping is necessary to map the unique ecosystem services provided by different seagrass species. As a consequence, mapping and monitoring of benthic habitat and seagrass biodiversity on a detailed-scale is a vital component in the management and monitoring of coastal area (Green et al.2000). Understanding seagrass species spatial distribution can also be related to the appearance of specific marine biotas such as sea turtle and dugong. One of the best options to address these issues is to utilize multispectral remote-sensing system that provides an effective and efficient data source to map coastal resources, especially seagrass species biodiversity. The utilization of remote-sensing images to map seagrass species is limited to high spatial resolution and limited to optically shallow coastal water (Mumby and Green2000; McKenzie, Finkbeiner, and Kirkman2001; Dekker et al.2006; Phinn et al.2008; Hossain et al.2015). Furthermore, remote-sensing approach can be used to assess temporal changes of seagrass species composition, which can be used as a basis for monitoring the dynamics of seagrass coverage and calculate the richness and biodiversity of seagrass species.
2. Study area and data
2.1. Study area
We selected several islands in Karimunjawa Islands as the study area. These islands are Karimunjawa Island, Kemujan Island, Menjangan Besar Island, Menjangan Kecil Island,
Gosong Island, and Cilik Island (Figure 1). The condition of benthic habitat in Karimunjawa Islands is relatively stable and protected since it is under the authority of Karimunjawa National Park since 1999. Different types of reef morphology are present in Karimunjawa Islands. Reef Flat, Reef Cut, Fore Reef, Bank/Shelf, and Escarpment are commonly found in Karimunjawa Island, Menjangan Besar Island, Menjangan Besar Island, Gosong Island and Cilik Island. Kemujan Island has all the aforementioned types of reef morphology with the addition of shallow Lagoon and Back Reef. Karimunjawa Islands also shelter a high ecological-diversity of benthic habitat composi-tion (Wicaksono 2016). Based on our bathymetry model, the sunlight may penetrate water up to the depth of 17.6 m (Wicaksono2010), however, the optically shallow water
Figure 1.Photo-transect samples distribution from thefield survey conducted on 8–13 April 2017 and 11–16 August 2017 (overlaid on PlanetScope image recorded on 15 August 2017).
where the seafloor is still effectively visible from the remote-sensing image is only up to the depth of 11.6 m (Wicaksono2015). Therefore, we only effectively mapped optically shallow water up to the depth of 11.6 m.
2.2. Image data
Two PlanetScope images at the 3B level were used in this research (Table 1). We obtained the images for free as this work is part of Planet Education and Research program (PlanetTeam 2017). PlanetScope 3B level image is an Ortho Scene Product, which is orthorectified, and the pixel value is scaled to Top-of-Atmosphere (TOA) radiance (at-sensor). This product has scene-based framing and projected to a Universal Transverse Mercator (UTM) cartographic projection (Planet 2017). The use of two PlanetScope images was necessary as a control for radiometric quality variations of PlanetScope images so that the conclusion regarding the performance of PlanetScope images is not only by chance (which is may be due to the radiometric quality of a single image) but justified by more than one image. Presently, Planet made the surface reflec-tance (SR) product available (Collison and Wilson 2017), and thus, the orthorectified PlanetScope images no longer need atmospheric correction. However, by the time we performed this research, the SR image product is not yet available. The date of image acquisition for both PlanetScope images was 17 May 2017 and 15 August 2017 respec-tively. These images were the best images recorded closest to the date of field survey. Image acquired exactly at the date offield survey, especially for the survey conducted in April 2017, was not usable due to severe cloud issue covering the benthic habitats.
2.3. Field data
Thefield surveys were conducted in 8–13 April 2017 and 11–16 August 2017 (Figure 1). Benthic habitat and seagrass species data were collected in thefield using photo-transect method to obtain underwater photos of benthic habitats and seagrass species composi-tion (Roelfsema and Phinn2009). In short, the surveyor swims and took underwater photo in constant interval every two paddles. The Garmin 78s Global Positioning System (GPS) carried by the surveyor was set in tracking mode and recorded the coordinate of the surveyor every three seconds. Afterward, each photo was given a UTM coordinate based on the time-match between photo and GPS recording. The locations of the photo-transect survey were selected based on the variation and representativeness of benthic habitats and seagrass species as observed from the image and based on our experience Table 1.Specification of the two PlanetScope images including the reflectance coefficient used to convert the Digital Number (DN) into Top-of-Atmosphere (TOA) reflectance. The PlanetScope images were already orthorectified and projected to a cartographic projection, sensor corrections applied, and the pixel value is scaled to TOA radiance (at sensor). Since we obtained the image via GUI not API, the PlanetScope images were obtained at DN level.
Band Band range (nm) Reflectance Coefficient (17 May 2017) Reflectance Coefficient (15 August 2017)
Blue 455– 515 2.28474870169 x 10−5 2.24233633246 x 10−5
Green 500– 590 2.42001840134 x 10−5 2.37002630646 x 10−5
Red 590– 670 2.69511032799 x 10−5 2.64415939736 x 10−5
Near-Infrared 780– 860 4.05633512782 x 10−5 3.95124472761 x 10−5 INTERNATIONAL JOURNAL OF REMOTE SENSING 5743