• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2003).

Ada 6 (enam) tingkatan pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif, yaitu:

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari keseluruhan bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya. b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

(2)

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2003).

2.2. Keadaan Gawat Darurat 2.2.1. Definisi

Kejadian gawat darurat dapat diartikan sebagai keadaan dimana seseorang membutuhkan pertolongan segera karena apabila tidak mendapatkan pertolongan dengan segera maka dapat mengancam jiwanya atau menimbulkan kecacatan.

Penatalaksanaan awal dalam kegawatdaruratan merupakan aplikasi terlatih dari prinsip-prinsip penanganan pada saat terjadinya kecelakaan atau dalam kasus-kasus penyakit mendadak dengan menggunakan fasilitas-fasilitas atau benda-benda yang tersedia pada saat itu. Hal ini merupakan metode penanganan yang telah diuji sampai korban dipindahkan ke Rumah Sakit atau lokasi dimana

(3)

Penatalaksanaan awal diberikan untuk : 1. Mempertahankan hidup

2. Mencegah kondisi menjadi lebih buruk 3. Meningkatkan pemulihan

Seseorang yang memberikan penatalaksanaan awal harus : 1. Mengkaji sesuatu

2. Memnentukan diagnosis untuk setiap korban

3. Memberikan penanganan yang cepat dan adekuat, mengingat bahwa korban mungkin memiliki lebih dari satu cedera dan beberapa korban akan membutuhkan perhatian dari pada yang lain

4. Tidak menunda pengiriman korban ke Rumah Sakit sehubungan dengan kondisi serius

Penatalaksanaan awal tersebut dimulai dengan melakukan survey awal (primary survey).

2.2.2. Primary Survey

Penatalaksanaan awal pada primary survey dilakukan pendekatan melalui ABCDE yaitu :

A:Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical spinecontrol) B: Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi

C: Circulation dengan kontrol perdarahan (hemorrage control) D: Disability, status neurologis

E: Exposure/environmental control, membuka baju penderita, tetapi cegah hipotermia

2.2.2.1. Airway

Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan

membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat darurat, oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur manibula atau maksila, fraktur laring atau

(4)

trakea. Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan-lahan dan sebagian, dan progresif dan/atau berulang. Menurut American Collage of

Surgeon, 2004, Kematian-kematian dini karena masalah airway seringkali masih

dapat dicegah, dan dapat disebabkan oleh :

1. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway 2. Ketidakmampuan untuk membuka airway

3. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru 4. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang

5. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi 6. Aspirasi isi lambung

Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan oksigenasi. Jika pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya, patensi jalan nafas harus dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi, chin

lift, jaw thrust, atau melakukan penyisipan airway orofaringeal serta nasofaringeal

(Walls, 2010). Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal. Dalam hal ini dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian terhadap airway harus tetap dilakukan. Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale sama atau kurang dari biasanya memerlukan pemasangan airway definitif. Adanya gerakan motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway definitif. Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat dengan segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift

maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah ke arah depan (jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan airway orofaringeal

(oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal airway). Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu, selama melakukan

(5)

prosedur-prosedur ini harus dilakukan imobilisasi segaris (in-line immobilization) (American Collage of Surgeon, 2004).

Teknik-teknik mempertahankan airway : 1. Head tilt

Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal, kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara intermittena (Alkatiri, 2007). Namun, pada korban yang dicurgai mengalami fraktur pada daerah servikal, maneuver ini tidak boleh dilakukan.

2. Chin lift

Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal.

(6)

Gambar 2.1. Head-tilt, chin-lift maneuver (sumber : European

Resusciation Council Guidelines for Resusciation 2010). 3. Jaw thrust

Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada

mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula

sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati molar pada maxila (Arifin, 2012).

(7)

Gambar 2.2. Jaw-thrust maneuver (sumber : European Resusciation

Council Guidelines for Resusciation 2010).

2.2.2.2. Breathing

Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan O2 kontinu untuk menunjang untuk menunjang reaksi-reaksi kimia yang menghasilkan energi, yang menghasilkan CO2 yang harus dikeluarkan secara terus-menerus (Sherwood, 2002). Kegagalan dalam oksigenasi akan menyebabkan hipoksia yang diikuti oleh kerusakan otak, disfungsi jantung, dan akhirnya kematian (Hagberg, 2005). Pada keadaan normal, oksigen diperoleh dengan bernafas dan diedarkan dalam aliran darah ke seluruh tubuh (Smith, 2007).

Airway yang baik tidak dapat menjamin pasien dapat bernafas dengan baik pula

(8)

penting untuk pemberian oksigen. Oksigenasi yang memadai akan menunjukkan pengiriman oksigen yang sesuai ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolik, efektivitas ventilasi dapat dinilai secara klinis.

Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik

bag-valve-face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif apabila

dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang baik (American Collage of Surgeon, 2004). Cara melakukan pemasangan face-mask (Arifin, 2012):

1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh

2. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran)

3. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)

4. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka

5. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien

6. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan

7. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama)

8. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)

9. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang

bag (kantong) reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag)

Apabila pernafasan tidak membaik dengan terbukanya jalan nafas, penyebab lain harus dicari. Penilaian harus dilakukan dengan melakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi pada toraks.

(9)

Buka leher dan dada sambil menjaga imobilisasi leher dan kepala. Tentukan laju dan dalamnya pernafasan. Inspeksi dan palpasi leher serta toraks untuk mencari apakah terdapat deviasi trakea, distensi vena leher, ekspansi toraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan, dan tanda-tanda cedera. Perkusi toraks untuk menentukan redup atau hipersonor

Penilaian tersebut dilakukan untuk menilai apakah terdapat keadaan-keadaan seperti tension pneumothorax, massive haemothorax, ataupun open

pneumothorax dimana keadaan tersebut harus dapat dikendalikan pada saat

dilakukannya primary survey. Bila ditemukan keadaan-keadaan tersebut, maka resusitasi yang dilakukan adalah :

1. Berikan oksigen dengan kecepatan 10-12 L/menit

2. Tension pneumothorax : Needle insertion (IV Cath. No. 14) di ICR 2 linea midclavicularis

3. Massive haemothorax : Pemasangan Chest Tube

4. Open pneumothorax : Luka ditutup dengan kain kasa yang diplester pada tiga sisi (flutter-type valve effect)

2.2.2.3. Circulation

Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma (Dolan, Holt, 2008). Oleh karena itu penting melakukan penilaian dengan cepat status hemodinamik dari pasien, yakni dengan menilai tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi (American Collage of Surgeon, 2004).

a. Tingkat kesadaran

Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.

b. Warna kulit

Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemia.

c. Nadi

Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan a. karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.

(10)

Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat kita dapat memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi (Haffen, Karren, 1992):

1. Jika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan darah minimal 80 mmHg sistol

2. Jika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah minimal 70 mmHg sistol

3. Jika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah minimal 70 mmHg sistol

4. Jika teraba pulsasi pada arteri carotid, maka tekanan darah minimal 60 mmHg sistol

Bila tidak teraba nadi di arteeri carotid selama 5-10 detik, maka pijat jantung harus segera dilakukan untuk membantu jantung memopa darah ke seluruh tubuh. Cara melakukan pijat jantung adalah sebagai berikut (Eropean Resucitation Council, 2010) :

1. Penolong berada di sisi korban

2. Letakkan tumit satu tangan pada bagian tengah dada korban 3. Letakkan tumit tangan yang lain di atas tangan yang pertama 4. Pastikan tangan lurus

5. Posisikan badan anda tegak lurus di atas dada korban dan tekan di atas dada tersebut dengan kedalaman minimal 5 cm (tetapi tidak lebih dari 6 cm)

6. Setelah masing-masing kompresi, bebaskan tekanan di dada tanpa mengangkat tangan dari tulang dada; ulangi dengan kecepatan minimal 100 kali per menit (tetapi tidak lebih dari 120 kali per menit)

7. Tekanan dan pembebasan tekanan harus dalam jangka waktu yang sama

(11)

8. Lakukan kompresi dilanjutkan dengan pemberian nafas bantuan dengan perbandingan 30 : 2 (30 kali pijat jantung, 2 kali nafas bantu)

2.2.2.4. Disability

Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tanda-tanda lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal (American

Collage of Surgeon, 2004). Cara cepat dalam mengevaluasi status neurologis

yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan GCS (Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis, dan dapat dilakukan pada saat survey sekunder (Jumaan, 2008). AVPU, yaitu:

A : Alert

V : Respon to verbal P : Respon to pain U : Unrespon

GCS (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana untuk menilai tingkat kesadaran pasien.

1. Menilai “eye opening” penderita (skor 4-1) Perhatikan apakah penderita :

a. Membuka mata spontan

b. Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau dibangunkan

c. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan menekan ujung kuku jari tangan)

d. Tidak memberikan respon

2. Menilai “best verbal response” penderita (skor 5-1) Perhatikan apakah penderita :

a. Orientasi baik dan mampu berkomunikasi b. Disorientasi atau bingung

(12)

c. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat d. Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya) e. Tidak memberikan respon

3. Menilai “best motor respon” penderita (skor 6-1) Perhatikan apakah penderita :

a. Melakukan gerakan sesuai perintah b. Dapat melokalisasi rangsangan nyeri c. Menghindar terhadap rangsangan nyeri d. Fleksi abnormal (decorticated) e. Ektensi abnormal (decerebrate) f. Tidak memberikan respon

Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek kesadaran). Penurunan tingkat kesadaran perlu diperhatikan pada empat kemungkinan penyebab (Pre-Hospital Trauma Life Support Committee, 2002) :

1. Penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak 2. Trauma pada sentral nervus sistem

3. Pengaruh obat-obatan dan alkohol 4. Gangguan atau kelainan metabolic

2.2.2.5. Exposure

Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi.

(13)

2.3. Blok Emergency Medicine

2.3.1. Latar Belakang Blok Emergency Medicine

Secara klinis kegawatan merupakan suatu keadaan dimana seseorang berada dalam keadaan kritis dan jika tidak dilakukan suatu usaha atau tindakan akan menyebabkan kematian. Misi dari Emergency Medicine meliputi evaluasi, tatalaksana, pengobatan dan pencegahan penyakit dan cedera yang tidak diharapkan.

Perawatan gawat darurat (emergency) senantiasa berkembang. Berbagai teknik mutakhir telah dilakukan untuk meningkatkan ketahanan hidup (survival

rate), dan pemahaman fisiologi yang lebih baik telah membawa pada pengobatan

yang baru dan lebih baik.

Kegawatan membutuhkan pemikiran dan tindakan yang cepat dan luas. Setiap dokter umum harus terlatih dan siap secara intelektual maupun emosi untuk berhadapan dengan setiap kegawatan. Dalam blok emergency mahasiswa dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mampu menghadapi kegawatan. Mahasiswa diharapkan akan memiliki kepekaan terhadap keadaan krisis (sense of crisis) sehingga mampu mengenali kegawatan dan segera memberikan tindakan yang tepat.

Blok Emergency Medicine dibagi dalam dua tahap, yaitu Blok Emergency

Medicine – 1 dan Blok Emergency Medicine – 2 yang masing-masing terdiri dari

3 SKS, dilaksanakan selama 9 (sembilan) minggu.

Tujuan umum blok ini, membekali mahasiswa dengan pengetahuan dan keterampilan dalam menilai pasien kritis, melakukan tindakan pendahuluan dan merujuk ke konsultan/ institusi yang sesuai (Medical Education Unit, 2014).

2.3.2. Tujuan Blok Emergency Medicine

Setelah menyelesaikan blok Emergency Medicine ini, mahasiswa diharapkan mampu :

(14)

1. berkomunikasi efektif baik verbal maupun nonverbal secara santun dalam upayanya mengelola pasien dengan masalah kegawatdaruratan dengan mengintegrasikan penalaran klinis dan biomedis sehingga menunjang terciptanya kerja sama yang baik antara dokter dengan pasien, keluarga, komunitas, dalam penanganan masalah gawat darurat. 2. melakukan penilaian dan pemeriksaan fisik yang lengkap dengan teknik

yang tepat serta mencatat riwayat penyakit secara lengkap dan kontekstual.

3. menjelaskan semua prosedur klinik rutin dan menganalisis data sekunder pasien gawat darurat dengan mengintegrasikan ilmu biomedik dan ilmu klinik.

4. memilih berbagai prosedur klinik, laboratorium, dan penunjang lain dan menafsirkan hasilnya.

5. melakukan tindak pencegahan dan tindak lanjut dalam tata laksana masalah gawat darurat dengan mempertimbangkan keterbatasan ilmu dalam diagnosis maupun tata laksananya.

6. peka terhadap tata nilai pasien dan mampu memadukan pertimbangan moral dan pengetahuan/keterampilan klinisnya dalam memutuskan masalah etik yang berkaitan dengan kegawatdaruratan.

7. mengembangkan ketertarikan dalam melakukan riset yang berkaitan dengan masalah-masalah kegawatdaruratan.

2.4. Seminar dan Workshop Basic Life Support

2.4.1. Definisi Seminar dan Workshop Basic Life Support

Seminar adalah sebuah pertemuan khusus yang memiliki teknis dan akademis yang tujuannya untuk melakukan studi menyeluruh tentang suatu topik tertentu dengan pemecahan suatu permasalahan yang memerlukan interaksi di antara para peserta seminar yang dibantu oleh seorang guru besar ataupun cendikiawan.

(15)

Bantuan hidup dasar (Basuc life support) adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga jalan napas (airway) tetap terbuka, menunjang pernapasan dan sirkulasi dan tanpa menggunakan alat-alat bantu (Soerianata, 1996).

Bantuan hidup dasar adalah tindakan darurat untuk membebaskan jalan napas, membantu pernapasan dan mempertahankan sirkulasi darah tanpa menggunakan alat bantu (Alkatiri, 2007).

2.4.2. Tujuan Seminar dan Workshop Basic Life Support

Seminar dan Wokrshop Basic Life Support ditujukan untuk membahas bantuan hidup dasar mulai dari definisi hingga aplikasinya di kehidupan sehari-hari dalam waktu yang cenderung singkat.

Gambar

Gambar 2.1. Head-tilt, chin-lift maneuver (sumber : European  Resusciation Council Guidelines for Resusciation 2010)
Gambar 2.2. Jaw-thrust maneuver (sumber : European Resusciation  Council Guidelines for Resusciation 2010)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Zulkifli (2003) menyimpulkan bahwa kandungan hara (fosfat, amonium dan nitrat nitrit) dalam air poros (air pori sedimen) di

Hasil  output  di  atas  menunjukkan  bahwa  model  kubik  dan  kuadratik  lebih  tepat  diterapkan  kepada  model  hubungan  antar  variabel  yang 

[r]

antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan metode kooperatif, metode ceramah dan pemberian tugas.. Artinya, pada taraf signifikansi 5% tidak terdapat

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karakteristik yang berkaitan dengan penggunaan media pembelajaran program power point dan hasil belajar siswa dengan anggota

Namun, agar Anda dapat menceritakan pengalaman Anda secara sistematis dan terperinci, buatlah sebuah catatan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman yang akan

Diduga penggunaan lanjaran jaring yang dipasang menyerupai pagar dan penggunaan mulsa plastik hitam perak mempengaruhi pertumbuhan tunas apikal tanaman mentimun hal

Jika produk uji dalam bentuk sediaan yang sama tetapi berbeda kekuatan, dan mempunyai proporsi zat aktif dan inaktif yang persis sama atau untuk zat aktif yang sangat