• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN Latar Belakang

Internet sudah menjadi alat komunikasi yang tak terhindarkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat dari jumlah pengguna internet di Indonesia yang sudah mencapai 88,1 juta orang dimana 49% diantaranya berusia 18-25 tahun (APJII, 2014). Peningkatan ini terjadi salah satunya disebabkan karena mahasiswa menggunakan internet sebagai alat utama pembelajaran (Young, 2004). Jumco & Cotton (2011) menyatakan bahwa internet digunakan untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan tugas, sebagai media komunikasi dengan teman sekelas guna mendiskusikan tugas yang sedang dikerjakan. Semakin banyaknya pengguna smartphone yang didukung dengan akses internet yang semakin cepat, mudah dan murah secara tidak langsung memberikan aspek berbagai peluang terhadap bentuk kegiatan cyberloafing.

Dalam dunia kerja, menurut Robbins dan Judge (2008), cyberloafing adalah tindakan individu yang menggunakaan akses internet lembaganya selama jam kerja untuk kepentingan pribadi dan aktivitas-aktivitas internet lainnya yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Sedangkan penelitian Prasad, Lim, dan Chen (2010) menemukan bahwa fenomena mahasiswa di perguruan tinggi yang menggunakan akses internet kampus untuk kepentingan pribadi selama jam kuliah. Hal tersebut didukung hasil penelitian Yasar & Yardugul (2013), bahwa ada kecanduan perilaku cyberloafing di perguruan tinggi di Turki. Perilaku cyberloafing di perguruan tinggi berupa mengakses facebook, twitter, game online, menerima pesan, dan aktivitas internet lainnya yang tidak terkait dengan materi pembelajaran (Yasar & Yurdugul, 2013).

Pada penelitian ini, fokus penelitian yaitu mendeteksi perilaku cyberloafing dalam ruang lingkup akademik di perguruan tinggi, yaitu mahasiswa. Cyberloafing dalam dunia pendidikan adalah perilaku menggunakan internet di lingkungan belajar untuk kepentingan pribadi yang tidak terkait dengan tugas di kelas (Geokçearslan et al., 2016; Lim,2002; Lavoie & Pychyl, 2001). Sebagian besar orang menggunakan internet sebagai pengalih dari tujuan mereka (Richard, Gordon dan Flett, 2002). Salah satu ciri penting cyberloafing yaitu bahwa motif melakukan cyberloafing adalah untuk menghindari tugas dan menjelajahi hal yang

(2)

2

lebih disenangi di internet (Blanchard & Henle, 2008) dibandingkan dengan kebutuhan beristirahat untuk mengembalikan tenaga dan mengembalikan konsentrasi kembali (O’Neil, Hambley & Chatellier, 2014). Cyberloafing dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mendorong mahasiswa menggunakan internet untuk kepentingan pribadi (O’Neill, Hambley, & Chatellier, 2014). Penelitian yang dilakukan Lavoie & Pychyl (2011) menemukan bahwa cyberloafing sudah menjadi bagian dari kehidupan mahasiswa. Mahasiswa yang membawa laptop ke kelas duapertiga kali lebih rentan melakukan cyberloafing (Ragan et al. 2014).

Ditemukan pula penelitian terdahulu tentang cyberloafing berkaitan dengan performa mahasiswa (Ravizza et al., 2014). Cyberloafing yang dilakukan mahasiswa mengalihkan perhatian dari aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar di kelas (Gerow et al., 2010), sehingga nilai ujian yang didapatkan mahasiswa menjadi rendah (Ravizza et al., 2014). Hasil yang ditemukan Meier et al., (2016) menemukan bahwa melakukan cyberloafing (seperti menggunakan facebook di kelas) dapat menurunkan hasil akademis mahasiswa. Menurut Geokçearslan et al., (2016) jika cyberloafing di kelas dilakukan dengan menggunakan smartphone, maka akan berisiko lebih tinggi untuk mengalami smartphone addiction. Hasil penelitian Tindell & Bohlander (2012) menyatakan bahwa mahasiswa menggunakan smartphone mereka untuk mengakses internet ketika mereka di kelas.

Pertimbangan pemilihan tatanan amatan di Salatiga karena mewakili karakteristik dari populasi masyarakat yang familier dengan era online dan juga kebutuhan terhadap berbagai informasi melalui akses internet sehingga hal ini diidentifikasi dengan kelompok mahasiswa. Di sisi lain, Salatiga memiliki sejumlah perguruan tinggi dan keberadaan UKSW merupakan salah satu perguruan swasta terbesar sehingga alasan pemilihan sampel dari FEB UKSW diharapkan dapat mewakili karakteristik populasi tersebut. Pemilihan mahasiswa sebagai responden mewakili karakteristik tentang gambaran perilaku cyberloafing dan memiliki intensitas bagi pemenuhan kebutuhan terhadap berbagai informasi dengan menggunakan gadget yaitu melakukan aktivitas cyberloafing.

(3)

3

Dari latar belakang di atas maka peneliti mengangkat persoalan dari penelitian ini adalah perilaku cyberloafing pada mahasiswa. Adapun ada dua persoalan dalam penelitian ini yaitu bagaimana gambaran perilaku cyberloafing pada mahasiswa selama proses belajar mengajar di kelas berlangsung dalam perilaku menyimpang (deviant behavior) dan faktor-faktor apa sajakah yang mendorong perilaku cyberloafing pada mahasiswa.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menggambarkan perilaku cyberloafing pada mahasiswa selama proses belajar mengajar di kelas berlangsung dalam perilaku menyimpang (deviant behavior).

2. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa sajakah yang mendorong perilaku cyberloafing pada mahasiswa.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Manfaat Teoritis :

Memberikan masukan dalam bidang sumber daya manusia maupun psikologi industri dan organisasi, terutama yang berkaitan dengan masalah perilaku cyberloafing.

b. Manfaat Praktis :

Memberikan informasi dan referensi bagi yang bersangkutan untuk lebih memperhatikan faktor-faktor apa saja yang mendorong mahasiswa melakukan kegiatan cyberloafing serta gambaran perilaku cyberloafing mahasiswa, sehingga pada akhirnya mampu meningkatkan produktivitas dan mengurangi perilaku menyimpang dalam mengakses internet terutama ketika jam belajar mengajar dikelas sedang berlangsung.

(4)

4

TINJAUAN PUSTAKA Perilaku

Perilaku manusia adalah bagian dari interaksi antara individu dengan lingkungannya. Individu membawa tatanan dalam organisasi berupa kemampuan, kepercayaan, pengharapan, kebutuhan, dan pengalaman masa lalunya. Sedangkan karakteristik individu akan dibawa memasuki lingkungan organisasi. Karakteristik individu berinteraksi dengan karakteristik organisasi yang akan mewujudkan dan membentuk perilaku individu dalam organisasi. Perilaku individu pada dasarnya dibentuk oleh kepribadian dan pengalamannya. Dasar perilaku individu dapat dikaji dari empat variabel karakteristik tingkat individual, yaitu: karakteristik biografis, kemampuan, kepribadian dan pembelajaran.

Pengertian Perilaku

Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam diri. Respon ini bersifat pasif (tanpa tindakan seperti; berpikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan). Dari sudut biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang saling berkaitan dan diamati secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku manusia adalah suatu aktivitas manusia itu sendiri (Notoatmodjo, 2003). Dikutip oleh Notoatmodjo (2003), menurut Skinner menyatakan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme yang kemudian organisme tersebut merespon rangsangan yang ada. Dari proses perilaku di atas Teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus – Organisme – Respon.

Menurut Kwick (1974), yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), perilaku adalah tindakan suatu organisme yang dapat di amati dan bahkan dapat di pelajari. Pada umumnya perilaku manusia adalah proses interaksi individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi hayati bahwa dia adalah makhluk hidup (Kusmiati, Artini R dkk., 1999). Menurut penulis yang disebut perilaku manusia

(5)

5

adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respons serta dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung.

Cyberloafing

Cyberloafing merupakan sebuah isu penting yang berkembang bersamaan dengan perkembangan penggunaan internet yang semakin meningkat. Tidak dapat dipungkiri bahwa cyberloafing menjadi salah satu fokus perhatian pihak perusahaan karena dampaknya terhadap produktivitas karyawan dalam dunia kerja.Jika perilaku cyberloafing pada karyawan berdampak pada tidak fokusnya terhadap pekerjaaan kantor, maka pada mahasiswa tidak fokusnya perhatian mereka terhadap materi yang sedang diajarkan di kelas pada saat proses belajar mengajar, misalnya penggunaan smartphone hanya sebatas untuk chatting, Facebook, Twitter, dan lainnya, tetapi tidak untuk hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar atau perkuliahan.

Meskipun penggunaan internet ketika proses belajar mengajar dikelas oleh mahasiswa berbeda dari penggunaan internet untuk kepentingan pribadi oleh karyawan di waktu jam kerja, kedua aktivitas tersebut dapat disamakan pada aktivitas yang tidak produktif dalam penggunaan waktu ketika sedang bekerja. Ketika mahasiswa menggunakan internet untuk tujuan pribadi pada waktu di kelas, mahasiswa menjadi tidak fokus pada usaha-usaha dan perhatian-perhatian pada proses pembelajaran dan pada kondisi tersebut dapat disamakan dengan karyawan yang tidak memfokuskan energi mereka pada pekerjaan Prasad, Lim dan Chen (2010).

Terdapat banyak istilah dan konsep yang digunakan untuk menyebutkan penggunaan internet yang tidak berkaitan dengan pekerjaan di tempat kerja. Beberapa konsep tersebut antara lain non-work related computing, cyberloafing, cyberslacking, cyberbludging, online loafing, internet deviance, problematic internet use, personal web usage at work, internet dependency, internet abuse, serta internet addiction (Kim, Sunny Jung dan Sahara, Byrne, 2011).

(6)

6 Pengertian Cyberloafing

Menurut Blanchard & Henle (2008), cyberloafing merupakan penggunaan akses internet dan penggunaan email oleh karyawan yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan. Liem, Vivien K.G (2002) berpendapat bahwa cyberloafing merupakan kegiatan sukarela karyawan di kantor, dalam menggunakan akses internet yang tidak berkaitan dengan pekerjaannya. Cyberloafing telah dikonseptualisasikan sebagai bentuk penyimpangan kerja (Lim, 2002). Berdasarkan beberapa pendapat para pakar di atas dapat disimpulkan bahwa cyberloafing adalah perilaku seseorang yang secara sengaja menggunakan teknologi informasi dan akses internet untuk hal-hal yang bersifat pribadi yang tidak ada kaitannya dengan pekerjaan yang seharusnya diselesaikan dan serta mengancam kesejahteraan organisasi atau anggotanya. Menurut Robbins & Judge (2008), cyberloafing adalah tindakan individu yang menggunakaan akses internet lembaganya selama jam kerja untuk kepentingan pribadi dan aktivitas-aktivitas internet lainnya yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.

Perilaku Cyberloafing

Perilaku cyberloafing dengan menggunakan internet ketika proses belajar mengajar dikelas berlangsung oleh mahasiswa adalah aktivitas yang tidak produktif karena dalam penggunaan waktu ketika jam kelas sedang berlangsung sehingga mahasiswa tidak fokus pada proses pembelajaran di kelas. Perilaku tersebut tentu saja tidak berkaitan dengan kewajiban seorang mahasiswa untuk belajar akan tetapi mengalihkan perhatian serta membuyarkan kefokusan mereka dengan menggunakan smartphone. Mahasiswa cenderung mencari kegiatan lain (off-task) ketika merasakan kebosanan atau berusaha untuk tetap terjaga ketika kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung (Ragan et al., 2014). Hal ini menyebabkan mahasiswa memiliki potensi yang cukup tinggi untuk melakukan cyberloafing (Meier et al., 2016). Tak jarang sebagian mahasiswa mengalihkan perhatiannya dari dosen yang sedang menyampaikan materi di dalam kelas. Mereka memainkan smartphone, tablet, ipad, laptop, dan gadget lainnya ketika kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung. Kegiatan yang biasa dilakukan mahasiswa adalah mengecek sosial media yang mereka miliki seperti: instagram, aplikasi chatting online (chatrooms), facebook, melakukan browsing, menonton

(7)

7

video, melakukan belanja online (online shop) atau sekedar membaca berita. Mereka mengaku alasan mereka memakai gadget karena merasakan kebosanan di kelas.

Perilaku cyberloafing dapat dibedakan menjadi empat macam perilaku menurut pendapat Doom (2011) salah satunya yaitu perilaku menyimpang (deviant behavior). Perilaku menyimpang (deviant behavior) menganggap kegiatan cyberloafing sebagai perilaku yang tidak diinginkan/ ditujukan terhadap organisasi. Perilaku ini jelas menganggap cyberloafing sebagai perilaku dengan konsekuensi negatif (misalnya produktivitas menurun) untuk organisasi (Weatherbee, 2010). Cyberloafing sebagai perilaku mahasiswa yang menggunakan akses internet dengan jenis gadgetseperti smartphone, laptop, tabletpadasaat proses jam belajar mengajar berlangsung untuk aktivitas yang lain di mana hal tersebut tidak berhubungan dengan kewajiban seorang mahasiswa yang seharusnya tidak dilakukan, seperti: mencari hiburan, melakukan belanja online, internet messaging, memposting ke newsgroups dan mengunduh lagu serta film (Blanchard & Henle, 2008; Askew, 2012).

Sependapat dengan Weatherbee (2010), Yellowless & Marks (2007) menyatakan bahwa, karena perilaku cyberloafing adalah perilaku menyimpang yang tidak seharusnya dilakukan maka hal tersebut dianggap sebagai suatu kebiasaan dan dapat menyebabkan perilaku yang bermasalah. Perilaku cyberloafing ini timbul/ muncul karena respon ketidakpuasan atau kebosanan (LaRose dkk., 2010) terhadap mahasiswa selama proses belajar mengajar dikelas berlangsung. Lingkungan yang mendukung (seperti teman yang juga melakukan cyberloafing) mempengaruhi mahasiswa yang lain untuk melakukan cyberloafing. Namun, keinginan mahasiswa untuk melakukan cyberloafing ternyata menjadi faktor yang lebih mempengaruhi untuk melakukan cyberloafing dibanding faktor adanya pengaruh dari sesama teman yang melakukan cyberloafing (Gerow et al., 2010). Terbaginya konsentrasi mahasiswa dari kewajibannya untuk menerima materi pada saat proses belajar mengajar berlangsung bersamaan dengan melakukan cyberloafing dapat menganggu produktivitas, yang mana dapat berimbas pada hasil akhir nilai akademik mahasiswa. Dalam penelitian Greenfield

(8)

8

(2002) menjelaskan bahwa hanya dengan godaan yang ditimbulkan internet, produktifitas mahasiswa dapat menurun. Mahasiswa mengolah informasi pengalih perhatian di kelas melalui aktivitas menjelajah berbagai situs di internet, mengirim dan menerima pesan elektronik pribadi, dimana dapat mengurangi sumber daya kognitif untuk mengerjakan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa (Greenfield, 2002).

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Cyberloafing

Dalam jurnal Cyberloafing phenomenon in organization oleh Ozler & Polat (2012), terdapat tiga faktor munculnya perilaku cyberloafing, yaitu:

1) Faktor Individual

Berbagai atribut dalam diri individu tersebut antara lain persepsi dan sikap, sifat pribadi yang meliputi shyness, loneliness, isolation, self control, harga diri dan locus of control, kebiasaan dan adiksi internet, faktor demografis, keinginan untuk terlibat, norma sosial dan kode etik personal.

2) Faktor Organisasi

Faktor organisasi dalam penelitian ini yaitu pihak perguruan tinggi juga dapat menentukan kecenderungan mahasiswa untuk melakukan cyberloafing yaitu pembatasan penggunaan internet, hasil yang diharapkan, dukungan manajerial, pandangan teman tentang norma cyberloafing, sikap individu mahasiswa dan karakteristik kelas pada saat penyampaian materi tiap-tiap matakuliah yang mahasiswa lakukan.

3) Faktor Situasional

Perilaku menyimpang pada internet biasanya terjadi ketika mahasiswa memiliki akses terhadap internet di kampus sehingga hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor situasional yang memediasi perilaku cyberloafing. Salah satu faktor situasional adalah kedekatan jarak, seperti jarak antara mahasiswa dengan dosen pengajar. Kedekatan jarak dengan dosen pengajar di kelas secara tidak langsung akan mempengaruhi perilaku cyberloafing.

(9)

9

Bahkan, dosen yang menyampaikan materi dengan pembawaan yang menarik, interaktif serta suasana kelas yang mendukung keingintahuan mahasiswa untuk siap menerima materi di kelas sangatlah berpengaruh. Hal ini tergantung pada persepsi mahasiswa mengenai kontrol diriterhadap perilakunya, termasuk ada atau tidaknya sanksi dan peraturan kelas pada mahasiswa terhadap perilaku cyberloafing.

(10)

10

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian deskriptif kualitatif yang digunakan pada penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai gambaran perilaku cyberloafing pada mahasiswa FEB UKSW selama proses belajar mengajar di dalam kelas dengan perilaku menyimpang (deviant behaviour) serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi atau mendorong munculnya perilaku cyberloafing pada mahasiswa FEB UKSW.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian dilaksanakan di area kampus UKSW, gedung Fakultas Ekonomika dan Bisnis UKSW, melalui email serta tergantung kesepakatan bersama antara responden (objek penelitian) dengan peneliti. Alasan pemilihan tempat ialah karena subjek yang akan diwawancarai dari tempat yang sudah disepakati bersama dan untuk mendapatkan informasi selebihnya menggunakan alat bantu seperti kuesioner terbuka dan wawancara semi struktur secara langsung oleh responden (objek penelitian).

C. Objek Penelitian

Objek penelitian adalah mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana Program Studi Manajemen. Untuk mendapatkan data yang tepat maka perlu ditentukan informan yang memiliki kompetensi dan sesuai dengan kebutuhan data. Oleh karena itu, diperlukan subjek yang memenuhi kriteria yang dapat mengungkap hal di atas sehingga memungkinkan data dapat diperoleh. Adapun kriteria informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis UKSW Salatiga.

2) Pernah melakukan aktivitas cyberloafing di kelas saat jam belajar mengajar berlangsung.

(11)

11

3) Bersedia diwawancarai (kuesioner terbuka dan wawancara semi struktur secara langsung).

4) Pemilihan mahasiswa pun berdasarkan mata kuliah yang sedang berlangsung di kelas, yaitu matakuliah berkonseptual/ teori dan presentasi tanpa adanya praktek, seperti; manajemen strategik, etika bisnis, kepemimpinan, dan kewirausahaan sosial. Sebelum memberikan kuesioner terbuka maupun mewawancarai langsung lebih lanjut, peneliti mendekati dan bertanya kepada responden untuk mengkonfirmasi pernah melakukan cyberloafing atau belum. Jika pernah dan telah mengkonfirmasi hal tersebut selanjutnya peneliti memberikan kuesioner terbuka. Dari jawaban kuesioner terbuka tersebut, peneliti memilih beberapa mahasiswa yang telah menerima kesediaannya untuk mengikuti wawancara secara langsung semi struktur. D. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif, peneliti menggunakan dua cara untuk pengumpulan data, diantaranya :

1) Metode kuesioner terbuka

Hal ini untuk memastikan objek penelitian yaitu mahasiswa FEB UKSW sesuai dengan kriteria informan, salah satunya pernah melakukan aktivitas cyberloafing di kelas pada saat jam belajar mengajar berlangsung. Selanjutnya akan dipilih informan mana yang sesuai lalu diwawancarai secara langsung. Peneliti melakukan adaptasi dengan menerjemahkan jawaban responden yang telah disebar, lalu mengeliminasi jawaban responden yang dirasa tidak relevan dengan mahasiswa. Untuk riset awal, terkumpul 36 mahasiswa yang telah mengisi kuesioner terbuka dan menjawab pernah melakukan aktivitas cyberloafing di dalam kelas. Selanjutnya dipilih 8 mahasiswa sebagai informan dimana hal tersebut didasarkan oleh jawaban mahasiswa yang telah mengisi kuesioner dengan runtut, lalu diwawancarai oleh peneliti dengan

(12)

12

wawancara semi struktur untuk mendapatkan informasi lebih lanjut.

2) Metode wawancara semi terstruktur

Wawancara dilakukan semi terstruktur kepada informan dengan kriteria yang telah dibuat. Teknik wawancara digunakan untuk mengungkapkan data tentang gambaran perilaku cyberloafingpada mahasiswa FEB UKSW selama proses belajar mengajar di kelas dalam perilaku menyimpang (deviant behaviour) serta faktor-faktor apa saja yang mendorong perilaku cyberloafing pada mahasiswa FEB UKSW.

E. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif peneliti merupakan instrumen utama dimana peneliti mengamati permasalahan yang diteliti. Hal ini sekaligus merupakan perencana, pelaksana, pengumpulan data, analisis data, penafsiran data dan pada akhirnya menjadi pelapor hasil penelitian pada akhir penelitian.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini disusun berupa pedoman dari kuesioner terbuka yang selanjutnya dilakukan melalui wawancara semi struktur dan dijabarkan dari kisi-kisi penelitian, hal ini karena pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif deskriptif.

(13)

13

HASIL & PEMBAHASAN

Pada bab ini dipaparkan mengenai hasil penelitian dan pembahasan terkait perilaku cyberloafing dan faktor-faktoryang mendorong mahasiswa FEB UKSW melakukan cyberloafing.

Gambaran Subyek Penelitian

Partisipan yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah mahasiswa FEB UKSW Program Studi Manajemen sebanyak 36 mahasiswa yang diduga melakukan cyberloafing. Dalam penelitian ini mahasiswa yang dilibatkan yaitu membawa gadget atau smartphone di dalam kelas dan menggunakannya pada saat proses belajar mengajar berlangsung namun tidak berkaitan dengan proses belajar mengajar di kelas. Identifikasi perilaku cyberloafing pada mahasiswa dilakukan melalui penyebaran kuesioner terbuka serta wawancara langsung semi struktur.

Karakteristik responden menunjukkan bahwa mayoritas dengan sengaja melakukan aktivitas cyberloafing sebanyak 29 orang, tidak sengaja melakukan cyberloafing sebanyak 3 orang, dan terkadang dilakukan sengaja dan tidak sengaja melakukan cyberloafing sebanyak 4 orang. Hal tersebut menegaskan bahwa sikap individu berpengaruh terhadap perilaku untuk menentukan pilihan atau tindakan, sehingga dalam hal ini mengacu pada sikap dan niat yang secara sadar dilakukan oleh mahasiswa. Yang juga menarik yaitu mereka melakukan cyberloafing tersebut sebanyak 20 orang keinginan diri sendiri, sebanyak 5 orang karena teman juga melakukan cyberloafing, dan sebanyak 11 orang karena sendiri dan teman juga melakukan cyberloafing. Oleh karena itu sangat beralasan karena mayoritas responden menunjukan sengaja melakukan cyberloafing, sehingga perasaan bersalah tidak dirasakan karena dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Hal ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa social habit melakukan cyberloafing ketika proses belajar berlangsung di kelas tidak dapat dihindari yang kemudia memicu niat untuk melakukan cyberloafing.

(14)

14 HASIL PENELITIAN

Gambaran Perilaku Cyberloafing

• Media Sosial : 29 orang

29/36x100% = 80,5% • Chatting online : 25 orang

25/36x100% = 69,5%

• Youtube : 3 orang

3/36x100% = 8,3% • Shopping online : 4 orang

4/36x100%=11,1% • Game online : 10 orang

10/36x100%=27,7% • E-mailing : 8 orang

8/36x100%= 22,2% • Online News : 3 orang

3/36x100%= 8,3% • Situs/Website : 11 orang

11/36x100%= 30,5%

Berdasarkan hasil kuesioner serta hasil wawancara dari seluruh partisipan menunjukkan bahwa aktivitas cyberloafing oleh mahasiswa dilakukan secara beragam. Dari 36 partisipan, aktivitas cyberloafing yang dilakukan oleh mahasiswa melalui media sosial sebanyak (80,5%), aplikasi chatting online (chatrooms) untuk membalas chat sebanyak (69,5%), menonton video misal Youtube sebanyak (8,3%), melakukan belanja online (shopping online) sebanyak (11%) seperti Shopee, Zalora, Tokopedia, dan Berrybenka, bermain game online

Media sosial 80,5% Chatting online 69,5% Youtube 8,3% Shopping online 11,1% Game online 27,7% Email 22,2% Berita online 8,3% Situs/website 30,5%

Aktivitas Cyberloafing

(15)

15

sebanyak (28%), menerima dan membalas e-mail sebanyak (23%), sekedar membaca berita online (online news) sebanyak (8,3%), browsing pada situs maupun website sebanyak (30,5%). Dari data diatas menunjukkan bahwa perilaku cyberloafing oleh mahasiswa dengan mengakses internet tidak berkaitan dengan proses belajar mengajar melainkan untuk keperluan pribadi.

Aktivitas cyberloafing yang pertama dilakukan melalui media sosial. Aktivitas tersebut digunakan sebagai hiburan atau hanya sekedar ingin membagikan aktivitas mereka dengan memposting foto maupun video, melihat postingan foto dan video teman serta beberapa mahasiswa memanfaatkannya sebagai media untuk mempromosikan produk bisnis pribadi. Hal ini seperti yang disampaikan oleh partisipan,“untuk mempromosikan bisnis sendiri lewat media sosial” (BFM). Berdasarkan pernyataan BFM dapat diketahui bahwa media sosial saat ini menjadi sarana untuk mempromosikan produk dalam menjalankan bisnis online bagi sebagian mahasiswa.

Aktivitas cyberloafing yang kedua yaitu chatting online. Chatting online sebagai sarana komunikasi mahasiswa dengan keluarga, teman serta rekan bisnis. Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh partisipan,“membalas chat whatsapp apalagi ketika ada yang pesan jualanku bisnis sendiri kayak case hp, flashdisk, speaker, dan lain lain.. belum lagi mendadak ada yang nyari karena saling pesan atau memesan usda (usaha dana) jadi buru-buru aku balas cepat chatnya.”, (BFM). Sependapat dengan BFM, NP menyatakan bahwa,“biasanya membalas chat whatsapp atau LINE yang urgent”, (NP). Bahkan APP menyatakan bahwa,“...kebutuhan untuk berkomunikasi baik dengan teman atau keluarga karena memang dibutuhkan urgent harus dibalas pada saat itu juga.”, (APP). Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan chatting online membantu mereka untuk berkomunikasi.

Aktivitas cyberloafing yang ketiga adalah mahasiswa menggunakan aplikasi melalui Youtube pada saat proses belajar mengajar di kelas. Sebagian mahasiswa menggunakan Youtube untuk menonton maupun berbagi video dengan berbagai macam pilihan. Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh partisipan TYF dan RS sebagai berikut,“menonton video di Youtube”. Berdasarkan data di

(16)

16

atas dapat disimpulkan bahwa Youtube diakses oleh mahasiswa sebagai sarana hiburan, namun dilakukan pada saat proses belajar mengajar sedang berlangsung.

Keempat yaitu berbelanja online. Berbelanja online melalui marketplace maupun online shopmenjadi kegiatan bisnis yang dipakai oleh sebagian mahasiswa. Hal ini seperti yang disampaikan oleh partisipan, “memang sedang ada barang yang saya cari di online shop”, (FE). Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa berbelanja online memudahkan mereka untuk mendapatkan barang yang dibutuhkannya.

Yang kelima yaitu game online. Game online bisa disebut sebagai bagian dari aktivitas sosial karena pemain bisa saling berinteraksi secara virtual bahkan sekaligus menjadi media hiburan. Hal ini seperti disampaikan oleh partisipan, “game online untuk menghibur diri” (AP). Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa game online dapat memberi rasa rileks serta sebagai hiburan untuk menghilangkan kepenatan.

Aktivitas cyberloafing yang keenam adalah berita online. Sebagian mahasiswa membuka berita online (online news) karena informasi berita yang selalu diperbarui secara berkelanjutan (continous updates). Hal ini seperti yang disampaikan oleh partisipan, “membuka berita online seperti Kompas, Detik, Sindo buat update berita terbaru” (RS). Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa berita online (online news) diakses oleh mahasiswa karena untuk mendapatkan informasi terkini.

Aktivitas cyberloafing yang ketujuh yaitu situs atau website. Hal ini seperti yang disampaikan oleh partisipan, “buka situs yang bisa merefresh pikiran sekaligus menjadi informasi terkini, kayak Popbella dan IDNTimes” (IN). Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa dengan membuka situs atau website untuk mendapatkan informasi yang diinginkan sekaligus sebagai media hiburan.

Faktor pendorong mahasiswa melakukan cyberloafing

Dari data yang telah dikumpulkan, dapat diketahui bahwa mahasiswa FEB UKSW mempunyai 2 faktor pendorong perilaku cyberloafing, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor dari dalam individu sedangkan pada faktor eksternal, yaitu berasal dari luar diri seseorang.

(17)

17 A. Faktor Internal

Faktor internal bersumber dari dalam diri mahasiswa yang berkaitan dengan kebutuhan untuk selalu terhubung satu sama lain, kebutuhan ekonomi, kurangnya motivasi belajar dan menghibur diri.

1. Kebutuhan untuk selalu terhubung satu sama lain

Komunikasi melalui sarana internet menjadi sebuah kebutuhan untuk selalu terhubung antara satu dengan yang lain di saat mahasiswa memiliki keterbatasan waktu. Dengan kata lain, komunikasi melalui chatting online dapat diakses kapan saja dan dimana saja. Beberapa dari mahasiswa menggunakan smartphone untuk saling terhubung dengan teman maupun keluarga. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kepentingan untuk mengobrol maupun untuk memberi kabar hal yang penting (urgent) meski tidak bisa bertatap muka secara langsung. Hal ini digambarkan dalam wawancara berikut:

“kebutuhan untuk berkomunikasi baik dengan teman atau keluarga karena memang dibutuhkan urgent harus dibalas pada saat itu juga”. (APP)

Ditunjukkan pula tanggapan partisipan dari hasil kuesioner yang menggambarkan cyberloafing sebagai sarana komunikasi. Menurut YD, DS dan NP mengatakan sependapat bahwa melakukan cyberloafing untuk berkomunikasi melalui chatting online hanya pada waktu tertentu dan benar-benar penting untuk membalas pesan tersebut. Menurut APP kebutuhan komunikasi dengan teman maupun keluarga yang harus dibalas pada saat itu juga. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi sebagai kebutuhan untuk selalu terhubung satu dengan yang lain dimana saja dan kapan saja.

2. Kebutuhan Ekonomi

Untuk sebagian mahasiswa ketika diwawancarai lebih lanjut, mereka mengaku melakukan cyberloafing untuk menjalankan bisnis sampingan yang mereka miliki. Bisnis

(18)

18

sampingan ini sekaligus untuk mencukupi kebutuhan ekonomi mahasiswa. Dengan memanfaatkan berbagai fitur media sosial maupun marketplacemahasiswa menjadi lebih mudah untuk memasarkan produk bisnisnya. Bahkan, terlebih saat ini fitur media sosial bisa mempercepat dalam transaksi bisnis online. Hal ini digambarkan dalam wawancara berikut:

“Tanggap dan cepat balas chat whatsapp dari pembeli olshop preloved sama kaos sablon dan stiker juga hehehe..” (APP)

“Jadi langsung pegang gadget, buka baca chat lalu bales whatsapp apalagi ketika ada yang pesan jualan bisnis sendiri kayak case hp, flashdisk, speaker, dan lain lain.. belum lagi mendadak ada yang nyari karena saling pesan atau memesan usda (usaha dana) jadi buru-buru aku balas cepat chatnya.” (BFM)

Menurut APP, ia harus cepat dan tanggap dalam membalas pesanan pembeli dari bisnis sampingan yang ia jalankan. BFM mengungkapkan, ia melakukan cyberloafing untuk menjalankan bisnis pribadi yang ia miliki serta memasarkan usaha dana karena ia mengikuti organisasi dan menjadi bagian dari kepanitian organisasi tersebut. Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa kebutuhan ekonomi melalui internet membantu mereka dalam kegiatan bisnis serta sebagai pemasukan tambahan.

3. Kurang Motivasi Belajar

Di dalam kegiatan belajar mengajar peranan motivasi baik intrinsik maupun ekstrinsik diperlukan. Motivasi selain dapat mengembangkan aktivitas mahasiswa juga dapat memelihara ketekunan dalam melakukan kegiatan belajar. Namun apabila mahasiswa tidak memiliki motivasi yang kuat maka hasil belajar yang dicapai juga tidak akan optimal. Tidak adanya motivasi belajar pada mahasiswa karena adanya malas untuk belajar sehingga mengalihkannya dengan melakukan cyberloafing.

(19)

19

“...mood untuk belajar tertarik sama materi kelas itu tu enggak ada,...” (APP)

“Atau sulitnya mata kuliah yang sedang berlangsung dibarengi dengan penjelasan dosen yang terlalu berbelit-belit, sehingga membuat saya malas belajar dan tidak konsentrasi/ fokus.” (FE)

APP mengungkapkan bahwa mood atau suasana hati untuk belajar tertarik dengan materi kelas pada saat itu tidak ada sehingga ia melakukan cyberloafing. Menurut FE ia merasa malas belajar dan tidak konsentrasi sehingga ia melakukan cyberloafing. Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa malas belajar dan tidak tertarik dengan materi di kelas pada mahasiswa membuat mereka kurang motivasi belajar sehingga melakukan cyberloafing.

4. Menghibur Diri

Kegiatan browsing seperti membaca berita online atau penjelajahan situs/ website memungkinkan partisipan untuk sementara waktu mengalihkan pikirannya dari proses belajar di kelas dan mengalihkan mahasiswa untuk jeda sementara dari stres dan tekanan di kelas. Hal ini digambarkan dalam wawancara berikut:

“Terkadang buka berita dunia olahraga misal pertandingan bola Manchester United lalu liat hasil skornya sama liat highlight mainnya... atau bahkan saya sempat membuka game online untuk menghibur diri kala bosan.” (AP)

“Kalau sudah sangat bosan untuk menghibur diri ya main game online, hehehe..” (APP)

Menurut AP ia membuka berita olahraga dari pertandingan sepakbola tim kesayangannya untuk sekedar mengikuti hasil skor. Bahkan ia juga bermain game onlineuntuk menghibur diri. Hal tersebut serupa dengan APP, ia mengungkapkan bahwa ia membutuhkan refreshing sejenak dan bermain game online untuk

(20)

20

menghibur diri. Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa menghibur diri mengalihkan mahasiswa untuk jeda sejenak.

B. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar seseorang. 1. Proses Belajar Mengajar (PBM)

Interaksi antar dosen dan mahasiswa dalam proses belajar mengajar tersebut terdapat hubungan yang keterkaitan antara komponen pembelajaran yang terdiri dari dosen, mahasiswa, tujuan, materi, kegiatan (pendekatan mengajar, metode, materi, media) dan evaluasi. Dari data yang telah dikumpulkan, dapat diketahui bahwa mahasiswa FEB UKSW mempunyai 2 faktor pendorong dari proses belajar mengajar yaitu dosen pengajar dan metode mengajar.

Dosen Pengajar (Fasilitator)

Dosen mempunyai peran dalam proses belajar mengajar, hal tersebut dapat mempengaruhi dinamika di kelas. Dosen dengan kemampuan interaksi yang baik pada mahasiswa akan menjadikan keberlangsungan proses belajar mengajar berjalan dengan menyenangkan dan aktif. Karakteristik yang di miliki dosen hingga gaya bicara yang komunikatif juga menjadi hal yang diperhatikan oleh mahasiswa. Hal ini digambarkan dalam kutipan wawancara berikut :

“Dosen yang membosankan, banyak ngomong dan penjelasannya tapi tidak jelas arah penjelasannya tu apa. ...tanpa ada interaksi dan pengajaran yang menarik gitu.” (APP)

“Saat dosen kurang interaktif dalam menyampaikan materi sehingga terasa membosankan.” (RA)

“Karena dosen sangat membosankan,...pembawaan kurang menarik hanya bercerita terus,...” (BFM)

(21)

21

Berdasarkan hasil kuesioner beberapa responden juga menjawab hal yang sama. Hal tersebut disampaikan oleh subjek IN yang mengatakan bahwa dalam menyampaikan materi, dosen kurang kreatif sehingga membuat mahasiswa cepat bosan. Ia berpendapat bahwa dosen seharusnya dapat menghidupkan suasana di kelas. Menurut CL, dosen hanya membacakan materi dimana hal tersebut merupakan komunikasi satu arah sehingga tidak ada interaksi tanya jawab antara mahasiswa dengan dosen.

Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa gaya komunikasi dosen yang tidak jelas serta tidak adanya interaksi antar dosen dengan mahasiswa sehingga mereka melakukan cyberloafing pada saat proses belajar mengajar berlangsung.

Metode Pengajaran

Berdasarkan hasil kuesioner, sebagian mahasiswa mengatakan bahwa kebanyakan dosen menggunakan metode ceramah, yaitu penuturan secara lisan oleh dosen pada mahasiswa di depan kelas. Dimana hal tersebut kerap kali membuat mahasiswa bosan untuk mengikuti proses mengajar di kelas tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kutipan wawancara berikut ini :

“Jadi penjelasan dosen yang panjang lebar, monoton, tanpa tau para mahasiswanya pada ngerti atau tidak.” (IN)

Dari kutipan wawancara di atas, menurut IN metode pengajaran yang dilakukan oleh dosen yang panjang lebar, monoton tanpa memperdulikan mahasiswanya sudah paham atau belum dengan materi yang diberikan membuat ia melakukan cyberloafing. Hal tersebut juga sependapat yang disampaikan oleh BFM,“...cara mengajarnya monoton,..”, cara mengajar dosen yang monoton tanpa ada variasi pengajaran yang menarik menjadi merasa bosan lalu mengalihkannya dengan cyberloafing. Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa dosen menggunakan metode ceramah dimana hal tersebut membuat mahasiswa merasa monoton ketika mengikuti proses belajar mengajar.

(22)

22 2. Lingkungan kelas

Lingkungan kelas yang tidak mendukung pada saat proses belajar mengajar berlangsung juga dapat menjadi penyebab kesulitan belajar dalam menerima materi yang telah diberikan oleh dosen bagi mahasiswa. Lingkungan dibagi menjadi dua yaitu lingkungan fisik dan lingkungan non-fisik.

a. Lingkungan Fisik

Adanya hubungan antara lingkungan fisik dengan kenyamanan dan keamanan dalam belajar di kelas. Lingkungan fisik yang mempengaruhi kondisi manusia misalnya suhu udara, kebisingan, penerangan, ruang gerak, kebersihan dan luas ruang kelas. Hal ini ditunjukkan dalam hasil kuesioner :

“kelas yang pengap karena jumlah mahasiswa yang banyak bersamaan dengan cuaca panas ketika menempati kelas di gedung A atau B”. (RAS)

Dari kutipan data tersebut dapat disimpulkan bahwa lingkungan fisik berupa suhu udara sehingga kelas menjadi pengap karena jumlah mahasiswa yang banyak tidak mendukung untuk fokus belajar pada saat proses belajar mengajar.

b. Lingkungan Non Fisik

Lingkungan non fisikadalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan sesama mahasiswa ataupun hubungan dengan dosen pengajar.Misalnya tanggung jawab mahasiswa, perhatian dan dukungan baik dari dosen maupun mahasiswa, dan kelancaran komunikasi. Hal ini seperti yang disampaikan dalam hasil kuesioner berikut :

“Dimana, tidak hanya dosen yang mendominasi kelas, terutama terlalu banyak penjelasan saja ya.. tapi mahasiswa juga diajar untuk saling berinteraksi”. (FE)

(23)

23

“pembawaan kurang menarik hanya bercerita terus, kurang berinteraksi dengan mahasiswanya”.(BFM)

“saat dosen kurang interaktif dalam menyampaikan materi sehingga terasa membosankan”. (RA)

Dari kutipan data di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan non-fisik berupa tidak adanya interaksi antara mahasiswa dengan dosen sehingga kurangnya komunikasi mahasiswa dengan dosen dalam proses belajar mengajar dan hal tersebut membuat mahasiswa mengalih perhatian mereka untuk melakukan cyberloafing.

PEMBAHASAN

Mayoritas mahasiswa menyadari bahwa aktivitas cyberloafing yang dilakukan tersebut mempunyai dampak negatif. Ditemukan bahwa mayoritas mahasiswa menjawab tidak memahami materi (36%) dan tidak fokus/ konsentrasi (33,4%). Salah satunya seperti yang disampaikan oleh responden CL yang mengatakan bahwa, “Iya berdampak negatif, seperti tidak memperhatikan apa yang dijelaskan dosen jadi akan ketinggalan materi selanjutnya”. Namun, ada tiga responden yang menyatakan bahwa aktivitas cyberloafing tersebut juga mempunyai dampak positif. MG mengatakan bahwa, “sesekali mencari teori yang berkaitan dengan materi yang dimaksud”. RAS juga berpendapat, “...dampak positifnya adalah kita tidak lagi bosan atau mengantuk saat rasa kantuk itu datang tiba-tiba”. Serta ditanggapi hal yang serupa oleh AP, “Karena itu untuk mengembalikan mood kita”. Dari data diatas menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa menyadari dampak negatif melakukan cyberloafing, meskipun begitu sebagian mahasiswa mengaku bahwa aktivitas cyberloafing tersebut mempunyai dampak positif seperti mencari informasi lain sebagai tambahan informasi yang beraitan dengan materi, untuk menghilangkan rasa bosan atau kantuk serta untuk me-refresh pikiran maupun mood sejenak. (data tabulasi dapat dilihat pada lampiran 3)

(24)

24

• Tidak memahami materi : 13 orang

13/36x100% = 36% • Tidak fokus/ konsentrasi : 12 orang

12/36x100% = 33,4% • Ketinggalan materi : 7 orang

7/36x100% = 19,5% • Ketergantungan dengan media sosial/ gadget : 5 orang

5/36x100%=13,9% • Tidak menghargai dosen : 4 orang

4/36x100%=11,1%

• Rasa malas : 3 orang

3/36x100%= 8,4%

Aktivitas internet melalui smartphone menjadi salah satu perhatian di kelas terutama pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Hal tersebut berdasarkan hasil kuesioner dan wawancara dari seluruh partisipan sebanyak 36 mahasiswa melakukan aktivitas cyberloafing pada saat proses belajar mengajar di kelas. Tindakan mahasiswa tersebut dilakukan karena adanya kebutuhan menggunakan teknologi pada Generasi Milennial, sehingga bagi mereka smartphone maupun gadget merupakan bagian dari kehidupan mereka. Dimana responden dalam penelitian ini mahasiswa berusia 19-23 tahun dan termasuk ke dalam generasi Generasi Milenial yang lahir pada antara tahun 1977-1997 menurut Don Tapscott (dalam bukunya Grown Up Digital, 2013).

Tidak memahami materi 36% Tidak fokus/ konsentrasi 33,4% Ketinggalan materi 19,5% Ketergantungan media sosial/ gadget 13,9% Tidak menghargai dosen 11,1% Malas 8,4%

Dampak Negatif melakukan

(25)

25

Pernyataan tersebut didukung oleh temuan Geokçearslan et al., (2016) menyatakan bahwa, sekarang ini smartphone sudah sulit dipisahkan dari kehidupan pemiliknya. Bahkan hal tersebut didukung oleh Campbell (2006), mahasiswa yang usianya lebih muda lebih sering menggunakan ponsel di kelas daripada mahasiswa yang berusia lebih tua. Mendukung gagasan bahwa generasi membuat perbedaan dalam penggunaan perangkat elektronik di dalam kelas, Generasi Milenial yang meliputi mayoritas mahasiswa pada saat ini adalah generasi pada saat hadirnya internet (Prensky, 2001). Dengan sumber-sumber tersebut, diyakini bahwa mahasiswa yang lebih muda atau Generasi Milenial melihat melakukan cyberloafing di kelas atau pada saat PBM sebagai aktivitas yang sudah biasa dilakukan.

Berdasarkan hasil penelitian, jenis aktivitas cyberloafing pertama yang dilakukan oleh mahasiswa melalui media sosial. Mereka menggunakan media sosial yang menurutnya sekedar untuk mengecek postingan foto, video dari teman. Hal tersebut dilakukan karena sebagai media hiburan. Melalui platform media sosial juga mendapat banyak informasi lewat video-video singkat atau gambar infografik yang berisi pengetahuan baru. Dari hasil penelitianGwenn Schurgin O’Keeffe dan Kathleen Clarke Pearson (2011) yang dipublikasikan dalam pediatrics.aappublications.org menyebutkan bahwa ada beberapa dampak buruk jika kecanduan media sosial, beberapa dampak yang dapat ditimbulkan salah satunya menjadi pemalas dan lupa waktu.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa mahasiswa menggunakan aplikasi chatting online membantu mereka untuk berkomunikasi. Hal tersebut ditunjukkan pada data hasil kuesioner terlihat bahwa aplikasi yang paling banyak digunakan mahasiswa adalah aplikasi Whatsapp dan LINE yang biasa digunakan untuk saling berkirim pesan. Bahkan pada aplikasi Facebook dan Instagram kini bertambah fitur dilengkapi dengan Direct Message pada Instagram dan Facebook Messenger pada Facebook dimana sekaligus dapat melakukan chatting online. Hal tersebut dilakukan oleh mahasiwa karena adanya kebutuhan komunikasi dan tidak bisa ditunda. Sponcil dan Gitimu (2013) menyatakan bahwa saat ini interaksi sosial secara online sudah menjadi bagian dari relasi sosial multimedia.

(26)

26

Berdasarkan hasil penelitian melalui aplikasi Youtube diakses oleh mahasiswa sebagai sarana hiburan. Aplikasi Youtube digunakan untuk melakukan kegiatan streaming video atau musik. Kegiatan streaming ini masuk ke dalam teori Blanchard dan Henle (2008), mengenai pembagian jenis cyberslacking. Peneliti menemukan bahwa streaming belakangan ini menjadi tren dikalangan mahasiswa bahkan masyarakat umum. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya aktivitas yang dilakukan lewat streaming, seperti menonton film, mendengar musik, membaca komik. Hal tersebut dilakukan oleh mahasiswa karena sebagai bentuk media hiburan dikala mengalami bosan pada saat proses belajar mengajar berlangsung.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa berbelanja online memudahkan mahasiswa untuk mendapatkan barang yang dibutuhkannya. Hal tersebut dilakukan mahasiswa karena mencari barang atau produk jasa yang ingin dibeli. Sehingga mahasiwa betul-betul memanfaatkan keberadaan gadget untuk mendapatkan barang atau produk jasa yang mereka inginkan dan butuhkan. Penelitian Delafrooz, Paim, dan Khatibi (2010) menemukan bahwa sekarang ini mahasiswa banyak berbelanja lewat online shop untuk alasan kemudahan, menghemat waktu dan uang, harga yang lebih murah, dan lebih banyaknya pilihan ketika mereka berbelanja. Hal ini yang membuat sebagian mahasiswa kerap kali mengunjungi online shop.

Berdasarkan hasil penelitian sebagian mahasiswa ber-cyberloafing dengan bermain game online. Hal tersebut dilakukan karena dapat memberi rasa rileks serta sebagai hiburan untuk menghilangkan kepenatan pada mahasiswa. Hal tersebut karena sifat dari bermain game online membutuhkan banyak perhatian dan konsentrasi. Aktivitas cyberloafing dengan bermain game online, menimbulkan perasaan senang dalam diri individu. Individu yang terlibat secara intens dengan penggunaan internet, terutama game online, cenderung memiliki relasi sosial yang kurang baik dengan lingkungan (Kowert, Domahidi, Festl, & Quandt, 2014).

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa berita online (online news) diakses oleh mahasiswa untuk mendapatkan informasi. Hal tersebut dilakukan oleh mahasiswa untuk memperoleh informasi terkini serta kemudahan

(27)

27

akses hanya dengan melalui internet. Mahasiswa memanfaatkan online news karena beritanya yang selalu diperbaharui secara berkelanjutan (continous upates), memiliki interaktivitas, hypertext, dan multimedia. Hal ini didukung menurut Salwen, M.B., Garrison, B. & Driscoll, P.D. (2005), jurnalistik masa depan akan berubah dan suatu hari online news akan menjadi mainstream journalism (jurnalistik utama) karena World Wide Web dibuktikan dapat mentransformasikan kebudayaan, bahasa, dan informasi.

Berdasarkan jenis-jenis aktivitas cyberloafing diatas dapat disimpulkan bahwa ada 4 hal tujuan mahasiswa FEB UKSW melakukan aktivitas cyberloafing yaitu : 1) hiburan, 2) sarana komunikasi, 3) kegiatan bisnis, dan 4) mendapatkan informasi. (data tabulasi dapat dilihat pada lampiran 4)

• Sarana Komunikasi : 13 orang

13/36x100% = 36,1%

• Hiburan : 12 orang

12/36x100% = 33,4% • Mendapatkan Informasi : 8 orang

8/36x100% = 22,3% • Kegiatan Bisnis : 3 orang

3/36x100% = 8,4% Sarana Komunikasi 36,1% Hiburan 33,4% Kegiatan Bisnis 8,4% Mendapatkan Informasi 22,3%

Tujuan mahasiswa

ber-Cyberloafing

(28)

28

Faktor pendorong mahasiswa melakukan Cyberloafing

Dari hasil analisis diketahui bahwa faktor internal dan faktor eksternal sebagai faktor pendorong mahasiswa melakukan cyberloafing. Faktor tersebut akan diuraikan oleh peneliti sebagai berikut :

A. Faktor Internal

1. Kebutuhan untuk selalu terhubung satu sama lain

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa komunikasi sebagai kebutuhan untuk selalu terhubung satu dengan yang lain dimana saja dan kapan saja. Hal tersebut dilakukan oleh mahasiswa karena sarana komunikasi melalui akses internet seperti komunikasi virtual chatrooms maupun chatting online menjadi bagian dari kehidupan mahasiswa. Keterhubungan komunikasi tersebut juga bagian dari interaksi sosial mealui jejaring sosial. Vorderer, Kromer, dan Scheider (2016) menegaskan bahwa ketika individu dapat secara terus menerus mendapatkan perasaan saling terhubung dengan orang lain saat menjalin interaksi di dunia maya. Dari temuan di atas dapat dibuktikan bahwa kebutuhan untuk selalu saling terhubung satu sama lain pada mahasiswa meskipun pada saat proses belajar mengajar berlangsung.

2. Kebutuhan Ekonomi

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa sebagian mahasiswa ber-cyberloafing untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Hal tersebut dilakukan untuk kegiatan bisnis serta sebagai pemasukan tambahan oleh mahasiswa dengan memanfaatkan media sosial maupun marketplace. Bagi mahasiswa dengan melakukan suatu kegiatan bisnis baik suatu barang maupun jasa dalam lingkup lingkungan kampus menjadi suatu peluang untuk mendapatkan penghasilan sendiri. Tidak harus dengan memiliki toko sendiri untuk berjualan, yang terpenting adalah memasarkan produk melalui media sosial serta melayani pembeli dengan komunikasi yang baik dan tanggap. Hal tersebut sesuai dengan temuan Baturay dan Toker (2015) menjelaskan bahwa sebetulnya banyak orang melakukan cyberloafing untuk urusan bisnis pribadi. Bahkan sebuah survei yang dilakukan di University of Maryland (2002) mengemukakan bahwa sementara

(29)

29

karyawan Amerika menggunakan internet di tempat kerja untuk bisnis pribadi. Dimana dalam penelitian ini konteks mahasiswa menggunakan internet di kelas untuk kegiatan bisnis pribadi.

3. Kurang Motivasi Belajar

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa mahasiswa menjadi kurang motivasi belajar sehingga melakukan cyberloafing. Hal tersebut dilakukan oleh mahasiswa karena mereka terkadang merasa malas belajar dan tidak tertarik dengan materi yang sedang disampaikan. Ciri-ciri mahasiswa yang kurang memiliki motivasi dalam belajar salah satunya adalah kurang semangat belajar (Suhaimin, 2008; Gabriel, 2003). Didukung pula pada literatur, Yasar (2013) menunjukkan bahwa perilaku siswa dengan motivasi rendah di kelas terjadi seperti melakukan cyberloafing.

4. Menghibur Diri

Berdasarkan hasil penelitian mahasiswa melakukan cyberloafinguntuk menghibur diri. Hal tersebut dilakukan oleh mahasiswa mengaku sebagai bentuk pengalihan diri dari rasa penat maupun untuk jeda sejenak. Meskipun dilakukan pada waktu yang seharusnya dilakukan, hal tersebut menjadi hal yang biasa dilakukan. Dalam penelitian Whitty & McLaughin (2007), seseorang menggunakan internet untuk rekreasional. Artinya, internet memiliki peran untuk mengakomodasi seseorang untuk memperoleh rasa senang saat menggunakan internet. Studi van Doorn (2011) menambahkan bahwa cyberloafing juga dilakukan oleh individu sebagai sarana relaksasi atas beban yang dihadapi saat mengerjakan tugas. B. Faktor Eksternal

1. Proses Belajar Mengajar (PBM)

Temuan dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa mahasiswa melakukan cyberloafingkarena dosen pengajar dan metode mengajar. Kuliah yang terencana dengan baik dengan teknik pengajaran interaktif akan mengurangi kecenderungan mahasiswa untuk melakukan cyberloafing. Dalam keseluruhan proses belajar mengajar merupakan aktivitas yang paling penting, karena melalui proses inilah tujuan

(30)

30

pendidikan akan tercapai dalam bentuk perubahan perilaku peserta didik (Praticha, 2013).Perilaku cyberloafing yang dilakukan oleh mahasiswa dianggap dapat menghilangkan rasa bosan yang mendera selama proses belajar, sekaligus dapat menyebabkan mahasiswa kehilangan fokus belajar (Prasad, Lim, & Chen, 2010).

Dosen Pengajar

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa gaya komunikasi dosen yang tidak menarik dan tidak adanya interaksi antar dosen dengan mahasiswa sehingga mereka melakukan cyberloafing pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Hasil penelitian Ariani (2013) menunjukkan karakteristik dosen dan motivasi belajar berpengaruh positif terhadap kedisiplinan belajar mahasiswa. Selain itu juga perlunya tingkat keterlibatan kelas sebagai upaya adanya interaksi antara dosen dengan mahasiswa sehingga dapat mengurangi perilaku mahasiswa untuk melakukan cyberloafing.

Mahasiswa dengan persepsi yang baik tentang kemampuan mengajar dosen, akan menimbulkan perasaan nyaman dan semakin tertarik untuk mengikuti mata kuliah dengan semangat. Sebaliknya mahasiswa yang memiliki persepsi kurang baik terhadap kompetensi mengajar dosennya, dapat menimbulkan perasaan tidak suka bahkan rasa takut, serta tidak termotivasi untuk mengikuti perkuliahan tersebut (Sutriningsih, 2016). Metode Mengajar

Para responden dalam penelitian ini menyatakan bahwa dosen mengajar dengan cara yang monoton dan membosankan, dan tidak menggunakan metode dan teknik pengajaran yang menarik. Hasil penelitian Purwanto (2011) mengatakan bahwa gaya mengajar dosen dan motivasi belajar berpengaruh pada hasil belajar mahasiswa. Hampir tidak mungkin menciptakan kelas yang tertib tanpa didukung oleh metode pembelajaran yang efektif. Dengan mengaplikasikan metode pembelajaran yang lebih bervariasi dan beragam, tampilan-tampilan pada tampilan power point yang menarik perhatian mahasiswa tentu menjadi perhatian tersendiri. Gaya pembelajaran akan berjalan dengan baik jika teknik pembelajarannya

(31)

31

variatif, kreatif sesuai dengan karakter kelas dan kemampuan atau daya tangkap mahasiswa. Dengan demikian, untuk menumbuhkan kelas yang produktif dengan keterlibatan kelas pada seluruh mahasiswa, dosen pengajar perlu mendorong partisipasi aktif di antara mahasiswa serta membuat lingkungan belajar menjadi lebih menarik.

2. Lingkungan kelas a. Lingkungan Fisik

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa lingkungan fisik menjadi salah satu faktor mahasiswa melakukan aktivitas cyberloafing. Hal tersebut dilakukan karena sebagian mahasiswa mengaku merasakan kelas yang pengap serta jumlah mahasiswa yang banyak sehingga tidak mendukung untuk fokus belajar pada saat proses belajar mengajar. Kelas yang pengap bisa terjadi karena bersamaan dengan cuaca yang panas maupun suhu udara yang lembab sehingga mahasiswa merasakan ketidaknyamanan pada tubuh. Jumlah mahasiswa yang banyak dalam suatu kelas besar juga mempengaruhi mahasiswa menjadi tidak fokus belajar. Hal tersebut menjadikan peluang bagi mahasiswa untuk ber-cyberloafing. Dunn dan Dunn (dalam Mudhofir, 2001), kondisi tempat belajar dapat mempengaruhi konsentrasi, penyerapan, dan penerimaan informasi.

Seharusnya dalam hal ini, dibutuhkan sportifitas, kreatifitas dan antusias mahasiswa yang tinggi dapat terjaga dengan baik. Disamping itu pula, memungkinkan terjadinya kerja sama yang solid antara mahasiswa dengan dosen pengajar maupun sesama mahasiswa. Serta kesadaran yang tinggi untuk berdisiplin supaya mencapai hasil yang optimal.

b. Lingkungan Non Fisik

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa tidak adanya interaksi antara mahasiswa dengan dosen sehingga mahasiswa melakukan cyberloafing. Hal tersebut dilakukan karena masing-masing mahasiswa tidak ikut berinteraksi dan fokus untuk menerima materi dikelas, akan tetapi tidak memperhatikan jalannya proses belajar mengajar. Interaksi

(32)

32

di kelas dianggap penting untuk pembelajaran, jadi setiap usaha untuk memperbaiki pengajaran dan pembelajaran harus mempertimbangkan interaksi kelas sebagai area potensial untuk pembangunan (Walsh dalam Mohammed, 2013).

Menurut Wang, Hearted dan Wlaberg dalam Jacobsen (2009), dalam sebuah review mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran terutama lingkungan non fisik, menyimpulkan bahwa, pengelolaan kelas yang efektif dimunculkan untuk meningkatkan keterlibatan mahasiswa, mengurangi perilaku-perilaku yang menyimpang, dan meningkatkan prestasi akademik mahasiswa.

Seperti yang diungkapkan oleh MIPV bahwa ia merasakan suasana yang kurang nyaman, hal tersebut karena muncul perasaan emosional adalah bagian dari proses pembelajaran. Lingkungan yang mendukung perasaan ini menunjukkan iklim kelas. Dalam kelas yang positif, mahasiswa di dalamnya senantiasa merasa cakap, diikutsertakan dan nyaman dalam mengikuti proses belajar di kelas.

(33)

33

KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI

Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian serta saran-saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian yang dapat berguna bagi penelitian yang akan datang.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dan data yang telah diperoleh, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Aktivitas cyberloafing yang dilakukan oleh mahasiswa diantaranya membuka aplikasi media sosial, menerima membalas dan mengirim chatting online, menonton video pada Youtube, melakukan kegiatan binis melalui belanja online, bermaingame online, menerima dan membaca e-mail, membaca berita online serta browsing pada situs maupun website. Berdasarkan jenis-jenis aktivitas cyberloafing tersebut dapat disimpulkan bahwa ada 4 hal tujuan mahasiswa FEB UKSW melakukan aktivitas cyberloafing yaitu : sebagai hiburan, sebagai sarana komunikasi, untuk kegiatan bisnis, dan mendapatkan informasi.

2. Dua faktor pendorong perilaku cyberloafing, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.Dari faktor internal yaitu kebutuhan untuk selalu terhubung satu sama lain, kebutuhan ekonomi, kurangnya motivasi dan menghibur diri.Dari faktor eksternal yaitu yang pertama Proses Belajar Mengajar (PBM) yang terdiri dari dosen pengajar (fasilitator) dan metode pengajaran. Kedua yaitu lingkungan kelas yang terdiri dari lingkungan fisik dan lingkungan non-fisik.

Keterbatasan

Beberapa keterbatasan penelitian dapat disampaikan sebagai berikut :

1. Peneliti mempunyai keterbatasan waktu untuk mengeksplorasi berbagai macam tipe karakteristik individual yang berada di Universitas Kristen Satya Wacana terutama pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis.. Akan lebih baik, jika memasukkan tipe karakteristik individual lain untuk penelitian selanjutnya. Dengan harapan dapat memberikan hasil dan gambaran yang lebih mendalam mengenai cyberloafing.

(34)

34

2. Jika penelitian dengan sampel yang sama akan dieksplorasi lebih mendalam lagi. Peneliti menyarankan menggunakan sampel di dua fakultas maupun universitas atau pendidikan tinggi yang berbeda. Dengan tujuan untuk mencari tahu perbedaan perilaku cyberloafing diantara dua fakultas, organisasi atau institusi dengan culture dan lingkungan yang berbeda.

Implikasi Teoritis

Hasil penelitian ini mendukung penelitian Prasad, Lim, dan Chen (2010) yang menunjukkan bahwa fenomena mahasiswa di perguruan tinggi yang menggunakan akses internet kampus untuk kepentingan pribadi selama jam kuliah. Hal tersebut sesuai dengan temuan perilaku cyberloafing pada mahasiswa FEB UKSW yang menggunakan akses internet pada saat proses belajar mengajar di kelas dan untuk kepentingan pribadi.

Dalam penelitian Campbell (2006), mahasiswa yang usianya lebih muda lebih sering menggunakan ponsel di kelas daripada mahasiswa yang berusia lebih tua. Mendukung gagasan bahwa generasi membuat perbedaan dalam penggunaan perangkat elektronik di dalam kelas, Generasi Milenial yang meliputi mayoritas mahasiswa pada saat ini adalah generasi pada saat hadirnya internet (Prensky, 2001). Dimana responden dalam penelitian ini mahasiswa berusia 19-23 tahun dan termasuk ke dalam generasi Generasi Milenial yang lahir pada antara tahun 1977-1997 menurut Don Tapscott (dalam bukunya Grown Up Digital, 2013).

Implikasi Terapan

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti memberikan saran yang kiranya dapat memberikan manfaat bagi mahasiswa dan civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana. Berada di era yang setiap harinya sudah menjadi sesuatu yang biasa bertemu dan berinteraksi dengan teknologi, sudah seharusnya cyberloafing menjadi perhatian bagi setiap individu dan organisasi atau institusi, khususnya untuk institusi pendidikan tinggi seperti Universitas Kristen Satya Wacana. Sebagian besar pengguna teknologi di institusi pendidikan tinggi sudah pasti adalah para mahasiswa. Penggunaan teknologi gadget seperti smartphone sudah bukan sesuatu yang asing bagi mahasiswa. Seharusnya dengan berbagai macam teknologi canggih tersebut memudahkan dan mendukung

(35)

35

mahasiswa dalam proses belajar mengajar ketika di kelas. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua mahasiswa menggunakan teknologi tersebut dengan bijak dan proporsional. Hal ini terjadi karena dalam tiap individu mempunyai karakter yang berbeda. Dimana karakter tersebut akan melahirkan sikap untuk menolak atau menerima melakukan cyberloafing. Sudah saatnya setiap mahasiswa di Universitas Kristen Satya Wacana untuk memperhatikan pengembangan dan pendidikan karakter pada diri masing-masing.

Bagi para pemegang kebijakan di Universitas Kristen Satya Wacana mapun Program Studi atau Fakultas untuk menciptakan culture yang dapat mengurangi perilaku cyberloafing di kampus, misalnya, mengadakan pelatihan dan pengembangan karakter berbasis teknologi atau kegiatan sejenisnya secara berkala. Tidak hanya untuk mahasiswa, tapi juga untuk para dosen dan karyawan. Dengan harapan perilaku cyberloafing yang sifatnya perilaku menyimpang (deviant behaviour) dapat dikurangi, karena jika perilaku negatif dari cyberloafing ini terus menjadi bagian dari organisasi atau institusi maka akan berdampak negatif pada interaksi sosial yang akan berdampak langsung terhadap kinerja organisasi secara keseluruhan.

Bagi dosen pengajar (selaku fasilitator), dapat memanfaatkan gadget maupun smartphone dengan melakukan aktivitas cyberloafing dengan diarahkan ke hal yang baik atau positif pada mahasiswa. Misalnya, dosen meminta mahasiswa untuk mencari informasi yang bersangkutan dengan materi yang sedang diajarkan di dalam kelas atau membuka sebuah website jurnal yang kemudian dapat dibaca dan dipelajari lebih lanjut. Melalui strategi pembelajaran yang bisa diubah dengan memanfaatkan aktivitas cyberloafing yang diharapkan mampu mengurangi perilaku cyberloafing mahasiswa yang digunakan untuk kebutuhan pribadi menjadi kebutuhan pribadi namun berkaitan dengan materi perkuliahan pada saat proses belajar mengajar di kelas berlangsung.

(36)

36

DAFTAR PUSTAKA

Adrian Meier, Leonard Reinecke, Christine E. Meltzer. (2016). "Facebocrastination"? Predictors of using Facebook for procrastination and its effects on student' well-being. Elsevier. Andreaseen, C.S., Torsheim, T., & Pallesen, S. (2014). Predictors of use Of social

network sites at work - a specific type of cyberloafing. Journal of ComputerMediated , 906-921.

APJII, A. P. (2014). Profil Pengguna Internet Indonesia 2014. In Profil Pengguna Jasa Internet Indonesia 2014. edited by Parlindungan Marius, Sapto Anggoro and Content is The King : Jakarta Indonesia: Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia.

Ariani, Nurul Dwi. (2014). Kedisiplinan Belajar Matematika Ekonomi Ditinjau dari Karakteristik Dosen dan Motivasi Belajar pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Akuntansi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Naskah Publikasi. UMS, Surakarta.

Baturay, M.H., & Toker, S. (2015). An investigation of the impact of demographics on cyberloafing from an educational setting angle. Computers in Human Behavior, 50, 358- 366. http://dx.doi.org/10.1016/j.chb.2015.03.081

Blancard, Anita L. and Christine A. Henle. (2008). Correlates of Different Forms of Cyberloafing:the Role of Norms and External Locus of control. Vol. 24, pp. 1067-1084: Computers in Human Behavior.Barry, et al., (2015),

Campbell, S. (2006). Perceptions of mobile phones in college classrooms: Ringing, cheating, and classroom policies. Communication Education, 55, 280-294.

Deborah R. Tindell and Robert W. Bohlander. (2012). The Use and Abuse of Cell Phones and Text Messaging in the Classrooms: A Survey of College Students. College Teaching, 60 , 1-9.

Delafrooz, N., Paim, L. H., & Khatibi, A. (2010). Students Online Shopping Behavior: An Empirical Study. Journal of American ScienceJournal of American Science, 66(11), 137–147.

Doom, O. V. (2011). Cyberloafing: A multi-dimensional construct placed in a theoretical framework. Department Industrial Engineering and Innovation Sciences. Series Master These Innovation Management, 7.

Don Tapscott. (2013). Grown Up Digital: Yang Muda Yang Mengubah Dunia. Penerbit : Gramedia Pustaka Utama.

Gambar

TABEL KLASTER JAWABAN KUESIONER TERBUKA
Tabel Dampak Negatif atau Positif melakukan Cyerloafing

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Hipotesis 7 dalam penelitian yang menyatakan bahwa faktor sosiologis yaitu frekuensi belanja berpengaruh positif terhadap sikap compulsive buying konsumen adalah tidak

peran Humas dilihat dari perencanaan Program, Perencanaan Strategi, Aplikasi Strategi, dan Evaluasi dan kontrol, jika semua itu diprioritaskan untuk

Penulis menyusun Tesis ini dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Biologi, Universitas Kristen

Input data, yaitu: data Sumber PLN, Trafo, Saluran, dan beban yang diperoleh dari sistem yang terkait dengan catu daya Kawasan GI PUSPIPTEK dalam hal ini menggunakan catu

Penelitian ini diawali dengan menentukan kardinalitas pada graf hasil operasi comb sisi dan menentukan power domination number dari graf hasil operasi comb sisi, serta

3.4 Article 21 of the Chicago Convention provides the basis for ICAO to establish such a centralized platform from where Member States may obtain pertinent data concerning

Bila dibandingkan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, terjadi perbedaan aktifitas fagositosis yang bermakna secara statistika dengan nilai p=0,006, menggunakan

Filter kedua yang dirancang seperti halnya filter pertama, dengan perbedaan, substrate yang digunakan memiliki kerugian yang kecil, yaitu TMM10 dengan