PENGONTROLAN KUALITAS PROSES PRODUKSI ROKOK UNIT SIGARET KRETEK MESIN DI PT X DENGAN DIAGRAM KONTROL
MAHALANOBIS DISTANCE (D2)
Septyarini Dwi Rianti, dan Muhammad Mashuri
Jurusan Statistika
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111
Email: [email protected] ; [email protected]
Abstrak
Kualitas merupakan suatu hal yang sangat diperhatikan oleh konsumen. Kualitas menjadi salah satu pertimbangan penting bagi konsumen, untuk menjadi konsumen yang loyal. Oleh karena itu suatu industri atau perusahaan harus selalu menjaga kualitas hasil produksinya agar bisa mendapatkan konsumen yang loyal dan mampu bertahan di pasaran dan persaingan global. PT X merupakan salah satu indutri rokok yang selalu berupaya meningkatkan dan menjaga kualitas rokoknya. Pada penelitian ini pengontrolan kualitas dilakukan pada tahapan making unit sigaret kretek mesin. Penilaian kualitas hasil proses produksi pada tahapan ini dilakukan pada beberapa karakteristik kualitas sehingga mengarah pada konsep multivariat dan bersifat atribut. Diagram kontrol Mahalanobis Distance (D2) merupakan salah satu diagram kontrol yang dapat digunakan untuk memonitor proses produksi rokok dengan karakteristik kualitas yang bersifat multivariat atribut. Dengan menggunakan diagram kontrol Mahalanobis Distance (D2), proses produksi rokok tahap making menunjukkan hasil yang belum terkendali dan belum stabil. Hal ini dikarenakan pada fase II terdapat 32 pengamatan dari 187 pengamatan atau sebanyak 17,1% pengamatan yang terdeteksi tidak terkontrol.
Kata kunci: Produksi Rokok, Diagram Kontrol Mahalanobis Distance (D2), Multivariat
atribut, Pengontrolan Kualitas
1. Pendahuluan
Industri rokok di Indonesia merupakan industri yang cukup besar dan mampu bertahan untuk tetap menjadi sumber penerimaan negara terbesar melalui penerimaan cukai walaupun terjadi banyak pro dan kontra di masyarakat (Wibowo, 2003). Industri rokok yang bisa bertahan pasaran dan persaingan global adalah perusahaan rokok yang mampu menjaga kualitas produknya serta mampu mengendalikan kualitas produknya agar selalu sesuai standar. Metode statistik yang bisa digunakan untuk mengetahui stabilitas suatu proses produksi adalah diagram kontrol. Menurut Montgomery (2005) tujuan utama pengontrolan kualitas statistik adalah pengurangan variabilitas yang sistematik dalam karakteristik utama suatu produk. Variabilitas merupakan sesuatu yang dilihat dan dirasakan oleh pelanggan atau konsumen dari suatu hasil poduksi, semakin kecil variasi akan semakin disukai oleh konsumen, karena hal tersebut
menunjukkan konsistensi dalam kualitas
(Gaspersz, 2002).
PT. X merupakan salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia yang produknya tersebar di berbagai daerah di Indonesia. PT. X selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas produknya demi kepuasan pelanggan dan mendapatkan konsumen yang loyal, untuk menghasilkan kualitas produk yang bagus tentu saja diperlukan suatu proses produksi yang terkendali. Oleh karena itu perlu diadakannya pengontrolan proses produksi di PT X supaya bisa menghasilkan kualitas produk yang bagus. Salah satu tahapan proses pada unit SKM di PT. X adalah tahapan making, merupakan tahapan yang outputnya berupa rokok batangan. Pada tahapan ini ditemukan masih banyak cacat yang terjadi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengontrolan kualitas produksi rokok reguler setelah keluar dari mesin pelinting. Pada tahapan making terdapat 21 karakteristik kualitas atribut yang digunakan, terdapat lebih dari satu atribut dalam tahapan ini sehingga proses ini termasuk dalam multivariat atribut. Ketika terdapat lebih dari satu atribut yang
digunakan maka diagram kontrol yang
digunakan adalah diagram kontrol D2 atau
Mahalanobis Distance (Mukhopadhyay, 2008).
Oleh karena itu, pada penelitian Tugas Akhir ini
akan dibahas mengenai stabilitas proses
produksi rokok tahap making, serta dibahas mengenai variabel-variabel yang menyebabkan ketidakstabilan proses. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hasil stabilitas proses
produksi rokok tahap making dengan
menggunakan diagram kontrol mahalanobis
distance(D2), serta dibahas mengenai
variabel-variabel yang menyebabkan ketidakstabilan proses.
2. Diagram Kontrol Multivariat Atribut
Diagram kontrol merupakan salah satu alat yang digunakan dalam pengendaliaan kualitas baik industri jasa maupun manufaktur. Diagram kontrol adalah tampilan dalam bentuk grafik dari beberapa karakteristik kualitas yang telah diukur dan dihitung (Montgomery, 2005). Dimana diagram kontrol dapat digunakan untuk mengetahui apakah telah terjadi perubahan proses produksi, mendeteksi adanya penyebab-penyebab yang mempengaruhi proses, dan membuat standar suatu proses. Secara umum diagram kontrol ada dua macam yaitu diagram kontrol variabel dan diagram kontrol atribut.
Menurut Montgomery (2005), banyak karakteristik kualitas tidak dapat dengan mudah dinyatakan secara numerik karena pada banyak kasus, kualitas dapat dilihat secara langsung tanpa melakukan pengukuran secara numerik. Pada keadaan seperti itu, biasanya tiap obyek yang diperiksa akan diklasifikasikan sebagai objek yang sesuai dengan spesifikasi dan objek yang tidak sesuai dengan spesifikasi. Batas spesifikasi yang digunakan merupakan batas atau standar yang ditentukan perusahaan. Karakterstik kualitas seperti ini dinamakan atribut.
Montgomery (2005) mengatakan bahwa ada beberapa diagram kontrol yang digunakan untuk menganalisis kasus univariat atribut yaitu diagram kontrol p, np, c,dan u. Tetapi dalam dunia nyata tidak jarang ditemui kasus-kasus dengan karakteristik atribut lebih dari satu. Jika variabel karakteristik kualitas yang diperiksa lebih dari satu dan antar variabel yang satu dengan yang lain ada hubungan maka disebut multivariat (Johnson & Winchern, 1998). Diagram kontrol multivariat atribut adalah diagram kontrol yang digunakan ketika terdapat
lebih dari satu karakteristik kualitas berupa
atribut dalam suatu pemeriksaan
(Mukhopadhyay, 2008).
Beberapa diagram kontrol yang digunakan untuk menganalisis kasus multivariat atribut yaitu multivariate np chart (MNP chart), diagram kontrol multivariat atribut berdasarkan jarak chi-square, dan CCC & C chart. Lu, et al (1998) mengembangkan kontrol np untuk univariat atribut menjadi diagram kontrol Multivariat np (Mnp chart) untuk data multivariat atribut. Sedangkan Niaki & abbasi
(2007) mengembangkan suatu metode
pembuatan diagram kontrol berdasarkan
cumulative counts of conforming (CCC) items.
Diagram kontrol multivariat atribut berdasarkan jarak chi-square telah diterapkan oleh Mufidati (2009) pada proses produksi panel PT. Siemens
Indonesia.
3. Konsep Diagam Kontrol Mahalanobis
Distance (D2)
Konsep perhitungan diagram kontrol
Mahalanobis Distance (D2) mirip dengan
perhitungan statistik T2 Hotelling (Montgomery,
2005) . Jika dan s adalah vektor rata-rata dan matrik kovarian dari sampel berukuran n, dan x ~ N [ , ∑], maka
n-1 (x − )T (x − )~
( , n-1). (1)
4. Diagram Kontrol Mahalanobis Distance
(D2)
Jarak mahalanobis didasarkan pada korelasi antara variabel-variabel dengan pola yang berbeda dapat di identifikasi dan dianalisis (Anonim1, 2010). Menurut Hair, et al (1998) konsep Mahalanobis Distance adalah jarak di ruang multidimensi antara sebuah pengamatan dengan pusat dari semua pengamatan. Jarak Mahalanobis merupakan salah satu metode pengukuran jarak yang paling penting dan paling banyak dibicarakan dalam berbagai
permasalahan. Prinsip diagram kontrol
Mahalanobis Distance (D2) adalah jarak
proporsi jumlah ketidaksesuaian sebuah
pengamatan terhadap jumlah ketidaksesuaian seluruh pengamatan dengan rata-rata proporsi untuk setiap variabel (Mukhopadhyay, 2008).
Misalkan ada m pengamatan dengan k
karakteristik kualitas, maka
piT= [pi1, pi2, … , pik] menyatakan vektor
setiap variabel terhadap jumlah sampel pada
pengamatan ke-i (ni) dengan i = 1, 2, , m.
Dengan piT ~ berdistribusi multinomial dengan
parameter , sehingga diperoleh ∑kj=1pij= 1,
karena itu matrik varian-kovarian dari vektor
piT adalah matrik singular. Perhitungan jarak
mahalanobis untuk masing-masing pengamatan adalah sebagai berikut
= pi− p T ∑ pi− p (2)
dengan p = [pi1, pi2, … , pik]T
p = [p , p , … , pk ]T
∑i = generalized inverse matriks
∑i = matriks varian kovarian dari
vektor pi dan nilainya sama
dengan ni ∑ dimana Σ = (3) ij= pi(1 − pi) untuk i=j −pipj untuk i≠j (4) dengan i=1, 2, … , k j=1, 2, … , k
Sehingga diperoleh matrik ∑ adalah sebagai
berikut ∑ = ̅ (1 − ̅ ) − ̅ ̅ ⋯ − ̅ ̅ ⋯ ̅ (1 − ̅ ) ⋯ − ̅ ̅ ⋯ ⋯ ⋱ ⋯ ⋯ ⋯ ⋯ ̅ (1 − ̅ )
Karena ∑ merupakan matriks singular, maka
generalized inverse dari matriks ∑ adalah
∑ = iag. p , p , …, pk (5)
Ukuran jarak mahalanobis dapat diperoleh
dengan = pi− p T ∑ pi− p dengan
matriks ∑i adalah sebagai berikut
∑ = n ∑ = ni diag. p , p , … , pk = ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎡pni 0 ⋯ 0 0 ni p ⋯ 0 ⋮ ⋮ ⋱ ⋮ 0 0 ⋯ ni pk⎦ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤
Persamaan jarak mahalanobis untuk masing-masing pengamatan adalah
= [(pi1-p1) (pi2-p2) ⋯ (pik-pk) ] ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎡pni 1 0 ⋯ 0 0 ni p2 ⋯ 0 ⋮ ⋮ ⋱ ⋮ 0 0 ⋯ ni pk⎦ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤ pi1-p1 pi2-p2 ⋮ pik-pk = ni(pi1− p ) p n (pi2− p ) p ⋯ ni(pik− pk) pk pi1− p pi2− p ⋮ pik− pk
= ∑
̅ ̅(6)
Jika pi ~ multinomial [p, ni] dengan k variabel
dan matriks varian kovarian ∑i , diperoleh
perhitungan nilai Mahalanobis Distance (D2)
antara pi dan p adalah sebagai berikut
p i, p = ni pi− p T
∑ pi− p (7)
sehingga, berdasarkan konsep diagram kontrol mahalanobis pada persamaan (1) diperoleh
pi , p ~ ( k-1, ni ) (8)
Mukhopadhyay (2008) menjelaskan bahwa
derajat bebas pertama untuk distribusi pada
persamaan (8) adalah k-1 bukan k seperti
distribusi pada persamaan (1) karena
∑kj=1pij= 1. Sedangkan derajat bebas ke dua
adalah ni itu sendiri, bukan ni-1 karena ∑
merupakan penaksir tak bias untuk ∑ populasi
dengan ukuran sampel sebanyak ni. Batas
kontrol untuk diagram kontrol Mahalanobis
Distance (D2) dengan tingkat signifikan adalah sebagai berikut
BKA (Batas Kendali Atas) = k-1 , ni , α
= ni(k-1) (ni− k+2)
Fk-1, ni k+2, α
BKB (Batas Kendali Bawah) = 0
5. Identifikasi Variabel Penyebab Sinyal Tidak Terkontrol
Dalam Montgomery (2005), dijelaskan bahwa salah satu pendekatan yang dapat
digunakan dalam mendiagnosis sinyal tidak
terkontrol adalah menguraikan statistik T2 ke
dalam komponen-komponen yang menunjukkan
kontribusi dari masing-masing variabel. Jika T2
adalah sebuah nilai statistik, dan T2(i) adalah
sebuah nilai statistik untuk semua variabel proses tanpa variabel ke-i, maka Runger, Alt dan Montgomery (1996b) dalam Montgomery (2005) menjelaskan bahwa
i= − (i) (9)
Dengan perhitungannya nilai sesuai dengan
persamaan (1). Karena pada penelitian ini,
statistik yang digunakan adalah D2, maka
perhitungan i dilakukan dengan nilai statistik
D2 dan D2(i) . Sehingga persamaan yang
digunakan untuk perhitungan i pada penelitian
ini adalah
i= − (i) (10)
Perhitungan D2 mengacu pada persamaan (2)
dan (i) adalah hasil perhitungan D2 tanpa
variabel ke-i. i merupakan indikator kontribusi
relatif dari variabel ke-i untuk keseluruhan statistik. Perbaikan proses difokuskan pada pada
variabel yang memiliki nilai i lebih besar dari
( , 1)
6. Proses Produksi Rokok Unit SKM (Secondary)
Proses secondary merupakan tahapan proses lanjutan dari blending atau bahan setengah jadi hingga menjadi produk rokok. Pada tahap ini blended tobacco diolah menjadi produk jadi (rokok) beserta pengemasannya. Tahap secondary ini di bagi menjadi dua unit produksi, yaitu unit Sigaret Kretek Mesin dan Sigaret Kretek Tangan. Proses secondary unit Sigaret Kretek Mesin terbagi dalam beberapa tahapan proses yang meliputi :
1. Proses Making atau Pembuatan
Pada tahapan proses making bahan
campuran tembakau, clove, dan saos yang diolah menjadi bancuran akan diproses menjadi batangan rokok yang siap pakai atau finish good. Pengontrolan mutu fisik batang (atribut) pada tahapan making dilakukan oleh departemen quality control, dengan pengambilan sampel sebanyak 20 batang rokok dengan selang waktu 30 menit.
2. Proses Packing
Pada tahapan proses packing batangan rokok yang memenuhi standart kualitas
dikemas menjadi kemasan perbungkus dengan jumlah satuan tertentu.
3. Proses Wrapping
Tahapan wrapping merupakan tahapan proses pembungkusan pack dengan OPP Film dengan mesin TAM.
4. Proses Sloft dan Wrapping Sloft
Merupaka suatu tahapan pengaturan pack kecil ke dalam dos sloft dengan jumlah tertentu sesuai dengan spesifikasi produk. Ukuran untuk satu dos sloft berisi 20 pack, sebagai kelanjutan dilakukan wrapping sloft yaitu pembungkusan dengan OPP film untuk menjaga kualitas aroma dan taste.
5. Proses Ball dan Penempelan Logo
Yaitu proses dimana dos-dos sloft yang sudah terbungkus dikemas dalam ball dan
dimasukkan ke box dengan jumlah
tertentu. Box-box yang telah terisi
kemudian ditempeli logo 7. Metodologi Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari departemen Quality
Control. Data difokuskan pada data hasil
produksi pada tahapan making di unit SKM (sigaret kretek mesin) mulai bulan Februari 2010 sampai dengan Maret 2010.
Pengamatan yang digunakan sebanyak 153 pengamatan dengan jumlah n sampel dalam setiap pengamatan adalah sama yaitu 20 batang rokok. Karakteristik kualitas pada tahapan making yaitu seanyak 21 karakteristik kualitas. Dalam penelitian ini, tidak semua karakteristik kualitas dari perusahaan digunakan. Hal ini dikarenakan dalam menerapkan diagram kontrol
Mahalanobis Distance (D2) diperlukan
karakteristik kualitas yang harus terisi data ketidaksesuaian (cacat) atau dengan kata lain tidak boleh terisi nilai nol semua. Jika dalam variabel kualitas layanan terisi nilai nol semua maka perhitungan nilai jarak Mahalanobis tidak dapat dilakukan. Sehingga variabel kualitas layanan yang digunakan dalam penelitian ini hanya sejumlah 10 variabel. Variabel-variabel
yang digunakan antara lain variabel pedot (X1),
variabel gembos (X2), variabel lem bobbin
kurang (X3), variabel bobbin sobek(X4), variabel
tipping tidak nyetrip (X5), variabel tipping kusut
(X6), variabel vlek atau noda (X7), variabel
rokok bocor (X8), variabel filter lepas (X9),
variabel stempel kurang (X10).. Organisasi data
pada diagram kontrol Mahalanobis Distance
(D2) terdapat pada tabel 1 berikut
Tabel 1 Organisasi Data Diagram Kontrol Mahalanobis
Distance (D2) pada Call Center Surabaya dengan (a)
Jumlah ketidaksesuaian layanan dan (b) Proporsi ketidaksesuaian layanan ni= 20 (a) penga- matan nr X1 Xk X10 Total 1 n1 n11 n1k n1 10 n1• 2 n2 n21 n2k n2 10 n2• 3 n3 n31 n3k n3 10 n3• ⋮ i ni ni1 nik ni10 ni• 153 n153 n153 1 n153 k n153 10 n153 • (b) pengamatan X1 Xs X10 1 p11 p1s p1 10 1 2 p21 p2s p2 10 2 I pi1 pik pi10 i 153 p153 1 p153 k p153 10 153 p pk p10 dengan
ni = jumlah sampel tiap pengamatan
Xk = karakteristik kualitas (variabel) ke-k
nik =jumlah cacat pengamatan ke-i variabel ke-k
i = jarak Mahalanobis pengamatan ke-i
pik = proporsi cacat pengamatan ke-i variabel
ke-k dan pik =
nik ni
pk = rata-rata proporsi cacat variabel ke-k
i = 1, 2, 3, … m m = 153
k = 1, 2, 3, ... , 10
Langkah-langkah memperoleh nilai jarak Mahalanobis pada masing-masing pengamatan
ke-m (D2i) adalah sebagai berikut :
1. Menghitung proporsi ketidaksesuaian masing-masing variabel untuk tiap pengamatan, sehingga diperoleh nilai
pik yaitu proporsi ketidaksesuaian
pengamatan ke-i variabel ke-k dengan i = 1, 2, … , 153 dan k = 1, 2, … , 10.
2. Menghitung rata-rata proporsi
ketidaksesuaian variabel, sehingga
diperoleh nilai pk.
3. Menghitung nilai jarak Mahalanobis dengan mengacu pada persamaan (6) 8. Jenis Cacat Dominan
Departemen Quality Control sebuah
perusahaan rokok di Surabaya mengatakan bahwa karaketristik kualitas proses produksi rokok tahap making adalah sebanyak 21 karakteristik kulaitas atau yang disebut juga dengan variabel cacat. Untuk mengetahui karakteristik kecacatan yang dihasilkan dapat menggunakan diagram pareto. Diagram pareto adalah histogram dari data atribut yang disusun berdasarkan kategori tertentu. Dalam hal ini frekuensi cacat tertinggi dari suatu karakteristik kualitas selalu diletakkan paling kiri, kemudian diikuti oleh frekuensi yang lebih rendah sampai frekuensi yang terendah diletakkan paling kanan. Diagram pareto digunakan untuk menemukan jenis cacat yang paling dominan atau jenis cacat yang paling banyak terjadi pada periode tersebut. Dengan bantuan software minitab dapat diketahui variabel cacat dibagian mana sajakah yang paling banyak terjadi selama proses produksi dengan menggunakan diagram pareto seperti pada Gambar 4.1
Gambar 1 Diagram Pareto karakteristik kualitas proses produksi
Rokok tahap making
Berdasarkan gambar 4.1 sumbu horizontal menunjukkan variabel karakteristik kualitas x18 x15 x2 x5 x1 x21 x12 x16 x9 x20 x7 x14 x6 x11 x8 x19 x4 x13 x3 x10 x17 120 100 80 60 40 20 0 C o u n t 100% 80% 60% 40% 20% 0% P e rc e n t 0 0 12 11 0 2 0 4 0 25 2 0 0 6 0 31 0 12 2 0 0
sedangkan sumbu vertikal kiri menunjukkan jumlah banyaknya cacat yang terjadi pada setiap variabel dan sumbu vertikal kanan menunjukkan persentase banyaknya cacat. Gambar 4.1 menunjukkan jenis cacat yang paling dominan adalah jenis cacat filter lepas, dengan persentase sebesar 29%. Selain itu, jenis cacat yang juga sering terjadi dalam proses produksi yaitu
tipping tidak nyetrip sebanyak 23,4%.
Kemudian jenis cacat vlek dan pedot memiliki persentase yang sama yaitu sebesar 11,2 %, jenis cacat gembos memiliki persentase sebesar 10,3 %, jenis cacat stempel kurang memiliki persentase sebesar 5,6 %, jenis cacat tipping kusut memiliki persentase sebesar 3,7 %, jenis cacat bobbin sobek memiliki persentase terkecil yaitu sebesar 1,9 %, dan jenis cacat sisanya ada sebanyak 13 karakteristik kualitas dengan presentase sebesar 3,7 % jika dibandingkan dengan variabel lainnya Garis merah pada
diagram pareto tersebut menunjukkan
persentase kumulatif cacat bahwa 80% cacat yang terjadi didominasi pada bagian filter lepas, tipping tidak nyetrip, vlek, pedot, dan gembos. Sehingga dapat dikuantifikasikan kedalam 80% - 23% yang artinya adalah 80% kerusakan pada hasil proses produksi disebabkan oleh 23% faktor penyebabnya
9. Penerapan Diagram Kontrol Mahalanobis Distance (D2)
Penerapan diagram kontrol Mahalanobis
Distance (D2) dilakukan pada fase I dan fase II. Diagram kontrol fase I diterapkan pada data sampel hasil proses produksi periode sekarang dan periode sebelumnya untuk memperoleh
taksiran parameter yang nantinya akan
digunakan pada fase II (Montgomery, 2005). Sehingga, penerapan diagram kontrol fase I dilakukan secara berulang sampai menunjukkan keadaan proses yang terkontrol. Jika pada fase I terdapat pengamatan yang tidak terkontrol, maka pengamatan tersebut dihilangan dan kemudian dibuat diagram kontrol lagi yang
baru, begitu seterusnya sampai semua
pengamatan dalam keadaan terkontrol, dan parameternya dapat ditaksir. Sedangkan diagram kontrol fase II diterapkan pada pengontrolan proses produksi periode berikutnya yaitu periode Maret 2010 dengan menggunakan taksiran parameter yang telah diperoleh pada fase I. Penerapan fase I dan fase II dilakukan secara progresif, artinya jika pada penerapan fase II masih menunjukkan keadaan yang belum
stabil maka perlu dilakukan pengontrolan seperti pada fase I dan juga perlu dilakukan identifikasi variabel penyebab sinyal tidak terkontrol agar perbaikan terhadap proses lebih tepat sasaran. Ketika keadaan proses telah stabil atau
terkontrol maka bisa dilakukan kembali
penerapan fase II pada data periode berikutnya. Namun, jika pada fase II sudah menunjukkan keadaan yang telah stabil, tidak perlu dilakukan pengontrolan seperti pada fase I. Diagram kontrol fase II bisa diterapkan langsung untuk data periode berikutnya. Penerapan fase I dan II
ini dilakukan secara terus-menerus dan
berulang.
Diagram kontrol Mahalanobis Distance
(D2) pada fase I menggunakan data proses
produksi rokok tahap making unit SKM pada bulan Februari 2010. Banyaknya sampel yang diambil dalam setiap pengamatan adalah sebanyak 20 batang rokok untuk setiap pengamatan, dengan jumlah pengamatan adalah sebanyak 153 pengamatan. Sesuai dengan metode perhitungan nilai jarak dalam diagram
kontrol Mahalanobis Distance (D2) yang telah
dijelaskan pada bab metodologi penelitian,
didapatkan nilai statistik D2 yang kemudian
diperoleh diagram kontrol Mahalanobis
Distance (D2) seperti pada Gambar 2. Diagram
kontrol Mahalanobis Distance (D2) fase I
menggunakan =0,05, dan
BKA=
ni k-1
(ni k+2)
F
k-1, ni k+2, α
dengan ni merupakan jumlah sampel
masing-masing pengamatan yaitu sebesar 20 batang rokok dan k adalah jumlah variabel yang digunakan yaitu sepuluh variabel ditambah dengan jumlah sampel yang tidak cacat atau bisa disebut dengan variabel baik. Sehingga total jumalah vaiabel atau k adalah 11
Gambar 2 Diagram Kontrol Mahalanobis Distance (D2) Fase I
Pada gambar 2, sumbu horizontal
menunjukkan pengamatan dan sumbu vertikal
menunjukkan nilai statistik D2 dan batas
kontrolnya. Nilai BKA yang ditunjukkan pada Gambar 2 adalah 51,8841 dan BKB adalah 0. Dengan nilai BKA dan BKB tersebut, terlihat
bahwa proses produksi ternyata belum
terkontrol karena terdapat enam pengamatan yang diluar batas kendali atas yaitu pengamatan ke 10, 31, 66, 86, 107 dan 126. Observasi pengamatan yang diluar batas dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 Observasi Pengamatan tidak terkontrol
pengamatan nilai D2 10 79.407 31 75.20403 66 87.19609 86 75.20403 107 79.407 126 75.20403
Karena penerapan diagram kontrol D2 fase I
digunakan untuk mendapatkan taksiran
parameter, maka semua pengamatan harus dalam keadaan terkontrol. Oleh karena itu, apabila ada pengamatan-pengamatan yang berada diluar batas kontrol, maka pengamatan-pengamatan tersebut dieliminasi atau tdak diikutsertakan. Begitu pula pada kasus ini, pengamatan yang berada diluar batas kontrol seperti pada tabel 2 yaitu pengamatan ke 10, 31, 66, 86, 107, dan 126 harus dieliminasi. Hal ini
dilakukan secara iteratif sampai semua
pengamatan sudah terkontrol.
Pada penelitian ini untuk mendapatkan
diagram kontrol D2 fase I yang terkontrol,
diperlukan satu kali iterasi. Gambar 2
menunjukkan iterasi satu, dimana terdapat enam pengamatan yang berada diluar batas kontrol
atas. Pegamatan tersebut dihilangkan,
kemudian dilakukan pengontrolan kembali dengan diagram kontrol Mahalanobis Distance
(D2). Ternyata pada setelah iterasi I sudah tidak
ditemukan pengamatan yang berada diluar batas atau dapat dikatakan bahwa proses telah terkontrol. Dari proses yang terkontrol ini
didapatkan taksiran parameter rata-rata
proporsinya yang nantinya akan digunakan pada
fase II. Diagram kontrol D2 fase I setelah
iterasi satu dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Diagram Kontrol D2 (Mahalanobis Distance) setelah Iterasi I
Berdasarkan Gambar 3, setelah
mngeliminasi pengamatan-pengamatan yang berada diluar batas kendali atas, secara visual sudah menunjukkan proses telah terkontrol karena sudah tidak terdapat pengamatan berada diluar batas kendali. Setelah pengamatan sudah dalam fase I telah terkontrol diperoleh taksiran parameter. Taksiran parameter yang diperoleh adalah taksiran rata-rata proporsi cacat setiap pengamatan pada masing-masing variabel. Nilai taksiran parameter yang diperoleh ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Nilai Taksiran Parameter Taksiran parameter Nilai
0.004082 0.003401 0.000099 0.001361 0.007823 0.000090 0.004082 0 10 20 30 40 50 60 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 57 59 61 63 65 67 69 71 73 75 77 79 81 83 85 87 89 91 93 95 97 99 1 0 1 1 0 3 1 0 5 1 0 7 1 0 9 1 1 1 1 1 3 1 1 5 1 1 7 1 1 9 1 2 1 1 2 3 1 2 5 1 2 7 1 2 9 1 3 1 1 3 3 1 3 5 1 3 7 1 3 9 1 4 1 1 4 3 1 4 5 1 4 7 d BKA BKB
Taksiran parameter Nilai
P 0.000100
P 0.010544
P 0.002041
P 0.966656
Tabel 3 menunjukkan taksiran parameter yang merupakan hasil rata-rata proporsi cacat setiap pengamatan pada masing-masing variabel pada fase satu setelah satu kali iterasi. Rata-rata proporsi ketidaksesuaian pengamatan terbesar yaitu pada variabel stempel kurang yang memiliki nilai proporsi sebesar 0,010544. Sedangkan rata-rata proporsi ketidaksesuaian layanan terkecil yaitu sebesar 0,00009 atau mendekati 0,0001 terjadi pada tiga variabel, yaitu karakteristik kualitas lem bobbin kurang,
karakeristik kualitas tipping kusut, dan
karakteristik kualitas rokok bocor. Nilai taksiran parameter yang diperoleh pada penerapan
diagram kontrol Mahalanobis Distance (D2) fase
I tersebut digunakan dalam perhitungan nilai jarak pada diagram kontrol Mahalanobis
Distance (D2) fase II.
Penerapan diagram kontrol Mahalanobis
Distance (D2) Fase II menggunakan data proses produksi rokok tahap making unit SKM pada bulan Maret 2010. Banyaknya sampel yang diambil dalam setiap pengamatan adalah sama dengan data pada fase I yaitu sebanyak 20 batang rokok dengan pengamatan sebanyak 187
pengamatan. Perhitungan nilai-nilai statistik D2
pada fase II ini menggunakan taksiran parameter yang telah diperoleh pada fase I sebelumnya.
Setelah diperoleh nilai-nilai statistik D2 dari
masing-masing pengamatan tersebut kemudian dicari BKA dan BKB. Karena taksiran parameternya telah dtemukan maka pada fase II
ini digunakan BKA = (k, ) (Montgomery,
2005). Sehingga diperoleh diagram kontrol fase II adalah sebagai berikut terlihat pada gambar 4.
Gambar 4. Diagram Kontrol Mahalanobis Distance
(D2) Fase II
Berdasarkan diagram kontrol Mahalanobis
Distance (D2) fase II, secara visual terlihat bahwa terdapat pengamatan-pengamatan yang terdeteksi tidak terkontrol karena memiliki nilai
D2 yang lebih besar dari BKA. Setelah ditelusuri
ternyata terdapat 32 pengamatan dari 187 pengamatan atau sebanyak 17,1% pengamatan yang terdeteksi tidak terkontrol. Hal ini menunjukkan bahwa proses produksi belum terkendali dan belum stabil. Oleh karena itu langkah selanjutnya yaitu dilakukan identifikasi variabel penyebab sinyal tidak terkontrol. Identifikasi penyebab sinyal tidak terkontrol dilakukan agar perbaikan proses akan tepat sasaran. Sehingga diharapkan proses produksi rokok untuk waktu berikutnya akan semakin baik.
.
10. Identifikasi Variabel Penyebab Sinyal Tidak terkontrol
Pada diagram kontrol D2 fase II
ditemukan adanya pengamatan-pengamatan
yang berada diluar batas kendali atas.
Terdeteksinya sinyal tidak terkontrol atau pengamatan-pengamatan yang berada diluar
batas dalam pengontrolan proses,
mengindikasikan bahwa proses belum terkendali dan perlu dilakukan suatu perbaikan proses. Agar perbaikan proses mencapai hasil yang maksimal, variabel penyebab sinyal tidak
terkontrol harus diidentifikasi. Ringkasan
variabel penyebab sinyal tidak terkontrol ditunjukkan dalam Tabel 4.
Dalam penelitian ini, pendekatan yang dilakukan untuk identifikasi sinyal tidak terkontrol adalah seperti identifikasi variabel penyebab sinyal tidak terkontrol pada diagram
kontrol T2 Hotteling, yaitu dengan cara
0 200 400 600 800 1000 1200 1 1 3 25 37 49 61 73 85 97 1 0 9 1 2 1 1 3 3 1 4 5 1 5 7 1 6 9 1 8 1 bkb bka d
menguraikan statistik D2 ke dalam komponen-komponen yang menunjukkan kontribusi dari masing-masing variabel individual. Perhitungan
yang digunakan adalah perhitungan nilai i
yang merupakan selisih nilai D2 dengan nilai
D2(i) . Nilai D 2
(i) merupakan nilai statistik untuk
semua variabel proses tanpa variabel ke-i dengan i = 1, 2, 3,..., 6. Perbaikan proses difokuskan pada pada variabel yang memiliki
nilai i lebih besar dari ( , 1).
Tabel 4 Variabel Penyebab Sinyal Tidak Terkontrol Pengamatan yang tidak terkontrol variabel penyebab tidak terkontrol 3 X6 4 X8 7 X8 & X10 12 X8 18 X6 22 X6 & X8 31 X8 32 X6 38 X8 43 X8 51 X8 53 X6 56 X8 & X10 65 X8 & X10 77 X6 & X8 96 X6 97 X8 104 X8 113 X8 115 X6 122 X6 129 X8 130 X6 140 X8 146 X6 156 X8 161 X6 170 X8 Pengamatan yang tidak terkontrol variabel penyebab tidak terkontrol 171 X6 178 X8 180 X6
Tabel 4 menunjukkan bahwa variabel penyebab yang teridentifikasi menyebabkan pengamatan tidak terkontrol tidak selalu sama.
Variabel penyebab yang teridentifikasi
merupakan variabel yang memiliki kontribusi relatif besar yang menyebabkan pengamatan
terdeteksi tidak terkontrol. Terdapat 14
pengamatan tidak terkontrol yang disebabkan
oleh variabel X6 yaitu pengamatan ke- 3,18, 22,
32, 53, 77, 96, 115, 122, 130, 146, 161, 171, dan
180. Sembilan belas pengamatan tidak
terkontrol disebabkan oleh variabel X8 yaitu
pengamatan ke- 4, 7, 12, 22, 31, 38, 43, 51, 56, 65, 77, 97, 104, 113, 129, 140, 156, 170, dan
178. Sedangkan variabel X10 menjadi variabel
penyebab dari tiga pengamatan saja, yaitu pengamatan ke- 7, 56, dan 65.
Variabel X6 dan variabel X8 merupakan
variabel yang menyebabkan paling banyak pengamatan yang tidak terkontrol. Oleh karena
itu variabel X6 dan variabel X8 menjadi variabel
yang diprioritaskan dalam perbaikan proses
nantinya. Variabel X6 adalah variabel atau
karakteristik kualitas tipping kusut, sedangkan
variabel X8 adalah variabel atau krakteristik
kualitas rokok bocor. 11. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang diperoleh pada bab sebelumnya, dapat diambil
kesimpulan bahwa dengan menggunakan
diagram kontrol Mahalanobis Distance (D2),
proses produksi rokok tahap Making di PT Gelora Djaja Surabaya menunjukkan hasil yang belum stabil dan belum terkendali. Hal ini
dikarenakan pada fase II terdapat 32
pengamatan dari 187 pengamatan atau sebanyak 17,1% pengamatan yang terdeteksi tidak terkontrol atau berada diluar batas kontrol.
Variabel penyebab yang menyebabkan pengamatan terdeteksi tidak terkontrol yaitu
variabel X6, variabel X8, variabel X10. Terdapat
14 pengamatan tidak terkontrol yang disebabkan
oleh variabel X6, sembilan belas pengamatan
variabel X10 menjadi variabel penyebab dari tiga
pengamatan saja. Variabel X6 dan variabel X8
merupakan variabel yang menyebabkan paling banyak pengamatan yang tidak terkontrol. Oleh
karena itu variabel X6 dan variabel X8 menjadi
variabel yang diprioritaskan dalam perbaikan proses nantinya.
Pada penelitian ini, tidak ditelusuri
faktor-faktor penyebab terjadinya cacat karena
keterbatasan data. Untuk penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan agar menggunakan data-data yang diperlukan untuk menelusuri
faktor-faktor yang menyebabkan proses tidak
terkontrol.
12. Daftar Pustaka
Anonim1. (2009). Mahalanobis. URL:http://www.wikipedia.com. (tanggal akses: 28 Februari 2010). Gaspersz, V. (2002). Pedoman Implementasi
Program Six Sigma Terintegrasi dengan ISO 9001:2000, MBNQA dan HACCP. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Hair, J. F. and Anderson, R.E. (1998).
Multivariate Data Analysis, 5th. Prentice
Hall Inc. New Jersey.
Johnson, A.R. and Wichern, D.W. (1998).
Applied Multivariate Statistical
Analysis. New Jersey. Prentice Hall, Upper Saddle River.
Lu, X.S., et al. (1998). “Control Chart for
Multivariate Attribute Processes”.
International Journal of Production Research, Vol.36, No.12, 3477-3489 Montgomery, D. C. (2005). Introduction to
Statistical Quality Control, 5th. Ed.New
York,N. Y. John Wiley and Sons.
Mukhopadhyay,A.R. (2008).Multivariate
Attribute Control Chart Using
Mahalanobis D2 Statistic. Journal of
Applied Statistics,Vol.35, No.4, 421-429.
Niaki, S.T.A. and Abbasi, B. (2007).On The Monitoring of Multi-Attributes
High-Quality Production Processes.
Metrika,Vol.35, 373-388.
Wibowo, T. (2003). Potret Industri Rokok di
Indonesia. Kajian Ekonomi dan