• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERFORMA REPRODUKSI SAPI DARA FRIESIAN-HOLSTEIN PADAPETERNAKAN RAKYAT KPSBU DAN BPPT SP CIKOLE DI LEMBANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERFORMA REPRODUKSI SAPI DARA FRIESIAN-HOLSTEIN PADAPETERNAKAN RAKYAT KPSBU DAN BPPT SP CIKOLE DI LEMBANG"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PERFORMA REPRODUKSI SAPI DARA

FRIESIAN-HOLSTEIN PADAPETERNAKAN RAKYAT

KPSBU DAN BPPT SP CIKOLE DI LEMBANG

Peternakan sebagai salah satu subsektorpertanian memegang peranan penting dalam pembangunan nasional, sehingga perlu diperhatikan dengan baik oleh pihak pemerintah maupun swasta . Sapi perah merupakan bagian dari usaha peternakan yang perlu dikembangkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan terus meningkatnya permintaan protein asal ternak termasuk susu, yang mayoritas berasal dari ternak sapi perah . Usaha ternak sapi perah domestik umumnya dilakukan dalam dua bentuk, yaitu peternakan rakyat dan perusahaan. Suatu usaha peternakan sapi perah dapat dikatagorikan baik, apabila dapat memaksimalkan efisiensi produksi, yang ditunjukkan antara lain dengan tercapainya produktifitas optimal dari ternak . Sedangkan produktifitas ternak sendiri akan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti manajemen, pakan, genetik dan reproduksi .

Performa reproduksi merupakan salah satu aspek yang penting disebabkan penampilan reproduksi setiap individu dapat mencerminkan kemampuan ternak tersebut dalam berproduksi

PRIHATIN, O .D', A. ATABANY'danA. ANGGRAENI2 Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fapet - IPB'

Balai Penelitian Ternak, Ciawi - Bogor' ABSTRAK

Penampilan reproduksi ternak merupakan suatu aspek yang penting diperhatikan untuk mencapai produktifitas secara optimal . Genetik, nutrisi, manajemen dan lingkungan nerupakan sejumlah faktor yang dominan mempengaruhi efisiensi reproduksi . Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui performa reproduksi sapi dara FH yang dipelihara dibawah dua sistem pemeliharaan meliputi stasiun bibit (BPPTSP) dan peternakan rakyat binaan koperasi Lembang (KPSBU) . Beberapa indeks reproduksi sapi dara FH dipelajari di KPSBU dan BPPT SPmencakup umur kawin pertama (547 dan63 ekor), umur beranak pertama (657dan65ekor), dan interval dari beranak sampai kawin pertama (275 dan30ekor) . Rataan ketiga indeks reproduksi diperoleh berurutan 18,9 ± 6,5bulan, 31,9 ± 8,9bulan, dan 143,9 ± 72,5hari di KPSBU ; sedangkan untuk BPPT-SP Cikole berurutan 20,9 ± 5,5 bulan, 33,9 ± 8,3bulan, and90,6 ± 54,6 hari . Pembandingan setiap nilai indeks reproduksi sapi FH dara dari kedua lokasi memperlihatkan secara statistik berbeda nyata(P<0,05) yang mengindikasikan performa reproduksi dapat bervariasi tergantung pada kondisi pakan, manajemen dan lingkungan .

Kata kunci : Holstein-Friesian, sapi dara, umur kawin pertama dan beranak pertama

PENDAHULUAN selama hidupnya. Fase reproduksi yang sangat essensial akan dimulai saat sapi dara berahi pertama, kawin pertama, beranak pertama, berahi kembali setelah beranak, kawin dan menjadi bunting hingga beranak lagi . Pertumbuhan sapi dara sejak lahir dapat mempengaruhi panjang pendeknya umur berahi pertama. Sapi dara dengan pertumbuhan yang lambat akan mengalami berahi pertama yang tertunda serta mengalami mengalami keterlambatan kawin dan beranak pertama (Pmtoet al.,2000).

Banyak studi di daerah iklim sedang telah memberi rekomendasi sebaiknya sapi dara (Bos taurus)mencapai laju pertumbuhan dan bobot yang sesuai agar bisa mencapai umur beranak pertama pada kisaran 22 sampai 25 bulan . Hal ini terkait dengan keinginan untuk memperoleh produksi susu secara optimal baik pada laktasi pertama ataupun selama masa hidup produktif (MOORE et al., 1991 ; PIRLO et al ., 2000 ; dan ETTEMA dan SANTOS, 2004) . Bila laju pertumbuhan sapi dara lebih rendah dari yang diharapkan, akan menyebabkan pencapaian umur pubertas dan beranak pertama terlambat sebagai akibat terjadinya penundaan berahi dan kebuntingan . Keadaan demikian

(2)

merupakan kerugian dalam usaha ternak sapi perah karena dapat menyebabkan pertambahan waktu pemeliharaan pada saat pertumbuhan, penundaan produksi dan pengembalian modal . Diharapkan dengan manajemen reproduksi yang baik akan meningkatkan efisiensi produksi usaha ternak sapi perah(ANGGR4ENI, 2006) .

Penelitian ini bertujuan mengetahui performa reproduksi sapi dara FH di peternakan rakyat Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara (KPSBU) dan Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Sapi Perah (BPPTSP) Cikole, Lembang .

Materi percobaan

Penelitian dilaksanakan selama dua bulan, mulai bulan Juli sampai Agustus 2007, di peternakan rakyat wilayah KPSBU dan BPPT SP Cikole, Lembang . Penelitian menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Unit koperasi KPSBU dan BPPT SP Cikole, Lembang . Ternak yang dijadikan obyek dalam penelitian ialah sapi FH milik peternakan rakyat KPSBU sebanyak 657 ekor dan BPPT SP Cikole sebanyak 65 ekor. Data reproduksi sapi dikumpulkan mulai dari tahun 2003-2007 untuk peternakan rakyat KPSBU dan tahun 1998-2006 untuk BPPT SP Cikole .

Pengambilan data sekunder dilakukan di kantor KPSBU dan juga di BPPT SP Cikole Lembang . Data yang dikumpulkan ialah tanggal lahir, tanggal kawin pertama, tanggal beranak pertama, tanggal kawin setelah beranak dan tanggal beranak berikutnya .

Peubah yang diamati didefinisikan sebagai berikut :

1 . Umur kawin pertama, yaitu umur pertama kali sapi dara dikawinkan, dalam hal ini umur pertama kali sapi dilakukan inseminasi .

Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat

` MATERI DAN METODE

2 . Umur beranak pertama, yaitu umur dimana pertama kali sapi menghasilkan keturunan (beranak) dan memproduksi susu .

3 . Interval dikawinkan pertama setelah beranak, yaitu interval dari induk partus/ beranak sampai kawin kembali

Analisa data

Data reproduksi sapi FH dara pada lokasi yang berbeda dianalisa secara deskriptif . Untuk membandingkan performa reproduksi sapi dara pada dua lokasi yang berbeda, data ditransformasi ke dalam bentuk sebaran normal kemudian dilakukan uji-t (t-student) (STEEL dan ToRRrE, 1991) . Uji beda (t-student) dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak statistika Minitab 14 Version for windows .

HASIL DAN PEMBAHASAN

Umur kawin pertama

Performareproduksi sapi daraFriesian-Holstein di peternakan rakyat KPSBU dan BPPTSP Cikole, Lembang ditampilkan pada Tabel 1 . Informasi pada Tabel 1 menunjukkan sapi dara FH di peternakan rakyat KPSBU memiliki umur kawin pertama lebih awal dibandingkan sapi dara FH di BPPT-SP Cikole (P<0,05), yaitu 18-19 bulan vs 20-21 bulan . Perbedaan tersebut diduga karena perbedaan manajemen pemeliharaan serta pemberian pakan pada masa pertumbuhan . Umur pubertas sapi dara dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti genetik, pakan, manajemen dan lingkungan . Namun faktor yang sangat mempengaruhi umur pubertas sapi ialah bobot tubuh dan laju pertumbuhan (SERJSEN danPuRP, 1997 ; danNoGuEiRk,2004).

(3)

Tabel 1 . Perbandingan Performa reproduksi sapi dara Friesian-Holsteindi peternakan rakyat KPSBU dan BPPT SP Cikole, Lembang

Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama pada indeks reproduksi sama, menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dan sangat nyata (P<0,01) .

Berdasarkan hasil wawancara dikatakan terdapat sejumlah peternak yang mengawinkan . sapinya saat berahi pertama, tanpa memperhatikan kondisi bobot badannya, sehingga terdapat 29% sapi dara yang dikawinkan pertama kali pada umur kurang dari 15 bulan . Diperkirakan sapi tersebut belum mencapai bobot badan yang sesuai untuk dikawinkan . Menurut SuDONO (2002) sapi perah dapat dikawinkan pertama kali pada umur 15 bulan jika sudah mencapai bobot tubuh yang sesuai, yaitu 275 kg . Pada BPPT SP, sapi dara biasanya tidak langsung dikawinkan pada pertama kali berahi . Namun setelah melewati satu sampai tiga kali siklus . Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab umur kawin pertama sapi FH di BPPT SP Cikole lebih lama dibandingkan di peternakan rakyat KPSBU .PIRLOet al. (2000) mengemukakan faktor-faktor yang menyebab-kan penundaan umur kawin pertama adalah berahi yang terlambat, kesalahan dalam deteksi berahi, kurangnya bobot badan dan faktor lingkungan .

Umur beranak pertama

Rataan umur beranak pertama sapi FH pada petemakanrakyatlebihawal(32bulan)dibandingkan dengan BPPT SP (34 bulan) yang secara statistik menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) . Hasil ini sedikit lebih lama bila dibandingkan dengan rataan umur beranak pertama sapi dara FH yang dipelihara pada stasiun bibit BPTU Baturraden dan peternakan rakyat binaan di Kabupaten Banyumas, masing-masing 28,9 dan 31,3 bulan (ANGGRAENI, 2006) . Meskipun demikian rataan umur beranak sapi dara FH penelitian ini ada dalam kisaran rataan umur

beranak pertama sapi FH di beberapa peternakan di pulau Jawa, meliputi Pengalengan, Bogor, Baturraden dan Cirebon berturut-turut 42, 36, 29 dan 3 3 bulan . Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap umur beranak pertama . Sapi Bos taurus yang berada di daerah beriklim sedang (temperate) umumnya mencapai umur beranak pertama lebih awal daripada di daerah tropis (HOFFMAN, 1997 ; PIRLo et al ., 2000; ETTEMA dan SANTOS, 2004) . Dengan kondisi lingkungan di daerah tropis yang memiliki cekaman stress panas yang tinggi serta perbedaan dari segi manajemen dan ketersediaan pakan, sapi FH di Indonesia terbukti sulit mencapai umur beranak pertama seperti di negara beriklim sedang(ANGGRAENI, 2006) .

SUDONO (2002) menyatakan bahwa sapi FH atau keturunannya dapat beranak pertama pada umur 24-30 bulan, apabila tata laksana dan kualitas dan kuantitas makanan pada anak-anak sapi dan sapi dara cukup . Sehingga kurang efisien apabila terdapat sapi yang beranak pertama lebih dari 30 bulan . Memanjangnya umur beranak pada peternakan rakyat KPSBU dan BPPT SP disebabkan saat pertama kali ternak dikawinkan tidak selalu berhasil dengan kebuntingan . Umur beranak yang terlambat akan berpengaruh negatif terhadap produktifitas sapi perah sehingga akan menurunkan efisiensi peternakan .

Demikian pula jika beranak pertama kurang dari umur 2 tahun dikatakan kurang baik untuk produktifitas sapi, baik untuk beranak lagi juga untuk berproduksi susu karena belum mencapai bobot badan yang sesuai . Sapi-sapi tersebut masih membutuhkan nutrisi bukan hanya untuk pertumbuhan tapi berlaktasi (DEWHURST et al., 2002) .

1 9 7

Indeks reproduksi Lokasi N (ekor) Mean ± SD Median Min Max

KPSBU 547 18,9 ± 6,5 , 17,5 10,0 53,5

Umur kawin I (bulan)

BPPT SP 63 20,9 ± 5,5b 18,6 10,2 37,7

KPSBU 657 31,9 ± 8,91 29,5 18,7 89,1

Umur Beranak I (bulan)

BPPT SP 65 33,9 f 8,3b 31,0 22,4 61,5

KPSBU 275 143,9 f 72,5 1 128,0 19,0 342,0 Interval beranak sampai kawin I (hari)

(4)

Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat

Interval beranak - kawin pertama

,Pada Tabel 1 juga memperlihatkan terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) pada interval dikawinkan kembali setelah beranak pertama sapi dara FH di kedua lokasi . Interval sapi dikawinkan lagi setelah beranak pertama di peternakan rakyat memiliki hasil yang sangat bervariasi, yaitu 143,98 ± 72,50 hari . Interval tersebut sangat besar jika dibandingkan dengan BPPT SP yang memiliki interval sekitar 90,63 ± 54,60 hari . Pada peternakan rakyat, terdapat sapi yang dikawinkan pada hari ke-19 setelah beranak, bahkan terdapat sapi yang dikawinkan setelah 342 hari . Variasi yang sangat besar tersebut menandakan manajemen pemeliharaan dan reproduksi pada peternakan rakyat kurang baik.

Lamanya interval dikawinkan kembali dapat disebabkan karena kegagalan reproduksi, baik dari kondisi tubuh sapi, nutrisi dan manajemen . Menurut HAFEZ (2000) kesuburan tertinggi dicapai bila involusi uteri telah berlangsung 60-90 hari agar estrus kembali normal secara sempurna. Sehingga, waktu yang paling baik untuk dilakukan inseminasi pasca beranak ialah 60-90 hari agar dicapai efisiensi produksi yang baik . Sapi dikawinkan pada waktu kurang dari 60 hari, dapat menyebabkan gangguan reproduksi karena sapi tersebut belum kembali pulih kondisi tubuhnya . Sebaliknya, jika sapi dikawinkan pada umur lebih dari 90 hari, maka dapat menyebabkan kerugian karena pengurangan masa produktif sapi dan akan menambah biaya ekstra untuk pemeliharaan sapi yang kurang produktif.

Kesalahan dan keterlambatan deteksi berahi juga merupakan faktor dominan yang menyebabkan variasi yang sangat besar pada peternakan rakyat . Berdasarkan hasil wawancara dengan peternak, kemampuan peternak dalam mendeteksi berahi masih kurang . Tanda-tanda berahi yang diketahui hanya sedikit seperti tanda sapi gelisah dan keluar lendir dari vulvanya bahkan tanda berahi yang paling umum seperti 313 (Bareuh, Beureum, Baseuh) hanya sedikit yang mengetahui . Hal tersebut dapat menjadi kendala dalam mengawinkan kembali setelah beranak .

KESIMPULAN

Reproduksi merupakan faktor yang sangat penting dalam efisiensi produksi suatu usaha peternakan sapi perah . Sapi FH dara mencapai masa pubertas dan umur beranak pertama lebih awal di peternakan rakyat dibandingkan di BPPT SP. Akan tetapi sapi-sapi tersebut menjalani periode kawin kembali setelah beranak lebih lama sehingga menyebabkan selang beranak yang lebih panjang. Perbaikan manajemen, pelayanan reproduksi dan kesehatan serta pengurangan stress lingkungan merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatakan efisiensi reproduksi .

DAFTAR PUSTAKA

ANGGRAErn, A . 2006 . Productivity of Holstein-Friesian dairy cattle maintained under two systems in Banyumas District, Central Java, Indonesia . Thesis Ph .D . Department of Agriculture, University of Newcastle upon Tyne, United Kingdom .

DEWHURST, R. J., J . M . MOORBY, M. S . DHANOA and W. J . FISHER. 2002 . Effects of level of concentrate feeding during the second gestation of Holstein-Friesian dairy cows. 1 . Feed intake and milk produstion . Journal of dairy science . 85 :169-177 .

ETTEMA, J . F . and J . E . P. SANTOS . 2004 . Impact of age at calving lactation, reproduction, health, and income in first-parity Holsteins on commercial farms . J . Dairy Sc . 87 : 2730-2742.

HAFEZ, E . S . E . 2000 . Reproduction in farm animals . Ed ke-7 . Philadelphia . LEA and FEBIGER CHALMERS, W.T. 1980. Fish meal as pollen-protein substitutes for honey bees . Bee Word 61 (3) : 89-96 .

HOFFMAN . P.C . 1997. Optimum body size of Holstein replacements heifers . J . Animal sci. 75 : 836-845 . MooRE, R .K ., B.W. KENNEDY, L.R . SCHAEFFER and J.E .

MOXLEY. 1991 . Relationships between age and body weight at calving and production in first lactation Ayrshires and Holsteins . J . Dairy Sci . 74 : 269-278 .

NOGUERIA, G . P. 2004 . Puberty in South American Bos indicus (Zebu) cattle . Anim . Rep . Sci . 82-83 : 361-372 .

(5)

Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Uniuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat

PIRLO, G ., F. MIFLIOR, dan M . SPERONI . 2000 . Effect of SuDoNo, A .2002 . Ilmu Produksi Ternak Perah. Fakultas

age at first calving on production traits and on Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor .

difference between milk yield and returns and

rearing cost in Italian Holsteins . Journal of Dairy STEEL,R .G .D dan J .H .TORRIE . 1991 . Prinsip dan Prosedur Science

. cost 6

Italian

Statistika. PT. Gramedia. Terjemahan B . Sumantri . Jakarta .

SEMEN, K.and S .PURUP . 1997 . Influence of prepubertal feeding level on milk yield potential of dairy heifers :AReview. J . Dairy Sci . 75 : 828 - 835 .

Gambar

Tabel 1 . Perbandingan Performa reproduksi sapi dara Friesian-Holstein di peternakan rakyat KPSBU dan BPPT SP Cikole, Lembang

Referensi

Dokumen terkait

Menurut pengamatan penulis dalam melakukan pukulan open smash bolavoli kadang masih banyak kesalahan-kesalahan yang terjadi pada siswa sehingga menimbulkan rasa tidak

Kegiatan sosialisasi literasi media digital diharapkan mampu meningkatkan minat membaca siswa SMU dengan bijak menyeleksi sumber-sumber terpercaya dan konten-konten yang bermanfaat

Cinta yang berkobar ( ishq ) tidak dapat digunakan dalam menggambarkan hubungan antara manusia dengan Allah SWT karena tidak ada dasar untuk mengaitkan hal tersebut

2) Silangkan ibu jari dan jari telunjuk tangan yang sama dengan arah berlawanan letakkan pada gigi bagian atas dan bawah di sudut mulut pasien. 3) Lebarkan/jauhkan

Sedangkan untuk kanvas rem yang terbuat dari non asbestos lebih tahan panas dan terjadi rem blong pada saat suhu pengereman di atas 350 o C hal ini karena serat selulosa dan

Berikut ini adalah code dari file hal1.php, hal2.php, dan hal3.php sehingga dapat menampilkan nama user yang telah disimpan dalam session.. Misalkan terdapat lebih dari satu

Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa pada debit air yang sama terdapat kecenderungan peningkatan efisiensi pada tiap-tiap pengujian dengan variasi sudut pipa

Fakta yang ada dalam dunia nyata menunjukkan walaupun jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara relatif sama sehingga harga barang sejenis relatif