• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARA HISTOPATOLOGI HATI DA GI JAL TIKUS YA G DIBERI I SEKTISIDA (METOFLUTHRI 0.01%, IMIPROTHRI 0.04%, PERMETHRI 0.15%) PADA UJI TOKSISITAS AKUT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAMBARA HISTOPATOLOGI HATI DA GI JAL TIKUS YA G DIBERI I SEKTISIDA (METOFLUTHRI 0.01%, IMIPROTHRI 0.04%, PERMETHRI 0.15%) PADA UJI TOKSISITAS AKUT"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARA HISTOPATOLOGI HATI DA GIJAL TIKUS

YAG DIBERI ISEKTISIDA (METOFLUTHRI 0.01%,

IMIPROTHRI 0.04%, PERMETHRI 0.15%)

PADA UJI TOKSISITAS AKUT

WIDHI VIADHITA

FAKULTAS KEDOKTERA HEWA

ISTITUT PERTAIA BOGOR

(2)

ABSTRAK

WIDHI VINANDHITA. Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Tikus yang Diberi Insektisida (Metofluthrin 0,01%, Imiprothrin 0,04%, Permethrin 0,15 %) pada Uji Toksisitas Akut. Dibimbing oleh AGUS SETIYONO dan WIWIN WINARSIH.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran histopatologi hati dan ginjal tikus setelah pemberian formulasi insektisida (Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15%) dengan uji toksisitas akut. Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus putih jantan dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok kontrol dan 4 kelompok perlakuan yang diberi dosis bertingkat A= 5000 mg/kg BB, B= 2500 mg/kg BB, C= 1250 mg/kg BB dan D= 625 mg/kg BB. Setiap kelompok terdiri dari 5 ekor tikus. Selama masa penelitian dilakukan pengamatan dari perubahan perilaku, peubah penambahan bobot badan, jumlah kematian tikus, pemeriksaan patologi anatomi kemudian pengambilan sampel organ hati dan ginjal untuk dibuat sediaan histopatologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian formulasi insektisida memberikan pengaruh pada organ hati tikus berupa degenerasi hidropis dan apoptosis hepatosit. Perubahan pada organ ginjal tikus berupa dilatasi ruang Bowman, degenerasi hidropis dan apoptosis sel epitel tubuli, endapan protein dan dilatasi di lumen tubulus. Kelompok tikus yang diberi formulasi insektisida dosis 5000 mg/kg BB, mengalami apoptosis sel hati dan apoptosis tubulus ginjal paling banyak dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya.

Kata-kata kunci : Ginjal, Hati, Histopatologi, Metofluthrin, Imiprothrin, Permethrin.

(3)

ABSTRACT

The aim of this research was to observe histopathology of rats’kidney and liver with insecticide formulation (metofluthrin 0.01%, imiprothrin 0.04%, permethrin 0.15%) using an acute toxicity examination. This research used 25 male white rats and they divided into 5 groups, namely control group and 4 treatment groups that given insecticide with level doses, A= 5000 mgs/kg weight, B= 2500 mgs/kg weight, C= 1250 mgs/kg weight and D= 625 mgs/kg weight. During research conducted observation by behavior change, body weight, gross lession inspection, then sampling of liver and kidney for histoptological preparation. The result showed that the rats were given insecticide formulation indicated degeneration hydropis and apoptosis of hepatocyte cell. The kidney showed dilatation Bowman space, degeneration hydropis and apoptosis tubulus epitelial cell, existence of protein sediment and dilatation of tubulus lumen. In aditions, rats that were given insecticide 5000 mgs/kg weight, revealed apoptosis of liver cells and apoptosis of tubulus epitelial cells excessively than another groups.

(4)

GAMBARA HISTOPATOLOGI HATI DA GIJAL TIKUS

YAG DIBERI ISEKTISIDA (METOFLUTHRI 0.01%,

IMIPROTHRI 0.04%, PERMETHRI 0.15%) PADA UJI

TOKSISITAS AKUT

WIDHI VIADHITA

B04104189

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Pada Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERA HEWA

ISTITUT PERTAIA BOGOR

(5)

Judul skripsi : Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Tikus yang diberi Insektisida (Metofluthrin 0,01%, Imiprothrin 0,04%, Permethrin 0,15 %) Pada Uji Toksisitas Akut

Nama : Widhi Vinandhita

NRP : B04104189

Program Studi : Kedokteran Hewan

Disetujui,

Pembimbing I

Drh. Agus Setiyono, MS, PhD NIP. 131 760 847

Pembimbing II

Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi NIP. 131 878 931 Diketahui, Wakil Dekan Dr. Nastiti Kusumorini NIP. 131 669 942 Tanggal lulus

(6)

KATA PEGATAR

Alhamdulillah segenap rasa syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga karya ini dapat diselesaikan dengan baik. Sholawat beriring salam semoga terus tercurah kepada suri tauladan kita yang mulia Rasulullah Muhammad SAW.

Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini, namun Penulis memandang bahwa skripsi ini dibuat sebagai suatu proses pembelajaran tak henti baik terhadap materi perkuliahan maupun perjalanan hidup Penulis sebagai mahasiswa selama duduk di bangku perkuliahan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drh. Agus Setiyono, MS, PhD dan Ibu Dr. Drh. Wiwin Winarsih, MSi sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, kritik dan saran selama penelitian dan penulisan skripsi.

Ungkapan rasa hormat, terimakasih dan sayang Penulis sampaikan kepada papa dan mama yang telah ikhlas mendidik, mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, dan memberikan kasih sayang serta doa yang tak pernah putus. Terimakasih penulis sampaikan kepada mas tersayang, mas Irdham, yang telah menjadi inspirasi Penulis dan mbak Jelly dengan segala perhatiannya.

Ungkapan terimakasih penulis ucapkan kepada temen-teman COREL 41 (Noneng, Hening, Erma, Nauli, Merry, Indah, Izik dan Vita) atas semangat dan dukungannya, seta terimakasih juga untuk teman seperjuangan Sri, Aqil, Lili, kru Wa1, Wa3, Kilimanjaro. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua teman-teman ASTEROIDEA 41, semoga selalu bersama dalam kebaikan dan kesuksesan, amin.

Terimakasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penulis dalam menyelesaikan tugas akhir, pak Kas, pak Ndang, pak Soleh, Tri mulya dan seluruh civitas akademika FKH IPB. Semoga hasil penelitian yang tertuang dalam skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Bogor, Nopember 2008 Widhi Vinandhita

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Mei 1986 di Surabaya, Jawa Timur. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Drs. Achmad Nikmat dan Ibu Dra. Henrika Maria Chrismina. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1998 di SD Negeri Gayungan VII Surabaya. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTP Negeri 6 Surabaya dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2004 di SMU Negeri 9 Surabaya. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Persiapan Masuk Bersama (SPMB) pada tahun 2004.

Selama mengikuti pendidikan, penulis bergabung dalam Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia pada departemen kebijakan publik tahun 2005-2006, penulis bergabung dalam Forum Studi Islam FKH pada tahun 2005-2007. Penulis juga pernah aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa FKH IPB sebagai staf biro departemen kebijakan publik 2006-2007. Selain itu penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum parasitologi veteriner pada tahun 2008. Diluar bidang akademik penulis aktif mengikuti berbagai training dan kegiatan seminar dalam rangka menambah wawasan baik sebagai panitia maupun peserta.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... x PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 TINJAUAN PUSTAKA Pestisida... 3 Insektisida... 3 Piretroid... 4 Mekanisme Kerja... Metoflutrin... 6 Imiprotrin... 6 Permetrin... 7

Uji Toksisitas Akut... 8

Tikus Sprague Dawley... 9

Hati... 9

Anatomi dan Histologi Hati... 10

Fisiologi Hati... 10

Patologi Hati... 11

Ginjal... 12

Anatomi dan Histologi Ginjal... 12

Fisiologi Ginjal... 14

Patologi Ginjal... 15

MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu... 17

Bahan dan Alat... 17

Metode Penelitian... 18

Desain Penelitian... 18

Evaluasi Histopatologi... 18

Analisis Data... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN Penimbangan Bobot Badan dan Pengamatan Perilaku... 20

(9)

Histopatologi Hati Tikus... 21

Histopatologi Ginjal Tikus... 26

KESIMPULAN DAN SARAN... 34

DAFTAR PUSTAKA... 35

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Parameter Skoring Kongesti Sediaan Organ Hati dan Ginjal Tikus... 19

2. Rata-rata Berat Badan Tikus Putih... 20

3. Rataan Persentase kongesti hati tikus... 22

4. Rataan peringkat Skor histopatologi hati tikus... 23

5. Rataan Peringkat Skor Histopatologi Glomerulus Ginjal Tikus... 26

6. Rataan Peringkat Skor Histopatologi Tubulus Ginjal Tikus... 28

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Struktur Kimia Imiprothrin... 6

2. Struktur Kimia Permethrin... 7

3. Hati... 10

4. Ginjal Normal Dewasa... 13

5. Histologi Normal Ginjal... 13

6. Struktur Skematis Glomerulus... 14

7. Struktur Skematis Ginjal... 15

8. Kandang Tikus... 17

9. Kongesti Vena Sentralis pada Sel Hati Tikus... 23

10. Lesio Hepatosit Jaringan Hati Tikus... 25

11. Dilatasi Ruang Bowman pada Ginjal... 27

12. Dilatasi Lumen Tubulus... 29

13. Endapan Protein Dalam Lumen Tubulus... 29

(12)

DAFTAR LAMPIRA

1. Hasil Pengolahan Kruskal Wallis Test ... 38

2. Pembuatan Sediaan Histopatologi ... 40

3. Gejala Klinis Tikus Kelompok Dosis 5000 mg/kg BB ... 44

4. Gejala Klinis Tikus Kelompok Dosis 2500 mg/kg BB ... 45

5. Gejala Klinis Tikus Kelompok Dosis 1250 mg/kg BB ... 46

6. Gejala Klinis Tikus Kelompok Dosis 625 mg/kg BB ... 47

7. Patologi Anatomi Kelompok Tikus Dosis 5000 mg/kg BB... 48

8. Patologi Anatomi Kelompok Tikus Dosis 2500 mg/kg BB... 48

9. Patologi Anatomi Kelompok Tikus Dosis 1250 mg/kg BB... 49

10. Patologi Anatomi Kelompok Tikus Dosis 625 mg/kg BB... 49

(13)

PEDAHULUA

Latar Belakang

Pestisida merupakan senyawa yang digunakan untuk mengendalikan, mencegah atau membunuh hama untuk mengurangi organisme pengganggu. Kemampuan pestisida dalam mengendalikan dan membunuh hama menyebabkan pestisida semakin sering digunakan diberbagai bidang, seperti pertanian, perkebunan serta rumah tangga. Maka pestisida merupakan zat kimia yang mudah ditemukan disekitar manusia. Pestisida mampu menekan populasi hama apabila formulasi, waktu dan metode aplikasinya tepat. Namun lambat laun juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi makhluk hidup lainnya, seperti manusia, hewan dan tumbuhan. Dampak utama yang dialami oleh manusia dan hewan adalah keracunan akut/kronik (Lu 1995). Oleh karena itu, bermacam-macam jenis pestisida telah diproduksi untuk mengurangi daya toksisitas pada manusia, tetapi sangat toksik pada serangga/hama (Darmono 2008). Masyarakat umum dapat terpapar berbagai jenis toksikan melalui udara dan air disamping lewat makanan yaitu berupa zat tambahan makanan, pestisida dan pencemar (Lu 1995).

Pestisida dapat digolongkan berdasar fungsi dan asal katanya, penelitian ini menggunakan formulasi insektisida sebagai bahan yang akan diberikan pada tikus. Menurut Lu (1995) insektisida merupakan kelompok pestisida yang terbesar dan terdiri dari beberapa subkelompok kimia yang berbeda. Secara harfiah insektisida diartikan sebagai bahan kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan serangga hama (Sigit et al 2006). Insektisida berdasarkan asalnya dibagi menjadi dua yaitu insektisida alami dan sintetik. Insektisida alami, antara lain piretrum, nikotin, rotenon sedangkan insektisida sintetik antara lain; piretroid, organofosfat dan karbamat. Penelitian ini menggunakan formulasi insektisida yang mengandung bahan aktif Metofluthrin 0,01%, Imiprothrin 0,04%, Permethrin 0,15% yang merupakan kelompok dari insektisida piretroid. Penggunaan insektisida dapat menimbulkan dampak negatif bagi pengguna, lingkungan serta organisme nontarget. Dampak negatif penggunaan pestisida pada organisme nontarget adalah menimbulkan intoksikasi berbagai organ, terutama pada organ hati dan ginjal.

(14)

Hati merupakan organ yang berperan penting dalam detoksifikasi racun karena hati menerima 80% suplai darah dari saluran pencernaan melalui vena porta. Hati juga dapat menghasilkan enzim-enzim yang mempunyai kemampuan biotransformasi pada berbagai macam zat endogen dan eksogen untuk dieliminasi oleh tubuh. Proses biotransformasi ini mengaktifkan beberapa zat menjadi lebih toksik dan menyebabkan terjadinya perlukaan hati (Carlton dan Mc Gavin 1995). Hal ini menyebabkan hati berpotensi mengalami kerusakan, meskipun hati memiliki kemampuan regenerasi yang sangat besar dan mengembalikan fungsinya secara utuh. Menurut Ressang (1984) daya regenerasi sel-sel hati besar sekali. Pada hati normal telah diketahui bahwa lobektomi sebanyak 70% pada hati mengakibatkan proliferasi sel-sel hati yang sangat giat, sehingga dalam dua hingga tiga minggu bagian hati yang hilang dapat diganti kembali.

Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh tikus yang memiliki fungsi, melakukan ekskresi hasil metabolisme yang tidak terpakai dan racun tubuh yang dikeluarkan dalam bentuk urin/air seni serta mengatur konsentrasi unsur cairan tubuh. Selain itu ginjal berfungsi untuk membuat toksikan pada filtrat menjadi lebih pekat, membawa toksikan melalui tubulus, serta mengekskresikan xenobiotik dan metabolitnya (Guyton 1994 dan Lu 1995).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran histopatologi ginjal dan hati tikus putih setelah pemberian insektisida (Metofluthrin 0,01%, Imiprothrin 0,04%, Permethrin 0,15 %) secara oral dengan uji toksisitas akut.

Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran efek insektisida (Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0,04%, Permethrin 0.15%) pada hati dan ginjal secara mikroskopis melalui histopatologi sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penggunaannya.

(15)

TIJAUA PUSTAKA

Pestisida

The United State Enviromental Control Act mendefinisikan pestisida sebagai semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk mengendalikan, mencegah atau menangkis gangguan serangga, binatang pengerat, nematoda, gulma, virus, bakteri, jasad renik yang dianggap hama; kecuali virus, bakteri atau jasad renik lain yang terdapat pada hewan dan manusia (Djojosumarto 2008).

Menurut Darmono (2008), pestisida digolongkan menjadi bermacam-macam berdasar fungsi dan asal katanya. Berbagai jenis pestisida yang dikenal saat ini terutama dalam bidang pertanian, kesehatan mayarakat, dan kesehatan veteriner antara lain akarisida, rodentisida, insektisida, fungisida, herbisida, nematisida atau nematosida dan helmintisida.

Dari segi racunnya menurut Tarumingkeng (2001) pestisida dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, racun sistemik artinya dapat diserap melalui sistem organisme misalnya melalui akar atau daun kemudian diserap ke dalam jaringan tanaman yang akan bersentuhan atau dimakan oleh hama sehingga mengakibatkan peracunan bagi hama. Kedua racun kontak, serangga target dapat terkena melalui kulit, terkena langsung atau dengan residu insektisida beberapa waktu setelah penyemprotan.

Insektisida

Insektisida berasal dari bahasa latin insectum artinya potongan, keratan segmen tubuh, berfungsi untuk membunuh serangga. Insektisida merupakan kelompok pestisida yang terbesar dan terdiri dari beberapa subkelompok kimia yang berbeda (Lu 1995). Menurut Sigit et al. (2006) Insektisida berasal dari kata insect, yang berarti serangga dan –cide artinya membunuh. Secara harfiah insektisida diartikan sebagai bahan kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan serangga hama. Namun pemahaman ini sekarang diperluas untuk memenuhi perkembangan teknologi dalam pengendalian serangga hama di era modern ini. Hal ini disebabkan oleh fakta-fakta yang ada yaitu pertama,

(16)

insektisida tidak selalu bahan kimia. Kedua, pengertian insektisida yang berarti “membunuh” hama menjadi terlalu sederhana. Karena pada perkembangannya banyak insektisida yang bekerja dengan cara “tidak membunuh” namun dengan cara lain seperti menarik, mengusir, menghalau (rapel) atau mengatur pertumbuhan serangga. Oleh karena itu pengertian insektisida menjadi sangat luas, yaitu semua “bahan” atau campuram bahan yang digunakan untuk mencegah, merusak, menolak atau mengurangi serangga hama. Pengertian “bahan” dapat berupa bahan kimiawi maupun bahan non-kimiawi.

Insektisida dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu (1) berdasarkan susunan kimia dan (2) berdasarkan cara kerjanya. Berdasarkan susunan kimiannya insektisida dibedakan menjadi kelompok organik dan inorganik. Kelompok organik dapat dibedakan menjadi kelompok organik sintetik dan kelompok organik alamiah. Kelompok organik sintentik terdiri dari beberapa bagian, salah satunya adalah piretroid (Sigit et al 2006).

Piretroid

Piretroid adalah lipofilik alami dan diharapkan dapat terdistribusi kejaringan dengan kandungan lipid yang tinggi seperti lemak dan jaringan saraf sentral serta perifer. Piretroid juga terdistribusi ke banyak jaringan, seperti hati, ginjal dan kelenjar susu (Plumlee 2003).

Penamaan piretroid berarti mirip piretrin, karena akhiran -oid dalam dunia ilmiah berarti mirip, seperti pada istilah lain amoeboid dan nikotinoid sehingga piretroid sintetik yaitu senyawa-senyawa yang struktur kimianya seperti piretrum. Penelitian terhadap sintesa senyawa yang mirip piretrin dimulai sejak tahun 1940-an. Adanya kekhawatiran akan pasokan yang sangat bergantung pada alam, harga mahal dan usaha untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan piretrin, memaksa mengembangkan piretroid (Sigit et al 2006). Piretrum berasal dari ekstrak bunga Chrysantemum cinerariaefolium dan mengandung bahan aktif yang disebut piretrin. Bahan aktif ini memiliki efek membunuh yang cukup kuat dengan residu yang rendah, dapat ditemukan pada sampo hewan dan sering dikombinasikan dengan yang lain untuk memperoleh efek yang maksimun (Boyce et al 2004).

(17)

Penemuan piretroid merupakan terobosan penting dalam dunia insektisida, karena memiliki sejumlah karakterisitik penting yaitu bekerja cepat pada serangga, aplikasi dosis rendah, menunjukkan efikasi yang lebih tinggi terhadap serangga, toksisitasnya terhadap mamalia relatif rendah, dan tidak berbau (Oka 2005 dan Siggit et al. 2006). Berdasarkan waktu penemuannya, piretroid dapat dikelompokkan kedalam 4 generasi yaitu generasi pertama, kedua, ketiga dan keempat. Penelitian ini mengunakan insektisida piretroid yaitu permethrin (1973) yang merupakan generasi ketiga sedangkan imiprothrin (1998) dan metofluthrin merupakan generasi keempat (2000).

Mekanisme kerja piretroid

Mekanisme kerja insektisida adalah cara insektisida memberikan pengaruh terhadap serangga berdasarkan aktifitas insektisida didalam tubuh serangga. Hal ini berkaitan dengan titik tangkap (target site) spesifik pada organisme tersebut. Titik tangkap insektisida pada serangga biasanya berupa enzim atau protein. Beberapa jenis insektisida dapat mempengaruhi pada lebih dari satu titik tangkap pada serangga. Titik tangkap insektisida piretroid adalah sistem saraf, karena termasuk racun axonik (racun terhadap sistem saraf). Piretroid terikat pada suatu protein dalam syaraf yang dikenal sebagai voltaged-gated sodium channel. Pada keadaan normal protein ini membuka untuk memberikan rangsangan pada syaraf dan menutup untuk menghentikan sinyal syaraf. Piretroid terikat pada protein tersebut dan mencegah penutupan secara normal yang menghasilkan rangsangan saraf berkelanjutan. Hal ini yang mengakibatkan tremor dan gerakan inkoordinasi pada serangga yang keracunan (Sigit et al 2006).

Metofluthrin

Metofluthrin adalah sintetik piretroid yang dproduksi oleh Sumitomo Chemical Co, Ltd (Osaka, Japan) pada tahun 2000. Zat ini mampu melumpuhkan dan menghentikan aktifitas nyamuk. Tingginya tekanan uap memungkinkan metofluthrin menguap pada temperatur normal tanpa pemanasan sedangkan piretroid konvensional lainnya membutuhkan panas untuk penguapan karakteristik yang unik dari metofluthrin mendorong perkembangan alat-alat baru

(18)

yang dapat mengendalikan nyamuk tanpa energi luar untuk penguapan. Seperti paper strip (kertas yang dicelup dengan larutan metofluthrin) yang menguap dan mengendalikan serangga sasaran pada suhu kamar. Harga alat-alat menjadi lebih murah dan memberikan efek jangka panjang dengan biaya yang lebih murah (Kawada et al 2006, Sigit et al 2006).

Imiprothrin

Imiprothrin pertama kali terdaftar di Jepang tahun 1996 diproduksi oleh Sumitomo Chemical. Imiprotrin adalah insektisida dengan daya knock down (melumpuhkan) yang cepat untuk lipas dan serangga merayap lainnya. Imiprothrin digunakan untuk formulasi aerosol dan oil spray pada insektisida rumah tangga (Sigit et al 2006). Imiprothrin memiliki bentuk cair dan berwarna kuning. Sifat kimia zat ini stabil serta tidak ditemukan sensitisasi pada kulit. Antidota imiprothrin tidak diketahui. Efek yang ditimbulkan apabila keracunan imiprothrin antara lain hipersensitivitas, fibrilasi otot, tremor, ataksia, pernapasan tidak teratur/cepat, excess salivasi, urinasi, nonkarsinogenik dan nonmutagenik (Anonim 2008f).

Gambar 1 Struktur kimia imiprothrin. (Anonim 2008f).

(19)

Permethrin

Permethrin pada awalnya lebih banyak digunakan dalam pertanian (Sigit et al 2006). Pada tahun 1962 WHO merekomendasikan insektisida permethrin untuk digunakan dalam pengendalian vektor penyakit demam berdarah dengue karena insektisida ini lebih aman, daya insektisidanya cepat serta efikasinya lebih lama. Permethrin dapat digunakan sebagai adultisida maupun sebagai larvisida. Sebagai adultisida permethrin telah banyak digunakan dalam kegiatan pengendalian malaria yaitu sebagai bahan pencelup kelambu (Cox 1998). Selain itu, menurut Sigit et al (2006) permethrin memiliki daya kontak yang cepat dan daya residu sedang hingga baik, toksisitas mamalia rendah, dan iritasi rendah membuatnya menjadi insektisida yang banyak diminati pada program pemberantasan hama pemukiman. Permethrin tidak menyebabkan iritasi. Hal ini merupakan kelebihan yang paling menonjol dari permethrin dan merupakan alasan utama dari penggunaannya pada berbagai formulasi yang ada. Penggunaannya kini sangat luas, mulai dari aerosol, oil spray, konsetrat space spray, termisida untuk perlakuan tanah, pencelupan kelambu, kelambu berinsektisida jangka panjang hingga untuk perlakuan seragam tempur tentara. Struktur kimia permethrin disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur kimia permethrin. (Tarumingkeng 2001)

(20)

Uji Toksisitas Akut

Pestisida selain membantu manusia dalam mengatasi gangguan hama, aplikasinya dapat menimbulkan efek samping yang merugikan kesejahteraan manusia. Menurut Djojosumarto (1998) pada dasarnya pestisida bersifat racun dan dapat mengkontaminasi pengguna secara langsung sehingga mengakibatkan keracunan. Oleh karena itu menjadi penting dilakukan pengujian toksisitas bahan yang akan digunakan. Efek toksikan antara lain berhubungan dengan waktu paparan. Untuk meneliti berbagai efek yang berhubungan dengan waktu paparan, penelitian toksikologi biasanya dibagi dalam tiga kategori :

1. uji toksisitas akut dilakukan dengan memberikan zat kimia yang diuji sebanyak satu kali, atau beberapa kali dalam waktu 24 jam. Terdapat beberapa macam cara untuk pengujian toksisitas akut, yaitu oral, parenteral, inhalasi, kulit dan mata. Suatu indeks untuk mendefinisikan toksisitas akut dikenal dengan istilah LD50. Pengertian dari LD50 adalah dosis tunggal dari suatu zat, yang diturunkan secara statistik, yang menyebabkan kematian 50% hewan uji. Uji toksisitas akut bertujuan untuk menyelidiki intrinsik dari suatu bahan kimia, untuk menilai jenis hewan yang peka, menyeleksi tingkat dosis dalam penelitian lebih lanjut, dan untuk memperoleh informasi mengenai dampak merugikan yang dapat muncul pada organ. Data-data yang diperoleh dapat membantu untuk menentukan takaran aturan pengguanaan pestisida (Direktorat Pupuk dan Pestisida 2004).

2. uji toksisitas jangka pendek (juga dikenal sebagai penelitian sub akut atau subkronik) dilakukan dengan memberikan bahan tersebut berulang-ulang, biasanya setiap hari atau lima kali seminggu, selama jangka waktu kurang lebih 10% dari masa hidup hewan yaitu tiga bulan untuk tikus.

3. uji toksisitas jangka panjang dilakukan dengan memberikan bahan tersebut berulang-ulang selama masa hidup hewan coba atau sekurang-kurangnya sebagian besar dari masa hidupnya, misalnya untuk 18 bulan untuk mencit dan 24 bulan untuk tikus (Lu 1995, Kardiningsih 2002, Harmita 2005).

(21)

Tikus Sprague Dawley

Tikus (Rattus Rattus) telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Tikus ini sering dijadikan hewan percobaan untuk pengujian perilaku, fisiologi dan toksikologi obat manusia, vaksin dan pestisida. Terdapat berbagai macam galur tikus yang sering dijadikan hewan percobaan salah satunya adalah galur Sprague-Dawley. Galur Sprague-Dawley memiliki ciri-ciri berwarna albino putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang dari badannya. Seperti halnya mencit, terdapat tikus germ free, gnotobiotic dan spesific pathogen free disamping yang biasanya (conventinal) (Malole dan Pramono 1989). Tikus putih galur Sprague-Dawley merupakan salah satu galur yang dikembangkan di Winconsin pada tahun 1925 oleh R.W. Dawley untuk pembibitan komersial. Betina diperoleh dari Institut Wistar namun asal jantan tidak diketahui. Galur Sprague Dawley memiliki panjang leher yang sedang (Weihe 1989). Berikut disajikan klasifikasi ilmiah dari Rattus rattus.

Klasifikasi Ilmiah tikus menurut Linnaeus, 1758 dalam Anonim 2008g adalah Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Famili : Muridae Genus : Rattus Spesies : R. rattus Nama Binomial : Rattus Rattus

Hati

Anatomi dan histologi hati

Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh yaitu sekitar 2-3% dari bobot badan (Ressang 1984). Unit fungsional dasar hati adalah lobulus. Lobulus hepar dibangun disekeliling vena sentralis (Guyton 1994). Hati terdiri atas sel-sel hati

(22)

(hepatosit) yang tersusun radial ke arah luar vena sentralis. Sel hati bebentuk polihedral dengan inti bulat yang terletak di tengah (Dellman and Brown 1992).

Gambar 3 Organ hati tikus. (Anonim 2008d).

Fisiologi Hati

Vaskularisasi hati berasal dari arteri hepatica dan vena porta. Melalui vena porta masuk darah yang berasal dari saluran pencernaan dan organ abdomen lain yaitu limpa, pankreas dan kantung empedu. Darah yang masuk mengandung berbagai nutrisi yang baru diserap dan siap untuk diproses lebih lanjut oleh hati. Selain nutrisi, turut masuk berbagai bakteri, darah merah yang sudah tua dan toksin yang harus diolah, dihancurkan atau juga disimpan. Sebanyak 75-80% darah pada organ hati berasal dari vena porta, sedangkan dari arteri hepatika mengalir sekitar 20-25% darah yang kaya akan oksigen (MacLachlan dan Cullen 1995). Hepatosit memiliki beberapa fungsi, antara lain :

1. sintesis gula-gula, plasma protein, faktor-faktor penggumpalan darah, lipid-lipid, urea dan badan keton

2. sekresi garam-garam empedu dan asam empedu 3. ekskresi pigmen-pigmen empedu

4. biotransformasi substansi-substansi toksik termasuk obat-obatan dan hormon

5. metabolisme lipid, protein-protein dan karbohidrat (Banks 1992). Hati adalah lokasi yang paling penting dalam sintesa protein. Hampir semua protein serum disintesis di hati, termasuk protein yang kritis seperti albumin dan faktor pembeku darah. Walaupun hati memiliki banyak fungsi, satu

(23)

fungsi yang tidak bisa dilakukan oleh hati adalah transport asam amino (Cunningham 2002).

Patologi Hati

Hati memiliki kemampuan yang menakjubkan untuk mengembalikan dirinya setelah kehilangan jaringan hati yang bermakna akibat hepatokmi parsial atau lesion hati akut, selama lesion tersebut tidak diperparah oleh infeksi virus atau peradangan. Hepatektomi parsial, yang mengambil sampai 70% bagian hati, menyebabkan lobus yang tersisa membesar dan mengembalikan hati keukuran sebelumnya. Regenerasi ini berlangsung sangat cepat dan membutuhkan waktu hanya lima sampai tujuh hari pada tikus. Selama regenerasi hati, hepatosit diperkirakan mengalami replikasi sebanyak satu atau dua kali, dan setelah tercapai ukuran dan volume hati sebelumnya, hepatosit kembali kepada keadaan sebelumnya (Guyton and Hall 1997).

Degenerasi sel dapat berupa degenerasi hidropis, degenerasi berbutir, dan degenerasi lemak. Degenerasi suram, berbutir, albuminoid atau parenkim, sering terlihat pada proses-proses septik atau toksik pada peracunan-peracunan. Degenerasi terjadi karena gangguan biokimiawi yang disebabkan iskemia, anemia, metabolisme abnormal dan zat kimia yang besifat toksik. Hal ini menyebabkan membran sel normal akan mengalami kerusakan sehingga keseimbangan pengeluaran ion K+ dan pemasukkan ion Na+, Ca2+, dan air akan terganggu. Kerusakan membran sel menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah air kedalam sel, sehingga menyebabkan sitoplasma menjadi bengkak dan dipenuhi butiran-butiran air. Apabila kerusakan membran sel terus berlangsung, maka sitoplasma sel akan berisi cairan yang membentuk vakuola-vakuola, sehingga sitoplasma terlihat lebih pucat, keadaan ini dinamakan degenerasi hidropis (Cheville 1999).

Degenerasi sel yang berlangsung secara terus akan menyebabkan kematian sel yang bersifat irreversibel. Kematian sel dapat terjadi melalui proses apoptosis dan nekrosa sel. Apoptosis merupakan proses kematian sel yang terencana dan terprogram. (Lu 1995; Cheville 1999). Apoptosis terjadi pada dua kondisi yaitu kondisi fisiologis atau patologis. Apoptosis secara fisiologis adalah peristiwa

(24)

berkurangnya sel-sel secara individual. Proses ini membutuhkan energi dan melalui mekanisme endogenus endonuklease. Apoptosis memiliki ciri-ciri morfologik yaitu; sel-sel menyusut membentuk masa hipokromik dan terjadi fragmentasi secara cepat sehingga terbentuk badan-badan apoptotik. Hal ini bersifat normal, jika bermaksud memelihara sebuah organ dalam pergantian sel, atau reduksi ukuran selama atropi (Underwood 1992).

Nekrosis hati adalah kematian hepatosit. Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral, pertengahan, perifer) atau masif. Nekrosis umumnya merupakan kerusakan akut. Beberapa zat kimia telah dibuktikan atau dilaporkan menyebabkan nekrosis hati (Lu 1995). Nekrosis hati merupakan suatu manifestasi toksikan yang berbahaya tetapi tidak selalu kritis karena hati memiliki kapasitas pertumbuhan kembali yang luar biasa. Berdasarkan penyebabnya nekrosa dapat disebabkan oleh dua hal yaitu; 1. toksopatik disebabkan oleh pengaruh langsung agen yang bersifat toksik. 2. trofopatik akibat kekurangan O2, zat-zat makanan dsb. Nekrosa hati secara patologik dapat dibagi menjadi 2 bagian; nekrosa lokal dan nekrosa merata. Nekrosa lokal cirinya dapat sembuh, bila berulang-ulang dapat sirrosis (fibrosis hati yang meluas). Dapat berkonfluasi menjadi nekrosa meluas-rata (massive-nekrosis) yang mengakibatkan sirrosis berbenjol-benjol (nodular cirrchosis) (Ressang 1984).

Ginjal

Anatomi dan histologi ginjal

Ginjal tikus dewasa beratnya mendekati 0,51-1,08% dari berat badan bervariasi tergantung umur dan jenis kelamin. Ginjal terletak retroperitoneal, ventrolateral dari columna veterbralis. Ginjal kanan terletak lebih kranial dibandingkan ginjal kiri (Rosseaux 1998).

Sebuah ginjal dengan potongan memanjang memberi gambaran dua daerah yang cukup jelas (Gambar 4). Daerah perifer yang beraspek gelap disebut korteks (Cortex), dan selebihnya yang agak cerah disebut medulla, berbentuk piramid terbalik. Bagian yang paling lebar atau dasar tersusun tepat dengan tepi dalam korteks, dan apeks atau papil mengarah ke pelvis (Dellman 1992).

(25)

Gambar 4 Ginjal normal dewasa dengan potongan melintang (Anonim 2008c).

Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh memiliki dua fungsi utama, pertama untuk mengekskresikan sisa-sisa metabolisme dan racun tubuh dalam bentuk urin/air seni, yang kemudian dikeluarkan dari tubuh. Kedua, mengatur konsentrasi kebanyakan unsur cairan tubuh (Guyton 1994). Ginjal juga mengatur keseimbangan asam basa, serta mengatur tekanan darah (Dellman 1992). Selain itu ginjal berfungsi untuk memekatkan toksikan pada filtrat, membawa toksikan melalui tubulus, serta mengekskresikan xenobiotik dan metabolitnya (Lu 1995).

Menurut Damjanov (1997), ginjal secara histologis adalah organ yang bersifat kompleks dan memiliki beberapa fungsi. Masing-masing ginjal terdiri dari jutaan nefron, yang merupakan unit fungsional dasar dari organ ini. Masing-masing nefron terdiri dari glomerulus, tubulus dan duktus pengumpul, yang kesemuanya memiliki sifat anatomis dan fungsional sendiri (Gambar 5).

Gambar 5 Histologi normal ginjal. (Anonim 2008e).

Nefron sebagai unit fungsional ginjal, mampu membentuk urin sendiri. (Guyton 1994). Setiap ginjal mengandung ribuan nefron (Dellmann & Brown 1992). Pada dasarnya nefron terdiri dari (1) glomerulus. Glomerulus merupakan kapiler yang berbentuk bola berjaring, berhubungan dengan arteriola afferen dan efferen. Glomerulus memiliki fungsi utama yaitu memfiltrasi plasma. Gambar skematis glomerulus disajikan pada Gambar 6. Bagian nefron ke-2 adalah tubulus.

(26)

Tubulus merupakan tempat cairan difiltrasikan kemudian disekresi hingga saluran urinari terakhir dalam bentuk urin. Kapiler-kapiler glomerulus dibantu oleh membran basal yang terdiri dari mesangium, suatu matrik glikoprotein yang terbentuk dan mengandung miofibroblast yang disebut sel-sel mesangium. Mesangium juga mengandung makrofag yang memfagositosis partikel-partikel yang memasuki mesangium. Kapiler-kapiler ini dibatasi oleh endotel dan permukaan luarnya dilapisi oleh sel epitel visceral yaitu podosit. Daerah diantara lapisan parietal glomerulus dengan kapiler-kapiler disebut dengan ruang Bowman (Carlton dan Mc Gavin 1995).

Gambar 6 Skematis glomerulus. (Anonim 2008c).

Fisiologi

Mekanisme perjalanan darah didalam nefron adalah: darah memasuki glomerulus dari arteriol aferen dan meninggalkan melalui arteriol eferen. Glomerulus merupakan suatu jalinan kapiler sejajar yang dilapisi oleh sel-sel epitel. Tekanan darah di dalam glomerulus menyebabkan cairan difiltrasikan ke dalam kapsula bowman, kemudian cairan mengalir kedalam tubulus proksimal. Setelah melalui tubulus proksimal, cairan mengalir ke ansa Henle dan terdapat bagian dari ansa Henle yang turun kebawah ke medula ginjal, sekitar sepertiga

(27)

sampai seperlima bagian ansa menembus jauh kedalam medula. Bagian bawah ansa tersebut mempunyai dinding sangat tipis dan oleh karena itu disebut segmen tipis ansa Henle. Kemudian dari ansa Henle cairan tersebut mengalir melalui tubulus distalis. Akhirnya cairan tersebut mengalir ke dalam tubulus (duktus) kolingens, yang mengumpulkan cairan dari beberapa nefron. Duktus kolingens berjalan dari korteks kembali ke bawah medula, sejajar dengan ansa Henle. Kemudian ia bermuara ke dalam pelvis ginjal. Ketika filtrat glomerulus mengalir melalui tubulus tersebut, kebanyakan air dan berbagai zat yang terlarut didalamnya direabsorbsi ke dalam kapiler peritubulus dan sejumlah kecil zat terlarut lain diekskresikan ke dalam tubulus, air dan zat terlarut tubular yang tersisa menjadi urin (Guyton & Hall 1997). Struktur skematis ginjal akan ditampilkan pada Gambar 7.

Gambar 7 Struktur skematis ginjal (Pradana 2007).

Patologi Ginjal

Ginjal merupakan salah satu organ yang rentan terhadap efek toksik. Hal ini disebabkan : 1. ginjal menerima 25% dari cardiac output sehingga sering dan

(28)

mudah kontak dengan zat kimia dalam jumlah besar; interstitium yang hiperosmotik memungkinkan zat kimia dikonsentrasikan pada daerah hipovaskular 2. ginjal sebagai jalur obligatorik untuk sebagian obat, sehingga insufisiensi ginjal meningkatkan konsentrasinya dalam cairan tubulus. Secara mendasar ginjal mendapat efek langsung dari senyawa toksik (Lu 1995). Selain itu, urin merupakan jalur utama ekskresi sebagian besar bahan toksik, akibatnya ginjal mempunyai aliran darah yang tinggi mengkonsentrasikan bahan toksik pada filtrat, membawa bahan toksik melalui sel tubulus dan mengaktifkan bahan toksik tertentu. Oleh karena itu ginjal adalah organ sasaran utama dari efek toksik.

Berdasarkan kelainan-kelainan yang dapat dilihat dengan jelas secara makroskopis dapat dibagi 3 jenis kelainan di ginjal, yaitu (Ressang 1984):

1. Ginjal dengan bercak-bercak putih pada bagian korteks, bercak putih ini terjadi karena akumulasi dari leukosit sebagai bagian dari eksudat radang. 2. Ginjal yang membesar dan pucat, merupakan ginjal yang menderita

degenerasi parenkimatosa atau degenerasi lemak. Pembesaran disebabkan oleh pembengkakan dari tubuli. Kepucatan disebabkan karena adanya perlemakkan, cloudy swelling atau bionephrosis dan juga karena pembuluh darah yang kekurangan isi darah akibat tekanan pembengkakan. Konsistensi dari ginjal pada kasus ini biasanya akan menurun.

3. Ginjal yang mengecil, putih, tidak rata. Pengecilan dan warna putih disebabkan karena banyaknya jaringan ikat. Karena sifat refraktif dari jaringan ikat, maka permukaan ginjal menjadi berbenjol-benjol tidak rata. Ginjal dapat mengalami kerusakan didalam menjalankan fungsinya memfiltrasi plasma darah. Kerusakan filtrasi ginjal disebabkan oleh penyakit pada ginjal dengan beragam gejala klinis. Gambaran dominan yang terlihat adalah tertinggalnya molekul protein berukuran kecil pada proses filtrasi hingga urin. Penyakit ini menghasilkan proteinuria yang disebut protein-losing-nepropathies. Sejumlah besar plasma protein, partikel albumin, tidak difiltrasi oleh glomerulus dan terjadi kelebihan protein yang harus direabsorbsi di tubulus contortus proksimal sehingga protein terdapat di urin. Pada tubulus kontroktus proksimal terlihat butir-butir hyalin yang ada di dalam sitoplasma. Secara mikroskopis

(29)

lumen tubulus sering mengalami dilatasi dan diisi dengan materi-materi protein (Carlton dan Mc Gavin 1995).

(30)

BAHA DA METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, dari Bulan Januari 2007 hingga Juni 2008.

Alat

Peralatan yang digunakan didalam penelitian adalah sonde lambung, kandang plastik, ram kawat, kertas, timbangan digital, skalpel, gunting, kertas label, tissue processor, mikrotom, obyek glass dan mikroskop cahaya binokuler.

Bahan

Bahan yang digunakan adalah insektisida formulasi Metofluthrin 0,01%, Imiprothrin 0,04%, Permethrin 0,15 %. Pakan, pelet standar dan air minum tikus diberikan secara ad libitum. Hewan yang digunakan adalah 25 ekor tikus putih (Sprague Dawley) jantan, dengan kisaran berat badan 150-220 gram dengan umur 2-3 bulan.

Bahan-bahan lain yang digunakan adalah Buffered 4eutral Formaline (BNF) 10% dan sediaan histopatologi organ ginjal dan hati tikus yang berasal dari uji toksisitas akut insektisida metofluthrin, imiprothrin, permethrin dan bahan-bahan untuk membuat sediaan histopatologi yang terdiri dari alkohol bertingkat 70-100%, xylol, parafin, larutan hematoxilin, eosin, lithium carbonat dan air.

Gambar 8 Kandang kelompok tikus dan rak penyimpanan kandang. (Dokumentasi Pribadi).

(31)

Metode Penelitian 1. Desain Penelitian

Sebanyak 25 ekor tikus putih dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok kontrol dan 4 kelompok perlakuan yaitu A= 5000 mg/kg BB, B= 2500 mg/kg BB, C= 1250 mg/kg BB dan D= 625 mg/kg BB. Setiap kelompok terdiri dari 5 ekor tikus. Tikus diadaptasikan terlebih dahulu dalam laboratorium selama satu minggu. Sebelum diberi perlakuan tikus dipuasakan selama 24 jam. Tikus pada kelompok kontrol diberikan aquades peroral pada hari ke-1 penelitian kemudian diberi air minum dan pakan standar Tikus-tikus pada kelompok perlakuan diberi air minum dan pakan standar serta insektisida peroral hanya satu kali pada hari ke-1 penelitian. Selama penelitian berlangsung dilakukan pengamatan terhadap perubahan perilaku, jumlah hewan yang mati dan ditimbang beratnya tiap hari selama dua minggu. Pada akhir penelitian hewan coba yang masih hidup dieutanasia menggunakan eter, kemudian dinekropsi. Selanjutnya dilakukan nekropsi untuk pengambilan sampel organ hati dan ginjal. Sampel tersebut kemudian difiksasi dengan Buffered 4eutral Formaline (BNF 10%) selanjutnya diproses menjadi sediaan histopatologi dengan pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (HE).

2. Evaluasi Histopatologi

Pengamatan histopatologi dilakukan pada sediaan organ hati dan ginjal tikus di bawah mikroskop dengan menggunakan pembesaran 400X. Perubahan histopatologi diamati pada sepuluh lapang pandang. Hasil pengamatan histopatologi tersebut dibuat skala skor. Penilaian (skoring) pada organ hati dilakukan pada perubahan degenerasi dan apotosis. Penilaian degenerasi yaitu 0= tidak ada perubahan, 1= degenerasi, untuk apoptosis yaitu 0= tidak ada perubahan, 1= apoptosis.

Penilaian (skoring) pada organ ginjal dilakukan pada dua bagian yaitu glomerulus dan tubulus. Perubahan yang terdapat pada glomerulus meliputi endapan protein di ruang Bowman dan dilatasi ruang Bowman. Penilaian untuk endapan protein dalam ruang Bowman yaitu 0= tidak ada perubahan, 1= endapan

(32)

protein di ruang Bowman, untuk dilatasi ruang Bowman yaitu 0= tidak ada perubahan, 1= dilatasi ruang Bowman.

Penilaian perubahan yang terdapat pada tubulus ginjal meliputi empat hal antara lain:

a. Degenerasi b. Apoptosis

0= tidak ada perubahan 0= tidak ada perubahan

1= degenerasi 1= apoptosis

c. Endapan protein di lumen tubulus c. Dilatasi lumen tubulus 0= tidak ada perubahan 0= tidak ada perubahan 1= endapan protein di lumen tubulus 1= dilatasi lumen tubulus

Dilakukan juga pengamatan terhadap kongesti pada organ hati dan ginjal tikus menggunakan pembesaran 200X, dengan penilaian (skoring) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Parameter skoring kongesti pada sediaan organ hati dan ginjal tikus.

Perubahan HP Kategori

Jika <10% buluh darah atau sinusoid mengalami kongesti

Normal Jika 10%-25% buluh darah atau sinusoid

mengalami kongesti

Ringan Jika 25%-50% buluh darah atau sinusoid

mengalami kongesti

Sedang Jika >50% buluh darah atau sinusoid

mengalami kongesti

Berat

3. Analisis Data

Hasil skoring histopatologi dianalisa menggunakan metode statistik non parametrik Kruskal Wallis, serta dilakukan pengamatan kongesti organ hati dan ginjal, peubah bobot badan, gejala klinis dan patologi anatomi yang akan disajikan secara dekskriptif.

(33)

HASIL DA PEMBAHASA

Bobot Badan dan Pengamatan Perilaku

Secara umum performa hewan coba berupa bobot badan dari kelompok kontrol tidak mengalami penurunan. Bobot badan semua tikus pada kelompok kontrol mengalami kenaikan pada awal hingga akhir penelitian. Hal ini menunjukkkan bahwa tikus tidak mengalami gangguan metabolisme yaitu pakan tercerna dengan baik dan hewan dapat beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan. Rata-rata berat badan tikus selama dua minggu pengamatan disajikan pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2 Rata-rata berat badan tikus putih selama dua minggu pengamatan setelah diberi formulasi insektisida Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15%. Kelompok Hari ke- K A B C D 1 156.80 184.50 163.04 179.06 168.02 2 157.30 166.97 166.62 178.24 181.14 3 164.40 164.48 169.90 177.12 185.56 4 174.50 169.48 171.10 178.26 180.94 5 179.78 171.23 166.26 167.68 180.58 6 184.40 171.45 182.68 192.18 180.42 7 185.90 171.60 186.30 203.18 196.54 8 192.00 180.53 191.50 201.10 194.20 9 196.50 175.68 199.23 211.38 200.54 10 199.90 177.33 203.98 204.13 200.32 11 204.30 176.33 207.45 206.38 207.88 12 208.00 179.48 212.53 212.03 212.24 13 213.40 178.38 211.08 210.78 210.24 14 214.00 177.50 211.86 210.50 210.28 Keterangan :

K : Kontrol; A : Dosis 5000 mg/kg BB; B : Dosis 2500 mg/kg BB; C : Dosis 1250 mg/kg BB; D : Dosis 625 mg/kg BB

Tikus kelompok perlakuan dengan dosis 5000 mg/kg BB mengalami penurunan bobot badan terutama pada hari ke-1 hingga hari ke-3. Bobot badan kembali naik hingga hari ke-8. Pada hari ke-9 dan ke-11 bobot badan tikus mengalami penurunan kembali, begitupun dua hari terakhir perlakuan. Kelompok perlakuan dengan dosis 625 mg/kg BB, 1250 mg/kg BB dan 2500 mg/kg BB telah mengalami kenaikan dan penurunan berat badan hingga pengamatan hari ke-14.

(34)

Tikus yang memperoleh perlakuan, secara umum menunjukkan gejala klinis berupa kelemahan, bulu berdiri dan tremor (Lampiran 3). Tremor pada tikus dapat disebabkan karena penggunaan formulasi insektisida metofluthrin, imiprothrin dan pemethrin terjadi dalam dua tahap yaitu eksitasi dan blokade saraf. Insektisida piretroid bekerja pada suatu protein dalam sel syaraf yang disebut voltaged-sodium channel atau saluran ion natrium dan kalium. Saluran ion dan natrium membuka untuk memberikan rangsangan dan menutup untuk menghentikan sinyal syaraf. Piretroid mempengaruhi kerja saluran tersebut dengan mencegah saluran menutup, sehingga rangsangan syaraf terjadi secara berlebih. Hal ini menyebabkan terjadinya kontraksi berkelanjutan yaitu eksitasi. Blokade syaraf dapat mengakibatkan terjadinya lumpuh/paralisis. Kondisi tersebut dapat pulih kembali jika tikus mampu mendetoksifikasi racun yang masuk secara cepat untuk mencegah terjadinya blokade syaraf (Sigit et al 2006).

Perubahan Patologi Anatomi dan Jumlah Kematian Tikus

Pengamatan secara makroskopis atau patologi anatomi menunjukkan adanya perubahan pada organ visceral tikus. Setiap perlakuan umumnya memperlihatkan organ hati tikus bewarna merah kehitaman dan belang, hal ini menunjukkan terjadinya kongesti. Begitupun pada organ ginjal tikus terlihat berwarna merah hitam (kongesti), dan batas korteks dan medula tidak jelas. Kematian tikus terjadi pada kelompok dosis 5000 mg/kg BB berjumlah satu ekor pada hari ke-1. Kematian tikus pada kelompok dosis 2500 dan 1250 mg/kg BB berjumlah satu ekor pada hari ke-4 (Lampiran 7).

Histopatologi Hati Tikus

Berdasarkan pengamatan histopatologi jaringan hati tikus ditemukan beberapa perubahan pada bagian parenkim dan interstitium. Pada interstitium ditemukan adanya kongesti, sedangkan pada parenkim ditemukan adanya degenerasi dan apoptosis. Rataan skor kongesti histopatologi hati tikus disajikan pada Tabel 3.

(35)

Tabel 3 Rataan persentase kongesti hati tikus pasca pemberian formulasi insektisida Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% pada uji toksisitas akut.

Kelompok Dosis Perubahan HP Kategori

Kontrol 84.43%* Berat 5000 mg/kg BB 79.38% Berat 2500 mg/kg BB 63.3% Berat 1250 mg/kg BB 78.93%* Berat 625 mg/kg BB 97.16%* Berat Keterangan:

* = tikus yang mati dengan proses euthanasia diakhir masa penelitian.

Kongesti yang terjadi baik pada kelompok kontrol maupun perlakuan disebabkan penggunaan eter sewaktu euthanasia diakhir penelitian, karena eter merupakan anestesi berupa gas yang sangat kuat yang dapat menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah di berbagai organ (Ganiswarna 1995). Tikus yang mati dari kelompok dosis 5000 mg/kg BB mengalami kongesti hati dengan persentase 79.38% sedangkan dari kelompok dosis 2500 mg/kg BB sebesar 63.3% sehingga tergolong mengalami kongesti berat. Hal ini sesuai dengan penjelasan Lu (1995), toksin kimiawi berpengaruh terhadap endotel pembuluh darah dan permeabilitas dinding pembuluh darah. Menurut Himawan (1979), kongesti atau hiperemi adalah suatu keadaan yang disertai meningkatnya volume darah dalam pembuluh darah yang melebar pada suatu alat atau bagian tubuh. Gambaran kongesti vena sentralis sel hati tikus disajikan pada Gambar 9. Rataan peringkat skor histopatologi hati tikus disajikan pada Tabel 4.

(36)

Gambar 9 Kongesti vena sentralis pada sel hati tikus (tanda panah) pasca pemberian formulasi insektisida Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% pada uji toksisitas akut. Dosis 5000 mg/kg BB. Pembesaran 20x, bar 40µ.

Tabel 4 Rataan peringkat skor histopatologi hati tikus pasca pemberian formulasi insektisida Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% pada uji toksisitas akut.

Perubahan Histopatologi Hati

Kelompok Degenerasi Hidropis Apoptosis Hepatosit

Kontrol 5.33 a 3.50a A 8.00 a 13.83b B 10.05 a 10.00b C 8.50 a 9.17ab D 7.67 a 3.50a Keterangan :

K : Kontrol; A : Dosis 5000 mg/kg BB; B : Dosis 2500 mg/kg BB; C : Dosis 1250 mg/kg BB, D : Dosis 625 mg/kg BB; Huruf superskript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05).

Perubahan histopatologi pada seluruh kelompok kontrol berupa degenerasi dan apoptosis hepatosit diduga karena adanya gangguan metabolisme pada organ

(37)

hati maupun organ lain. Hal ini dapat saja terjadi karena tikus yang digunakan bukan dari Spesific Pathogen Free.

Tabel 4 menunjukkan bahwa rataan peringkat skor histopatologi hati tikus yang mengalami degenerasi pada kelompok kontrol tidak berbeda nyata dengan kelompok perlakuan (P>0.05). Pemberian insektisida yang bersifat toksik menyebabkan reaksi adaptasi berupa degenerasi. Degenerasi merupakan gangguan biokimiawi yang disebabkan oleh iskemia, anemia, metabolisme abnormal dan zat kimia yang bersifat toksik (Spector dan Spector 1993). Degenerasi yang terjadi pada hepatosit berupa degenerasi hidropis (Gambar 9). Degenerasi hidropis atau perubahan hidropis merupakan peristiwa meningkatnya kadar air di intraseluler yang menyebabkan sitoplasma dan organel-organel membengkak dan membentuk vakuola-vakuola. Rusaknya permeabilitas membran sel menyebabkan terhambatnya aliran sodium keluar dari sel, sehingga menyebabkan ion-ion dan air masuk secara berlebihan kedalam sel. Degenerasi hidropis merupakan respon awal sel terhadap bahan-bahan yang bersifat toksik, serta merupakan proses awal dari kematian sel kecuali apoptosis (Jones et al 1997 dan Cheville 1999). Degenerasi hidropis adalah perubahan yang bersifat reversible, sehingga apabila paparan toksik dihentikan, sel yang mengalami kerusakan akan kembali normal.

Degenerasi yang terus berlanjut akan menyebabkan kematian sel. Kematian sel hati menyebabkan hepatosit tidak dapat kembali ke bentuk normal (irreversible). Kematian sel dapat terjadi melalui proses apoptosis dan nekrosa. Kematian sel yang terjadi pada hati tikus yang diberi formulasi insektisida Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% berupa apoptosis. Hasil analisis statistik rataan skor histopatologi apoptosis hepatosit antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan 5000 mg/kg BB dan 2500 mg/kg BB menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05). Kelompok perlakuan 1250 mg/kg BB dan 625 mg/kg BB menunjukkan tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol (P>0.05). Semakin tinggi dosis formulasi insektisida yang diberikan semakin tinggi pula jumlah hepatosit yang mengalami apoptosis. Hasil pengamatan ini mengindikasikan bahwa formulasi insektisida Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% bersifat hepatotoksik. Gambaran degenerasi dan apoptosis sel hati tikus disajikan pada Gambar 10.

(38)

Gambar 10 Lesio hepatosit jaringan hati tikus berupa: A = degenerasi hidropis, B= Apoptosis, pasca pemberian Insektisida formulasi Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% dosis 625 mg/kg BB. Pewarnaan HE, perbesaran obyektif 40X, bar 40 µm.

Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram (programmed cell death). Apoptosis terjadi pada dua kondisi yaitu kondisi fisiologis atau patologis. Apoptosis fisiologis terjadi pada proses pertumbuhan dan involusi organ pada pertumbuhan embrional, proses hormonal pada organ reproduksi betina, sentra germinal dan folikel limfoid. Apoptosis patologis biasanya terjadi pada kerusakan akibat agen infeksius atau toksin. Apoptosis tidak melibatkan sel radang, tetapi badan apoptosis akan difagosit oleh makrofag. Penyebab terjadinya apoptosis antara lain: kekurangan suplai oksigen (biasanya pada penyakit respiratori, kardiovaskular, dan anemia), agen fisik, terjadi pada trauma mekanik dan radiasi, agen kimia (biasanya berkaitan dengan hasil proses suatu industri). Toksin (bakteri, hewan dan tanaman), virus, kelainan reaksi imunologi (hipersensitifitas), kekurangan nutrisi (kekurangan vitamin dan sindrom malabsorbsi), serta kelainan genetik (MacFarlen et al 2000).

A

(39)

Histopatologi Ginjal Tikus

Hasil pengamatan histopatologi ginjal tikus kelompok kontrol dan perlakuan ditemukan adanya perubahan pada glomerulus, tubulus dan interstitium. Perubahan histopatologi pada glomerulus meliputi endapan protein di ruang Bowman dan dilatasi ruang Bowman. Rataan peringkat skor histopatologi glomerulus ginjal tikus disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Persentase histopatologi glomerulus ginjal tikus pasca pemberian insektisida formulasi Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% pada uji toksisitas akut.

Perubahan Histopatologi Glomerulus Kelompok Endapan Protein

di Ruang Bowman

Dilatasi Ruang Bowman

K 6.50a 2.00a A 8.83a 11.17b B 8.83a 13.67b C 9.33a 7.00ac D 6.50a 6.17ac Keterangan :

K : Kontrol; A : Dosis 5000 mg/kg BB; B : Dosis 2500 mg/kg BB; C : Dosis 1250 mg/kg BB; D : Dosis 625 mg/kg BB; Huruf superskript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05).

Rataan skor dilatasi ruang Bowman kelompok A dan B berbeda nyata dengan kelompok kontrol (P<0.05), sedangkan kelompok C dan D menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol (P>0.05). Terdapatnya toksikan di dalam organ merupakan keadaan patologis. Dalam keadaan patologis, ruang Bowman dapat membesar atau hilang sama sekali karena kapiler glomerulus membengkak (Ressang 1984). Rusaknya filter glomerulus menyebabkan gangguan permeabilitas membran dalam transpor natrium yang diikuti osmosis air ke dalam sel sehingga mengakibatkan terjadinya penimbunan cairan di dalam sel (Spector & Spector 1993). Dilatasi ruang Bowman yang terjadi pada glomerulus ginjal tikus diduga diakibatkan oleh pemberian formulasi insektisida yang menyebabkan terganggunya fungsi filtrasi glomerulus, sehingga terdapat penimbunan caitan dalam ruang Bowman yang ditandai dengan dilatasi tubulus. Dilatasi ruang Bowman ginjal tikus disajikan pada Gambar 11.

(40)

Gambar 11 Dilatasi ruang Bowman (tanda panah), pasca pemberian insektisida formulasi Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% dosis 2500 mg/kg BB. Pewarnaan HE, perbesaran obyektif 40X, bar 40 µm.

Glomerulus merupakan kumpulan kapiler-kapiler darah yang memiliki fungsi utama memfiltrasi plasma. Glomerulus diseliputi oleh kapsula bowman. Daerah di antara kapsula Bowman dengan buluh-buluh kapiler disebut ruang Bowman. Selain dilatasi ruang Bowman, perubahan yang ditemukan pada glomerulus adalah adanya endapan protein di ruang Bowman. Menurut Cunningham (1992) endapan protein dapat terjadi disebabkan kapiler glomerulus yang berubah menjadi permeabel terhadap plasma protein sehingga protein dapat masuk ke dalam mesangium hingga ke ruang Bowman. Endapan protein pada ruang Bowman diduga terjadi karena formulasi insektisida yang diberikan telah mengganggu proses filtrasi di glomerulus sehingga terjadi peningkatan permeabilitas kapiler mesangium.

Hasil uji statistik menunjukkan endapan protein dalam ruang Bowman antara perlakuan dan kontrol tidak berbeda nyata, begitupun antar perlakuan (P>0.05). Hasil rataan skor histopatologi tubulus ginjal disajikan pada Tabel 6.

(41)

Tabel 6 Rataan peringkat skor histopatologi tubulus ginjal tikus pasca pemberian Insektisida formulasi Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% pada uji toksisitas akut.

Perubahan Histopatologi Tubulus Kelompok

Degenerasi Apoptosis Endapan Protein di Lumen Dilatasi Tubulus Kontrol 6.00 a 4.50a 10.50 a 10.50 a A 8.50 a 14.00b 6.83 a 7.17 a B 8.50 a 3.83ac 12.33 a 10.17 a C 8.50 a 7.83ab 5.17 a 5.00 a D 8.50 a 9.83ab 5.17 a 7.17 a Keterangan :

K : Kontrol; A : Dosis 5000 mg/kg BB; B : Dosis 2500 mg/kg BB; C : Dosis 1250 mg/kg BB, D : Dosis 625 mg/kg BB;

Superskript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05).

Perubahan yang ditemukan pada tubuli ginjal tikus pada semua kelompok, baik kontrol maupun perlakuan adalah degenerasi hidropis, dilatasi lumen (Gambar 12), endapan protein di lumen (Gambar 13) dan apoptosis (Gambar 14). Perubahan ini terjadi karena formulasi insektisida yang diberikan diduga bersifat nefrotoksik. Hasil analisis statistik menunjukkan persentase degenerasi kelompok kontrol tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kelompok perlakuan (P<0.05). Demikian juga antarperlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini terlihat dari hasil pengamatan bahwa seluruh kelompok perlakuan maupun kontrol mengalami degenerasi. Menurut Spector dan Spector (1993), degenerasi menunjukkan gangguan biokimiawi sel yang dapat disebabkan oleh iskemia, anemia, metabolisme abnormal dan zat kimia yang bersifat toksik. Degenerasi yang terjadi pada kelompok kontrol diduga disebabkan proses fisiologis atau adanya gangguan metabolisme yang disebabkan oleh hal lain yang tidak spesifik karena tikus yang digunakan bukan dari Spesific Pathogen Free (SPF).

(42)

Gambar 12 Dilatasi lumen tubulus (tanda panah) pasca pemberian formulasi insektisida Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% dosis 2500 mg/kg BB. Pewarnaan HE, perbesaran obyektif 20X, bar 60 µm.

Gambar 13 Endapan protein dalam lumen tubulus (tanda panah) pasca pemberian formulasi insektisida Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% dosis 2500 mg/kg BB. Pewarnaan HE, perbesaran obyektif 40X , bar 40 µm.

(43)

Gambar 14 Inti sel yang mengalami apoptosis (tanda panah), pasca pemberian formulasi insektisida Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% dosis 2500 mg/kg BB. Pewarnaan HE, perbesaran obyektif 40X , bar 40 µm.

Degenerasi hidropis pada epitel tubuli ginjal tikus kelompok perlakuan diduga diakibatkan oleh pemberian formulasi insektisida yang bersifat toksik. Hasil rataan skor histopatologi degenerasi yang menunjukkan tidak berbeda nyata antar kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol diduga diakibatkan waktu pemaparan formulasi insektisida yang singkat. Degenerasi hidropis merupakan kerusakan membran sel sehingga tidak mampu memompa natrium dengan baik. Hal ini menyebabkan timbulnya akumulasi natrium di dalam sel dan tekanan osmotik sel meningkat sehingga mendorong influks air ke dalam sel. Kondisi ini menyebabkan perubahan yang disebut pembengkakan sel. Perubahan ini menggambarkan bahwa sewaktu air terakumulasi dalam sitoplasma, organel di sitoplasma juga menyerapnya seperti mitokondria dan retikulum endoplasma, sehingga terjadi pembengkakkan dikedua organel tersebut. Secara mikroskopis terlihat sel mengandung ruang-ruang jernih di sekitar inti. Perubahan ini bersifat sementara atau reversible (Cheville 1999). Menurut Confer dan Panciera (1995), degenerasi hidropis merupakan gambaran utama dari perubahan sel akut dimana sel kehilangan kontrol terhadap air sehingga menyebabkan pembengkakan sel.

(44)

Kerusakan akut terjadi akibat gangguan pada epitel tubulus oleh infeksi, efek toksin secara langsung atau iskemia.

Degenerasi sel merupakan akibat gangguan metabolisme sel, memiliki ikatan yang erat dengan kematian sel. Menurut Spector dan Spector (1993) degenerasi hidropis adalah awal dari terjadinya nekrosa tubulus. Terdapat dua mekanisme kematian sel, yaitu secara apoptosis dan nekrosis. Kedua mekanisme ini merupakan fenomena morfologik yang dapat disebabkan oleh stres oksidatif sebagai pemicu awalnya (Baraas 2006).

Kematian sel yang terjadi pada epitel tubuli ginjal adalah apoptosis. Pada Tabel 6, rataan skor apoptosis tubuli kelompok dosis 5000 mg/kg BB memperlihatkan berbeda nyata (p<0.05) dengan kelompok kontrol dan dengan kelompok perlakuan lainnya. Apoptosis yang terjadi pada sel epitel tubuli ginjal tikus diduga diakibatkan formulasi insektisida yang bersifat nefrotoksik. Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram (programmed cell death) serta terjadi pada dua kondisi yaitu kondisi fisiologis (normal) atau patologis (abnormal). Apoptosis fisiologis dapat terjadi pada proses pertumbuhan, sedangkan apoptosis patologis biasanya terjadi pada lesio akibat agen infeksius atau toksin Pada apoptosis terjadi perisiwa pengaktifan beberapa gen untuk membentuk enzim baru seperti enzim endonuklease. Enzim ini bersifat dapat memecah DNA inti. Sel kemudian akan terbagi menjadi bagian-bagian kecil yang disebut badan apoptosis. Sebuah badan apoptosis akan terdiri dari hasil pecahan inti dan organel-oganel yang tidak lengkap. Badan apoptosis ini yang kemudian akan difagosit oleh makrofag (Cheville 1999).

Kejadian kematian sel juga diikuti dengan adanya endapan protein dalam lumen dan dilatasi tubulus. Tabel 6 menunjukkan bahwa rataan peringkat skor histopatologi endapan protein tubulus diseluruh perlakuan tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol. Protein yang lolos dari glomerulus tidak dapat diserap dengan sempurna oleh epitel-epitel tubulus sehingga terjadi penumpukan protein di lumen tubulus (Carlton dan Mc Gavin 1995). Endapan protein yang terdapat dalam lumen tubulus diduga disebabkan oleh menurunnya kemampuan absorbsi tubulus. Kerusakan berupa degenerasi dan apoptosis sel tubuli dapat menimbulkan

(45)

gangguan absorbsi pada tubuli ginjal, sehingga protein yang seharusnya diabsorbsi oleh tubulus tertinggal dalam lumen.

Rataan skor histopatologi dilatasi tubulus menunjukkan tidak berbeda nyata antara kelompok kontrol dengan perlakuan, begitu pula antar perlakuan. Dilatasi tubulus umumnya melibatkan suatu grup tubulus atau pada beberapa kasus terlihat pada nefron yang sama. Dilatasi tubulus dapat terjadi pada tubulus kontortus, loop henle, atau tubulus kolektivus atau kombinasi ketiganya. Derajat dilatasi dapat berupa perubahan lumen tubulus yang membesar dua, tiga kali dari diameter normal. Sel-sel epitel tubulus dapat menjadi tipis bergantung pada penyebab dilatasi. Peningkatan tekanan internal secara alami cenderung menekan dan meratakan sel epitel tubulus. Tekanan internal harusnya ringan, meningkat secara perlahan dan berlanjut dalam waku yang lama untuk memberi tanda peningkatan tekanan intratubular yang menghentikan proses filtrasi dengan melawan keseimbangan tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus. Akhirnya menyebabkan nefron menjadi berdilatasi melalui suatu proses hipertrofi (Jones et al 1997).

Lesio yang terjadi pada interstitium ginjal adalah kongesti. Hasil rataan persentase kongesti pada interstitium ginjal tikus disajikan pada Tabel 7. Kongesti adalah suatu keadaan tertahannya darah kapiler disebabkan karena tertahannya darah di vena yang dapat disebabkan karena adanya thrombus.

Tabel 7 Rataan persentase kongesti ginjal tikus pasca pemberian formulasi insektisida Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% pada uji toksisitas akut.

Kelompok Prosentase (%) Kategori

Kontrol 80.68 %* Berat 5000 mg/kg BB 60.63 % Berat 2500 mg/kg BB 38.33 % Sedang 1250 mg/kg BB 70.71 %* Berat 625 mg/kg BB 75.56 %* Berat Keterangan :

(46)

Kongesti pada kelompok kontrol maupun perlakuan yang mengalami euthanasia diakhir penelitian, disebabkan penggunaan eter karena eter merupakan anestesi berupa gas yang sangat kuat yang dapat menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah di berbagai organ dan vasokontriksi pada pembuluh darah ginjal (Ganiswarna 1995). Tikus yang mati dari kelompok dosis 5000 mg/kg BB mengalami kongesti hati dengan persentase 60.63 % sehingga tergolong mengalami kongesti berat. Kongesti yang terjadi pada kelompok dosis 5000 mg/kg BB dan 2500 mg/kg BB diduga disebabkan pemberian formulasi insektisida Metofluthrin, Imiprothrin, dan Permethrin.

(47)

KESIMPULA

1. Formulasi insektisida (Metofluthrin 0,01%, Imiprothrin 0,04%, Permethrin 0,15%) mengakibatkan perubahan histopatologi pada organ hati tikus berupa degenerasi hidropis dan apoptosis sel hati. Perubahan pada ginjal berupa dilatasi ruang Bowman, endapan protein pada lumen tubulus, dilatasi tubulus serta apoptosis sel epitel tubulus.

2. Secara deskriptif kelompok tikus yang diberi formulasi insektisida dosis 5000 mg/kg BB cenderung mengalami apoptosis hepatosit dan apoptosis sel epitel tubulus ginjal paling banyak dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya.

SARA

Perlu dilakukan uji lanjutan untuk mengetahui efek kronik dari pemberian formulasi insektisida (Metofluthrin 0,01%, Imiprothrin 0,04%, Permethrin 0,15%).

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008a. http://akademik.unsoed.ac.id.[23 Juli 2008].

Anonim. 2008b. Ginjal. http://www. poexpoe.files.wordpress.com/2008/06/ sistem-ekskresi manusia1.pdf. [23 Juli 2008].

. 2008c. http://www.marvistavet.com/html/body_glome/Renal Protein Loss Due to Inflamation. [18 Agustus 2008].

. 2008d. Liver. http://www.item.fraunhofer.de/reni/trimming/manus.php [8 Agustus 2008].

. 2008e. 4ormal Glomerulus. http://www.uptodate.com/online/content/ image.do?imageKey=neph_pix/earlyfgs.htm&altImageKey=neph_pix/normal8 3.htm. [18 Agustus 2008].

. 2008f. Pyrethroid. http://www.sumitomo-chem.com.au /msds/esbiothrin + d-phenothrin + imiprothrin.pdf. [22 Januari 2008].

. 2008g. Tikus. http://wapedia.mobi/id/Tikus. Wiki: Tikus. [18 Agustus 2008].

Banks W.J. 1992. Applied Veterinary Histology. 3th Ed. USA: Mosby.

Baraas F. 2004. Dari Programed Cell Survival Sampai Programmed Cell Death pada Sel Otot Jantung. http//www.neuroonkologi.com/articles/

Apoptosis_sel_otot_jantung. [23 Juli 2008].

Boyce P, Wanamaker & Lockett M.K. 2004. Applied Pharmacology for The Veterinary Technician. 3th Ed. Colombia: Saunders.

Carlton WW, Mc Gavin MD. 1995. Special Veterinary Pathology. 2nded. United State of America : Mosby.

Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-2. Iowa: Iowa State University Press.

Confer AW dan Panciera RJ. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. Edisi ke-2. Edited by: Carlton WW and McGavin MD.Mosby.

Cox, C. 1998. Insecticide Factsheet Permetrin. Journal of Pesticide Reform. 18 (2). http://www.pesticide.org/Permethrin.pdf. [5 juli 2008].

Cunningham. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. 2th Ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company.

Gambar

Gambar 1 Struktur kimia imiprothrin.
Gambar 2  Struktur kimia permethrin.
Gambar 3  Organ hati tikus.
Gambar 4  Ginjal normal dewasa dengan potongan melintang (Anonim 2008c).
+7

Referensi

Dokumen terkait