• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bobot Badan dan Pengamatan Perilaku

Secara umum performa hewan coba berupa bobot badan dari kelompok kontrol tidak mengalami penurunan. Bobot badan semua tikus pada kelompok kontrol mengalami kenaikan pada awal hingga akhir penelitian. Hal ini menunjukkkan bahwa tikus tidak mengalami gangguan metabolisme yaitu pakan tercerna dengan baik dan hewan dapat beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan. Rata-rata berat badan tikus selama dua minggu pengamatan disajikan pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2 Rata-rata berat badan tikus putih selama dua minggu pengamatan setelah diberi formulasi insektisida Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15%. Kelompok Hari ke- K A B C D 1 156.80 184.50 163.04 179.06 168.02 2 157.30 166.97 166.62 178.24 181.14 3 164.40 164.48 169.90 177.12 185.56 4 174.50 169.48 171.10 178.26 180.94 5 179.78 171.23 166.26 167.68 180.58 6 184.40 171.45 182.68 192.18 180.42 7 185.90 171.60 186.30 203.18 196.54 8 192.00 180.53 191.50 201.10 194.20 9 196.50 175.68 199.23 211.38 200.54 10 199.90 177.33 203.98 204.13 200.32 11 204.30 176.33 207.45 206.38 207.88 12 208.00 179.48 212.53 212.03 212.24 13 213.40 178.38 211.08 210.78 210.24 14 214.00 177.50 211.86 210.50 210.28 Keterangan :

K : Kontrol; A : Dosis 5000 mg/kg BB; B : Dosis 2500 mg/kg BB; C : Dosis 1250 mg/kg BB; D : Dosis 625 mg/kg BB

Tikus kelompok perlakuan dengan dosis 5000 mg/kg BB mengalami penurunan bobot badan terutama pada hari ke-1 hingga hari ke-3. Bobot badan kembali naik hingga hari ke-8. Pada hari ke-9 dan ke-11 bobot badan tikus mengalami penurunan kembali, begitupun dua hari terakhir perlakuan. Kelompok perlakuan dengan dosis 625 mg/kg BB, 1250 mg/kg BB dan 2500 mg/kg BB telah mengalami kenaikan dan penurunan berat badan hingga pengamatan hari ke-14.

Tikus yang memperoleh perlakuan, secara umum menunjukkan gejala klinis berupa kelemahan, bulu berdiri dan tremor (Lampiran 3). Tremor pada tikus dapat disebabkan karena penggunaan formulasi insektisida metofluthrin, imiprothrin dan pemethrin terjadi dalam dua tahap yaitu eksitasi dan blokade saraf. Insektisida piretroid bekerja pada suatu protein dalam sel syaraf yang disebut voltaged-sodium channel atau saluran ion natrium dan kalium. Saluran ion dan natrium membuka untuk memberikan rangsangan dan menutup untuk menghentikan sinyal syaraf. Piretroid mempengaruhi kerja saluran tersebut dengan mencegah saluran menutup, sehingga rangsangan syaraf terjadi secara berlebih. Hal ini menyebabkan terjadinya kontraksi berkelanjutan yaitu eksitasi. Blokade syaraf dapat mengakibatkan terjadinya lumpuh/paralisis. Kondisi tersebut dapat pulih kembali jika tikus mampu mendetoksifikasi racun yang masuk secara cepat untuk mencegah terjadinya blokade syaraf (Sigit et al 2006).

Perubahan Patologi Anatomi dan Jumlah Kematian Tikus

Pengamatan secara makroskopis atau patologi anatomi menunjukkan adanya perubahan pada organ visceral tikus. Setiap perlakuan umumnya memperlihatkan organ hati tikus bewarna merah kehitaman dan belang, hal ini menunjukkan terjadinya kongesti. Begitupun pada organ ginjal tikus terlihat berwarna merah hitam (kongesti), dan batas korteks dan medula tidak jelas. Kematian tikus terjadi pada kelompok dosis 5000 mg/kg BB berjumlah satu ekor pada hari ke-1. Kematian tikus pada kelompok dosis 2500 dan 1250 mg/kg BB berjumlah satu ekor pada hari ke-4 (Lampiran 7).

Histopatologi Hati Tikus

Berdasarkan pengamatan histopatologi jaringan hati tikus ditemukan beberapa perubahan pada bagian parenkim dan interstitium. Pada interstitium ditemukan adanya kongesti, sedangkan pada parenkim ditemukan adanya degenerasi dan apoptosis. Rataan skor kongesti histopatologi hati tikus disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Rataan persentase kongesti hati tikus pasca pemberian formulasi insektisida Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% pada uji toksisitas akut.

Kelompok Dosis Perubahan HP Kategori

Kontrol 84.43%* Berat 5000 mg/kg BB 79.38% Berat 2500 mg/kg BB 63.3% Berat 1250 mg/kg BB 78.93%* Berat 625 mg/kg BB 97.16%* Berat Keterangan:

* = tikus yang mati dengan proses euthanasia diakhir masa penelitian.

Kongesti yang terjadi baik pada kelompok kontrol maupun perlakuan disebabkan penggunaan eter sewaktu euthanasia diakhir penelitian, karena eter merupakan anestesi berupa gas yang sangat kuat yang dapat menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah di berbagai organ (Ganiswarna 1995). Tikus yang mati dari kelompok dosis 5000 mg/kg BB mengalami kongesti hati dengan persentase 79.38% sedangkan dari kelompok dosis 2500 mg/kg BB sebesar 63.3% sehingga tergolong mengalami kongesti berat. Hal ini sesuai dengan penjelasan Lu (1995), toksin kimiawi berpengaruh terhadap endotel pembuluh darah dan permeabilitas dinding pembuluh darah. Menurut Himawan (1979), kongesti atau hiperemi adalah suatu keadaan yang disertai meningkatnya volume darah dalam pembuluh darah yang melebar pada suatu alat atau bagian tubuh. Gambaran kongesti vena sentralis sel hati tikus disajikan pada Gambar 9. Rataan peringkat skor histopatologi hati tikus disajikan pada Tabel 4.

Gambar 9 Kongesti vena sentralis pada sel hati tikus (tanda panah) pasca pemberian formulasi insektisida Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% pada uji toksisitas akut. Dosis 5000 mg/kg BB. Pembesaran 20x, bar 40µ.

Tabel 4 Rataan peringkat skor histopatologi hati tikus pasca pemberian formulasi insektisida Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% pada uji toksisitas akut.

Perubahan Histopatologi Hati

Kelompok Degenerasi Hidropis Apoptosis Hepatosit

Kontrol 5.33 a 3.50a A 8.00 a 13.83b B 10.05 a 10.00b C 8.50 a 9.17ab D 7.67 a 3.50a Keterangan :

K : Kontrol; A : Dosis 5000 mg/kg BB; B : Dosis 2500 mg/kg BB; C : Dosis 1250 mg/kg BB, D : Dosis 625 mg/kg BB; Huruf superskript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05).

Perubahan histopatologi pada seluruh kelompok kontrol berupa degenerasi dan apoptosis hepatosit diduga karena adanya gangguan metabolisme pada organ

hati maupun organ lain. Hal ini dapat saja terjadi karena tikus yang digunakan bukan dari Spesific Pathogen Free.

Tabel 4 menunjukkan bahwa rataan peringkat skor histopatologi hati tikus yang mengalami degenerasi pada kelompok kontrol tidak berbeda nyata dengan kelompok perlakuan (P>0.05). Pemberian insektisida yang bersifat toksik menyebabkan reaksi adaptasi berupa degenerasi. Degenerasi merupakan gangguan biokimiawi yang disebabkan oleh iskemia, anemia, metabolisme abnormal dan zat kimia yang bersifat toksik (Spector dan Spector 1993). Degenerasi yang terjadi pada hepatosit berupa degenerasi hidropis (Gambar 9). Degenerasi hidropis atau perubahan hidropis merupakan peristiwa meningkatnya kadar air di intraseluler yang menyebabkan sitoplasma dan organel-organel membengkak dan membentuk vakuola-vakuola. Rusaknya permeabilitas membran sel menyebabkan terhambatnya aliran sodium keluar dari sel, sehingga menyebabkan ion-ion dan air masuk secara berlebihan kedalam sel. Degenerasi hidropis merupakan respon awal sel terhadap bahan-bahan yang bersifat toksik, serta merupakan proses awal dari kematian sel kecuali apoptosis (Jones et al 1997 dan Cheville 1999). Degenerasi hidropis adalah perubahan yang bersifat reversible, sehingga apabila paparan toksik dihentikan, sel yang mengalami kerusakan akan kembali normal.

Degenerasi yang terus berlanjut akan menyebabkan kematian sel. Kematian sel hati menyebabkan hepatosit tidak dapat kembali ke bentuk normal (irreversible). Kematian sel dapat terjadi melalui proses apoptosis dan nekrosa. Kematian sel yang terjadi pada hati tikus yang diberi formulasi insektisida Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% berupa apoptosis. Hasil analisis statistik rataan skor histopatologi apoptosis hepatosit antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan 5000 mg/kg BB dan 2500 mg/kg BB menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05). Kelompok perlakuan 1250 mg/kg BB dan 625 mg/kg BB menunjukkan tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol (P>0.05). Semakin tinggi dosis formulasi insektisida yang diberikan semakin tinggi pula jumlah hepatosit yang mengalami apoptosis. Hasil pengamatan ini mengindikasikan bahwa formulasi insektisida Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% bersifat hepatotoksik. Gambaran degenerasi dan apoptosis sel hati tikus disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Lesio hepatosit jaringan hati tikus berupa: A = degenerasi hidropis, B= Apoptosis, pasca pemberian Insektisida formulasi Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% dosis 625 mg/kg BB. Pewarnaan HE, perbesaran obyektif 40X, bar 40 µm.

Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram (programmed cell death). Apoptosis terjadi pada dua kondisi yaitu kondisi fisiologis atau patologis. Apoptosis fisiologis terjadi pada proses pertumbuhan dan involusi organ pada pertumbuhan embrional, proses hormonal pada organ reproduksi betina, sentra germinal dan folikel limfoid. Apoptosis patologis biasanya terjadi pada kerusakan akibat agen infeksius atau toksin. Apoptosis tidak melibatkan sel radang, tetapi badan apoptosis akan difagosit oleh makrofag. Penyebab terjadinya apoptosis antara lain: kekurangan suplai oksigen (biasanya pada penyakit respiratori, kardiovaskular, dan anemia), agen fisik, terjadi pada trauma mekanik dan radiasi, agen kimia (biasanya berkaitan dengan hasil proses suatu industri). Toksin (bakteri, hewan dan tanaman), virus, kelainan reaksi imunologi (hipersensitifitas), kekurangan nutrisi (kekurangan vitamin dan sindrom malabsorbsi), serta kelainan genetik (MacFarlen et al 2000).

A

Histopatologi Ginjal Tikus

Hasil pengamatan histopatologi ginjal tikus kelompok kontrol dan perlakuan ditemukan adanya perubahan pada glomerulus, tubulus dan interstitium. Perubahan histopatologi pada glomerulus meliputi endapan protein di ruang Bowman dan dilatasi ruang Bowman. Rataan peringkat skor histopatologi glomerulus ginjal tikus disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Persentase histopatologi glomerulus ginjal tikus pasca pemberian insektisida formulasi Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% pada uji toksisitas akut.

Perubahan Histopatologi Glomerulus Kelompok Endapan Protein

di Ruang Bowman

Dilatasi Ruang Bowman

K 6.50a 2.00a A 8.83a 11.17b B 8.83a 13.67b C 9.33a 7.00ac D 6.50a 6.17ac Keterangan :

K : Kontrol; A : Dosis 5000 mg/kg BB; B : Dosis 2500 mg/kg BB; C : Dosis 1250 mg/kg BB; D : Dosis 625 mg/kg BB; Huruf superskript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05).

Rataan skor dilatasi ruang Bowman kelompok A dan B berbeda nyata dengan kelompok kontrol (P<0.05), sedangkan kelompok C dan D menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol (P>0.05). Terdapatnya toksikan di dalam organ merupakan keadaan patologis. Dalam keadaan patologis, ruang Bowman dapat membesar atau hilang sama sekali karena kapiler glomerulus membengkak (Ressang 1984). Rusaknya filter glomerulus menyebabkan gangguan permeabilitas membran dalam transpor natrium yang diikuti osmosis air ke dalam sel sehingga mengakibatkan terjadinya penimbunan cairan di dalam sel (Spector & Spector 1993). Dilatasi ruang Bowman yang terjadi pada glomerulus ginjal tikus diduga diakibatkan oleh pemberian formulasi insektisida yang menyebabkan terganggunya fungsi filtrasi glomerulus, sehingga terdapat penimbunan caitan dalam ruang Bowman yang ditandai dengan dilatasi tubulus. Dilatasi ruang Bowman ginjal tikus disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11 Dilatasi ruang Bowman (tanda panah), pasca pemberian insektisida formulasi Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% dosis 2500 mg/kg BB. Pewarnaan HE, perbesaran obyektif 40X, bar 40 µm.

Glomerulus merupakan kumpulan kapiler-kapiler darah yang memiliki fungsi utama memfiltrasi plasma. Glomerulus diseliputi oleh kapsula bowman. Daerah di antara kapsula Bowman dengan buluh-buluh kapiler disebut ruang Bowman. Selain dilatasi ruang Bowman, perubahan yang ditemukan pada glomerulus adalah adanya endapan protein di ruang Bowman. Menurut Cunningham (1992) endapan protein dapat terjadi disebabkan kapiler glomerulus yang berubah menjadi permeabel terhadap plasma protein sehingga protein dapat masuk ke dalam mesangium hingga ke ruang Bowman. Endapan protein pada ruang Bowman diduga terjadi karena formulasi insektisida yang diberikan telah mengganggu proses filtrasi di glomerulus sehingga terjadi peningkatan permeabilitas kapiler mesangium.

Hasil uji statistik menunjukkan endapan protein dalam ruang Bowman antara perlakuan dan kontrol tidak berbeda nyata, begitupun antar perlakuan (P>0.05). Hasil rataan skor histopatologi tubulus ginjal disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Rataan peringkat skor histopatologi tubulus ginjal tikus pasca pemberian Insektisida formulasi Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% pada uji toksisitas akut.

Perubahan Histopatologi Tubulus Kelompok

Degenerasi Apoptosis Endapan Protein di Lumen Dilatasi Tubulus Kontrol 6.00 a 4.50a 10.50 a 10.50 a A 8.50 a 14.00b 6.83 a 7.17 a B 8.50 a 3.83ac 12.33 a 10.17 a C 8.50 a 7.83ab 5.17 a 5.00 a D 8.50 a 9.83ab 5.17 a 7.17 a Keterangan :

K : Kontrol; A : Dosis 5000 mg/kg BB; B : Dosis 2500 mg/kg BB; C : Dosis 1250 mg/kg BB, D : Dosis 625 mg/kg BB;

Superskript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang nyata (P<0.05).

Perubahan yang ditemukan pada tubuli ginjal tikus pada semua kelompok, baik kontrol maupun perlakuan adalah degenerasi hidropis, dilatasi lumen (Gambar 12), endapan protein di lumen (Gambar 13) dan apoptosis (Gambar 14). Perubahan ini terjadi karena formulasi insektisida yang diberikan diduga bersifat nefrotoksik. Hasil analisis statistik menunjukkan persentase degenerasi kelompok kontrol tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kelompok perlakuan (P<0.05). Demikian juga antarperlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini terlihat dari hasil pengamatan bahwa seluruh kelompok perlakuan maupun kontrol mengalami degenerasi. Menurut Spector dan Spector (1993), degenerasi menunjukkan gangguan biokimiawi sel yang dapat disebabkan oleh iskemia, anemia, metabolisme abnormal dan zat kimia yang bersifat toksik. Degenerasi yang terjadi pada kelompok kontrol diduga disebabkan proses fisiologis atau adanya gangguan metabolisme yang disebabkan oleh hal lain yang tidak spesifik karena tikus yang digunakan bukan dari Spesific Pathogen Free (SPF).

Gambar 12 Dilatasi lumen tubulus (tanda panah) pasca pemberian formulasi insektisida Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% dosis 2500 mg/kg BB. Pewarnaan HE, perbesaran obyektif 20X, bar 60 µm.

Gambar 13 Endapan protein dalam lumen tubulus (tanda panah) pasca pemberian formulasi insektisida Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% dosis 2500 mg/kg BB. Pewarnaan HE, perbesaran obyektif 40X , bar 40 µm.

Gambar 14 Inti sel yang mengalami apoptosis (tanda panah), pasca pemberian formulasi insektisida Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% dosis 2500 mg/kg BB. Pewarnaan HE, perbesaran obyektif 40X , bar 40 µm.

Degenerasi hidropis pada epitel tubuli ginjal tikus kelompok perlakuan diduga diakibatkan oleh pemberian formulasi insektisida yang bersifat toksik. Hasil rataan skor histopatologi degenerasi yang menunjukkan tidak berbeda nyata antar kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol diduga diakibatkan waktu pemaparan formulasi insektisida yang singkat. Degenerasi hidropis merupakan kerusakan membran sel sehingga tidak mampu memompa natrium dengan baik. Hal ini menyebabkan timbulnya akumulasi natrium di dalam sel dan tekanan osmotik sel meningkat sehingga mendorong influks air ke dalam sel. Kondisi ini menyebabkan perubahan yang disebut pembengkakan sel. Perubahan ini menggambarkan bahwa sewaktu air terakumulasi dalam sitoplasma, organel di sitoplasma juga menyerapnya seperti mitokondria dan retikulum endoplasma, sehingga terjadi pembengkakkan dikedua organel tersebut. Secara mikroskopis terlihat sel mengandung ruang-ruang jernih di sekitar inti. Perubahan ini bersifat sementara atau reversible (Cheville 1999). Menurut Confer dan Panciera (1995), degenerasi hidropis merupakan gambaran utama dari perubahan sel akut dimana sel kehilangan kontrol terhadap air sehingga menyebabkan pembengkakan sel.

Kerusakan akut terjadi akibat gangguan pada epitel tubulus oleh infeksi, efek toksin secara langsung atau iskemia.

Degenerasi sel merupakan akibat gangguan metabolisme sel, memiliki ikatan yang erat dengan kematian sel. Menurut Spector dan Spector (1993) degenerasi hidropis adalah awal dari terjadinya nekrosa tubulus. Terdapat dua mekanisme kematian sel, yaitu secara apoptosis dan nekrosis. Kedua mekanisme ini merupakan fenomena morfologik yang dapat disebabkan oleh stres oksidatif sebagai pemicu awalnya (Baraas 2006).

Kematian sel yang terjadi pada epitel tubuli ginjal adalah apoptosis. Pada Tabel 6, rataan skor apoptosis tubuli kelompok dosis 5000 mg/kg BB memperlihatkan berbeda nyata (p<0.05) dengan kelompok kontrol dan dengan kelompok perlakuan lainnya. Apoptosis yang terjadi pada sel epitel tubuli ginjal tikus diduga diakibatkan formulasi insektisida yang bersifat nefrotoksik. Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram (programmed cell death) serta terjadi pada dua kondisi yaitu kondisi fisiologis (normal) atau patologis (abnormal). Apoptosis fisiologis dapat terjadi pada proses pertumbuhan, sedangkan apoptosis patologis biasanya terjadi pada lesio akibat agen infeksius atau toksin Pada apoptosis terjadi perisiwa pengaktifan beberapa gen untuk membentuk enzim baru seperti enzim endonuklease. Enzim ini bersifat dapat memecah DNA inti. Sel kemudian akan terbagi menjadi bagian-bagian kecil yang disebut badan apoptosis. Sebuah badan apoptosis akan terdiri dari hasil pecahan inti dan organel-oganel yang tidak lengkap. Badan apoptosis ini yang kemudian akan difagosit oleh makrofag (Cheville 1999).

Kejadian kematian sel juga diikuti dengan adanya endapan protein dalam lumen dan dilatasi tubulus. Tabel 6 menunjukkan bahwa rataan peringkat skor histopatologi endapan protein tubulus diseluruh perlakuan tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol. Protein yang lolos dari glomerulus tidak dapat diserap dengan sempurna oleh epitel-epitel tubulus sehingga terjadi penumpukan protein di lumen tubulus (Carlton dan Mc Gavin 1995). Endapan protein yang terdapat dalam lumen tubulus diduga disebabkan oleh menurunnya kemampuan absorbsi tubulus. Kerusakan berupa degenerasi dan apoptosis sel tubuli dapat menimbulkan

gangguan absorbsi pada tubuli ginjal, sehingga protein yang seharusnya diabsorbsi oleh tubulus tertinggal dalam lumen.

Rataan skor histopatologi dilatasi tubulus menunjukkan tidak berbeda nyata antara kelompok kontrol dengan perlakuan, begitu pula antar perlakuan. Dilatasi tubulus umumnya melibatkan suatu grup tubulus atau pada beberapa kasus terlihat pada nefron yang sama. Dilatasi tubulus dapat terjadi pada tubulus kontortus, loop henle, atau tubulus kolektivus atau kombinasi ketiganya. Derajat dilatasi dapat berupa perubahan lumen tubulus yang membesar dua, tiga kali dari diameter normal. Sel-sel epitel tubulus dapat menjadi tipis bergantung pada penyebab dilatasi. Peningkatan tekanan internal secara alami cenderung menekan dan meratakan sel epitel tubulus. Tekanan internal harusnya ringan, meningkat secara perlahan dan berlanjut dalam waku yang lama untuk memberi tanda peningkatan tekanan intratubular yang menghentikan proses filtrasi dengan melawan keseimbangan tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus. Akhirnya menyebabkan nefron menjadi berdilatasi melalui suatu proses hipertrofi (Jones et al 1997).

Lesio yang terjadi pada interstitium ginjal adalah kongesti. Hasil rataan persentase kongesti pada interstitium ginjal tikus disajikan pada Tabel 7. Kongesti adalah suatu keadaan tertahannya darah kapiler disebabkan karena tertahannya darah di vena yang dapat disebabkan karena adanya thrombus.

Tabel 7 Rataan persentase kongesti ginjal tikus pasca pemberian formulasi insektisida Metofluthrin 0.01%, Imiprothrin 0.04%, Permethrin 0.15% pada uji toksisitas akut.

Kelompok Prosentase (%) Kategori

Kontrol 80.68 %* Berat 5000 mg/kg BB 60.63 % Berat 2500 mg/kg BB 38.33 % Sedang 1250 mg/kg BB 70.71 %* Berat 625 mg/kg BB 75.56 %* Berat Keterangan :

Kongesti pada kelompok kontrol maupun perlakuan yang mengalami euthanasia diakhir penelitian, disebabkan penggunaan eter karena eter merupakan anestesi berupa gas yang sangat kuat yang dapat menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah di berbagai organ dan vasokontriksi pada pembuluh darah ginjal (Ganiswarna 1995). Tikus yang mati dari kelompok dosis 5000 mg/kg BB mengalami kongesti hati dengan persentase 60.63 % sehingga tergolong mengalami kongesti berat. Kongesti yang terjadi pada kelompok dosis 5000 mg/kg BB dan 2500 mg/kg BB diduga disebabkan pemberian formulasi insektisida Metofluthrin, Imiprothrin, dan Permethrin.

KESIMPULA

1. Formulasi insektisida (Metofluthrin 0,01%, Imiprothrin 0,04%, Permethrin 0,15%) mengakibatkan perubahan histopatologi pada organ hati tikus berupa degenerasi hidropis dan apoptosis sel hati. Perubahan pada ginjal berupa dilatasi ruang Bowman, endapan protein pada lumen tubulus, dilatasi tubulus serta apoptosis sel epitel tubulus.

2. Secara deskriptif kelompok tikus yang diberi formulasi insektisida dosis 5000 mg/kg BB cenderung mengalami apoptosis hepatosit dan apoptosis sel epitel tubulus ginjal paling banyak dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya.

SARA

Perlu dilakukan uji lanjutan untuk mengetahui efek kronik dari pemberian formulasi insektisida (Metofluthrin 0,01%, Imiprothrin 0,04%, Permethrin 0,15%).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008a. http://akademik.unsoed.ac.id.[23 Juli 2008].

Anonim. 2008b. Ginjal. http://www. poexpoe.files.wordpress.com/2008/06/ sistem-ekskresi manusia1.pdf. [23 Juli 2008].

. 2008c. http://www.marvistavet.com/html/body_glome/Renal Protein Loss Due to Inflamation. [18 Agustus 2008].

. 2008d. Liver. http://www.item.fraunhofer.de/reni/trimming/manus.php [8 Agustus 2008].

. 2008e. 4ormal Glomerulus. http://www.uptodate.com/online/content/ image.do?imageKey=neph_pix/earlyfgs.htm&altImageKey=neph_pix/normal8 3.htm. [18 Agustus 2008].

. 2008f. Pyrethroid. http://www.sumitomo-chem.com.au /msds/esbiothrin + d-phenothrin + imiprothrin.pdf. [22 Januari 2008].

. 2008g. Tikus. http://wapedia.mobi/id/Tikus. Wiki: Tikus. [18 Agustus 2008].

Banks W.J. 1992. Applied Veterinary Histology. 3th Ed. USA: Mosby.

Baraas F. 2004. Dari Programed Cell Survival Sampai Programmed Cell Death pada Sel Otot Jantung. http//www.neuroonkologi.com/articles/

Apoptosis_sel_otot_jantung. [23 Juli 2008].

Boyce P, Wanamaker & Lockett M.K. 2004. Applied Pharmacology for The Veterinary Technician. 3th Ed. Colombia: Saunders.

Carlton WW, Mc Gavin MD. 1995. Special Veterinary Pathology. 2nded. United State of America : Mosby.

Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-2. Iowa: Iowa State University Press.

Confer AW dan Panciera RJ. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology. Edisi ke-2. Edited by: Carlton WW and McGavin MD.Mosby.

Cox, C. 1998. Insecticide Factsheet Permetrin. Journal of Pesticide Reform. 18 (2). http://www.pesticide.org/Permethrin.pdf. [5 juli 2008].

Cunningham. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. 2th Ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company.

Damjanov I. 1997. Histopatologi: Buku Teks dan Atlas Bewarna. Penerjemah:Pendit BU, editor. Jakarta: Widya Medika. Terjemahan dari: Histopathology: A Colour Atlas and Textbook.

Darmono. 2008. www.geocities.com/kuliah_farm/farmasi_forensik/Pestisida.doc. [9 juli 2008].

Dellmann HD & Brown E. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner I dan II. Penerjemah: Hartono, editor. Jakarta: Universitas Indonesia.

Direktorat Pupuk dan Pestisida. 2004. Pedoman Metode Pengujian Toksisitas Akut Formulasi Pada Tikus, Ikan dan Cacing Tanah. Direktorat Jendral Bina Sarana Pertanian- Departemen pertanian.

Djojosumarto P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta: Agro Media Pustaka. Ganiswarna SG. 1995. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-4. Jakarta: Bagian

Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Guyton AC & Hall JE. 1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Guyton AC & Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran: EGC.

Harmita dan Radji, M. 2005. Buku Ajar Analisis Hayati. Ed ke-2. Departemen Farmasi FMIPA Universitas Indonesia. Jakarta.

Himawan S. 1979. Kumpulan Kuliah Patologi. Bagian Patologi Anatomi. FK-UI Depok.

Jones TC, Ronald DH, Norval WK. 1997. Veterinary Pathology. Sixth Edition. USA: Wiliam and Wilkins. Baltimore.

Kaplan's M. Pyrethroid. 2007. http://www.anapsid.org/pyrethroids.html. [9 Juli 2008].

Kardiningsih. 2002. Identifikasi karakteritis biologis dari tikus penelitian “Wistar derved-lembaga makanan rakyat. http;//digilib.litbang.depkes.go.id [juli 2008].

Kawada H, Tomonori I, Luu LL, Tran KT,Nguyen TNM. 2006. Field Evaluation of Spatial Repellency of Metofluthrin Impregnated Latticework Plastic Strips Againts Aedes Aegpt (L.) and Analysis of Enviromental Factors Affecting its Efficacy in My Tho City, Tieng Giang, Vietnam. Am. J. Trop. Med. Hyg., 75(6), pp. 1153–1157. http://www.ajtmh.org/cgi/reprint/75/6/1153. [28 mei 2008]

Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar. Ed ke-2. Jakarta: UI Press.

MacFarlane PS, Robin R, Robin C. 2000. Pathology Ilustrated. 5th ed. United Kingdom: Churchill Livingstone.

MacLachlan NJ, Cullen JM. 1995. Liver, Billiary System and Exocrine Pankreas. Di dalam Carlton MW, McGavin MD, editor. Thomson’s Special Veterinary

Dokumen terkait