• Tidak ada hasil yang ditemukan

World Economic Forum (WEF) menyusun The Global Competitiveness. Report 2014/2015 dan menempatkan daya saing Indonesia (Global

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "World Economic Forum (WEF) menyusun The Global Competitiveness. Report 2014/2015 dan menempatkan daya saing Indonesia (Global"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

World Economic Forum (WEF) menyusun The Global Competitiveness Report 2014/2015 dan menempatkan daya saing Indonesia (Global Competitiveness Index-GCI) berada pada peringkat ke-34 dunia. Global Competitiveness Index memiliki empat pilar persyaratan dasar dalam proses penentuannya yaitu pengelolaan instansi yang baik, infrastruktur, situasi ekonomi mikro, kesehatan dan pendidikan dasar. Kualitas infrastruktur Indonesia menempati peringkat ke-56 dari 144 negara dunia yang disurvei atau berada pada peringkat ke-5 diantara negara-negara inti ASEAN (Schwab, 2015).

Indikator penting dalam penilaian indeks daya saing global ini adalah seberapa besar daya usaha sebuah negara untuk melakukan perbaikan-perbaikan atau peningkatan infrastruktur nasional. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyampaikan bahwa infrastruktur jalan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam peningkatan indeks daya saing infrastruktur di Indonesia (Dewi, 2014).

Infrastruktur merupakan salah satu syarat utama tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Keberadaan infrastruktur sangat penting dalam mendukung pembangunan ekonomi dan sosial. Infrastruktur yang baik dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi baik bagi dunia usaha maupun bagi kehidupan sosial di masyarakat. Ketersediaan infrastuktur juga mempercepat pemerataan pembangunan dan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing wilayah. Pembangunan infrastruktur mendorong investasi yang baru, lapangan kerja baru, meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Suroso, 2015).

(2)

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan daya saing konstruksi nasional (Munthe, 2013). Pemerintah berusaha untuk meningkatkan jumlah tenaga ahli konstruksi tersertifikasi dengan tujuan mendukung program percepatan pembangunan infrastruktur nasional dan terutama meningkatkan daya saing di antara negara Asean. Kepala Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengatakan bahwa tantangan utama pelaku jasa konstruksi Indonesia dalam menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) adalah terbatasnya jumlah tenaga konstruksi profesional yang tersertifikasi (Berkah, 2015).

Pengusaha di bidang jasa konstruksi diharapkan untuk segera melakukan persiapan dalam rangka pembagunan infrastruktur. Persiapan dilakukan baik dari sisi ketersediaan barang maupun tenaga kerja. Persiapan ini bertujuan menghadapi banyaknya penawaran-penawaran proyek yang akan dikerjakan secara serempak. Ketua Umum Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) memastikan kesiapan dari para penyedia jasa konstruksi untuk mengerjakan proyek-proyek yang akan ditawarkan (Dewi, 2014).

Adanya kebutuhan sumber daya manusia (SDM) yang berpengalaman dalam perusahaan konstruksi merupakan hal yang perlu diperhatikan. Perusahaan konstruksi harus mampu menjaga dan mempertahankan tenaga kerja yang berpengalaman agar tidak berpindah ke perusahaan lain (Malik, 2010). Setiap perusahaan akan selalu mendapatkan tantangan yang bersifat eksternal dan internal. Pada aspek internal, sumber daya manusia merupakan aspek penting dari kesuksesan organisasi. Fungsi dari sumber daya manusia mengalami

(3)

perkembangan dari hal administratif menjadi pendukung organisasi untuk menjalankan proses manajerial dan stratejik. Permasalahan yang ada adalah bagaimana organisasi dapat mengelola sumber daya manusia berkualitas dan berpengalaman.

Studi yang berjudul Preparing for Take-Off dilakukan oleh Hay Group bekerjasama dengan Centre for Economics and Business Research (Cebr). Hay Group melakukan studi ini menggunakan dasar model makroekonomi dan menganalisis faktor-faktor utama yang menyebabkan turnover. Hay Group melakukan penelitian terhadap 700 juta karyawan di 19 negara dan mengungkapkan prediksi rata-rata rasio turnover karyawan dalam tiga tahun ke depan akan meningkat menjadi 23,4%. Prediksi lain dari Hay Group adalah jumlah karyawan yang resign di seluruh dunia pada tahun 2018 dapat menembus angka 192 juta (Yumiati, 2013).

Perusahaan konstruksi perlu menunjukan kinerja terbaiknya dalam menjawab tantangan yang ada. Turnover memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja perusahaan (Boyne, James, John & Petrovsky, 2011; Hur, 2012; Meier & Hicklin, 2008; Mobley, 1982; Price, 1977; Shaw, Gupta, Delery, 2005; Staw, 1980; Sulistyawati & Indrayani, 2012). Tingkat turnover yang tinggi akan menciptakan dampak negatif bagi organisasi, menciptakan ketidakstabilan dan ketidakpastian terhadap kondisi tenaga kerja. Dampak lainnya dari adanya aktivitas turnover akan memberikan pengaruh terhadap aktivitas kerja lainnya dikarenakan perusahaan kehilangan karyawan yang berpengalaman dan penurunan prestasi karyawan secara keseluruhan pada perusahaan (Nasution,

(4)

2009). Perusahaan diharapkan dapat menyusun strategi untuk menjaga dan meningkatkan komitmen yang dimiliki oleh karyawan. Sianipar dan Haryanti (2014) mengungkapkan bahwa semakin tinggi komitmen karyawan terhadap organisasi maka akan semakin rendah intensi turnover. Peran komitmen organisasi bagi karyawan sangat penting sebagai penggerak dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi. Hal ini sebagai dasar pentingnya perhatian organisasi terhadap faktor-faktor yang dapat meningkatkan komitmen karyawan (Wahyuni, 2011).

Teresia dan Suyasa (2008) mendefinisikan komitmen organisasi secara umum sebagai derajat di mana karyawan mengidentifikasi dengan organisasi dan menginternalisasi nilai-nilai yang ada di organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen ingin tetap bertahan dalam organisasi dan bersedia bekerja keras dengan tujuan kesuksesan organisasi. Karyawan juga akan memiliki rasa kepedulian terhadap keberlangsungan hidup organisasi. Tobing (2009) menggambarkan komitmen sebagai sebuah kondisi pikologis yang mencirikan hubungan antara karyawan dengan organisasi dan memiliki implikasi bagi karyawan untuk tetap berada atau meninggalkan organisasi.

Meyer dan Allen (1990) menjelaskan komitmen organisasi sebagai suatu keadaan psikologis yang mengikat individu kepada organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen kuat akan memiliki kecenderungan yang lebih rendah untuk meninggalkan organisasi. Meyer dan Allen (1990) mengembangkan sebuah konsep mengenai tiga komponen komitmen yaitu:

(5)

Karyawan dengan komitmen afektif yang kuat akan bertahan karena karyawan menginginkan untuk dapat tetap berada di organisasi. Pengalaman yang dimiliki oleh karyawan dapat memenuhi kebutuhan psikologis sehingga karyawan dapat merasakan kenyamanan untuk tetap bertahan di perusahaan.

2. Komitmen berkelanjutan (continuance commitment).

Karyawan dengan komitmen berkelanjutan yang kuat akan tetap berada di organisasi karena karyawan memiliki kebutuhan untuk terus berada di organisasi. Komitmen berkelanjutan memiliki keterkaitan dengan perhitungan biaya atau investasi yang telah karyawan berikan.

3. Komitmen normatif (normative commitment)

Karyawan dengan komitmen normatif yang kuat akan memiliki perasaan untuk seharusnya tetap bergabung pada organisasi dan adanya loyalitas terhadap organisasi. Komitmen normatif dapat dipengaruhi oleh keluarga atau proses sosialisasi budaya dan proses sosialisasi organisasi.

Meyer dan Allen (1990) menilai komitmen afektif, komitmen berkelanjutan, dan komitmen normatif sebagai komponen yang dapat terpisahkan. Karyawan dapat memiliki variasi pengalaman kondisi psikologis yang berbeda-beda pada komitmen organisasi.

Komitmen afektif memiliki hubungan yang positif dengan keinginan yang berasal dari individu untuk bersedia memberikan usaha yang lebih terhadap pekerjaan yang karyawan lakukan. Komitmen afektif merupakan suatu hal yang

(6)

dapat diprediksi untuk memiliki hubungan dengan kegiatan pemberian dan penerimaan tentang pengetahuan yang sehubungan dengan aktivitas pada suatu organisasi (Van den Hoof, 2004). Karyawan dengan komitmen afektif pada organisasi juga akan menunjukan tingkat kepuasan yang tinggi pada pekerjaannya (Rifai, 2005).

Porter, Steers, Mowday dan Boultian (1974) menjelaskan bahwa komitmen organisasi merupakan kekuatan yang diidentifikasi dari diri setiap individu dan terjadi pada keterlibatan individu sebagai karyawan dalam kegiatan-kegiatan organisasi. Keterlibatan karyawan dengan kegiatan-kegiatan dalam organisasi ini dapat menciptakan sebuah komitmen. Komitmen karyawan terhadap sebuah organisasi tidak dapat timbul sendirinya atau hanya dari salah satu pihak saja, komitmen organisasi harus diciptakan bersama-sama antara organisasi dan karyawan. Hal ini mengindikasikan bahwa komitmen tidak hanya sebagai prediksi pegawai saja (Porter, 1974), tetapi juga menjadi prediksi dari usaha pegawai dan kinerja (Mowday, Porter, & Dubin, 1973; Mowday, Steers, & Porter, 1979).

Definisi komitmen organisasi pada penelitian disimpulkan sebagai keterikatan pada organisasi yang ditandai dengan adanya niat untuk tetap diorganisasi, identifikasi dengan nilai-nilai dan tujuan organisasi serta kesediaan untuk mengerahkan usaha ekstra untuk organisasi. Penelitian ini akan berfokus dengan menggunakan 2 (dua) aspek komitmen organisasi yang dikembangkan oleh Angel dan Perry (1981) yaitu commitment value dan commitment to stay. Commitment value merupakan keyakinan yang kuat dan penerimaan terhadap nila-nilai dan tujuan organisasi. Commitment to stay adalah keinginan untuk

(7)

mengerahkan usaha dengan maksimal untuk organisasi dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaan organisasi.

Pada bidang psikologi industri dan organisasi terdapat banyak faktor yang mampu mempengaruhi komitmen organisasi. Penelitian ini merupakan rangkaian dari beberapa penelitian lainnya yang berfokus pada komitmen organisasi. Variabel-variabel independen yang turut menjadi pilihan dalam rangkaian penelitian ini antara lain kepemimpinan transformasional, psychological well-being, iklim organisasi, praktik SDM, keadilan prosedural dan perceived organizational support.

Pembentukan komitmen karyawan tidak dapat dilepaskan dari peran keadilan organisasi. Keadilan organisasi memiliki keterkaitan dengan struktur sosial dan proses bekerja dalam organisasi sehingga dapat menjadi salah faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan (Sahin, 2013). Greenberg (1996) mendefinisikan keadilan organisasi sebagai persepsi seseorang tentang keadilan di dalam konteks organisasi. Studi meta analisis yang dilakukan dengan menggunakan 190 penelitian oleh Charash & Spector mampu mempertahankan tiga faktor keadilan organisasi, yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional (Totawar & Nambudiri, 2014).

Keadilan prosedural dijelaskan lebih lanjut sebagai sebuah perspektif dengan berfokus pada keadilan yang dirasakan dari prosedur dalam membuat keputusan. Komitmen organisasi karyawan secara khusus memiliki korelasi yang positif dengan keadilan prosedural. Keadilan prosedural diberikan kepada karyawan dalam bentuk penghargaan dan pemberian kepuasan pada kebutuhan karyawan.

(8)

Karyawan di tahap selanjutnya akan menunjukan loyalitas yang baik dan keinginan untuk memberikan kontribusi (Nakra, 2014).

Ali dan Jan (2012) menunjukan bahwa adanya hubungan positif yang signifikan antara keadilan organisasi dengan komitmen. Penjelasan lebih khusus dalam penelitian ini adalah adanya hubungan positif yang signifikan antara keadilan prosedural dan keadilan distribusional dengan komitmen. Komitmen afektif dan komitmen normatif secara lebih spesifik memiliki hubungan dengan keadilan prosedural (Yavuz, 2010). Karyawan yang memiliki persepsi terhadap keadilan organisasi akan memiliki kesempatan untuk merasakan kepuasan dalam bekerja sehingga mampu meningkatkan motivasi intrinsik. Motivasi intrinsik dapat dihubungkan dengan komitmen karyawan di organisasi (Wang, Ma & Zhang, 2014).

Awalnya penelitian mengenai keadilan prosedural banyak dilakukan dalam konteks dunia hukum. Laventhal menyebutkan bahwa kriteria proses pengambilan keputusan yang adil tersebut antara lain, konsistensi, meminimalisasi bias, dapat diperbaiki, representatif, informasi yang akurat, dan etis (Colquitt, 2001). Pada penelitian ini akan menggunakan keenam kriteria tersebut yang kemudian menjadi aspek dari keadilan prosedural. Peneliti memberikan kesimpulan secara umum mengenai keadilan prosedural sebagai persepsi seseorang tentang keadilan pada prosedur pembuatan keputusan di dalam konteks organisasi.

Peran perceived organizational support juga merupakan salah satu anteseden pada komitmen organisasi. Perceived organizational support mengacu pada persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisasi menilai kontribusi,

(9)

memberi dukungan, dan peduli pada kesejahteraan karyawan (Rhoades & Eisenberger, 2002).

Adanya perhatian dari organisasi terhadap kesejahteraan, nilai-nilai dan adanya aktivitas dari organisasi untuk proses pengembangan serta pemenuhan kebutuhan karyawan merupakan implementasi dari dukungan organisasi (Zhou & Miao, 2014). Perceived organizational support akan meningkatkan komitmen organisasi karyawan dengan menciptakan sebuah kewajiban untuk peduli terhadap kesejahteraan organisasi, dan berdasarkan norma timbal balik organisasi juga wajib untuk memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Pengalaman yang muncul dari karyawan sebagai hasil dari proses timbal balik yang berkelanjutan dengan organisasi akan mengarahkan kepada kepuasan karyawan atas kesejahteraan organisasi serta dengan perasaan karyawan itu sendiri dan secara emosional akan muncul keterikatan dengan organisasi (Rhoades, Eisenberger, & Armeli, 2001). Tingkat keterikatan karyawan yang tinggi dengan organisasi dapat direfleksikan sebagai sebuah kepercayaan dan loyalitas antara karyawan dengan organisasi (Biswas & Bhatnagar, 2013).

Peneliti mendefinisikan secara umum perceived organizational support sebagai persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisasi menilai kontribusi, memberi dukungan, dan peduli pada kesejahteraan karyawan. Penelitian ini akan menggunakan aspek yang dikembangkan oleh Eisenberger, Huntington, Hutchinson dan Sowa (1986) yaitu penilaian terhadap organisasi tempat seseorang bekerja dan tindakan organisasi yang dilakukan terhadap karyawan dalam situasi hipotetik.

(10)

Mukherjee (2010) dan Purang (2011) menjelaskan bahwa perceived organizational support secara parsial memediatori keadilan prosedural dan komitmen organisasi

.

Kesimpulan yang didapatkan peneliti dari uraian di atas ialah keadilan prosedural dan perceived organizational support, mampu menjadi variabel prediktor pada variabel komitmen organisasi.

Terdapat banyak hal yang mampu mempengaruhi terbentuknya komitmen organisasi pada karyawan. Keadilan di dalam organisasi salah satunya, khususnya keadilan dalam pembuatan keputusan yang kemudian disebut dengan keadilan prosedural (Dessler, 2005). Keadilan prosedural merupakan salah satu anteseden komitmen organisasi, hal ini dapat dijelaskan melalui mediasi perceived organizational support. Keadilan merupakan salah satu hal dasar yang dinilai penting oleh karyawan. Karyawan pada dasarnya adalah mahluk sosial dengan kebutuhan untuk dihargai dan dihormati. Robbins, Summer, dan Miller (2000) menjelaskan bahwa perlakuan yang adil atau keadilan prosedural dalam pembuatan keputusan dapat mengarahkan karyawan untuk merasa dihormati, bangga, dan menjadi bagian di dalam organisasi. Keadaan ini selanjutnya akan mendorong karyawan memiliki kecenderungan untuk mengidentifikasi dan menginternalisasi nilai-nilai organisasi.

POS memiliki pengaruh terhadap komitmen yang didasarkan atas ikatan emosional, kebutuhan serta komitmen yang didasarkan atas adanya perasaan wajib untuk bekerja. Pengaruh POS terhadap komitmen organisasi terjadi karena adanya keterlibatan karyawan menjadi sebuah pengalaman yang memuaskan.

(11)

Lebih lanjut keterlibatan ini didapatkan karena adanya partisipasi karyawan untuk mengikuti pelatihan dan pengembangan keahlian (Currie & Dollery, 2006).

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan di atas maka peneliti ingin menguji peran variabel keadilan prosedural terhadap komitmen organisasi. Peneliti juga mempertimbangkan perceived organizational support sebagai mediator.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik peran keadilan prosedural terhadap komitmen organisasi melalui perceived organizational support sebagai mediator pada karyawan perusahaan konstruksi swasta di Yogyakarta.

Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah keadilan prosedural berpengaruh positif terhadap komitmen organisasi melalui mediasi perceived organizational support.

Implikasi Penelitian 1. Implikasi teoritik

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi positif kepada psikologi industri dan organisasi mengenai pengembangan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan komitmen organisasi pada karyawan perusahaan konstruksi di Yogyakarta. Selain itu, penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan komitmen organisasi, keadilan prosedural, perceived organizational support.

(12)

2. Implikasi praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menjadi acuan dalam pembuatan model intervensi dalam meningkatkan komitmen organisasi dengan mempertimbangkan variabel lain seperti keadilan prosedural, perceived organizational support.

Referensi

Dokumen terkait

This study is aimed to know level of reading questions found in reading text in English textbook entitled Bahasa Inggris by Bachtiar Bima M.. dan Cicik

Abdurrasyid, salah satu ustadz Pesantren Persis Tarogong Garut, berpendapat sebagaimana para ulama sebelumnya, yang menyatakan bahwa apabila terjadi perceraian talaq raj’i, serta

Syarif Kasim Riau dengan judul “Pengaruh Persepsi Wajib Pajak Atas.. Sanksi Perpajakan dan Kesadaran Wajib Pajak Terhadap Kepathan Orang Pribadi di K antor Pelayanan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh perubahan earning per share, debt ratio, company size , dan extraordinary item terhadap waktu penyelesaian audit

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan beloso memiliki kandungan formaldehida 8,62±3,4 ppm yang meningkat pada bulan penyimpanan pertama kemudian mulai menurun pada

Jika dia menjadi sadar pada titik ini, akan realitas 'A'u dzu B- illah' dan 'Ista'iinu B-illah' dan membacanya dengan niat untuk kembali kepada yang Esa yang ditunjuk

Dengan demikian metode merupakan alat yang sangat penting untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dan direncanakan (Indra Novianto, 2011: 4).. Masalah yang saya

Seluruh Staf pengajar Departemen Perpustakaan Dan Informasi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis selama