• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Caring menurut pandangan beberapa pakar keperawatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Caring menurut pandangan beberapa pakar keperawatan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Caring

2.1.1 Caring menurut pandangan beberapa pakar keperawatan

Caring dibahas oleh beberapa pakar keperawatan melalui pendekatan yang berbeda-beda. Watson (1979, dalam Tomey & Alligod, 2006) menyatakan caring sebagai “core” atau inti dari praktik keperawatan yang hanya bisa efektif jika dipraktikan dalam hubungan interpersonal. Watson (1979, dalam Watson 2005) menjelaskan caring dalam 10 faktor karatif. Kemudian pada tahun 2001 Watson menjelaskan caring dalam proses caritas klinik yang lebih eksplisit menjelaskan hubungan caring dengan cinta. Watson mengartikan Caritas dengan menghargai dan memberikan perhatian yang penuh cinta. Caritas hampir sama dengan bentuk original caratif, namun lebih dapat menjelaskan lebih dalam tentang hubungan caring dan cinta transpersonal (Watson, 2005). Eriksson juga menjelaskan caring didasari oleh caritas yaitu penggabungan dari cinta dan kemurahan hati. Eriksson menggambarkan caring sebagai suatu hubungan yang penuh intensitas, vitalitas, hangat, dekat, santai, peduli, jujur dan toleran. Eriksson mengatakan caring merupakan usaha untuk mengurangi penderitaan dengan penuh kemurahan hati, cinta, kepercayaan, dan harapan yang diekspresikan melalui perawatan, permainan dan pembelajaran (Eriksson, 1995, 2002, dalam Tomey & Alligod, 2006). Martinsen (1989, dalam Tomey & Alligod, 2006) berpendapat bahwa bentuk “care” bukan hanya merupakan nilai dasar keperawatan, tapi juga merupakan prasyarat dasar untuk kehidupan. Care

(2)

mencakup tiga hal yaitu hubungan, praktik dan moral yang simultan. Caring diungkapkan langsung pada hal-hal yang berhubungan dengan orang lain.

2.1.2 Komponen Perilaku Caring

Watson mengungkapkan dalam bukunya bahwa perilaku caring adalah proses yang dilakukan oleh perawat yang meliputi pengetahuan, tindakan dan dideskripsikan sebagai sepuluh faktor karatif yang digunakan dalam praktik keperawatan dibeberapa setting klinik yang berbeda. Sepuluh faktor karatif ini yaitu :

1. Membentuk dan menghargai sistem nilai humanistic dan altruistic

Humanistic altruistic merupakan sikap yang didasari oleh nilai kemanusiaan, seperti menghormati otonomi pasien terhadap pilihannya sendiri. Altruism adalah perilaku yang menunjukkan kapasitas seseorang yang empati dan dapat merasakan apa yang dialami orang lain. Pandangan Watson tentang manusia, yaitu individu merupakan totalitas dari bagian-bagian, memiliki harga diri di dalam dan dirinya yang memerlukan perawatan, dipahami dan kebutuhan untuk dibimbing. Di samping itu perawat yang mempunyai sifat caring dapat meningkatkan potensi seseorang untuk membuat pilihan tindakan yang terbaik (Watson, 1998). 2. Menanamkan sikap penuh pengharapan.

Faktor ini sangat erat hubungannya dengan nilai altruisme dan humanistik. Perawat membantu pasien untuk memperoleh kesejahteraan dan kesehatan melalui hubungan yang efektif dengan pasien dan memfasilitasi klien untuk menerapkan gaya hidup sehat (Watson, 1979 dalam Tomey &

(3)

Alligood, 2006).

3. Menanamkan sensitifitas atau kepekaan terhadap diri sendiri dan orang lain. Perawat harus belajar untuk mengembangkan sifat sensitif dan peka terhadap perasaan pasien sehingga lebih ikhlas, dan sensitif dalam memberikan asuhan keperawatan (Watson, 1998).

4. Mengembangkan hubungan saling percaya dan saling membantu.

Hubungan saling percaya antara perawat dan pasien adalah hal yang penting dalam asuhan keperawatan. Hubungan ini akan meningkatkan penerimaan terhadap perasaan positif dan negatif antara perawat dan pasien (Watson, 1998).

5. Meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif.

Perawat berbagi perasaan dengan pasien merupakan hal yang riskan. Perawat harus mempersiapkan diri dalam menghadapi ekspresi perasaan positif dan negatif pasien dengan cara memahami ekspresi pasien secara emosional dan intelektual dalam situai yang berbeda (Watson, 1998). 6. Menggunakan metode sistematis dalam menyelesaikan masalah caring

untuk pengambilan keputusan secara kreatif dan individualistik.

Perawat menggunakan proses keperawatan yang sistematis dan terorganisir untuk menyelesaikan masalah kesehatan pasien sesuai dengan ilmu dan kiat keperawatan (Watson, 1998).

Faktor karatif ini merupakan konsep yang penting dalam keperawatan karena memperlihatkan dengan jelas perbedaan antara keperawatan dan penyembuhan. Perawat memberikan informasi kepada pasien dan pasien diberi tanggung jawab juga dalam proses kesehatan dan

(4)

kesejahteraannya. Perawat memfasilitasi proses ini dengan teknik belajar mengajar bertujuan untuk memandirikan pasien dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri, menentukan kebutuhan diri dan memberikan pribadi pasien kesempatan untuk berkembang (Watson, 1998).

7. Menciptakan lingkungan mental, sosial, spiritual serta fisik yang supportif dan korektif.

Perawat harus memahami lingkungan ekstennal dan internal yang berpengaruh terhadap kesehatan dan penyakit individu. Lingkungan internal meliputi kesejahteraan mental dan spiritual serta keyakinan sosial budaya individu, sedangkan lingkungan eksternal meliputi kenyamanan, privasi, keamanan dan kebersihan serta keindahan (Watson, 1998).

8. Memenuhi kebutuhan dasar manusia dengan penuh perhatian dalam mempertahankan keutuhan dan martabat manusia.

Perawat harus memahami kebutuhan biofisikal, psikososial, psikofisikal, dan interpersonal bagi dirinya sendiri dan juga pasien. Pasien harus terpenuhi kebutuhan tingkat dasar terlebih dahulu sebelum berusaha mencapai kebutuhan yang berada diatasnya. Makanan dan eliminasi, adalah contoh kebutuhan biofisikal pada tingkatan bawah, sedangkan aktivitas, istirahat dan kebutuhan seksual adalah kebutuhan psikotisikal pada tingkatan paling bawah. Pencapaian dan afiliasi adalah kebutuhan psikososial yang lebih tinggi sedangkan aktualiasasi diri adalah kebutuhan interpersonal dan intrapersonal yang lebih tinggi (Watson, 1998).

(5)

9. Caring lebih pada healthogenic ketimbang curing.

Praktek caring menyatukan pengetahuan biofisikal dengan pengetahuan perilaku manusia.

10. Lingkungan caring meliputi perkembangan yang potensial yang membentuk atau meningkatkan kesehatan dan perawatan bagi yang sakit.

Keilmuan tentang caring, bagaimanapun melengkapi ilmu tentang pengobatan (curing). Praktik caring adalah sentral bagi praktek keperawatan.

2.1.3 Karakteristik Caring

Karakteristik Caring menurut Chin (2010) adalah a) Be ourselves, sebagai manusia harus jujur, dapat dipercaya, tidak tergantung pada orang lain. Artinya bahwa setiap orang harus menjadi diri sendiri dan mandiri; b) Clarity, keinginan untuk terbuka dengan orang lain; c) Respect, selalu menghargai orang lain. Belajar menerima dan memahami orang lain dan belajar menjadi makhluk sosial; d) Separatenes, dalam caring tidak berarti terbawa dalam depresi atau ketakutan orang lain. Tatap dalam kondisi waspada dengan mempersiapkan diri secara fisik dan psikologi; e) Freedom, adalah memberi kebebasan pada orang lain untuk mengekspresikan perasaannya; f) Emphaty, dengan memahami perasaan pasien tetapi dirinya tidak hanyut oleh perasaan tersebut baik secara emosional maupun fisik; g) Communication, komunikasi verbal dan nonverbal harus menunjukkan keselarasan; h) Evaluation, dilakukan bersama-sama perawat dan pasien.

(6)

2.1.4 Aktifitas yang Menunjukkan Perilaku Caring Perawat

Menurut Wolf, et al (2004) telah mengembangkan daftar inventarisasi perilaku caring perawat, Wolf menuliskan secara berturut sepuluh peringkat perilaku yang menunjukkan caring perawat. Kesepuluh perilaku tersebut meliputi: a) Mendengar dengan penuh perhatian; b) Memberi rasa nyaman; c) Berkata jujur; d) Memiliki kesabaran; e) Bertanggung jawab; f) Memberikan informasi sehingga pasien dapat mengambil keputusan; g) Memberikan sentuhan; h) Menunjukkan sensitifitas; i) Menunjukkan rasa hormat terhadap pasien; j) Memanggil pasien dengan namanya.

2.1.5 Instrumen yang Digunakan Untuk Mengukur Perilaku Caring

Instrumen yang digunakan dalam mengukur perilaku caring menurut beberapa ahli, diantaranya:

a) Caring Behavior Assesment Tool

Caring Behavior Assesnzent Tool (CBA) adalah alat ukur yang paling awal dikembangkan untuk mengukur perilaku caring dengan menggunakan teori Watson dan sepuluh karatif Watson. Alat ukur ini dikembangkan oleh Cronin dan Harrison pada tahun 1988 untuk mengidentifikasi perilaku caring perawat yang dipersepsikan oleh pasien. Caring Behavior Assesment Tool (CBA) terdiri atas 63 item pertanyaan yang dikelompokkan menjadi 7 sub skala. Faktor 1, 2 dan 3 dari faktor karatif Watson dikelompokkan menjadi satu kelompok dan faktor ke 6 dianggap oleh Cronin dan Harrison melekat pada seluruh faktor karatif lainnya. Jawaban pertanyaan menggunakan 5 skala likert yang menggambarkan tingkatan masing-masing perawat dalam merefleksikan perilaku caring.

(7)

b) Care-Q (Caring Assesment Inventory)

Larson (1984, Watson 2004) menjelaskan care Q adalah instrumen dapat dipakai mempersepsikan perilaku caring perawat. Perawat mengidentifikasikan perilaku yang penting adalah mendengarkan, sentuhan, kesempatan, mengekspresikan perasaan, komunikasi, dan melibatkan pasien dalam perencanaan keperawatannya. Perilaku caring yang ditampilkan pada alat ukur ini meliputi 50 dimensi caring yang dibagi dalam 6 variabel yaitu kesiapan dan kesediaan, penjelasan dan peralatan, rasa nyaman, antisipasi, hubungan saling percaya serta bimbingan dan pengawasan.

c) Caring Behavior Inventory

Caring Behavior Inventory (CBI) dikembangkan oleh Jean Watson (2002) dengan menggunakan konsep dasar caring secara umum dan teori transpersonal caring Watson. Versi pertama alat ukur ini terdiri atas 75 item yang dengan proses psikometrik direduksi menjadi 43 kemudian mengecil kembali menjadi 42 item dengan alternatif jawaban menggunakan skala likert 4 poin yaitu 1= sangat tidak setuju, 2= tidak setuju, 3=setuju, dan 4 = sangat setuju. CBI 42 item pertanyaan diuji menggunakan 541 subjek penelitian yang terdiri dari 278 perawat dan 263 pasien. Konsistensi rebilitas internal dilaporkan sampai 0.96 pada tahun 2001 (Mon-ison, 2007).

Wolf et al (2004) mengkategorikan faktor karatif dari teori Watson menjadi 5 dimensi perilaku caring, yaitu mengakui keberadaan pasien, menanggapi dengan rasa honnat, pengetahuan dan keterampilan, menciptakan hubungan positif, perhatian terhadap yang dialami orang lain.

(8)

Pengukuran perilaku caring perawat pelaksana RSUD Arjawinangun Cirebon direncanakan menggunakan Caring Behavior Inventory dari Wolf (2004) dengan memperhatikan 5 dimensi perilaku caring. Hal ini karena dimensi caring ini erat hubungannya dengan kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor yang dibutuhkan perawat agar mampu memberikan asuhan keperawatan dan memenuhi kebutuhan pasien.

2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Individu. 2.2.1 Usia

Usia adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan). Usia berkaitan dengan tingkat kedewasaan/maturitas seseorang. Semakin tinggi usia, semakin mampu menunjukkan kematangan jiwa dan semakin dapat berpikir rasional, bijaksana serta terbuka terhadap pendapat orang lain (Siagiaan, 2010). Pendapat ini didukung oleh Desslerr (2005) mengemukakan usia produktif adalah usia 25-45 tahun. Tahap ini merupakan penentu seseorang untuk memilih bidang pekerjaan yang sesuai bagi karir individu tersebut.

2.2.2 Jenis Kelamin

Manusia dibedakan menurut jenis kelaminnya yaitu pria dan wanita.Dalam studi didapatkan bahwa tidak ada perbedaan dalam produktivitas kerja pria dan wanita. Siagiaan (2010) mengemukakan secara sosial budaya pegawai perempuan yang berumah tangga akan memiliki tugas tambahan, hal ini menyebabkan kemangkiran yang lebih sering dari pegawai perempuan.

(9)

2.2.3 Latar belakang pendidikan

Tingkat pendidikan perawat mempengaruhi kinerja perawat (Siagiaan, 2010). Perawat yang memiliki pendidikan tinggi; kinerjanya akan lebih baik karena memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas dibandingkan dengan perawat yang memiliki tingkat pendidikan rendah. Faktor pendidikan mempengaruhi perilaku kerja. Makin tinggi pendidikan akan berhubungan positif terhadap perilaku kerja seseorang. (Pangewa, 2007).

2.2.4 Status Perkawinan

Merupakan suatu ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Robbins (2010) mengungkapkan pernikahan mampu meningkatkan tanggung jawab yang dapat membuat suatu pekerjaan menjadi berharga.

2.2.5 Masa kerja

Masa kerja merupakan lama seorang perawat bekerja pada suatu organisasi yaitu dimulai dari perawat resmi dinyatakan sebagai pegawai/karyawan tetap rumah sakit. Masa kerja perawat merupakan faktor yang dapat berpengaruh terhadap kinerja perawat. Siagiaan (2010) menyatakan bahwa lama kerja dan kepuasan serta kinerja berkaitan secara positif.

(10)

2.3 Kecerdasan Spiritual

Perilaku caring perawat pada pemberian pelayanan keperawatan telah diperkenalkan sejak masa Nightingale, namun mulai dibahas sebagai filosofi dari ilmu keperawatan oleh Watson.

2.3.1 Definisi Kecerdasan Spiritual

Selama ini kita cenderung mempersepsikan kecerdasan terlalu sempit,yaitu mengarah pada IQ.Padahal manusia mempunyai berbagai macam kecerdasan yang sering kali diabaikan oleh diri kita sendiri,kecerdasan tergantung pada konteks,tugas serta tuntutan yang diajukan oleh kehidupan kita,bukan tergantung pada nilai IQ,gelar perguruan tinggi atau reputasi bergengsi.

Suparman dalam Kusumawati (2007) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kecerdasan (intelligence) adalah kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan dan pandai melaksanakannya dalam praktik. Potensi kecerdasan meliputi: kemampuan memahami, kemampuan menganalisa, kemampuan membuat keputusan, sampai pada kemampuan menjalankan (mengeksekusi).

Kecerdasan spiritual telah memenuhi tiga kriteria utama untuk intelijen yaitu kumpulan karakteristik kemampuan mental yang berbeda dari perilaku istimewa,fasilitas adaptasi dan pemecahan masalah,dan berkembang selama jangka waktu(lifespan)(King,2008).

(11)

Menurut King (2008), kecerdasan spiritual didefinisikan sebagai satu set kapasitas mental yang berkontribusi terhadap kesadaran, integrasi, dan aplikasi adaptif aspek non materi dan hal yang disadari di area transenden, mengarah ke hasil seperti eksistensial mendalam, peningkatan makna, pengakuan dari transendensi-diri, dan penguasaan area spiritual.

Dalam teori lain Tasmara(2001) mengatakan kecerdasan spiritual dari sudut pandang keagamaan adalah suatu kecerdasan yang berbentuk dari upaya menyerap kemahatahuan Allah dangan memanfa’atkan diri sehingga diri yang ada adalah Dia Yang Maha Tahu dan Maha Besar.Spiritual merupakan pusat lahirnya gagasan, penemuan motivasi,dan kreatifitas yang paling fantastik.Sementara Mujib (2001) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan kalbu yang berhubungan dengan kwalitas batin seseorang. Kecerdasan ini mengarahkan seseorang untuk berbuat lebih manusiawi,sehingga dapat menjangkau nilai nilai luhur yang mungkin belum tersentuh oleh akal pikiran manusia.

Maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang meliputi tiga aspek yaitu hubungan antara kita dengan sang Pencipta (Allah) yang disimpulkan dalam transendental, hubungan kita dengan sesama yang disimpulkan dalam makna pribadi dan makna keseharian,dan hubungan antara kita dengan diri kita sendiri yang disimpulkan dalam area kesadaran.Tiga aspek tersebut teraplikasikan dengan cara berpikir eksistensial.

(12)

2.3.2 Komponen Kecerdasan Spiritual

Dalam tesis yang disusun oleh King (2008) ada empat komponen kecerdasan spiritual yang masing-masing mewakili pengukuran kecerdasan spiritual secara menyeluruh yaitu Critical Existential Thinking (CET), Personal Meaning Production (PMP), Transcendental Awareness (TA), dan Conscious State Expansion (CSE).

a) Critical Existential Thinking (CET)

Komponen pertama dari kecerdasan spiritual melibatkan kemampuan untuk secara kritis merenungkan makna, tujuan, dan isu-isu eksistensial atau metafisik lainnya (misalnya realitas, alam, semesta, ruang, waktu, dan kematian). Berpikir kritis eksistensial dapat diterapkan untuk setiap masalah hidup, karena setiap objek atau kejadian dapat dilihat dalam kaitannya dengan eksistensi seseorang. Sementara beberapa mendefinisikannya sebagai 'upaya untuk memahami jawaban' (Koenig, 2000, dalam King 2009) atas pertanyaan-pertanyaan yang akhirnya tampak, secara lebih praktis dianggap sebagai pola perilaku yang berkaitan.

Pada instrumennya, King (2008) memformulasikan komponen ini pada unsur eksistensi, makna peristiwa, kehidupan setelah kematian, hubungan manusia dan alam semesta, dan mengenai Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi. Namun, penelitian yang dilakukan King tidak merujuk kepada agama tertentu atau non-agama sekalipun.

b) Personal Meaning Production (PMP)

Komponen inti kedua didefinisikan sebagai kemampuan untuk membangun makna pribadi dan tujuan dalam semua pengalaman fisik dan mental,

(13)

termasuk kemampuan untuk membuat dan menguasai tujuan hidup. Nasel (2004) dalam King (2009) setuju bahwa kecerdasan spiritual melibatkan kontemplasi makna simbolis kenyataan dan pengalaman pribadi untuk menemukan tujuan dan makna dalam semua pengalaman hidup.Pada instrumennya, King (2008) memformulasikan komponen kepada unsur-unsur kemampuan adaptasi dari makna dan tujuan hidup dan alasan hidup, makna kegagalan, mengambil keputusan sesuai dengan tujuan hidup, serta makna dan tujuan dari kejadian sehari-hari.

c) Transcendental Awareness (TA)

Komponen ketiga melibatkan kemampuan untuk melihat dimensi transenden diri, orang lain, dan dunia fisik (misalnya non material dan keterkaitan) dalam keadaan normal maupun dalam keadaan membangun area kesadaran. Wolman (2001) dalam King (2009) menjelaskan kesadaran transendental sebagai kemampuan untuk merasakan dimensi spiritual kehidupan, mencerminkan apa yang sebelumnya digambarkan sebagai merasakan kehadiran yang lebih nyata, yang lebih tersebar dan umum dari indera khusus kita.

Abraham Maslow, Hamel, Leclerc, dan Lefrancois (2003) dalam King (2009) telah menggambarkan proses tambahan aktualisasi transenden, yang mereka definisikan sebagai realisasi diri yang didirikan pada kesadaran pengalaman dari Pusat Spiritual (Spiritual Center), juga disebut sebagai Batin atau Inti. Csikszentmihalyi (1993) dalam King (2009) juga menyebutkan transendensi-diri menggambarkan kesuksesan seseorang sebagai transcender yang bergerak melampaui batas-batas keterbatasan

(14)

pribadi mereka dengan mengintegrasikan tujuan individu dengan yang lebih besar, seperti kesejahteraan keluarga, masyarakat, umat manusia, planet, atau kosmos. Pada instrumennya, King (2008) memformulasikan komponen ini kepada aspek non-fisik dan non-materi, mampu merasakan non-fisik dan non-materi, memahami hubungan antar manusia, mendefinisikan non-fisik (ruh), kualitas kepribadian/emosi, dan mampu memusatkan diri.

d) Conscious Stale Expansion (CSE)

Komponen terakhir dari model ini adalah kemampuan untuk memasukan area kesadaran spiritual (misalnya kesadaran murni, kesadaran murni, dan kesatuan) atas kebijakannya sendiri. Dari perspektif psikologis, perbedaan antara kesadaran transendental dan pengembangan area kesadaran ini didukung oleh Tart (1975) dalam King (2009) bahwa kesadaran transendental harus terjadi selama keadaan sadar normal, sedangkan pengembangan area kesadaran meliatkan kemampuan untuk mengatasi keadaan sadar dan area yang lebih tinggi atau spiritual. Sebuah pengembangan badan penelitian telah menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam fungsi otak antara semua tingkat dan area kesadaran, termasuk yang berhubungan degan pengalaman spiritual dan meditasi. Area tersebut adalah kesadaran kosmik, kesadaran murni, dan kesadaran unitive. Kesadaran diri (self consciousness yang sering juga disebut dengan self awareness) adalah pembeda utama antara orang yang memiliki spiritualisme tinggi dengan yang tidak. Orang-orang yang memiliki kesadaran yang tinggi akan selalu berpikir beberapa kali dalam merespons setiap situasi, mengambil waktu sejenak untuk memahami apa yang

(15)

tersembunyi maupun yang nyata sebelum menunjukan respons awal. la selalu bertindak penuh perhitungan, pertimbangan, dan hati-hati. (Syahmuharnis & Sidharta, 2006).

Dalam instrumennya, King (2008) memformulasikan komponen ini ke dalam unsur-unsur memasuki area kesadaran, mengontrol area kesadaran.

2.4 Budaya Organisasi

2.4.1 Definisi Budaya Organisasi

Budaya organisasi merupakan suatu yang membedakan organisasi satu dengan organisasi lainnya yang memiliki sistem pengertian bersama dari anggota-anggota organisasinya (Robbins, 2010). Menurut Wibowo (2010) budaya organisasi adalah karakteristik organisasi dari anggotanya yang menggambarkan kesuksesan dan kegagalan para anggotanya.

2.4.2 Dimensi Budaya Organisasi

Budaya organisasi terdiri atas sejumlah karakteristik yang menjadi dasar bagi anggota mengenai organisasi, bagaimana kegiatan dilakukan didalamnya serta cara anggota diharapkan berperilaku. Stephen Robbins (2010) mengemukakan sepuluh dimensi yang mempengaruhi budaya

organisasi meliputi inovasi, pengambilan risiko, kepemimpinan, integritas, dukungan manajemen, desain pekerjaan, identitas manajemen, sistem rewards, manajemen konflik, dan pola komunikasi.

(16)

1. Inovasi

Inovasi adalah tingkat tanggung jawab, kebebasan yang dimiiki anggota organisasi dalam mengemukakan pendapat. Inovasi anggota organisasi harus dihargai oleh kelompok atau pemimpin suatu organisasi sepanjang menyangkut ide untuk mengembangkan organisasi.

2. Pengambilan risiko

Pengambilan risiko merupakan suatu tingkatan memotivasi karyawan dalam pengambilan keputusan yang inovatif, kreatif dan berani mengambil risiko. Inovasi mencakup lebih dari sekedar perbaikan, mencari dan mengambil risiko yang besar tentang gagasan dan perubahan (Rivai, 2011).

3. Kepemimpinan

Kepemimpinan terbentuk ketika muncul kemampuan seorang pemimpin dalam menerima secara terbuka dan positif dengan memberikan kesempatan pada staf untuk menggali perasaan, kritikan, dan menyuarakan reaksi yang negatif secara terbuka. Kinerja perawat pelaksana dipengaruhi oleh proses kepemimpinan yang dilaksanakan oleh kepala ruangan sebagai manajer langsung di ruangan. Jika manajer melibatkan staf dalam pencapaian tujuan organisasi, diharapkan kinerja perawat pelaksana semakin optimal (Siagian, 2010).

4. Integritas

Integrasi merupakan sejauh mana organisasi dapat mendorong anggota organisasi untuk bekerja lebih terkoordinasi. Kekompakan unit

(17)

dalam suatu organisasi dapat mendorong kualitas dan kuantitas pekerjaan yang dihasilkan perawat pelaksana (Aminudin, 2007).

5. Dukungan Manajemen

Dukungan manajemen merupakan gaya manajemen yang terbentuk berdasarkan etika dan nilai-nilai standar yang tinggi. Manajemen harus menunjukkan sikap dan loyalitas positif terhadap pekerja dan organisasi.

Manajer memberikan orang lain perasaan bahwa hasil pekerjaan yang karyawan lakukan dihargai betapapun sederhananya (Wibowo, 2010). 6. Desain pekerjaan

Desain pekerjaan pada organisasi menguraikan cakupan, kedalaman dan tujuan dari setiap pekerjaan yang membedakan antara pekerjaan yang satu dengan pekerjaan lainnya. Gibson (2010) menjelaskan desain pekerjaan mengacu pada proses yang diterapkan pada manajer untuk memutuskan tugas pekerjaan dan wewenang. Desain pekerjaan merupakan upaya seorang manajer mengklasifikasikan tugas dan tanggung jawab dari setiap individu. Gitosudarmo (2010) menambahkan bahwa desain pekerjaan berpengaruh terhadap efektifitas organisasi.

7. Identitas manajemen

Identitas manajemen adalah bagaimana tugas pekerjaan secara formal dibagi, dikelompokkan dan dikoordinasikan (Robbins, 2010). Identitas manajemen menunjukkan cara suatu kelompok dibentuk, garis komunikasi dan hubungan otoritas serta pembuatan keputusan (Marquis & Huston, 2010).

(18)

Kinerja perawat dipengaruhi juga oleh identitas manajemen yang telah ditetapkan, tugas dan wewenang yang jelas, aturan yang jelas dan prosedur teknis dalam mengoptimalkan kinerja. Identitas manajemen menggambarkan garis komando, garis kewenangan dan garis koordinasi dalam melakukan tugas.

8. Sistem Rewards

Perusahaan menggunakan rewards sebagai suatu sistem balas jasa atas hasil kerja anggota/karyawan. Perilaku yang diberi imbalan, dihukum, dan dibiarkan akan menentukan bagaimana budaya organisasi berevolusi. Perusahaan yang memiliki sistem rewards yang didasarkan pada intangible performance menciptakan budaya organisasi yang berorientasi pada karyawan (Riani, 2011).

2.4.3 Fungsi Budaya Organisasi

Fungsi budaya organisasi menurut Stephen Robbins & Judge (2010) adalah: a. Budaya memiliki rasa identitas anggota organisasi, seperti logo pada

beberapa perusahaan yang memiliki makna bagi organisasi itu sendiri (Riani, 2011).

b. Budaya meningkatkan stabilitas sistem sosial. Budaya merupakan perekat sosial yang menyatukan organisasi dengan cara menyediakan standar apa yang sebaiknya dikatakan dan dilakukan karyawannya.

c. Budaya membantu melahirkan komitmen baru terhadap sesuatu yang lebih besar dari kepentingan personal. Luthan (2007) juga mengungkapkan bahwa

(19)

budaya menghasilkan dan meningkatkan komitmen terhadap misi organisasi.

d. Budaya sebagai membuat semuanya lebih bermakna serta pengendali dalam membentuk perilaku karyawan.

e. Sebagai penentu menciptakan perbedaan antara satu organisasi dengan organisasi lainnya.

2.4.4 Membangun dan Mempertahankan Budaya Organisasi

Sebuah organisasi yang ingin membangun dan mempertahankan budaya organisasi memerlukan waktu yang cukup lama. Ada 3 hal berdasarkan Stephen Robbins & Judge (2010) yang memiliki peranan penting sebuah budaya.

a. Seleksi Nilai-nilai organisasi didapatkan oleh karyawan melalui proses seleksi dan diseragamkan untuk pembentukan budaya organisasi. Proses seleksi ini bertujuan untuk merekrut kemampuan, pengetahuan, keterampilan dan kemampuan individu di dalam organisasi (Robbins & Judge, 2010).

b. Tindakan Menejemen Puncak norma-norma yang berlaku di organisasi melalui manajemen puncak diseragamkan berdasarkan apa yang mereka lakukan serta bagaimana pihak eksekutif bersikap terkait pengambilan risiko, kebebasan yang diberikan kepada karyawan dan lain sebagainya (Robbins & Judge, 2010).

c. Metode Sosialisasi

Merupakan sebuah proses yang menjadikan adaptasi bagi karyawan agar mengerti dengan kultur organisasi, bermanfaat juga agar karyawan paham

(20)

tentang organisasinya, sehingga karyawan dapat menghadapi masalah (Robbins & Judge, 2010).

2.4.5 Instrumen Pengukuran Budaya Organisasi

Format instrumen yang digunakan untuk mengukur budaya organisasi adalah dalam bentuk kuesioner. The Denison Organizational Culture Survey, merupakan salah satu format survei budaya organisasi. Model ini telah dilakukan berdasarkan pada penelitian lebih dari 15 tahun dan melibatkan 1000 organisasi yang dilakukan oleh Dr. Denison dari Universitas Micchigan. Kelebihan dari model instrumen ini adalah merupakan instrumen yang memfokuskan pada kebiasaan, didesain dan dibuat sesuai dengan lingkungan semua tingkat organisasi, mudah dan cepat diimplementasikan. Instrumen ini dikembangkan berdasarkan 4 karakteristik budaya yang mempunyai korelasi dengan organisasi, yaitu :

a. Keterlibatan

Karateristik organisasi yang menilai pandangan karyawan yang bekerja sama dalam mencapai tujuan organisasi. Didalamnya terdapat norma, pemberdayaan dan pengembangan kapabilitas.

b. Konsistensi

Nilai yang memfokuskan pada integrasi sumber-sumber organisasi untuk mengembangkan sistem untuk melaksanakan kegiatan organisasi yang meliputi koordinasi dan integrasi.

(21)

c. Adaptasi

Merupakan kebutuhan organisasi dalam melaksanakan kegiatan dalam mendukung kapabilitas perilaku internal dari organisasi. Kemampuan ini meliputi fokus pada pelanggan, menciptakan perubahan dan pembelajaran organisasi.

d. Misi

Merupakan tujuan jangka panjang yang penting bagi organisasi, meliputi tujuan dan visi organisasi serta pencapaian tujuan organisasi.

(22)

Skema 2.2.

Kerangka Teori Penelitian (King, 2008 ; Stephen Robbis, 2010 ; Watson dalam Tomey & Alligood, 2006a : Siagian, 2010 ; Desslorr, 2005 ; Pangewa, 2007 ; Robbin, 2010)

Komponen Kecerdasan Spiritual 1. Berpikir Kritis Eksistensial

(Critical Existensial Thinking) 2. Pembentukan makna pribadi

(Personal Meaning Production) 3. Kesadaran Transendental

(Transendental Awareness) 4. Pengembangan area kesadaran

(Conscius Expansionstate)

Faktor Budaya Organisasi 1. Inovasi 2. Pengambilan resiko 3. Kepemimpinan 4. Integritas 5. Dukungan manajemen 6. Desain Pekerjaan 7. Identitas manajemen 8. Sistem Rewards 9. Manajemen Konflik 10. Pola Komunikasi

Faktor Caratif Caring Watson :

1. Membentuk dan

menghargai sistem Nilai Humanistic dan Altruistic 2. Menanamkan

kepercayaan/ Pengharapan 3. Menumbuhkan sensitifitas

terhadap diri dan orang lain

4. Mengembangkan

hubungan saling percaya, hubungan Caring manusia 5. Meningkatkan dan

menerima ekpresi perasaan positif dan negatif

6. Menggunakan proses caring yang kreatif dalam penyelesaian masalah 7. Meningkatkan Proses belajar-mengajar interpersonal 8. Menciptakan lingkungan fisik, mental, sosio-kultural, dan spiritual yang suportif, protektif, dan korektif 9. Membantu memenuhi

kebutuhan dasar manusia 10. Menghargai adanya

kekuatan-kekuatan

fenomena yang bersifat spiritual

Komponen caring Swanson 1. Mengakui keberadaan

manusia

2. Menanggapi dengan rasa 3. Pengetahuan dan

Keterampilan

4. Menciptakan hubungan positif

5. Perhatian terhadap yang di alami orang lain

Karakterisik Perawat

1. Usia 4. Status perkawinan 2. Jenis Kelamin 5. Masa Kerja 3. Latar Belakang

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan indikator ekonomi dalam bentuk penurunan pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, harga minyak berdampak p kepada p postur p APBN 2009, , khususnya y. penurunan

Kebenaran Material Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dipandang pertama-tama sebagai tujuan hukum acara pidana, sebagai asas hukum acara pidana dan bahwa

Semakin tinggi indeks sel plasma dalam tubuh penderita Multiple Mieloma yang diukur pada pemeriksaan khusus maka semakin buruk prognosisnya.. Sebaliknya jika

Dalam hal ini, automaintain tersebut dibatasi maksimal Rp.750.000 per bulan untuk setiap 1 (satu) unit bisnis yang dimiliki oleh masing-masing member. Member yang telah

Hal ini dapat ditempuh dengan menerapkan model pembelajaran CTL dimana model ini berupaya membawa pemikiran peserta didik untuk lebih memahami makna dari suatu

Kabupaten Manokwari merupakan kota yang memiliki Hutan Rawa terendah di Provinsi Papua Barat hal ini dikarenakan Kabupaten Manokwari telah mengalami perubahan tutupan

Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui apakah peningkatan hasil belajar IPA dapat diupayakan melalui Pendekatan STM (Sains Teknologi Masyarakat)