• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTEGRASI SOSIAL & KONFLIK HORIZONTAL. Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INTEGRASI SOSIAL & KONFLIK HORIZONTAL. Integrasi Sosial & Konflik Horizontal 1"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

INTEGRASI SOSIAL INTEGRASI SOSIALINTEGRASI SOSIAL INTEGRASI SOSIAL INTEGRASI SOSIAL

&

KONFLIK HORIZONTALKONFLIK HORIZONTALKONFLIK HORIZONTALKONFLIK HORIZONTALKONFLIK HORIZONTAL

(3)

Sanksi Pelanggaran Pasal 72

Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah)

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

(4)

&

KONFLIK HORIZONTAL

KONFLIK HORIZONTAL

KONFLIK HORIZONTAL

KONFLIK HORIZONTAL

KONFLIK HORIZONTAL

Penerbit Alaf Riau Pekanbaru

Studi pada Masyarakat Kabupaten Rokan Hilir

INTEGRASI SOSIAL

INTEGRASI SOSIAL

INTEGRASI SOSIAL

INTEGRASI SOSIAL

INTEGRASI SOSIAL

(5)

INTEGRASI SOSIAL INTEGRASI SOSIALINTEGRASI SOSIAL INTEGRASI SOSIALINTEGRASI SOSIAL & KONFLIK HORIZONTAL & KONFLIK HORIZONTAL& KONFLIK HORIZONTAL & KONFLIK HORIZONTAL & KONFLIK HORIZONTAL

Penulis:

Dr. Yoserizal, MS

Editor:

Zulkarnaini, S.Sos, M.Si

Sampul: Syamsul Witra Foto cover: www.eurhonet.eu Layout: Arnain'99 Cetakan I: Januari 2017 Penerbit ALAF RIAU

Jl. Pattimura No. 9 Pekanbaru, Telp. (0761) 7724831

E-mail: arnain_99@yahoo.com

(6)

PRAKATA PENULIS

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, penulis panjatkan atas semua anugerah kehidupan, lindungan dan bim-bingan-Nya dalam menyelesaikannya buku ini. Shalawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, yang telah memberikan keteladanan hidup bagi seluruh umat manusia.

Sejak Tahun 1946 terjadi enam kali pertikaian antara ang-gota kelompok komunitas di Kabupaten Rokan Hilir, yaitu tiga kali antara anggota komunitas Melayu dengan anggota ko-munitas Cina (Tionghoa) yang terjadi pada beberapa kawasan di Kabupaten Rokan Hilir, yaitu di Kota Bagan Siapi-Api dan Bagan Batu, dua kali antara komunitas Melayu dengan komu-nitas Batak yang terjadi di Kota Bagan Siapi-Api dan Bagan Batu. Sementara terjadi satu kali antara anggota komunitas Me-layu dengan anggota komunitas Bugis yang berlangsung di Ba-gan Siapi-Api.

Atas hal yang demikian, maka perlu mengidentifikasi bentuk-bentuk konflik horizontal yang pernah terjadi dan memahami /

(7)

memetakan potensi konflik yang berpeluang timbul kembali dalam masyarakat di Kabupaten Rokan Hilir serta mempelajari faktor-faktor penyebab timbulnya gejala konflik horizontal tersebut. Upaya tersebut diharapkan dapat menjadi rujukan bagi terjalinnya wahana komunikasi antar etnis di Kabupaten Rokan Hilir dalam pergaulan sosial yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan bangsa. Selain itu dapat pula terumuskannya bahan-bahan yang dapat dijadikan sebagai usulan untuk penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Rokan Hilir tentang Persatuan dan Kesatuan Bangsa.

Demikianlah sekilas alasan pentingnya buku ini diterbit-kan. Lebih dari itu, kehadiran buku ini salah satunya bertujuan untuk memenuhi keterbatasan buku kajian tentang konflik dan integrasi sosial yang diperlukan mahasiswa S1 dan S2 di juru-san Sosiologi.

Pada akhirnya, kepada semua pihak yang membantu kami dalam menyelesaikan tulisan ini mendapatkan balasan yang mulia dari Allah SWT. Kami memohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala hal yang kurang berkenan terkait dengan buku ini. Semoga buku ini dapat menjadi sumbangan bagi ilmu pengetahuan, memberikan manfaat kepada siapa saja yang membacanya. Amin.

Pekanbaru, Desember 2016

(8)

DAFTAR ISI

PRAKATA PENULIS ... 5

DAFTAR ISI ... 7

BAB I PENDAHULUAN ... 11

BAB II DEMOGRAFI DAN SOSIAL EKONOMI DAERAH ... 17

2.1 Demografi ... 17

2.2 Sosial Ekonomi... 19

BAB III KONSEPTUALISASI KONFLIK ... 25

3.1 Strukturalisme Konflik ... 25

3.2 Munculnya Konflik dalam Masyarakat ... 31

3.3 Pengendalian Konflik ... 36

BAB IV FAKTOR-FAKTOR PEMICU PERTIKAIAN KOMUNITAS ... 43

4.1 Faktor Sosial Budaya ... 43

4.2 Faktor Sosial Ekonomi ... 51

4.3 Faktor Sosial Politik, Pemerintahan, dan Otonomi Daerah ... 65

(9)

BAB V POTENSI INTEGRASI SOSIAL ... 77

5.1 Integrasi Sosial Budaya ... 77

1. Asosiasi Inter-komunal dan Cross-cutting Loyalities ... 78

2. Revitalisasi Melalui Pemberdayaan Kelompok 78 3. Proses Peleburan Budaya ... 79

5.2 Integrasi Sosial Ekonomi ... 81

1. Faktor Hubungan Ekonomi ... 82

2. Memperluas Lapangan Kerja ... 84

3. Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Komunitas Lokal ... 85

5.3 Integrasi Sosial Politik, Pemerintahan, dan Otonomi Daerah ... 87

BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU ... 103

BAB VII PENUTUP ... 113

7.1 Kesimpulan ... 113

7.2 Saran ... 115

(10)

Pendahuluan

(11)
(12)

BAB I

PENDAHULUAN

Persatuan dan kesatuan bangsa masih akan mendapatkan berbagai tantangan baru dalam proses globalisasi dewasa ini. Seiring dengan itu, masalah keamanan dan ketertiban umum (social order) juga dihadapkan pada tatangan tersendiri pada era reformasi dan demokratisasi yang kini tengah dihadapi Indo-nesia. Bidang pertahanan keamanan juga masih memerlukan tingkat sense of crisis yang tinggi serta menuntut sikap dan komitmen bersama yang kuat segenap komponen bangsa untuk mengelolanya. Masalah separatisme, walaupun sudah melam-paui masa-masa krisis terberatnya, jelas masih menjadi persoalan yang menghambat upaya pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa. Penyelesaian konflik sosial dan pemulihan ketertiban umum juga masih terlalu dini, yang masih perlu dipelihara momentumnya dan dilanjutkan dengan proses rekonsiliasi sosial politik yang sungguh-sungguh antar berbagai kelompok yang terlibat dalam konflik perbedaan pandangan sosial politik, golongan dan etnis, serta perbedaan keyakinan agama.

(13)

di pusat maupun di daerah mengalami perubahan sosial yang sangat cepat. Gejala perubahan sosial yang terjadi tidak saja dalam artian positif (regressive), tapi juga dalam bentuk ne-gatif (degressive), seperti meningkatnya masalah-masalah sosial yang mengakibatkan rusaknya tatanan nilai-nilai sosial dan budaya yang dijunjung tinggi seperti kriminalitas, patologi sosial lainnya yang tidak terkendali, aksi-aksi protes massa, konflik horizontal dan berbagai konflik fisik antar etnis dan kelompok dalam masyarakat. Karena lamanya terjadi kerusuhan-kerusuhan di daerah-daerah konflik seperti di Aceh, Banyu-wangi, Kupang, Ambon, Poso, Sampit, Batam, Bagan Siapi-api dan lain-lain telah mengakibatkan kadar nurani dan rasa cinta kasih terhadap sesama sebagian besar masyarakat menurun drastis. Hal ini sering menimbulkan perubahan-perubahan di luar kebiasaan-kebiasaan bangsa yang beradab.

Pada saat ini, harus diakui bahwa masyarakat secara umum belum seluruhnya mampu menggunakan hak-haknya, melak-sanakan kewajiban serta tanggung jawab sosialnya masing-masing secara bi-jaksana dan dengan tingkat toleransi sosial yang tinggi, sehingga tidak jarang sekelompok orang tertentu melakukan hal-hal yang bersifat anarkis dalam mengekspresi-kan aspirasinya sebagai warga negara. Sering pula terjadi per-selisihan antar individu berkembang dan meluas menjadi kon-flik antar etnis, antar golongan, bahkan antar penganut agama yang mengakibatkan kerusakan berbagai fasilitas umum dan jatuhnya banyak korban jiwa yang tidak berdosa.

Tak terkecuali di Riau, gejolak berupa kerusuhan-kerusuhan sosial pernah melanda masyarakat di beberapa daerah yang me-ngarah pada konflik antar etnis, antara lain di Bagan Siapi-api, Duri, Selat Panjang, Tembilahan, Pekanbaru, Pasir Pengarayan, Pelalawan, Batam, Rengat dan lain-lain. Akibatnya banyak me-nelan korban jiwa dan harta benda sebagai ekspresi kebrutalan

(14)

kelompok-kelompok tertentu yang dilakukan atas dasar stereo-type ethnic dan prejudice, maupun adanya pandangan dan kepentingan yang berbeda dalam hubungan sosial antar etnik. Perampokan harta benda milik masyarakat Desa Tolan Baru, pengrusakan dan pembakaran rumah warga desa oleh karyawan PT. Torganda dan PT. Torus Ganda pada tanggal 18 Maret 1999, kemudian dibalas mahasiswa dengan pembakaran dan pe-ngrusakan harta benda milik PT. Torganda Property di Pasir Putih Pekanbaru merupakan tindakan atau perbuatan kekerasan yang tidak sesuai dengan peradaban bangsa. Demikian pula bentrok fisik yang terjadi antara karyawan PT. RAPP dengan warga Desa Kotobaru Kecamatan Singingi Rengat. Konflik antar kelompok etnik Melayu dengan Batak, Minang dengan Batak, Melayu dengan Minang di Duri dan Selat Panjang Kabu-paten Bengkalis juga telah menimbulkan kerugian harta benda dan korban nyawa di kedua belah pihak.

Khusus di Rokan Hilir (Bagan Siapi-api) sebagai salah satu kabupaten pemekaran di Propinsi Riau, dalam catatan sejarah pernah dilanda perang fisik pembasmian antar etnis. Masyarakat Bagan Siapi-api bersifat heterogen, sama halnya dengan daerah-daerah lainnya di Propinsi Riau (Melayu, China, Batak, Jawa, Minang dan lain-lain). Latar belakang perbedaan etnis ini setiap saat dapat meledak menjadi konflik antar kelompok etnis karena mengandung benih-benih perbedaan sosial yang tajam antar kelompok dan golongan.

Secara geografis, wilayah Rokan Hilir terbuka bagi migran dari daerah lain. Lancarnya arus transportasi melalui jalur darat yang dikenal sebagai jalur timur Sumatera menghubungkan Su-matera Utara, Aceh, Jambi, SuSu-matera Barat dan Pulau Jawa melalui Kabupaten Rokan Hilir ini telah meningkatkan arus penduduk pendatang yang mengadu nasib ke kota-kota di wilayah ini, seperti Bagan Batu, Ujung Tanjung, Bagan Siapi-api, Kubu,

(15)

Panipahan dan sebagainya. Bahkan memungkinkan para pelarian dari daerah lain berpindah ke daerah ini dan masuk menjadi karyawan perkebunan di pedalaman yang kadang kala dijadikan sebagai tempat persembunyiannya. Apabila petugas pemerintah desa setempat tidak selektif terhadap kelompok pendatang de-mikian, dapat mencuatkan konflik sosial yang mendalam, gejala etnosentrisme, egoisme, fanatikisme, daerah-isme dan isme-isme lainnya akan mudah berkembang dan sulit dikendalikan bahkan dapat menghambat pembangunan daerah. Buktinya, masih segar dalam ingatan kita bahwa Bagan Siapi-api dilanda konflik antar kelompok masyarakat akibat rencana program pembangunan Ibukota Kabupaten di Ujung Tanjung. Sebelum itu, Kantor Dinas Kehutanan di Kota Bagan Siapi-api diporak-porandakan massa buruh galangan kapal yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah bidang kehutanan yang melarang peredaran kayu ilegal dan dianggap menghancurkan sumber ma-ta pencahariannya.

Dalam rangka mengantisipasi gejala konflik horizontal di Kabupaten Rokan Hilir yang setiap saat dapat mengancam in-tegrasi bangsa dan dapat menghambat kelancaran pelaksanaan pembangunan era otonomi daerah, maka langkah awal yang perlu dilakukan sebelum mengambil kebijakan program per-satuan dan keper-satuan bangsa perlu diadakan studi tentang integ-rasi sosial dan konflik horizontal yang selama ini belum pernah dilakukan. Tujuan dari studi ini adalah: pertama, mengkaji faktor-faktor apa saja yang dapat memperarat integrasi sosial antar etnis di di Rokan Hilir, seklaigus dapat meredakan konflik horizontal yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat. Kedua, merumuskan model kebijakan program pembangunan di bidang Persatuan dan Kesatuan Bangsa sebagai bagian dari pembangunan bidang sosial politik di Kabupaten Rokan Hilir dalam era otonomi daerah.

(16)

Demografi dan

Sosial Ekonomi Daerah

(17)
(18)

2.1. Demografi

Studi konflik horozontal dilakukan pada dua lokasi, yakni Kecamatan Bangko dan Kecamatan Bagan Sinembah yang ber-ada pber-ada wilayah Kabupaten Rokan Hilir. Kedua kecamatan ini mempunyai jumlah penduduk yang cukup besar bila dibanding-kan dengan kecamatan lainnya yang berada di wilayah Kabupaten Rokan Hilir. Perbandingan jumlah penduduk antar kecamatan yang berada dalam wilayah Kabupaten Rokan Hilir (dari 12 Kecamatan), dimana Kecamatan Bagan Sinembah jumlah pen-duduknya sebesar 24,4 % dari jumlah penduduk Kabupaten Rokan Hilir, sedangkan kecamatan Bangko sebesar 16,9 %.

Kecamatan Bagan Sinembah merupakan kecamatan yang terpadat penduduknya dan ikuti dengan Kecamatan Bangko. Jumlah penduduk pada dua wilayah studi sebanyak 182.163 jiwa atau 41,3 % dari jumlah penduduk di Kabupaten Rokan Hilir. Perbandingan penduduk menurut jenis kelamin (sex ratio) memperlihatkan dimana, pada kedua kecamatan studi sex rationya adalah 1,0 yang artinya jumlah penduduk laki-laki dan

BAB II

DEMOGRAFI DAN

SOSIAL EKONOMI DAERAH

(19)

penduduk perempuan hampir sama.

Banyaknya jumlah penduduk belum bisa menggambarkan tingkat kepadatan penduduk pada suatu wilayah. Jumlah pen-duduk yang besar belum tentu mempunyai tingkat kepadatan yang tinggi pula. Kabupaten Rokan Hilir dengan jumlah pen-duduk pada tahun 2004 sebanyak 440.894 jiwa dan dengan luas wilayah 8.881 Km2 maka kepadatan penduduknya adalah 50 jiwa/Km2

Kepadatan penduduk di dua lokasi studi jauh lebih besar bila dibandingkan dengan tingkat kepadatan penduduk Kabu-paten Rokan Hilir. Tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan Bangko 1,5 kali lipat dari pada tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Rokan Hilir, sedangkan Kecamatan Bagan Si-nembah jauh lebih besar yakitu 2,5 kali dari tingkat kepadatan penduduk Kabupaten. Tingginya tingkat kepadatan penduduk dapat menimbulkan berbagai masalah sosial, seperti kemis-kinan, pemukiman yang kumuh, kekurangan air bersih serta dapat menimbulkan berbagai konflik-konflik sosial lainnya.

Kecamatan Bangko dengan jumlah penduduk 74.735 jiwa yang terdiri dari 14.148 Kepala Keluarga. Secara rata-rata setiap rumah tangga akan memiliki anggota keluarga sebesar 5,3 jiwa/KK. Selanjutnya pada Kecamatan Bagan Sinembah rata-rata jumlah jiwa dalam rumah tangga adalah 4,4 jiwa/KK. Sejak tahun 2001 hingga tahun 2004 pertambahan pen-duduk Kabupaten Rokan Hilir sebanyak 74.010 jiwa, yang secara rata-rata persentase pertumbuhan penduduk Kabupaten Rokan Hilir setiap tahunnya adalah 6,7 % pertahun. Persentase pertumbuhan penduduk ini cukup besar dan hal ini salah satunya disebabkan oleh tingkat perkembangan daerah itu sendiri.

Tingkat pertumbuhan pada kedua kecamatan studi sedikit berbeda dimana pada kecamatan studi pada tahun-tahun tertentu

(20)

mengalami tingkat pertumbuhan yang minus. Misalnya antara tahun 2002 dan tahun 2003 di Kecamatan Bangko persentase pertumbuhannya hanya 0,30 % sedangkan di Kecamatan Bagan Sinembah persentase pertumbuhan penduduk mengalami angka minus yaitu -0,37 %. Selanjutnya antara tahun 2003 dan tahun 2004 Kecamatan Bangko persentase pertumbuhan penduduk -2,73 % dan di Kecamatan Bagan Sinembah persentase per-tumbuhan penduduk mencapai 4,41 %. Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi setempat pada masa itu, misalnya banyaknya penduduk di daerah tersebut yang pindah ke daerah lain untuk melanjutkan pendidikan atau untuk mencari kehidupan ke daerah lain, sehingga tingkat pertum-buhan penduduk akan menjadi minus.

2.2. Sosial Ekonomi

Kondisi sosial masyarakat di wilayah studi dapat dijelaskan dengan melihat tingkat kesejahteraan masyarakat. Salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk melihat tingkat kese-jahteraan masyarakat adalah banyaknya keluarga prasejahtera, sejahtera I, II, III dan III+ di wilayah studi.

Pada Tahun 2003 jumlah keluarga prasejahtera di Kabu-paten Rokan Hilir sebesar 9.275 KK (9,6 %) dan keluarga ssejahtera I sebanyak 17.529 KK (18,2 %). Tingkat kesejah-teraan masyarakat di Kecamatan Studi bila dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Rokan Hilir, dapat dinyatakan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di kecamatan studi masih lebih baik. Hal ini terbukti dengan per-sentase keluarga prasejahtera pada kecamatan studi jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan persentase keluarga prasejahtera di tingkat kabupaten.

(21)

jauh dibawah persentase keluarga prasejahtera di tingkat ka-bupaten yaitu sebesar 3,4 % dan di Kecamatan Bagan Sinembah 3,2 % sedangkan Kabupaten Rokan Hilir persentase keluarga prasejahtera sebesar 9,6 %. Hal ini memberikan gambaran bah-wa ke dua kecamatan studi tingkat kesejahteraannya cukup baik bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya yang berada dalam wilayah Kabupaten Rokan Hilir.

Masyarakat yang berada pada tingkat Sejahtera I di Keca-matan bangko persentasenya cukup besar yaitu 16,2 %, hampir mendekati persentase masyarakat sejahtera I Kabupaten Rokan Hilir (18,3 %). Sedangkan masyarakat sejahtera I di Kecamatan Bagan Sinembah masih jauh berada di bawah angka persentase sejahtera I Kabupaten Rokan Hilir yaitu hanya sebesar 7,8 %. Masyarakat yang berada pada kelompok prasejahtera dan se-jahtera I masih dapat digolongkan kepada kriteria masyarakat miskin.

Kondisi sosial masyarakat, disamping dapat di lihat dari tingkat kesejahteraan dapat pula di lihat dari sisi pendidikan. Jumlah sarana dan prasarana pendidikan formal yang tersedia sangat mempengaruhi tingkat pendidikan masyarakat. Banyak-nya sekolah baik negeri maupun swasta mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga ke tingkat sekolah lanjutan atas pada kecamatan studi. Demikian pula jumlah murid yang bersekolah serta jumlah guru yang mengajar untuk masing-masing keca-matan sangat bervariasi.

Dengan membandingkan antara kedua kecamatan studi dapat dilihat adanya kesenjangan pada tingkat pendidikan Seko-lah Lanjutan Tingkat Atas. Pada tingkat Taman Kanak-Kanak hingga ke jenjang pendidikan SLTP Kecamatan Bagan Sinembah jumlah sekolah yang tersedia lebih banyak bila dibandingkan dengan sekolah yang terdapat di Kecamatan Bangko. Pada tingkat SLTA justru di Kecamatan Bangko jumlah sekolahnya

(22)

lebih banyak bila dibandingkan dengan sekolah tingkat SLTA yang berada di Kecamatan Bagan Sinembah.

Gejala yang sama juga terlihat pada banyaknya murid yang bersekolah, dimana pada tingkat Taman Kanak-Kanak hingga ke tingkat SLTP jumlah murid di Kecamatan Bagan Sinembah lebih banyak dari jumlah murid yang terdapat di Kecamatan Bangko, namun pada tingkat SLTA jumlah murid Kecamatan Bangko yang lebih banyak dari murid yang berada di Kecamatan Bagan Sinembah. Demikian pula yang berlaku untuk jumlah guru yang mengajar

Hal di atas dapat dijelaskan dengan dua kemungkinan. Pertama, di Kecamatan Bagan Sinembah siswa yang telah menamatkan pendidikannya pada tingkat SLTP tidak melanjut-kan pendidimelanjut-kan ke jenjang yang lebih (SLTA) kemungkinan. Kedua, siswa yang telah tamat SLTP sebahagian besar me-lanjutkan studinya ke luar daerah.

Salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas pendidikan adalah dengan melihat rasio antara guru dan murid. Rasio murid dan guru di kedua Kecamatan studi mulai dari jenjang pendidikan Taman Kanak-Kanak hingga ke Tingkat SLTA sangat bervaariasi.

Secara umum di Kecamatan Bangko rasio seorang guru dengan muridnya berkisar antara 5 - 41. Pada tingkat SLTP rasio guru dan murid adalah 1 : 5 paada SLTP swasta ini menjelaskan bahwa jumlah guru SLTP swasta di kecamatan ini cukup banyak, sedangkan pada SLTA Negeri rasionya 1 : 41 artinya guru SLTA negeri sangat sedikit jumlahnya.

Berbeda halnya dengan Kecamatan Bagan Sinembah dimana rasio guru dan murid yang tertinggi yaitu pada sekolah dasar negeri yaitu 1 : 68 sedangkan pada SLTP swasta rasio guru dan murid 1 : 8. Kesehatan masyarakat merupakan salah satu

(23)

indikator yang penting untuk melihat kondisi masyarakat. Uku-ran yang dapat digunakan ialah tersedianya saUku-rana dan prasaUku-rana kesehatan di daerah tersebut.

Kecamatan Bangko sarana kesehatan yang tersedia seperti rumah sakit, Puskesmas dan Puskesmas Pembantu yang masing-masingnya terdapat sebanyak satu buah. Sama halnya dengan Kecamatan Bangko, di Kecamatan Bagan Sinembah juga terdapat sarana kesehatan yang sama hanya saja di keca-matan ini terdapat 2 buah rumah sakit

Jumlah tenaga medis yang tersedia pada kedua kecamatan studi jumlahnya belum memadai apabila dilihat dari jumlah penduduk. Kecamatan Bangko jumlah perawat cukup besar, sedangkan dokter dan bidan masih terbatas jumlahnya. Sedang-kan pada Kecamatan Bagan Sinembah jumlah bidan lebih ba-nyak, sedangkan jumlah dokter hanya sebanyak 3 orang.

Agama merupakan kepercayaan yang dianut oleh sese-orang yang di ikuti dengan kegiatan-kegiatan ritualnya. Pada wilayah studi terlihat adanya keragaman agama yang dianut masyarakat seperti terdapatnya penduduk yang menganut agama Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Kong Fu Cu. Keragaman aga-ma yang dianut dapat dilihat dari ketersediaannya ruaga-mah ibadah untuk melakukan kegiatan ritual keagamaan tersebut.

Sebahagian besar penduduk di wilayah studi adalah ber-agama Islam, yang diikuti dengan ber-agama Kristen. Di Kecamatan Bangko terdapat Mesjid/Surau, Gereja, Vihara dan Kelenteng dan tidak terdapat Pura. Sebaliknya pada Kecamatan Bagan Sinembah terdapat Mesjid/Surau, Gereja, Vihara dan Pura, tidak terdapat Kelenteng di kecamatan ini.

(24)

Konseptualisasi Konflik

(25)
(26)

BAB III

KONSEPTUALISASI KONFLIK

3.1. Strukturalisme Konflik

Konflik berasal dari kata kerja configere yang artinya ada-lah saling memukul. Sementara konsep conflict dalam bahasa Inggris berarti suatu perkelahian, peperangan, atau perjuangan yang berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Konsep ini memberikan penegasan bahwa sebuah konflik terjadi karna adanya interaksi fisik antara dua pihak atau lebih. Dengan demi-kian konflik adalahinteraksi sosial yang menyangkut hubungan antara individu (Pruitt, 2004). Konflik antara kelompok meru-pakan wujud dari interaksi sosial, yang dapat terjadi pada komu-nitas manapun, yang sumbernya adalah perbedaan kepentingan. Seorang pemikir sosiologi, Talcott Parsons menyebut bahwa tidak ada satupun sistem sosial yang terintegrasi secara equilibrium, karena selalu ada kemungkinan yang terjadi hal sebagai berikut : 1) ketidaksesuaian dalam prioritas bagi nilai-nilai yang berbeda ; 2) interpretasi yang saling bertentangan mengenai nilai-nilai bersama ; 3) konflik peranan ; 4) motivasi ambivalen atau negatif ; 5) ketegangan antara kebutuhan

(27)

individu dan peranan yang ditentukan secara budaya; dan 6) harapan individu yang tidak tetap.

Konflik sosial merupakan gejala ketegangan yang harus diatasi oleh sistem untuk mempertahankan keseimbangan untuk kepentingan individu. Hubungan antara individu yang meng-alami ketegangan secara konsisten tunduk pada persyaratan sistem keseluruhan untuk mempertahankan keseimbangan dan stabilitas sosialnya (Ritzer, 2000).

Menurut pemikiran Marx bahwa hubungan kepentingan antara kelompok dominan yang kuat dan memiliki power de-ngan kelompok subordinat yang lemah dan tidak memiliki power. Marx mendeskripsikan tingkat inequality didalam distribusi sumberdaya langka, menentukan konflik kepentingan antara kelompok yang menguasai power dengan yang tidak memilikinya. Proposisi-proposisi penting yang perlu diper-hatikan adalah hal-hal sebagai berikut (Wirawan, 2012): 1. Semakin tidak merata distribusi sumberdaya langka dalam

suatu sistem, semakin besar konflik kepentingan antara segmen dominan (kelompok kuat) dan segmen subordinat (kelompok lemah) dalam sistem tersebut.

2. Semakin menyadari segmen subordinat akan kepentingan kolektif, semakin besar kemungkinan mereka memper-tanyakan keabsahan distribusi sumber yang tidak merata. a. Perubahan sosial yang diciptakan oleh segmen dominan

semakin mengacaukan hubungan yang ada di antara para subordinat, maka semakin besar kemungkinannya segmen subordinat menyadari kepentingan kolektif mereka.

b. Semakin praktik-praktik segmen dominan menimbulkan disposisi keterasingan di antara segmen subordinat, maka semakin besar kemungkinan kelompok lemah tersebut menyadari kepentingan kolektif mereka.

(28)

c. Semakin segmen subordinat dapat saling berkomunikasi mengenai keluhan-keluhan mereka, maka semakin besar kemungkinan kelompok lemah tersebut menyadari kepentingan kolektif mereka.

1) Semakin konsentrasi anggota dari pada kelompok sub-ordinat bersifat spasial, maka semakin besar kemungkinan mereka akan menyampaikan (berkomunikasi tentang) keluhan-keluhan mereka.

2) Semakin kelompok subordinat memiliki akses kepada media pendidikan, semakin beraneka-ragam cara komu-nikasi mereka, maka semakin besar kemungkinan me-nyampaikan (berkomunikasi tentang) keluhan-keluhan mereka.

d. Semakin segmen subordinat dapat mengembangkan kesatuan sistem keyakinan, maka semakin besar kemungkinan mereka menjadi sadar kepada kepentingan kolektif mereka yang sesungguhnya.

1) Semakin besar kemampuan untuk mendapatkan (to recruit) juru bicara ideologis, maka semakin besar kemungkinan berlakunya penyatuan ideology mereka 2) Semakin kecil kemampuan kelompok dominan mengatur

proses sosialisasi dan jaringan komunikasi di dalam suatu sistem, maka semakin besar kemungkinan berlakunya penyatuan ideologis pada kelompok subordinat

3. Semakin segmen subordinat dalam suatu sistem menyadari kepentingan kolektif mereka, semakin kuat mereka mem-pertanyakan keabsahan (legitimacy) distribusi sumber-daya langka, maka semakin besar kemungkinan mereka meng-organisir untuk memulai konflik terbuka dengan segmen dominan.

a. Semakin besar kemerosotan (deprivation) kelompok sub-ordinat bergerak dari dasar absolut ke dasar relative, maka se-makin besar kemungkinan mereka menyusun dan memulai konflik

(29)

b. Semakin kelompok dominan kehilangan kemampuan untuk menyatakan kepentingan kolektif mereka, semakin besar ke-mungkinan kelompok subordinat menyusun dan memulai konflik c. Semakin besar kemampuan kelompok subordinat mengem-bangkan struktur kepemimpinan, semakin besar kemungkinan mereka menyusun dan memulai konflik

4. Semakin segmen subordinat disatukan oleh keyakinan ber-sama dan semakin berkembang struktur kepemimpinan po-litik mereka, maka segmen dominan dan segmen-segmen yang dikuasai dalam sistem tersebut akan mengalami pola-risasi.

5. Semakin besar polarisasi antara segmen dominan dengan segmen yang dikuasai, maka akan semakin keras konflik yang berlaku.

6. Semakin keras suatu konflik, maka semakin besar perubahan struktur sebuah sistem dan redistribusi sumberdaya langka. Menurut Margaret M. Poloma, penjelasan struktural ter-hadap fenomena konflik sosial merujuk kepada perspektif kon-flik Ralf Dahrendorf yang lebih mementingkan elemen-elemen struktur sosial sebagai dasar terciptanya konflik sosial. Konflik didasari oleh susunan struktural tertentu, yang selalu cenderung melahirkan susunan struktural sebagaimana yang sudah ada. Dengan demikian Dahrendorf menghubungkan konflik dengan struktur sosial tertentu, dan bukan menganggapnya berhubungan dengan variabel-variabel psikologis (sifat-sifat agresif) atau variabel historis deskriptif dan variabel kebetulan (Poloma, 2003) Selanjutnya Ralf Dahrendorf menegaskan bahwa pende-katan konflik berpangkal pada asumsi dasar sebagai berikut: 1. Setiap masyarakat sentiasa berada dalam proses perubahan

(30)

sosial merupakan gejala yang melekat pada setiap masya-rakat. Masyarakat merupakan suatu proses sosial dan me-miliki sifat yang dinamis, dimana keadaan masyarakat selalu berubah sesuai dengan fenomena-fenomena yang berlaku di dalam masyarakat tersebut dalam waktu yang terus ber-terusan.

2. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik didalam dirinya atau dengan kata lain konflik ialah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat, salah satu yang dapat mempengaruhi perubahan ditengah-tengah masyarakat adalah konflik di masyarakat tersebut.

3. Setiap unsur di dalam masyarakat memberikan sumbangan bagi berlakunya disintegrasi dan perubahan sosial. 4. Setiap masyarakat terintegrasi diatasi penguasaan atau

dominasi oleh sejumlah orang.

Rafl Dahrendorf melihat kelompok-kelompok yang ber-tentangan sebagai kelompok yang lahir dari kepentingan-ke-pentingan bersama para individu yang mampu berorganisasi. Pada asosiasi yang ditandai oleh pertentangan, terdapat ke-tegangan antara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk pada struktur itu. Secara empiris, pertentangan kelompok mungkin paling mudah dianalisis jika dilihat sebagai pertentangan mengenai legitimasi hubungan-hubungan ke-kuasaan. Dalam setiap asosiasi, kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai-nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasaannya, sementara kepentingan-kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bagi ideologi ini serta hubungan-hubungan sosial yang terkandung di dalamnya. Setiap kelompok atau sistem sosial terbagi ke dalam berbagai kepentingan, yakni : kepentingan orang-orang yang menguasai kepemilikan

(31)

material, dan orang-orang yang tidak menguasainya (institusi ekonomi), dan kepentingan mereka yang memiliki dominasi otoritatif dan mereka yang harus tunduk pada penggunaan otoritas tersebut. Setiap perbezaan kepentingan menempatkan anggota masyarakat pada posisi dominan dan subordinat (Poloma, 2003).

Berbagai fenomena konflik memiliki intensitasnya masing-masing. Sumber-sumber konflik tertentu menghasilkan konflik dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan konflik yang dihasilkan oleh sumber konflik yang lain. Intensitas, merujuk pada pengeluaran energi dan keterlibatan kepentingan dari pihak-pihak yang berkonflik. Dua variabel utama yang mempengaruhi intensitas adalah tingkat kemiripan (konsis-tensi) konflik di pelbagai asosiasi yang berbeda serta tingkat mobilitas. Tingkat konsistensi yang tinggi bermakna, para ang-gota dari kelompok konflik saling berkonfrontasi dalam ber-bagai hubungan asosiasional. Hal ini berlaku kerana orang yang dominan pada satu asosiasi, juga dominan dalam asosiasi yang lain, sedangkan yang subordinat pada satu asosiasi juga demi-kian pada asosiasi yang lain. Selain itu, kesempatan untuk konflik yang luas dan mendalam akan semakin besar kalau tak satupun dari asosiasi yang terlibat mampu menyediakan peluang untuk mobilitas keatas. Semakin besar konsistensi antara per-sebaran penghargaan ekonomis, status sosial atau prestise, dan sebagainya, dengan persebaran otoritas, maka semakin besar pula intensitas konflik kelas (Poloma, 2003).

Berlainan dengan intensitas konflik, maka kekerasan atau violence merujuk pada alat yang digunakan oleh pihak yang saling bertentangan untuk mengejar kepentingan. Tingkat keke-rasan boleh sangat bervariasi, mulai dari negosiasi yang penuh ketenangan sampai pada kekerasan terbuka, termasuk serangan fisik atas manusia dan miliknya. Tingkat deprivasi sosio

(32)

ekonomis daripada mereka yang berada dalam posisi sub-ordinat, merupakan faktor yang dapat membawa impak pada munculnya konflik yang keras.

George Simmel dalam Wirawan (2012), sehubungan de-ngan konflik sosial, mengembangkan tiga perangkat proposisi tentang intensitas konflik bagi pihak yang terlibat dan fungsi konflik bagi sistem keseluruhan, dalam rangkaian proposisi tentang intensitas konflik. Simmel mengemukakan bahwa se-makin tinggi derajat keterlibatan emosional pihak yang terlibat dalam suatu konflik, maka semakin kuat kecenderungan untuk mengarah pada kekerasan. Dalam konteks ini ada korelasi po-sitif antara solidaritas antar anggota dalam suatu kelompok dengan derajat keterlibatan emosional. Demikian pula ada korelasi positif antara harmoni awal (pervious harmony) antara anggota kelompok yang bertikai dengan derajat keterlibatan emosional mereka. Selanjutnya, semakin suatu konflik dianggap telah merintangi pencapaian tujuan dan kepentingan individu oleh para anggota kelompok yang bertikai, maka konflik itu cenderung menjadi kekerasan.

3.2. Munculnya Konflik dalam Masyarakat

Johan Galtung mengatakan bahwa konflik dapat dilihat sebagai sebuah segitiga, dengan kontradiksi (Contradiction = C), sikap (Attitude = A), perilaku (Behaviour = B) pada puncak-puncaknya. Kontradiksi merujuk pada dasar situasi konflik, termasuk “ketidakcocokan tujuan” yang ada atau dirasakan oleh pihak-pihak yang bertikai, yang disebabkan oleh “ketidakcocokan antara nilai sosial dan struktur sosial”. Kon-tradiksi ditentukan oleh pihak-pihak yang bertikai, hubungan mereka, dan benturan kepentingan inheren di antara mereka (Liliweri, 2009).

(33)

Sikap adalah persepsi pihak-pihak yang berkonflik dan kesalahan persepsi antara mereka dan dalam diri mereka sendiri, dan merupakan persepsi tentang isu-isu tertentu yang berkaitan dengan kelompok lain. Dalam konflik dan kekerasan, pihak-pihak yang bertikai cenderung mengembangkan stereotip yang merendahkan satu sama lain. Sikap ini sering dipengaruhi oleh emosi seperti takut, marah, kepahitan, atau kebencian. Sikap tersebut termasuk elemen emotif (perasaan), kognitif (keyakinan) dan konatif (kehendak). Perilaku yang merupakan kerjasama atau pemaksaan, gerak tangan atau tubuh yang menunjukkan persahabatan atau permusuhan. Perilaku konflik dengan keke-rasan dicirikan oleh ancaman, pemaksaan, dan serangan yang merusak.

Berbagai bentuk kontradiksi adalah munculnya situasi yang melibatkan masalah sikap dan perilaku sebagai suatu proses. Dalam hal ini kontradiksi diciptakan oleh unsur sepsi dan gerak kelompok yang terlibat, yang hidup dalam per-sekitaran sosial. Secara sederhana, sikap melahirkan perilaku, kemudian melahirkan kontradiksi atau situasi. Sebaliknya, situasi boleh melahirkan sikap dan perilaku. Konsep mengenai situasi kontradiksi yang didahului oleh sikap dan perilaku ini digambarkan pada skema segitiga ABC Galtung (lihat Gambar 3.1). Galtung berpendapat bahwa tiga komponen harus muncul dalam sebuah konflik total. Struktur konflik tanpa sikap atau perilaku konfliktual merupakan sebuah konflik laten. Galtung melihat konflik sebagai proses dinamis, dimana struktur, sikap, dan perilaku secara konstan berubah dan saling mempengaruhi. Ketika konflik muncul, kepentingan pihak-pihak yang bertikai masuk ke dalam konflik atau hubungan dimana mereka berada. Kemudian pihak-pihak yang bertikai mengorganisasi diri di sekitar struktur ini untuk mengejar kepentingan mereka. Mereka mengembangkan sikap yang membahayakan dan perilaku

(34)

konfliktual, sehingga formasi konflik mulai tumbuh dan berkembang.

Gambar 3.1 Segitiga ABC Galtung

Konflik bisa meluas, memunculkan konflik sekunder pada pihak-pihak utama, atau pihak-pihak yang terseret ke da-lamnya. Hal ini akan merepotkan tugas menyelesaikan konflik intinya, dan pada akhirnya penyelesaian konflik harus melibat-kan segenap perubahan dinamis, yang melibatkan penurunan pe-rilaku konflik, perubahan sikap, dan transformasi hubungan atau kepentingan yang berbenturan, yang berada dalam inti struktur konflik (Liliweri, 2009).

Pembahasan tentang konflik selalu mengarah pada upaya penyelesaiannya serta analisis mengenai sumber-sumber pe-nyebab munculnya konflik tersebut. Salah satu penjelasan tentang sumber konflik yang diajukan oleh para pemerhati konflik ialah, adanya kelangkaan sumber daya untuk pemenuhan keinginan dan kebutuhan hidup individu dan masyarakat. kondisi ini akan membuat banyak pihak merasa tidak puas atas ketidak-adilan distribusi sumber daya tersebut, dan ketika berlaku ke-tidakpuasan, maka akan terjadi konflik (Liliweri, 2009).

Contradiction (kontradiksi) Behaviour (Perilaku) Attitude (Sikap)

(35)

Berkenaan dengan kelangkaan sumber pemenuhan kebu-tuhan hidup, maka setidaknya terdapat tiga faktor yang menjadi sumber konflik antara dua pihak, yaitu kepentingan (interest), kekuasaan (power), dan hak (right), dimana :

1. Kepentingan sebagai obyek keperluan dan keinginan yang menjadi sumber konflik. Kedua pihak mempunyai keper-luan dan keinginan yang sama terhadap obyek yang diseng-ketakan, misalnya barang, uang, jasa layanan, dan lain-lain 2. Kekuasaan sebagai obyek keperluan dan keinginan yang menjadi sumber konflik. Kedua pihak mempunyai keper-luan dan keinginan yang sama untuk memperoleh status dan peranan sehingga memiliki kewenangan yang dominan 3. Hak sebagai obyek keperluan dan keinginan yang menjadi

sumber konflik. Kedua pihak mempunyai keperluan dan keinginan yang sama untuk memperoleh tuntutannya, kerana masing-masing merasa bahwa tuntutan itu berkaitan dengan hak dan tanggungjawabnya.

Bentuk solusi konflik yang bisa ditawarkan adalah dengan memenuhi kepentingan semua pihak. Tetapi penyelesaian ini hanya menghentikan konflik untuk sementara waktu. Apabila sumber daya yang diperebutkan telah habis, maka situasi konflik akan muncul kembali. Cara yang lain, yaitu menyerahkan kekuasaan atau hak kepada salah satu pihak merupakan solusi konflik yang tidak berdampak kepada integrasi sosial. Cara ini adalah sebuah bentuk penyelesaian yang bersifat zero-sum solution, dan akan diikuti oleh penyalahgunaan wewenang dan hak oleh pihak dominan, yang kemudian akan menimbulkan konflik yang baru. Oleh kerana itu, konflik sosial seringkali me-miliki sifat berulang sesudah beberapa tahun mereda. Konflik sedemikian adalah karena sumber konflik yang sebenarnya sulit

(36)

terungkap, dan konflik tidak dapat diselesaikan dengan se-penuhnya. Selalu masih tersisa perbedaan-perbedaan yang akan memicu konflik pada masa-masa mendatang.

Tiga dimensi yang dipetakan oleh Johan Galtung tentang kekerasan, yaitu kekerasan struktural, kekerasan kultural, dan kekerasan langsung. Kekerasan langsung seringkali didasarkan atas penggunaan kekuatan sumberdaya (resource power). Kekuatan sumberdaya boleh dibagi menjadi kekuatan punitive yaitu kekuatan yang menghancurkan. Kemudian, kekuatan ideologis, kekuatan remuneratif yang cenderung menciptakan kekerasan budaya. Galtung mendefinisikan kekerasan budaya sebagai aspek budaya, yaitu ruang simbolik keberadaan manusia seperti agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu empirik dan ilmu formal (logika, matematika), yang dapat dipakai untuk melegitimasi kekerasan langsung atau kekerasan struktural. Sedangkan kekerasan struktural tercipta dari penggunaan ke-kuasaan struktural atau penggunaan otoritas (wewenang) untuk menciptakan sebuah kebijakan. tabel tipologi kekerasan yang disebutkan oleh Galtung (Galtung 1990).

Tabel 3.1. Tipologi Kekerasan Galtung

Sumber : Johan Galtung (1990).

Kekuatan sumberdaya dan kekuasaan struktural saling mem-perkuat. Galtung mengungkapkan bahwa kekerasan struktural,

Survival needs

Well-being needs

Identity needs Freedom needs Kekerasan langsung Killing Maiming, siege, misery, sanction Desocialization resocialization second citizen Repression detention expulsion Kekerasan struktural

exploitation exploitation Penetration segmentation

Marginalization fragmentation

(37)

kultural, dan langsung dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan dasar. Kebutuhan-kebutuhan dasar ini adalah kelestarian dan keberlangsungan hidup (survival needs), kesejahteraan (well-being needs), kebebasan (freedom needs), dan identitas (identity needs). Jika empat kebutuhan dasar ini mengalami tekanan atau kekerasan dari kekuasaan personal dan struktural, maka konflik kekerasan akan muncul (Galtung 1990)

3.3. Pengendalian Konflik

Kunci untuk solusi konflik secara damai adalah dengan mengembangkan lembaga-lembaga demokrasi yang stabil dan menghormati hak asasi manusia (Anwar, 2005). Katup penye-lamat (savety-valve) merupakan salah satu mekanisme khusus yang dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemu-ngkinan konflik sosial, membiarkan luapan permusuhan ter-salur tanpa menghancurkan seluruh struktur, dan membersihkan suasana dalam kelompok yang sedang kacau. Sebagaimana yang dikatakan oleh Lewis A. Coser melihat katup penyelamat itu sebagai jalan keluar yang dapat meredakan permusuhan antara dua pihak yang berlawanan. Lewat katup penyelamat (savety-valve) permusuhan dihambat dan diungkapkan dengan cara-cara yang tidak mengancam atau merusakkan solidaritas. Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu : mengurangi tekanan untuk me-nyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu, menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif (Poloma, 2003).

Paling tidak terdapat tiga macam bentuk pengendalian konflik, yakni : 1) Konsiliasi, iaitu pengendalian konflik yang dilakukan dengan melalui lembaga-lembaga tertentu yang

(38)

memungkinkan diskusi dan pengambilan keputusan yang adil di antara pihak-pihak bertikai ; 2) Mediasi, iaitu pengendalian yang dilakukan apabila kedua-dua pihak yang berkonflik sepakat untuk menunjuk pihak ketiga sebagai mediator ;3) Arbritasi, iaitu pengendalian yang dilakukan apabila kedua-dua belah pihak yang berkonflik sepakat untuk menerima atau terpaksa mene-rima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik (Dahrendorf, 1986). Ketiga mekanisme pengendalian konflik ini banyak digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk me-nyelesaikan pelbagai konflik sosial yang berlaku.

Sebagaimana yang diketengahkan oleh Kerr sebelumnya, mengenai konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi, berikut ini terdapat beberapa bentuk akomodasi lainnya. Akomodasi, ialah keadaan yang merupakan hasil dari interaksi yang bersifat damai (Summer dalam Narwoko, 2010). Akomodasi sebagai proses sosial ber-langsung dalam beberapa bentuk, masing-masing dapat di-sebutkan dan dijelaskan sebagai berikut:

1. Pemaksaan (coercion) proses akomodasi yang berlangsung melalui cara paksaan sepihak dan yang dilakukan dengan mengancam sanksi.

2. Kompromi (compromise) proses akomodasi yang berlang-sung dalam bentuk usaha pendekatan oleh kedua belah pihak yang sadar menghendaki akomodasi, kedua belah pihak bersedia mengurangi tuntutan masing-masing sehingga dapat diperoleh kata sepakat mengenai titik tengah penye-lesaian.

3. Pengguna jasa perantara (mediation) suatu usaha kompromi yang dilakukan sendiri secara langsung, melainkan dilakukan dengan bantuan pihak ketiga, dan tidak memihak, mencuba mempertemukan dan mendamaikan pihak-pihak yang

(39)

bersengketa atas dasar itikat kompromi kedua belah pihak. 4. Pengguna jasa penengah (arbitrate) suatu usaha penyele-saian sengketa yang dilakukan dengan bantuan pihak ketiga. Seperti halnya dengan perantara, penengah ini juga dipilih oleh kedua belah pihak yang bertikai. Tetapi perantara itu sekedar mempertemukan kehendak kompromistis kedua-dua pihak, penengah ini menyelesaikan sengketa dengan membuat keputusan-keputusan penyelesaian atas dasar ketentuan-ketentuan yang ada.

5. Peradilan (adjudication) suatu usaha penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh pihak ketiga yang memang mempunyai authoriti untuk menyelesaikan konflik. Pengadilan (hakim) tidaklah dipilih oleh pihak-pihak yang bertikai seperti apa yang berlaku pada proses akomodasi melalui penengah. Akan tetapi, seperti halnya para penengah, para pengadilan (adjudication, khusus hakim) itu selalu menggunakan aturan-aturan tertentu sebagai standar penyelesaian sengketa. 6. Toleration, suatu bentuk akomodasi yang berlangsung tanpa

manifestasi persetujuan formal macam apapun. Pertenta-ngan berlaku kerana individu-individu bersedia menerima perbezaan-perbezaan yang ada sebagai suatu kenyataan, dan dengan kerelaan membiarkan perbezaan itu, serta meng-hindari diri dari pertelingkahan-pertelingkahan yang mu-ngkin timbul.

7. Stalemat, adalah suatu bentuk akomodasi, dimana pihak-pihak yang bertentangan tiba pada suatu posisi “maju tidak boleh dan mundur tidak boleh”. Stalemate adalah suatu situasi kemacetan yang stabil, sehingga beberapa pihak me-ngatakan bahwa stalemate bukanlah proses akomodasi melainkan resultant suatu proses akomodasi

(40)

Beberapa cara lain yang digunakan dalam usaha me-ngendalikan konflik, dinyatakan oleh Moore Christopher (Susan, 2009). Bentuk-bentuk pengendalian dan proses pengurusan konflik yang dimaksud iaitu:

a. Avoidance adalah pihak-pihak berkonflik saling meng-hindari dan mengharap konflik boleh terselesaikan dengan sendirinya.

b. Informan problem solving adalah pihak-pihak yang ber-konflik setuju dengan pemecahan masalah yang diperoleh secara informal.

c. Negotiation ketika konflik masih terus berlanjut, maka para pihak berkonflik perlu melakukan negosiasi. Artinya men-cari jalan keluar dan pemecahan masalah secara formal. Hasil dari negosiasi bersifat prosedural yang meningkat semua pihak yang terlibat dalam negosiasi.

d. Mediation adalah munculnya pihak ketiga yang diterima oleh kedua pihak kerana dipandang boleh membantu parah pihak berkonflik dalam penyelesaian konflik secara damai. e. Executive dispute resolution approach iaitu kemunculan pihak lain yang memberi suatu bentuk penyelesaian konflik. f. Arbitration suatu proses tanpa paksaan dari para pihak berkonflik untuk mencari pihak ketiga dipandang netral atau imparsial.

g. Judicial approach berlakunya intervensi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga berwenang dalam memberi kepastian hukum.

Langkah-langkah penyelesaian konflik dan pertikaian so-sial mana yang sesuai tentunya sangat bergantung kepada sum-ber konflik, pencetus konflik, keterlibatan pihak-pihak yang

(41)

berkonflik serta tingkat intensitas konflik. Faktor pencetus konflik dan pertikaian kerapkali bukan merupakan sumber konflik yang sebenarnya. Pencetus konflik ialah suatu tindakan atau kejadian yang langsung mencetuskan pertikaian antara kedua-dua pihak. Sedangkan sumber konflik merupakan akar permasalahan yang harus ditarik jauh ke belakang secara his-toris, yang akan memberikan penjelasan secara substansi me-ngenai asal-muasal kebencian antara pihak-pihak yang bertikai. Pengendalian atau penyelesaian konflik yang hanya berasas kepada faktor pencetus konflik, tidak akan meng-hasilkan sebuah solusi yang menyeluruh dan mendalam, namun mungkin hanya akan meredam pertikaian atau kekerasan pada masa yang singkat sahaja, dan tidak lama kemudian akan muncul pertikaian yang serupa, bahkan mungkin dengan intensitas yang lebih kuat. Oleh itu, beberapa konflik yang berlaku tidak dapat benar-benar dihapuskan, dan akan berulang pada bilangan masa tertentu. Sumber setiap pertikaian ialah kebencian yang ter-simpan. Apabila kebencian kepada pihak yang berkuasa tidak mampu diungkapkan, maka akan berlaku transfer of hate, iaitu kebencian yang dialihkan kepada pihak lain yang mewakili kepentingan lawan yang berkuasa tersebut. Pada keadaan seperti ini tentu konflik dan pertikaian menjadi fenomena yang sangat sukar untuk diselesaikan, terutama untuk mendapatkan sumber konfliknya, kerana sebenarnya pada setiap pertikaian memiliki nilai pembenarannya sendiri.

(42)

Faktor Pemicu

Pertikaian Komunitas

(43)
(44)

BAB IV

FAKTOR PEMICU

PERTIKAIAN KOMUNITAS

4.1. Faktor Sosial Budaya

Konflik atau pertentangan antar kelompok atau komunitas merupakan bentuk dari interaksi sosial yang bisa terjadi pada masyarakat manapun. Berbagai perbedaan kepentingan saling berbenturan sehingga menciptakan konflik dalam berbagai tingkatannya. Masyarakat Bagan Siapiapi merupakan masya-rakat yang multikultural, yakni masyamasya-rakat yang terdiri dari beragam komunitas dari berbagai aspek. Secara demografis terdapat beberapa kelompok etnis penduduk kota, yang secara kuantitas didominasi oleh warga Cina atau Tionghoa dengan jumlah sebesar 40%. Penduduk tempatan atau Melayu seba-nyak 30%, selanjutnya sejumlah 30% terdiri dari etnis Jawa, Batak, Minang, dan Bugis.

Melihat susunan tersebut, maka dapat dipahami bahwa akses ekonomi kota dikuasai oleh warga Cina, mulai dari sektor perdagangan skala besar dan menengah sampai ke perikanan atau yang bermatapercaharian sebagai nelayan miskin. Semen-tara komunitas yang lain tersebar di semua lapangan pekerjaan,

(45)

termasuk sektor politik. Demikian juga mengenai pengelom-pokan tempat tinggal, sesuai dengan sektor pekerjaan yang di-kuasai, maka wilayah perkotaan didominasi oleh komunitas Cina, sementara terdapat kantong-kantong kemiskinan yang dido-minasi oleh komunitas Jawa dan Melayu, dengan sejumlah kecil komunitas Cina juga. Kebanyakan diantara mereka ini bekerja sebagai petani dan nelayan.

Bersumber dari wawancara dengan beberapa tokoh masya-rakat dari berbagai komunitas berhasil diidentifikasikan se-jumlah konflik atau pertikaian yang pernah terjadi. Secara sosiologis masyarakat daerah penelitian dapat dikelompokkan sebagai penduduk asli atau tempatan, yaitu komunitas Melayu, dan pendatang yang terdiri dari Cina, Jawa, Minang, Bugis, dan Batak. Apabila dilakukan identifikasi atas konflik yang terjadi antara warga tempatan dengan pendatang, maka paling banyak terjadi adalah pertikaian antara komunitas Melayu dengan Batak, dan Melayu dengan Cina. Sementara pertikaian antara komunitas Melayu dengan Bugis hanya terjadi 1 (satu) kali pada sekitar tahun 1965, Melayu dengan Minang terjadi 1 (satu) kali yang merupakan dampak dari kasus PRRI, dan Melayu dengan Jawa tidak pernah terjadi.

Karakter konflik yang pernah terjadi dapat diamati dari penyebab atau pemicu semua pertikaian tersebut. Hampir semua konflik dipicu oleh tindakan kriminal atau premanisme yang melibatkan pemuda-pemuda dari komunitas yang berbeda. Walaupun demikian tetap bisa diidentifikasi adanya potensi-potensi konflik yang terpendam atau laten diantara mereka. Beberapa potensi konflik yang berhasil diungkap, antara lain yang muncul diantara komunitas Melayu dengan Batak adalah perbedaan agama. Sedangkan konflik antara komunitas Melayu dengan Cina, menyimpan latar belakang historis yang cukup panjang dan sarat pula dengan muatan politis.

(46)

Temuan ini sesuai dengan pernyataan para analis konflik yang menyatakan bahwa sejumlah kasus pertikaian antar etnis lebih berupa tindak pidana lintas-etnis, dan bukan merupakan kekerasan antar etnis. Kekerasan antar etnis adalah tindakan kolektif yang dilakukan secara relatif terorganisir untuk me-nghukum sebagian dan atau seluruh anggota etnis darimana si pelaku tindak pidana berasal. Dalam kekerasan etnis, biasanya hanya satu pihak yang relatif terorganisasi, yakni pihak mayo-ritas, apakah secara kualitas atau kuantitas, dan yang bertindak sebagai pihak penyerang. Namun demikian, tetap dibutuhkan beberapa kondisi yang bisa merubah tindak pidana lintas-etnis menjadi kekerasan etnis, sehingga tidak semua tindak pidana lintas-etnis serta merta menjadi kekerasan antar etnis, sebagai-mana konflik antar komunitas yang terjadi di daerah penelitian. Beberapa keadaan yang disebutkan oleh para ahli sebagai pendorong tindak kriminal lintas-etnis meluas menjadi keke-rasan etnis adalah :

1. Terjadinya mekanisme spiral equilibria, yakni akumulasi reaksi berantai dari para korban yang tidak bersalah di masa lalu. Dari pengalaman kekerasan etnis, jika terjadi kembali tindak pidana lintas-etnis akan menciptakan kekerasan etnis berikutnya yang lebih besar, demikian berkembang seterus-nya secara spiral.

2. Mekanisme penggalangan serta mobilisasi kelompok sejak awal pertikaian terjadi. Jika pihak yang berselisih bertindak sebagai kelompok sejak awal, maka akan memberikan pesan yang mengundang agar pihak lawan bertindak serupa. Ber-kaitan dengan mekanisme spiral equilibria, reaksi yang berlebihan terhadap akumulasi tindak pidana lintas-etnis tidak datang begitu saja, namun terjadi karena adanya mobi-lisasi sosial. Maka satu hal dapat ditekankan disini bahwa

(47)

mengapa kekerasan etnis tidak selalu terjadi dalam situasi konflik sekalipun, adalah karena adanya fakta betapa sulitnya mekanisme penggalangan solidaritas kelompok. Tekanan-tekanan yang dirasakan bersama secara sosial, ekonomi, maupun politik, merupakan sarana untuk menciptakan soli-daritas kolektif ini.

3. Kekerasan etnis bukan sekedar konsekuensi kumulatif dari berbagai tindak pidana lintas-etnis, melainkan juga akibat dari muatan pesan yang terkandung dalam tindakan kriminal tersebut. Dalam hal ini pesan yang mampu memunculkan gejala kekerasan adalah apabila melibatkan nilai-nilai yang mendasar, misalnya simbol-simbol keagamaan, etnis, ke-daerahan dan lain sebagainya.

4. Kekerasan etnis ditandai dengan profil aktor-aktor masyara-kat yang terlibat di dalamnya. Dalam situasi normal, warga sipil (non militer) menerapkan kontrol sosial, bertindak mencegah terjadinya kekerasan. Tetapi, dalam situasi keke-rasan etnik, konflik adalah milik bersama, dan aliansi di-antara para anggota masyarakat memberikan efek destruksi yang lebih besar. Sehingga dapat ditekankan, bahwa semakin banyak warga sipil yang terlibat, semakin besar kecende-rungan tindak pidana lintas-etnis berubah menjadi kekerasan antar etnis.

Wawancara mendalam dengan beberapa tokoh masyarakat berhasil mengantar pada identifikasi konflik yang pernah terjadi. Pertikaian antara komunitas Melayu dengan Batak yang terjadi pada tahun 2002, diawali oleh pertikaian antar pemuda di sebuah kedai kopi, yang berujung pada tewasnya seorang pemuda Melayu. Peristiwa ini lalu menjadi besar dan digeneralisir de-ngan melibatkan identitas kelompok etnis. Selama 2 (dua) mi-nggu kondisi tidak aman, timbul ancaman-ancaman yang

(48)

di-arahkan pada komunitas Batak. Akan tetapi konflik ini tidak berlarut-larut dan segera diselesaikan dengan damai oleh para tokoh masyarakat dengan bantuan aparat keamanan.

Merujuk pada penjelasan tentang karakteristik munculnya kekerasan etnis, pertikaian antara komunitas Melayu dengan Batak termasuk pada tindak pidana lintas-etnis. Tidak ditemukan adanya aspek historis berkaitan dengan pengalaman kekerasan diantara kedua etnis tersebut sebelumnya, mobilisasi kelompok mungkin memang terjadi tetapi tidak sampai muncul pengga-langan solidaritas sosial yang melibatkan semua lapisan anggota masyarakat termasuk warga sipil. Hal ini terbukti dari tindakan para tokoh dan aparat keamanan yang segera bisa mendamaikan keadaan. Perbedaan diantara kedua komunitas ini yang kiranya dapat mengakibatkan perbenturan yang cukup mendasar adalah perbedaan agama, yang walaupun menjadi media identitas etnis dan digunakan sebagai sarana ancaman, tidak juga meningkatkan intensitas konflik menjadi kekerasan antar agama. Akan tetapi dengan potensi konflik seperti ini para tokoh masyarakatpun hingga saat ini tetap waspada terhadap segala kemungkinan yang bisa terjadi, terutama jika dipicu oleh tindak-tindak pidana tertentu. Pertikaian lainnya yang berskala lebih besar adalah yang terjadi antara komunitas Melayu dengan komunitas Cina, te-patnya sekitar bulan oktober/november tahun 1998. Awal dari pertikaian massal ini adalah perselisihan antar pemuda Melayu dengan Cina yang berakhir dengan adanya korban luka parah di pihak Melayu. Hasil wawancara dengan beberapa tokoh adat mengemukakan adanya elite politik yang memanfaatkan ke-adaan ini seiring dengan insiden 1998 di Jakarta. Berbagai isu yang kurang bertanggungjawab lalu memperkeruh suasana, misalnya dengan menyebar berita bahwa korban dibawa ke ru-mah sakit di Pekanbaru dan meninggal dunia sebelum tiba di tujuan. Akibatnya terjadi situasi yang sangat rawan, yaitu

(49)

pen-jarahan dan pembakaran rumah-rumah, dimana komunitas Melayu bertindak sebagai penyerang dan komunitas Cina se-bagai korban. Kemudian ditengah kerusuhan, muncul hasutan-hasutan bahwa orang Cina akan mengadakan pembalasan. Situasi baru dapat ditenangkan kembali ketika para tokoh adat berkomunikasi, dan diadakan upacara potong kerbau sebagai simbol perdamaian dan kemakmuran bersama.

Deskripsi konflik yang terjadi menunjukkan bahwa per-tikaian tersebut adalah sebuah kekerasan etnis berskala kecil, yang sebelumnya didahului oleh tindak pidana lintas-etnis. Sesuai hasil wawancara mendalam, beberapa faktor yang sig-nifikan menciptakan situasi kekerasan etnis dapat disebutkan, yaitu :

1.Faktor historis dan spiral equilibria

Secara historis, pengalaman terjadinya kekerasan etnis pada masa lalu, diikuti dengan berbagai bentuk stereotype di-antara kedua etnis merupakan kekuatan yang sangat besar untuk membangkitkan tindakan kolektif. Sekelompok nelayan Cina mulai masuk ke wilayah ini pada tahun 1882, dan mendarat di Kubu. Lalu keyakinan mereka kepada petunjuk pekong me-nuntun mereka agar berlabuh di Bagan Siapiapi, suatu wilayah yang akan memberi keberuntungan pada mereka secara turun-temurun. Agar kebersamaan tetap terpelihara untuk membangun wilayah baru, mereka membakar tongkang yang mereka gunakan, sehingga tidak satu orangpun dapat berlayar kembali ke tempat asal.

Berdasarkan riwayat yang mereka percayai ini, maka orang-orang Cina merasa telah ‘membuka’ serta ‘membangun’ wilayah ini, dan ritual serta upacara pembakaran tongkang (mengguna-kan model kertas) mereka jalan(mengguna-kan setiap tahun untuk mem-peringati jasa para leluhur. Ketika itu komunitas Cina menyebar

(50)

ke seluruh pelosok wilayah, bahkan sampai ke pedesaan, me-nguasai dan mengendalikan sistem ekonomi, sementara pen-duduk tempatan yang terdiri dari Melayu dan Jawa tinggal di hutan-hutan. Orang Jawa sudah tinggal di wilayah ini sejak masa penjajahan Hindia Belanda, yaitu para pekerja Deli yang me-larikan diri. Latar belakang sejarah seperti ini mengembangkan stereotype diantara keduanya. Orang Melayu beranggapan “orang Cina telah menginjak kepala nenek moyang dan kakek-kakek kita”, dan sebutan ‘wanang’ untuk orang Melayu dan Jawa, yang artinya ‘orang hutan’, sementara ‘tenang’ untuk orang Cina, yang artinya ‘orang kota’.

Sedangkan orang Cina beranggapan bahwa penduduk tem-patan selalu iri pada keberhasilan orang-orang Cina disini dan itu diungkapkan dengan membakar dan menjarah rumah mereka tanpa sebab yang jelas. Pada tahun 1946, satu tahun setelah kemerdekaan, terjadi pula perebutan wilayah antara komunitas pendatang (Cina) dengan komunitas Melayu. Melayu disini se-benarnya adalah gabungan dari beberapa kelompok etnis yang menganggap dirinya sebagai bangsa Indonesia. Tetapi, bagai-manapun juga, karena pertikaian fisik ini disemangati oleh per-juangan untuk mempertahankan wilayah dari penjajahan bangsa lain, maka peristiwa ini lebih membekas bagi komunitas Melayu, sebagai penduduk asli wilayah ini, daripada bagi orang-orang Jawa misalnya. Pertikaian ketika itu bisa disebut sebagai perang kemerdekaan dan perebutan wilayah, dan pihak Cina banyak mendapat bantuan tentara dan persenjataan dari Malaysia.

Berbeda dengan pertikaian sejenis yang banyak terjadi di beberapa daerah lainnya, yang biasanya diakhiri dengan keme-nangan dan dominasi oleh satu pihak, dan penolakan serta pe-ngusiran terhadap pihak yang lain, pertikaian yang mengakibat-kan jatuhnya ratusan korban dari kedua belah pihak ini, berakhir dengan damai. Kedua komunitas lalu tetap hidup berdampingan

(51)

dalam satu wilayah, dengan segregasi spasial yang berubah, yakni sebagian besar dari komunitas Cina mengelompok di pusat kota, sedangkan komunitas Melayu menyebar ke seluruh wilayah. Berkaitan dengan mekanisme spiral, ternyata tidak terlalu bekerja dalam konflik antar komunitas Cina dengan Melayu disini, karena tidak tampak terjadinya akumulasi reaksi berantai dari kedua pihak.

2. Penggalangan solidaritas kelompok dan profil aktor Solidaritas kelompok dapat diciptakan oleh kesamaan-kesamaan nasib dan tekanan yang dialami ketika berhadapan dengan kelompok lain. Dari informasi yang diperoleh di lapa-ngan disebutkan bahwa terdapat kecemburuan sosial terhadap keberhasilan ekonomi warga Cina, yang merebak di kalangan tertentu. Selain itu, seiring terjadinya insiden ‘anti cina’ di ibu-kota negara, maka muatan politis menjadi kekuatan pendorong yang dalam sekejap mampu memobilisasi massa serta men-ciptakan sebuah solidaritas kolektif yang sangat kuat. Dengan demikian, walaupun semula pertikaian yang terjadi adalah merupakan tindak pidana lintas-etnis, solidaritas kelompok yang bermuatan politis mampu menghasut dan menyatukan hampir seluruh lapisan untuk bergerak dengan satu tujuan.

Konflik menjadi luas karena telah terjadi penghancuran serta pembakaran rumah-rumah warga Cina. Akan tetapi tidak berlarut-larut dan menjadi kekerasan etnis yang sangat intens karena tidak menyentuh nilai-nilai mendasar atau perusakan rumah ibadah. Sehingga banyak pendapat yang menyatakan, konflik pada saat itu hanyalah pertikaian atau tindak pidana lintas-etnis, yang ditimbulkan oleh beberapa faktor yang saling menguatkan, serta mendorong mekanisme munculnya sebuah solidaritas kelompok. Kekerasan etnis mungkin memang

(52)

ter-jadi, karena beberapa faktor yang berpotensi menciptakannya sudah mulai bekerja, antara lain adanya benih-benih kebencian dan stereotype, latar belakang historis diantara mereka, diper-kuat lagi oleh ketimpangan sosial ekonomi, dan yang paling penting diiringi oleh iklim politis yang terjadi pada saat itu. Tetapi, karena keterlibatan nilai-nilai yang mendasar juga tidak ditemukan, sehingga solidaritas kelompok juga tidak menyen-tuh seluruh lapisan masyarakat, serta tidak mengorganisir kekuatan yang dibutuhkan, maka kekerasan tidak berlangsung lama, dan segera muncul tokoh-tokoh masyarakat yang me-ngusahakan perdamaian.

Kesimpulan yang berkaitan dengan potensi konflik yang ditemukan di wilayah penelitian adalah :

1. Dimensi sosial-ekonomi, termasuk disini aspek historis dan efek spiral yang diciptakan, ketimpangan dan kesenjangan ekonomi antar komunitas,

2. Dimensi budaya, termasuk disini keterlibatan perbedaan nilai dan orientasi hidup antar komunitas, antara lain ekslu-sivitas yang disertai segregasi spasial dan sosial (penge-lompokan secara spasial dan sosial), primordialisme pada masing-masing komunitas.

Potensi konflik ini merupakan benih-benih kebencian an-tar komunitas, yang berpotensi untuk menggalang sebuah soli-daritas keompok yang cukup kuat, dan untuk mengorganisir sebuah konflik berskala tidak pidana lintas-etnis menjadi sebuah tindak kekerasan antar etnis dengan intensitas yang tinggi. 4.2. Faktor Sosial Ekonomi

Ada banyak faktor yang memicu konflik horizontal, salah satunya adalah faktor ekonomi, terutama muncul dalam bentuk kesenjangan kesejahteraan atau dalam bahasa Karl Mrx

(53)

kesen-jangan penguasaan faktor produksi dimana sekelompok kecil orang menguasai sebagian besar faktor produksi sementara mayoritas masyarakat hanya menguasai sebagian kecil faktor produksi. Dalam bagian ini akan diungkap serinci mungkin tentang factor ekonomi sebagai faktor pemicu konflik di Bagan Siapi-api dan Bagan Batu Kabupaten Rokan Hilir. Dalam pe-ngungkapan ini dicoba sejauh mungkin mengungkap latar be-lakang keterkaitan factor ekonomi sebagai akar pemicu konflik. Konflik horizontal yang pernah terjadi di Kabupaten Ro-kan Hilir, khususnya kota Bagan Siapi-api tergolong sangat rumit dan luas baik dilihat dari jenis konflik maupun akar flik (faktor penyebab konflik). Jika dilihat dari jenisnya, kon-flik di daerah ini dapat dikategorikan konkon-flik etnis karena me-libatkan entis tertentu yang berhadapan dengan etnis lain. Uniknya konflik yang terjadi di Bagan Siapi-api mendudukkan etnis Melayu sebagai pusat konflik berhadapan dengan etnis lain, meskipun kejadiannya tidak dalam waktu bersamaan. Sepanjang sejarah konflik yang terjadi di Kota Bagan Siapi-api tercatat seluruhnya melibatkan etnis Melayu yang berha-dapan dengan etnis Minang (1955), Cina (1998), dan Batak (2002). Sementara konflik yang terjadi pada tahun 1946 yang dapat dikatakan pemicu konflik pertama di Bagan Siapi-api mendudukkan komunitas Cina sebagai pusat konflik berhadapan dengan hampir semua etnis atau komunitas yang ada.

Secara sederhana dapat dikatakan konflik saat itu adalah pertentangan antara komunitas non pribumi berhadapan dengan komunitas pribumi. Jika dilihat dari sumber konflik, tercatat ada beberapa faktor yang memicu terjadinya konflik tersebut, antara lain faktor politik (konflik 1946), faktor budaya (konflik 1955), dan faktor ekonomi (1998).

Di daerah Bagan Batu, sebuah daerah (kota) yang baru berkembang, konflik yang pernah terjadi (sejak 1992 hingga

(54)

2006) didominasi oleh factor ekonomi. Meskipun di daerah ini pernah terjadi konflik yang dipicu oleh factor budaya yang melibatkan etnis Melayu dan Batak, dan agama yang melibatkan komunitas Musim dan Budha, namun kedua konflik itu tidak dominan dan tidak berkembang luas.

Berdasarkan kondisi yang dipaparkan di atas, maka bahasan dalam bab ini akan dititik beratkan pada analisis faktor ekonomi sebagai akar konflik yang terjadi di kedua wilayah, yaitu Bagan Siapi-api dan Bagan Batu.

Faktor ekonomi merupakan salah satu pemicu konflik yang sangat potensial. Hal ini tidak saja untuk kasus konflik yang terjad di Kabupaten Rokan Hilir, melainkan juga kasus-kasus lain di Indonesia seperti Konflik Ambon. Untuk kasus-kasus Bagan Siapi-api, faktor kesenjangan ekonomi memberi kon-tribusi cukup signifikan terhadap terjadinya konflik antara komunitas Cina dan Melayu tahun 1998. Untuk melihat secara lebih jernih akar konflik tersebut harus dilakukan penelaahan jauh kebelakang, karena sebenarnya kerusuhan tahun 1998 itu tidak lain hanyalah ledakan dari akumulasi akar konflik yang sudah berlangsung sekian lama.

Disini penjajakan akan dimulai dari sekitar tahun 1882, karena tahun ini dapat dianggap sebagai titik awal perkem-bangan daerah Bagan Siapi-api. Penetapan tahun ini sebagai titik awal telaah juga hanya didasarkan pada informasi dari tokoh masyarakat Cina bernama Andang Wijaya karena tidak ada catatan resmi yang dapat dijadikan dasar.

Berdasarkan informasi dari tokoh ini, pada sekitar tahun 1882 itu mendarat sekelompok etnis Cina dengan menggunakan perahu di satu daerah yang saat ini dikenal dengan Kecamatan Kubu, yang letaknya berdekatan dengan Bagan Siapi-api. Ke-lompok orang perahu ini berlayar dari salah satu wilayah di

(55)

Thailan yang pada awalnya berjumlah tiga perahu, namun karena gangguan alam dan kelemahan navigasi maka yang sampai ke Kubu hanya satu perahu yang berisi 18 orang. Dari 18 orang ini terdiri dari 17 orang suku Ang dan satu orang suku Kho. Kedatangan mereka ke Kubu ini lebih dipengaruhi oleh usur mitos yang bersumber dari Toape Khong (batung dewa agung) yang mereka bawa darai daratan Cina. Salah seorang dari orang perahu ini bermimpi ditemui oleh Dewa Agung, yang memesankan kepadanya bahwa mereka hanya boleh mendarat untuk bermukim ditempat yang bercahaya. Lalu mereka melihat isyarat mimpi itu di daerah Kubu, maka mereka memutuskan berhenti di situ. Namun beberapa waktu kemudian mereka me-lihat di tempat lain yang cahayanya lebih terang lagi dan mereka memutuskan pindah ke daerah baru tersebut yang saat ini di kenal dengan kota Bagan Siapi-api. Menurut kesaksian dari Andang Wijaya bahwa daerah Kota Bagan Siapi-api waktu itu belum berpenghuni, kelompok orang perahu inilah yang per-tama membuka wilayah tersebut yang kemudian berkembang menjadi kota Bagan Siapi-api.

Keterangan sejarah yang berbau mitos ini tidak cukup kuat untuk menjadi argument rasional dalam menjawab pertanyaan mengapa kelompok manusia perahu itu memilih menetap di Bagan Siapi-api. Argumen ekonomi kelihatan lebih rasional memperjelas masalah ini. Berdasarkan penjelasan dari hampir semua sumber informasi dan bukti sejarah ekonomi Bagan Siapi-api bahwa daerah ini merupakan penghasil ikan terbear saat itu. Faktor inilah yang menjadi daya tarik terkuat, karena terbukti pada perkembangan selanjutnya Bagan Siapi-api merupakan penghasil ikan terbesar di Indonesia dan pengusaha-pengusaha ikan dari kota kecil ini sangat berpengaruh hingga ke Pulau Jawa.

(56)

Dampak ekonomi perikanan ini sangat luas dalam kehi-dupan perekonomian masyarakat Bagan Siapi-api dan sekitar-nya. Paling tidak terdapat tiga bentuk perkembangan ekonomi yang disebabkan perkembangan sector perikanan ini. Pertama adalah terbukanya daerah ini dengan dunia luar terutama Malaysia dan Singapura yang merupakan dua pusat perdagangan penting di Asia. Produksi perikanan Bagan Siapi-api hingga era 70-an masih menjadi komoditas ekspor penting di Riau yang mempertemukan jalur bisnis internasional Riau-Malaysia-Singapura beriringsn dengan produksi perikanan dari daerah Kepulauan Riau. Pembeli produk perikanan Bagan Siapi-api sebenarnya sangat luas meliputi hampir seluruh Negara industri di Asia seperti Jepang dan Hongkong, namun jalur ekspornya tetap dikuasai oleh Singapura dan sebagian kecil Malaysia.

Kedua, berkembangnya sector-sektor perekonomian lain-nya seperti retail dan perdagangan secara umum. Sektor ini berkembang seiring dengan perkembangan kota Bagan Siapi-api dan pertumbuhan penduduk baik yang bermukim di lingku-ngan kota maupun desa-desa sekitarnya. Sektor yang lebih ber-orientasi pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari ini perkem-bangannya linier dengan kebutuhan penduduk, artinya semakin bertambah penduduk kebutuhan akan semakin meningkat sehingga tuntutan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari juga meningkat. Ketiga, berkembangnya industri perkapalan (kapal kayu) sebagai pendukung ekonomi perikanan. Industri per-kapalan ini berkembang dipengaruhi secara langsung oleh dua hal, yaitu kebutuhan armada penangkapan ikan dan ketersediaan bahan baku berupa hutan subur yang menyediakan kayu bermutu untuk bahan baku kapal. Hingga era 80-an di sekitar Bagan Siapi-api masih terdapat hutan yang menyediakan bahan baku yang dibutuhkan untuk industri perkapalan. Namun pada era 90-an

(57)

hutan di sekitar Bagan Siapi-api habis akibat eksploitasi besar-besaran oleh jaringan kapitalisme global. Akibatnya industri perkapalan ini akhirnya ditutup karena kesulitan bahan baku disamping akibat faktor politik, yaitu kebijakan pemerintah daerah yang tidak secara tegas terhadap izin perdagangan kayu. Perkembangan ekonomi ini telah menjadikan bagan Siapi-api sebagai daerah yang memiliki daya tarik ekonomi tersendiri sehingga mengundang berbagai komunitas luar datang ke kota kecil ini. Meskipun jumlah pendatang ini tidak terlalu besar namun cukup membangun komposisi heterogenitas kota Bagan Siapi-api. Hingga akhir tahun 2006 estimasi komposisi heterogenitas penduduk Bagan-Siapi-api terdiri dari Cina men-duduki urutan pertama terbanyak, diikuti oleh Melayu, Jawa, Minang, Batak, dan lain-lain.

Yang sangat menarik dari perkembangan ini adalah seluruh sector ekonomi di atas didominasi oleh komunitas Cina. Ini sangat berpengaruh pada tingkat kesejahteraan dan pola pemu-kiman masyarakat Bagan Siapi-api dan sekitarnya. Tingkat kesejahteraan umumnya masyarakat Cina lebih tinggi dari mas-yarakat komunitas lainnya, dan mereka umumnya bermukim di daerah kota dan berperan penting dalam mengendalikan pusat-pusat perekonomian. Komunitas lainnya lebih banyak ber-mukim di daerah pedesaan dan pinggiran kota dengan mata pen-carian utamanya adalah buruh dan petani.

Lebih menarik lagi adalah setelah terpilihnya Anas Makmun sebagai Bupati Rokan Hilir pada awal 2006 ekspansi bisnis komunitas Cina memasuki wilayah baru yang selama ini relatif belum mereka kuasai, yaitu proyek-proyek yang didanai oleh APBD. Menurut informasi dari Marjaharudin seorang tokoh dari masyarakat Sulawesi di Bagan Siapi-api kebijakan Anas Makmun saat ini cukup kondusif terhadap kepentingan bisnis

Gambar

Gambar 3.1 Segitiga ABC Galtung

Referensi

Dokumen terkait